Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak
mempunyai harkat dan martabat yang patut dijunjung tinggi dan setiap anak
yang terlahir harus mendapatkan hak haknya tanpa anak tersebut meminta.

Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights
of the Child) yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan
Presiden Nomor 36 Tahun 1990, kemudian juga dituangkan dalam
UndangUndang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
Undang –Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
kesemuanya mengemukakan prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu
non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.Keberadaan anak yang
ada di lingkungan kita memang perlu mendapat perhatian, terutama mengenai
tingkah lakunya.

Dalam perkembangan kearah dewasa, kadang-kadang seorang anak


melakukan perbuatan yang lepas kontrol, ia melakukan perbuatan tidak baik.
Sehingga merugikan diri sendiri bahkan orang lain. Tingkah laku yang
demikian disebabkan karena dalam masa pertumbuhan, sikap dan mental
anak belum stabil, dan juga tidak terlepas dari lingkungan pergaulannya.
Disamping itu keadaan ekonomi pun juga bisa menjadi pendorong bagi anak
untuk melakukan perbuatan yang dilarang.Setelah keluarga merupakan salah
satu penyebab anak melakukan tindak pidana atau pelanggaran, tempat anak
bersosialisasi adalah lingkungan sekolah dan lingkungan tempat bermainnya.
Mau tidak mau, lingkungan merupakan institusi pendidikan kedua setelah
keluarga, sehingga kontrol di sekolah dan siapa teman bermain anak juga
mempengaruhi kecenderungan kenakalan anak yang mengarah pada
perbuatan melanggar hukum. Tidak semua anak dengan keluarga tidak
harmonis memiliki kecenderungan melakukan pelanggaran hukum, karena
ada juga kasus dimana anak sebagai pelaku ternyata memiliki keluarga yang
harmonis.

Hal ini dikarenakan begitu kuatnya faktor lingkungan bermainnya yang negatif.
Anak dengan latar belakang ketidak harmonisan keluarga, tentu akan lebih
berpotensi untuk mencari sendiri lingkungan diluar keluarga yang bisa
menerima apa adanya.

Apabila lingkungan tersebut positif tentu akan menyelesaikan masalah si anak


dan membawanya kearah yang positif juga. Sebaliknya, jika lingkungan negatif
yang didapat, inilah yang justru akan menjerumuskan si anak pada hal-hal
yang negatif, termasuk mulai melakukan pelanggaran hukum seperti
mencuri, mencopet, bahkan membunuh.

Kedudukan keluarga sangat fundamental dalam pendidikan anak. Apabila


pendidikan keluarga gagal, maka anak cenderung melakukan tindakan
kenakalan dalam masyarakat dan tidak jarang menjurus ke arah tindakan
kejahatan atau criminal.

Dalam bukunya yang berjudul Kriminologi, B. Simanjuntak berpendapat


bahwa, kondisi-kondisi rumah tangga yang mungkin dapat menghasilkan
“anak nakal”, adalah:
1. Adanya anggota lainnya dalam rumah tangga itu sebagai penjahat,
pemabuk, emosional.
2. Ketidakadaan salah satu atau kedua orangtuanya karena kematian,
perceraian atau pelarian diri.
3. Kurangnya pengawasan orangtua karena sikap masa bodoh, cacat
inderanya, atau sakit jasmani atau rohani.
4. Ketidakserasian karena adanya main kuasa sendiri, iri hati,
cemburu, terlalu banyak anggota keluarganya dan mungkin ada pihak lain
yang campur tangan.
5. Perbedaan rasial, suku, dan agama ataupun perbedaan adat istiadat, rumah
piatu, panti-panti asuhan.

Perkembangan peradaban dan pertumbuhan pada masyarakat cukup pesat,


dimana kejahatan ikut mengiringi dengan cara-cara yang telah berkembang
pula. Kejahatan senantiasa ada dan terus mengikuti perubahan. Pengaruh
modernisasi tidak dapat dielakkan, disebabkan oleh ilmu pengetahuan yang
telah mengubah cara hidup manusia dan akhirnya hanya dapat untuk berusaha
mengurangi jumlah kejahatan serta membina penjahat tersebut secara efektif
dan intensif.

