Anda di halaman 1dari 8

TUGAS VIROLOGI

“Virus hepatitis C & Virus Japanese Encephalitis”

Disusun Oleh:

PUTRI AGUSTINA

PO.71.34.015.035
Dosen Pembimbing : HERRY HERMASYAH,AMAK,SKM,M.KES

POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG


JURUSAN ANALIS KESEHATAN
TAHUN AKADEMIK 2016/2017
Virus hepatitis C
1.PENGERTIAN :
Hepatitis C adalah virus yang menyerang hati sering diam-diam kebanyakan orang
yang terinfeksi dengan Hepatitis C Virus (HCV) tidak memiliki gejala sama sekali. Hepatitis
C merupakan salah satu dari enam virus hepatitis diidentifikasi (yang lain adalah A, B, D, E,
G,tt). Semua menyebabkan hati menjadi meradang. Hepatitis C umumnya dianggap yang
palingserius dari virus.
Seiring waktu jika Anda memiliki infeksi Hepatitis C dapat menyebabkan kehidupan
kanker, gagal hati atau sirosis ireversibel dan bekas luka fatal dari hati. Pengobatan HCV
telah berkembang dari penggunaan agen tunggal interferon dan ribavirin. Tujuan pengobatan
adalah pencapaian berkelanjutan (24-48 penghentian perawatan pasca minggu).Tranaminase
dan respon virologi (PCR negatif) dengan perbaikan histologis.

2. EPIDEMIOLOGI :
Menurut WHO tahun 1999 kira-kira 170 juta orang terinfeksi hepatitis C atau 3% dari
populasi dunia dan akan berkembang menjadi sirosis hepar dan kanker hati. . Secara
seluruhan ada 130 negara dimana yang melaporkan terinfeksi HCV. Data di Indonesia,
pravelensi HCV Berkisar antara 0,5 – 3,4% menunjukkan sekitar 1 – 7 juta penduduk
Indonesia mengidap infeksi virus C. Di Asia,infeksi HCV diperkirakan bervariasi dari 0,3 %
di Selandia Baru sampai 4% di Kamboja.
Data didaerah Pasifik diperkirakansekitar 4,9%.Di Timur Tengah angka yang pernah
dilaporkan adalah 12% pada beberapa pusat penelitian. Transmisi HCV terjadi terutama
melalui paparan darah yang tercemar. Paparan ini biasanya terjadi pada pengguna narkoba
suntik, transfusi darah (sebelum 1992), pencangkokan organ dari donor yang terinfeksi,
praktek medis yang tak aman, paparan okupasional terhadap darah yang tercemar, kelahiran
dari ibu yang terinfeksi, hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi, perilaku seksual
resiko tinggi dan kemungkinan penggunaan kokain intranasal, di Amerika lebih dari 60% dari
penderita hepatitis C yang baru disebabkan oleh pemakaian obat obatan intravena. Virus ini
baru-baru ini ditemukan sebagai penyebab utama hepatitis non A, non B yang diperoleh
secara parenteral terutama melalui transfusi darah.

3. GEJALA KLINIK :
Sering kali orang yang menderita hepatitis C tidak menunjukkan gejala walaupun
infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Gejala-gejala di bawah ini mungkin samar,
misalnya lelah, perasaan tidak enak pada perut kanan atas, hilang selera makan, sakit
perut, mual, muntah ,pemeriksaan fisik seperti normal atau menunjukan pembesaran hepar
sedikit. Beberapa pasien didapatkan spidernevi, atau eritema Palmaris. (Bell B, 2009) Hasil
laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT yang terjadi pada kurun
waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara hepatitis akut A dan
hepatitis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 minggu setelah terkena infeksi.
Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita yang
dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan
hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada penderita
resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun dan penderita
dengan koinfeksi HBV Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang
menjadi penyakit hati menahun. Infeksi HCV dinyatakan kronik kalau deteksi RNA HCV
dalam darah menetap sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan
infeksi hepatitis B. Gejala awal tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan
ikterus dan kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus.
Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat disbanding
infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup,
meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan komplikasi ekstra
hepatik. Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang
biasanya disebabkan respon imun seperti gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca, lichen
planus, glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin
telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien dengan hepatitis C.

