Laporan Tutor
Laporan Tutor
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi dari lupus
2. Mengetahui etiologi dari Lupus
3. Mengetahui epidemiologi lupus
4. Mengetahui tanda dan gejala dari Lupus
5. Mengetahui klasifikasi dari lupus
6. Mengetahui patofisiologi dari lupus
7. Mengetahui komplikasi dari lupus
8. Mengetahui pemeriksaan diagnostik dari lupus
9. Mengetahui penatalaksanaan dari lupus
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh
membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen
nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. (Gaya
Leon L.,et al,2017)
3
hormonal serta lingkungan diduga berperandalam pato isiologi SLE.
(Perhimpunan Rheumatologi Indonesia,2011)
2.2 ETIOLOGI
Para dokter dan peneliti belum dapat mengetahui secara pasti apa yang
menyebabkan penyakit ini. Hereditas memegang peranan yang cukup besar,
karena jika kita memiliki kerabat yang menderita SLE ada potensi pada tubuh
kita untuk menderita SLE. Namun faktor gen ini bukan satu-satunya
penyebab, karena sepertinya timbulnya penyakit ini dipicu dengan cara yang
belum diketahui. Beberapa pemicu yang banyak diajukan oleh peneliti sebagai
pemicu SLE diantaranya adalah infeksi virus, stress, diet, toksin, termasuk
beberapa jenis obat-obatan yang diresepkan dokter. Pemicu-pemicu ini,
sedikit dapat menjelaskan mengapa penyakit ini timbul dan hilang silih
berganti.
4
dan menyerang tubuh sendiri. Mekanisme pertama yang dicurigai sebagai
penyebab SLE adalah faktor genetis. Beberapa gen yang paling penting dalam
kejadian SLE adalah yang terdapat pada Major Histocompatibility Complex
(MHC). Gen-gen ini berhubungan dengan respons imun pada sel limfosit T, sel B,
makrofag dan sel dendritik, karena mengkode peptida pada molekul reseptor di
permukaan sel (Rahman & Isenberg,2008).
b. Faktor Hormonal dan etnik
Dalam beberapa jurnal juga disebutkan bahwa salah satu penyebab atau
bisa dibilang dengan salah satu factor resiko pemicu terjadinya SLE adalah jenis
kelamin dan etnik. Menurut X Bosch, 2011 menyebutkan bahwa lupus merupakan
penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dengan usia antara 15–45
tahun. Perbandingan risiko antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Hal ini
berhubungan dengan hormon yang terdapat pada wanita yakni hormon estrogen.
Etnik juga menjadi salah satu faktor risiko terkena lupus. Mereka yang memiliki
kulit gelap seperti penduduk asia, penduduk asli amerika dan hispanik memiliki
risiko lebih besar terserang Lupus dibandingkan mereka yang berkulit putih.
c. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu munculnya SLE
diantaranya adalah sinar ultraviolet,infeksi,makanan,stress, obat-obatan antibiotic
(terutama golongan sulfa dan penicillin)atau obat-obatan lain, merokok,paparan
kristal silliaka dan virus yaitu Epstein-Barr Virus (EBV). Stimuli ini
menyebabkan kerusakan sel dan menyebabkan DNA, histon dan protein lain
terutama bagian-bagian yang ada di dalam inti sel terekspos. Karena variasi
genetik dalam komponen imun sistem yang berbeda, pada beberapa orang sistem
imun menyerang protein yang berhubungan dengan inti sel dan membentuk
antibodi untuk menyerang mereka. Akhirnya, kompleks antibodi ini merusak
pembuluh darah di area kritis tubuh, seperti glomerulus pada ginjal, dan
menyebabkan SLE.
5
2.3 EPIDEMOLOGI
Lupus telah diderita setidaknya oleh lima juta orang di seluruh dunia.
Lupus dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun 90% dari orang
yang terdiagnosis lupus adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 15-44
tahun. 70% kasus lupus berupa SLE (Systemic Lupus Erythematosus), 10%
berupa CLE (CutaneousLupus Erythematosus), 10% berupa drug-induced
lupus, dan 5% lainnya berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus Foundation 2012).
Di Indonesia, estimasi jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu orang,
perbandingan jumlah penderita lupus pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga
lupus sering disebut penyakit kaum wanita. Tren penyakit lupus di negara kita
terusmenunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Yayasan Lupus Indonesia
2012;Utomo 2012).
