Anda di halaman 1dari 39

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM LAPORAN KASUS

RSUD PROF W. Z. JOHANES JULI 2019


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

CHRONIC KIDNEY DISEASES

Disusun Oleh :

Grecia Sintya Dayanti Sunur, S.Ked

Pembimbing :

dr. Chatarina P. S. Keraf, Sp.PD, FINASIM

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITRAAN KLINIK

SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANES

KUPANG

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul Chronic Kidney Diseases diajukan oleh


Nama : Grecia Sintya Dayanti Sunur, S.Ked
NIM : 1408010051
Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan dihadapan pembimbing klinik sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD W. Z. Johanes.

Pembimbing Klinik

Pembimbing Klinik
1. dr. Chatarina P. S. Keraf, Sp.PD, FINASIM 1. ………………….

Ditetapkan di : Kupang
Tanggal : Juli 2019

2
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
penurunan fungsi ginjal yang irevesible pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplatasi ginjal(1).
Penyebab terbanyak penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat adalah diabetes
mellitus yaitu 44 % sedangkan di Indonesia menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia
2011 adalah Hipertensi dengan presentasi 34% dan disebabkan oleh penyakit lain seperti
gromerulonefritis, ginjal polikistik, penyakit sistemik seperti lupus dan penyakit
lainnya(1,2).
Penyakit ginjal kronik paling sering ditemukan pada pria dibandingkan dengan
wanita. Di Amerika Serikat CKD paling sering ditemukan pada pria dibandingkan wanita
dengan dan di Indonesia berdasarkan Rikesdas 2013 presentasi pasien CKD pria dan
wanita adalah 0,3 : 0,2. Di Indonesia CKD sering terjadi pada pasien berusia 75 tahun
keatas dan meningkat pada usia 55 tahun. Berdasarkan Rikesdas 2013 CKD tertinggi di
Sulawesi Tengah dengan prevalensi 0,5 sedangkan di NTT prevalensi CKD adalah
0,3(2,3).
Pasien CKD dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang memperberat
penyakitnya seperti anemia, CHF, osteodistrofirenal, sehingga perlu penanganan yang
baik untuk penatalaksaan dari penyakit CKD(1,4) .

3
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. P.B.L
Usia : 51 tahun
TTL : 23 Agustus 1967
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Katolik
Suku : Ngada
Alamat : Fatululi
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : SMA
Dirawat menggunakan : BPJS
Tanggal masuk RS : 15 Juli 2019
Tanggal keluar RS : 22 Juli 2019
No RM : 112779
II. ANAMNESIS
Aloanamnesis di ruangan komodo tanggal 16 Juli 2019 pukul 14.00 WITA.
1. Keluhan utama :
Sesak napas ± 5 hari yang lalu.
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien merupakan rujukan dari RS bayangkara dengan keluhan sesak napas yang
sudah dirasakan dari hari kamis minggu lalu (± 5 hari). Sesak dirasakan memberat
sehingga pasien di bawa ke RSB. Sesak napas ini membuat pasien sulit
beraktivitas. Pasien merasa sesak terutama ketika sedang tidur dan sedikit
membaik ketika pasien duduk. Pasien juga mengeluhkan cepat lelah dan adanya
mual dan muntah. Mual dirasakan setiap kali makan, muntah sudah dirasakan
sejak 1 minggu sebelum MRS, pasien muntah keluar air-air saja, tapi ketika MRS

4
muntah sudah berkurang. Mual berkurang apabila pasien minum air hangat.
Makan dan minum berkurang, dalam 1 hari pasien makan nasi hanya sekitar 4-5
sendok saja karena merasa perut penuh, pasien minum air sedikit saja sekitar ± 1-
2 gelas dalam sehari bahkan terkadang pasien tidak mau minum air. Pasien juga
mengeluhkan kedua kaki pasien bengkak sejak 6 bulan yang lalu, hal ini membuat
pasien sulit berjalan karena kaki terasa berat dan perut terasa kembung sejak 1
bulan yang lalu, kembung dirasakan berkurang ketika pasien kentut dan BAB.
Pusing (+), nyeri kepala (+), nyeri ulu hati (+), lemas (+), nyeri pinggang (+),
demam (-). BAB terakhir 2 hari yang lalu, konsistensinya keras. Warna kotoran
tidak diketahui pasien, BAK sulit sudah 1 minggu, kencing hanya sedikit-sedikit,
warna kuning pekat, terasa panas (-), darah (-), kencing seperti pasir (-)
3. Riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat pengobatan:
Pasien mengalami diabetes nelitus tipe II sejak tahun 2008, pasien awalnya tidak
berobat dengan teratur, namun pada tahun 2018 pasien mulai berobat dan kontrol
teratur di dokter. Obat yang dikonsumsi pasien adalah novorapid insulin sebanyak
3 x 6 internasional unit perhari sebelum makan dan Levemir insulin 1x10
internasional unit, tetapi untuk obat levemir ini sudah diberhentikan dokter sejak
± 3-4 bulan yang lalu. selain obat yang diberikan dokter, pasien juga
mengkonsumsi obat herbal berupah air rebusan daun kersen pasien minum 1x1
dalam sehari. Pasien sudah mengkonsumsi minuman ini sudah sejak lama saat
pasien tau pasien sakit DM. Selain DM tipe II, pasien juga memiliki sakit
hipertensi sejak tahun 2018, pasien kontrol tidak teratur. Untuk obat hipertensi
pasien mengkonsumsi obat captropil 3x1 tablet yang dikonsumsi pasien hanya
ketika pasien merasakan tekanan darahnya naik. Riwayat sakit gagal ginjal baru
pasien ketahui sejak tangal 13/07/2019 ketika pasien masuk Rumah Sakit
Bayangkara, riwayat pengobatan saat pasien MRS di RS bayangkar adalah:
- IVFD NaCL 0,9% 14 tpm
- Furosemid 2x40mg/IV
- Novorapid 3x6 IU
- Spironolakton 1x25 mg
- Folavit 2x1