4. PENGOBATAN :
Pengobatan hepatitis C kronik telah berkembang sejak interferon alfa pertama kali
disetujui untuk dipakai pada penyakit ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu itu
obat ini diberikan 24 sampai 48 minggu sebagai kombinasi Pegylated alfa interferon dan
Ribavirin. Pegylated alfa interferon (penginterferon) adalah modifikasi kimia dengan
penambahan molekul dari polyethylene glycol.
Penginterferon dapat diberikan satu kali per minggu dan keuntungannya kadarnya
konstan di dalam darah. Ribavirin adalah suatu obat antivirus yang mempunyai efek sedikit
pada virus hepatitis C, tetapi penambahan Ribavirin dengan interferon menambah respon 2 –
3 kali lipat. Kombinasi terapi ini dianjurkan untuk
pengobatan hepatitis C. Terapi dengan Interferon 3 juta unit 3x perminggu selama 12-18
bulan, yang diberikan kepada pasien dengan aminotransferase tinggi, biopsi menunjukkan
kronik hepatitis berat atau lanjut, HCV RNA, 50% mengalami remisi atau perbaikan 50%
pasien kembali diantara 12 bulan pengobatan dan perlu mengulang pengobatan kembali.
Respon yang baik yaitu hilangnya HCV RNA yang tinggi pada genotip HCV 1a dan 1b. lebih
menguntungkan dengan penambahan ribavirin Kriteria yang harus dipenuhi sebelum
pemberian terapi Interferon.

1. Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit, HCV RNA [+], genotip
virus, biopsi.
2. Ada / tidaknya manifestasi ekstrahepatic.
3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi diatas normal.
4. Tidak ada dekompensasi hati.
5. Pemeriksaan laboratorium:
a. Granulosit > 3000/ cmm
b. Hb > 12 g/dl
c. Trombosit > 50000/ cmm.
d. Bilirubin total < 2 mg/ dl
e. Protrombin time < 3 menit.

Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI –PPHI:


1. Terapi antivirus diberikan bila ALT > 2 N
2. Untuk pengobatan hepatitis C diberikan kombinasi Interferon dengan Ribavirin
3. Ribavirin diberikan tiap hari,tergantung berat badan selama pemberian interferon dengan
dosis :
a. < 55 kg diberikan 800 mg/hari
b. 56 – 75 kg diberikan 1000 mg/hari
c. > 75 kg diberikan 1200 mg/hari
4. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5 MU seminggu 3 kali, tergantung kondisi pasien
5. Pegylated Intenfenon Alfa 2a diberikan 180 ug seminggu sekali selama 12 bulan pada
genotipe 1&4, dan 6 bulan pada genotipe 2 dan 3. pada Pegylated Interferon Alfa 2b
diberikan dengan dosis 1,5ug/kg BB/kali selama 12 bulan atau 6 bulan tergantung genotip
6. Dosis Ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping anemia, dapat
diberikan enitropoitin.

5.PENCEGAHAN :
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah
hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis C dengan cara
jarum suntik harus steril. Melakukan kehidupan sex yang aman. Bila memiliki pasangan
yang lebih dari satu atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri
misalnya dengan pemakaian kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur,
sikat gigi dan gunting kuku.
Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang dipakai steril.
Orang yang terpapar darah dalam pekerjaannya [misalnya dokter, perawat, perugas
laboratorium] harus hati-hati agar tidak terpapar darah yang terkontaminasi, dengan cara
memakai sarung tangan, jika ada tetesan darah meskipun sedikit segera dibersihkan. Jika
mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau RNA HCV
setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit hepatitis
C. Pernah sembuh dari salah satu penyakit hepatitis, tidak mencegah penularan penyakit
hepatitis lainnya. Dengan demikian dokter sangat merekomendasikan penderita hepatitis C
juga melakukan vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B.
Virus Japanese Encephalitis
1.PENGERTIAN :
Japanese B Encephalitis (JE) merupakan penyakit ensefalitis yang disebabkan oleh
arbovirus dari family Flaviviridae, genus Flavivirus yang menyebabkan kasus ensefalitis
pada anak-anak di wilayah Asia (OIE, 2009; Plotkin dan Orenstein, 2004). JE ditularkan dari
hewan ke manusia melalui gigitan nyamuk (Halstead dan Jacobson, 2003). Penyakit ini
endemik di wilayah pedesaan, khususnya tempat dimana terdapat lahan persawahan dan
ternak babi (Liu et al., 2010). Lahan persawahan berperan penting dalam siklus hidup vektor
penyebar penyakit JE ini, yaitu nyamuk Culex tritaeniorhynchus. Nyamuk ini
berkembangbiak dengan baik di tempat itu. Sedangkan ternak babi berperan sebagai sumber
virus JE. Sehingga adanya lahan persawahan dan ternak babi merupakan dua faktor resiko
utama terjadinya siklus penyakit JE pada suatu tempat apabila ditunjang dengan keberadaan
vektor nyamuk C. tritaeniorhynchus (Liu et al., 2010).

