Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. URAIAN TEORI
1. Fraktur Zygoma Maksila
a. Pengertian
Fraktur maksiofasial merupakan fraktur yang terjadi pada
tulang-tulang wajah (os fronta, temporal, orbitozigomatikus, nasal,
maksila, dan mandinula). Fraktur maksila sendiri sebagai bagian dari
trauma maxillofacial cukup sering ditemukan, walaupun lebih jarang
dibandingkan dengan fraktur mandibula. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab tersering fraktur maksila maupun
fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul berbagai
komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan
baik dapat mengakibatkan kecacatan dan kematian. Fraktur maksila
juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan prevalensi
seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan
aktivitas fisik. Fraktur maksila pada anak berbeda secara signifikan
dibandingkan dengan orang dewasa baik itu dari segi pola, maupun
treatment.
Fraktur zygoma merupakan salah satu fraktur midfasial yang
paling sering terjadi. Fraktur zigomatikus merupakan fraktur yang
melibatkan prosesus zigomatikus dan atau arkuszigomatikus. Fraktur
kompleks zigomatikomaksilaris adalah sekelompok fraktur yang dapat
secara signifikan mempengaruhi struktur, fungsi dan tampilan wajah
bagian tengah, termasuk daerah orbita. Fraktur zygoma dan maksila
terklasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur
tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yang definitif.
Secara umum dilihat dari terminologinya trauma pada jaringan keras

4
5

wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan (Padersen, 2007) dibedakan


berdasarkan lokasi anatomis danestetik.
1) Bersifat single : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,
mandibula, gigi dan alveolus.
2) Bersifat multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan
fraktur kompleks mandibula.

Fraktur kompleks zygomaticomaxillaris yang biasa kearah


inferomedial. B Stabilisasi fraktur pada sutura zygomaticofrontalis
(Pedersen, 2007).
b. Etiologi
Penyebab trauma maksilofasial (zygoma) bervariasi, mencakup
kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma
akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab utama
trauma maksilofasial (zygoma) yang dapat membawa kematian dan
kecacatan pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan
angka terbesar biasanya terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.
Berdasarkan studi yang dilakukan, 72% kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas.
6

c. Manifestais klinis
Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial (zygoma)
dapat berupa (Grabb and Smith 2007; Thomas, 2007)
1) Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi.
2) Pergerakan yang abnormal pada sisifraktur.
3) Rasa nyeri pada sisi fraktur.
4) Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran
napas.
5) Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat
menentukan lokasi daerah fraktur.
6) Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran
dari ujung tulang yangfraktur.
7) Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah
sekitar fraktur.
8) Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat
pembengkakan
9) Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur
terjadi di bawah nervus alveolaris.
d. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik
Pemeriksaan klinis pada fraktur zygoma dan maksila dilakukan
secara ekstra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan
dilakukan dengan visualisasi. Secara visualisasi dapat terlihat
pembengkakan pada daerah kelopak mata, ekimosis periorbital
bilateral. Usaha untuk melakukan tes mobilitas pada maksila akan
mengakibatkan pergeseran seluruh bagian atas wajah.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan foto
rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan CT
scan.Perawatan Fraktur Maksila (Thomas, 2007).
Perbaikan fraktur komplek zigoma sering dilakukan secara
elektif. Fraktur arkus yang terisolasi bisa diangkat melalui pendekatan
7

Gillies klasik. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III


(Thomas,2007).
1) Fraktur Le Fort I
Fraktur Le Fort I dapat terjadi sebagai suatu kesatuan
tunggal atau bergabung dengan fraktur – fraktur Le Fort II dan III.
Pada Fraktur Le Fort I, garis frakturnya dalam jenis fraktur
transversus rahang atas melalui lubang piriform di
atas alveolar ridge, di atas lantai sinus maksilaris, dan meluas ke
posterior yang melibatkan pterygoid plate. Fraktur ini
memungkinkan maksila dan palatum durum bergerak secara
terpisah dari bagian atas wajah sebagai sebuah blok yang terpisah
tunggal. Fraktur Le Fort I ini sering disebut sebagai fraktur
transmaksilari.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort I dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya
edema pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan secara palpasi
terdapat bergeraknya lengkung rahang atas. Pada pemeriksaan
intra oral, pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi.
Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite anterior.
Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya
pemeriksaan fraktur Le Fort I dilakukan dengan foto rontgen
dengan proyeksi wajah anterolateral (Thomas,2007).
2) Fraktur Le Fort II
Fraktur LeFort II lebih jarang terjadi, dan mungkin secara
klinis mirip dengan fraktur hidung. Bila fraktur horizontal
biasanya berkaitan dengan tipisnya dinding sinus, fraktur
piramidal melibatkan sutura-sutura. Sutura zigomatikomaksilaris
dan nasofrontalis merupakan sutura yang sering terkena.
8

