Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kajian Pustaka
2.1.1. Model Pembelajaran
Menurut Milfayetty (2015) merupakan bentuk utuh dari satu rangkaian yang terdiri atas
pendekatan, strategi, metode, tekhnik, dan bahkan taktik pembelajaran. Model pembelajaran
merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara
khas oleh guru. Model pembelajaran menurut Bruce Joyce dan Marsha Weil (dalam Milfayetty,
2015) terdiri atas empat kelompok yaitu: (1) model interaksi social; (2) model pengolahan
informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Walau begitu
penggunaan istilah model pembelajaran sering diidentikkan dengan strategi pembelajaran.
Model mengajar merupakan suatu pola atau rencana yang dipakai guru dalam
mengorganisasikan materi pelajaran, maupun kegiatan para siswa dan dapat dijadikan petunjuk
bagaimana guru mengajar di depan kelas (seperti alur yang diikutinya). Pendapat ini
menunjukkan bahwa model mengajar lebih operasional kepada proses pembelajaran
dibandingkan strategi pembelajaran. Sebab dinyatakan juga bahwa strategi mengajar mempunyai
pengertian yang lebih luas daripada model (bentuk mengajar). Beberapa ahli mengatakan bahwa
model mempunyai ciri-ciri yaitu (1) Berdasarkan pada teori pendidikan dan teori belajar dari
para ahli; (2) Mempunyai tujuan tertentu yang dapat dicapai dari penggunaan model tersebut; (3)
Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan mengajar di kelas; (4) Terdiri dari beberapa
komponen yakni: sintaks (urutan langkah mengajar), Prinsip reaksi (hubungan antara guru dan
siswa selama proses pembelajaran), sistem pendukung serta sistem pengelolaan dan lingkungan
belajar; (5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pengajaran yang terdiri dari dua
macam yaitu: (a) Dampak pengajaran (instructional effect) yang dapat diukur secara langsung,
dan (b) Dampak pengiring (nurturant effects) yang merupakan hasil belajar jangka panjang dan
bersifat tidak langsung dan muncul sebagai akibat adanya tantangan di sekitar (Ashar, 2017).

2.1.2. Model Pembelajaran Problem Based Learning


2.1.2.1. Definisi Problem Based Learning
PBL adalah proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya sebagaimana dikutip oleh
Hudojo (dalam Gunantara, 2014). Pengertian PBL menurut Dutch (dalam Amir, 2009) adalah
metode intruksional yang menantang peserta didik agar belajar untuk belajar bekerjasama dalam
kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata. Masalah digunakan untuk mengaitkan
rasa keingintahuan, kemampuan analisis, dan inisiatif siswa terhadap materi pelajaran. PBL
mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis, dan menggunakan sumber belajar
yang sesuai.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model Problem Based Learning
merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah nyata.
Model ini menyebabkan motivasi dan rasa ingin tahu meningkat. Model PBL juga menjadi
wadah bagi siswa untuk dapat mengembangkan cara berpikir kritis dan keterampilan berpikir
yang lebih tinggi (Gunantara, 2014).
2.1.2.2. Karakteristik Problem Based Learning
Karakteristik model pembelajaran Problem Based Learning adalah:
1) Permasalahan menjadi starting point dalam belajar.
2) Permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan kompetensi
yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam
belajar.
3) Pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber
informasi merupakan proses yang esensial dalam PBL.
4) Belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif.
5) Pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan
penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan.
6) PBL melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar (Rusman,
2011).
2.1.2.3. Sintaks Problem Based Learning
Pembelajaran berbasis masalah tidak mengejar kemampuan siswa dalam menghapal,
namun lebih mengedepankan kemampuan siswa dalam memahami materi. Adapun sintaks dari
model pembelajaran berbasis masalah yaitu:
Tabel 2.1 Tahap-Tahap Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Tahapan Pembelajaran Kegiatan Guru

Tahap 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan


Orientasi peserta didik logistic yang diperlukan, mengajukan fenomena atau
pada masalah demonstrasi atau cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi siswa untuk terlibat dalam aktivitas
pemecahan masalah.

