Anda di halaman 1dari 14

TEORI-TEORI ILMU SOSIAL

TEORI-TEORI SOSIAL KLASIK DALAM MENGKAJI


MASYARAKAT DAN SERAH ASIA TENGGARA/ INDONESIA
DAN TEORI-TEORI SOSIAL PRIBUMU

DOSEN PENGAMPU:

DISUSUN OLEH
KELOMPOK : VII
NADIARTI 18046023
SITI AISYAH WANDA HAMIDAH 18046090
M. BIMA SAPUTRA 18046074

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS NEGRI PADANG
2019/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kami selaku penulis mengucapkan puji syukur terhadap tuhan yang maha
esa, karena berkat rahmatnyalah saya mampu menyelesaikan makalah yang berjudul Teori-tTeori
Sosial Klasik dalam Mengkaji Masyarakat dan Sejarah Asia Tenggara/ Indonesi dan Teori-Teori
Sosial Pribumi dengan sebaik-baiknya dan dalam jangka wakt yang ditentukan. Selain itu kami
juga berterimakasih terhadap tema-teman yang telah mau berpartisipasi dan membantu saya dalam
mengumpulkan sumber-sumber yang berkaitan dengan materi yang dibahas di dalam makalah ini
Penulis juga berharap agar makalah ini dapat berfungsi dan membantu para pembaca dalam
memahami serta menganalisis segala bentuk pembelajaran yang berhubungan dengan materi yang
kami paparkan dalam makalah ini. Sehinga dapat mempermudah pembaca dalam proses
pembelajaran. Selain itu kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini
masih terdapat kekurangan. Baik dari segi pemaparan, penggunaan Bahasa serta keterbatasan
sumber yang kami temukan dan kami jadikan sebagai acuan. Oleh karena itu, saran da kritik yang
membangun sangat diharapkan dari pembaca sehingga dapat kami jadikan tolok ukur untuk
kedepannya.

Padang, 07 November 2019

Kelompok VII
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam pembahasan kali ini kita akan membahas mengenai Gender, Mitos
Pribumi Malas, dan Polemik Kebudayaan.Gender merupakan suatu sifat yang
dijadikan sebagai dasar dalam pengidentifikasian suatu perbedaan antara laki-lai dan perempuan.
Sejarah perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi dalam proses yang sangat
panjang. Dalam pembahasan gender tedapat banayak para ahli yang mengembangkan teorinya
dalam memperbincangkan masalah gender. Seperti Teori Struktural-Fungsional, Teori Sosial-
Konflik Menurut Lockwood, Teori Struktural-Fungsional, Teori Feminisme Liberal, Teori
Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Feminisme Marxis-Sosialis, Teori Ekofeminisme dan lain
sebagainya.
Mitos Pribumi Malas merupakan sebuah ideology atau pandangan yang diberikan oleh
colonial terhadap pribumi terutama dikawasan Asia Tenggara seperti yang di paparkan bahwa
kaum pribumi merupakan orang-orang atau masyarakat yang tidak mau berusa untuk lebih atau
turut serta dalam hal perekonomian sehingga mereka dipandang sebagai pemalas. Namun Sayed
Husein memberikan penjelasan atau bisa dikatakan menolak terhadap ideologi colonial yang
mengatakan bahwa pribumi malas dengan mengkaji dan memperkuat dengan sejarah di awasan
Asia Tenggara serta mengatakan bahwa koloniallah yang menjadi penyebab kemalasan dan
ketidak mau ikutserta dalam bidang ekonomi. Karena perlakuan colonial yang bersipat memaksa
dan sewenang-wenang kepada kalangan pribumi.
Polemik Kebudayaan berkaitan dengan adanya pertentangan pendapat dari kalangan
intelek Indonesia dalam mengupayakan Indonesia merdeka dan sang saka merah putih dapat
berkibar secara bebas di bumi pertiwi pada era ke-30an tepatnya pada tahun 1935. Dari perdebatan
ini pulalah yang kelak menjadi latar belakang dari tujuan dan cita-cita NKRI.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksut dengan Gender
2. Teori-teori apa saja yang membahas tentang gender
3. Apa yang dimaksut dengan mitos pribumi malas
4. Bagaimana pandangan Sayed Husein terhadap mitos pribumi malas
5. Apa yang dimaksut dengan polemik kebudayaan
1.3 Tujuan Pembelajaran
2. Mampu mengetahui dan memahami apa itu gender
3. Mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan gender
4. Memahami apa yang dimaksut dengan mitos pribumi malas
5. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksut dengan polemik kebudayaan

