Anda di halaman 1dari 16

Sejarah Hukum di Indonesia

Setelah pada pertemuan sebelumnya kita membahas tentang sistem hukum di


Indonesia, maka selanjutnya kita akan membahas mengenai Sejarah Hukum
Indonesia. Sejarah hukum sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari asal-
usul terbentuknya dan berkembangnya suatu sistem hukum dalam suatu masyarakat
tertentu. Oleh karena itu, untuk benar-benar mengetahui pembentukan dan
perkembangan sistem hukum di Indonesia, maka perlu untuk mempelajari
bagaimana sejarah hukum di Indonesia.

Dalam paradigma umum, sejarah dimaknai sebagai penghubung keadaan masa


lampau dengan keadaan saat ini atau yang akan datang atau keadaan sekarang yang
berasal dari masa lampau. Apabila sejarah dalam artian seperti ini dihubungkan
dengan hukum, maka dapat diterima bahwa hukum saat ini merupakan
lanjutan/perkembangan dari hukum masa lampau, sedangkan hukum yang akan
datang terbentuk dari hukum sekarang. Bahkan saat ini sudah berkembang
keilmuan tentang sejarah masa depan (History of Future) dalam kerangka
pemahaman sejarah berulang/berputar (Circle History). Apabila metode History of
Future ini dipakai dalam memahami perkembangan hukum di Indonesia, maka
masa depan hukum di Indonesia lebih mudah untuk dibentuk atau diprediksi.

Menurut Soerjono Soekanto[1], bahwa sejarah hukum mempunyai beberapa


kegunaan, antara lain sebagai berikut :

 Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi kalangan


hukum. hukum tidak akan mungkin berdiri sendiri, karena senantiasa
dipengaruhi oleh aspek-aspek kehidupan yang terus berkembang.
 Sejarah hukum dapat mengungkap pengembangan, penggantian,
penyesuaian, perombakan dan alasan-alasan kaidah-kaidah hukum yang
diberlakukan.
 Sejarah hukum juga berguna dalam praktik hukum untuk melakukan
penafsiran[2] historis terhadap hukum.
 Sejarah hukum dapat mengungkap fungsi dan efektivitas lembaga-lembaga
hukum tertentu.

Kegunaan sejarah hukum di atas dapat dijadikan frame atau kerangka dalam melihat
pembentukan dan perkembangan hukum yang ada di Indonesia. Akan tetapi, untuk
melihat sejarah pembentukan hukum di Indonesia, terlebih dahulu perlu memahami
kondisi geografis dan etnis atau bangsa Indonesia sebelum merdeka. Selain itu pada
saat Indonesia merdeka, sedang berkembang pandangan/teori/Aliran pemberlakuan
hukum, paling tidak terdapat 3 aliran besar, yaitu legisme[3], Freie
Rechtslehre[4] dan Rechtsvinding[5]. Ketiga aliran ini dapat mempengaruhi secara
signifikan terhadap pembentukan dan perkembangan hukum di Indonesia.

Pembentukan hukum di Indonesia dapat dilihat dari hukum yang pertama kali
dibentuk oleh Negara Indonesia, yaitu UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950
dan Dekrit Presiden 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Pada
perkembangan selanjutnya, perkembangan hukum di Indonesia dapat dilihat dari
Ketetapan (TAP) MPR No. IV Tahun 1973 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang mengatur tentang pembangunan dan pembinaan hukum di
Indonesia. Masuk era reformasi, UUD 1945 di amandemen, pasca amandemen
tidak ada lagi GBHN yang mengatur tentang kebijakan politik hukum[6] nasional.
Kemudian, pada saat ini muncul kembali pandangan perlunya GBHN agar
memudahkan arah kebijakan pemerintah secara nasional.

Seiring dengan bergantinya Undang-undang Dasar 1945 dan perkembangan


peraturan yang ada pada saat ini mempengaruhi sistem hukum yang ada di
Indonesia. Pada materi sebelumnya sudah dijelaskan perubahan sistem hukum di
Indonesia dipengaruhi oleh kedatangan investor, sehingga membutuhkan hukum
yang sifatnya lebih responsif yang merupakan ciri sistem hukum jenis common law.
Pada sisi lain, apabila melihat dari segi kodifikasi hukum, apakah sampai saat ini
Indonesia masih perlu atau memang memerlukan kodifikasi hukum, khas ciri sistem
hukum eropa kontinental (civil law) atau tidak? Hal ini perlu dikaji secara lebih
mendalam, karena terkait dengan hukum antar negara dan hukum internasional,
guna menjalankan misi Bangsa Indonesia, yaitu melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

