Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH BIOMEDIK II

”Konsep Dasar Farmakodinamik”

Kelompok 3 :

Amirah Syadza ( 1611211031 )

Ahmad Fadhil Amrullah ( 1611211036 )

Anisa Fitri ( 1611211040 )

Jenita Sari ( 1611211051 )

Kurnia Sputri ( 1611211052 )

Lathifah Nisa ( 1611211046 )

Mutiara Rahmi ( 1611211048 )

Nadya Rahma Syari ( 1611211039 )

Syarah Fardila ( 1611211038 )

Yulina Wahyuningrum ( 1611213022)

Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Andalas

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “ Konsep Dasar Farmakodinamik” ini . Kami
mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. dr. Dien Gusta Anggraini Nursal, MKM selaku
dosen pengampu mata kuliah Dasar Biomedik II Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Andalas yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Disamping itu kami
juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama
pembuatan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai Imunologi dasar. Kami menyadari bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik dan saran
demi perbaikan makalah yang kami buat di masa yang akan datang.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah ini di waktu
yang akan datang.

Padang, 25 Juli 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................1
1.3 Tujuan Masalah ...............................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN .........................................................................................2
2.1 Definisi Farmakodinamik ...............................................................................2
2.2 Tujuan Mempelajari Farmakodinamik dan Mekanisme Obat ........................2
2.3 Fase Dasar Kerja Obat ....................................................................................2
2.4 Bioavaibiltas ...................................................................................................4
2.5 Distribusi .........................................................................................................4
2.6 Metabolisme Obat ...........................................................................................7
2.7 faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat .....................................9
2.8 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat ..............10
2.9 Faktor Interaksi Obat ....................................................................................12
BAB 3 PENUTUP .................................................................................................16
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................16
3.2 Saran .............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Masalah

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Farmakodinamik


Farmakodinamik berasal dari bahasa Yunani “Farmako” yaitu obat dan “Dinamic”
yaitu kemampuan (power). Farmakodinamik ilmu yang mempelajari cara kerja obat, efek
obat terhadap fungsi berbagai organ dan pengaruh obat terhadap reaksi biokimia dan reaksi
organ. Singkatnya pengaruh obat terhadap sel hidup.
Farmakodinamika mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai
organ tubuh serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah
untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui
urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi.

2.2 Tujuan Mempelajari Farmakodinamik dan Mekanisme Obat


Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah:
1. Meneliti efek utama obat
2. Mengetahui interaksi obat dengan sel
3. Mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respon yang terjadi
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.
Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang
merupakan respons yang khas untuk obat tersebut.

2.3 Fase Dasar Kerja Obat

Fase-fase tersebut diantaranya adalah:


1. Absorpsi adalah pergerakan partikel-partikel obat dari saluran gastrointestinalke
dalam cairan tubuh melalui absorpsi pasif, absorpsi aktif, atau
pinositosis.Kebanyakan obat oral diabsorpsi di usus halus melalui kerja permukaan
vili mukosa yang luas. Jika sebagain dari vili ini berkurang, karena pengangkatan
sebagian dariusus halus, maka absorpsi juga berkurang. Obat-obat yang mempunyai
dasar protein,seperti insulin dan hormon pertumbuhan, dirusak di dalam usus halus
oleh enzim-enzim pencernaan. Absorpsi pasif umumnya terjadi melalui difusi
(pergerakan darikonsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).
Dengan proses difusi, obat tidak memerlukan energi untuk menembus membran.
Absorpsi aktif membutuhkan karier (pembawa) untuk bergerak melawan perbedaan
konsentrasi. Sebuah enzim atauprotein dapat membawa obat-obat menembus
membran. Pinositosis berarti membawaobat menembus membran dengan proses
menelan.Absorpsi obat dipengaruhi oleh aliran darah, rasa nyeri, stres,
kelaparan,makanan dan pH. Sirkulasi yang buruk akibat syok, obat-obat
vasokonstriktor, ataupenyakit yang merintangi absorpsi. Rasa nyeri, stres, dan