Maka sulit kalau dikatakan Negara akan melenyapkan kejahatan secara total.
Emile Durkheim menyatakan bahwa kejahatan adalah “suatu gejala normal
didalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan
sosial dan karena itu tidak mungkin dapat dimusnahkan sampai tuntas”.
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai
perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian
maka si pelaku disebut sebagai penjahat.

Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian


yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian
itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh
pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan
dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya
perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat Kejahatan menurut
non hukum atau kejahatan menurut aliran sosiologis merupakan suatu perilaku
manusia yang diciptakan oleh masyarakat.

Walaupun masyarakat memiliki berbagai macam perilaku yang berbeda-beda,


akan tetapi memiliki pola yang sama. Gejala kejahatan terjadi dalam proses
interaksi antara bagian-bagian dalam masyarakat yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perumusan tentang kejahatan dengan
kelompokkelompok masyarakat mana yang memang melakukan kejahatan.
Kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya
kerugian yang ditimbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya,
sehingga perbuatanperbuatan tersebut merugikan kepentingan masyarakat
luas, baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan
kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang-undang pidana.

Ditinjau dari sosiologi, Sutherland menyelidiki bahwa kejahatan merupakan


suatu persoalan yang paling serius atau penting yang bersumber
dimasyarakat, masyarakat yang memberi kesempatan untuk melakukan
kejahatan dan masyarakat sendiri yang menanggung akibat dari kejahatan
tersebut, walaupun secara tidak langsung.

Oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan adalah di masyarakat.


Kajahatan atau sifat jahat itu sendiri bukan karena pewarisan, tetapi karena
dipelajari dalam pergaulan di masyarakat, sedangkan pergaulan di masyarakat
itu adalah berbeda-beda, yang sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungannya sendiri.
Secara sosiologis seseorang yang melakukan tindak pidana kejahatan
merupakan hasil perubahan-perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat
sebagai bentuk deviasi sosial (pelanggaran norma-norma masyarakat).
Soerjono Soekanto merumuskan bahwa, deviasi adalah:“penyimpangan
terhadap kaidah-kaidah dan nilainilai dalam masyarakat. Kaidah-kaidah timbul
dalam masyarakat karena diperlukan sebagai pengatur dalam hubungan
antara seseorang dengan orang lain, atau antara seseorang dengan
masyarakatnya”.

Pengertian penjahat dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya.Penjahat


atau pelaku kejahatan ditinjau dari aspek yuridis merupakan seseorang yang
melanggar peraturan atau undang-undang pidana dan telah diputus oleh
pengadilan atas pelanggarannya dan telah dijatuhi hukuman, dan dalam
hukum pidana dikenal dengan istilah narapidana.

Tindak pidana memang tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa namun anak
juga turut andil dalam melakukan suatu kejahatan yang tidak kalah dengan
perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa, memang disayangkan bahwa
prilaku kriminalitas dilakukan oleh anak, karena masa anak adalah dimana
anak seharusnya bermain dan menuntut ilmu, tapi pada kenyataannya anak
zaman sekarang tidak kalah bersaing dengan orang dewasa untuk melakukan
tindak pidana, namun Negara membedakan tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa dan yang dilakukan oleh anak, Negara lebih meringankan tindak
pidana yang dilakukan oleh anak karena anak merupakan tunas bangsa dan
generasi penerus bangsa sehingga setiap anak pelaku tindak pidana yang
masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi.

Sebagaimana yang termuat dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang


Perlindungan Anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan
terhadap pendapat anak. Diambil dari sebuah contoh kejadian nyata, pada
zaman sekarang nyatanya anak sudah berani melakukan tindak pidana
pembunuhan, adalah Agus Panca Rotama bin Sukiswo yaitu seorang anak
yang berumur 17 Tahun dan telah melakukan tindak pidana pembunuhan
terhadap salah seorang teman yaitu yang bernama Yoga Afriaji bin Sukardi,
dalam putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, Agus telah dinyatakan bersalah karena telah
menghilangkan nyawa orang lain sesuai dengan Pasal 338 KUHP.