Tahap 2 Guru membagi siswa ke dalam kelompok, membantu


Mengorganisasi peserta siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas
didik belajar yang berhubungan dengan masalah.

Tahap 3 Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan


Membimbing informasi yang dibutuhkan, melaksanakan eksperimen
penyelidikan individu dan penyelidikan untuk mendapatkan penjelasan dan
maupun kelompok pemecahan masalah.

Tahap 4 Guru membantu siswa dalam merencanakan dan


Mengembangkan dan menyiapkan laporan, dokumentasi, atau model, dan
menyajikan hasil membantu mereka berbagi tugas dengan sesame
temannya.

Tahap 5 Guru membantu siswa untu melakukan refleksi atau


Menganalisis dan evaluasi terhadap proses dan hasil penyelidikan yang
mengevaluasi proses dan mereka lakukan.
hasil pemecahan masalah
(Trianto, 2007)

2.1.2.4. Kelebihan dan Kekurangan Problem Based Learning


Sanjaya (2007) mengemukakan beberapa keunggulan dari model Problem Based
Learning, di antaranya: (1) Menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk
menemukan pengetahuan baru bagi siswa; (2) Meningkatkan motivasi dan aktivitas
pembelajaran siswa; (3) Membantu siswa dalam mentransfer pengetahuan siswa untuk
memahami masalah dunia nyata; (4) Membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya
dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan; (5) Mengembangkan
kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan memngembangkan kemampuan menyesuaikan diri
dengan pengetahuan baru; (6) Memberi siswa kesempatan mengaplikasikan pengetahuan mereka
di dunia nyata; (7) Mengembangkan minat siswa untuk belajar secara terus menerus sekalipun
pendidikan formal telah berakhir; dan (8) Memudahkan siswa dalam menguasai konsep-konsep
yang dipelajari guna memecahkan masalah di dunia nyata.
Namun di samping itu juga terdapat beberapa kelemahan dari penggunaan model
Problem Based Learning, yaitu: (1) Jika siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai
kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa
enggan untuk mencobanya; dan (2) Sebagian siswa beranggapan bahwa tanpa pemahaman
mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah mengapa mereka harus berusaha
untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka akan belajar apa yang ingin
mereka pelajari (Sanjaya, 2007).

