oleh :
G1A113145
UNIVERSITAS JAMBI
2015
Kasus:
Tn J, 65 tahun datang dengan keluhan sesak nafas dan kedua tungkainya bengkak.
Keluhan sesak dirasakan dengan aktivitas ringan dan sering terbangun dimalam hari
karena sesak, batuk (-), Nyeri dada (-). Riwayat penyakit, IMA 4 bulan yang lalu.
Pemeriksaan fisik tachypnoe, takikardia, hipertensi, cardiomegaly, gallop rhytm, rales,
hepatomegaly, oedema tungkai. Pemeriksaan penunjang EKG didapatkan old miocard
infark.Sebagai dokter jaga IGD, terapi pharmacology yang dapat anda berikan berupa….
Tatatalaksana Pasien Gagal Jantung Fase Decompensata
1. Diuretik
PENATALAKSANAAN FARMAKOTERAPI GAGAL JANTUNG
1. ACE Inhibitor
ACE Inhibitor merupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif. ACE inhibitor mengurangi
volume dan tekanan pengisian ventrikel kiri, dan meningkatkan curah jantung. Konsep dasar
pemakaian inhibitor ACE sebagai vasodilator dalam pengobatan gagal jantung adalah karena
kemampuannya untuk : (a) Menurunkan retensi vaskular perifer yang tinggi akibat tingginya
tonus arteriol dan venula (peripheral vascular resistance), dan (b) Menurunkan beban tekanan
pengisian ventrikel yang tinggi (ventricular filling pressure).
ACE inhibitor merupakan obat yang dapat dipakai dan mempunyai efek yang positif pada
seluruh kelas dari CHF. ACE inhibitor dengan dosis yang tinggi tidak berarti akan memberikan
hasil yang lebih baik atau memperpanjang hidup dibandingkan dengan dosis rendah, tapi lebih
efektif dalam mengurangi rehispotilasasi. Terapi dimulai dengan dosis awal dan ditingkatkan
setiap 2 minggu hingga didapatkan hasil yang diinginkan atau mencapai dosis target.
Penggunaan ACE inhibitor dimulai dengan dosis yang kecil, dan peningkatan dosisnya tidak
boleh kurang dari interval 2 minggu.
Batuk yang sangat mengganggu, yang diakibatkan oleh penggunaan ACE inhibitor, maka dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan penggantian penggunaan ACE inhibitor dengan angiotensin II
reseptor antagonis.
Penurunan tekanan darah bisa terjadi pada pemberian awal terapi, terutama pada pasien dengan
hipotensif dan pada pemberian diuretik dosis tinggi. Penurunan tekanan darah yang
asimptomatik biasanya tidak membutuhkan terapi atau penukaran dari terapi. Tapi pada
hipotensif simptomatis, dapat kita pertimbangkan pemberian nitrat, calsium channel blocker, dan
vasodilator lainnya. Jika tidak ada tanda-tanda kongesti, dapat kita lakukan dengan mengurangi
dosis dari diuretik.
Fungsi ginjal harus dimonitor dengan ketat. Peningkatan kreatinin 10-15% masih normal setelah
pemberian pengobatan ACE inhibitor. Perhatian lebih harus diberikan pada pasien dengan kadar
kreatinin serum >200µmol/L atau kalium serum >5.0mmol/L.
Pada pasien yang tidak dapat mentoleransi ACE inhibitor, angiotensin II reseptor antagonis
merupakan alternatif yang dapat diterima.
Pada pemakaian ACE Inhibitor harus diwaspadai terjadinya hiperkalemia, karena itu
pemakaiannya dengan diuretik hemat K+ atau pemberian K+ harus dengan hati-hati demikian
juga pasien hipotensi (baik akibat pemberian diuretik berlebihan maupun karena hipotensi
sistemik) serta pada gagal ginjal.
Jika terjadi peningkatan kadar urea, kreatinin atau K+, maka dapat dilakukan penghentian
obat-obat nefrotoksik (seperti NSAIDs), vasodilator non esensial (seperti antagonis kalsium,
nitrat), suplemen K+ (triamterene,amiloride) dan jika tidak ada gejala kongesti, dapat dilakukan
pengurangan dosis dari diuretik.
Jika masih terjadi peningkatan kadar urea, kreatinin, dan K+, maka dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi dosis ACE inhibitor jadi setengahnya dan kadar kimia darah diperiksa ulang.
Jika kadar K+ meningkat > 6.0 mmol/l atau kadar kreatinin meningkat >100% atau > 350
µmol/l, maka hentikan penggunaan ACE inhibitor. Setelah itu, lakukan pemeriksaan kimia darah
secara serial hingga didapatkan kadar K+ dan kreatinin yang diharapkan.