2
makanan yang padat, pedas,dan berlemak dapat memperlambat masa pengosongan
lambung, sehingga obat lebih lama berada di dalam lambung. Latihan dapat
mengurangi aliran darah denganmengalihkan darah lebih banyak mengalir ke otot,
sehingga menurunkan sirkulasi kesaluran gastrointestinal. Obat-obat yang diberikan
secara intramuskular dapat diabsorpsi lebih cepat diotot-otot yang memiliki lebih
banyak pembuluh darah, seperti deltoid, daripada otot-otot yang memiliki lebih
sedikit pembuluh darah, sehingga absorpsi lebih lambatpada jaringan yang
demikian..
2. Distribusi adalah proses di mana obat menjadi berada dalam cairan tubuh
danjaringan tubuh. Distribusi obat dipengaruhi oleh aliran darah, afinitas
(kekuatanpenggabungan) terhadap jaringan,dan efek pengikatan dengan protein.
Ketika obat didistribusi di dalam plasma, kebanyakan berikatan denganprotein
(terutama albumin) dalam derajat (persentase) yang berbeda-beda. Obat-Obatyang
lebih besar dari 80% berikatan dengan protein dikenal sebagai obat-obat
yangberikatan dengan tinggi protein. Salah satu contoh obat yang berikatan tinggi
denganprotein adalah diazepam (Valium): yaitu 98% berikatan dengan protein.
Aspirin 49% berikatan dengan protein clan termasuk obat yang berikatan sedang
dengan protein.Abses, eksudat, kelenjar dan tumor juga mengganggu distribusi
obat.Antibiotika tidak dapat didistribusi dengan baik pada tempat abses dan
eksudat.Selain itu, beberapa obat dapat menumpuk dalam jaringan tertentu, seperti
lemak,tulang, hati, mata, dan otot.
3. Biotransformasi
Fase ini dikenal juga dengan metabolisme obat, diman terjadi proses perubahan
struktur kimia obat yang dapat terjadi didalam tubuh dan dikatalisis olen enzim.
4. Ekskresi atau eliminasi
Rute utama dari eliminasi obat adalah melalui ginjal, rute-rute lain meliputi
empedu, feses, paru-paru, saliva, keringat, dan air susu ibu. Obat bebas, yang tidak
berikatan, yang larut dalam air, dan obat-obat yang tidak diubah, difiltrasi oleh
ginjal.Obat-obat yang berikatan dengan protein tidak dapat difiltrasi oleh ginjal.
Sekali obatdilepaskan ikatannya dengan protein, maka obat menjadi bebas dan
akhirnya akandiekskresikan melalui urin.pH urin mempengaruhi ekskresi obat. pH
urin bervariasi dari 4,5 sampai 8.Urin yang asam meningkatkan eliminasi obat-obat
yang bersifat basa lemah. Aspirin,suatu asam lemah, dieksresi dengan cepat dalam
urin yang basa. Jika seseorangmeminum aspirin dalam dosis berlebih, natrium
bikarbonat dapat diberikan untuk mengubah pH urin menjadi basa. Juice cranberry
dalam jumlah yang banyak dapatmenurunkan pH urin, sehingga terbentuk urin yang
asam.Setiap orang mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda.
Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada suatu kelompok orang, dapat
menunjukkan gambaran kada dalam darah yang berbeda-beda dengan intensitas

3
respon yang berbda-beda pula. Kemudian setelah farmakodinamik, ada satu bahasan
lagi dalam ilmu farmakologi, yaitu farmakodinamik.Farmakodinamik ialah
subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta
mekanisme kerjanya.

2.4 Bioavaibiltas
Bioavaibiltas suatu istilah yang menyatakan jumlah/proporsi (exetent) obat yang
diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan
dalam F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit
aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.
Bioavaibilitas terbagi menjadi 2, yaitu:

 Bioavaibilitas absolut: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari
suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavaibiltas zat aktif tersebut dengan
pemberian intra vena.
 Bioavaibilitas relatif: bioavaibilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari
suatu sediaan obat dibandingakan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena.

Faktor yang mempengaruhi bioavaibiltas:


 Obat: sifat fisiko-kimia zat aktif, formulasi, dan teknik pembuatan.
 Subjek: karakteristik subjek (umur, bobot badan), kondisi patologis, posisis dan
aktivitas tubuh (pada subjek yang sama).
 Rute pemberian
 Antaraksi obat/makanan, misalnya grisovulvin sukar larut dalam air. Apabila
diberikan bersama makanan berlemak jadi mudah larut. Di dalam tubuh, digunakan
surfaktan alami sehingga baik diabsorpsi. Pemberian vitamin B12 dengan coca cola
menghasilkan absorpsi yang lebih baik.