Sebagian besar pasien SLE anak berjenis kelamin perempuan dengan
rentang usia terbanyak pada 11- 15 tahun. Serupa dengan penelitian
Kisaarlan,2014 yang melaporkan bahwa pasien SLE terbanyak adalah anak
perempuan, dengan rerata umur 13±2,95 tahun.
Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun pertama
dan 53-64% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE
ini 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.SLE memberi pengaruh
terhadap kehamilan diantaranya dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas
fetus, kelahiran preterm, Intrauterine Growth Restriction (IUGR). (R Vagelli.
et al,2017)
6
maka tidak sembarangan untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus.
Akibat gejalanya mirip dengan gejala penyakit lainnya, maka lupus dijuluki
sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si penyakit seribu wajah.
Karena itu, biasanya pasien melakukan shopping doctor (berpindah-pindah
dokter) sebelum diagnosis penyakitnya dapat ditegakkan.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SLE merupakan penyakit
multisistem.. Walaupun tanda-tanda tertentu mungkin lebih sering terjadi
daripada yang lain, setiap pasien memberikan tanda-tanda yang berbeda dan
perjalanan penyakit tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut, SLE merupakan
penyakit yang tidak tetap dan pada kebanyakan pasien terjadi fluktuasi selama
perjalanan penyakit (Dipiro et al., 2008).
Tanda-tanda dan gejala-gejala non spesifik seperti kelelahan, demam,
anoreksia, dan penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan
penyakit yang aktif. Keterlibatan muskuloskeletal (seperti arthalgia, mialgia,
arthritis) sangat umum terjadi pada pasien SLE dengan seringnya arthritis dan
arthralgia sebagai keluhan utama pada awal penyakit. Sendi-sendi pada tubuh
dapat terpengaruhi dan terjadi secara berulang dalam jangka waktu yang
pendek, yang sebagian besar terlihat seperti sendi kaku dan peradangan
(Dipiro et al., 2008).
Manifestasi pada kulit dan membran mukosa merupakan gejala yang
terjadi hampir sama seringnya seperti yang melibatkan sistem
muskuloskeletal. Yang paling umum dari manifestasi ini adalah butterfly
rash, yang terjadi dari atas hidung dan malar eminences. Butterfly rash
muncul pada setengah dari pasien dan sering diamati setelah terpapar
matahari. Faktanya, fotosensitifitas umum terjadi pada pasien SLE dengan
gejala manifestasi kulit. Karakteristik lesi pada kulit dari lupus diskoid terjadi
pada 10%-20% pasien dengan SLE dan mungkin terjadi tanpa bukti klinis
atau serologis lainnya dari lupus. Beberapa individu mengatakan untuk
mengembangkan lupus kulit subakut, sifat lesi yang terlihat seperti diskoid
7
(salah satu tipe lupus erythematosus kulit yang kronik) dan butterfly rash
(salah satu contoh lupus erythematosus kulit yang akut). Manifestasi kulit
lainnya termasuk vaskulitis (yang mungkin ulceratif), livedo reticularis,
periungual erythema, Raynaud’s phenomenon dan alopesia (Dipiro et al.,
2008).
Sumber gejala yang lain pada SLE adalah sistem pulmonari dengan
manifestasi seperti pleurisi, batuk dan dispnea. Pleurisi dapat menghasilkan
nyeri pleuritik, pleural rub, dan efusi pleura yang biasanya bersifat eksudatif.
Lupus pneumonitis dapat menjadi akut dengan demam, dispnea, takipnea,
batuk dan patchy infiltrates atau kronik dengan fibrosis interstitial. Lupus
pnemonitis merupakan manifestasi yang tidak biasa dari SLE dan memiliki
sedikit prognosis (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi jantung dari SLE sering terjadi seperti perikarditis,
miokarditis, perubahan electrocardiographic (ECG) atau penyakit katup
jantung, termasuk lesi jantung dari Libman-Sacks endocarditis (nonbacterial
verrucous endocarditis). Diperkirakan bahwa perkembangan penyakit jantung
pada pasien ini adalah multifaktorial. Hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia
biasa terjadi pada pasien dengan SLE. Terapi kortikosteroid dan didasari dari
penyakit ginjal dapat memberikan kontribusi beberapa faktor dalam
pengembangan faktor risiko penyakit jantung (Dipiro et al., 2008).