5
- Captropil 2x50mg
- Amlodipin 1x10mg
- Clonidin 3x0,5mg
- Aminefron 3x1 tab
- Lapibal 2x1 IV
- Vometa 2x1 tab
- Prenamia 2x1 tab
4. Riwayat penyakit keluarga :
Ayah kandung dari pasien mengidap sakit ginjal, DM dan hipertensi sedangkan
ibu pasien mengindap sakit HT.
5. Riwayat sosial budaya dan lingkungan :
Pasien tinggal bersama istri dan ketiga anaknya di rumah yang berada di
lingkungan padat penduduk. Pasien sehari – hari bekerja sebagai seorang PNS dan
istri pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan pasien sekitar
3.500.0000/ bulan.
6. Riwayat gizi dan kebiasaan :
Pasien sehari- hari makan 1-2 kali sehari dengan porsi nasi ± 1 sendok nasi, nasi
yang dikonsumsi nasi merah, dan diberikan lauk sayur, dan ikan , pasien minum
air 1-2 gelas per hari, pasien tidak mengkonsumsi buah-buahan. Riwayat makan
sebelum terdiagnosa CKD, DM tipe II dan hipertensi, pasien selalu
mnegkonsumsi makanan tinggi lemak dan berminyak pada saat acara dan
kegiatan keluarga atau kantor, Pasien jarang berolahraga riwayat minum alcohol
(+), merokok (+).

III. REVIEW SISTEM


Sistem penglihatan : tidak ada keluhan
Sistem pendengaran, pengecapan, dan penghidu : tidak ada keluhan
Sistem pernapasan : Sesak napas (+)
Sistem kardiovaaskuler : tidak ada keluhan
Sistem pencernaan dan sistem urinaria : Mual (+), muntah (+) berkurang, sulit BAB
dan BAK

6
Sistem neurologi : tidak ada keluhan
Sistem musculoskeletal : sulit berjalan karena kedua kaki pasien bengkak

IV. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : tanpak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis , GCS : E4V5M6
TD : 150/ 90 mmHg N : 80x/ mnt S : 36,8oC RR : 24x/ mnt SpO2 : 91%
BB : 65 kg , TB : 170 cm IMT : 22,49, Status gizi : Normal
Skala Sesak napas VAS : 5
2. Status Generalis
Kulit : pucat (+), Ikterus (-)
Rambut : rambut berwarna hitam tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+) , Sklera ikterik (-/-)
Hidung : rhinorea (-), epiktasis (-), deviasi septum (-)
Telinga : Otorea (-/-) , Nyeri tekan tragus (-)
Mulut : mukosa bibir kering
Mukosa lidah : lembab , hiperemis (-), leuplakia (-),lidah kotor (-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP : 5 + 2 cm

Pulmo anterior :
I : Pengembangan dinding dada statis dan dinamis simetris
Retraksi sela Iga (-)
Pa : nyeri tekan (-), krepitasi (-), taktil fremitus D=S
Pe : sonor pada kedua lapang paru/ redup pada bagian basal
A : Vh Rh Wh
+ + _ _ _ _

+ + - - _ _

+ + - + _ _
Pulmo Posterior :

I : massa (-), jejas (-)

7
Retraksi sela Iga (-)
P : nyeri tekan (-), taktil fremitus D = S
P : sonor pada kedua lapang paru, redup pada bagian basal
A : Vh Rh Wh
+ + _ _ _ _

+ + - - _ _

+ + - + _ _
Cor :

I : Massa (-), jejas (-), scar (-), iktus cordis tidak terlihat

P : nyeri tekan (-), iktus cordis tidak teraba

P : batas jantung kanan : ICS 4 parasternum dextra

Batas jantung kiri : ICS 6 lateral linea midclavicula


sinistra

A : S1S2 tunggal, gallop (-) , Murmur (-)

Abdomen :

I : supel, massa (-), jelas (-), scar (-)

A : BU (+) 14x/ mnt

Pa : nyeri tekan (+) di region epigastrium, Hepar tidak terapa,


Lien tidak teraba .

Pe : medial timpani, lateral redup , Shifting dullness (+)

liver span : 8 cm

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 dtk, tremor (-), edema - -

+ +

8
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

HEMATOLOGI
15/7/19 16/7/19 17/7/19 19/7/19 20/7/19
Darah Rutin

Hemoglobin 8,4 - 9,1 - 9,9 g/dL 12.0 – 16.0

Jumlah eritrosit 3,07 - 3,31 - 3,63 10^6/Ul 4.20 – 5.40

Hematokrit 23,9 - 25,4 - 27,7 % 37.0 – 47.0

MCH, MCHC

MCV 77,9 - 76,7 - 76,3 fL 81.0 – 96.0

MCH 27,4 - 27,5 - 27,3 Pg 27.0 – 36.0

MCHC 35,1 - 35,8 - 35,7 g/L 31.0 – 37.0

Jumlah Lekosit 10,59 - 8,97 - 10,34 10^3/ul 4.0-10.0

Jumlah Trombosit 225 - 218 - 249 10^3/ul 150-400

GDS - - - 149 - Mg/dl 70-150

GDP - - - 160 - Mg/dl 74 – 109

PT - 9,9 - - - Detik 10,8 – 14,4

APTT - 41,5 - - - Detik 26,4-37,6

BUN 64,0 - 46,0 - 32,0 Mg/dl < 48

Kreatinin 9,86 - 8,00 - 6,80 Mg/dl 0,6 – 1,1

Elektrolit

Na 132 - 127 - 132 Mmol/L 132-147

9
K 4,5 - 3,0 - 3,5 Mmol/L 3,5 – 4,5

Cl 107 - 112 - 98 Mmol/L 96 –111

Ca 1.080 - 1000 - 1400 Mmol/L 1.120-1.320

Total Ca 2,2 - 2,2 - 2,9 Mmol/L 2.2 – 2.55

Albumin - 2,3 - - - Mg/L 3,5 – 5,2

HbA1c - 5,1 - - - % <6

Asam urat - - 6,1 - 5,0 Mg/dl 1,9-7,9

Fosfor - - - - 2,8 Mg/dl 3,5 – 4,5

2. Pemeriksaan Foto Thorax :

Hasil : kardiomegali dan efusi pleura dextra dan sinistra


10
3. USG Abdomen

Kesan : - Chronic Kidney Disease + asites Ringan

- Efusi pleura dextra et sinistra

11
FOLLOW UP PASIEN

Tanggal S O A P

16/7/2019 Sesak napas (+) ± 5 -KU : lemah Anemia berat - IVFD NaCl 0,9% 100cc
hari yang lalu, + furosemid 10
TD: 170/100 mmHg CKD st.V pro HD
memberat beberapa amp/24jam
N: 91x/m RR :
hari terakhir, sehingga DM tipe II - Lenal ace 2x1
26x/mnt S : 36,5 oC
memnuat pasien sulit - As. Folat 2x1
SpO2: 98% Hipertensi gr. II
beraktivitas, makan - Ciprofloxaxin 2x200mg
hanya seikit karena -Pemfis Kulit pucat , - Mikardis 1x80mg
Hiperkalemia
merasa penuh di perut Konjungtiva anemis - Clonidin tab 0,15mg