2. EPIDEMOLOGI :
Penyakit ini endemik di daerah Asia, mulai dari Jepang, Filipina, Taiwan, Korea,
China, IndoChina,Thailand, Malaysia, sampai ke Indonesia serta India. Diperkirakan ada
35.000 kasus Japanese encephalitis di Asia setiap tahun. Angka kematian berkisar 20-30%.
Anak usia 1-15 tahun paling sering terinfeksi. Di Indonesia, penelitian penyakit Japanese
encephalitis sudah dilakukan sejak 1975, menunjukkan seroprevalensi sebesar 10-75%.

Penyebaran penyakit ini tergantung musim, terutama pada musim hujan saat populasi
nyamuk Culex meningkat, kecuali di Malaysia, Singapura, dan Indonesia (diperkirakan
sporadik, terutama di daerah pertanian).

Di Indonesia, terdapat sekitar 19 jenis nyamuk yang dapat menularkan penyakit ini;
paling sering adalah Culex tritaeniorhynchus, yang banyak dijumpai di daerah persawahan,
rawarawa, dan genangan air. Babi dan unggas yang hidup di air, seperti bangau, merupakan
hewan utama reservoir virus ini. Nyamuk Culex tritaeniorhynchus terdiri dari berbagai jenis,
dapat menularkan baik ke manusia maupun ke hewan peliharaan lainnya.

Di Indonesia virus Japanese encephalitis pertama diisolasi dari nyamuk pada tahun
1972, di daerah Bekasi. Survai di rumah sakit Sanglah Bali pada tahun 1990-1992 atas 47
kasus ensefalitis menemukan 19 kasus serologi positif terhadap Japanese encephalitis. Survei
sama pada 2001-2002 atas 262 kasus ensefalitis menemukan 112 kasus (42,75%) positif
dengan angka kematian (mortality rate) 16% dan angka kecacatan (sequelae rate) 53,12%.
Laporan dari rumah sakit yang sama (1997) atas 12 pasien dengan diagnosis ensefalitis
didapat 2 kasus positif Japanese encephalitis.

Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi; beberapa negara seperti Thailand sudah
memasukkan imunisasi Japanese encephalitis ke dalam program rutin—kasus ensefalitis
turun bermakna dari 14,7 per 100.000 penduduk menjadi 1 per 100.000 penduduk.

Pada hewan, penyakit ini dapat menimbulkan abortus, meninggal, atau tanpa gejala.
Hewan yang dapat terinfeksi penyakit ini meliputi ternak lembu, sapi, ayam, bebek dan
kambing, dan vertebrata lainnya, termasuk ular, kodok, tikus, dan kelalawar. Burung
merupakan hewan penting dalam penyebaran penyakit ini. Virus dapat bereplikasi di dalam
darah hewan tanpa menimbulkan penyakit serius, yang memungkinkan siklus penularan.
Manusia dan kuda merupakan dead-end host, artinya tidak terjadi penularan dari manusia
atau kuda ke manusia atau hewan lain melalui gigitan nyamuk.

Penyakit Japanese encephalitis pada manusia dapat menimbulkan gejala ringan seperti
demam fl u biasa sampai berat, bahkan kematian. Pada kasus berat, dapat meninggalkan
gejala sisa (40-75%), termasuk kelumpuhan dan keterbelakangan mental/penurunan
inteligensia. Karena virus Japanese encephalitis termasuk famili fl avivirus yang sama dengan
virus dengue, harus dilakukan juga uji terhadap virus dengue.

3 Struktur Virus

Gambar virus JEV

Virus ini memiliki bentuk yang sferis, berdiameter 40-60 nm dan memiliki inti virion
yang terdiri dari asam ribonukleat (RNA) rantai tunggal yang sering bergabung dengan
protein yang disebut nukleoprotein.

Kapsid merupakan pelindung inti virion yang terdiri dari polipeptida yang berbentuk
tata ruang dan dibatasi oleh 20 segi sama sisi dengan aksis rotasi ganda. VJE pada umumnya
bersifat labil terhadap suhu tinggi dan rentan terhadap berbagai pengaruh disinfektan, pelarut
lemak, deterjen, serta enzim proteolik.

Virus ini memiliki infektivitas yang paling stabil pada pH 7-9, tapi virus ini dapat
dilemahkan oleh eter, radiasi elektromagnetik, dan natrium deoksikolat. VJE berkembangbiak
dalam sel hidup, tepatnya dalam sitoplasma. Kesulitan dalam mengisolasi virus dari darah
pasien disebabkan karena VJE memiliki masa viremia yang pendek. Namun bila organ otak
yang terinfeksi, akan sangat sulit dilakukan isolasi virus karena alasan budaya.