Manifestasi neuropsychiatric dari SLE dapat terlihat dalam berbagai
cara, termasuk psikosis, depresi, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan
kognitif, dan lain-lain. Psikosis terlihat pada 12% pasien dengan SLE, dan
depresi berat dianggap lebih berkaitan dengan penyakit daripada depresi
reaktif (Dipiro et al., 2008).
Gejala yang berkaitan dengan manifestasi gastrointestinal sering tidak
spesifik untuk lupus dan termasuk dispepsia, nyeri abdominal, mual, dan
susah menelan. Vaskulitis mesenterika mungkin akan bermasalah, terutama
jika terjadi perforasi arteri. Hepatomegali dapat terjadi pada beberapa pasien,
8
meskipun gangguan fungsi hati tidak karakteristik untuk penyakit lupus.
Pankreatitis juga dapat terjadi pada pasien dengan SLE (Dipiro et al., 2008).
9
Ginjal 31-65
Gastrointestinal
Mual 7-53
Nyeri abdominal 8-34
Perdarahan usus (vaskulitis) 1-6
Hepatomegali 25
Splenomegali 10-20
Hematologik
Anemia 30-78
Leukopenia 35-66
Trombositopenia 7-30
Limfadenopati 10-59
(Dipiro et al., 2008)
Anemia ditemukan pada banyak pasien dengan SLE. Hal ini biasanya
berupa anemia dengan inflamasi kronik dengan normochronic ringan, noda
normositik dan serum besi yang rendah namun menyimpan cukup zat besi.
Beberapa pasien dapat mengembangkan anemia hemolitik dengan uji Coomb
positif. Leukopenia biasanya ringan, terjadi kira-kira pada setengah pasien
SLE. Granulosit dan limfosit, keduanya mungkin terpengaruh tetapi biasanya
terjadi penurunan jumlah yang sangat besar dari granulosit. Jumlah absolut
dari limfosit T dan limfosit B menurun. Trombositopenia dapat terjadi pada
SLE dan biasanya disebabkan oleh antiplatelet antibodi yang menyebabkan
terjadinya proses fagositosis oleh makrofag dalam limpa, hati, node limpa,
dan sumsum tulang (Dipiro et al., 2008).
Hal-hal signifikan lainnya yang ditemukan berkaitan dengan SLE
yaitu adanya antibodi antifosfolipid seperti lupus antikoagulan (LA) dan
antibodi anticardiolipin. Walaupun LA ditujukan terhadap kompleks aktivator
10
protrombin dan menyiratkan potensi perdarahan, hal ini bukan
permasalahannya. Faktanya, kehadiran LA, anticardiolipin, atau antibodi
antifosfolipid lainnya mungkin berkaitan dengan thrombosis, penyakit
neorologik, trombositopenia, dan keguguran. Trombotik terjadi pada lebih
dari 10% pasien dengan SLE. Tidak semua pasien dengan sindrom
antifosfolipid memiliki lupus. Jika pasien tidak memiliki penyakit autoimun
secara bersamaan, hal ini merupakan sindrom primer. Sedangkan jika pasien
sudah memiliki SLE, hal ini merupakan sindrom sekunder (Dipiro et al.,
2008).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE
harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan
singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya
jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya.
3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar
matahari
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini
dijumpai pada 90% odapus.
8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan
lain-lain.
11
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit
berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia
Diagnosis Banding
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (yang dengan ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat (DILE)
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis
Pada Odapus atau orang dengan lupus juga mengalami perubahan fisik
(pertambahan/penurunan berat badan, moon face, munculnya jerawat, rambut
rontok, adanya rambut halus pada wajah) mengakibatkan penurunan kepuasan
pada citra diri penderita SLE. Kekhawatiran yang palingbanyak dirasakan
oleh penderita adalah mengenai penampilan dan penambahan berat badan
yang mereka alami selama proses pengobatan (Hale dkk, 2014). P Penderita
12
SLE tidak hanya mengalami perubahan fisik sebagai akibat dari SLE yang
mereka derita, namun mereka juga mengalami penurunan pada kesehatan fisik
secara signifikan. Penderita SLE terpaksa melepaskan pekerjaan yang mereka
miliki karena sulitnya menyelesaikan pekerjaan dengan kondisi kesehatan
fisik yang mereka miliki. (McElhone, dkk., 2010).Segala perubahan kondisi
yang harus dialami penderita SLE baik pada aspek lingkungan seperti
dukungan sosial, aspek fisik dan aspek emotional mengakibatkan adanya
perubahan pada kualitas hidup mereka.