2.1.3. Pendekatan Saintifik


Menurut Henukh (2016) mendapatkan bahwa pembelajaran pendekatan saintifik sangat
penting untuk diterapkan karena akan melahirkan anak yang berjiwa pemberani yang sudah
ditanamkan melalui jenjang pendidikan sesuai komponen pembelajaran saintifik yang telah
diterapkan di Sekolah Dasar. Proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada pengembangan
ketiga ranah pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan tersebut secara utuh/
holistik, artinya pengembangan ranah yang satu tidak bisa dipisahkan dengan ranah lainnya.
Dengan demikian, proses pembelajaran secara utuh melahirkan kualitas pribadi yang
mencerminkan keutuhan penguasaan sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan
yang terintegrasi (psikomotor). Sedangkan menurut Yerimadesi (2006) menyatakan bahwa
pendekatan saintifik (scientific approach) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang
berorientasi atau berpusat pada siswa. Pendekatan ilmiah sering juga disebut sebagai metode
ilmiah. Metoda ilmiah pada dasarnya bukanlah kumpulan langkah-langkah ilmiah berurutan
yang harus terjadi, walaupun kadang-kadang disajikan seperti itu. Metoda ilmiah bukan hanya
untuk pelajaran yang memerlukan kerja laboratorium, namun dapat diaplikasikan ke semua
bidang ilmu pengetahuan untuk membantu pemahaman siswa tentang suatu ilmu pengetahuan
(McLelland, 2006). Hal ini sesuai dengan kurikulum 2013 yang menekankan pelaksanaan
pendekatan saintifik pada semua jenjang pendidikan (Permendikbud Nomor 59 Tahun 2014).
Penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran melibatkan keterampilan proses
seperti mengamati, mengklasifikasi, mengukur, meramalkan, menjelaskan, dan menyimpulkan.
Dalam melaksanakan proses-proses tersebut, bantuan guru diperlukan. Akan tetapi bantuan guru
tersebut harus semakin berkurang dengan semakin bertambah dewasanya siswa atau semakin
tingginya kelas siswa (Daryanto, 2014). Proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 untuk semua
jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan ilmiah (saintifik). Langkah-langkah
pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi
melaui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, menyajikan
data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar, kemudian menyimpulkan, dan
mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah
ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses
pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-
nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Oleh karena itu kondisi pembelajaran yang diharapkan tercipta
diarahkan untuk mendorong peserta didik dalam mencari tahu dari berbagai sumber melalui
observasi (Sani, 2014). Pendekatan ilmiah pembelajaran disajikan berikut ini :
a. Mengamati (Observing)
Mengamati / observing adalah “kegiatan studi yang disengaja dan sistematis tentang
fenomena sosial dan gejala-gejala yang psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”.
Kegiatan mengamati dilakukan dengan tujuan untuk “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi
dari interrelasinya elemen-elemen/ unsur-unsur tingkah laku manusia pada fenomena sosial yang
serba kompleks dalam pola-pola kultural tertentu”. Dalam kegiatan pembelajaran: siswa
mengamati objek yang akan dipelajari (Hosnan, 2014). Metode mengamati mengutamakan
kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan
tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan
mudah pelaksanaannya. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu
peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan
metode observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang
dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru (Kurinasih, 2013). Kegiatan
mengamati dalam pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a,
hendaklah guru membuka secara luas dan bervariasi kesempatan peserta didik untuk melakukan
pengamatan melalui kegiatan: melihat, menyimak, mendengar, dan membaca. Guru
memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, melatih mereka untuk memperhatikan
(melihat, membaca, mendengar) hal yang penting dari suatu benda atau objek. Adapun
kompetensi yang diharapkan adalah melatih kesungguhan, ketelitian, dan mencari informasi.
b. Menanya (Questioning)
Melalui kegiatan bertanya dikembangkan rasa ingin tahu peserta didik. Semakin terlatih
dalam bertanya maka rasa ingin tahu semakin dapat dikembangkan. Pertanyaan terebut menjadi
dasar untuk mencari informasi yang lebih lanjut dan beragam dari sumber yang ditentukan guru
sampai yang ditentukan peserta didik, dari sumber yang tunggal sampai sumber yang beragam.
Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan
ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia
membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab
pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi
penyimak dan pembelajar yang baik (Kurniasih, 2014). Kegiatan “menanya” dalam kegiatan
pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah
mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau
pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Adapun kompetensi yang
diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan
merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan
belajar sepanjang hayat. Pada kegiatan pembelajaran ini, siswa melakukan pembelajaran
bertanya (Hosnan,2014).
c. Mengumpulkan Informasi
Kegiatan “mengumpulkan informasi” merupakan tindak lanjut dari bertanya. Kegiatan ini
dilakukan dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai
cara. Untuk itu, peserta didik dapat membaca buku yang lebih banyak, memperhatikan fenomena
atau objek yang lebih diteliti, atau bahkan melakukan eksperimen. Dari kegiatan tersebut
terkumpul sejumlah informasi. Dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, aktivitas
mengumpulkan informasi dilakukan melalui eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks,
mengamati objek/kejadian/aktivitas wawancara dengan narasumber, dan sebagainya. Adapun
kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai
pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan
informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar
sepanjang hayat (Hosnan, 2014).
d. Mengasosiasikan/Mengolah Informasi/Menalar (Assosiating)
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang
dianut dalam kurikulum 2013 untuk mengembangkan bahwa guru dan peserta didik merupakan
pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris
yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud
merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat (Hosnan,
2014). Istilah menalar disini merupakan padanan dari associating, bukan
merupakan terjemahan dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran.
Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada kurikulum 2013 dengan
pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah
asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemampuan mengelompokkan beragam ide dan
mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan
memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam
referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak
berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal
sebagai asosiasi atau menalar. Dari prespektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara
entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam
ruang dan waktu (Kurniasih, 2014). Kegiatan “mengasosiasi/ mengolah informasi/ menalar”
dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam Permendikbud Nomor 81a Tahun
2013, adalah memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan
mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan
informasi. Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan
kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai
sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kegiatan ini
dilakukan untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya, menemukan
pola dari keterkaitan informasi tersebut. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah
mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan
prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan.
e. Mengomunikasikan Pembelajaran
Pada pendekatan saintifik, guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik
untuk mengomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Pada harapan peserta didik untuk
mengomunikasikan apa yang telah mereka pelajari. Pada tahapan ini, diharapkan peserta didik
mengomunikasikan hasil pekerjaan yang telah disusun baik secara bersama-sama dalam
kelompok dan atau secara individu dari hasil kesimpulan yang telah dibuat bersama. Kegiatan
mengomunikasikan ini dapat diberikan klarifikasi oleh guru agar peserta didik akan mengetahui
secara benar apakah jawaban yang telah dikerjakan sudah benar atau ada yang harus diperbaiki.
Hal ini dapat diarahkan pada kegiatan konfirmasi sebagaimana pada standar proses. Kegiatan ini
dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan
mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampaikan di kelas
dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut.
Kegiatan “mengomunikasikan” dalam kegiatan pembelajaran sebagaimana disampaikan dalam
Permendikbud Nomor 81a Tahun 2013, adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan
berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Adapun kompetensi yang
diharapkan dalam kegiatan ini adalah mengembangkan sikap, jujur, teliti, toleransi, kemampuan
berfikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan
kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Dalam kegiatan mengomunikasikan peserta didik
diharapkan sudah dapat mempresentasikan hasil temuannya unruk ditampilkan di depan
khalayak ramai sehingga rasa berani memberikan komentar, saran, atau perbaikan mengenai apa
saja dipresentasikan oleh rekannya (Hosnan, 2014). Pada intinya, pendekatan saintifik
merupakan pendekatan di dalam kegiatan pembelajaran yang mengutamakan kreativitas dan
temuantemuan siswa. Pengalaman belajar yang mereka peroleh tidak bersifar indoktrinisasi,
hafalan, dan sejenisnya. Pengalaman belajar, baik itu yang berupa pengetahuan, keterampilan,
dan sikap mereka peroleh berdasarkan kesadaran dan kepentingan mereka sendiri (Kosasih,
2014).
2.1.4. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan kemampuan yang diproleh individu setelah proses belajar
berlangsung, yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik pengetahuan, pemahaman,
sikap, dan keterampilan peserta didik sehingga menjadi lebih baik sebelumnya. Sebagaimana
yang dikemukakan Dimyati dan Modjiono (2002) “Hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan
proses evaluasi hasil belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pengalaman
dan puncak proses belajar”.
Adapun pengertian hasil belajar menurut para ahli, yaitu:
1. Briggs menyatakan bahwa hasil belajar sering disebut dengan istilah “scholastic
achievement” atau “academic achievement” adalah seluruh kecakapan dan hasil yang
dicapai mmelalui proses belajar mengajar di sekolah yang dinyatakan dengan angka-
angka atau nilai-nilai berdasarkan tes hasil belajar.
2. Gagne dan Driscoll menyatakan bahwa kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
sebagai akibat perbuatan belajar dan dapat diamati melalui penampilan siswa.
3. Gagne dan Briggs menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan internal yang
meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah menjadi milik pribadi
seseorang dan memungkinkan seseorang itu melakukan sesuatu.
Menurut Hamalik (2002) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku
siswa akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena siswa mencapai penguasaan atas
sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Hamalik (2002) menyatakan
bahwa “Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan
tingkah lakunya. Aspek perubahan itu mengacu kepada aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik”. Pendapat tersebut didukung oleh Sudjana (2005) menyatakan bahwa “Hasil
belajar ialah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik
yang dimiliki siswa setelah menerima pengaman belajarnya”.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan
kemampuan dalam hal pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dan tingkah laku yang
menggambarkan tingkat penguasaan bahan dalam proses mengajar yang diperoleh dari tes yang
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Menurut Gagne, istilah hasil belajar berasal
dari bahasa Belanda “prestatie”, dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil
usaha. Dalam setiap proses akan selalu terdapat hasil nyata yang dapat diukur dan dinyatakan
sebagai hasil belajar seseorang”.