Seperti pada fraktur Le Fort I, bergeraknya lengkung


rahang atas, biasa merupakan suatu keluhan atau ditemukan saat
pemeriksaan. Derajat gerakan sering tidak lebih besar dibanding
fraktur Le Fort I, seperti juga gangguan oklusinya tidak separah
pada Le Fort I.
Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort II dilakukan dalam
dua pemeriksaan yakni secara ekstra oral dan intra oral. Pada
pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan
visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat pupil
cenderung sama tinggi, ekimosis dan edema periorbital.
Sedangkan secara palpasi terdapat tulang hidung bergerak
bersama dengan wajah tengah, mati rasa pada daerah kulit yang
dipersarafi oleh nervus infraorbitalis. Pada pemeriksaan intra oral,
pemeriksaan dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara
visualisasi dapat terlihat adanya gangguan oklusi tetapi tidak
separah jika dibandingkan dengan fraktur Le Fort I. Sedangkan
secara palpasi terdapat bergeraknya lengkung rahang atas.
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan dengan
foto rontgen proyeksi wajah anterolateral, foto wajah polos dan
CTscan (Thomas,2007).
3) Fraktur Le Fort III
Le Fort III adalah Fraktur kraniofasial disjunction,
merupakan cedera yang parah. Bagian tengah wajah benar-benar
terpisah dari tempat perlekatannya yakni basis kranii. Fraktur ini
biasanya disertai dengan cedera kranioserebral, yang mana
bagian yang terkena trauma dan besarnya tekanan dari trauma
yang bisa mengakibatkan pemisahan tersebut, cukup kuat untuk
mengakibatkan trauma intracranial (Thomas,2007).
e. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma
maksilofasial yaitu meliputi : pemeriksaan kesadaran pasien,
9

pemeriksaan secara cermat wajah pasien, pemeriksaan apakah timbul


hematoma.
f. Komplikasi
Pada luka yang parah, tidak jarang mendapatkan hasil kurang
sempurna, meskipun rekonstruksi yang baik sering diterima oleh
pasien yang menghargai keparahan cedera awal mereka. Namun,
operasi revisi selektif dapat meningkatkan hasil dan mengkonversi
hasil yang dapat diterima. Bijaksana dalam penggunaan graf tulang
atau implan alloplastic diperlukan untuk membentuk daerah tulang
yang hilang atau untuk reposisi bola mata. Kadang-kadang, malunion
bisa terjadi, cara mengatasinya adalah dengan remobilisasi dari
tulang wajah via osteotomy diikuti oleh reposisi dan refixation
dengan graf tulang yang diperlukan. Komplikasi fraktur
maksilofasial dan penanganannya dapat dilihat pada tabel dibawah
(Kellman, 2006).

2. Bedah Rekonstruksi
a. Pengertian
Rekonstruksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal
dari kata “konstruksi‟ berarti pembangunan yang kemudian di tambah
imbuhan ”re‟ pada kata konstruksi menjadi “rekonstruksi‟ yang
berarti pengembalian seperti semula. Dalam Black Law Dictionary,
reconstruction is the act orprocess of rebuilding, recreating, or
reorganizing something, rekonstruksidi sini dimaknai sebagai proses
membangun kembali atau menciptakan kembali atau melakukan
pengorganisasian kembali atas sesuatu.
B.N. Marbun dalam Kamus Politik mengartikan rekonstruksi
adalah pengembalian sesuatu ketempatnya yang semula, penyusunan
atau penggambaran kembali dari bahan-bahan yang ada dan disusun
kembali sebagaimana adanya atau kejadian semula.
10