2.5 KLASIFIKASI
13
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini
direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut
(Joe, 2009).
Sedangkan menurut derajat berat ringannya penyakit :
1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh: SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit.
2. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50×103/mm3)
c. Serositis mayor
3. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
14
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh
(blister).
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, monon
g. euritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
h. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia (< 20.000/mm3) , purpura
trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
1. Neonatal Lupus: Keadaan yang sangat jarang terjadi, dimana jika seorang
wanita Lupus dengan anti-Ro (SSA) positif dan melahirkan bayi dengan
ruam lupus sementara atau congenital heart block. Ini bukan lupus yang
sesungguhnya.
2. Lupus Laten atau Lupus inkomplit, ditegakkan apabila: seorang penderita
memperlihatkan hanya 1 atau 2 kriteria Klasifikasi ACR, ditambah gejala
klinis lain yang jarang ditemukan (dan tidak masuk kriteria). Dengan hasil
Laboratorium penunjang LED meningkat, RF (+), prothrombin time
meningkat, transaminase meningkat. Penyakit ini biasanya ringan.
3. Sindroma Antifosfolipid (APS): 11% SLE mengalami APS, dimana
terjadi keadaan yang hiperkoagulabel sehingga terjadi kecenderungan
tombosis. Dapat menyebabkan stroke, keguguran berulang.
4. Lupus dan kehamilan: Fertilitas pasie SLE adalah normal. Tetapi hanya
67% mengalami kehamilan yang berhasil. Oleh karena itu pasien SLE
yang boleh hamil adalah yang remisi selama paling tidak 6 bulan. Obat
yang relatif aman untuk SLE dalam kehamilan: kortikosteroid, antimalaria
(klorokuin), dan azathioprin (imuran).
15
2.6 PATHOFISIOLOGI
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan
aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang imun. Aktivasi sel T dan sel B
disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari
luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding
sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. Antigen ini
dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi
pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi
peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan.
Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B
untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T
serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-
4 (Joe, 2009).
Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2.
sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity, sedangkan Th2
menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada
pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel
Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu cell-mediated
immunity.
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa
berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan
pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T.
Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa
gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B
terjadi seiring dengan limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T.
Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya
hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas self-antigen.
Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1
menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel
16
B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit
dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset
yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai
dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan
CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan
menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang
jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut
sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan
kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua
subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-)
mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Joe, 2009). Ciri khas
autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan
tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga
menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme
yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam
membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen
jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan
teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah
autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen
yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan
berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi
belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Joe, 2009).
Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens
kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan up-take kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks
imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang
inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan
FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen
17
C1, C2, C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan
antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada
berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang
menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang.
Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ
atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus,
kulit, dan sebagainya (Joe, 2009).
Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat
menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti
klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan
jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami
apoptosis melalui kondensasi dan fragmentasi inti serta kontraksi
sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam
membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel.
Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen
komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor
membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4),
reseptor αVβ3, CD36, CD14, lektin, dan mannose receptor (MR) yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi ad
alah ikatan dengan autoantibodi yang kemudian akan berinteraksi dengan
reseptor FcγR yang akan menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain
gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga
terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2
(Joe, 2009)
Jadi intinya adalah penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan.
Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor
genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
18
terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan
seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan
siklus tersebut berulang kembali.
2.7 KOMPLIKASI
Berikut ini beberapa komplikasi dari SLE :
1. Penyakit Ginjal
Satu dari setiap tiga penderita SLE akan mengalami penyakit ginjal lupus
nephritis yang berpotensi menjadi serius dan disebabkan oleh peradangan
dalam jangka waktu yang lama pada ginjal. Lupus nephritis seringkali
terjadi di awal keberadaan penyakit SLE, biasanya dalam jangka waktu
lima tahun dari sejak diagnosis lupus. Gejala dari penyakit ini dapat
dideteksi dari adanya pembengkakan pada kaki atau oedema, gejala sakit
kepala, pusing, campuran darah dalam urin, hingga dorongan untuk
berkemih secara lebih sering.
Mereka yang menderita komplikasi ginjal ini biasanya juga akan
mengalami kondisi hipertensi yang dapat mengakibatkan serangan jantung
maupun stroke. Penderitanya harus melakukan cek darah secara rutin
untuk memonitor kondisi ginjal dan harus minum obat pengontrol seperti
immunosuppressants semacam mycophenolate mofetil atau
cyclophosphamide. Cuci darah ginjal atau transplantasi ginjal hanya akan
diperlukan pada kondisi lupus nephritis yang terlampau parah.