[1] R. Suroso, SH, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, h. 323.
[2] Penafsiran peraturan perundang-undangan adalah mencari dan menetapkan pengertian
atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki dan
dimaksud oleh pembuat undang-undang. Cara menafsirkan dapat dalam pengertian subyektif
dan obyektif atau sempit dan luas, selain itu terdapat berbagai macam metode penafsiran
hukum yang dapat digunakan. Lihat : R. Suroso, SH, Pengantar Ilmu Hukum, h. 97-109.
[3] Aliran legisme mempunyai pandangan hukum terbentuk oleh perundang-undangan, di luar
undang-undang tidak ada hukum.
[4] Aliran Freie Rechtslehre berpandangan bahwa hukum hanya terbentuk melalui peradilan
atau rechtsspraak. Undang-undang dan sumber hukum lainnya hanya sebagai sarana pembantu
dalam menemukan hukum pada kasus-kasus konkrit di peradilan.
[5] Aliran Rechtsvinding berpendapat diantara dua aliran sebelumnya, yaitu hukum terbentuk
melalui beberapa cara. Dalam pengertian singkat bahwa hukum itu terbentuk dari kebiasaan,
perundang-undangan dan proses peradilan. Selain itu hukum juga memerlukan penafsiran untuk
mengisi kekosongan hukum.
[6] Menurut Bellefroid, Politik Hukum adalah menyelidiki tuntutan-tuntutan sosial yang
hendak diperhatikan oleh hukum sehingga isi ius constituendum ditunjuk oleh politik hukum
supaya constitutum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Lihat : Soedjono
Dirdjosisworo. 1983. Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. hlm. 199
Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Politik
hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian
itu, karena ia diarahkan kepada “iure constituendo”, hukum yang seharusnya berlaku. Lihat :
Satjipto Rahardjo. 1986. Ilmu Hukum. Alumni. Bandung.h. 334
Sejarah Hukum Dari Masa ke Masa

NOVEMBER 22, 2014FAHRIZA

Saya mengawali tulisan ini dengan memberikan sebuah pandangan tentang hukum,
karena membahas mengenai sejarah hukum tidak lepas dari komponen dasar yang
membentuknya, yakni hukum. Istilah “hukum” adalah kata tunggal yang tidak
pernah memiliki makna tunggal. Hart telah memberikan analogi hukum sebagai
seekor gajah yang dipegang oleh beberapa orang penyandang tuna netra. Begitu
beragamnya pendapat dan pandangan masing-masing tuna netra tergantung dari
bagian tubuh gajah yang dipegang atau disentuh. Makna beragam terkait “hukum”
inilah yang menjadi perdebatan para sarjana hukum dari masa ke masa dalam
memaknai hukum. Hal ini yang menyebabkan adanya aliran-aliran atau mahdzab
dalam mempelajari hukum.

Bagi akademisi, hukum merupakan fakta atau fenomena yang menjadi dasar atau
bahan untuk membangun teori dan ilmu pengetahuan hukum atau doktrin hukum.
Sedangkan bagi aparat penegak hukum, hukum dimaknai sebagai perintah dari
negara dan sekaligus pedoman untuk melalukan penyelidikan, penyidikan, dan/atau
pengambilan putusan terhadap tindak atau perbutan pidana atau konflik/sengketa
hukum tertentu.

Pandangan Para Ahli Terkait Sejarah Hukum


1. Prof. L.J. Van Apeldoorn

Sejarah hukum merupakan pertelaan sejumlah peristiwa-peristiwa yuridik dari


zaman dahulu yang disusun secara kronologis, terus bergerak dan
hidup. Penyeledikan secara sejarah mempunyai sifat membebaskan, ia
membebaskan kita dari prasangka-prasangka sehingga dituntut untuk kritis dalam
segala hal.
2. Prof. Satjipto Rahardjo

Sejarah hukum merupakan proses terbentuknya hukum, bahwa hukum yang


sekarang mengalir dari hukum sebelumnya atau masa lampau. Mengenali dan
memahami secara sistematis proses-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang
menyebabkan dan sebagainya, memberikan tambahan pengetahuan yang berharga
untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat. Studi sejarah hukum
merupakan studi yang bersifat interdisipliner, oleh karena itu menggunakan
berbagai macam cara pendekatan sekaligus, seperti sosiologi, postivistik, dan erat
hubungannya dengan perbandingan hukum.