+/+ 3x1
- Amlodipin 1 x10 mg
Ronki pada basal paru po malam
sinistra, asites , edema - Novorapid 3 x 6 UI
tungkai subkutaan sebelum
makan
HB : 8,4 g/ dl
- Transfusi PRC 1 bag
K: 4,5 mmol/L - Pro HD
- Cek albumin, HBsAg,
Albumin: 2,3 mg/L
anti HIV, anti HCV,
HbA1c: 5,1% HBaTC, PT, APTT,
GD I, GD II
PT: 9,9 detik

APTT: 41,5 detik

BUN: 64,0 mg/dl

Cr : 9,86 mg/ dl

LGF : 8,148
ml/mnt/1,73 m2

17/7/19 Sesak napas (+), KU : lemah Anemia sedang - IVFD NaCl 0,9% 100cc
pasien tidak bisa tidur, on transfusi + furosemid 10
TD : 150/90 mmHg N;
makan minum sedikit. amp/24jam
89x/mnt S: 36,6oC CKD st.V pro HD
- Lenal ace 2x1
RR: 28x /mnt
- As. Folat 2x1

12
SpO2: 98% DM tipe II - Ciprofloxaxin 2x200mg
- Mikardis 1x80mg
Konjungtiva anemis HT grade II
- Clonidin tab 0,15mg
+/+
Hipoalbuminemia 3x1

Ronki pada basal paru - Amlodipin 1 x10 mg

sinistra, asites , edema po malam

tungkai - Novorapid 3 x 6 UI
subkutaan sebelum
HB : 9,1 g/ dl makan
- Pro HD
Na: 127 mmol/L
- VIP albumin 3x1
K: 3,0 mmol/L - Cek DL, ureum,
kreatinin, asam urat,
Albumin: 2,2 mg/L
albumin, elektrolit.
As urat: 6,1 mg/dL Fosfor

BUN: 46,0 mg/dl

Cr : 8,00 mg/ dl

LGF : 10,043
ml/mnt/1,73 m2

18/7/2019 Nyeri pada paha KU : lemah Anemia sedang - IVFD NaCl 0,9% 100cc
kanan bekas tusukan, + furosemid 10
TD : 160/80 mmHg N; CKD st.V pro HD
perut kembung (+), amp/24jam
68x/mnt S: 36,4oC
sesak napas (-), makan DM tipe II - Lenal ace 2x1
RR: 20x /mnt SpO2:
minum hanya sedikit - As. Folat 2x1
99% HT grade II - Ciprofloxaxin 2x200mg

Konjungtiva anemis - - Mikardis 1x80mg


Hipoalbuminemia
/- - Clonidin tab 0,15mg
3x1
Ronki pada basal paru - Amlodipin 1 x10 mg
sinistra, asites , edema po malam
tungkai +/- - Novorapid 3 x 6 UI
subkutaan sebelum
HB : 9,1 g/ dl
makan
Na: 127 mmol/L - Pro HD ke II
- VIP albumin 3x1

13
K: 3,0 mmol/L - Pro pemasangan CDL
- 4 jam post HD cek DL,
Albumin: 2,2 mg/L
ureum, creatinin, asam

As urat: 6,1 mg/dL urat, albumin, fosfor


dan elektrolit
BUN: 46,0 mg/dl

Cr : 8,00 mg/ dl

LGF : 10,043
ml/mnt/1,73 m2

19/9/2018 Perut kembung (+), KU : lemah Anemia sedang - IVFD NaCl 0,9% 100cc
sesak napas (-), makan on transfusi + furosemid 10
TD : 130/80 mmHg N;
minum masih sedikit, amp/24jam
71x/mnt S: 36,1oC CKD st.V pro HD
nafsu makan - Lenal ace 2x1
RR: 20x /mnt SpO2:
berkurang. DM tipe II - As. Folat 2x1
97%
- Ciprofloxaxin 2x200mg
HT grade II - Mikardis 1x80mg
Konjungtiva anemis -
/- - Clonidin tab 0,15mg
Hipoalbuminemia
3x1
Ronkhi di basal paru - Amlodipin 1 x10 mg
sinistra, asites , edema po malam
tungkai +/- - Novorapid 3 x 6 UI
subkutaan sebelum
GD I: 146 mg/dL
makan
GD II: 160 mg/dL - VIP albumin 3x1
- 4 jam post HD cek
DL, ureum, creatinin,
asam urat, albumin,
fosfor dan elektrolit

20/9/2018 Bagian belakang KU : lemah Anemia sedang - IVFD NaCl 0,9% 100cc
tubuh terasa sakit, + furosemid 10
TD : 150/80 mmHg N; CKD st.V pro HD
masih sulit makan, amp/24jam
73x/mnt S: 36,7oC
sesak (-), sulit BAB DM tipe II - Lenal ace 2x1
RR: 22x /mnt
- As. Folat 2x1
HT grade II - Ciprofloxaxin 2x200mg
Konjungtiva anemis -
- Mikardis 1x80mg

14
/- Hipoalbuminemia - Clonidin tab 0,15mg
3x1
Ronkhi pada basal
- Amlodipin 1 x10 mg
paru sinistra, nyeri
po malam
tekan epigaanstrium
- Novorapid 3 x 6 UI
(+)
subkutaan sebelum

Hb: 9,9 g/dl makan


- VIP albumin 3x1
Fosfor: 2,8 mg/dL - 4 jam post HD cek
DL, ureum, creatinin,
BUN: 32,0 mg/dL
asam urat, albumin,
Cr: 6,80 mg/dL fosfor dan elektrolit

LGF: 11,815
ml/mnt/1,73 m2

As.Urat: 5,0 mg/dL

Na: 132 mmol/L

15
BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai
penurunan fungsi ginjal yang irevesible pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplatasi ginjal(1).