Kontraindikasi absolut dari pengobatan ini adalah berupa riwayat angio-udema pada penggunaan
obat ini sebelumnya, bilateral stenosis arteri renal, kehamilan dan syok kardiogenik.
2. Antagonis Aldosteron
Antagonis aldosteron termasuk spironolakton dan inhibitor konduktan natrium duktus kolektifus
(triamteren dan amirolid). Obat-obat ini sangat kurang efektif bila digunakan sendiri tanpa
kombinasi dengan obat lain untuk penatalaksaanaan gagal jantung. Pada pasien dengan CHF
menengah hingga berat (NYHA kelas III dan IV), penggunaan spironolakton pada terapi dapat
mengurangi tingkat hospitalisasi dan tingkat mortalitas, yaitu bila digunakan dalam kombinasi
dengan tiazid atau diuretika, obat-obat golongan ini efektif dalam mempertahankan kadar kalium
yang normal dalam serum. Spironolakton merupakan inhibitor spesifik aldosteron yang sering
meningkat pada gagal jantung kongestif dan mempunyai efek penting pada retensi potassium.
Triamteren dan amirolid beraksi pada tubulus distal dalam mengurangi sekresi potassium.
Potensi diuretik obat-obat tersebut ringan dan tidak cukup untuk sebagian besar pasien gagal
jantung, namun dapat meminimalkan hipokalemia akibat agen tertentu. Efek samping akibat
pemakaian spironolakton adalah gangguan saluran cerna, impotensi, ginekomastia, menstruasi
tidak teratur, letargi, sakit kepala, ruam kulit, hiperkalemia, hepatotoksisitas, dan osteomalasia.
Spironolakton dapat berinteraksi dengan aspirin, suplemen kalium, kolestiramin, digoksin dan
propoksifen. Spironolakton kontraindikasi pada pasien insufisiensi ginjal akut, anuria,
hiperkalemia, hipermagnesia dan gagal ginjal berat.
3. β-Bloker
Pemberian β-bloker pada gagal jantung akan mengurangi kejadian iskemia miokard, mengurangi
stimulasi sel-sel automatik jantung dan efek antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi resiko
terjadinya aritmia jantung, dan dengan demikian mengurangi resiko terjadinya kematian
mendadak (kematian kardiovaskular). Pada pasien gagal jantung NYHA kelas III dan IV,
pengalaman yang terbatas menunjukan bahwa meraka dapat mentoleransi β-bloker dan mendapat
keuntungan dari penggunaannya, tapi karena resiko yang tinggi dan pengalaman yang masih
terbatas, penggunaan β-bloker ini harus sangat hati-hati. Jenis β-bloker yang direkomendasikan
hanya golongan bisoprolol, karvedilol dan metoprolol lepas lambat
Cara Pakai
Hanya ada beberapa jenis β-bloker yang direkomendasikan untuk penatalaksanaan gagal jantung
di UK, yaitu bisoprolol dan karvedilol.
Bisoprolol digunakan 1,25 mg/hari dengan dosis target 10mg/hari. Sedangkan carvedilol
digunakan 3,125 mg/hari dengan target 25-50 mg/hari. Penggunaan obat-obatan ini dimulai
dengan dosis yang rendah, dan dinaikkan tidak lebih dari 2 kali lipat dalam waktu 2 minggu, dan
dinaikkan hingga dosis target.
Dalam penggunaan β-bloker, harus kita monitor detak jantung, tekanan darah, status klinis
(terutama tanda-tanda kongesti dan berat badan).
Pemeriksaan kimia darah juga harus dilakukan 1-2 minggu setelah penggunaan β-bloker dan 1-2
minggu setelah mencapai dosis target.
Jika terjadi perburukan setelah penggunaan β-bloker, maka yang harus kita lakukan adalah:
● Jika terjadi peningkatan kongesti, seperti peningkatan udem atau peningkatan berat
badan, maka tingkatkan dosis diuretik menjadi 2 kali dan/atau turunkan dosis β-bloker
menjadi setengah dosis (jika penggunaan diuretik tidak memberikan efek yang
diharapkan).
● Jika tampak fatik yang meningkat (dapat disertai dengan/tanpa bradikardi), maka
turunkan dosis dari β-bloker menjadi setengah dosis.
● Jika gejala diatas tidak ada perbaikan setelah pengurangan dosis, maka turunkan dosisnya
lagi menjadi setengah dosis yang ada atau hentikan penggunaan β-bloker.Jika terjadi
penurunan detak jantung (<50 kali/menit), maka turunkan dosis β-bloker menjadi
setengahnya atau hentikan penggunaannya jika gejala sangat berat. Pertimbangkan
penggunaan obat-obatan seperti digoksin atau amiodaron, dan lakukan pemeriksaan EKG
untuk menentukan apakah telah terjadi blok jantung atau tidak.