4. Gejala Klinis

Masa inkubasi bervariasi antara 4 sampai 14 hari.

Perkembangan gejala terbagi atas 4 stadium: prodromal (2-3 hari), fase akut (3-4
hari), fase subakut (7-10 hari), fase penyembuhan/convalescence (4-7minggu). Pada kasus
fatal,pasien dapat koma dan meninggal.
Gejala biasanya datang tiba-tiba, seperti nyeri kepala, gangguan pernapasan,
penurunan nafsu makan, mual, sakit perut, muntah, kelainan saraf, termasuk gangguan jiwa.

Gejala kerusakan otak sehubungan dengan infeksi dapat berupa: kejang dan/atau
pergerakan abnormal, pergerakan bola mata yang tidak simetris, refl eks kornea negatif,
pernapasan tidak teratur. Demam tidak terlalu tinggi disertai gangguan pernapasan mungkin
merupakan gejala klinis Japanese encephalitis.

Kejang dialami oleh 10-24 % penderita anak,lebih sedikit pada dewasa. Gejala
peningkatan tekanan intrakranial mencakup nyeri kepala hebat, muntah, pupil tidak reaktif
terhadap cahaya, hemiplegia, bradikardia, dan hipertensi. Pada fase ini, biasanya pemeriksaan
cairan otak menunjukkan peningkatan leukosit. Beberapa hari kemudian, tampak limfosit
dominan. Albuminuria sering ditemukan.

5. Pemeriksaan fisik

a. Kelainan neurologik biasanya bervariasi.

b. Kelemahan menyeluruh, tonus otot meningkat, dan peningkatan refl eks (termasuk
refleks patologis) sering ditemukan,diikuti hiporefleksia.

c. Papiledema ditemukan pada sekitar 10% pasien dan pada 33% pasien, ditemukan
tanda saraf kranial (seperti mata juling).

d. Tanda ekstrapiramidal sering ditemukan,termasuk wajah seperti topeng, tremor,


kaku, dan gerakan gerakan tidak lazim.

Pemeriksaan laboratorium :

Fase akut: peningkatan leukosit, kemudian limfosit predominan di cairan otak.Sering juga
dijumpai albuminuria.

6. Diagnosis

Diagnosis pasti adalah ditemukannya virus dalam darah atau cairan spinal, tetapi
isolasi virus sangat sulit pada manusia karena masa viremia yang mungkin pendek sekali
sehingga saat pasien mengalami gejala, masa viremianya sudah berlalu.

Uji serologi: Uji HI (hemagglutination inhibition) dan ELISA memerlukan serum akut
dan konvalesen sehingga bisa dilihat kenaikan titer antibodi terhadap virus Japanese
encephalitis.

Penanganan

Tidak ada pengobatan spesifik, hanya terapi simtomatis dan suportif:

• pemeliharaan jalan napas,


• pemberian oksigen walaupun tidak ada tanda sianosis,

• pemantauan sirkulasi darah,

• pencegahan kelebihan cairan,

• pemantauan gula darah (hiperglisemia sering terjadi),

• bila kejang, lakukan penanganan kejang pada umumnya,

• jika ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, diperlukan manitol; jika


memungkinkan, periksa cairan otak,

• pada pasien yang tidak sadar, perlu kateter urine,

• pencegahan dekubitus,

• pencegahan kerusakan kornea, kurangi rangsangan dari luar,

• pemberian cairan dan suplemen (vitamin dan mikronutrien),

• pemberian antibiotik untuk infeksi sekunder,

• pasien rawat lama atau sembuh dengan defisit neurologis membutuhkan fisioterapi
dan rehabilitasi.

7. Pencegahan

Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi. Beberapa negara seperti Thailand,
China, Nepal, India dan Jepang sudah memasukkan imunisasi Japanese encephalitis dalam
salah satu program imunisasi rutin. Imunisasi juga dianjurkan untuk orang yang bepergian ke
daerah endemik Japanese encephalitis. Vaksin yang beredar saat ini adalah JE-Vax dari
Jepang (Biken), Korea (Green Cross), dan SA-14-14-2 (China). Pemberian dengan subkutan.
Vaksin SA-14-14-2 memberikan kabar baik karena cukup satu dosis dan memberikan respon
antibodi 83-100% pada anak usia 6-7 tahun. Pada anak usia lebih tua dilakukan dua kali
dengan selang 1-3 bulan, memberikan respon antibodi cukup tinggi (94-100%). Selain
vaksinasi terhadap manusia, vaksinasi hewan terutama untuk kuda dan ternak lainnya.

Anda mungkin juga menyukai