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Gender


Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang gender dikemukakan oleh
Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
konstruksi sosial budaya (Elaine Showalter (ed.), 1989: 3). Gender bisa juga dijadikan sebagai
konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34).
Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah
Mulia, 2004: 4). Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat
yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor
nonbiologis lainnya.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi melalui proses
yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi sosial budaya, kondisi
keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan gender akhirnya
sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis
yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan
gender di tengah-tengah masyarakat.
Teori-teori Gender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender. Teori-teori
yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang
dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender,
terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu teori-teori yang digunakan untuk
mendekati masalah gender ini banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup
banyak teori yang dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan
masalah gender, tetapi dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap
penting dan cukup populer.
1. Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang
diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu
masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur-
unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi
setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur- 5 unsur tersebut dalam
masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga
pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna
Megawangi, 1999: 56). Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman
dalam kehidupan sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur
masyarakat dan menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam
struktur sebuah sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota
yang mampu menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang
menjadi anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi,
bukan untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 56). Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini
menunjuk masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki
berperan sebagai pemburu (hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai
pemburu, lakilaki lebih banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk
membawa makanan kepada keluarga. Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan
kecaman, teori ini masih tetap bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri
yang cenderung tetap memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan
aspek produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak
lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung
diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat
diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena
masyarakat modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin
Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan
perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam
posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.

2. Teori Sosial-Konflik Menurut Lockwood


Suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama dalam hal distribusi
sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya, akan menyebabkan
diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang menindas kelompok
lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu pada akhirnya dapat
menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna Megawangi, 1999:
76). Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori Marx,
karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Ketimpangan peran gender dalam
masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat. Teori ini
selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan
Randall Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori
diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori
struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang
sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi
atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa sistem sosial secara sistematis
menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang 8 takterhindarkan dalam semua
sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang
terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan
dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81). Teori sosial-konflik ini juga mendapat
kritik dari sejumlah pakar, terutama karena teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi
sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R.
Collins, yang tidak sepenuhnya setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak
hanya terjadi karena 9 perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi
juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak,
suami dan isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya
(Nasaruddin Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para
feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai
feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.

3. Teori Feminisme Liberal


Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.
Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh
antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan
(distinction) antara laki-laki dan perempuan. Teori kelompok ini termasuk paling moderat
di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan
diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah.

4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis


Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai
kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang
menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. 10 Gerakan
kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok
tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan ‘kelas’ yang tidak
diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para
perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225). Berbeda
dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal
atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti
faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya. Teori ini juga tidak luput
dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali
tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap
pekerjaan marjinal dan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai
nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan
rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan
lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang
dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan
oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat
memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik
yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143)

5. Teori Feminisme Radikal


Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini
lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki.
Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi 11 laki-laki
(patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki
sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan
laki-laki dalam kehidupan perempuan. Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi
lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal.
Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model
sebagai perempuan mandiri (Ratna Megawangi, 1999: 226). Karena keradikalannya, teori
ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari
kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini.
Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan
sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh
perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

6. Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme muncul karena ketidakpuasan akan arah perkembangan
ekologi dunia yang semakin bobrok. Teori ini mempunyai konsep yang bertolak belakang
dengan tiga teori feminisme modern seperti di atas. Teori-teori feminisme modern
berasumsi bahwa individu adalah makhluk otonom yang lepas dari pengaruh
lingkungannya dan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri. Sedang teori ekofeminisme
melihat individu secara lebih komprehensif, yaitu sebagai makhluk yang terikat dan
berinteraksi dengan lingkungannya (Ratna Megawangi, 1999: 189). Menurut teori ini, apa
yang terjadi setelah para perempuan masuk ke dunia maskulin yang tadinya didominasi
oleh laki-laki adalah tidak lagi menonjolkan kualitas femininnya, tetapi justeru menjadi
male clone (tiruan laki-laki) dan masuk 12 dalam perangkap sistem maskulin yang
hierarkhis. Masuknya perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah
menyebabkan peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin.
Akibatnya, yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh
nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan pemeliharaan)
dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya kriminalitas, menurunnya
solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan yang menelantarkan anak-anaknya
(Ratna Megawangi, 1999: 183).

7. Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Teori ini
mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian laki-laki dan perempuan sejak awal
ditentukan oleh perkembangan seksualitas. Freud menjelaskan kepribadian seseorang
tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut
Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik
biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua
sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan keinginan
agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan subjektif individual dan
tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi sebagai aspek moral dalam
kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa menjalankan fungsinya
mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46).