Penurunan tekanan darah yang terjadi asimptomatik pada penggunaan β-bloker tidak
memerlukan intervensi. Tetapi jika penurunan tersebut memberikan gejala, seperti
dizziness, pertimbangkan penggunaan nitrat, calsium chanel blocker atau vasodilator
lainnya. Jika tidak ada tanda-tanda kongesti, kita dapat pertimbangkan untuk mengurangi
dosisdaridiuretik.
Penghentian penggunaan β-bloker tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, sebab hal
tersebut akan memberikan efek rebound berupa iskemia miokard/infark miokard.
4. Diuretik
Diuretik digunakan secara rutin pada tatalaksana kelebihan cairan, seperti udem paru ataupun
udem perifer. Loop diuretik lebih sering digunakan dan lebih efektif dari tiazid. Dalam
penggunaannya dengan ACE inhibitor ataupun spironolaktan, penggunaan tambahan kalium
tidak diperlukan. Lebih dibutuhkan pemantauan yang adekuat terhadap level dari kalium dan
fungsi renal.
Diuretik merupakan cara paling efektif meredakan gejala pada pasien-pasien dengan gagal
jantung kongestif sedang sampai berat (NYHC III dan IV). Sebagai terapi awal sebaiknya
digunakan kombinasi dengan ACEI. Pada pasien dengan tanda-tanda retensi cairan hanya sedikit
pasien yang dapat diterapi secara optimal tanpa diuretik. Tetapi diuresis berlebihan dapat
menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit dan aktivasi neurohormonal.
Kerja diuretik untuk mengurangi volume cairan ekstrasel dan tekanan pengisian ventrikel tetapi
biasanya tidak menyebabkan pengurangan curah jantung yang penting secara klinis, terutama
pada pasien gagal jantung lanjut yang mengalami peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri,
kecuali jika terjadi natriuresis parah dan terus menerus yang menyebabkan turunnya volume
intravaskular yang cepat. Diuretik digunakan pada udem pulmonal dan udem perifer akibat
masuknya natrium dan ekskresi klorida dengan cara menghambat reabsorbsi natrium ditubula
renal. Diuretik menghilangkan retensi natrium pada CHF dengan menghambat reabsorbsi
natrium atau klorida pada sisi spesifik ditubulus ginjal. Bumetamid, furosemid,dan torsemid
bekerja pada tubulus distal ginjal. Diuretik harus dikombinasikan dengan diet rendah garam
(kurang dari 3 gr/hari). Pasien tidak berespon terhadap diuretik dosis tinggi karena diet natrium
yang tinggi, atau minum obat yang dapat menghambat efek diuretik antara lain NSAID atau
penghambat siklooksigenase-2 atau menurunya fungsi ginjal atau perfusi. Pasien dengan gagal
jantung yang lebih berat sebaiknya diterapi dengan salah satu loop diuretik, obat-obat ini
onsetnya cepat dan durasi aksinya cukup singkat. Pada pasien dengan fungsi cadangan ginjal
yang masih baik, lebih disukai pemberian dosis tunggal dalam 2 dosis atau lebih. Pada keadaan
akut atau jika kondisi absorbsi gastrointestinal diragukan, sebaiknya obat-obat ini diberikan
intravena. Loop diuretik menghambat absorbsi klorida asenden gelung henle, menyebabkan
natriuresis, kaliuresis, dan alkalosis metabolik. Obat ini aktif terutama pada keadaan insufisiensi
ginjal berat, tetapi mungkin perlu dosis yang lebih besar.
Manfaat terapi diuretik yaitu dapat mengurangi edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari
bahkan jam. Diuretik merupakan satu-satunya obat yang dapat mengontrol retensi cairan pada
gagal jantung. Meskipun diuretik dapat mengendalikan gejala gagal jantung dan retensi cairan,
namun diuretik saja belum cukup menjaga kondisi pasien dalam kurun waktu yang lama. Resiko
dekompensasi klinik dapat diturunkan apabila pemberian diuretic dikombinasikan dengan ACEI
dan β-Bloker. Mekanisme aksinya dengan menurunkan retensi garam dan air, yang karenanya
menurunkan preload ventrikuler.
Penggunaan Diuretik
Furosemid digunakan 20-80 mg satu atau dua kali sehari, dan dinaikkan hingga mencapai dosis
target 400 mg (satu/dua kali sehari). Diuretik lain yang dapat digunakan adalah Bumetanid
dengan dosis 0,5-1,0 mg satu atau dua kali sehari, dan dinaikkan hingga 10 mg. Juga dapat
digunakan Torsemid dengan dosis 10 – 20 mg satu atau dua kali sehari, dicapai hingga dosis
target 200 mg.
