Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MATA KULIAH

ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI I


POLA RUMAH DI DESA PENGLIPURAN
BANGLI

DOSEN:
DR. IR. NGAKAN PUTU SUECA, MT
IR. I GUSTI MADE PUTRA, M.SI
IR. IDA AYU ARMELI, M.SI

MAHASISWA :
A. A. NGURAH ARITAMA
(0804205072)

FAKULTAS TEKNIK
PS ARSITEKTUR
UNIVERSITAS UDAYANA
BADUNG 2009
BAB I

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perumahan Permukiman Tradisional Bali merupakan suatu tempat kehidupan
yang utuh dan bulat yang berpola tradisional yang terdiri dari 3 unsur, yaitu: unsur
kahyangan tiga (pura desa), unsur krama desa (warga), dan karang desa (wilayah) dengan
latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional yang melandasinya. Perumahan
Permukiman Tradisional Bali tersebut pada prinsipnya dilandasi oleh konsepsi-konsepsi
seperti: hubungan yang harmonis antara Bhuana Agung dengan Bhuana Alit, Manik Ring
Cucupu, Tri Hita Karana, Tri Angga, Hulu-Teben sampai kepada melahirkan tata nilai
Sanga Mandala yang memberi arahan tata ruang, baik dalam skala rumah (umah) maupun
perumahan (desa). Untuk itu pada makalah ini kita akan membahas secara lebih jelas
mengenai pola/susunan serta fungsi pemukiman tradisional Bali khususnya di desa
Penglipuran Bangli.
Desa Penglipuran merupakan suatu komunitas yang tumbuh dan berkembang
dalam suatu pola pemukiman tradisional linear yang terbentuk pada abad XI karena
pengaruh kebudayaan Bali Aga yang dibawa oleh para leluhur mereka dari Bayung Gede
Kintamani. Selama perjalanan waktunya, berbagai pengaruh yang dibawa oleh berbagai
kebudayaan yang masuk ke Bali hingga era globalisasi seperti sekarang ini telah mampu
menyeleksi pengaruh luar tersebut sehingga dapat bertahan sampai sekarang ini tanpa
merusak tatanan adat istiadat dan lingkungan alamiahnya.
Masyarakat Penglipuran memandang keserasian hubungan antara manusia
dengan alam mengambil pengumpamaan “sekadi manik ring cacupu.” Manusia
diumpamakan sebagai manik (janin), sedangkan alam sebagai cacupu (rahim).
Konsep ini mengandung makna bahwa manusia hidup dilingkupi oleh alam, dan dari
alamlah manusia memperoleh sarana untuk hidup. Dalam posisi itu jelas tampak
bahwa manusia hidup bebas dalam keterikatan dengan alam. Manusia bebas
mengambil apa saja dari alam, tetapi dia wajib menjaga kelestariannya. Jika alam
rusak, maka manusia pasti akan hancur,. Atas dasar itu, sudah selayaknya manusia
menaruh rasa hormat kepada alam yang diimplementasikan dengan berbagai upacara
keagamaan, seperti upacara tumpek pengatag (penghormatan kepada Tuhan dalam

2
manifestasinya sebagai pencipta tumbuhan,), tumpek kandang (penghormatan
kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai pencipta binatang). dan upacara
ngusaba bantal (sebagai penghormatan kepada Tuhan atas hasil panen yang telah
mereka nikmati).

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini adalah:
1. Bagaimana pola rumah di Desa Penglipuran Bangli?
2. Apakah hubungan pola rumah dengan kehidupan social masyarakat desa
Penglipuran?
3. Bagaimana konsep serta prinsip prinsip yang diterapkan dalam pembanguan
pola rumah Desa Penglipuran?

1.3 Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini agar dapat mengetahui pola pola rumah
tradisional di Desa Tradisional Penglipuran Bangli. Melalui pola pola rumah tersebut
dapat diketahui bagaimana kehidupan social masyarakat desa Penglipuran.

1.4 Manfaat
Manfaat yang didapatkan melalui pembuatan makalah ini adalah agar dapat
mengetahui lebih jauh mengenai pola pola rumah tradisional khususnya pola rumah di
desa tradisional Penglipuran. Serta mengetahui lebih juh tenteng perkembangan serta
perubahan pola rumah dan kehidupan social masyarakat Penglipuran.