Pada awalnya bermula dari rasa jengkel Agus terhadap Yoga yang sering kali
ketika mereka bertemu menghina dengan kata-kata “BANGSAT, BAJINGAN”
Agus bertanya kepada Yoga dengan mengatakan “ MAKSUDNYA APA KAMU
SETIAP KETEMU SAYA NGOMONG “ BANGSAT, BAJINGAN “ kemudian
Yoga menjawab “ EMANG KENAPA, KAMU EMOSI “ dan Agus menjawab “
YA JELAS SAYA EMOSI KARENA SETIAP KETEMU SAYA KAMU BILANG “
BANGSAT, BAJINGAN” kemudian Agus berkata lagi kepada Yoga sambil
mengajak“ KALAU MEMANG BERANI KITA KEATAS, atas ajakan tersebut
Yoga menyanggupi dan mau pergi ke bukit hutan Jatisaba. Bahwa sesampai
di hutan Jatisaba turut Grumbul Wadas Plasa Desa Jatisaba Kec. Cilongok
Kab. Banyumas sekitar pukul 24.00 Wib Agus turun dari motor sedangkan
Yoga langsung melepas helm yang dipakainya, selanjutnya Yoga turun dari
kendaraan dan langsung menyerang Agus dengan memukul dengan tangan
kosong ke arah pelipis sebelah kiri Agus satu kali dan memukul ke arah pipi
kiri satu kali, kemudian Agus mengambil bambu sepanjang setengah meter
yang ada, lalu Agus memukul ke arah kepala Yoga sebelah kiri sebanyak satu
kali, sehingga dari kepala Yoga sebelah kiri keluar darah dan langsung
sempoyongan, pada saat sempoyongan Yoga masih sempat menarik kepala
Agus dengan memegang rambut Agus ditekankan ke bawah sampai
tertunduk, pada saat kepala Agus ditekan ke bawah oleh Yoga, Agus langsung
mengambil parang / bendo yang sudah di bawa dan disimpan di balik baju
Agus, kemudian Agus menyerang Yoga dengan mengayunkan parang / bendo
kearah leher sebelah kiri, akan tetapi di tangkis oleh Yoga dengan
menggunakan tangan kanan, sehingga melukai tangan kanan Yoga hingga
tiga jari putus, kemudian Agus menyerang lagi dengan mengayunkan
parang/bendo itu ke arah leher sebelah kiri dan melukai leher Yoga sebelah
kiri, selanjutnya Agus menyerang lagi dengan mengayunkan parang/bendo
mengenai leher sebelah kanan dan juga melukai leher sebelah kanan,
kemudian Yoga jatuh tersungkur ketanah, mengetahui Yoga sudah jatuh
tersungkur kemudian Agus menyerang lagi dengan mengayunkan
parang/bendo kearah telinga sebelah kiri, kemudian Yoga di bangunkan dan
di dudukkan ditanah dengan di senderkan di PAL/PATOK, pada saat itu
melihat kalau Yoga masih hidup, kemudian Agus mengambil tangan kiri Yoga
lalu ditaruh di atas PAL kemudian menebas tangan kiri dengan parang/bendo
sebanyak dua kali, sehingga dia tidak bergerak lagi dan mengakibatkan
meninggal.

Salah satu contoh kenakalan yang dilakukan anak nyatanya terjadi zaman
sekarang, Agus merupakan salah satu contoh anak nakal yang telah
melakukan tindak pidana pembunuhan, dan terbukti bersalah di pengadilan,
sehingga pengadilan menjatuhkan pidana penjara 7 ( tujuh ) tahun pada Agus
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 55/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
sesuai dengan amanat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak diatur bahwa apabila anak melakukan
tindak pidana pada batas umur yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), tetapi
diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui
batas umur tersebut namun belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,
maka tetap diajukan ke Sidang Anak. Berdasarkan ketentuan yang tercantum
di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, maka
petugas dituntut ketelitiannya dalam memeriksa surat-surat yang berhubungan
dengan buktibukti mengenai kelahiran serta umur dari anak yang
bersangkutan, dalam masalah anak penyelesaian sengketa tidak hanya
dilakukan dalam sistem peradilan saja akan tetapi juga dikenal adanya
restorative justice.