Tujuan bioavaibilitas:
 Pengembangan ilmu
 Pengembangan produk/formulasi
 Pengembangan senyawa baru
 Jaminan mutu produk (quality control)

2.5 Distribusi
1. Definisi
Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa
obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Distribusi merupakan perjalanan obat ke

4
seluruhtubuh. Setelah senyawa obat memasuki sistem sirkulasi melalui absorpsi atau
injeksi, senyawa tersebut akan didistribusikan ke seluruh tubuh.
Setelah melalui proses absorpsi, obat akan di distribusikan keseluruh tubuh melalui
sirkulasi darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikakimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel,
terdistribusi kedalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit
menembus membran sel, sehingga distribusinya terbatas, terutama dicairan ekstra sel.
Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan.
Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat ( Kemampuan obat
untuk mengikat reseptor) terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya sedikit.

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Distribusi


Proses distribusi ini dipengaruhi oleh :
1. Pengikatan protein plasma
2. Kelarutan obat dalam lipid (yaitu, apakah obat tersebut larut dalam jaringan lemak)
3. Sifat-keterikatan obat
4. Aliran darah ke dalam organ dan keadaan sirkulasi
5. Kondisi penyakit
Penjelasan dari faktor- faktor yang mempengaruhi proses distribusi, yaitu :
1. Protein plasma
Obat terikat dalam protein plasma dalam taraf yang bervariasi.Ikatan protein pada
obat akan mempengaruhi intensitas kerja, lamakerja dan eliminasi bahan obat sebagai
berikut: bagian obat yangterikat pada protein plasma tidak dapat berdifusi dan pada
umumnyatidak mengalami biotransformasi dan eliminasi. Jadi hanya obat –obatbentuk
bebas saja yang akan mencapai tempat kerja dan berkhasiat.

2. Kelarutan Lipid
Kelarutan lipid merupakan taraf larutnya obat di dalam jaringanlemak tubuh. Tubuh
secara kimiawi tersusun dari sejumlahkompartemen cairan dan jaringan lemak. Sebagian
besar obat didistribusikan ke seluruh kompartemen cairan dalam tubuh, dan kemudian
akanditeruskan ke dalam jaringan lemak dalam taraf yang besar/kecil. Taraf penyebaran
obat ke seluruh tubuh disebut volume distribusi.

3. Karakteristik Pengikatan
Beberapa obat memiliki karakteristik pengikatan yangtidak lazim. Contoh:
tetrasiklin terikat dengan tulang dan gigi.Obat anti-malaria klorokuin dapat terikat dengan
retina orangdewasa/janin.

5
4. Aliran Darah ke Dalam Jaringan
Sebagian jaringan tubuh menerima pasokan darah yanglebih baik daripada lainnya;
contoh: aliran darah ke dalam otak jauh lebih tinggi daripada aliran darah ke tulang.
Kondisi sirkulasi darah ini menentukan distribusi obat. Sirkulasi darah diutamakan pada
jantung, otak, dan paru-paru. Karena volume sirkulasi terbatas, obat akan terdapat pada
konsentrasi tinggi di dalam jaringan yang bisa dijangkaunya.
5. Kondisi Penyakit yang Diderita Pasien
Contohnya, gagal ginjal dan kegagalan fungsi hati akanmengganggu kemampuan
tubuh dalam mengeliminasisebagian besar obat. Obat juga akan menumpuk dalam
tubuhjika pasien mengalami dehidrasi. Jika terjadi penumpukanobat, efek sampingnya akan
semakin berat. Keadaan lain yangdapat mempengaruhi distribusi obat meliputi: gagal
jantung,syok, penyakit tiroid, penyakit GI.
Karena proses distribusi obat sangat mempengaruhi transfer senyawa obat ke lokasi-
lokasi pengobatan yang diharapkan, berbagai cara ditempuh dalam pembuatan obat dan
jenis sediaannya untuk meningkatkan efektivitas ditribusi obat.
Ada beberapa hal yang diperhatikan saat merancang sediaan obat yang ada
hubungannya dengan distribusi obat. Misalnya pada penggunaan obat untuk ibu hamil.
Apabila melalui uji klinis terlihat bahwa senyawa obat dapat melintasi plasenta dan
senyawa tersebut berbahaya bagi janin, maka obat tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil.
Membran otak juga adalah salah satu jaringan yang dihindari pada proses ditribusi obat.
Sedikit perubahan struktur pada senyawa obat dapat memodifikasi pola distribusi sehingga
obat tidak ditransfer melalui membran otak.