5. Vasodilator
Vasodilator berguna untuk mengatasi preload dan afterload yang berlebihan. Preload adalah
volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole. Peningkatan preload menyebabkan
pengisian jantung berlebih. Afterload adalah tekanan yang harus di atasi jantung ketika
memompa darah ke sistem arterial. Dilatasi vena mengurangi preload jantung dengan
meningkatkan kapasitas vena, dilator arterial menurunkan resistensi arteriol sistemik dan
menurunkan afterload. Contoh obat yang berfungsi sebagai arteriodilator adalah hidralazin,
fentolamin, sedangkan venodilator adalah nitrat organik, penghambat Angiotensin Converting
Enzyme, α bloker, dan Na-nitropusid bekerja sebagai dilator arteri dan vena. Vasodilator lain
yang dapat digunakan untuk gagal jantung adalah hidralazin dan prazosin selain golongan nitrat
yang efek kerjanya pendek serta sering menimbulkan toleransi. Hidralazin oral merupakan
dilator oral poten dan meningkatkan cardiac output secara nyata pada pasien dengan gagal
jantung kongestif. Tetapi sebagai obat tunggal, selama pemakaian jangka panjang, ternyata obat
ini tidak dapat memperbaiki gejala atau toleransi terhadap latihan. Kombinasi nitrat dengan
hidralazin dapat menghasilkan hemodinamik dan efek klinis yang lebih baik.
Nitrat bekerja langsung merelaksasi otat polos pembuluh vena, tanpa bergantung pada sistem
pernafasan miokardium. Efek sampingnya merupakan akibat dari efek vasodilatasi, yaitu sakit
kepala, muka merah, dan hipotensi postural yang muncul pada awal pengobatan. Efek samping
ini dapat membatasi terapi, terutama pada angina yang berat atau pada pasien yang sangat
sensitif terhadap efek nitrat.
6. Obat-obat Inotropik
Berkenaan dengan penggunaan diuretik pada gagal jantung, efek merugikan yang paling penting
karena diuretik adalah abnormalitas elektrolit, termasuk hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis
metabolik hipokloremia. Agen inotropik intravena antara lain obat simpatomimetik dan inhibitor
fosfodiesterase.
1. Obat-obat simpatomimetik.
Obat-obat simpatomimetik adalah obat inotropik kuat yang terutama digunakan untuk
terapi gagal jantung berat pada suasana akut. Contoh obat ini adalah dopamine dan
dobutamin. Efek-efek merugikan yang terpenting berkaitan dengan sifat alami obat ini
yang aritmogenik dan potensi obat untuk menimbulkan iskemia otot jantung, takikardi,
dan iritabilitas ventricular dapat dikurangi dengan memperkecil dosis. Dobutamin
menyebabkan peningkatan cAMP intrasel, yang menyebabkan aktivasi protein kinase.
Saluran kalsium lambat merupakan tempat penting fosforilasi protein kinase. Jika ion
kalsium dalam sel miokard meningkat, kontraksi akan meningkat. Efek samping dari obat
ini utamanya adalah takikardia berlebihan dan aritmia.
2. Inhibitor fosfodiesterase
Contoh obat golongan ini adalah amrinon dan milrinon. Obat ini menyebabkan
peningkatan kalsium intrasel dan kontraktilitas jantung. Pada penggunaan jangka panjang
obat ini meningkatkan mortalitas. Karena itu indikasinya hanya untuk penggunaan jangka
pendek pada gagal jantung tahap akhir dengan gejala-gejala yang refrakter terhadap obat
lain.
3. Digitalis
Sifat umumnya sebagai inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi miokard.
Preparat digitalis mempunyai 3 khasiat pada otot jantung, yaitu kerja inotropik positif
(meningkatkan kontraksi miokard), kerja kronotropik negatif (memperlambat denyut
jantung), dan kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel-sel jantung). Contoh
preparat digitalis yang banyak digunakan adalah digoksin. Digoksin digunakan 0,125 –
0,25 mg perhari. Over dosis digoksin menyebabkan toksisitas digitalis dengan
tanda-tanda anoreksia, diare, mual dan muntah, bradikardi dan takikardi, kontraksi
ventrikel prematur, aritmia jantung, sakit kepala, penglihatan kabur, ilusi penglihatan,
bingung dan delirium. Orang lanjut usia lebih rentan terjadi toksisitas. Digoksin dapat
ditambahkan pada pasien dengan gejala berat yang belum bereaksi selama terapi diuretik,
ACEI, atau β-bloker. Digoksin diberikan secara rutin pada pasien gagal jantung dan
fibrilasi atrial.