B. KRITERIA
Kriteria penyakit ginjal kronik berdasarkan kriteria KDIGO 2012(1).

C. KLASIFIKASI
Klasifikasi penyakit ginjal kronik disusun berdasarkan rekomendasi KDIGO yaitu
klasifikasi berdasarkan penyebab, kategori GFR dan albuminuria(5,6)

16
Kategori Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Tingkat GFR

Klasifikasi atas dasar GFR, yang dihitung dengan mempergunakan rumus


Kockcroft – Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2 ) = (140 – umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)

Ket : *) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi berdasarkan kadar albuminuria:

17
D. ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat (1,4):

Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2011 mencatat penyebab


gagal ginjal yang menjalani hemodialisa(5):

Penyebab Insiden
Ginjal hipertensi 34 %
Nefropati diabetes 27 %
Gromerulopati Primer 14 %
Nefropati Obstruksi 8%
Pielonefritis kronik 6%
Nefropati asam urat 2%
Ginjal polikistik 1%
Neuropati lupus 1%
Lain –lain 6%
Tidak diketahui 1%

18
E. FAKTOR RISIKO
1. Genetik
CKD merupakan penyakit heriditer, dimana terjadi mutasi dari APOL1. APOL1
merupakan pola resesif autosomal yang berkaitan dengan resiko ESRD yang jauh
lebih tinggi bahkan 10x lipat dari CKD akibat gromerulosklerosis fokal dan 7 kali
lipat lebih tinggi dari CKD akibat hipertensi. Mutasi APOL1 ini juga ditemukan
lebih banyak pada orang keturunan Afrika(6).
2. Riwayat keluarga
Faktor resiko dari CKD adalah riwayat keluarga dimana didapatkan penelitian di
Amerika tahun 1995 – 2003 sekitar 23% pasien CKD memiliki kelurga yang
menderita CKD juga(7).
3. Jenis kelamin
Berdasarkan hasil dari Japanese Society fo Dialisis Therapy , pasien CKD paling
banyak didapatkan pada laki-laki sedangkan penelitian di Turki mendapatkan bahwa
CKD lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki, sedangkan di Indonesia
berdasarkan Rikesdas 2013 CKD lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan(2,7).
4. Etnik
Kasus CKD sering lebih tinggi terjadi pada ras Africa America(7).
5. Usia
Fungsi ginjal akan menurun sesuai dengan bertambahnya usia. Berdasarkan
rikesdas 2013 usia tertinggi yang sering terkena CKD adalah usia diatas 75 tahun
namun meningkat pada usia 55 tahun(2,6).
6. Obesitas
Salah satu faktor resiko yang paling kuat pada CKD adalah obesitas. Pasien
dengan BMI > 30 kg/ m2 memiliki resiko 3 – 4 kali lebih tinggi terjadi CKD. Obesitas
berperan pada patofisiologi CKD melalui inflamasi, stress oxidative, disfungsi
endotel, protombotik, hipovolemia, dan dan beragam adipokine(6).
7. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang menetap diatas
batas normal yaitu sistolik > 140 mmHg dan diastolik > 90 mmHg. Berdasarkan hasil

19
pengukuran tekanan darah pada Riskesdas 2013, prevalensi hipertensi pada penduduk
umur 18 tahun ke atas di Indonesia adalah sebesar 25,8%. Sedangkan yang
berdasarkan wawancara telah terdiagnosis hipertensi oleh dokter hanya 9,4%. Laju
perkembangan hipertensi progresif lambat yaitu 20-30 tahun. Hipertensi yang
berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –perubahan struktur pada arteriol
ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerotik) dinding pembuluh darah. Organ
sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal dan mata.
Pada ginjal arteriosklerosis lama menyebabkan nefrosklerosis benigna. Gangguan
ini merupakan akibat langsung karena iskemia yang disebabkan oleh penyempitan
lumen pembuluh darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil dan biasanya simetris
mempunyai permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula. Secara histologi lesi
yang esensial adalah sklerosis arteriol-arteriol dan yang paling nyata pada arteriol
aferen. Penyumbatan tersebut akan merusak gromerulus dan atrofi tubulus sehingga
nefron rusak.
Nefrosklerosis maligna merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan
perubahan struktural ginjal yang dikaitkan dengan fase maligna hipertensi esensial.
Ginjal dapat berukuran normal dengan sedikit granula dan beberapa petekie akibat
pecahnya arteriol atau dapat mengecil dan membentuk jarinngan parut. Secara
histologi ada 3 jenis lesi yaitu endateritis proliferasi, nekrosis fibrinoid dinding
arteriol dan nekrosisi fibrinoid rumbai gromerulus. Perubahan ini menghasilkan suatu
bentuk yang sering kali disebut sebagai kulit bawang. Lumen yang menyempit akan
mengakibatkan iskemia arteriol aferen dan pelepasan rennin yang akan semakin
meningkatkan tekanan darah. Bila tekanan darah tetap meningkat perubahan lokal
akan semakin meluas disertai pembentukan thrombus, perdarahan gromerulus, infrak
semua nefron dan kematian semua sel ginjal(4).
8. Diabetes mellitus
Nefropati diabetikum merupakan salah satu penyebab kematian terpenting pada
diabetes melitus yang lama. Diabetes melitus tipe II menyerang struktur dan fungsi
ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik adalah istilah yang mencakup semua
lesi yang terjadi di ginjal pada DM. Glomerulosklerosis adalah lesi yang paling khas
yang terjadi secara difus atau nodular. Glomerulsklerosis diabetik difus paling sering

