Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Pada saat dirawat di Rumah Sakit, anak akan mengalami berbagai perasaan yang

sangat tidak menyenangkan, seperti marah, takut, cemas, sedih, dan nyeri. Perasaan

tersebut merupakan dampak dari hospitalisasi yang dialami anak karena menghadapi

berbagai stressor yang ada di lingkungan Rumah Sakit. Di Rumah Sakit, anak harus

menghadapi lingkungan yang asing, pemberi asuhan yang tidak di kenal, dan gangguan

terhadap gaya hidup mereka. Seringkali mereka harus mengalami prosedur yang

menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian dan berbagai hal yang tidak di ketahui.

Penelitian membuktikan bahwa hospitalisasi anak dapat menjadi sesuatu

pengalaman yang menimbulkan trauma baik pada anak maupun orang tua sehingga

menimbulkan reaksi tertentu yang akan sangat berdampak pada kerja sama anak dan

orang tua dalam perawatan anak selama di Rumah Sakit. Reaksi anak dalam mengatasi

krisis tersebut dipengaruhi oleh tingkat perkembangan usia, sistem dukungan (Support

sistem) yang tersedia, serta keterampilan koping dalam menangani stress.

Oleh karena itu, betapa pentingnya perawatan memahami konsep hospitalisasi dan

dampaknya pada anak dan orang tua sebagai dasar dalam pemberian asuhan keperawatan.
BAB II

ISI

1. Pengertian

Hospitalisasi adalah merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di RS, menjalani terapi dan

perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Yupi Supartini, 2004).

Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih,

takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dalam timbul karena menghadapi sesuatu

yang baru dan belum pernah di alami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman,

perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan

menyakitkan. Tidak hanya anak, orang tua juga mengalami hal yang sama.

2. Stressor Pada Anak yang di Rawat di Rumah Sakit

1. Cemas karena perpisahan

Balita belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang

memadai dan memiliki pengertian yang terbatas terhadap realita. Hubungan anak

dengan ibu adalah sangat dekat, akibatnya perpisahan dengan ibu akan

menimbulkan rasa kehilangan pada anak akan orang yang terdekat bagi diribya dan

akan lingkungan yang dikenal olehnya, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan

perasaan tidak aman dan rasa cemas.


Respon prilaku anak akibat perpisahan dibagi dalam 3 tahap, yaitu :

a. Tahap protes (Phase of Protest)

Tahap ini dimanifestasikan dengan menangis kuat, menjerit dan memanggil

ibunya atau menggunakan tingkah laku agresif, seperti menendang, menggigit,

memukul, mencubit, mencoba untuk membuat orang tuanya tetap tinggal, dan

menolak perhatian orang lain. Secara verbal, anak menyerang dengan rasa

marah, seperti mengatakan “pergi”. Prilaku tersebut dapat berlangsung dari

beberapa jam sampai beberapa hari. Prilaku proses tersebut, seperti menangis,

akan terus berlanjut dan hanya akan berhenti bila anak merasa kelelahan.

Pendekatan dengan orang asing yang tergesa-gesa akan meningkatkan protes.

b. Tahap putus asa (Phase of Despair)

Pada tahap ini, anak tampak tegang, tangisnya berkurang, tidak aktif, kurang

berminat untuk bermain, tidak ada nafsu makan, menarik diri, tidak mau

berkomunikasi, sedih, apatis, dan regresif (misalnya mengompol atau mengisap

jari).Pada tahap ini kondisi anak menghawatirkan karena anak menolak untuk

makan, minum, atau bergerak-gerak.

c. Tahap menolak (Phase of Denial)

Pada tahap ini, secara samar-samar anak menerima perpisahan, mulai tertarik

dengan yang ada disekitarnya, dan membina hubungan dangkal dengan orang

lain. Anak mulai kelihatan gembira. Fase ini biasanya terjadi setelah perpisahan

yang lama dengan orang tua.


Respon kecemasan karena perpisahan tergantung pada tingkat usia

perkembangan anak :

a. Anak usia awal (early childhood)

1) Toodler

- Memohon secara verbal agar orang tua tetap disampingnya

- Rasa tidak senang dinyatakan dengan tempertantrum (menyakiti diri

sendiri), seperti menolak untuk makan, tidur, BAK, dan BAB.