3. Prof. Sudikno Mertokusumo

Sejarah hukum merupakan seluruh rangkaian terjadinya hukum bukan saja pada
terbentuknya hukum, akan tetapi harus masih mundur ke belakang sampai kepada
awal keberadaan hukum. Sebagai contoh adalah ketika membahas mengenai
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, hanya dapat dimengerti dengan memahami
sejarah tentang emansipasi wanita Indonesia. Dengan makin tua umur peraturan
perundang-undangan maka penjelasan historisnya makin lama makin berkurang
kegunaannya dan makin beralasan ditafsirkan secara sosiologis.

4. Prof. Soetandyo Wignosoebroto

Sejarah hukum merupakan suatu pendekatan makro atau struktural yang


berlangsung secara terus menerus dimana dalam kehidupan banyak mengalami
perubahan-perubahan transformatif yang amat cepat, terkesan kuat bahwa hukum
tak berfungsi untuk menata kehidupan. Untuk itulah dalam sejarah dibutuhkan
pendekatan sosiologis untuk mengetahui permasalahan heterogen dalam sebuah
negara.
Sejarah Hukum Sebagai Bagian Ilmu Hukum

Secara garis besar, ilmu hukum memiliki cabang ilmu yang cukup luas, baik itu
sosiologi hukum, filsafat hukum, sejarah hukum, psikologi hukum, perbandingan
hukum, politik hukum, serta cabang lainnya yang baru-baru saja muncul seperti
hermeneutika hukum dan semiotika hukum. Untuk itulah, seperti uraian saat
mengawali tulisan ini, bahwa masing-masing cabang tersebut senantiasa ingin
mencari hakekat “hukum” sesungguhnya. Adapun perbedaan cara pandangnya
merupakan hal yang lumrah dan wajar karena setiap ahli memiliki cara pandang
yang berbeda-beda dalam menempatkan dirinya untuk mengupas hukum.
Dari asal mulanya, aliran sejarah hukum mulai diperkenalkan oleh Karl Von
Savigny, yang menyatakan bahwa:

All law is originally formed by custom and popular feeling, that is, by silently
operating forces. Law is rooted in a people’s history: the roots are fed by the
consciousness, the faith and the customs of the people (“Seluruh hukum terbentuk
melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian
kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana
akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga
negara.”diartikan bebas menurut penulis)
Dalam perkembangan sejarah hukum, muncul aliran yang merupakan reaksi dari
dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap mempunyai banyak kelemahan
yang didasarkan pada pemikiran yang hanya terpaku pada nilai-nilai atau asumsi-
asumsi yang bersifat khayal. Karena itu, akhirnya melahirkan aliran sejarah yang
menginginkan suatu teori harus didasarkan pada kenyataan-kenyataan atau fakta.
Tokoh dari aliran sejarah ini diantaranya adalah Von Savigny yang menolak untuk
mengagung-agungkan akal seseorang. Hukum, baginya tidak dibuat tapi tumbuh
dan ditemukan dalam masyarakat.
Ikhtisar dari thesis Von Savigny dapatlah digariskan dalam kata-katanya sendiri
sebagai berikut :

“Pada masa-masa terdahulu dimana sejarah yang otentik berkembang, kita akan
mendapatkan bahwa hukum telah mempunyai watak yang tertentu, yang bersifat
khas dari rakyat yang bersangkutan seperti halnya bahasa, tingkah laku dan
konstitusi mereka. Tidak, fenomena-fenomena ini tidak mempunyai eksistensi yang
terpisah, mereka hanyalah sifat-sifat khas dari masing-masing rakyat, tak terpisah
dan pada hakekatnya bersatu dan hanya tampaknya saja berbeda dalam penglihatan
kita. Yang mengikat mereka menjadi suatu keseluruhan ialah konvensi umum dari
rakyat. Kesadaran sebangsa karena kebutuhan batiniah mengeklusifkan semua
bangsa-bangsa lain yang tak mempunyai asal usul yang sama. Hukum tumbuh
dengan pertumbuhan rakyat, dan menjadi kuat bersama dengan kekuatan rakyat dan
akhirnya mati ketika suatu bangsa kehilangan nasionalitasnya. Maka kesimpulan
dari teori ini adalah hukum kebiasaan dibentuk yaitu mula-mula ia
berkembangmelalui kebiasaan dan keyakinan rakyat, kemudian melalui
Jurisprudensi, jelaslah bahwa dimanapun juga hukum dibentuk oleh suatu
kekuatan-kekuatan yang bekerja secara diam-diam, tidak melalui kemauan arbiter
pembuat undang-undang”

Menurut Von Savigny, hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau
kebinasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu.
Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karena itu, Savigny mengeluarkan
pendapatnya yang amat terkenal bahwa hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh
bersama masyarakat. Pendapat Savigny amat bertolak belakang dengan pandangan
positivisme, sebab mereka berpendapat bahwa dalam membangun hukum maka
studi terhadap sejarah atau bangsa mutlak diperlukan. Pendapat tersebut oleh
Puchta dibenarkan dan dikembangkan dengan mengajarkan bahwa hukum suatu
bangsa serikat pada jiwa bangsa yang bersangkutan.