20
terjadi terdiri dari penebalan difus mesangeal dengan bahan eosonofilik disertai
penebalan membrane basalis kapiler. Gromerolusklerotik nodular lebih jarang terjadi
namun sangat spesifik untuk penyakit ini terdiri dari bahan eosonofilik nodular yang
menumpuk dan biasanya terletak dalam perifer gromerulus di dalam inti lobus
kapiler, kelainan non gromerulus dalam nefropati diabetik adalah nefritis
tubointerstetial kronik, nekrosis papilaris, hialinosis arteri aferen eferen dan iskemia.
Riwayat perjalan nefropati diabetikum dan awitan hingga menjadi ESRD dapat
dibagi menjadi 5 fase yaitu (1) stadium 1, yaitu fase perubahan fungsional dini,
ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi ginjal. Biasanya ditemukan pada pasien
DM tipe 1 dan biasanya berkembang pada awal penyakit. Terjadi peningkatan GFR >
40% diatas normal yang disebabkan oleh glukosa darah yang tinggi, glucagon yang
abnormal, hormone pertumbuhan, efek rennin, angiotensin II dan prostaglandin.
Perubahan ini dapat menyebabkan gromerulosklerotik fokal. (2) stadium 2, fase
perubahan struktural dini, ditandai dengan penebalan membrane basalis kapiler
gromerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit bahan matriks mesangeal. Stadium
ini terjadi sekitar 5 tahun setelah awitan DM. kerasnya penebalan dan perluasan
mesangeal berkaitan dengan perkembangan proteinuria yang akan datang dan
penurunan fungsi ginjal. Penumpukan matriks dapat mengenai lumen kapiler
gromerulus menyebabkan iskemia dan dan menurunkan daerah permukaan filtrasi.
Hiperglikemia persisiten menjadi faktor terpenting dalam gromerulosklerosis
diabetik yang melibatkan beberapa mekanisme yaitu vasodilatasi dengan peningkatan
premeabilitas mikrosirkulasi yang menyebabakan peningkatn kebocoran zat terlarut
didalam dinding pembuluh darah: pembuangan glukosa melalui jalur polyol
menyebabkan penimbunan poyol dan penurunan komponen selular utama termasuk
gromerulus. (3) Stadium 3 fase nefropati insipient yang berkembang 10 tahun setelah
awitan DM. Tanda dari fase ini adalah adanya mikroalbuminuria yang menetap.
Mikroalbuminuria ditemukan pada 25% – 40 % pasien yang akan berkembang
menjadi stadium 4 dan 5.(4) Stadium 4, fase nefropati diabetik klinis ditandai dengan
adanya proteinnuria yang positif > 300 mg/ 24 jam dan penurunan GFR yang
progresif. Retinopati diabetik dan hipertensi selalu ada pada stadium 4. Stadium ini
muncul 15 tahun setelah awitan DM. (5) Stadium 5, fase kegagalan atau isufisiensi

21
ginjal ditamdai dengan azotemia disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat, yang
menyebabkan ESDR dan membutuhkan dialisis dan transplatasi ginjal(4).
9. Merokok

Merokok menyebabkan meningkatnya kejadian CKD melalui proinflamasi,


oxidative stress, protrombotik disfungsi endotel, gromerulosklerosis dan atrofi
tubular. Merokok > 20 batang perhari meningkatkan kejadian CKD. Dan merokok 5
batang perhari meningkatkan kadar creatinin > 0,3 mg/ dl(7).

Pasien dalam kasus ini seorang laki-laki usia 51 tahun telah


terdiagnosa CKD stage V 13/7/19 dan sekarang sedang menjalani
hemodialisa. Sebelum terdiagnosa CKD st V pasien sudah
memiliki faktor resiko riwayat Diabetes mellitus tipe 2 sejak 2008
dan dalam pengobatan insulin sejak tahun2018, hipertensi sejak
tahun 2018, dengan pengobatan yang tidak rutin

F. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pada CKD terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural
dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif. Perubahan fungsi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal
menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron yang masih utuh akan
mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi hiperfiltrasi dan peningkatan
aliran darah glomerulus. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria,
hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi (1):

22
1. Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi
eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan anemia
ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan
penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu CKD dapat menyebabkan gangguan
mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran
cerna. Adanya toksik uremik pada CKD akan mempengaruhi masa paruh dari sel
darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan
toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis(1).
2. Dyspnue dan Hipertensi
Adanya kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan
perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah
angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I
diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat
sehingga meningkatkan tekanan darah dan merangsang pelepasan aldosteron dan
ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air -> volume cairan berlebihan
volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) -> peningkatan tekanan LVH ->
ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer -> peningkatan tekanan vena
pulmonalis -> peningkatan tekanan kapiler paru -> edema paru -> sesak napas.
3. Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
4. Hiperurisemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah.
Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi
menyebabkan artritis gout.
5. Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida
natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila

23
fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis
akan meningkat.
6. Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat
banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan
bergabung dengan Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium
fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit yang bermanifestasi
menjadi artritis dan pruritus.
7. Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma
tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya di ginjal. Jadi meskipun terjadi
mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan
konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya
melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma
meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di
plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap
berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terusmenerus ini, kelenjar paratiroid
mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
8. Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat,
maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga
mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+
dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi
kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia.

24
Pada pasien ini berdasarkan anamnesis didapatkan sesak napas yang dialami
sejak 5 hari yang lalu, memberat ketika pasien sedang tidur dan sedikit membaik ketika
pasien duduk. Sesak napas ini mengganggu aktivitas dari pasien. Pasien juga
mengatakan memiliki riwayat DM tipe II sejak tahun 2008 dan mulai terapi insulin dari
tahun 2018, serta hipertensi sejak tahun 2018 dimana penyakit ini didapatkan sebelum
pasien terdiagnosa CKD st.V. berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD:
150/ 90 mmHg, konjungtiva anemis, pada paru didapatkan suara ronki pada basal
sinistra, ascites, shifting dullness (+), dan edema tungkai (+) dimana ini merupakan
salah satu tanda adanya kelebihan cairan dari pasien .

Pada pemeriksaan laboraturium didapakan Hb 8,4 g/ dl yang menunjukan


adanya anemia berat. Pada pemeriksaan elektrolit didapatkan K : 4,5 mmol/L
menandakan kalium yang mulai meningkan namun masih dalam batas normal. Dan
pada pemeriksaan asam urat didapatkan asam urat 6,1 mg/dl masih dalam batas
normal, dan pemeriksaan albumin 2,3 mg/dl menunjukkan bahwa pasien hipoalbumin

G. PENDEKATAN DIAGNOSIS
1. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : 1. Sesuai dengan
penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus (polidipsi, polifagia, polyuria,
pruritus, polyneuritis, berat badan menurun), infeksi / batu traktus urinarius,
hipertensi, SLE dan lainnya. 2. Sindroma uremia yaitu lemah, lethargi, anoreksia,
mual muntah, nokturia, volume kelebihan cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic
frost, pericarditis, kejang maupun koma. 3. Gejala komplikasi yang mungkin sudah
terjadi seperti anemia, hipertensi, CHF, asidosis dan gangguan elektrolit(1).
2. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi : 1. Sesuai dengan
penyakit yang mendasarinya. 2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar
ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG. 3. Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
asidosis metabolic. 4. Kelainan urinalisis meliputi albuminuria, proteinuria,
hematuria, leukosuria, epitel silinder, isostenuria(1).