Bedah rekonstruktif adalah berbagai tindakan bedah yang


dilakukan untuk mengembalikan penampilan atau fungsi semula
dari bagian tubuh tertentu. Bedah rekonstruktif umumnya
dilakukan untuk memperbaiki cacat pada tubuh yang disebabkan
oleh penyakit atau trauma. Bedah rekonstruktif dibedakan
berdasarkan organ tubuh yang membutuhkan pembedahan
(http://plastic.surgery.ucsf.edu/research.aspx).
b. Indikasi pembedahan
Pasien yang menderita cacat pada tubuh atau memiliki
bagian tubuh yang terlihat tidak normal karena penyakit, kelainan
bawaan, atau cedera tertentu dapat menjalani bedah rekonstruktif
untuk mengembalikan penampilan dan fungsi atau pergerakan
semula dari bagian tubuh yang cacat. Pada banyak kasus, bedah
rekonstruktif dapat meningkatkan kualitas hidup pasien atau
memberikan kesempatan bagi pasien anak untuk menjalani hidup
yang normal. Namun, tidak semua bedah rekonstruktif diperlukan
secara medis. Ada beberapa kasus di mana pasien ingin menjalani
bedah rekonstruktif untuk mempercantik penampilan dari bagian
tubuh tertentu. Contoh dari tindakan tersebut adalah sedot lemak
rekonstruktif atau pengencangan perut.
Variasi jenis dan teknik yang digunakan oleh dokter bedah
terus membaik karena adanya perkembangan berkelanjutan dalam
bahan dan teknologi rekonstruktif. Beberapa contoh dari
perkembangan tersebut adalah jahitan berduri, pencangkokan kulit,
bedah free flaps, implan, dan penggunaan implan biomaterial,
yang lebih cocok dengan tubuh dan dapat menirukan fungsi dari
bagian tubuh yang digantikan dengan lebih baik. Dengan adanya
perkembangan ini, pasien bisa mendapatkan bagian tubuh baru
yang memiliki penampilan dan fungsi yang hampir serupa dengan
bagian tubuh asli mereka, hanya dengan sedikit perbedaan dalam
sensasi dan rasa (http://plastic.surgery.ucsf.edu/research.aspx).
11

c. Cara kerja
Bedah rekonstruktif sering dilakukan dengan mengikuti
konsep tangga rekonstruktif, yang mengolongkan setiap kasus
berdasarkan tingkat kerumitannya. Pembedahan yang paling
sederhana hanya membutuhkan penjahitan luka sederhana,
sedangkan pembedahan yang lebih rumit kemungkinan akan
membutuhkan pencangkokan kulit dan teknik pelebaran jaringan.
Rincian cara pelaksanaan suatu tindakan bergantung pada
jenis bedah rekonstruktif yang akan dilakukan. Beberapa jenis
bedah rekonstruktif yang paling umum adalah:
1) Pengangkatan kanker kulit
Tindakan bedah yang dilakukan untuk mengobati kanker
kulit meliputi pengangkatan pertumbuhan kulit yang
abnormal agar kulit kembali terlihat normal.
2) Bedah perbaikan bibir sumbing dan celah pada langit-langit
mulut
Tindakan bedah ini dilakukan pada pasien anak yang sejak
lahir sudah memiliki bibir sumbing dan kelainan pada
langit-langit mulut. Penyakit ini merupakan salah satu
penyakit anak yang dapat ditangani melalui pembedahan
tidak lama setelah anak dilahirkan.
3) Perbaikan bekas luka
Bedah perbaikan bekas luka dilakukan untuk meningkatkan
penampilan dari bekas luka akibat bedah atau trauma,
sehingga bagian tubuh yang memiliki bekas luka dapat
kembali ke penampilan semula. Pasien sebaiknya tidak
memiliki harapan yang terlalu berlebihan ketika menjalani
bedah perbaikan bekas luka; karena hasil dari pembedahan
ini bergantung pada ukuran, letak, dan kedalaman bekas
luka. Ada beberapa bekas luka yang sulit dihilangkan
sepenuhnya dan bedah rekonstruktif hanya bisa
12

menyamarkan bekas luka tersebut, sehingga bekas luka ini


tidak terlalu memengaruhi tubuh. Namun, bekas luka yang
lebih kecil dan lunak dapat lebih mudah ditangani.
4) Penanganan bekas luka bakar
Bedah rekonstruktif ini digunakan untuk memperbaiki
penampilan kulit setelah terkena luka bakar.
5) Pemindahan jaringan
Pemindahan jaringan atau transplantasi jaringan flap adalah
bedah rekonstruktif yang dapat mengembalikan penampilan
dan sensasi dari bagian tubuh kembali seperti semula dengan
mencangkok jaringan dari tubuh pasien atau tubuh donor
yang telah meninggal. Pemindahan jaringan dilakukan
dengan mengambil jaringan tubuh, seperti kulit, lemak, otot,
saraf, dan tulang dari satu bagian tubuh dan
memindahkannya ke bagian tubuh yang diinginkan. Salah
satu proses dari tindakan ini adalah pelekatan saraf, arteri,
dan pembuluh darah.
Bedah rekonstruktif juga dapat dilakukan apabila pasien
mengalami cedera pada wajah dan tangan serta ketika pasien
menderita suatu penyakit pada rahang, kepala, dan leher. Tindakan
bedah ini dilakukan oleh dokter bedah maksilofasial dan dokter
ahli THT (Telinga, Hidung, dan Tenggorokan). Penyebab paling
umum dari cacat pada tubuh adalah kanker atau pertumbuhan
tumor yang abnormal.
(http://medicine.utah.edu/surgery/plastic_surgery/index.php)
d. Komplikasi dan risiko
Komplikasi dan risiko yang dapat dialami pasien akan
bergantung pada jenis bedah rekonstruktif yang dilakukan.
Sebagai contoh, komplikasi yang terjadi setelah bedah
rekonstruksi payudara biasanya berkaitan dengan implan yang
digunakan untuk memperbaiki penampilan payudara setelah
13