3. Mekanisme Distribusi
Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi darah keseluruh badan.
Dalam peredarannya, kebanyakan obat-obat di distribusikan melalui membrane badan
dengan cara yang relative lebih mudah dan lebih cepat dibanding dengan eliminasi atau
pengeluaran obat.
Distribusi adalah proses suatu obat yang secara reversible meninggalkan aliran
darah dan masuk ke interstisium (cairan ekstrasel) dan/atau ke sel-sel jaringan. Pengiriman
obat dariplasma ke interstinum terutama tergantung pada aliran darah, permeabilitas
kapiler, derajat ikatan ion obat tersebut dengan protein plasma atau jaringan dan
hidrofobisitas dari obat tersebut.
Protein utama adalah albumin yang bertindak sebagai pembawa obat. Molekul obat
yang berikatan dengan protein plasma adalah farmakologi inaktif karena ukuran
kompleknya (ikatan albumin+obat) yang besar, mencegah obat meninggalkan aliran darah
melalui lubang kecil di dinding kapiler dan mencapai tempat aksi, metabolisme, dan

6
ekskresi. Hanya bagian obat yang bebas atau tidak terikat yang dapat beraksi di dalam
tubuh sel. Sebagai obat yang bebas obat beraksi di dalam sel, terjadi penurunan tingkat
plasma obat karena beberapa ikatan obat terlepas.
Ikatan protein membolehkan bagian dari dosis obat untuk disimpan dan dilepaskan
jika dibutuhkan.Beberapa obat juga disimpan di jaringan otot, lemak, dan jaringan tubuh
lainnya. dan dilepaskan sedikit-demi sedikit ketika tingkat plasma obat menurun.
Mekanisme penyimpanan ini memelihara tingkat obat rendah didalam darah dan
mengurangi resiko keracunan. Obat yang diikat kuat oleh plasma protein atau disimpan
dalam jumlah besar di jaringan tubuh memiliki aksi obat yang panjang.
Distribusi obat ke dalam Sistem Saraf Pusat ( central nervous system) dibatasi
karena terdapat sawar darah otak (blood–brain barrier), yang terdiri dari pembuluh darah
kapiler dengan dinding tebal, membatasi pergerakan molekul obat masuk ke dalam jaringan
otak. Sawar (penghalang) ini juga bertindak sebagai membran selektif permeabel yang
menjaga Sistem Saraf Pusat (SSP). Namun hal ini juga menyebabkan terapi obat untuk
gangguan sisitem saraf sangat sulit diberikan karena harus melewati sel dari dinding kapiler
dan lebih jarang antara sel. Sebagai hasilnya, hanya obat yang larut dalam lemak atau
memiliki sistem transportasi yang dapat melewati sawar-darah otak dan mencapai
kosentrasi terapeutik di dalam jaringan otak.
Distribusi obat selama kehamilan dan menyususi juga unik. Selama kehamilan,
sebagian besar obat melewati plasenta dan dapat mempengaruhi bayi. Selama laktasi,
banyak obat masuk ke dalam air susu dan dapat mempengaruhi bayi.
Obat disampaikan ke reseptor melalui sistem sirkulasi dan mencapai target reseptor
yang dipengaruhi oleh aliran darah dan konsentrasi jumlah darah di reseptor tersebut.
Konsentrasi obat di suatu sel dipengaruhi oleh kemampuan obat berpenetrasi ke dalam
kapiler endotelium (tergantung ikatan obat dengan protein plasma) dan difusi melalui
membran sel. Distribusi obat di darah, organ dan sel tergantung dosis dan rute pemberian,
lipid solubilin obat, kemampuan berikatan dari protein plasma dan jumlah aliran darah ke
organ dan sel.
Senyawa yang terdapat pada sebuah sediaan obat, selain zat aktif yang digunakan
untuk pengobatan, juga ada senyawa-senyawa yang membantu proses distribusi zat aktif.
Oleh sebab itu tidak dianjurkan kepada pasien atau tenaga medis merubah bentuk sediaan
tanpa berkonsultasi dengan apoteker. Misalnya merubah tablet menjadi puyer, apabila
dalam bentuk puyer ketersediaan hayati obat tersebut menjadi berkurang.

2.6 Metabolisme Obat


Metabolisme (biotransformasi) adalah suatu proses kimia di mana suatu obat diubah
didalam tubuh menjadi suatu metabolitnya. Perubahan kimia obat dalam tubuh terutama
terjadi pada jaringan dan organ-organ seperti hati, ginjal, paru dan saluran cerna. Hati
adalah organ tubuh yang merupakan tempat utama metabolisme obat oleh karena

7
mengandung lebih banyak enzim-enzim metabolisme dibanding organ lain. setelah
pemberian secara oral, obat diserap oleh saluran cerna, masuk ke peredaran darah dan
kemudian ke hati melalui efek lintas pertama. aliran darah yang membawa obat atas
senyawa organik asing melewati sel-sel hati secara perlahan-lahan dan termetabolisis
menjadi senyawa yang mudah larut dalam air kemudian diekskresikan melalui urin. (
Siswandono, Soekardjo, Bambang.2000.Kimia Medisinal, hal 65)

Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut lemak)
menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Dengan
perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi
lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.

Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi obat meningkat.


Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi demikian tinggi hingga seluruh
molekul enzim yang melakukan pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul obat
dan tercapainya kecepatan biotransformasi yang konstan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan natrium salisilat dan etanol bila diberikan dengan dosis yang melebihi
5000mg dan 20g, pada grafik konsentrasi-waktu dari etanol. Kecepatan biotransformasi
konstan ini tampak dari turunnya secara konstan pula dari konsentrasinya dalam darah.

Terdapat 2 fase metabolisme obat, yakni fase I dan II. Pada reaksi-reaksi ini,
senyawa yang kurang polar akan dimodifikasi menjadi senyawa metabolit yang lebih polar.
Proses ini dapat menyebabkan aktivasi atau inaktivasi senyawa obat. Reaksi fase I, disebut
juga reaksi nonsintetik, terjadi melalui reaksi-reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis, siklikasi,
dan desiklikasi. Reaksi oksidasi terjadi bila ada penambahan atom oksigen atau
penghilangan hidrogen secara enzimatik. Biasanya reaksi oksidasi ini melibatkan sitokrom
P450 monooksigenase (CYP), NADPH, dan oksigen. Obat-obat yang dimetabolisme
menggunakan metode ini antara lain golongan fenotiazin, parasetamol, dan steroid.

Reaksi oksidasi akan mengubah ikatan C-H menjadi C-OH, hal ini mengakibatkan
beberapa senyawa yang tidak aktif (pro drug) secara farmakologi menjadi senyawa yang
aktif. Juga, senyawa yang lebih toksik/beracun dapat terbentuk melalui reaksi oksidasi ini.
Reaksi fase II, disebut pula reaksi konjugasi, biasanya merupakan reaksi detoksikasi dan
melibatkan gugus fungsional polar metabolit fase I, yakni gugus karboksil (-COOH),
hidroksil (-OH), dan amino (NH2), yang terjadi melalui reaksi metilasi, asetilasi, sulfasi,
dan glukoronidasi. Reaksi fase II akan meningkatkan berat molekul senyawa obat, dan
menghasilkan produk yang tidak aktif. Hal ini merupakan kebalikan dari reaksi
metabolisme obat pada fase I.

Metabolisme obat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain faktor fisiologis (usia,
genetika, nutrisi, jenis kelamin), serta penghambatan dan juga induksi enzim yang terlibat

8
dalam proses metabolisme obat. Selain itu, faktor patologis (penyakit pada hati atau ginjal)
juga berperan dalam menentukan laju metabolisme obat

2.7 faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat


1. Faktor genetik atau keturunan

perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi


dalam sistem kehidupan. hal ini menunjukan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut
berperan terhadap adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.

2. Perbedaan spesies dan galur

Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup
besar pada reaksi metabolismenya. pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur
terhadap metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolic atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif.

3. Perbedaan jenis kelamin

Pada beberapa spesies binatang menunjukan ada pengaruh jenis kelamin terhadap
kecepatan metablisme obat. banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama baik
pada tikus betina maupun tikus jantan. tikus betina dewasa ternyata memetabolisis beberapa
obat dengan kecepatan yang lebih rendah. Pada manusia baru sedikit yang diketahui
tentang adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadpa proses metabolisme obat.

4. Perbedaan umur

Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati
yang diperlukan untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga sangat peka
terhadap obat.

5. Penghambatan enzim metabolisme

kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa


yang menghambat kerja enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat,
memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan k efek samping dan
toksisitas.

6. Induksi Enzim Metabolisme

Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa


dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat dan memperpendek masa kerja obat. Hal

9
ini disebabkan senyawa tersebut dapat meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim
metabolisme dan bukan karena perubahan permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi
penghambatan. peningkatan aktivitas enzim metabolisme obat-obat tertentu atau proses
induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan menurunkan kadar obat bebas dalam
plasma sehingga efek farmakologis obat menurun dan masa kerjanya menjadi lebih singkat.
induksi enzim juga mempengaruhi tosisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan
metabolisme dan pembentukan metabolit reaktif.