2.2 Mitos Pribumi Malas


Mitos ini mengkaji tentang imej orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam kapitalisme
penjajah, yang diterjemahkan oleh Zainab Kassim, merupakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala
Lumpur, 1989, m/s 275.
Dalam hal ini Syed Hussein melihat adanya penindasan terhadap masyarakat pribumi oleh
kolonial ditanah jajahannya. Dengan menggunakan metodologi sosiologi yang mengkaji tentang
idiologi kapitalisme kolonialsme yang menganggap bahwa masyarakat pribumi malas dan tidak
mempunyai inisiatif untuk melakukan pekerjaan serta pengkajian idiologi masyarakat yang tidak
sebegitu rupa walupun terdapat sebahagian yang beerwatak pemalas namun ia menganggap
perkara ini tidak boleh diwakilkan kepada keseluruhan masyaraka pribumi.
Serta dalm kajiannya, ia juga menerangkan bukti-bukti sejarah sejak dari abad ke-16
hingga abad ke-20 yang merupakan zaman industri (revolusi perindustrian) barat yang
menyebabkan bangsa barat melaksanakan dasar imperialismenya di seluruh dunia untuk
mendapatkan bahan mentah dalm memenuhi keutuhan industri. Maka dalam hal ini negara-negara
yang lemah ditindas dan mengambil seluruh kekayaan alamnya dengan tujuan dapat menampung
ekonomi yang semakin memburuk di barat. Maka dari itu bangsa barat menghalalkan segala cara
baik itu yang berupa pemerasan seperti yang dirasakan di kawasan Asia Tenggara.
Selain dari itu adanya ideologi kolonialisme yang menginterpretasi kemalasan pribumi
seperti yang terjadi pada orang Jawa, Melayu dan Filipina sebagi keengganan masyarakat pribumi
dalam kegiatan ekonomi dimasa penjajahan. Namun idiologi ini ditentang dan di salahkan sebab
kepribadian pribumi enggan bersama dalam kegatan ekonomi diarenakan adanya keserakahan dan
sifat kolonial yang tidak memikirkan faktor kemanusiaan menjadi dinding pemisah bagi
masyarakat pribumi dalam ekonomi kapitalisme. Sebagai mana yang di jelaskan oleh Syed Husein
mengenai pandangan para sarjana dan penulis terhadap pribumi malas, hal ini dikarenakan ada
beberapa keadaan yang menyebabkan pribumi dipandang pemalas oleh kolonial sebab penggunaan
kuasa pekerja. Hal ini menyebabkan kaum pribumi lari dari sektor ekonomi. Misalnya saja
penerapan sistem kerja paksa yang diterapkan oleh kolonial belanda terhadap rakyat indonesia
untuk mendapatkan keuntungan bagi belanda. Selain itu dapat pula kita lihat di Filipana yang
dianggapsebagi penyebab kemalasan orang–orang Spanyol serta berlaku tidak opan terhadap
orang Spanyol. Serta hal yang serupa juga terjadi bagi orang-orang Melayu yang dianggap malas
karena tidak mau terlibat dalam pelaksanaan kegiatan perlombongan dan perladangan brits. Serta
tindakan colonial yang sewenang-wenag terhadap para pekerja menyebabkan kemiskinan,
peningkatan wabah penyaki seperti malaria, tibi, taun dan lainnya. Selain itu ditanah melayu juga
mendatangkan imugran Cina dan India untuk bekerja di lading tempat perlombongan pribumi, dan
ketidak serataan golongan kolonial dalm kegiatan ekonomi dan bertindak kejam kepada
masyarakat pribumi.
Selain itu Syed Husein juga memperkuat gagasannya dengan memberikan bukti bahwa
kawasan Asia pernah mencapai kegemilangan ddalam hal ekonomi dengan perdaangan. Pada abad
ke-16 masyarakat pribumi telah melakukan perdagangan terbuka di kalangan pedagang. Hal ini
dibuktikan dengan adanya interport yang selamat, cukai yang murah, dan sebagainya serta
penggunaan Bahasa melayu sebagai lingua franca yang diterima secara umum dalam kegiatan
perdagangan. Namun seiring dengan kedatangn\an colonial yang menindas dan memorak-
porandakan system perdagangan dikawasan Asia khususnya di Asia Tenggara menyebabkan
lunturnya kegemilanga perekonomian pribumi dikawasan ini. Syed Husein juga menyatakan
bahwa kekejaman Belanda sebagai coordinator hilangnya perdagangan pribumi dari abad ke-16
sampai pada abad ke-19. Belanda memulai monopolinya dengan memberi pertolongan kepada
rakyat Aceh untuk mengusir Portugis dan berusaha merebut Johor serta Selat Malaka. Selain itu
adanya faktor kepemimpinan pribumi yang tidak berwibawa serta banyaknya kekecohan yang
terjadi di kalangan etnik menjadi faktor penentu kekuasaan Belanda dalam melenyapka
perdagangan pribumi. Maa dari itu Syed Husein membantah ideology colonial yang mengatakan
bahwa masyarakat pribumi kurang inisiatif dibidang perekonomian bahkan menyatakan bahwa
masyrakat pribumi malas dan tidak ada usaha dalam kehidupan.
Analisisnya tidak hanya tertumpu pada masyarakat yang direkodkan oleh residen,