mastektomi (bedah pengangkatan payudara). Secara keseluruhan,


bedah implan payudara saline memiliki tingkat risiko 27,6% dan
25,8% pasien harus melakukan bedah kedua karena implan
payudara mengempis. Risiko lain yang mungkin terjadi adalah
payudara yang asli dan payudara yang diperbaiki menjadi tidak
simetris serta bentuk payudara yang bermasalah. Banyak pasien
yang juga mengeluhkan sensasi yang berbeda dari payudara
mereka. Pasien yang memiliki implan payudara juga berisiko
terkena seroma, atau penimbunan cairan di sekitar implan, yang
dapat menyebabkan peradangan dan pembengkakan.
Komplikasi lainnya yang dapat terjadi akibat bedah
rekonstruktif antara lain adalah bekas luka yang menonjol
(hipertrofi), hematoma, bekas luka yang terbuka, dan infeksi.
(http://medicine.utah.edu/surgery/plastic_surgery/index.php)

B. ASUHAN KEPERAWATAN PERIANESTESI


1. Pre Anestesi
a. Pengkajian Pre Anestesi dilakukan sejak pasien dinyatakan akan
dilakukan tindakan pembedahan baik elektif maupun emergensi.
Pengkajian pre anestesi meliputi :
1) Identitas pasien.
2) Riwayat kesehatan pasien dan riwayat alergi.
3) Pemeriksaan fisik pasien meliputi : Tanda-tanda vital pasien,
pemeriksaan sistem pernapasan (breathing), sistem
kardiovaskuler (bleeding), sistem persyarafan (brain), sistem
perkemihan dan eliminasi (bowel), sistem tulang, otot dan
integument (bone).
4) Pemeriksaan penunjang berupa laboratorium, rontgen, CT-scan,
USG, dll.
5) Kelengkapan berkas informed consent.
14

b. Analisa Data
Data hasil pengkajian dikumpulkan dan dianalisa sehingga dapat
menilai klasifikasi ASA pasien. Data yang telah di analisa digunakan
untuk menentukan diagnosa keperawatan, tujuan, perencanaan/
implementasi dan evaluasi pre anestesi.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Cemas b/d kurang pengetahuan masalah pembiusan.
2) Resiko gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/d
vasodilatasi pembuluh darah dampak obat anestesi.
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian Intra Anestesi dilakukan sejak pasien. Pengkajian Intra
anestesi meliputi :
1) Persiapan pasien, alat anestesi dan obat-obat anestesi.
2) Pelaksanaan anestesi.
3) Monitoring respon dan hemodinamik pasien yang kontinu setiap 5
menit sampai 10 menit.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi intra
anestesi.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Pola nafas tidak efektif b/d penurunan tingkat kesadaran.
2) Resiko aspirasi b/d penurunan tingkat kesadaran
3) Resiko kecelakaan cedera b/d efek anestesi umum.
3. Paska Anestesi
a. Pengkajian Post Anestesi dilakukan sejak pasien selesai dilakukan
tindakan pembedahan dan pasien akan dipindahkan ke ruang
pemulihan. Pengkajian Post anestesi meliputi:
1) Keadaan umum pasien dan tanda-tanda vital.
2) Status respirasi dan bersihan jalan napas.
15

3) Penilaian pasien dengan skala Aldert (untuk anestesi general) dan


skala Bromage (untuk anestesi regional).
4) Instruksi post operasi.
b. Analisa Data
Data yang telah di analisa digunakan untuk menentukan diagnosa
keperawatan, tujuan, perencanaan/implementasi dan evaluasi paska
anestesi.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Bersihan jalan napas tidak efektif b/d mukus banyak, sekresi
tertahan efek dari general anestesi.
2) Gangguan rasa nyaman mual muntah b/d pengaruh sekunder obat
anestesi.
3) Nyeri akut b/d agen cidera fisik (operasi).
4) Hipotermi b/d berada atau terpapar di lingkungan dingin.
16

Anda mungkin juga menyukai