7. Faktor Lain

faktor lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan,
keadaan kurang gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh
protein plasma, distribusi obat dalam jaringan dan kedaan patologis hati.

2.8 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Tubuh terhadap Obat


Tubuh setiap orang berbeda-beda dalam hal menghasilkan respons untuk pemberian
obat dengan dosis tertentu. Pemberian obat biasanya telah disepakati secara bersama oleh
farmakolog dalam dosis biasa ( dosis rata-rata) yang cocok untuk sebagian besar pasien.
Dosis rata – rata ini dapat menimbulkan efek toksik untuk beberapa orang. Sebaliknya dosis
rata-rata juga dapat menimbulkan efek yang tidak teraupetik.

Kepatuhan pasien menentukan jumlah obat yang diminum. Pemberian obat per oral
yang diserap dengan bioavailabilitas obat itu. Sementara itu bioavailabilitas ditentukan oleh
mutu obat. Faktor farmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat
mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptor. Sementara factor
farmakodinamik menentukan intensitas efek farmakologis yang ditimbulkan oleh kadar
obat.

1. Kondisi Fisiologis

Kondisi fisiologik ditentukan oleh usia, berat badan, laus permukaan tubuh, atau
kombinasi factor – factor ini. Usia dapat menyebabkan perubahan efek farmakologik
ekstrem dibandingkan dengan golongan usia lain. Semisal, pada neonatus dan bayi
prematur fungsi farmakokinetik tubuh belum berlangsung dengan baik (misalnya b
iotransfrmasi hati, eksrekgi ginjal, ikatan protein plasma, dan sawar darah-otak dan sawar
kulit). Hal ini menyebabkan peningkatan kadar obat dalam darah dan jaringan. Pemberian
obat heksaklorofen topical pada neonatus, misalnya, menyebabkan respons neourotoksisitas
akibat belum terbentuknya sawar kulit secara sempurna. Kloramfenikol dapat menyebabkan
sindrom bayi abu-abu akibat metabolism obat oleh hepar masih rendah (glukuronidasi)
serta filtrasi obat oleh glomerulus ginjal belum berlangsung dengan sempurna.

10
Pada usia lanjut efek ini juga terjadi. Fungsi ginjal yang melemah merupakan penyebab
perubahan farmakokinetik yang terbesar. Peningkatan sensitivitas reseptor (terutama di
otak) juga menjadi andil dalam konteks ini. Contohnya adalah penggunaan isoniazid yang
dapat menyebabkan hepatotoksisitas akibat melemahnya metabolism oleh hepar. Demikian
juga penggunaan antikolinergik dapat menimbulkan respons konstipasi akibat melemahnya
kontraktilitas otot polos.

2. Kondisi Patologik

Terjadinya kondisi patologik terutama pada organ-organ yang banyak melakukan efek
farmakokinetik terhadap obat, misalnya penyakit saluran cerna, hepar, ren, dan
kardiovaskuler, mengubah respons tubuh terhadap obat. Penyakit saluran cerna dapat
mengurangi kecepatan absorbsi obat, khususnya pada pemberian per oral. Penyakit
kardiovaskular mengurangi distribusi obat dan aliran darah ke hepar dan ginjal yang akan
mengeliminasi obat. Penyakit hepar melemahkan metabolime obat di hati. Gangguan ginjal
mengurangi eksreksi obat aktif maujpun metabolitnya melalui ginjal.

Contohnya, diare atau gastroenteritis menurunkan respons tubuh terhadap obat


digoksin, kontrasepsi oral, fenitoin, dan sediaan salut enterik. Ini diakbiatkan waktu transit
dalam saluran cerna yang memendek akibat terjadinya motilitas tinggi (akibat diare),
sehingga jumlah obat yang diabsorbsi menjadi berkurang.

3. Faktor Genetik

Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor
genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi
tentang variasi respons obat akibat factor genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari
overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah
kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi
akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya
perbedaan respons individu terhadap suatu obat.

Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi


(metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik juga melibatkan
proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati
(mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal,
paru, darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat.

4. Faktor Toleransi

Toleransi merupakan penurunan efek farmakologik akibat pemberian yang berulang.