2.1.5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar


Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar-
mengajar. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha memperoleh
suatu bentuk perubahan pengetahuan dan sikap dan keterampilan. Perubahan tersebut dapat
diartikan terjadinya peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan
sebelumnya dari tidak tahu menjadi tahu.
Slameto (2010) mengatakan bahwa: “Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi
siswa tersebut adalah faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal berasal dari luar
individu, sedangkan faktor internal berasal dari individu siswa yang meliputi; aktivitas, minat,
intelijensi dasar pengetahuan dan metode pembelajaran”. Hasil belajar ini ditentukan oleh
banyak faktor, antara lain: faktor guru, lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal, cara
belajar siswa, fasilitas belajar yang digunakan, faktor internal siswa, dan sebagainya. Akan
tetapi, seorang siswa yang menyadari tugasnya sebagai seorang pembelajar seharusnya dapat
menggunakan faktor-faktor yang ada untuk memaksimalkan hasil belajarnya. Hasil belajar
matematika siswa dapat dilihat apabila tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai
oleh siswa, dan sebaliknya apabila sebagian besar siswa tidak dapat mencapai tujuan-tujuan dari
pembelajaran berarti hasil pembelajaran tidak tercapai.
Secara garis besar faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat
dibedakan atas beberapa hal, yakni: kurikulum, strategi belajar, sistem evaluasi, guru,
pengelolaan, motivasi belajar. Dalam pemecahan tiap jenis faktor diatas tidak dapat dihindarkan
munculnya faktor lain yang lebih penting. Guru merupakan salah satu yang terlibat dalam
mencari langkah-langkah dan jalan terbaik yang harus ditempuh dan dilaksanakan sehingga
prestasi belajar siswa mencapai tingkat yang lebih baik. Untuk itu salah satu usaha dan langkah
yang ditempuh guru adalah melakukan inovasi pembelajaran tepat dalam penyampaian materi.
Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar-mengajar yaitu
penguasaan materi atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes. Hasil belajar yang
dicapai oleh siswa, misalnya ulangan harian, tugas-tugas pekerjaan rumah, tes lisan yang
dilakukan selama pelajaran berlangsung dan ujian akhir semester. Hasil yang dicapai dalam
proses pembelajaran ini adalah: (1) Hasil belajar siswa merupakan ukuran keberhasilan guru,
bahwa fungsi penting guru dalam mengajar untuk meningkatkan prestasi belajar; (2) Hasil
belajar siswa untuk mengukur apa yang telah dicapai siswa; (3) Hasil belajar sebagai tingkat
keberhasilan siswa dalam memahami materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk
skor, diperoleh dari tes materi pelajaran setelah mengalami proses belajar-mengajar; (4) Hasil
dari evaluasi dapat memperlihatkan tinggi atau rendahnya prestasi belajar siswa.
2.1.6. Aktivitas Belajar
Aktivitas belajar adalah seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan
fisik sampai kegiatan psikis. Kegiatan fisik berupa keterampilan-keterampilan dasar sedangkan
kegiatan psikis berupa keterampilan terintegrsi. (Riyanto dan Muslim, 2014). Adapun jenis-jenis
aktivitas belajar menurut Supardi (2013), yang dilakukan siswa sebagai berikut:
1. Kegiatan-kegiatan visual: membaca, mengamati eksperimen, dan mengamati orang lain
bekerja.
2. Kegiatan-kegiatan lisan: mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu
kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, diskusi dan
interupsi.
3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan radio.
4. Kegiatan-kegiatan menulis: menulis makalah, menulis laporan, memeriksa makalah atau
laporan, bahan pelajaran, membuat rangkuman, mengerjakan tes dan mengisi angket.
5. Kegiatan-kegiatan emosional : minat, membedakan, berani, tenang dan lain-lain.
Persentase aktivitas belajar siswa menurut Rachmawati (2014), dihitung menggunakan
rumus:
Pa = m/M x 100%
keterangan:
Pa = Persentase keaktifan siswa
m = jumlah skor yang diperoleh
M = jumlah skor maksimal
Tabel 2.2 Kriteria Keaktifan Siswa
Persentase Keaktifan Siswa Kriteria Keaktifan Siswa
75% <Pa≤ 100% Sangat aktif
50% <Pa≤ 75% Aktif
25% <Pa≤ 50% Cukup aktif
Pa≤ 25% Tidak aktif
2.1.7. Materi Laju Reaksi
Bidang kimia yang mengkaji kecepatan atau laju terjadinya reaksi kimia dinamakan
kinetika kimia. Kata “Kinetik” menyiaratkan gerakan atau perubahan. Energi kinetik
didefinisikan sebagai energi yang tersedia karena gerakan suatu benda. Disini, kinetika merujuk
pada laju reaksi, yaitu perubahan konsentrasi reaktan atau produk terhadap waktu (M/s). kita
ketahui bahwa setiap reaksi dapat dinyatakan dengan persamaan umum
Reaktan produk
Persamaan ini memberitahukan bahwa, selama berlangsung nya suatu reaksi, molekul
reaktan bereaksi sedangkan molekul produk terbentuk. Sebagai hasilnya kita dapat mengamati
jalannya reaksi dengan cara memantau menurunnya konsentrasi reaktan atau meningkatnya
konsentrasi produk.
A B
Menurunnya jumlah molekul A dan meningkatnya jumlah molekul B seiring dengan
waktu. Secara umum, reaksi diatas dapat menyatakan laju dalam perubahan konsentrasi terhadap
waktu. Jadi dari reaksi diatas dapat menyatakan laju sebagai :