pelancong, dan pemerintah olonial, tetapi juga melihat dari segi penguasa yang pada saat itu
berperan sebagai satu panca utama yang menunjukkan kemalasan orang pribumi karena watak
mereka yang suka menyabung ayam, kasar dan menindas rakyat. Karena rakyat menjadi takut
untuk keluar akibat dari kekerasan pemerintah serta tida enggan untuk membunuh rakyatnya jika
kenginannya tidak dipenuhi. Sehingga rakyat terpaksa berdiam diri serta tidak berusaha umtuk
lebih dari itu akibat dari kerakusan pemerintah dalam mengaut keuntungan sendiri dengan
merampas harta rakyatnya.
Selain itu beliau juga mengambil pandangan sarjana seperti Karl Marx dan Engels yang
memandang enteng masyarakat timur padahal penafsiran mereka yang berat sebelah dan hanya
mendapat maklumat tersebut daripada catatan penjajah, pelancong dan sebagainya yang
menggambarkan kehidupan dan perwatakan orang timur tanpa melihat scara realiti kehidupan
masyarakat timur. Malahan juga beliau melihat dan menganalisis pemikiran atau pengetahuan
peribumi dalam lingkungan Malaysia iaitu melalui buku dilema melayu oleh Mahathir dan buku
revolusi mental. Perkara yang dibangkitkan di dalam buku tersebut adalah berdasarkan kepada
kemalasan orang melayu ketika abad ke- 20. Oleh yang demikian analisis Syed Hussein
mengenainya adalah sokongan pihak UMNO terhadap pemerintahan kolonial yang menyebabkan
kedua-dua karya tersebut dipengaruhi oleh kolonialisme. Ungkapan kemalasan yang diterima
adalah menerusi kaca mata kolonial oleh buku tersebut yang dianggap mencuit hati oleh Syed
Hussein dan tidak ada analisis terperinci mengenai kemalasan orang melayu dan sepatutnya tidak
boleh dijadikan hujah.
Secara keseluruhannya karya ini sangat berguna untuk membentuk semula pandangan
negatif masyarakat barat terhadap masyarakat timur terutama asia tenggara yang dianggap sebagai
malas dan tidak ada usaha dan komitmen dalam diri mereka. Tetapi kemajuan yang dikecapi oleh
Malaysia telah menunjukkan kemalasan masyarakat melayu bukanlah di sebabkan budayanya
yang dicipta tetapi kerana pengaruh kolonialisme yang disebarkan untuk mempengaruhi
masyarakat melayu. Sehubungan dengan itu konstruksi sosial yang dibina oleh para ahli intelektual
seperti Zaaba, Syed Hussein, dan Haji Wan Mohammed Haji Wan Daud Patani, dan sebagainya
adalah suatu usaha yang murni untuk membina peradaban Melayu di mata dunia.
2.3 Polemik Kebudayaan
Polemik kebudayaan adalah sebuah perdebatan pendapat kaum intelek yakni pikiran
Sutan Takdir Alisjahbana, Dr.Sutomo, Sanusi Pane, Purbatjaraka, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr.
M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara yang kala itu saling beradu tentang bagaimanakah sebaiknya
Indonesia pada masa yang akan datang agar Merah Putih dapat bekibar lepas di angkasa bumi
pertiwi pada era 30-an yakni pada tahun 1935-an,yang setiap buah pikiran dari tokoh-tokoh
perdebatan tersebut kala itu dicurahkan melalui artikel media masa nasional dan ramai menjadi
topik pembicaraan rakyat. Perdebatan ini pula yang merupakan salah satu motor terbentuknya
latarbelakang cita-cita dan tujuan NKRI. Adapaun yang menjadi Polemik ini bermula dari tulisan
Sutan Takdir Alisyahbana Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia
(Pujangga baru, 2 Agustus 1935). Ia membedakan "Zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung
hingga akhir abad ke-19) dan "zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia
menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambugan
dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda.
Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.
Tulisan ini mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Dalam tulisannya
yang berjudul Persatuan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935), Sanusi Pane menulis:
"Zaman sekarang ialah terusan zaman dahulu....Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust
dan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individulisme dengan spiritualisme,
perasaan dan collectivisme". Dalam tulisannya yang berjudul "Sambungan Zaman", Poerbacaraka
mengatakan, "Pada perasaan saya, yang manfaat buat tanah dan bangsa kita ini, ialah mengetahui
jalan sejarah dari dulu-dulu sampai sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita seboleh-bolehnya
berusahakan mengatur hari yang akan datang. Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan
kuno tetapi jangan mabuk kebaratan juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya
dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak.
Ringkas cerita, Tuan Takdir Alisjahbana merupakan tokoh yang mengimpikan Indonesia
baru yang condong ke filosofi "barat" , dia berpandangan bahwa: “Ramuan untuk masyarakat dan
kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan
kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali
berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya agar
masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch mati ini menjadi dynamisch, menjadi
hidup. Sebabnya, hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan
dunia yang luas. Maka, telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch
yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa
kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini
mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropa, Amerika, Jepang. Demikian saya
berkeyakinan bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat
sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi
sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu,
kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat”.
Bagi STA, kebudayaan Timur bersifat statis makanya mati, sementara kebudayaan Barat
bersifat dinamis makanya terus eksis dan menguasai dunia. Karenanya, di mata STA, Indonesia
sebagai bagian dari Timur harus mengganti kiblatnya ke Barat agar bisa bangkit dan mensejajarkan
diri dengan masyarakat Barat. Demikian, “Timur” dan “Barat” dipandang sebagai hakikat yang
monolitik.Sementara itu, Sanusi Pane juga takalah esensialistiknya dalam melihat kebudayaan.
Misalnya ia mengatakan: “Barat mengutamakan jasmani sehingga lupa akan jiwa. Akalnya
dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang
mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani. Timur mementingkan rohani sehingga lupa akan
jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat
Arjuna yang bertapa di Indrakila.”
Demikian, Sanusi Pane memang memandang bahwa sesuatu yang ideal adalah menyatukan
Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan
spiritualisme, perasaan dan kolektivisme. “Sungguhpun begitu, sangat tampak kecenderungan
Sanusi Pane untuk mempercayai bahwa “Timur lebih baik” karena “materialisme, intelektualisme
dan individualisme”-yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga
menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”. Karenanya,
Sanusi Pane jelas lebih memilih Timur ketimbang Barat sebagai acuan kebudayan Indonesia di
masa depan.
Kesimpulannya. STA merupakan tokoh yang mengimpikan Indonesia baru yang condong
ke filosofi "barat sedangkan tokoh lain disini adalah sosok yang tetap ingin mempertahankan ke-
''timur''-an Indonesia,disinilah letak pro dan kontra yang menjadi bibit perdebatan antara Tuan
Takdir Alisjahbana dan tokoh-tokoh lainnya. Namun demikian, terlepas dari perbedaan pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya tokoh-tokoh tersebut tetap memiliki tujuan yang sama,
yaitu terciptanya Negara Indonesia yang makmur dan megah di mata dunia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dapat dilihat dari
konstruksi soial dan budaya serta merupakan suatu sifat yang dapat dijadikan sebagi dasar untuk
mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan
budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Mitos
pribumi malas merupakan ungkapan yang diberikan kepada kaum pribumi yang berusaha diangkat
oleh Syed Husein menjadi pokok kajiannya serta mengupayakan membantah pernyataan tersebut
dengan mengumpulkan data-data mulai dari sejarah, ekonomi dan sebagainya yang berkaitan
dengan pribumi pada masa kolinial. Sedangkan Polemik Kebudayaan merupakan perbedaan-
perbedaan pandangan dan pendapat dari kalangan ilmuan Indonesia dalam mengupayakan
kemerdekaan Indonesia.
3.2 Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih
focus dan mendetail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber yang lebih
lengkap yang tentunya dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu pembaca bisa memberi kritik
atau saran terhadap penulisan dan bisa juga menanggapi terhadap kesimpulan dari pembahasan
makalah yang telah dijelaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Alatas, Syed Husein. 1988. Mitos Pribumi Malas. Jakarta: LP3ES
http://zeidel.blogspot.com/2013/03/polemik-kebudayaan.html?m=1
https://serbasejarah.files.wordpress.com
Marzuki. Kajian Awal Tentang Teori-teori Gender.

Anda mungkin juga menyukai