2) Pra sekolah (3-6 tahun)

- Sering bertanya saat orang tua berkunjung

- Ekspresi marah secara tidak langsung dengan membanting boneka,

memukul anak yang lain, dan tidak kooperatif

- Menolak untuk makan, sukar tidur dan menangis

b. Anak usia akhir (late childhood)

1) Usia sekolah (6-12)

- Murah tersinggung atau marah

- Menarik diri dari petugas RS

- Menolak kehadiran saudara kandung

- Tidak mampu berhubungan dengan teman sepermainan

2) Remaja

- Sulit berpisah dengan orang tua dan suasana rumah

- Takut kehilangan kontak dengan teman sebaya,

sehingga merasa statusnya dalam kelompok terancam secara

emosional
2. Kehilangan kendali (loss control)

Balita berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan otonominya. Hal ini

terlihat jelas dalam prilaku mereka dalam hal kemampuan motorik, bermain,

melakukan hubungan interpersonal, melakukan aktivitas hidup sehari-hari (ADL),

dan berkomunikasi. Balita telah mampu menunjukkan kestabilan dalam

mengendalikan dirinya dengan cara mempertahankan kegiatan-kegiatan rutin

seperti tersebut diatas. Akibat sakit dan dieawat di RS, anak akan kehilangan

kebebasan pandangan egosentris dalam mengembangkan otonominya. Hal ini akan

menimbulkan regresi. Ketergantungan merupakan karakteristik dari peran sakit.

Jika terjadi ketergantungan dalam jangka waktu lama (karena penyakit kronis) maka

anak akan kehilangan otonominya dan pada akhirnya akan menarik diri dari

hubungan interpersonal.

Penyebab kehilangan kendali tergantung pada tingkat usia perkembangan anak :

a. Bayi

Terbentuknya rasa percaya dimungkinkan dengan sikap konsisten dan kasih

sayang dari ibu.bayi mengendalikan diri terhadap lingkungannya dengan cara

menangis atau tersenyum

b. Toodler

Keterampilan yang disukai tidak dapat dilakukan sehingga menurunkan harga

diri anak

c. Prasekolah
Pembatasan aktivitas fisik dan perubahan rutinitas menyebabkan anak

kehilangan kendali

d. Usia sekolah

Perubahan peran keluarga, kemampuan fisik dan takut kematian atau trauma

yan gmenetap, kehilangan status dalam kelompok, kehilangan produktivitas

atau kemampuan untuk mengatasio stress.

e. Remaja

Pada masa ini anak mulai mengembangkan Kebebasan, kemandirian, dan jadi

diri.sehingga sesuatu yang mengancam ke-3 hal tersebut akan mengakibatkan

kehilangan kendali pada anak.

3. Luka pada tubuh dan rasa sakit (rasa nyeri)

Konsep tentang citra tubuh (body image), khususnya pengertian mengenai

perlindungan tubuh, sedikit sekali berkembang pada balita. Berdasarkan hasil

pengamatan, bila dilakukan pemeriksaan mulut atau suhu pada anus akan membuat

anak akan menjadi sangat cemas. Reaksi anak terhadap tindakan yang tidak

menyakitkan sama seperti reaksi tindakan yang sangat menyakitkan.

Reaksi balita terhadap rasa nyeri sama seperti sewaktu masih bayi, namun

jumlah variabel yang mempengaruhi responnya lebih komplek dan bermacam-

macam. Anak akan bereaksi terhadap rasa nyeri dengan menyeringaikan wajah,

menangis, mengatupkan gigi, menggigit bibir, membuka mata dengan lebar, atau

melakukan tindakan yang agresif seperti mengggigit, menendang, memukul, atau

berlari ke luar. Namun demikian kemampuan mereka dalam menggambarkan

bentuk dan intensitas dari nyeri belum berkembang.


