Euthanasia Kelompok
Euthanasia Kelompok
Disusun Oleh :
Kelompok 6
‘AISYIYAH BANDUNG
Jl. K. H. Ahmad Dahlan No. 6 Bandung
1
KATA PENGANTAR
ٱلر ۡح َٰم ِن ه
ٱلر ِح ِيم ِب ۡس ِم ه
ٱَّللِ ه
Assalammuallaikum wr.wb
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang mana telah
melimpahkan rahmatnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
menegenai analisa kasus “Euthanasia” ini dengan lancar dan tanpa hambatan sedikitpun.
Allah Maha Besar.
Namun, kami menyadari kalau kami adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari
kekurangan demikianpun apa yang kami buat ini. Kami banyak berharap kritik dan saran
dari pembaca sehingga kami dapat menyempurnakan laporan-laporan yang akan kami buat
kedepannya. Kiranya dapat berguna bagi pendidikan kesehatan khususnya bagi perawat
dan pembaca.
Adapun tujuan kami membuat analisa kasus ini yaitu untuk menyelesaikan tugas
kuliah Asuhan Keperawatan Spiritual Muslim.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
Halaman
A. Pengertian ..................................................................................................... 4
B. Jeni-Jenis Euthanasia .................................................................................... 4
C. Dilema Etik Euthanasia Di Beberapa Negara ............................................... 6
D. Beberapa Aspek Yang Mengtur Euthanasia di Indonesia .............................. 8
E. Sudut Pandang Islam Terhadap Euthanasia .................................................. 11
F. Pro dan Kontra Kasus Euthanasia ................................................................. 16
G. Solusi Pengambilan Keputusan Kasus Dilema Etik ..................................... 18
H. Prinsip-prinsip Moral Keperawatan .............................................................. 22
A. Kasus ............................................................................................................. 23
B. Pembahasan .................................................................................................. 23
A. Kesimpulan ................................................................................................... 31
B. Saran .............................................................................................................. 32
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia,
sudah kerap dibicarakan oleh para ahli. Namun masalah ini akan terus menjadi
bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik. Untuk itulah
masalah skenario pertama mengenai kasus euthanasia sangat menarik untuk
dibahas.
Etika dan moral merupakan sumber dalam merumuskan standar dan prinsip-
prinsip yang menjadi penuntun dalam berprilaku serta membuat keputusan
untuk melindungi hak-hak manusia. Etika diperlukan oleh semua profesi
termasuk juga keperawatan yang mendasari prinsip-prinsip suatu profesi dan
tercermin dalam standar praktek profesional. (Doheny et all, 1982).
1
memberikan pelayanan yang dibutuhkan. Konsekuensi dari hal tersebut
tentunya setiap keputusan dari tindakan keperawatan harus mampu
dipertanggung jawabkan dan dipertanggung gugatkan dan setiap penganbilan
keputusan tentunya tidak hanya berdasarkan pada pertimbangan ilmiah semata
tetapi juga dengan mempertimbangkan etika.
Etika adalah peraturan atau norma yang dapat digunakan sebagai acuan bagi
perlaku seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang baik dan buruk yang
dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawanb
moral. (Nila Ismani, 2001)
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
f. Mengetahui pro kontra yang terjadi mengenai kasus dilema Etik Euthanasia
2
C. Manfaat Penulisan
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi
secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.
Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai
pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Kata euthanasia terdiri dari dua kata dari bahasa Yunani eu (baik)
dan thánatos (kematian). Jadi secara harafiah euthanasia berarti mati yang layak
atau mati yang baik (good death) atau kematian yang lembut. Beberapa kata
lain yang berdasar pada gabungan dua kata tersebut misalnya: Euthanatio: aku
menjalani kematian yang layak, atau euthanatos (kata sifat) yang berarti “mati
dengan mudah“, “mati dengan baik” atau “kematian yang baik”. (K. Bertens,
2001)
B. Jenis-Jenis Euthanasia
4
yang mengelompokkan euthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkannya
pada cara euthanasia itu dilakukan.