1.5 Metode Penulisan


Metode yang dipergunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode studi
pustaka, yaitu memperoleh sumber berita dari buku-buku bacaan, serta metode observasi
dan wawancara dengan langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data.

BAB II

3
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Rumah Tradisional Bali


Perumahan atau pemukiman tradisional Bali merupakan tempat tinggal yang
berpola tradisional dengan perangkat lingkungan dengan latar belakang norma-norma dan
nilai-nilai tradisional. Hal hal yang melandasi di dalam pembangunan rumah tradisional
Bali antara lain: konsep Bhuana Alit Bhuana Agung, Konsep Manik Ring cecupu, konsep
Tri hita Karana, Tri Angga, Tri Loka dan lainnya. Konsep konsep tersebut memberi
arahan serta pandangan tentang tata ruang baik dalam skala rumah maupun dalan skala
desa (yang lebih besar).

2.2 Konsep Rumah Tradisional Bali


Konsep konsep pola perumahan dan rumah tradisional Bali khususnya di Desa
Penglipuran Bangli tidak terlepas dari ajaran agama hindu sebagai sumber, dasar serta
landasan filosofis dalam kehidupan sehari hari. Konsep konsep tersebut menghasilkan
prinsip dan aturan di dalam perancangan pembangunan rumah tradisional Bali. Rumah
tradisional Bali selain menampung aktivitas kebutuhan hidup seperti: tidur, makan,
istirahat juga untuk menampung kegiatan yang bertujuan untuk kepentingan psikologis,
seperti melaksanakan upacara keagamaan dan adat. Dengan demikian rumah tradisional
sebagai perwujudan budaya sangat kuat dengan landasan filosofi yang berakar dari
agama Hindu.
Arsitektur Bali mengenal beberapa konsep di dalam perancangan yang merupakan
prinsip dasar dalam setiap proses pembangunan. Antara lain seagai berikut:
•Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
•Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
•Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
•Konsep proporsi dan skala manusia
•Konsep court, Open air

4
Tri angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan
arsitektur, yang meupakan asal usul Tri Hita Karana. Konsep tri angga membagi segala
sesuatu menjadi tiga zone:
•Nista(bawah,kotor,kaki),
•Madya(tengah,netral,badan)
•Utama (atas, murni, kepala)
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang bersifat makro (alam semesta/bhuana
agung) sampai yang paling mikro (manusia/bhuana alit). Dalam skala wilayah; gunung
memiliki nilai utama; dataran bernilai madya dan lautan pada nilai nista. Dalam
perumahan, Kahyangan Tiga (utama), Perumahan penduduk (madya), Kuburan (nista),
juga berlaku dalam skala rumah dan manusia.
Selain memberikan nilai secara vertikal , Tri Angga juga memiliki tata nilai hulu
teben (atas bawah). Konsep ini memberikan nilai keselarasan antara bhuana agung dan
bhuana alit. Konsep ini kemudian mempunyai beberapa orientasi antara lain;
 Orientasi dengan sumbu kangin kauh, dengan kangin sebagai unsur utama
karena merupakan arah matahari terbit. Sedangkan kauh dengan nilai nista
sebagai arah terbenamnya matahari.

5
 Orientasi dengan konsep kaja kelod, dengan kaja sebagai gunung unsur
utama karena merupakan gunung sebagai pusat kemakmuran /sumber
penghidupan. Sedangkan kelod sebagai unsur nista dengan laut sebagai
tempat pembersihan kotoran.
 Orientasi dengan konsep akasa Pretiwi (simbol langit dan bumi). Akasa
sebagai unsur purusa / utama. Sedangkan pretiwi sebagai unsur predana/
nista. Di dalam konsep ini penggabungan antara purusa dan predana
disebutkan sebagai natah(open space).
Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi
kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Konsep – konsep di atas jika
diterjemahkan secara makro dan mikro adalah sama. Nawa sanga menunjuk ke arah
delapan penjuru angin ditambah titik pusat di tengah. Dari kesembilan orientasi ini yang
paling dominan adalah orientasi dengan gunung-laut dan sumbu terbit-terbenamnya
matahari. Daerah yang paling sakral selalu ditempatkan pada arah gunung (kaja-kangin),
sedang daerah yang sifatnya profan ditempatkan pada arah yang menuju ke laut (kelod-
kauh). Berdasarkan urut-urutan tingkat kesakralan, dari paling sakral ke paling profan
elemen bangunan rumah diurutkan sebagai berikut: Sanggah (pura rumah tangga),
pengijeng, bale adat, bale gede, bale meten (ruang serba guna), pawon (dapur), jineng
(lumbung), kandang ternak, teben (halaman belakang).