Toleransi ini terbagi menjadi toleransi farmakokinetik, yang terjadi akibat obat

11
meningkatkan metabolismenya sendiri (dikarenakan obat merupakan self inducer bagi
proses metabolism dirinya sendiri); dantoleransi farmakodinamik, akibat terjadi adaptasi
sel dan reseptor terhadap ligan (obat) yang terus menerus berada di sekitar sel tersebut
berada. Sensitifitas reseptor-reseptor ini umumnya menurun di tengah kelimpahan ligan.
Jumlah ligan yang berikatan tidak berkurang, namun sensitiiftas reseptor berkurang
sehingga efek farmakologis

yang ditimbulkan juga berkurang.

2.9 Faktor Interaksi Obat


Obat dapat berinteraksi dengan zat – zat makanan, zat kimia, bahkan dengan obat
lain. Oleh karena itu perlu diperhatikan adanya efek (yang mungkin menguntungkan, atau
malah merugikan) akibat interaksi ini. Interaksi yang menguntungkan misalnya penggunaan
kombinasi obat antihipertensi, antiasma, dan antidiabetik yang dapat meningkatkan
efektivitas dan mengurangi efek samping; kombinasi obat anti-HIV dan anti-kanker.
Interaksi yang merugikan akan mendapatkan bahasan yang lebih mendalam.

Interaksi yang dapat terjadi adalah:

 Interaksi farmakokinetik – jika salah satu obat memengaruhi absorpsi, distribusi,


biotransformasi (metabolisme), dan ekskresi obat yang lain. Ini dapat
mengakibatkan kadar plasma obat lain menurun atau justru meningkat. Akibatnya,
toksisitas dapat terjadi, atau mungkin penurunan efektivitas obat tersebut.
 Interaksi absorpsi: penggunaan obat antasida dapat mengubah pH, sehingga
mengakibatkan kelarutan obat-obat asam (seperti aspirin) menjadi menigkat,
sehingga meninkatkan absorpsi obat-obat ini.
 Interaksi distribusi: banyak obat yang memerlukan protein plasma sebagai sarana
transport obat tersebut. Adanya obat lain mengakibatkan terjadinya “kompetisi”
untuk memperebutkan protein plasma.
 Interaksi metabolisme: sebagai contoh obat-obat yang merupakan substrat enzim
sitokrom dapat mengalami gangguan metabolisme apabila terdapat enzim yang
mencegah kerja enzim sitokrom (contohnya: untuk enzim CYP3A4, sakuinavir,
obat yang digunakan dalam terapi penderita HIV, seharusnya dimetabolisme oleh
enzim ini, namun keberadaan ritonavir secara bersama-sama menghambat kerja
enzim ini sehingga terjadi peningkatan kadar sakuinavir, sehingga dosis untuk
sakuinavir harus diturunkan untuk mencegah penumpukan sakuinavir).
 Interaksi ekskresi: terdapat berbagai golongan obat yang bisa menyebabkan
kerusakan ginjal (misalnya: aminoglikosida merusak ginjal, menyebabkan
peningkatan kadar digoksin yang toksik); adanya kompetisi untuk sekresi aktif di
tubulus ginjal; atau adanya perubahan pH urin (misal: obat yang dapat

12
mengasamkan urin meningkatkan ionisasi obat lain yang bersifat basa, dan
meningkatkan ekskresi obat yang bersifat basa ini).
 Interaksi farmakodinamik – merupakan suatu interaksi antara obat yang bekerja
pada sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologik yang sama. Interaksi ini
bisa menimbuolkan efek yang sinergistik, atau antagonistik. Interaksi
farmakodinamik ini biasanya dapat diramalkan (misalnya: pengelompokan obat
antihipertensi yang dapat saling sinergik menurunkan tekanan darah).
 Interaksi pada reseptor: misalnya asetilkolin yang bekerja pada reseptor kolinergik
(muskarinik) sebagai agonis; sementara adanya atropine, kuinidin, dan antihistamin
H1 sebagai antagonis untuk reseptor yang sama.
 Interaksi fisiologik: merupakan interaksi pada sistem fisiologik yang sama,
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan respons. Misalnya
penggunaan antidiabetes (bekerja pada sistem endokrin) dengan tiazid atau
kortikosteroid (juga bekerja pada sistem endokrin) dapat menurunkan efek
antidiabetik. Demikian juga penggunaan obat _-bloker dengan verapamil dapat
menyebabkan gagal jantung dan bradikardia.
 Interaksi Farmakodinamik, Interaksi farmakodinamik terjadi di mana efek dari satu
obat yang diubah oleh kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Kadang-kadang obat
secara langsung bersaing untuk reseptor tertentu (misalnya agonis beta2, seperti
salbutamol, dan beta blockers, seperti propranolol) tetapi sering reaksi yang lebih
langsung dan melibatkan gangguan fisiologis mekanisme (Stockley, 2008).