∆[𝐴] ∆[𝐴]
Laju = − ∆[𝐵] atau laju = + ∆[𝐵]

Dengan ∆[𝐴] dan ∆[𝐵] adalah perubahan konsentrasi (dalam molaritas) selama waktu ∆𝑡.
Karena konsentrasi A menurun selama selang waktu tersebut, ∆[𝐴] merupakan kuantitas negatif.
Sedangkan ∆[𝐵] merupakan kuantitas positif karena meningkat seiring waktu (Chang, 2005).
Persamaan laju reaksi dapat di rumuskan sebagai :

𝑣 = 𝑘 [𝐴]𝑚 [𝐵]𝑚

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi: 1. Luas Permukaan, 2. Konsentrasi, 3.


Suhu, dan 4. Katalis. Pada teori tumbukan, partikel–partikel yang terdapat dalam gas, zat cair,
atau larutan selalu bergerak secara acak. Pergerakan partikel–partikel yang acak ini akan
mengakibatkan terjadinya tumbukan antar partikel. Tumbukan antar partikel ini akan
menghasilkan energi yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi. Akan tetapi, jumlah energi yang
dihasilkan harus mencukupi untuk terjadinya reaksi. Reaksi kimia terjadi akibat adanya
tumbukan antar partikel–partikel zat pereaksi yang menghasilkan energi yag cukup untuk
memulai reaksi. Sebagai contoh, untuk menyalakan korek api, kepala korek api harus digeserkan
(ditumbukan) pada wadah korek api yang dilapisi dengan pereaksi. Jika gesekan (tumbukan)
antara kepala korek api dengan permukaan pereaksi tersebut tidak kuat, kepala korek tidak akan
terbakar. Sebaliknya, jika digesekan dengan kuat, maka korek api akan terbakar. Hal ini karena
energi hasil tumbukan tersebut cukup untuk memulai terjadiya reaksi pembakaran. Tumbukan
yang menghasilkan energi yang cukup untuk menghasilkan reaksi disebut dengan tumbukan
efektif (Sudarmo, 2013).