2.3 Pola Penataan Rumah Tradisional Bali


Penataan rumah dan pekarangan sangat ketat dan mengikuti ketentuan Asta
Kosala-Kosali, Asta Bumi, Sikut Karang dan berbagai aturan yang tertulis maupun yang
tidak tertulis lainnya. Karenanya, setiap pekarangan dan rumah di Desa Pengelipuran
selalu mempunyai pola atau tatanan yang sama. Posisi paling barat ditempati oleh sebuah
joli yaitu tempat tinggal utama. Dimana sebagian besar penghuni rumah tinggal disini.
Juga dimanfaatkan untuk menerima tamu.
Masuk lebih dalam lagi akan dijumpai pewaregan atau dapur di bagian utara dan
bale saka nem di sebelah selatan. Dapur memang berfungsi sebagai dapur dan tempat
tinggal orang tua, dan kadang dipakai sebagai atempat mekemit (menyucikan diri, tapa

6
brata) ketika seseoarng dari keluarga yang tinggal di pekarangan itu melakukan suatu
ritual adat keagamaan. Sedangkan bale saka nem lebih banyak berfungsi untuk kegiatan
manusa yadnya, yaitu ritual yang berkaitan dengan upacara terhadap manusia, seperti
metatah dan tempat jenazah ketika salah seorang penghuni pekarangan itu meniggal
dunia.
Lebih kedalam lagi dijumpai lesung di sebelah utara, berdampingan dengan
lumbung di sebalah selatan. Lesung di sini ternyata diberi tempat khusus dan diberi atap.
Fungsinya selain sebagai sarana untuk menumbuk padi, jagung atau bahan makanan
lainnya, di sekitar lesung juga dimanfaatkan untuk mebat atau metanding ketika akan
melaksanakan suatu kegiatan/ritual keagamaan. Diseberangnya berdiri lumbung yang
dipakai sebagai tempat menyimpan hasil pertanian terutama gabah.
Paling ujunng atau paling timur adalah bangunan sanggah yang hamper
berdampingan dengan kamar mandi. Mungkin kamar mandi merupakan hasil akulturi
dari budaya modern. Karena sebelumnya masyarakat Pengelipuran lebih banyak
memanfaatkan aliran sungai untuk kebutuhan MCK-nya.

7
2.4 Pola/ Susunan Rumah Tradisional Bali di Penglipuran
Konsep-konsep di atas dapat kami temukan pada struktur rumah dan struktur desa
penglipuran. Struktur rumah yang ada pada masing-masing rumah di desa Penglipuran
bangli merupakan struktur yang berkiblat pada sumbu jalan desa. Sehingga dapat
disimpulkan letak angkul-angkul pada rumah di desa Penglipuran Bangli selalu
menghadap pada jalan desa.
Pola – pola rumah yang kami temukan pada pemukiman warga di desa
penglipuran Bangli pada umumnya sama. Pola–pola rumah yang seperti itu
diterjemahkan berdasarkan prinsip – prinsip di atas. Konsep hirarki ruang diterjemahkan
dalam Tri Loka dengan prinsip sebagai berikut:
a. Unsur Makro/Luas/Desa/Bhuana Agung
1. Parhyangan (jiwa)
Unsur Parhyangan pada konsep makro dapat diterjemahkan sebagai
Pura Desa/ Puseh yang merupakan tempat suci. Merupakan daerah
yang bersifat sakral.
2. Pawongan (tenaga)
Unsur-unsur Pawongan pada konsep makro dapat diterjemahkan dalam
masyarakat desa Penglipuran. Unsur Pawongan adalah tenaga yang
merupakan unsur penggerak. Dalam segala hal unsur Pawongan
diperlukan untuk menggerakkan segala hal yang melibatkan desa.
3. Palemahan
Unsur Palemahan pada usur makro diterjemahkan pada karang desa,
teba/ teben yang merupakan daerah kotor/profan.
b. Unsur Mikro/Sempit/Rumah/Bhuana Alit
1. Parhyangan (jiwa)
Pada konsep rumah/ perumahan unsur Parhyangan sendiri meliputi
pamerajan/ sanggah. Unsur sanggah dianggap sebagai daerah sakral
dalam konsep mikro. Pada daerah ini ditemukan adanya beberapa
pelinggih diantaranya: rong tiga, taksu serta pelinggih sebagai tempat
pemujaan lainnya.