Respon terhadap trauma fisik dan nyeri tergantung pada tingkat usia

perkembangan anak :

a. Bayi

- Menangis kuat dan mata tertutup

- Menarik diri

- Mengentak-ngentakkan tangan menggeliat

b. Toodler

- Meringis

- Mengatupkan mulut

- Membuka mata lebar-lebar

- Marah/agresif ; seperti menggigit, menendang, memukul, dan berusaha

untuk lari.

c. Prasekolah

- Ekspresi verbal secara kasar

- Menangis kuat dan menjerit-jerit

- Menghindari stimulus eksternal

- Minta dukungan emosi dari orang tua, seperti minta dipeluk.

d. Usia sekolah

- Hampir sama dengan prasekolah tetapi lebih kognitif sehingga dapat

menterjemahkan rasa nyerinya dengan baik.

e. Remaja

- Sering bertanya tentan gpenyakitnya


- Menarik diri

- Menghindar dari orang lain

- Bertanya adekuatnya tindakan medis dan perawatan.

3. Reaksi Anak, Orang Tua Dan Saudara Kandung Terhadap Hospitalisasi Anak

A. Reaksi anak terhadap hospitalisasi

Reaksi anak terhadap sakit dan di rawat di Rumah Sakit sesuai dengan

tahapan perkembangan anak adalah sebagai berikut :

1) Masa bayi (0 sampai 1 tahun)

Masalah yang utama terjadi adalah karena dampak dari perpisahan dengan

orang tua sehingga ada gangguan pembentukan rasa percaya dan kasih

sayang. Pada anak usia lebih dari 6 bulan terjadi stranger anxiety atau cemas

apabila berhadapan dengan orang yang tidak di kenalnya dan cemas karena

perpisahan. Reaksi yang muncul pada anak usia ini adalah menangis, marah,

dan banyak melakukan gerakan sebagai sikap stranger anxiety.

2) Masa todler (2 sampai 3 tahun)

Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber

stresnya. Sumber stress yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respon

prilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan

pengingkaran (denial).

Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan

kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi


tergantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada

kemampuan sebelumnya atau regresi.

3) Masa pra sekolah (3 sampai 6 tahun)

Perawatan anak di RS memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan yang

dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan yaitu lingkungan

rumah, permainan, dan teman sepermainan. Reaksi terhadap perpisahan yang

ditunjukkan anak usia pra sekolah adalah dengan menolak makan, sering

bertanya, menangis walaupun secara perlahan, dan tidak kooperatif terhadap

petugas kesehatan. Perawatan di RS juga membuat anak kehilangan kontrol

terhadap dirinya. Perawatan di RS mengharuskan adanya pembantasan

aktivitas anak sehingga anak merasa kehilangan kekuatan diri. Perawatan di

RS seringkali di persepsikan anak pra sekolah sebagai hukuman sehingga

anak merasa malu, bersalah, atau takut. Hal ini menimbulkan reaksi agresif

dengan marah dan berontak, ekspresi verbal dengan mengucapkan kata-kata

marah, tidak mau bekerja sama dengan perawat, dan ketergantungan pada

orang tua.

4) Masa sekolah (6 sampai 12 tahun)

Perawatan anak di RS memaksa anak untuk berpisah dengan lingkungan yang

dicintainya, yaitu keluarga dan terutama kelompok sosialnya dan

menimbulkan kecemasan. Kehilangan kontrol juga terjadi akibat di rawat di

RS karena adanya pembatasan aktivitas. Kehilangan kontrol tersebut

berdampak pada perubahan peran dalam keluarga, anak kehilangan kelompok

sosialnya karena ia biasa melakukan kegiatan bermain atau pergaulan sosial,


perasaan takut mati, dan adanya kelemahan fisik. Anak usai sekolah sudah

mampu mengontrol prilakunya jika merasa nyeri, yaitu dengan menggigit

bibir atau menggigit atau memegang sesuatu dengan erat.

5) Masa remaja (12 sampai 18 tahun)

Pada anak masa usia remaja begitu percaya dan sering kali terpengaruh oleh

kelompok sebayanya (geng), apabila harus di rawat di RS, anak akan merasa

kehilangan dan timbul perasaan cemas karena perpisahan tersebut.

Pembatasan aktiviyas di RS membuat anak kehilangan kontrol terhadap

dirinya dan menjadi bergantung pada keluarga atau petugas kesehatan di RS.