2.2 Penelitian yang Relevan

Secara teoritis masalah minat belajar siswa dapat diatasi dengan model pembelajaran
yang efektif dan efisien serta menyenangkan karena model ini dapat menghantarkan siswa pada
pengetahuan dan konsep baru yang belum mereka ketahui sebelumnya. PBL dengan pendekatan
saintifik memfokuskan pada perubahan agar membuat siswa berpikir secara kritis. PBL tidak
hanya proses pemecahan masalah, tetapi juga sebuah pedagogik yang berdasarkan
konstruktivisme dengan masalah-masalah nyata yang didesain belajar dengan lingkungan
sekitarnya dimana ada proses penemuan, belajar mandiri, pemrosesan informasi, diskusi,
kolaborasi antar kelompok untuk pemecahan masalah sehingga memperbaiki anggapan bahwa
pembelajaran kimia itu sulit (Janawi, 2013)
Model pembelajaran ini telah diteliti oleh beberapa peneliti dan terbukti dapat
meningkatkan hasil belajar siswa seperti pada penelitian oleh Hasni (2010) tentang penerapan
model Problem Based Learning pada konsep laju reaksi mendapatkan bahwa hasil belajar siswa
kelompok eksperimen lebih tinggi (rata-rata pretest = 22,25 dan rata-rata posttest = 61,25)
daripada kelompok kontrol (rata-rata pretest = 18,5 dan rata-rata posttest = 36,125) dan dari hasil
perhitungan uji-t diperoleh nilai thit sebesar 5,8 dan ttab sebesar 1,38 atau thit > ttab. Sedangkan
Anggara (2015) tentang efektivitas pendekatan saintifik dalam meningkatkan kemampuan
merencanakan pada materi hidrolisis garam mendapatkan bahwa rata-rata n-Gain kemampuan
merencanakan siswa pada kelas kontrol sebesar 0,508 dan pada kelas eksperimen sebesar 0,683
sehingga pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik efektif dalam meingkatkan
kemampuan merencanakan pada materi hidrolisis garam pada tahap mengamati dan mencoba.
2.3 Kerangka Berpikir

Berdasarkan pengalaman yang dilakukan ketika melakukan kegiatan Magang 3


(Mengajar Terbimbing), masih terdapat pembelajaran yang bersifat teacher centered (berpusat
pada guru). Akhirnya siswa lebih banyak diam menerima penjelasan dari guru, tanpa ada
aktivitas lain selain mendengarkan penjelasan guru. Dalam proses pembelajaran untuk dapat
menghasilkan peserta didik yang menguasai materi harus dilakukan berbagai strategi, metode,
dan taktik yang tidak hanya sesuai dengan peserta didik, namun juga dengan materi dan tujuan
pembelajaran yang hendak dicapai. Pembelajaran tidak lagi dapat terpusat pada guru, namun
juga menuntut keaktifan siswa untuk ikut berfikir dan mengemukakan pendapatnya. Model
pembelajaran yang diterapkan oleh peneliti adalah model pembelajaran PBL dengan pendekatan
saintifik. Problem Based Learning dengan pendekatan saintifik merupakan salah satu model
pembelajaran yang dapat menuntut keaktifan siswa. Dengan model pembelajaran berbasis
masalah, prosesnya mengutamakan peran siswa dalam memecahkan masalah, di mana dalam
pembelajaran materi yang dipelajari siswa diberikan permasalahan mengenai materi tersebut dan
setelahnya siswa dapat mengetahui jawaban dari materi yang diberikan. Proses ini menuntut
siswa untuk aktif mencari informasi sehingga dapat menambah pengetahuan siswa sekaligus
menguji kemampuan siswa untuk berpikir lebih kritis. Oleh karena itu digunakan model
pembelajaran Problem Based Learning dengan pendekatan saintifik sehingga dengan penerapan
model ini dapat memacu kemampuan siswa dalam meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa
selama proses belajar berlangsung.

Pembelajaran Hasil Belajar


teacher centered yang rendah

Pembelajaran
student centered

Pembelajaran PBL dengan


pendekatan saintifik
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir

Anda mungkin juga menyukai