19
2. Penyakit Jantung
Penderita lupus SLE biasanya cenderung akan mengalami penyakit
jantung yang dapat menyebabkan jantung dan arteri meradang dan rusak.
Penderita lupus dapat mengurangi risiko mengalami penyakit jantung
dengan mengadaptasi gaya hidup yang lebih sehat, seperti berhenti
merokok, mengonsumsi makanan sehat dan seimbang, rendah lemak,
gula dan garam, mengonsumsi buah dan sayuran, menjaga keseimbangan
berat badan, rajin berolahraga serta mengurangi konsumsi alkohol.
3. Komplikasi Kehamilan
Lupus pada wanita biasanya tidak akan menyebabkan kondisi tidak
subur, namun jelas dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi
ketika kehamilan. Berbagai komplikasi kehamilan meliputi pre-eklamsia,
kelahiran prematur, keguguran, hingga kematian bayi baru lahir. Bayi
yang lahir dari penderita lupus terkadang juga mengalami kondisi
penyumbatan pada jantung yang menyebabkan adanya gangguan pada
detak jantung, serta mengalami ruam pada kulit. Kondisi ini dikenal
sebagai sindrom neonatal lupus. Para penderita lupus yang ingin memiliki
keturunan perlu merencanakan kehamilan dengan saksama bersama dokter
kandungan. Saat gejala lupus sedang ada dalam kondisi serius, kehamilan
menjadi lebih berisiko sehingga sebaiknya ditunda dulu sampai kondisi
membaik dan gejala lupus menjadi lebih terkontrol. Jika kehamilan
terjadi, kehamilan penderita lupus harus benar-benar dimonitor oleh
spesialis dan dokter kandungan agar masalah apapun yang terjadi pada
kandungan dapat dideteksi dini.
20
2.8 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
21
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan
Monitoring
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)*
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro•il lipid)*
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax
7. pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk
monitoring.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin
time
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien.
22
Pemeriksaan Serologi pada SLE.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis
SLE adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA
dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah
pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-
100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain
yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis
(tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease
(MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada
orangnormal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak
diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE
seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA
pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang
mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan
setelah tes ANA positif adalah tes antibody terhadap antigen nuklear spesi ik,
termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo.
Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA
merupakan tes spesi ik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan
spesiitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti
menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika
titernya sangat rendahmungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE.Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat
23
digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk
SLE.Seperti anti-dsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan
diagnosis.
Rekomendasi
1. Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesi!ik untuk SLE
2. Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
3. Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak
4. menyingkirkan diagnosis SLE (Perhimpunan Rheumatologi
Indonesia,2011)
2.9 PENATALAKSANAAN
1. Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini
seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari
dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli
reumatologi.
2. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
a) Edukasi dan konseling
b) Program rehabilitasi
c) Pengobatan medikamentosa
1) OAINS
2) Anti malaria
3) Steroid
4) Imunosupresan / Sitotoksik
5) Terapi lain
24
Edukasi / Konseling
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu
maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,mengatasi rasa
nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu
tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka
panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya
termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok
pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan
sebagainya.
Program Rehabilitasi
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
1. Istirahat
2. Terapi •fisik
3. Terapi dengan modalitas
4. Ortotik
5. Lain-lain.
25
Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta
pemantauannya, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4
Tabel 4. Jenis dan Dosis Obat Yang Dapat Dipakai pada SLE
26
(Perhimpunan Rheumathologi Indonesia,2011)
Rekomendasi
1. Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan
medika mentosa
2. Pemberian terapi kotrikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan,
dosis dan efek samping perlu diperhatikan
3. Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan
menurunkan dosis kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar dan mengurangi
efek samping KS.
27
Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.
Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE
mencakup:
1. Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5
hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik,
nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang
refrakter dengan terapi konvensional.
2. Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus
serberitis.
3. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
4. Danazol pada trombositopenia refrakter.
5. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff ect
pada SLE ringan.39
6. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
7. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
8. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum
tersedia di Indonesia)
9. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan
CD40(CD40LmAb).
10. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
Rekomendasi
1. Terapi SLE Berdasarkan Berat Ringannya SLE Tersebut
2. Lihat Algoritma Terapi SLE
28
BAB 3
TINJAUAN KASUS
KASUS 3
Hasil pemeriksaan lab: Hb: 9,9 g/dl, hematokrit 30 g/dl, leukosit 3,7
rb/ul, trombosit 166.000/ul dan LED 44 mm. Dari hasil pemeriksaan SGOT
95 g/dl, SGPT 42, albumin 3,20 g/dl, globulin 2,90 g/dl, ureum darah 11
mg/dl, kreatinin darah 0,2 mg/dl. Hasil Urinalisa menunjukkan epitel positif
(+), protein urin kuantitatif 229 mg/24 jam dan hasil pemeriksaan double
stranded DNA menunjukkan hasil positif.
29
STEP 1 : IDENTIFIKASI ISTILAH ASING
1. Butterfly rash
2. T-face
3. Ureum darah
4. SGOT
5. Double stranded DNA
6. Syrup lactulax
7. Protein urin kuantitatif
8. maftin
9. sunblock SDF 30
10. omefrazole
jawaban :
1. ruam berbentuk merah “kupu-kupu” di pipi di bawah mata. Ini bisa berupa
ruam datar atau ruam timbul. ... Fotosensitivitas: Ruam timbul sebagai
respons terhadap paparan sinar matahari.
2. Sunprotection factor, krim yang bertujuan untuk melindungi kulitdari
sinar matahari
3. Definisi, Nilai Normal, dan Nilai Tidak Normal. Blood Urea Nitrogen
atau ureum adalah produk limbah hasil metabolisme protein yang bersifat
racun bagi tubuh. Kadar ureum darah perlu diuji melalui tes Blood Urea
Nitrogen (BUN) untuk mengetahui nilai ureum normal atau tidak.
4. SGOT yaitu suatu enzim yang terdapat di dalam sel hati. Ketika sel hati
mengalami kerusakan, maka enzim ini akan keluar dan mengalir ke dalam
aliran darah
5. Pemeriksaan rantai ganda dna yang bertujuan untuk melihat seseorng
terkena lupus
30
6. LACTULAX SIRUP mengandung lactulosa yang merupakan gula yang
tidak terserap dan memiliki aroma rasa cokelat. Lactulax Sirup bekerja
dengan cara menarik cairan ke dalam tubuh agar feses menjadi lebih
lunak, mengubah keasaman feses, serta membantu mencegah
pertumbuhan bakteri dalam usus.
7. roteinuria, juga dikenal sebagai protein di dalam urin, adalah kondisi di
mana urin atau air kencing Anda mengandung jumlah protein yang tidak
normal. Kondisi ini sering kali merupakan pertanda dari penyakit ginjal.
8. Obat sesak nafas yang di sebab kan oleh penyakit obsttrusi saluran
pernafasan
9. Krim yang bertujuan melindungi kulit dari matahari
10. Omeprazol adalah obat yang digunakan dalam pengobatan penyakit
refluks gastroesofagus, ulkus peptikum, dan sindrom Zollinger-Ellison.
Obat ini juga digunakan untuk mencegah perdarahan saluran cerna atas
pada orang yang berisiko tinggi. Obat dapat diminum atau disuntikkan ke
pembuluh darah.
31
9. Kenepa nyeri sendi lebih terasa pada pagi hari sebelum bangun tidur?
10. Kenapa pada kasus di berikan omeprazole padahal pada kasus tidak ada
keluhan itu?
1. Butterfly Rash merupakan ciri khusus pada penderita lupus yang ditandai
ruam merah berbentuk menyerupai kupu-kupu di daerah kedua pipi dan
ruam bisa juga muncul pada kulit badan , proses munculnya butterfly rash
karna kulit mengalami sensitifitas terhadap cahaya , jika penderita lupus
terkena cahaya butterfly rash akan tampak lebih merah dan meruam di
wajah.
3. LO
32
sendiri , karena lupus ini berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh maka
demam pada anak hilang timbul dan merupakan gejala pada lupus.
5. Rambut rontok pada penderita lupus merupakan gejala yang paling umum
pada penderita lupus , menipisnya permukaan rambut dan kerontokan
disebabkan karnakadar tiroid pada tubuh penderita terlalu rendah sehingga
mengalami kerontokan pada rambut penderita.