Reaksi yang sering muncul terhadap pembatasan aktivitas ini adalah dengan

menolak perawatan atau tindakan yang di lakukan apa adanya atau anak tidak

mau kooperatif dengan petugas kesehatan atau menarik diri dari keluarga,

sesama pasien, dan petugas kesehatan (isolasi).

B. Reaksi orang tua terhadap hospitalisasi anak

Reaksi orang tua terhadap anaknya yang sakit dan di rawat di RS di pengaruhi

oleh berbagai macam faktor antara lain :

1. Tingkat keseriusan penyakit anak

2. Pengalaman sebelumnya terhadap sakit dan di rawat di RS

3. Prosedur pengobatan

4. Sistem pendukung yang tersedia

5. Kekuatan ego individu

6. Kemampuan dalam penggunaan koping


7. Dukungan dari keluarga

8. Kebudayaan dan kepercayaan

9. Komunikasi dalam keluarga

Reaksi orang tua terhadap perawatan anak di RS adalah :

1. Penolakan/ ketidakpercayaan (denial/disbelief)

Yaitu menolak atau tidak percaya. Hal ini terjadi terutama bila anak tiba-tiba

sakit serius.

2. Marah atau merasa bersalah atau keduanya

Setelah mengetahui bahwa anaknya sakit, maka reaksi orang tua adalah marah

dan menyalahkan dirinya sendiri. Mereka merasa tidak merawat anaknya

dengan benar, mereka mengingat-ngingat kembali mengenai hal-hal yang

telah mereka lakukan yang kemungkinan dapat mencegah anaknya agar tidak

jatuh sakit, atau mengingat kembali tentang hal-hal yang menyebabkan

anaknya sakit, orang tua menyalahkan dirinya sendiri karena tidak dapat

menolong mengurangi rasa sakit yang dialalmi oleh anaknya.

3. Ketakutan, cemas, dan frustasi

Ketakutan dan rasa cemas dihubungkan dengan seriusnya penyakit dan tipe

prosedur medis. Frustasi dihubungkan dengan kurangnya informasi mengenai

prosedur dan pengobatan, atau tidak familiar dengan peraturan rumah sakit.

4. Depresi

Biasanya depresi ini terjadi setelah masa krisis anak berlalu. Ibu sering

mengeluh merasa lelah baik secara fisik maupun mental. Orang tua mulai
merasa khawatir terhadap anak-anak mereka yang lain, yang di rawat oleh

anggota keluarga lainnya, oleh teman atau tetangga. Hal lain yang membuat

orang tua cemas dan defresi adalah kesehatan anaknya dimasa-masa yang

akan datang misalnya efek dari prosedur pengobatan dan biaya pengobatan.

C. Reaksi saudara kandung terhadap perawatan anak di Rumah Sakit

Reaksi yang sering muncul pada saudara kandung (sibling) terhadap kondisi

ini adalah marah, cemburu, benci, dan rasa bersalah. Rasa marah timbul karena

jengkel terhadap orang tua yang dinilai tidak memperhatikannya. Cemburu atau

iri timbul karena di rasakan orang tuanya lebih mementingkan saudaranya yang

sedang ada di RS, dan ia tidak dapat memahami kondisi ini dengan baik. Perasaan

benci juga timbul tidak hanya kepada saudaranya, tetapi juga pada situasi yang

dinilainya tidak menyenangkan. Selain perasaan tersebut rasa bersalah juga dapat

muncul karena anak berfikir mungkin saudaranya sakit akibat kesalahannya. Ia

mungkin akan mengingat kejadian yang telah berlalu sebelum saudaranya sakit

dan ia menghubungkan hal ini dengan kesalahannya.

Selain perasaan tersebut, takut dan cemas serta perasaan kesepian juga sering

muncul. Perasaan sepi dan sendiri muncul karena situasi di rumah di rasakan tidak

seperti biasanya ketika anggota keluarga lengkap berada di rumah, dalam situasi

penuh kehangatan, bercengkerama dengan orang tua dan saudaranya.

