TINJAUAN PUSTAKA
A. URAIAN TEORI
1. Fraktur Zygoma Maksila
a. Pengertian
Fraktur maksiofasial merupakan fraktur yang terjadi pada
tulang-tulang wajah (os fronta, temporal, orbitozigomatikus, nasal,
maksila, dan mandinula). Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari
trauma maxillofacial cukup sering ditemukan, walaupun lebih jarang
dibandingkan dengan fraktur mandibula. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maksila maupun
fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai
komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan
baik dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian. Fraktur maksila
juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan prevalensi
seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan
aktivitas fisik. Fraktur maksila pada anak berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari segi pola, maupun
treatment.
Fraktur zygoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang
paling sering terjadi. Fraktur zigomatikus merupakan fraktur yang
melibatkan prosesus zigomatikus dan atau arkuszigomatikus. Fraktur
kompleks zigomatikomaksilaris adalah sekelompok fraktur yang dapat
secara signifikan mempengaruhi struktur, fungsi dan tampilan wajah
bagian tengah, termasuk daerah orbita. Fraktur zygoma dan maksila
terklasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif.
Secara umum dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras
4
5
c. Manifestais klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial (zygoma)
dapat berupa (Grabb and Smith 2007; Thomas, 2007)
1) Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi.
2) Pergerakan yang abnormal pada sisifraktur.
3) Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4) Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran
napas.
5) Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat
menentukan lokasi daerah fraktur.
6) Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
dari ujung tulang yangfraktur.
7) Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah
sekitar fraktur.
8) Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat
pembengkakan
9) Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur
terjadi di bawah nervus alveolaris.
d. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik
Pemeriksaan klinis pada fraktur zygoma dan maksila dilakukan
secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat
pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital
bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.Perawatan Fraktur Maksila (Thomas, 2007).
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara
elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan
7
2. Bedah Rekonstruksi
a. Pengertian
Rekonstruksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal
dari kata “konstruksi‟ berarti pembangunan yang kemudian di tambah
imbuhan ”re‟ pada kata konstruksi menjadi “rekonstruksi‟ yang
berarti pengembalian seperti semula. Dalam Black Law Dictionary,
reconstruction is the act orprocess of rebuilding, recreating, or
reorganizing something, rekonstruksidi sini dimaknai sebagai proses
membangun kembali atau menciptakan kembali atau melakukan
pengorganisasian kembali atas sesuatu.
B.N. Marbun dalam Kamus Politik mengartikan rekonstruksi
adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan
atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun
kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.
10
c. Cara kerja
Bedah rekonstruktif sering dilakukan dengan mengikuti
konsep tangga rekonstruktif, yang mengolongkan setiap kasus
berdasarkan tingkat kerumitannya. Pembedahan yang paling
sederhana hanya membutuhkan penjahitan luka sederhana,
sedangkan pembedahan yang lebih rumit kemungkinan akan
membutuhkan pencangkokan kulit dan teknik pelebaran jaringan.
Rincian cara pelaksanaan suatu tindakan bergantung pada
jenis bedah rekonstruktif yang akan dilakukan. Beberapa jenis
bedah rekonstruktif yang paling umum adalah:
1) Pengangkatan kanker kulit
Tindakan bedah yang dilakukan untuk mengobati kanker
kulit meliputi pengangkatan pertumbuhan kulit yang
abnormal agar kulit kembali terlihat normal.
2) Bedah perbaikan bibir sumbing dan celah pada langit-langit
mulut
Tindakan bedah ini dilakukan pada pasien anak yang sejak
lahir sudah memiliki bibir sumbing dan kelainan pada
langit-langit mulut. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit anak yang dapat ditangani melalui pembedahan
tidak lama setelah anak dilahirkan.
3) Perbaikan bekas luka
Bedah perbaikan bekas luka dilakukan untuk meningkatkan
penampilan dari bekas luka akibat bedah atau trauma,
sehingga bagian tubuh yang memiliki bekas luka dapat
kembali ke penampilan semula. Pasien sebaiknya tidak
memiliki harapan yang terlalu berlebihan ketika menjalani
bedah perbaikan bekas luka; karena hasil dari pembedahan
ini bergantung pada ukuran, letak, dan kedalaman bekas
luka. Ada beberapa bekas luka yang sulit dihilangkan
sepenuhnya dan bedah rekonstruktif hanya bisa
12
b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat
menilai klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan
untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/
implementasi dan evaluasi pre anestesi.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan.
2) Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d
vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra
anestesi meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi.
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5
menit sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra
anestesi.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif b/d penurunan tingkat kesadaran.
2) Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
3) Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
3. Paska Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan
tindakan pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang
pemulihan. Pengkajian Post anestesi meliputi:
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
15