25
3. Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi : 1. Foto polos abdomen,
bisa tanpak batu radio – opak 2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras
sering tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan 3.
Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi 4. Ultrasonografi ginjal bisa
memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi 5. Pemeriksaan pemindaian
ginjal atau renografi bila ada indikasi(1)
4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi biopsi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal mendekati normal, dimana diagnosis noninvasis tidak dapat ditegakan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan
terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang diberikan. Biosi ginjal
kontraindikasi pada ukuran ginjal yang sudah mengecil, polikistik ginjal, hipertensi
yang tidak terkontrol, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas dan
obesitas(1).

H. TATALAKSANA
Penatalaksaan CKD sesuai dengan derajadnya meliputi (1):
Derajat LFG Rencana penatalaksaan

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


perburukan fungsi ginjal, memperkecil resiko
kardiovaskular

2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan terapi penggantian ginjal

5 < 15 Terapi pengganti ginjal

26
1. Non Medikamentosa
a. Pengaturan asupan protein
- Pasien non dialisis 0,6 – 0,75 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien hemodialisis 1 – 1,2 gram/kgBB ideal/hari
- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
- Pasien dengan atau tanpa Dm dengan GFR < 30 ml/ mnt/ 1.73 m asupan
protein < 8 g/ kgbb/ hr
b. Pengaturan asupan kalori 35 Kal/kgBB ideal/hari
c. Pengaturan asupan lemak 30 – 40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang
sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh.
d. Pengaturan asupan karbohidrat 50 – 60% dari kalori total
e. Garam (NaCl) 2 – 3 gram/hari
f. Kalium 40 – 70 mEq/kgBB/hari
g. Fosfor 5 – 10 mg/kgBB/hari
h. Kalsium 1400 – 1600 mg/hari
i. Besi 10 – 18 mg/hari
j. Magnesium 200 – 300 mg/hari 20
k. Air dengan menghitung jumlah urin 24 jam ditambah 500 ml.

2. Medikamentosa
1. Hipertensi (8)
a. Modifikasi gaya hidup
- Kontrol berat badan BMI 20-25 kg/m2
- Asupan garam < 90 mmol ( 2 gramr) perhari
- Olahraga 30 menit selama 5 kali dalam seminggu
- Pembatasan konsumsi alcohol
b. Manajemen HT pada CKD tanpa DM
Pada pasien CKD tanpa diabetes target terapi adalah sistolik < 140 mmHg
dan diastolic < 90 mmHg digunakan obat golongan ACE-I atau ARB.

27
c. Manajemen HT pada CKD dengan DM
Pada pasien HT pada CKD dengan DM target terapi adalah sistolik < 140
mmHg dan diastolic < 90 mmHg digunakan obat golongan ACE-I atau ARB.
d. Manajement HT pada pasien transplatasi

Pada pasien HT dengan transplatasi ginjal dikatakan HT bila sistolik >


130 mmHg dan diastolic > 80 mmHg dan disarankan untuk menurunkan
tekanan darah < 130/80 mmHg digunakan calceneurin inhibitor.

2. Diabetes Melitus
Pasien DM kontrol gula darah dengan menghindari pemakaian metformin
dan obat sulfonylurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe
1 0,2 diatas nilai normal tertinggi dan untuk DM tipe 2 adalah 6%.
3. Anemia
Evaluasi terhadap anemia terjadi pada anemia dimulai saat kadar
hemoglobin < 10 g/ dl atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status
besi, mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan terjadinya
hemolisis dan sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditunjukan pada penyebab
utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan, pemberian EPO merupakan
hal yang dianjurkan . Dalam pemberian EPO, status besi harus selalu dapat
diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya
pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan secara hati-hati , berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantuan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan
secara tidak cermat dapat menyebabkan kelebihan cairan tubuh , hiperkalemia dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik
adalah 11-12 g/ dl.
4. Terapi Pengganti Ginjal
1. Hemodialisis
a. Indikasi untuk inisiasi terapi dialisis
Indikasi terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksikazotemia dan malnutrisi, tetapi terapi dialisis terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG).

28
Indikasi absolut: perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik,
bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak berespon dengan diuretik,
hipertensi refrakter, muntah persisten, BUN >120 mg% dan kreatinin >10
mg%.
Indikasi elektif: LFG antara 5-8 ml/min/1,73 m2, mual, anoreksia,
muntah dan asthenia berat
b. Persiapan untuk program dialisis regular
Setiap pasien yang akan menjalani program dialisis regular harus
mendapat informasi yang harus dipahami sendiri dan keluarganya.
Beberapa persiapan dialisis regular:
1. Sesi dialisis 3-4 kali per minggu (12-15 jam per minggu)
2. Psikologis yang stabil
3. Finansial cukup untuk program terapi dialisis regular selama waktu
tidak terbatas sebelum transplantasi ginjal
4. Pemeriksaan laboratorium dan perasat lainnya sesuai dengan jadwal
yang telah ditentukan. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menjamin
kualitas hidup optimal
5. Disiplin pribadi untuk menjalankan program terapi ajuvan:
a) Diet, pembatasan asupan cairan dan buah-buahan
b) Obat-oabtan yang diperlukan yang tidak terjangkau dialisis
6. Operasi A-V fistula dianjurkan pada saat kreatinin serum 7 mg%
terutama pasien wanita, pasien usia lanjut dan diabetes mellitus.
2. Peritoneal Dialisis
Sejak diperkenalkan kateter peritoneal yang permanen oleh PALMER
(1964), mesin dialisis peritoneal oleh BOEN (1962) maka Dialisis Peritoneal
(DP) mulai dikembangkan untuk pasien-pasien gagal ginjal kronik. Mesin DP
yang dirancang oleh TENCKHOFF (1969) mulai digunakan untuk dialisis di
rumah (home peritoneal dialysis). Pada saat ini mesin DP yang otomatis sudah
popular di pusat-pusat ginjal (renal centre) di luar negeri seperti Lasker
peritoneal automatic cycler (LASKER, 1971) danreverse osmosis (RO)
peritoneal dialisis (PD) machine (TENCKHOFF, 1972).Akhir-akhir ini sudah