8
2. Pawongan (tenaga)
Pada unsur mikro konsep rumah meliputi warga pemilik rumah.
Dengan ruang lingkup pawongan meliputi:
1. Pada arah utara terdapat pewaregan/ dapur yang merupakan tempat
untuk memasak dari penghuni rumah. Selain itu fungsi rumah tidak
hanya sebagai tempat memasak tetapi juga sebagai tempat orang
yang sudah tua/ jompo untuk tinggal. Mengingat iklim/ cuaca pada
daerah penglipuran termasuk daerah yang beriklim dingin.
Sehingga di dalam dapur juga difungsikan sebagai tempat tidur.
Selain itu dapur di desa Penglipuran juga merupakan bangunan
yang wajib dimiliki oleh warga desa Penglipuran yang sudah
menikah pada jaman dahulu sebelum masuk pengaruh arsitektur
modern. Sehingga dalam satu zona rumah dapat ditemukan 2 dapur
bahkan lebih
2. Pada arah barat terdapat loji merupakan tempat tidur tamu atau
keluarga.
3. Pada arah selatan ditemukan bangunan yang memiliki saka yang
berjumlah 6 yang merupakan bale adat yang berfungsi sebagai
tempat upacara adat seperti: upacara perkawinan, upacara
kematian. Pada upacara kematian bale ini digunakan sebagai
tempat meletakkan jenazah.

3. Palemahan
1. Pada daerah belakang loji merupakan teba/ teben, selain itu
pada daerah ini ditemukan kandang, wc, serta tempat untuk
menjemur pakaian. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada
daerah ini merupakan daerah kotor/ profan.
2. Natah di dalam rumah terbentuk
oleh adanya bangunan-bangunan rumah yang
mengelilinginya. Fungsi natah adalah untuk
melakukan kegiatan upacara yang berkaitan

9
dengan butha yadnya seperti mecaru; berkaitan
dengan manusa yadnya seperti mabyakala atau
juga untuk prosesi upacara pernikahan; berkaitan
dengan pitra yadnya seperti prosesi menyucikan
jenazah dan roh manusia. Fungsi sosialnya
adalah untuk penerimaan tamu yang berkaitan
dengan upacara atau perayaan. Fungsi
kesehatannya adalah penyediaan ruang terbuka
untuk mempermudah memperoleh sinar
matahari, penerangan, udara segar, dan lainlainnya.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa rumah arsitektur
tradisional Bali yang memiliki konsepsi-konsepsi yang dilandasi agama Hindu, landasan
landasan dan konsepsi ini diwujudkan dalam merupakan perwujudan budaya, dimana
karakter perumahan tradisional Bali sangat ditentukan norma-norma agama Hindu, adat
istiadat serta rasa seni yang mencerminkan kebudayaan. Khususnya di daerah
Penglipuran, Bangli. Konsep konsep diwujudkan di dalam pola pola rumah serta
penempatan bangunan dengan konsep kaja kangin, konsep bhuana agung, bhuana alit dan
konsep konsep lainnya yang disebutkan dalam penjelasan di atas.

3.2 Saran
Untuk dapat melestarikan keberadaan arsitekur Bali khususnya di daerah desa
Penglipuran Bangli. Perlu dilaksanakan program program yang berkesinambungan demi
pelestarian arsitektur tradisional Bali. Selain itu pemahaman setiap orang akan
pentingnya arsitektur tradisional Bali sebagai identitas dan ciri dari masyarakat Bali perlu
ditingkatkan. Sehingga keberadaan arsitektur tradisional Bali khususnya di Penglipuran
tidak hanya menjadi cerita di masa yang akan datang dan tetap menjadi kebanggaan bagi
masyarakat itu sendiri.

11

Anda mungkin juga menyukai