6. Hasil pemeriksaan Laboratorium
a. Hemoglobin ( rendah )
b. Hematokrit ( rendah )
c. Leukosit ( rendah )
d. Trombosit ( normal )
e. LED ( tinggi )
f. SGOT ( tinggi )
g. SGPT ( tinggi )
h. Albumin ( rendah )
i. Globulin ( rendah )
7. Nyeri sendi yang dialami anak pada penderita lupus disebabkan karna
peredaran darah yang melambat , peredaran darah melambat tersebut juga
merupakan tanda dan gejala dari lupus itu sendiri
8. Tindakan keperawatan untuk menghilangkan nyeri pada anak ada teknik
relaksasi dan teknik distraksi yang dapat mengalihkan perhatian anak
terhadap nyeri tersebut dengan mengajak anak bercerita tentang hobi dan
kesukaan nya lalu mengajak anak bermain hal yang disukai nya , bisa juga
berkolaborasi dengan tim dokter untuk pemberian terapi analgesik pada
anak tersebut.
9. Nyeri sendi pada penderita lupus lebih terasa saat pagi hari karena pada
pagi hari sendi-sendi pada tubuh kaku karna pada pagi hari pergerakan
tubuh masih sedikit sehingga sendi menjadi kaku karna lambatnya
peredaran darah pada sendi tubuh penderita lupus tersebut.
33
10. Anak diberikan omeprazole dikarenakan omeprazole berfungsi untuk
meredakan sakit lambung atau tukak lambung yang menjadi efek samping
dari obat ibuprofen yang juga diberikan pada anak tersebut , ibuprofen
memiliki efek samping yaitu tukak lambung.
34
STEP 4 : MIND MAPPING
LUPUS
35
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : An.M
Umur : 13 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat tanggal lahir :-
Agama :-
Pendidikan :-
Pekerjaan :-
Alamat :-
Suku/bangsa :-
4. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang
Pasien tampak butterfly rash pada wajah dan pada daerah T-
0
face,ekstremitas teraba hangat dengan suhu 38 C.Klien masih merasa
nyeri sendi seluruh tubuhnya dengan skala 7,nyeri sendi yang dirasakan
36
terasa lebih nyeri pagi hari saat bangun tidur.Pada seluruh tubuh tampak
rash.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pasien dirawat sejak 5 hari yang lalu,demam dirasakan hilang timbul,klien
mengeluh lemas,sendi terasa nyeri,rambut rontok sejak 3 minggu yang lalu.
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak terkaji
37
6. Pemeriksaan penunjang
a. Albumin : 3,20 g/dl
b. Hemoglobin : 9,9 gr/dl
c. Leukosit : 3,7 rb /ul
d. Hematokrit : 30 g/dl
e. LED : 44 mm
f. Trombosit : 166.000/ul
g. SGOT : 95 g/dl
h. SGPT : 42 g/dl
i. Globulin : 2.90 g/dl
j. Ureum darah : 11 mg/dl
k. Kreatinin darah : 0,2 mg/dl
l. Epitel positif : (+)
m. Protein urine kuantitatif :229 mg/24 jam
n. Double stranded DNA menunjukkan hasil positif.
7. Terapi
a. Infus kaen 1B : 20 tpm
b. Ibuprofen : 3 x 400 mg
c. Omeprazole : 1 x 40 mg
d. Meftin syrup : 2x 5 ml
e. Lactulax syrup : 3x 5 ml
f. Sunblock SPF : 30.
38
Analisa Data
39
9. LED 44 mm
40
5. Leukosit 3,7 rb/ul
6. Trombosit 166.000/ul
7. LED 44 mm
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d kerusakan integritas tulang
2. Gangguan citra tubuh b.d penyakit lupus
3. Hipertermi b.d proses penyakit lupus
4. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan fungsi barrier kulit, penumpukan
kompleks imun
5. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri pada sendi
C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi
kriteria hasil
1. 1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Laksanakan sejumlah tindakan
b.d tindakan yang memberikan kenyamanan
kerusakan keperawatan 3 x (kompres hangat/dingin,perubahan
integritas 24 jam diharapkan posisi,istirahat,kasur busa,teknik
tulang masalah nyeri relaksasi)
akut teratasi 2. Memberikan analgesik sesuai yang
dianjurkan
3. Sesuaikan jadwal pengobatan
untuk memenuhi kebutuhan pasien
terhadap penatalaksanaan nyeri
4. Dorong pasien untuk mengutarakan
perasaannya tentang rasa nyeri
serta sifat kronik penyakitnya.