29
popular Continous Ambulatory Peritoneal Dialisys (CAPD) di pusat ginjal di
luar negeri dan di Indonesia.Frekuensi dialisis peritoneal intermiten makin
meningkat.Di Amerika 2-3% dan Kanada 10% dari semua pasien yang
memerlukan dialisis peritoneal intermiten(1).
Indikasi medik CAPD:
- Pasien anak-anak dan orang tua, umur lebih dari 65 tahun
- Pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular,
missal infark miokard atau iskemi coroner
- Pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila
dilakukan hemodialisis
- Kesulitan pembuatan AV shunting
- Pasien dengan stroke
- Pasien GGT dengan residual urin masih cukup
- Pasien neuropati diabetik disertai ko-morbiditas dan ko-mortalitas
Indikasi non-medik:
- keinginan pasien sendiri
- tingkat intelektual tinggi untuk melaksanakan sendiri
- di daerah yang jauh dari pusat ginjal

30
Efek hemodialisis pada sindrom azotemia
Gambaran klinis Efek hemodialisis

Mual dan muntah Cepat menghilang

Anoreksia dan penurunan berat Umumnya akan kembali normal


badan

Pruritus Kadang-kadang hilang/menetap

Pigmentasi Cepat menghilang

Anemia normokrom normositer Pada permulaan HD terdapat penurunan Hb,


kemudian naik kembali

Kecenderungan perdarahan Biasanya dapat dikenalikan

Peka terhadap infeksi Sebagian hilang

Amenorrhe Periode laten cepat kembali, tetapi ovulasi jarang


kembali normal

Penurunan libido atau impotensi Mungkin terdapat perbaikan

Kejang Umumnya dapat dihindarkan

Kelainan psikis Perbaikan sembuh/memburuk

Kelainan EEG Kembali normal

Insomnia Seringkali menetap

Muscle twitching, restless syndrome Perbaikan

Neuropati perifer Perbaikan lambat

Kejang otot Menetap

Kalsifikasi metastatic Deposit-deposit kalsium pada jaringan hilang


tetapi kalsifikasi metastatik mengenai pembuluh

31
darah menjadi lebih buruk

Osteodistrofi renal Perbaikan/menetap/memburuk

Miopati Diikuti oleh kenaikan tulang

Peikarditis Tidak selalu dapat dihindarkan

Hipertensi Mungkin dapat dikontrol

Keuntungan program CAPD:


- Eliminasi toksin azotemia kontinu setiap hari, tidak fluktuasi seperti hemodialisis
- Jarang mendapat transfusi darah sehingga terhindar infeksi hepatitis B atau non-A
non-B
- Menghadapi kedaruratan medik dapat mengatasi sendiri berdasarkan panduan yang
telah ditetapkan:
1. Overhidrasi dengan bendungan paru akut
2. Hiperkalemia
3. Gejala dini peritonitis
- Pembatasan konsumsi air dan makanan tidak ketat
- Terhindar dari komplikasi toksin middle molekules dan angiotensin-H
- Pasien lebih bebas dalam tugas sehari-hari, tidak terikat jadwal hemodialisis di rumah
sakit
Kendala program CAPD di Indonesia:
- Biaya CAPD per bulan masih lebih mahal dari HD
- Sanitasi lingkungan dan tingkat pendidikan untuk sebagian besar pasien merupakan
faktor yang tidak menunjang program CAPD

3. Transplatasi Ginjal
Petimbangan program transplantasi ginjal:
- Ginjal cangkok dapat mengambil alih seluruh fungsi ginjal sedangkan hemodialisa
hanya mengambil alih 70-80% fungsi ginjal alamiah
- Kualitas hidup normal kembali
- Masa hidup (survival rate) lebih lama

32
- Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat
imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
- Biaya lebih murah dan dapat dibatasi
Persiapan program transplantasi ginjal:
- Pemeriksaan imunologi:
 Golongan darah ABO
 Tipe jaringan HLA (human leukocyte antigen)
- seleksi pasien (resipien) dan donor hidup keluarga
Pemeriksaan imunologi merupakan kunci keberhasilan program transplantas ginjal
- Golongan darah ABO
 Ketidak serasian golongan darah ABO antara resipien dan donor
menyebabkan reaksi penolakan hiperakut (hyperacute immediate rejection)
 Antigen rhesus tidak berperan untuk reaksi penolakan
- Tissue typing HLA (human leukocyte antigen)
Klasifikasi HLA berdasarkan (major histocompatibility gene complex):
 Kelas (I) antigen: HLA-A, HLA-B, HLA-C
 Kelas (II) antigen: HLA-D (DR)
Kontra indikasi mutlak:
- Golongan darah ABO tidak serasi
- Reaksi silang positif kecuali untuk B-cell atau D-locus
- Sitotoksik antibody resipien terhadap HLA antigen donor
- Infeksi aktif: disseminated histoplasmosis, Tuberkulosis paru, ISK akut atau kronik,
Hepatitis B
- Ulkus peptikum masih aktif
Kontra indikasi relatif:
- Untuk transplantasi ulang masih mengandung HLA donor sebagai penyebab reaksi
penolakan
- Antiglomerular basement membrane antibody
- Keganasan pada resipien dalam 2 tahun terakhir
- Keadaan umum resipien buruk: malnutri, debilitas
- Antibodi sitotoksik >50%

33
- Kelainan yang sulit dikoreksi dari kandung kencing dan atau uretra
- Divertikulosis
- Penyakit ulkus peptikum
- Donor mengandung antibody CMV (cytomegalovirus)

Pengobatan CKD pada pasien ini adalah dengan perencanaan hemodialisis


untuk pasien yang sudah dijalan sebanyak 2x pada masa perawatan di RS. Pada pasien
ini pasien mendapatkan tranfusi darah 1 bag PRC untuk terapi anemianya. Pasien juga
mendapatkan terapi insulin novorapid 3 x 6 IU untuk terapi DM tipe II , Pasien juga
mendapatkan terapi clonidin 3x 0,15 mg tab dan amlodipin 1x10 mg tab untuk terapi
hipertensi. Pasien juga mendapat asam folat untuk cegah komplikasi berupa
homosisteinemia dan lenal ace 2x1 tab sebgai fosfat bainder untuk mencegah
hiperfosfatemia sehingga mencegah terjadinya osteodistrofirenalis. Pasien juga
mendapatkna vip albumin 3 x 1 caps untuk pengobatan hipoalbuminemia. Pasien juga
mendapatkan terapi cairan 100 cc + furosemide 80 mg / 24 jam dan pembatasan cairan
untuk penganganan kelebihan cairan cairan pada pasien.