2. Euthanasia pasif, baik atas permintaan atau pun tidak atas permintaan
pasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatanlain secara sengaja tidak
(lagi) memberikan bantuan medis yang mana dapat memperpanjang hidup
kepada pasien (dengan catatan bahwa perawatan rutin yang optimal untuk
mendampingi atau membantu pasiendalam fase terakhirnya tetap diberikan)
(KartonoMuhammad, 1992:31)
5
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak
berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya hanya seorang wali dari
pasien dan mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi pasien
tersebut.
3. Assisted suicide. Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan
tertentu untuk menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
(Billy, 2008)
C. Dilema Etik
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif
yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan
tidak memuaskan seanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah.
Untuk membuat keputusan yang etis seseorang harus tergantung pada
pemikiran yang rasional dan bukan emosional (Thomson & Thomson, 1985;
CNA, 2002).
1. Belanda
6
Sebuah karangan berjudul “The Slippery Slope of Dutch Euthanasia” dalam
majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda
dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut
di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.
3. Republik Ceko
7
Sebagaimana sedikit diulas diatas, kajian normatif euthanasia akan kembali
seputar sejauh mana keterlibatan dokter dalam rumusan tindak pidana terutama
pasal 344 KUHP. Bahkan apabila dokter melakukan Euthanasia tanpa berhati-
hati, maka dapat dihubungkan pula secara tidak langsung dengan pasal 338,
340, 345 maupun 359 KUHP dan melanggar pasal pasal 7 huruf a, c, dan d Kode
etik kedokteran.
1. Aspek Hukum
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa perintah, beberapa pasal
yang berhubungan dengan euthanasia adalah :
Pasal 340 KUHP : “Barang siapa dengan sengaja den direncanakan lebih
dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan
direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya
seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
Pasal 345 KUHP : ”Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain
untuk membunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan
8
daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat
tahun.
Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang
dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan
kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal
306 (2).
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati.
Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari
aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
pelaksanaan euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak
dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk
mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan
atau lebih jelas lagi dari segala penderitaan yang hebat. Euthanasia aktif jelas
9
melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat
1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359.
4. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia tidak
boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara
tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan
sekarat dapat dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan
Tuhan.Tetapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar dan tentunya sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan
dengan usaha medis dapat menimbulkan masalah lain.
10
Mengapa orang harus ke dokter untuk berobat mengatasi penyakitnya.
Kalau memang umur berada di tangan Tuhan, bila memang belum waktunya, ia
tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya memperpanjang umur
atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis dapat pula dipermasalahkan
sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada kasus-kasus tertentu, hukum
agama memang berjalin erat dengan hukum positif. Sebab di dalam hukum
agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang juga bersifat publik.
Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau nyawa. Hal itu
jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama. Dalam hukum
positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi.
Oleh sebab itu, ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau
jiwa manusia, sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama,
sekalipun wujud materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara.
(Ismail: 2005).
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat
menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22:66; 2:243). Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks
dalam Al Quran ataupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri.
Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, “Dan
belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS 2:195), dan dalam ayat
lain disebutkan “Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri,” (QS 4;29), yang
makna langsungnya adalah “Janganlah kamu saling berbunuhan”. Dengan
demikian seorang Muslim (Dokter) yang membunuuh seorang Muslim lainnya
(pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri. Eutanasia dalam ajaran
Islam dsebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (euthanasia), yaitu suatu
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit,
11
baik dengan cara positif maupun negatif. Pada konferensi pertama tentang
kedokteran Islam di Kuwait 1981, dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan
yang membenarkan dilakukannya euthanasia ataupun pembunuhan berdasarkan
belas kasihan (mercy killing) dalam apapun juga.
1. Euthanasia Aktif
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
12
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di
antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i
(Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau
dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram
emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram
perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat
diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di
balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau
manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien
tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah
kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah
menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit,
kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
13
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter
menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan
alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan
kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu
wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan
pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya
mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat.
Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat
wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan
bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan
tidak berobat. Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA,
bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu
berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering
14
tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan
mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu
dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka
Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).
15
mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo,
2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari
pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk
mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau
washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri)
(Audah, 1992 : 522-523).
Secara manusiawi kematian adalah sesuatu yang sangat pribadi dan personal.
Peristiwa ini sudah sangat sensitif tanpa harus ditayangkan secara luas di
televisi. Permohonan euthanasia atau suntik mati atas pasien pernah menjadi
trendi di Indonesia yaitu dengan mencuatnya permohonan tersebut di media
cetak maupun elektronik. Dan sempat menjadi bahan pembahasan dan
pembicaraan yang ramai. Apalagi sebagian masyarakat telah menghubung-
hubungkannya dengan istilah hak asasi manusia.
Jika euthanasia atau suntik mati dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia,
memang akan berbeda pendapat dalam menjawabnya antara pro dan kontra
terhadap pelaksanaan euthanasia atau suntik mati tersebut. Hak asasi manusia
bisa dikatakan sebagai momok yang seakan sangat menakutkan bagi setiap
orang, karena segala sesuatu selalu akan dihubungkan dengan otonomi
kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya sulit menentukan apa sebenarnya makna
yang dikehendaki oleh hak asasi manusia. Jika melihat kasus di negara Inggris
yang telah melegalkan euthanasia atau suntik mati pada prinsipnya bukan
merupakan kesepakatan bulat dikalangan pemerintahannya, karena disatu sisi
masih ada yang menolaknya dengan alasan terkait dengan hak asasi manusia.
Dilihat dari sudut pandang caring terkait empat prinsip etik – otonomi, non
maleficence ( tidak merugikan orang lain), beneficence (memaksimalkan
manfaat dan meminimalkan kerugian) dan justice (keadilan) menjadi topik
bahan diskusi. Ada yang mendukung, akan tetapi ada juga yang menolak
tindakan eutanasia ini (Toon Quaghebeur, et.al, 2009).
16
Untuk yang menolak tindakan eutanasia ini menyatakan dengan tindakan
eutanasia akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap profesi. Dengan
tindakan eutanasia seperti menciptakan pandangan yang merubah peran
perawat untuk merawat dan advokasi (Zimbelman, 1994; Simpson &
Kowalski, 1993; Mc Cabe, 2007). Fokus perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan adalah mengobati pasien (merawat pasien) dan tidak termasuk
eutanasia. Eutanasia merupakan tindakan antietik untuk aktifitas keperawatan
dan bukan merupakan bagian dari pandangan perawat sebagai pengobat/healing
(McCabe, 2007). Low dan Pang (1999) juga menolak tindakan eutanasia.
Mereka berpandangan eutanasia merupakan hal yang sangat bertolak belakang
dengan prinsip dasar pengobatan dan keperawatan secara umum, termasuk
perawatan paliatif. Prinsip perawatan paliatif adalah ”melakukan hal yang baik”
dan ”tidak melukai”. Dengan eutanasia akan mengakhiri pertumbuhan
kemanusiaan seseorang. Goodman (1996) berpendapat perawatan alternatif
akan lebih baik dari eutanasia seperti memberi perhatian lebih, mendukung
pasien, dan menggunakan teknik yang lebih baik dalam mengontrol nyeri.
Volkenandt (1998) juga menyatakan perawatan pendukung dan eutanasia
bukanlah dilema etik karena eutanasia bukan pandangan yang baik dalam
keperawatan.
17
Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai
berikut : (1) Mengembangkan data dasar, (2) Mengidentifikasi konflik, (3)
Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut. (4)
Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat, (5) Mendefinisikan
kewajiban perawat, (6) Membuat keputusan.
18
perawat berada di ujung tanduk antara menghormati pasien akan otonominya,
memberitahukan diagnose penyakitnya, dan memberikan banyak informasi
yang tidak sesuai dengan keinginan pasien (Lorensen et.al., 2003). Disini
perawat mengalami situasi yang sama ketika merawat pasien terminal dengan
kondisi tidak stabil (Enes & de Vries, 2004), atau seperti ketika perawat
memberikan perawatan yang tdak adekuat (Sorlie et. Al., 2005).
Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat
dengan memberikan informasi akan euthanasia (Hutchinson, 1990), atau
melalui komunikasi antara pasien, keluarga, tim medis dan lainnya. Dan
perawat disini memberikan informasi berkaitan dengan hal tersebut (Redman &
Fry, 2000). Alternatif yang lain dengan mendiskusikan terapi yang diberikan
pada pasien dengan dokter yang menangani sehingga didapatkan informasi
yang lengkap dan jelas sebelum pasien memutuskan euthanasia (Wurzbach,
1999). Tentunya didalam teknik perawatan juga harus diperhatikan seperti
19
perhatian, sentuhan, pemberian informasi merupakan hal yang penting didalam
perawatan paliatif terhadap pasien. Yang nantinya dapat mempengaruhi
pengambilan keptusan yang dibuat. Didalam memikirkan alternative
penyelesaian masalah etik perawat memperhatikan tiga faktor yaitu : (a) fokus
akan kebutuhan pasien, (b) Meyakini perawat mempunyai kewajiban terhadap
pasiennya, (c) Mempunyai perasaan untuk menyelesaikan masalah etik
pasiennya (Sleutel, 2000; Wurzbach, 1999). Terkadang perawat berperilaku
fokus hanya pada dirinya (Sleutel, 2000), tidak mempunyai kekuatan dan pasif
(Ahern & McDonald, 2002) sehingga tidak mau terlibat dengan masalah etik
yang terjadi pada pasiennya. Termasuk disini masalah euthanasia, terlihat
seperti lampu kecil yang tidak ada alternative untuk menyelesaikannya (Lutzan
& Schreiber, 1998). Perawat dapat berperan disini untuk mengkompromikan
tindakan yang dilakukan, mengkritis hal-hal yang tidak masuk akal, atau
mencari penyelesaian yang baik (Woods, 1999). Dan hal ini dilakukan dengan
pendekatan interpersonal dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk
kedalamnya perawatan pasien terminal sebelum keputusan euthanasia dibuat.
4. Memilih alternative
Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan
membantu didalam sensitivitas akan masalah etik yang ada dan
penyelesaiannya (Fry et al., 2002; Hart, Yate, Clinton & Windsor, 1998).
Penelitian menunjukkan permasalahan etik yang sebelumnya membantu
didalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah tersebut
(Lorensen et al., 2003). Akan tetapi perlu diperhatikan didalam pengambilan
keputusan ada batasan –batasannya seperti struktur organisasi didalam peran,
kekuatan hubungan dan hal ini berdampak terhadap keputusan perawat didalam
penyelesaian masalah etik (Falk Rafael, 1996). Dan yang paling berperan
didalam penyelesaian masalah etik adalah adanya hubungan interpersonal yang
baik antara pasien dan perawat dan juga dengan tenaga kesehatan
lainnya(Bergum, 2004). Hal ini akan membuat penyelesaian masalah etik
menjadi efektif termasuk kedalamnya kasus euthanasia.
5. Melaksanakan keputusan
20
Ketika sudah direncanakan alternative-alternatif yang ada dibuatlah
keputusan untuk menyelesaikan masalah etik. Terkait dengan kasus setelah
alternative diberikan dan pasien yang tetap dengan pendirian dilakukan
tindakan euthanasia, maka perawat harus siap dengan keputusan tersebut.
Perawat tetap melaksanakan perawatan terminal pada pasien sehingga pada
tahap kematian. Konflik perasaan yang terjadi di dalam diri perawat harus
diatasi. Perasaan bersalah, takut, menyesal disingkirkan setelah keputusan
tersebut dibuat.
6. Mengevaluasi
Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan
sesuai dengan keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau
tenaga kesehatan lain. Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk
merawat pasien dalam menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan
menurunnya kualitas kerja yang efektif antara perawat itu sendiri dan juga
berdampak terhadap struktur organisasi.
21
1. Autonomi
Autonomi berarti mengatur dirinya sendiri, prinsip moral ini sebagai dasar
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dengan cara menghargai
pasien, bahwa pasien adalah seorang yang mampu menentukan sesuatu bagi
dirinya. Perawat harus melibatkan pasien dalam membuat keputusan tentang
asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien. Aplikasi prinsip moral
otonomi dalam asuhan keperawatan ini contohnya adalah seorang perawat
apabila akan menyuntik harus memberitahu untuk apa obat tersebut, prinsip
otonomi ini dilanggar ketika seorang perawat tidak menjelaskan suatu tindakan
keperawatan yang akan dilakukannya, tidak menawarkan pilihan misalnya
memungkinkan suntikan atau injeksi bisa dilakukan di pantat kanan atau kiri
dan sebagainya. Perawat dalam hal ini telah bertindak sewenang-wenang pada
orang yang lemah.
2. Benefecience
Prinsip beneficience ini oleh Chiun dan Jacobs (1997) dedefinisikan dengan
kata lain doing good yaitu melakukan yang terbaik . Beneficience adalah
melakukan yang terbaik dan tidak merugikan orang lain , tidak membahayakan
pasien . Apabila membahayakan, tetapi menurut pasien hal itu yang terbaik
maka perawat harus menghargai keputusan pasien tersebut, sehingga keputusan
yang diambil perawat pun yang terbaik bagi pasien dan keluarga.
22
setelah pasien memberikan pernyataan tertulis tentang penolakanya. Perawat
tidak memberikan tranfusi, padahal hal tersebut membahayakan pasien, dalam
hal ini perawat berusaha berbuat yang terbaik dan menghargai pasien. Ada
kaidah syariat yang dibangun atas prinsip memudahkan dan menghindari
kesulitan dengan catatan, dalam keadaan terpaksa (Qardhawi, 2000).
Adapun dalam kondisi darurat Allah swt. Berfirman, “ Maka barang siapa
yang terpaksa sedang ia tidak menginginkanya dan tidak pula melampaui batas,
maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Al-
An’am : 145) . Begitulah perawat tidak menyelamatkan jiwa pasien tersebut
dalam keadaan terpaksa yaitu tidak memberikan tranfusi yang sebenarnya bisa
menyelamatkan jiwa pasien.
3. Justice
4. Veracity
23
Veracity menurut Chiun dan Jacobs (1997) sama dengan truth telling yaitu
berkata benar atau mengatakan yang sebenarnya. Veracity merupakan suatu
kuajiban untuk mengatakan yang sebenarnya atau untuk tidak membohongi
orang lain atau pasien (Sitorus, 2000). Perawat dalam bekerja selalu
berkomunikasi dengan pasien, kadang pasien menanyakan berbagai hal tentang
penyakitnya, tentang hasil pemeriksaan laboratorium, hasil pemeriksaan fisik
seperti, “berapa tekanan darah saya suster?”, bagaimana hasil laboratorium saya
suster?’ dan sebagainya. Hal-hal seperti itu harusnya dijawab perawat dengan
benar sebab berkata benar atau jujur adalah pangkal tolak dari terbinanya
hubungan saling percaya antar individu dimanapun berada.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an (Al Hajj : 30), “Dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta”. (Nawawi,1999 : 447)
Namun demikian untuk menjawab pertanyaan secara jujur diatas perlu juga
dipikirkan apakah jawaban perawat membahayakan pasien atau tidak, apabila
memungkinkan maka harus dijawab dengan jawaban yang jelas dan benar,
misalnya pasien menanyakan hasil pemeriksaan tekanan darah maka harus
dijawab misalnya, 120/80 mmHg, hasil laboratorium Hb 13 Mg% dan
sebagainya. Prinsip ini dilanggar ketika kondisi pasien memungkinkan untuk
menerima jawaban yang sebenarnya tetapi perawat menjawab tidak benar
misalnya dengan jawaban ; hasil ukur tekanan darahnya baik, laboratoriumnya
baik, kondisi bapak atau ibu baik-baik saja, padahal nilai hasil ukur tersebut
baik buruknya relatif bagi pasien.
24
5. Avoiding Killing
6. Fedelity
Sebuah profesi mempunyai sumpah dan janji, saat seorang menjadi perawat
berarti siap memikul sumpah dan janji. Hudak dan Gallo (1997 : 108),
menjelaskan bahwa membuat suatu janji atau sumpah merupakan prinsip dari
fidelity atau kesetiaan. Dengan demikian fidelity bisa diartikan dengan setia
pada sumpah dan janji. Chiun dan Jacobs (1997 : 40) menuliskan tentang
fidelity sama dengan keeping promises, yaitu perawat selama bekerja
mempunyai niat yang baik untuk memegang sumpah dan setia pada janji.
25
perawat dan pasien yang meliputi menepati janji dan menyimpan rahasia serta
caring (Sitorus, 2000 : 3). Prinsip fidelity ini dilanggar ketika seorang perawat
tidak bisa menyimpan rahasia pasien kecuali dibutuhkan, misalnya sebagai
bukti di pengadilan, dibutuhkan untuk menegakan kebenaran seperti
penyidikan dansebagainya. Nabi saw bersabda, HR Thabrani,”Barang siapa
membicarakan seorang dengan suatu yang tidak ada kenyataanya dengan
maksud hendak mencelanya, Allah akan menahanya di neraka jahanam
sehingga ia datang dengan melaksanakan apa yang ia bicarakan tentangnya”
(Qardhawi, 2000 : 460)
26
BAB III
A. Kasus
Seorang pasien bernama Ny.T datang ke IGD dengan keadaan tidak sadarkan
diri, GCS E : 1 M : 3 V : 2, nampak nafas berat, suara nafas stridor, TTV TD :
80/50 HR : 116 SpO2 85% tanpa O2 saat pertama datang. Menurut keluarga os
menderita Kanker Ovarium Meta Paru sudah di lakukan kemotherapi dan sinar.
Setelah dilakukan pengkajian dan penanganan os di sarankan masuk ICU
karena dengan penurunan kesadaran beresiko terjadi gagal nafas. Namun saat
itu keluarga menolak dengan alasan kasian kepada pasien apabila harus di
pasang alat bantu (ETT) dan kondisi di ruang ICU pasen tidak bisa di tunggu.
Keluarga sudah diberikan penjelasan oleh pihak dokter dan perawat perihal
kondisi pasien saat ini juga proses penatalaksanaan yang akan di lakukan serta
segala resiko yang mungkin saja bisa terjadi, akan tetapi keluarga tetap menolak
dan akhirnya keluarga melakukan pernyatanaan untuk do not resuscitation
(DNR) dengan resiko henti nafas henti jantung bisa saja terjadi kapan saja
dengan kondisi pasien seperti ini.
Pembahasan
1. Pada kasus di atas bila di tinjau dari pengertian euthanasia pasif, dapat di
kategorikan euthanasia pasif, namun masih perlu analisa mendalam
terhadap kasus tersebut, factor-faktor apa saja yang menjadi penyebab
keputusan tersebut di ambil? sudah sesuaikah peran atau tindakan yang
27
dilakukan oleh pihak medis dan keputusan yang akan di ambil keluarga
dalam kasus ini?
Pada tahapan ini perawat harus mampu berkolaborasi dengan tim tenaga
medis lain untuk menidentifikasi masalah etik yang ada, tidak hanya dengan dr.
Jaga di IGD tetapi harus sampai pada dokter spesialis onkologi ataupun KIC.
Perawat juga harus menumpulkan informasi apa factor penyebab adanya dilem
etik tersebut.
28
Didalam mengembangkan alternative untuk menyelesaikan masalah etik
harus diperhatikan hasil yang diterima oleh pasien dan dampak terhadap
perawat itu sendiri. Alternatif yang dipilih berdasarkan tidak ada resiko
terhadap perawat, tidak menimbulkan reaksi yang negative dari pihak lain
(termasuk didalamnya tenaga medis dan administrasi rumah sakit).
Alternatif yang dapat diberikan pada pasien disini oleh seorang perawat
dengan memberikan informasi, atau melalui komunikasi antara pasien,
keluarga, tim medis dan lainnya. Dan perawat disini memberikan informasi
berkaitan dengan hal tersebut, Alternatif yang lain dengan mendiskusikan terapi
yang diberikan pada pasien dengan dokter yang menangani sehingga didapatkan
informasi yang lengkap dan jelas. Tentunya didalam teknik perawatan juga
harus diperhatikan seperti perhatian, sentuhan, pemberian informasi merupakan
hal yang penting didalam perawatan paliatif terhadap pasien. Yang nantinya
dapat mempengaruhi pengambilan keptusan yang dibuat. Didalam memikirkan
alternative penyelesaian masalah etik perawat memperhatikan tiga faktor yaitu
: (a) fokus akan kebutuhan pasien, (b) Meyakini perawat mempunyai kewajiban
terhadap pasiennya, (c) Mempunyai perasaan untuk menyelesaikan masalah
etik pasiennya (Sleutel, 2000; Wurzbach, 1999). Perawat dapat berperan disini
untuk mengkompromikan tindakan yang dilakukan, mengkritis hal-hal yang
tidak masuk akal, atau mencari penyelesaian yang baik, dan hal ini dilakukan
dengan pendekatan interpersonal dan organisasional (Ceci, 2004). Termasuk
kedalamnya perawatan pasien terminal sebelum keputusan dibuat.
d. Memilih alternative
Diperoleh melalui diskusi dengan teman kerja, atasan, hal ini akan
membantu didalam sensitivitas akan masalah etik yang ada dan penyelesaianny.
Akan tetapi perlu diperhatikan didalam pengambilan keputusan ada batasan –
batasannya seperti struktur organisasi didalam peran, kekuatan hubungan dan
hal ini berdampak terhadap keputusan perawat didalam penyelesaian masalah
etik. Dan yang paling berperan didalam penyelesaian masalah etik adalah
adanya hubungan interpersonal yang baik antara pasien, keluarga dan perawat
29
dan juga dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga hal ini akan membuat
penyelesaian masalah etik menjadi efektif.
e. Melaksanakan keputusan
f. Mengevaluasi
Dalam tahap evaluasi perlu dilihat kembali apakah hasil yang didapatkan
sesuai dengan keinginan pasien, adanya konflik baru diantara perawat atau
tenaga kesehatan lain. Dalam kenyataan ketika memenuhi kewajiban untuk
merawat pasien dalam menyelesaikan masalah etik sering menyebabkan
menurunnya kualitas kerja yang efektif antara perawat itu sendiri dan juga
berdampak terhadap struktur organisasi.
30
BAB IV
A. Kesimpulan
31
buruk yang dilakukan seseorang dan merupakan suatu kewajiban dan
tanggungjawanb moral.
B. Saran
1. Institusi Pendidikan
Agar memberikan feedback positif terhadap makalah ini, agar bila terjadi
kesalahan dalam penulisan ataupun kekeliruan dalam isi materi makalah ini
dapat di perbaiki dan tidak menimbulkan salah tafsir datau pro kontra yang
menyebabkan timbulnya masalah baru, sehingga di penulisan kedepan makalah
ini dapat dikembangkan dengan lebih baik.
2. Mahasiswa
DAFTAR PUSTAKA
32
AL-Quran Al Karim
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds:
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah
Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu.Juz IX (Al
Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr.
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah
Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing
Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education
Line.
Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia :
Lippincott
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta: Gema Insani Press
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-
Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-
Maut. Beirut :Darul Ummah.Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa
Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi
Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan OrganTubuh Buatan,
Definisi Hidup dan
Mati. Bangil : Al Izzah.
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
Arifin Rada. 2013. Euthanasia dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Perspektif
Volume XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei (diakase melalui
http://www.jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/119
tanggal 19 Maret 2019 19.30)
Elmina, Marta A. 1997. Euthanasia Dalam Prespektif Hukum Islam. Jurnal Fakultas
Hukum UI No 8 Vol 5 ( diakses melalui neliti.com
33
https://www.neliti.com/id/publications/87125/euthanasia-dalam-
perspektif-hukum-islam tanggal 19 Maret 2019 19.30)
Hayati, Nur. 2004. Euthanasia Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Dan Kaitannya
Dengan Hukum Pidana. Lex Jurnalica /Vol. 1 /No.2 /April 2004 (diakses
melalui neliti.com/ Repositori Ilmiah Indonesia
https://www.neliti.com/id/publications/12562/euthanasia-dan-hak-asasi-
manusia tanggal 19 Maret 2019 19.35)
Suwarto. 2009. Euthanasia dan Perkembangannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum pidana. Jurnal Hukum Pro Justitia Vo. 27 No 2 (diakses melalui
neliti.com/ Repositori Ilmiah Indonesia
https://www.neliti.com/id/publications/13078/euthanasia-dan-
perkembangannya-dalam-kitab-undang-undang-hukum-pidana tanggal 19
Maret 2019 19.35)
Lisnawaty Badu. 2012. EUTHANASIA DAN HAK ASASI MANUSIA. Jurnal
Legalitas VOL 05, NO 01, 2012 (diakses melalui neliti.com/ Repositori
Ilmiah Indonesia https://www.neliti.com/id/publications/12562/euthanasia-
dan-hak-asasi-manusia tanggal 19 Maret 2019 19.35)
34