Pada tahun 1980an, Braithwaite memperkenalkan sistem penghukuman


dengan pendekatan restorative justice, karena terinspirasi oleh masyarakat
Maori dalam menangani penyimpangan di lingkungan mereka, yang
menekankan penyelesaian masalah dengan melibatkan masyarakat dan
petinggi masyarakat setempat untuk menyelsaikan masalah secara
kekeluargaan.

Tony Marshall memberikan definisi dari restorative justice sebagai “proses


yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah
pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara
kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan
implikasinya untuk masa depan.

Sedangkan Marian Liebmann secara sederhana mengartikan restorative


justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan
kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan
untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut.”Pada
dasarnya terdapat banyak definisi dari restorative justice. Dan pada tahun
2006, Restorative Justice Consortium, memberikan definisi sebagai berikut:
Restorative Justice works to resolve conflict and repair harm. It encourages
those who have caused harm to acknowledge the impact of what they have
done and gives them an opportunity to make reparation. It offers those who
have suffered harmthe opportunity to have their harmor loss acknowledged and
amends made. (Restorative Justice Consortium 2006) James Dignan,
mengutip Van Ness dan Strong , menjelaskan bahwa restorative justice pada
mulanya berangkat dari usaha Albert Eglash yang berusaha melihat tiga
bentuk yang berbeda dari peradilan pidana.

Yang pertama berkaitan dengan keadilan retributif, yang penekanan utamanya


adalah pada penghukuman pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua
berhubungan dengan „keadilan distributif‟, yang penekanan utamanya adalah
pada rehabilitasi pelaku kejahatan. Dan yang ketiga adalah „keadilan
restoratif‟, yang secara luas disamakan dengan prinsip restitusi. dianggap
sebagai orang pertama yang menghubungkan tiga hal tersebut dengan
pendekatan yang mencoba untuk mengatasi konsekuensi yang berbahaya dari
tindakan pelaku kejahatan dengan berusaha untuk secara aktif melibatkan,
baik korban dan pelaku, dalam suatu proses yang bertujuan untuk
mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelanggar Liebmann
memberikan, merumuskan prinsip dasar restorative justice sebagai berikut:
1. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban
2. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
3. Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
4. Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
5. Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari
kejahatan di masa depan
6. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak,
baik korban maupun pelaku.

Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara


mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali
segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga
dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim
awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari
perbuatannya).
Peradilan Anak merupakan suatu pengkhususan pada lingkungan Peradilan
Umum, sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 2 Undang Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dengan kualifikasi perkara
yang sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam hal
melanggar ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Oleh karena hal tersebut, maka secara sistematika hukum (recht sistematisch)
isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh :

1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) Badan Peradilan


Umum.

2. Memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi


kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain, seperti Badan Peradilan
Agama.

Secara internasional pelaksanaan peradilan pidana anak berpedoman pada


standard minimum Rules for the Adminitration of Juvenile Justice (The Beijing
Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahtraan remaja secara maksimal


meperkecil intervensi sistem peradilan pidana.
2. Nondiskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses
peradilan pidana.
3. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir.
4. Penentuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak.
5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang
tua/wali.
6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana anak.
7. Perlindungan privasi anak pelaku tindak pidana.
Seorang anak yang melakukan tindak pidana juga membutuhkan perlindungan
hukum sebagai salah satu cara melindungi tunas bangsa di masa depan,
perlindungan hukum terhadap anak menyangkut semua aturan hukum yang
berlaku. Perlindungan ini perlu karena anak merupakan bagian masyarakat
yang mempunyai keterbatasan secara fisik maupun mental, olehkarena itu
anak memrlukan perlindungan dan perawatan khusus.

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak


langsung. Secara langsung, maksudnya kegiatan tersebut langsung ditujukan
kepada anak yang menjadi sasaran penanganan langsung.