Perbandingan Teori Kasus

Penanganan Teori Kasus

Cairan Jumlah kebutuhan cairan pada Pada kasus urin outpun tidak
pasien dengan CKD adalah diketahui karena tidak ditampuung.
dengan menghitung urin IVFD NaCl 0,9 100 cc + furosemide
output + 500 cc . 80 mg / 24 jam untuk retriksi cairan.
Pada pasien dengan kelebihan
cairan cairan maka harus
dibatasi cairan dengan
menghitung balance cairan.

Transfusi Terapi pada pasien Anemia HB : 8,4 g/ dl


PRC pada CKD tg V adalah bila Tranfusi PRC 1 unit/ hari selama 4
kadar hb 10 g/ dl atau jam .
hematokrit < 30 % , dievaluasi Total tranfusi yang didapatkan 1

34
status besi . penatalaksaan bag. Taget terapi HB > 10 g/dl
terutama ditunjukan pada HB post tranfusi : 9,1 g/dl
penyebab utamanya. dikarenakan pasien mendapatkan
Pemberian eritropoetin selama transfusi hanya 1 bag saja. selain itu
hemodialisa . tranfusi darah pasien juga pulang dengan HB : 9,9 /
pada anemia harus hati-hati g/dl
kelebihan cairan tubuh sasaran
HB 11- 12 g/dl
Pengobatan - Dialisis : hemodialisis dan Hemodialisa rutin
CKD sg V peritoneal dialisis
- Transplatasi

Terapi Target terapi Hipertensi pada Mikardis 1 x 80 mg pagi


Hipertensi pasien dengan CKD 140/ 90 Clonidine 3x0,15mg
mg/ dl dan obat yang Amlodipin 1x 10 mg malam hari
digunakan bersifat
renoprotektif
Pengobatannya ACE-I atau
ARB ataupun kombinasi
ACE-I + CCB atau kombinasi
ARB + CCB
Terapi Penggunaan obat diabetes Novorapid 3 x 6 IU subkutan
Diabetes pada CKD yang harus sebelum makan
Melitus tipe diperhatikan adalah
II penyusuaian dosis
Dapat diberikan insulin
dengan waktu paruh pendek
dengan dosis yang lebih tinggi
karena pada CKD dapat
mempepanjang waktu paruh
insulin. Target HbA1C untuk

35
DM tipe 1 0,2 diatas nilai
normal tertinggi dan untuk
DM tipe 2 adalah 6%, kadar
gula preprandial 90-130 mg/dl
dan postprandial < 180 mg/dl.
Terapi 1.Hiperosmosistemia 1. Asam folat 2 x1 tab
komplikasi 2. Lenal ace (CaCo3 2x1 tab
2.Osteodistrofi renal :

Pengobatan osteodistrofi renal


adalah dengan pencegahan
hiperfosfatemia dengan
pembatasan fosfat, pemberian
pengikat fosfat

3.Hiperurisemia :

Pengobatan hiperuresemia
pada penyakit ginjal adalah
alopurinol obat ini
mengurangi kadar asam urat
total yang dihasilkan oleh
tubuh.

I. KOMPLIKASI
1. Gangguan cairan dan elektrolit
2. Asidosis metabolic
3. CHF
4. Anemia
5. Osteodistrofi renal
6. Neuropati perifer dan ensefalopati

36
J. PROGNOSIS
Prognosis pasien dapat diukur dengan melihat penyebab / etiologi dari CKD,
tingkat GFR, tingkat ACR, dan faktor komorbid pasien yang dapat disimpulkan pada
tabel berikut(3).

sumber : Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 4th Report Of Indonesian Renal


Registry. Jakarta : 2011

Pada pasien didapatkan LGF : 8,148 ml/mnt/1,73 m2 prognosis


pada pasien ini adalah resiko BAB
sangat
IVtinggi.

37
PENUTUP

Telah dilaporkan pasien seorang laki –laki usia 51 tahun datang dengan keluhan sesak
napas sejak 5 hari yang lalu.pasien memiliki riwayat DM sejak tahun 2008 dengan pengobatan
insulin ( Novorapid 3x6 IU ) sejak tahun 2018, pengobatan ini dilakukan pasien secara rutin,
sedangkan riwayat hipertensi dialami pasien sejak tahun 2018 dengan pengobatan amlodipin
1x10mg yang dikonsumsi tidak teratur. Sebelumnya pasien tidak memiliki riwayat gagal ginjal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis , ronki pada basal paru sinistra, asites,
dan juga edema tungkai yang menandakan adanya anemia dan kelebihan cairan cairan yang
terjadi pada pasien. Kelebihan cairan cairan yang terjadi pada pasien CKD kerena kelebihan
mengkonsumsi cairan sehinggah terjadi penumpukan cairan dalam tubuh. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan HB 8,4 g/dl, GDP 149 mg/ dl menunjukan adanya hiperglikemik dan
anemia, K: 4,5 mmol/L , asam urat : 6,1 mg/dl, albumin 2,3 mg/ dl. Pada pemeriksaann rontgen
thorax didapatkan kardiomegali dan post efusi pleura dextra dan sinitsra . Pada pemeriksaan
USG didapatkan kesan Chronic Kidney Diseases, ascites ringan, post efusi plura dextra dan
sinistrs. Dari pemeriksaan fisik dan penunjang menunjukan adanya komplikasi yang sebabkan
Oleh CKD yaitu anemia, hiperkalemia, hipoalbuminemia, kelebihan cairan sehingga
menyebabkan edema tungkai dan post efusi paru. Penanganan yang diberikan pada pasien ini
adalah pengurangi cairan , Hemodialisa , pengobatan komplikasi , serta mengontrol faktor resiko.
Setelah 8 hari perawatan pasien diperbolehkan pulang dan rawat jalan di poliklinik interna
RSUD Prof. W. Z. Johanes.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi VI. Jakarta :
Interna Publishing Pusat Penertiban Ilmu Penyakit Dalam. 2014
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset Kesehatan
Dasar; RISKEDAS. Jakarta: 2013
3. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. 4th Report Of Indonesian Renal Registry. Jakarta :
2011
4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses penyakit. Edisi: 6.
Jilid II. EGC; Jakarta: 2013
5. Kerry W. dkk. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. Official JOurnal Of the internatiOnal
Society Of nephrology. Volume : 3. 2013
6. Rumeyza K. Risk faktors for chronic kidney disease: an update. Kidney International
Supplement . International Society of Nephrology. 2013

39

Anda mungkin juga menyukai