Kondisi di atas terutama sering muncul pada anak yang lebih muda dan di

hadapkan pada terlalu banyak perubahan, di rawat atau di temani oleh orang lain
yang bukan saudaranya dan kurang menerima informasi yang adekuat dari orang

tua berkaitan dengan kondisi saudaranya di RS.

4. Mekanisme Koping Anak Dan Orang Tua Pada Hospitalisasi

1) Mekanisme koping anak

a. Bayi

Tidak dapat melakukan mekanisme koping terhadap masalah yang dihadapi

b. Toodler

Membiarkan toodler bersama objek yang memberi rasa aman

c. Prasekolah

Pasif, tidak kooperatif, menarik diri atau hiperaktif, agresif, dan

pseudoindependen

d. Usia sekolah

Hospitalisasi diterima sebagai petualangan, banyak hal baru dan juga teman

baru.

e. Adolescence

- Timbul rasa bersalah jika temannya terjadi kecelakaan

- Memiliki sedikit kontrol untuk kecemasan

- Pola rekreasi, nutrisi, tidur dan sosialisasi dirubah dan dikontrol

- Bagi remaja yang cemas menghadapi hospitalisasi maka dia akan

mendekati atau melawan seseorang bahkan menghindari orang lain.

2) Mekanisme koping orang tua

a. Menolak/denial

b. Intelektualisasi
c. Regresi

d. Proyeksi

e. Displacement

f. Introjektion

5. Prinsip Perawatan Hospitalisasi Anak

Asuhan yang berpusat pada keluarga dan atraumatik care menjadi palsafah

utama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Untuk itu berkaitan dengan upaya

mengatasi masalah yang timbul baik pada anak maupun orang tua selama anaknya

dalam perawatan di RS, fokus intervensi keperawatan adalah meminimalkan stressor,

memaksimalkan manfaat hospitalisasi, memberikan dukungan psikologis pada

anggota keluarga, dan mempersiapkan anak sebelum di rawat di RS.

A. Upaya meminimalkan stressor atau penyebab stress

1. Untuk mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan

dengan cara :

 Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara

membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam

(rooming i).

 Jika tidak mungkin untuk rooming in,beri kesempatan orang tua untuk

melihat anak setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar

mereka.
 Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat

seperti di rumah, diantaranya dengan membuat dekorasi ruangan yang

bernuansa anak.

 Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, diantaranya dengan

memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman sekolah dan membantunya

melakukan surat-menyurat dengan siapa saja yang anak inginkan.

2. Untuk mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat di lakukan dengan cara :

 Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif terhadap petugas

kesehatan.

 Buat jadwal kegiatan untuk prosedur terapi, latihan, bermain, dan aktivitas

lain dalam perawatan untuk menghadapi perubahan kebiasaan/kegiatan

sehari-hari.

 Fokuskan intervensi keperawatan pada upaya untuk mengurangi

ketergantungan dengan cara memberi kesempatan anak mengambil

keputusan dan melibatkan orang tua dalam perencanaan kegiatan asuhan

keperawatan.

3. Untuk meminimalakan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri dapat

dilakukan dengan cara :

 Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur

yang menimbulkan rasa nyeri.


 Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik

anak.

 Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua pada saat anak dilakukan

tindakan atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila mereka tidak

dapat menahan diri, bahkan menangis bila melihatnya.

 Tunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa

takut akibat prosedur yang menyakitkan.

 Pada tindakan pembedahan efektif, lakukan persiapan khusus jauh hari

sebelumnya apabila memungkinkan.

Penanganan nyeri :

1. Penanganan non farmakologik

- Jalin trust

- Persiapan sebelum nyeri timbul

- Dampingi selama nyeri

- Jelaskan penyebab, gambaran nyeri/prosedur tindakan

- Bila nyeri lama berikan boneka

- Distraksi

- Guided imageri

- Membicarakan diri yang positif

- Stimulasi kutan dan kontak


2. Penanganan farmakologis

- menentukan obat yang tepat

- menyediakan dosis yang tepat

- pemberian secara rutin (perlu diatur)

- waktu yang tepat

- observasi efek samping dengan ketat

- memberikan pernyataan yang positif saat memberikan analgesik

3. Membantu anak melokalisasi nyeri

- Minta anak menunjukkan lokasi sakit

- Minta anak menandai/mewarnai area nyeri

- Minta anak menceritakan perasaan bonekanya atau menunjukkan area

yang sakit atau merasa tidak anak.

B. Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak

1. Membantu perkembangan orang tua dan anak dengan cara memberi

kesempatan orang tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak

terhadap stressor yang di hadapi selama dalam perawatan di RS.

2. Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua.

3. Untuk meningkatkan kemampuan kontrol diri dapat dilakukan dengan

memberi kesempatan pada untuk mengambil keputusan, tidak terlalu

bergantung pada orang lain dan percaya diri.


4. Fasilitas anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang

ada, teman sebaya atau teman sekolah.

C. Memberikan dukungan pada anggota keluarga lain.

1. Berika dukungan pada keluarga untuk mau tinggal dengan anak di RS.

2. Apabila diperlukan, fasilitas keluarga untuk berkonsultasi pada psikolog atau

ahli agama karena sangat dimungkinkan keluarga mengalami masalah

psikososial dan spiritual yang memerlukan bantuan ahli.

3. Beri dukungan pada keluarga untuk menerima kondisi anaknay dengan nilai-

nilai yang diyakininya.

4. Fasilitasi untuk menghadirkan saudara kandung anak apabila diperlukan

keluarga dan berdampak positif pada anak yang dirawat maupun saudara

kandungnya.

D. Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di RS

Pada tahap sebalum masuk Rumah Sakit dapat dilakukan :

1. Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak dan jenis penyakit

dengan peralatan yang diperlukan.

2. Apabila anak harus di rawat secara berencana, 1-2 hari sebelum dirawat

diorientasikan dengan situasi rumah sakit dengan bentuk miniatur bangunan

rumah sakit.

Pada hari pertama dirawat dilakukan :

1. Kenalkan perawat dan dokter yang akan merawatnya.


2. Orientasikan anak dan orang tua pada ruangan rawat yang ada beserta fasilitas

yang dapat digunakan.

3. Kenalkan dengan pasien anak lain yang akan menjadi teman sekamarnya.

4. Berikan identitas pada anak.

5. Jelaskan aturan rumah sakit yang berlaku dan jadwal kegiatan yang akan

diikuti.

6. Laksanakan pengakajianriwayat keperawatan.

7. Lakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya sesuai dengan yang

diprogramkan.

E. Bermain untuk mengurangi stress akibat hospitalisasi

Bermain adalah penting untuk kesehatan mental, emosional, dan sosial. Oleh

karena itu, adanya ruang bermain khusus bagi anak adalah sangat penting untuk

memberikan rasa aman dan menyenangkan. Keterlibatan orang tua dalam

aktivitas bermain sangat penting karena anak akan merasa aman, adapun tujuan

dan prinsip bermain di rumah sakit adalah :

1. Tujuan bermain di rumah sakit

 Dapat melanjutkan tumbuh kembang yang normal selama perawatan,

sehingga tumbuh kembang tetap berlangsung terus tanpa terhambat oleh

keadaan anak.

 Dapat mengekspresikan pikiran dan fantasi anak.

 Dapat mengembangkan kreativitas melalui pengalaman bermain yang

tepat.
 Agar anak dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres karena

penyakit atau karena dirawat di rumah sakit.

2. Prinsip bermain di rumah sakit

 Tidak banyak mengeluarkan energi, singkat, dan sederhana.

 Mempertimbangkan keamanan dan infeksi silang.

 Kelompok umur yang sama.

 Permainan tidak bertentangan dengan pengobatan.

 Semua alat permainan dapat dicuci.

 Melibatkan orang tua.

6. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul Pada Anak Dengan Hospitalisasi

1. Cemas/takut B.d berpisah dari kebiasaan rutin dan support sistem keluarga

2. Cemas/takut B.d prosedur/tindakan yang dicemaskan

3. Ketidakberdayaan B.d ketidakmampuan mobilitas, gangguan muskuloskeletal,

batasan RS, pengaruh penyakit

4. Risti injuri (kecacatan/cidera yang lebih berat) B.d tidak terbiasa dengan

lingkungan terapi/perlengkapan yang berbahaya

5. Gangguan kebersihan diri B.d ketidakmampuan fisik pemasangan alat-alat.

7. Rencana Asuhan Keperawatan


DX. I. Cemas/takut berhubungan dengan berpisah dari kebiasaan rutin dan

support sistem keluarga

 Tujuan 1 : klien memperoleh pengalaman yang minimal tentang perpisahan

 Intervensi :

1. Tentukan tim perawat jika mungkin dan primary nurse untuk memperoleh

konsistensi dan timbul trust

2. Atur kerja dan jadwal untuk kontak dengan anak

3. Dorong orang tua untuk berkunjung untuk mencegah adanya rasa berpisah

4. Akui/terima adanya lingkungann terpisah dari anak secara normal.

Biarkan anak menangis sepanjang masih normal, berikan dukungan

melalui dokter/perawat lain

5. Bantu orang tua untuk mengerti tingkah laku cemas dan anjurkan cara-

cara mendukungnya

6. Pertahankan kontak anak dengan orang tua dan saudaranya dengan cara

berkomunikasi secara teratur (telepon/surat) dorong anak untuk bicara

dengan anggota keluarga

7. Jelaskan pada anak ketika orang tua meninggalkannya dan ketika akan

kembali lagi

8. Dorong anggota keluarga untuk berkunjung

9. Bawa alat-alat yang disenangi anak dari rumah

10. Anjurkan keluarga untuk bermain/menghibur anak sebelum tidur


11. Anjurkan keluarga untuk memberikan hadiah untuk anak untuk

menghiburnya.

 Kriteria evaluasi :

1. Anak konsisten dengan pemberi pelayanan

2. Orang tua berkunjung sebanyak mungkin

3. Orang tua dapat bekerja sama dengan perawat dalam perawatan anaknya

4. Anak menerima dan berespon positif terhadap kenyamanan

5. Orang tua dapat menunjukkan pengertian ketika berpisah

6. Anak berdiskusi dengan keluarga/perawat tentang mainan dan hobinya

7. Saudara dan orang penting lainnya bagi anak berkunjung sesering

mungkin

8. Keluarga memberikan anak benda-benda yang disukainya

 Tujuan 2 : Klien dapat mengekspresikan perasaannya

 Intervensi :

1. Terima ekspresi perasaan anak

2. Berikan suasana yang mendorong kebebasan anak mengekspresikan

perasaan

3. Dorong anak untuk memverbalisasi atau ekspresikan perasaan tanpa rasa

takut akan hukuman

4. Anjurkan menggambar dan aktivitas lain karena anak kadang-kadang

menemukan cara untuk mengekspresikan hayalan selain dengan kata-kata

5. Anjurkan membuat catatan harian untuk meriview kemajuan anak dan

perubahan dalam permasalahan


 Kriteria evaluasi

Anak memverbalisasi/mengeluarkan perasaan

 Tujuan 3 : Klien tetap tenang

 Intervensi :

1. Jangan melakukan sesutau yang membuat anak cemas.

2. Jaga ketenangan/rileks dan keyakinan

3. Sediakan waktu pada anak dan keluarga untuk menjelaskan

4. Beri kompetensi perawat yang konsisten untuk rasa kepercayaan pada

kedua orang tua anak

5. Coba hindari tindakan invasif

 Kriteria evaluasi

1. Anak menunjukkan tanda-tanda kekhawatiran

2. Anak beristirahat dengan tenang dan nyaman

DX. II : Cemas /takut berhubungan dengan prosedur/tindakan yang dicemaskan

 Tujuan 1 : Anak disiapkan untuk hospitalisasi

 Intervensi :

1. Siapkan anak sesuai kebutuhan untuk menurunkan kecemasan tentang hal-

hal yang tidak diketahui dan mendorong kerjasama.