Kegiatan seperti ini, antara lain dapat berupa cara melindungi anak dari
berbagai ancaman baik dari luar maupun dari dalam dirinya, mendidik,
membina, mendampingi anak dengan berbagai cara, mencegah kelaparan dan
mengusahakan kesehatannya dengan berbagai cara, serta dengan cara
menyediakan pengembangan diri bagi anak. Sedangkan yang dimaksud
dengan perlindungan anak secara tidak langsung adalah kegiatan yang tidak
langsung

Harkristuti Harkrisnowo, Menelaah Konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu


(dalam Konteks Indonesia). Seminar Keterpaduan Sistem Peradilan Pidana di
ditujukan kepada anak, melainkan orang lain yang terlibat atau melakukan
kegiatan dalam usaha perlindungan terhadap anak tersebut. Aspek hukum
perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana, hukum acara, dan
hukum perdata, di Indonesia pembicaraan mengenai perlindungan hukum
mulai tahun 1997 dalam seminar perlindungan anak/remaja yang diadakan
prayuwana. Seminar tersebut menghasilkan dua hal penting yang harus
diperhatikn dalam perlindungan anak yaitu:
1. Segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau
punlembaga pemerintah dan swasta yang bertujuan mengusahakan
pengamanan, penguasaan, dan pemenuhan kesejahtraan fisik, mental dan
sosial anak dan remaja yang sesuai dengan kepentingan dan hak asasinya.

2. Segala daya upaya bersama yang dilakukan dengan sadar oleh


perseorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta
untuk pengamanan, pengadaan dan pemenuhan kesejahtraan rohani dan
jasmani anak yang berusia 0-21 tahun, tidak dan belum pernah nikah, sesuai
dengan hak asasi dan kepentingan agar dapat mengembangkan hidupnya
seoptimal mungkin.Sehingga pergerakan dan perkembangan pemikiran
terfokus pada kesejahteraan anak, dengan bertujuan memisahkan proses
peradilan anak dan orang dewasa serta melindungi anak dari penerapan
hukum orang dewasa.

Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak, telah diatur bahwa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua. Jadi yang mengusahakan perlindungan bagi anak
adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan
berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu.

Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan agar anak benar-


benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak
asasinya. Dalam masyarakat, ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
masalah perlindungan anak dituangkan pada suatu bentuk aturan yang disebut
dengan Hukum Perlindungan Anak. Hukum Perlindungan Anak merupakan
sebuah aturan yang menjamin mengenai hak-hak dan kewajiban anak yang
berupa : hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata,
hukum acara pidana, maupun peraturan lain yang berhubungan dengan
permasalahan anak. Dalam bukunya yang berjudul Hukum dan Hak-Hak Anak,
mantan hakim agung, Bismar Siregar mengatakan bahwa masalah
perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan
untuk melindungi anak-anak Indonesia, di mana masalahnya tidak semata-
mata bisa didekati secara yuridis saja tetapi juga perlu pendekatan yang lebih
luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.Berdasarkan uraian di atas, peneliti
tertarik untuk membuat skripsi dengan judul: TINDAK PIDANA TERHADAP
NYAWA MANUSIA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Tinjauan Yuridis
Terhadap Putusan Pidana Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt )
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka peneliti dapat membatasi
masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan unsur-unsur dari Pasal 338 Kitab Undang Undang


Hukum Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang
dilakukanoleh anak dalam perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt?

2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara


tindakpidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan anak pada perkara
Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dari skripsi ini adalah sebagai
berikut :

1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur dari Pasal 338 Kitab Undang


Undang Hukum Pidana pada tindak pidana terhadap nyawa manusia yang
dilakukan oleh anak dalam perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt.

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus


perkara tindak pidana terhadap nyawa manusia yang dilakukan anak pada
perkara Nomor : 55 / Pid. Sus / 2011 / PN. Pwt.
D. Kegunaan Penelitian
Dari tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan
danpembahasan penulisan hukum ini dapat memberikan kegunaan
ataumanfaat baik secara teorits maupun praktis sebagai bagian yang tak
terpishkan, bagi kalangan akademisi hukum, yaitu :

1. Manfaat Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum, khususnya untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi
khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penerapan hukuman
terhadap anak di Indonesia.

2. Manfaat Praktis:
Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah khususnya aparat
penegak hukum mudah-mudahan dapat melakukan perubahan paradigma
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan perubahan dinamika
yang terjadi dalam memenuhi keadilan masyarakat, sehingga dapat
melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, manusiawi, dan
berkeadilan.

Anda mungkin juga menyukai