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada sistem
reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek yang aditif,
sinergistik atau antagonistik, tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma (Setiawati,
2007). Hal ini terjadi karena kompetisi pada reseptor yang sama atau interaksi obat pada
sistem fisiologi yang sama. Interaksi jenis ini tidak mudah dikelompokkan seperti interaksi-
interaksi yang mempengaruhi konsentrasi obat dalam tubuh, tetapi terjadinya interaksi
tersebut lebih mudah diperkirakan dari efek farmakologi obat yang dipengaruhi (Fradgley,
2003)

Beberapa mekanisme interaksi obat dengan farmakodinamika mungkin terjadi bersama-


sama, antara lain :

 Sinergisme

Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah sinergisme antara dua
obat yang bekerja pada sistem, organ, sel, enzim yang sama dengan efek farmakologi yang
sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat- sebagai
contoh, etanol, antihistamin, benzodiazepin (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolam,

13
bromazepam, alprazolam), fenotiazin (klorpromazina, tioridazina, flufenazina, perfenazina,
proklorperazina, trifluoperazina), metildopa, klonidina- dapat meningkatkan efek sedasi.
Semua obat antiinflamasi non steroid dapat mengurangi daya lekat platelet dan dapat
meningkatkan (pada derajat peningkatan yang tidak sama) efek antikoagulan. Suplemen
kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang sangat berbahaya bagi pasien yang
memperoleh pengobatan dengan diuretik hemat kalium (contoh amilorida, triamteren), dan
penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh kaptopril, enalapril) dan antagonis
reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan
propanolol (dan pengeblok beta yang lain), keduanya mempunyai efek inotropik negatif,
dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang rentan.

 Antagonisme

Antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek farmakologi yang
berlawanan. Hal ini mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih
obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat yang bersifat beta agonis dengan
obat yang bersifat pemblok beta (Salbutamol untuk pengobatan asma dengan propanolol
untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin;
diuretika tiazid dan obat antidiabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme antagonis. Sebagai contoh,
bakterisida seperti penisilin, yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel
yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat maksimal. Situasi ini tidak akan
terjadi dengan adanya antibiotika yang berkhasiat bakteriostatik, seperti tetrasiklin yang
menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.

 Efek reseptor tidak langsung

Kombinasi obat dapat bekerja melalui mekanisme saling mempengaruhi efek reseptor yang
meliputi sirkulasi kendali di fisiologis dan biokimia. Pengeblok beta non selektif seperti
propanolol dapat memperpanjang lamanya kondisi hipoglikemi pada pasien diabet yang
diobati dengan insulin dengan menghambat mekanisme kompensasi pemecahan glikogen.
Respon kompesasi ini diperantarai oleh reseptor beta Z namun obat kardioselektif seperti
atenolol lebih jarang menimbulkan respon hipoglikemi apabila digunakan bersama dengan
insulin. Lagipula obat-obat pengeblok beta mempunyai efek simpatik seperti takikardia dan
tremor yang dapat menutupi tanda-tanda bahaya hipoglikemi, efek simpatik ini lebih
penting dibandingkan dengan akibat interaksi obat pada mekanisme kompensasi di atas.

 Gangguan cairan dan elektrolit

14
Interaksi obat dapat terjadi akibat gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pengurangan kadar kalium dalam plasma sesudah pengobatan dengan diuretik,
kortikosteroid, atau amfoterisina akan meningkatkan resiko kardiotoksisitas digoksin. Hal
yang sama, hipokalemia meningkatkan resiko aritmia ventrikuler dengan beberapa obat
antiaritmia seperti sotalol, kuinidin, prokainamida, dan amiodaron. Penghambat ACE
mempunyai efek hemat kalium, sehingga pemakaiannya bersamaan dengan suplemen
kalium atau diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya. Loop
diuretik dapat meningkatkan konsentrasi obat-obat yang bersifat nefrotoksik seperti
gentamisin dan sefaloridina dalam ginjal.

15
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

16
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Farmakologi. BPK Penabur. Jakarta.

D.Coleman, Michael.2005.Human Drug Metabolism, An Introduction.USA: Wiley

P.Uetrect, Jack dan William Trager.2007.Drug Metabolism, Chemical and Enzimatic


Aspects.New York:Informa Healthcare

L. Patrick, Graham. 2009. An Introduction to Medicinal Chemsitry, Fourth Edition.New


York:Oxford University Press

17

Anda mungkin juga menyukai