41
5. Memberikan terapi relaksasi
6. Lakukan penilaian terhadap
perubahan subjek pada rasa nyeri.
2. Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji secara verbal dan non
citra tubuh tindakan verbal respon klien terhadap
b.d penyakit keperawatan tubuhnya
lupus selama 3 x 24 jam 2. Monitor frekuensi mengkritik
diharapkan dirinya
gangguan citra 3. Jelaskan tentang pengobatan,
tubuh klien perawatan, kemajuan dan
berkurang dengan prognosis penyakit
KH: 4. Dorong klien mengungkapkan
1. Body perasaannya
image 5. Identifikasi arti pengurangan
positif melalui pemakaian alat bantu
2. Mmapu 6. Fasilitasi kontak dengan
mengident individu lain dalam kelompok
ifikasikan kecil
kekuatan
personal
3. Mendeskri
psikan
secara
factual
perubahan
fungsi
tubuh
4. Mmeperta
42
hankan
interaksi
sosial
43
jaringan
baik
4. Menunjuk
an
pemahama
n dalam
proses
perbaikan
kulit dan
mencegah
terjadinya
cedera
berulang
5. Mampu
melindung
i kulit dan
memperta
hankan
kelembaba
n kulit dan
perawatan
alami
5. 1. Gangguan Setelah dilakukan 1. Monitor vital sign
mobilitas tindakan sebelum/sesudah latihan dan
fisik b.d keperawatan lihat respon pasien saat
nyeri pada selama 3 x 24 jam latihan
sendi gangguan 2. Konsultasikan dengan terapi
mobilitas fisik fisik tentang rencana
44
teratasi dengan ambulasi sesuai dengan
KH: kebutuhan
1. Klien 3. Bnatu klien untuk
meningkat menggunakan tongkat saat
dalam berjalan dan cegah terhadap
aktivitas cedera
fisik 4. Ajarkan klien atau tenaga
2. Mengerti kesehatan lain tentang
tujuan dari tekhnik ambulasi
peningkata 5. Kaji kemampuan klien
n mobilitas dalam mobilisasi
3. Memverba 6. Latih klien dalam
lisasi pemenuhan kebutuhan
perasaan ADLs secara mandiri sesuai
dalam kemampuan
meningkat 7. Damping dan bantu jika
kan klien memerlukan
kekuatan 8. Ajarkan klien bagaiman
dan merubah posisi dan berikan
kemampua bantuan jika diperlukan
n
berpindah
4. Memperag
akan
penggunaa
n alat
bantu
mobilisasi
45
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE)
merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini
tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibody terhadap
antigen nuklear (ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ.
(Gaya Leon L.,et al,2017)
Menurut dokter umum Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr
Fajar Rudy Qimindra(2008) , Lupus atau SLE berasal dari bahasa latin yang
berarti anjing hutan.Istilah ini mulai dikenal sejak abad ke-10. Sedang
eritematosus berarti merah.Ini untuk menggambarkan ruam merah pada kulit
yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi. Sehingga
dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus
Erythematosus
B. Saran
1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan kepada mahasiswa dapat menjadikan laporan ini sebagai
materi dan referensi untuk bahan pembelajaran dan menambah
pengetahuan mahasiswa khususnya mengenai asuhan keperawatan pada
pasien lupus
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan kepada institusi pendidikan khususnya kepada Prodi
Keperawatan Universitas Jambi untuk menambah referensi pembelajaran
mengenai keperawatan pada pasien lupus
46
DAFTAR PUSTAKA
Laura K. DeLong, MD, M., 2012. Vitamin D Status, Disease Specific and Quality of
Life Outcomes in Patients With Cutaneous Lupus-Full Text View-
ClinicalTrials.gov, Atlanta, Georgia, United States, 30322.
Bosch X. Systemic lupus erythematosus and the neutrophil. N Engl J Med. 2011;
365(8):758-60 Foundation, S.L.E.L., 2012. About lupus. Indonesia, Y.L.,
2012. Info tentang Lupus.
Anggraini NS. Lupus eritematous sistemik. J Medula Unila. 2016; 4(4): 124-30.
McElhone, K., Abbott, J., Gray, J., Williams, A. & Teh, L-S., 2010. Patient
perspective of systemic lupus erythematosus in relation to health-related
quality of life concept, a qualitative study. Lupus,Volume 19 pp. 1640–1647
47
Joe. 2009. Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus
sistemik (LES).
48