2. Pilih materi yang harus disiapkan

3. Libatkan orang tua sebagai sumber yang efektif dalam membantu anak

4. Modifikasi persiapan awal dalam situasi yang khusus

 Kriteria evaluasi :
Anak mampu menerima pengalaman anak di rumah sakit

 Tujuan 2 : Anak mampu menurunkan rasa takut terhadap injury

 Intervensi :

1. Kenali perkembangan rasa takut berhubungan dengan prosedur dan

keadaan sakit yang dirasakan

2. Berikan penjelasan sesuai dengan tumbuh kembang yang dilakukan

berdasarkan prosedur, berikan informasi tentang bagian tubuh yang

dipengaruhi tindakan atau prosedur

3. Berikan penjelasan yang sesuai dengan usia tumbuh kembang seperti

prosedur yang mungkin didengar dari keadaan lain untuk menurunkan rasa

takut.

4. Sesuaikan privacy klien

5. Yakinkan anak bagian yang diambil akan terasa sakit yang berat

 Kriteria evaluasi :

Anak menunjukkan rasa takut yang minimal terhadap trauma/injury.

 Tujuan 3 : Anak mampu menerima dukungan selama tes/prosedur yang

dilakukan

 Intervensi :

1. Siapkan anak untuk prosedur sesuai umur dan tingkat pengetahuan

2. Berikan jawaban atas pertanyaan dan jelaskan tujuan aktivitas

3. Jelaskan perkembangan yang ada


 Kriteria evaluasi :

Anak mampu menerima dan kooperatif terhadap prosedur

 Tujuan 4 : Menunjukkan perilaku trust

 Intervensi :

1. Lakukan pendekatan positif pada anak

2. Jujur pada anak untuk meningkatkan rasa percaya

3. Motivasi anak untuk melakukan perilaku yang diharapkan

4. Konsistensi dalam memberi pengaharapan dan hbungan dengan anak

karena konsistensi merupakan komponen yang penting dalam membangun

trust

5. Perlakukan anak secara terbuka dan bantu anak merasakan hal itu

6. Dorong orang tua untuk menjaga hubungan yang penuh trust

 Kriteria evaluasi :

- Anak mampu mengembangkan hubungan dengan perawat

- anak mampu kepercayaan dengan keluarga

 Tujuan 5 : Anak memiliki rasa aman

 Intervensi :

1. Jaga identitas anak (panggil anak dengan namanya)

2. Hindari perilaku komunikasi dengan respon penolakan-perasaan kurang

pada anak

3. Komunikasi ketidaksetujuan terhadap perilaku yang tidak sesuai

4. Komunikasi secara verbal dan nonverbal bahwa anak merupakan pribadi

yang dihargai
5. Lakukan perawatan/prosedur di ruangan anak atau tempat yang disukai

 Kriteria evaluasi :

Anak merasa aman selama hospitalisasi

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang

berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani

terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah. Berbagai perasaan

yang sering dialami anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah yang

dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami

sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang

biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan.

Orang tua juga mengalami hal yang sama, yaitu dengan perasaan takut, cemas,

rasa bersalah, sedih, bahkan sering kali konflik dihadapi karena harus menunggui

anak di rumah sakit, sementara ada anak lain yang lebih kecil usianya di rumah.

Reaksi anak terhadap hospitalisasi sangat individual bergantung pada tahapan

perkembangan, pengalaman sebelumnya terhadap perawatan di rumah sakit, sistem

dukungan yang ada, dan kemampuan koping yang dimiliki. Reaksi orang tua

didasarkan pada perasaan cemas dan takut, sedih, dan frustasi, demikian juga saudara

kandungnya.
Intervensi yang penting dilakuakn perawat terhadap anak pada prinsipnya

untuk meminimalakn stresor, mencegah perasaan kehilangan, meminimalkan rasa

takut terhadap perlukaan dan nyeri, serta memaksimalkan manfaat perawat di rumah

sakit.

2. Saran

Untuk mengatasi stres akibat hospitalisasi, maka perawat sebaiknya

melakukan asuhan keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses

keperawatan, mulai dari pengkajian, diagnosis masalah, rencana tindakan, tindakan

sampai evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

Nursalam, 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Edisi I, Jakarta : Salemba Medika.

Supartini Yupi, 2004. Konsep Dasar Keperawatan Anak, Jakarta : EGC.

Wong, Donna L, 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4, Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai