Meningitis KMB
Meningitis KMB
PENDAHULUAN
menyerang anak usia < 2 tahun, dengan puncak angka kejadian pada usia 6-18
bulan (Novariani et al., 2008). Penyakit ini diperkirakan mencapai 1,2 juta kasus
per tahun, dengan etiologi Haemophilus influenza tipe b (Hib) 16/100.000 dan
bakteri lain 67/100.000 (Gessner et al., 2005). Pasien dengan meningitis bakteri
meningitis bakteri terjadi karena adanya kerusakan pada area tertentu di otak.
Secara umum, 30% - 50% pasien yang bertahan hidup dari meningitis dapat
mengalami gangguan saraf (Hermsen dan Rotschafer, 2005). Oleh karena itu,
pasien meningitis bakteri khususnya pada anak perlu mendapat terapi antibiotik
yang optimal.
Ketersediaan antibiotik saat ini telah terjamin, namun meningitis bakteri tetap
memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Hermsen dan Rotschafer,
2005). Angka mortalitas pada pasien yang diobati adalah sekitar 10% dari jumlah
kasus yang dilaporkan. Pada suatu studi klinik memperlihatkan kejadian sekuel
neurologis pada lebih dari 50% kasus orang dewasa dan lebih 30% pada anak-
anak, 10% dari kasus anak-anak tersebut mengalami gangguan pendengaran yang
permanen. Angka kematian pada kasus yang tidak diobati adalah 50-90%
2
(Japardi, 2002). Mengacu pada angka morbiditas dan mortalitas yang cukup
tinggi, maka diperlukan terapi yang tepat, efektif, rasional dan cepat bagi pasien.
bakteri pada anak lebih tinggi daripada orang dewasa. Oleh karena itu, perlu
berikut:
Untuk mengetahui
1. Pengertian meningitis.
2. Penyebab meningitis.
3. Patofisiologi meningitis.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Meningitis adalah inflamasi yang terjadi pada meninges, suatu membran yang
menyelimuti otak dan spinal cord (sumsum tulang belakang). Meningitis dapat
terjadi karena infeksi bakteri, virus, fungi, juga karena kejadian noninfeksi seperti
Sucher, 2005). Meningitis bakteri adalah penyakit infeksi parah yang disebabkan
oleh bakteri pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (Van de Beek et al.,
2.2 Etiologi
Beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain usia, faktor-faktor risiko (seperti
gangguan imunitas, sinusitis, trauma kepala, dan sickle cell disease), serta variasi
musim dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya meningitis bakteri. Hal ini
luas selama beberapa tahun terakhir telah merubah epidemiologi bakteri meningitis
meningitis bakteri yang paling banyak ditemukan pada seluruh kelompok umur dan
secara signifikan telah mengalami penurunan dari 48% menjadi 7% dari seluruh
kasus. Pada kasus yang disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitidis masih
menunjukkan persentase kejadian yang konstan yaitu pada 14% – 25%, pada
beberapa kasus terjadi antara umur 2-18 tahun. Staphyloccocus pneumonia menjadi
penyebab paling sering pada seluruh kelompok umur (Swartz, 2007; Tolan, 2009).
monocytogenesis.
Pneumococcus.
2002)
2.3 Patofisiologi
nasofaring, dimana faktor predisposisi seperti infeksi saluran nafas bagian atas
harus ada sebelum bakteri beredar dalam darah. Meningitis bakteri juga dapat
muncul akibat infeksi telinga, gigi, atau paraspinal (akibat trauma atau
Pada saat patogen memasuki sistem saraf pusat melalui plexus choroideus
atau area dengan perubahan sawar darah otak, terjadi peristiwa yang bertahap,
Hueter, 2006). Adanya komponen dinding sel bakteri memicu produksi sitokin
termasuk interleukin-1, tumor nekrosis faktor, dan prostaglandin E2, yang memicu
yang berkontribusi pada terjadinya iskemia serebral (Pfeiffer dan Avery, 2000).
2.4 Diagnosis
Penegakan diagnosis meningitis bakteri akut, tidak cukup hanya
berdasarkan tanda dan gejala yang mengarah ke proses patologis dari meningeal atau
intrakranial. Hal ini disebabkan adanya penyakit dengan tanda dan gejala yang serupa
sehingga dalam penegakan diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti
pemeriksaan cairan serebrospinal (lumbal pungsi) (Feigin dan Cutrer, 2004).
Diagnosis dini dan pemberian antibiotik sesegera mungkin, dapat mengurangi angka
kematian dan kecacatan bila dibandingkan memperpanjang durasi terapi. Kematian
dan sekuel jangka panjang merupakan akibat inflamasi dan kerusakan neural akibat
iskemi, yang sering terjadi pada tahap sebelum dan awal pemberian antibiotik
(Anonim, 2012). Oleh karena itu, ahli medis harus segera melakukan lumbal pungsi
pada anak yang memiliki riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendukung
kearah diagnosis, kecuali jika terdapat kontraindikasi terhadap tindakan tersebut,
seperti peningkatan tekanan intrakranial, uncorrected coagulopathy, dan terdapat
gangguan kardiopulmoner (Anonim, 2008).
Pasien yang memiliki tanda peningkatan tekanan intrakranial, lumbal pungsi
haruS ditunda hingga dilakukan pemeriksaan CT Scan. Hasil dari CT Scan yang
normal belum tentu menyingkirkan adanya peningkatan tekanan intrakranial dan bila
hasil CT scan terdapat kelainan, maka lumbal pungsi ditunda dan terapi antibiotik
dapat langsung dimulai (Anonim, 2008).
Diagnosis meningitis bakteri biasanya dikonfirmasi dengan melakukan analisis
bakteriologis menggunakan mikroskop dan kultur bakteri dari cairan serebrospinal
(CSS). Jika analisis kultur bakteri dari cairan serebrospinal sulit/tidak dapat
dilakukan, maka diagnosis dapat dilakukan dengan melihat hasil CT scan kepala dan
adanya abnormalitas secara biokimiawi pada cairan serebrospinal. Pasien dengan
meningitis bakteri biasanya ditunjukkan dengan hasil uji laboratorium, seperti jumlah
3
sel lebih besar dari 32/mm , tingkat protein lebih dari 150 mg/dL, tingkat glukosa
kurang dari 1 mmol/L (Ogunlesi dan Odigwe, 2013).
Protein pada cairan serebrospinal harus diukur karena pada meningitis bakteri
nilai protein biasanya meningkat dan konsentrasi glukosa pada cairan serebrospinal
harus dibandingkan dengan konsentrasi glukosa dalam darah. Pada pasien dengan
meningitis bakteri yang menjadi tolak ukur adalah penurunan glukosa cairan
serebrospinal dan rasio antara serebrospinal dengan glukosa darah (sekitar 66%)
(Anonim, 2008). Metode serologi seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) juga
dapat mendeteksi antigen dari organisme bakteri pada cairan serebrospinal (Ogunlesi
dan Odigwe, 2013).
Serum elektrolit perlu diukur karena Syndrome of Inappropriate Antidiuretic
Hormone (SIADH) sering terjadi pada meningitis bakteri walaupun hiponatremia
tercatat hanya terjadi pada 35% kasus. Leukopenia, trombositopenia dan koagulopati
dapat terjadi di infeksi meningokokal. Pemeriksaan leukosit periferal pada
pneumokokal meningitis dan viral meningitis biasanya masih dalam kisaran normal
namun pada beberapa kasus, terdapat peningkatan (Prober dan Dyner, 2011).
2.5 Penatalaksanaan Meningitis Bakteri
tepat dan cepat. Hal ini dapat menurunkan angka kematian dan neurologic squeleae.
Beberapa ahli mengatakan bahwa terapi antibiotik harus dimulai dalam 30 menit
setelah dilakukannya evaluasi medik (Reese et al., 2000). Analisis terhadap 156
menunjukkan bahwa keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari 3 jam dari sejak
saat masuk berhubungan dengan terjadinya kematian Odds Ratio (OR) 14,1 (95%CI
3,93-50,9). Hasil serupa juga diperoleh pada penelitian di Kanada yang menunjukkan
bahwa keterlambatan pemberian antibiotik lebih dari 6 jam dari saat masuk RS
Terapi awal pada pasien yang diduga mengalami meningitis bakteri akut
tergantung pada gejala-gejala awal yang diketahui, analisis diagnosis cepat, serta
ketersediaan antimikroba dan terapi adjuvan (Tunkel et al, 2004). Terapi suportif
pasien yang mengalami meningitis bakteri akut (Hermsen dan Rotschafer, 2005).
48-72 jam atau sampai patogen dapat diidentifikasikan (Hermsen dan Rotschafer,
Diduga mengalami
meningitis bakteri
a
Gangguan imunologi, riwayat penyakit, sistem saraf pusat ,
b
papilledema, atau focalneurological deficit , atau
penundaan diagnosis dengan lumbar puncture
Tidak Ya
Deksametason + terapi
Deksametason + terapi cd
empirik antibiotik
cd
empirik antibiotik
Lanjutkan terapi
Faktor
Bakteri Yang Diduga Antibiotik
Predisposisi
(usia)
< 1 bulan Streptococcus agalactiae, E. coli, Ampisilin +
Listeria monocytogenesis, spesies Sefotaksim atau
Klebsiella ampisilin +
aminoglikosida
terhadap terapi, adanya faktor komplikasi dan bakteri penyebab (Dudas dan
bakteri penyebab.
Penderita meningitis bakteri pada pasien bayi dan anak-anak 5% - 30% mengalami
kehilangan pendengaran. Hal ini terjadi akibat inflamasi sistem saraf pusat. Risiko tersebut
bayi dan anak-anak (umur ≥ 6 minggu) didiagnosa atau diduga kuat mengalami meningitis
a) Meningitis bakteri:
(1) Neonatus
(2) Bayi umur lebih dari 1 bulan dan anak diatas 1 tahun
Kombinasi INH+Rifampisin+Pirazinamid
atau
Kombinasi INH+Ethambutol+Pirazinamid
4) Antikonvulsan
6) Diet
membunuh bakteri.
a. Golongan Penisilin
Penisilin bekerja dengan cara menghambat sintesis dari
(Narrayan, 1996).
setiap 4-8 jam. Jenis ini sangat efektif untuk mengatasi meningitis
karena H. influenzae, S. pneumonia, dan N. meningitidis (Mandell
dapat satu kali sehari atau dua kali sehari. Lima puluh persen
1990).
bakteri ataupun sel lisis dan mati. Secara in vitro, obat ini juga
1. Aztreonam
2. Meropenem
et al., 2000).
d. Golongan Kuinolon
e. Aminoglikosida
f. Kloramfenikol
pada abses otak tanpa trauma dan subdural empiema yang diawali
g. Vankomisin
1996).
h. Trimetoprim-Sulfametoksazol
1996).
BAB III
3.1 Kasus
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama : Nn. D
Umur : 22 tahun
b. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Tidak terkaji
c. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Suhu : 38,8 °C
Sistem pencernaan
Sistem integument
Tidak terkaji
Sistem kardiovaskuler
Sistem pernapasan
Tidak terkaji
Sistem perkemihan
Tidak terkaji
Sistem persyarafan
Tidak terkaji
Sitem musculoskeletal
Pasien merasa lemah
Sistem endokrin
Tidak terkaji
Sistem reproduksi
Tidak terkaji
d. Data Psikologis
a. Status Emosional
Tidak terkaji
b. Kecemasan
Tidak terkaji
c. Pola Koping
Tidak terkaji
d. Gaya Komunikasi
Tidak terkaji
e. Data Sosial
Tidak terkaji
f. Data Spiritual
Tidak terkaji
g. Data Penunjang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematokrit 29% 40 – 45 %
P = <20
Hasil Radiologi
h. Terapi Pengobatan
2. Analisa data
kepala ↓
Persepsi Nyeri
Nyeri Acute
Hipertermi
Edema Mual
DS:
↓
mengeluh ↓
ingin kranial
muntah ↓
Merangsang saraf simpatis
Pasien ↓
mengeluh mual
tidak
nafsu
makan
Nyeri acute berhubungan Selama dilakukan tindakan 2x24 jam Pain managemen
dengan peningkatan tekanan diharapkan pasien mampu memilih 1. Lakukan pengkajian nyeri
intra kranial tindakan pribadi mengatasi nyeri dengan secara komperhensif yang
indicator : meliputi lokasi, karakteristik,
Pain control on site atau durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, atau
Indikator Awal Target
beratnya nyeri dan factor
Mengenali 1 5 pencetus
kapan nyeri
2. Gunakan metode penilaian
terjadi
yang sesuai dengan tahapan
Menggambark 2 4 perkembangan yang
an factor memungkinkan untuk
penyebab memonitor perubahan nyeri
Melaporkan 1 5 dan dapat membantu
nyeri yang mengidentifikasi factor
terkontrol pencetus actual dan potensial
sakit kepala 1 5
Dari kasus Nn. D tersebut, maka kelompok kami menyimpulkan beberapa masalah
keperawatan yang mungkin muncul pada kasus tersebut di antaranya: Nyeri akut
berhubungan dengan peningkatan tekanan intra kranial, Hipertermi berhubungan
dengan inflamasi di meningen Mual berhubungan dengan Peningkatan tekanan intra
kranial akan tetapi pada pada penegakan diagnosa keperawatan, masih banyak data-
data yang perlu di kaji sehingga diagnose lebih kuat untuk ditegakan.