Perjalanan Sejarah Hukum Negara-Negara

Sepanjang sejarah hukum, bahwa determinan terbesar yang mem-pengaruhinya


adalah perang, revolusi, pemberontakan dan pergerakan filosofis, ideologis, sosio-
ekonomi serta hukum yang besar. Sejarah hukum merupakan bagian integral dari
perbandingan hukum. Karl Popper mengamati bahwa :

Takkan pernah ada sejarah masa lalu seperti yang terjadi sesungguhnya; yang ada
hanyalah interpretasi historis dan tak satu pun dari interpretasi itu yang bersifat
final. Apa yang disebut ‘sumber’ catatan sejarah hanyalah fakta-fakta yang
dianggap cukup menarik untuk dicatat, sehingga sumber-sumber tersebut seringkali
hanya mengandung fakta-fakta yang sesuai dengan teori yang telah dibayangkan
sebelumnya.

Terdapat tiga sistem hukum yang dikenal di dunia, yakni sistem civil law dan
common law. Sistem-sistem hukum tersebut senantiasa merupakan sistem hukum
secara garis besar. Perjalanan dan sejarah dari setiap sistem hukum tersebut tentu
saja dapat dijadikan sebagai perjalanan hukum yang ada di dunia. Karena
bagaimanapun juga hukum yang ada pada dunia ini sebagian besar merujuk pada
kedua sistem tersebut. Untuk itulah perlu kiranya untuk melihat secara menyeluruh
sejarah hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

A. Sistem Civil Law

Sistem Civil Law berawal dari sejarah hukum Romawi, untuk itulah diperlukan
sejarah hukumnya, sedangkan sebagian besar catatan dan karya monumental kuno
Roma dibakar oleh bangsa Gaul, pada 390 tahun SM dan apa yang diwarisi saat ini
adalah cerita-cerita fiktif oleh penulis zaman selanjutnya. Dalam sejarah hukum
Romawi terdapat dua fase hukum, yakni pertama, periode kompilasi yang
dilakukan oleh Kaisar Justinian, yang diantaranya adalah Codex dan Digest. Kedua,
periode yang dimulai dengan studi terhadap karya-karya Justinian di beberapa
universitas di Italia pada akhir abad ke 11 M, periode ini juga disebut sebagai
Renaissance of Roman Law.

Pada abad ke-146 SM, bangsa Romawi berhasil menaklukkan Yunani. Berdampak
pada bangsa Romawi mengasimilasikan kebudayaan Yunani ke dalam kebudayaan
Romawi, baik dari segi seni, filsafat, dan hukumnya. Modifikasi tersebut
menciptakan sistem yang hampir sempurna bagi bangsa Romawi. Di kota yunani
nampaknya hukum perdata tidak begitu berkembang dibandingkan dengan hukum
tata negara, pada tumpukkan penemuan kembali sumber-sumber historis ternyata
sangat sedikit dijumpai institusi-institusi hukum perdata didalamnya (kecuali
“kodex” Gortyn dan sumber-sumber Athene tertentu). Apabila yunani mempunyai
pengaruh tertentu terhadap hukum kita masa kini, maka hal tersebut terlaksana
melalui perantaraan bangsa Romawi.

Memang ditemukan beberapa istilah-istilah yunani melalui bahasa latin dan bahasa
perancis untuk diserap oleh bahasa belanda seperti misalnya : hupotekhe (Hipotek).
Dalam abad-abad V-IV SM Athena mengenal sebuah hukum perdata individualstis
dengan mutu yang cukup memadai. Keluarga terbatas pada “oikos” (rumah) artinya
sampai pada keluarga kecil yang terdiri dari orang tua dan anak-anak dan tidak lebih
besar daripada Genos.

Pada abad ke-5 M, kekaisaran romawi runtuh. Namun warisan bangsa Romawi
tidaklah lenyap, pada abad ke-6 M hukum Romawi mengalami perkembangan. Itu
terjadi pada bagian timur kekaisaran Romawi, yang disebut kekaisaran Byzantium.
Oleh perintah kaisar Iustinianus, para sarjana hukum menyusun Codex Juris
Romani atau Corpus Juris Civilis. Kekaisaran Byzantium bertahan hingga abad ke-
15 M, setelah direbut oleh Sultan Osman, kini Byzantium dikenal sebagai Istambul.
1. Sejarah Hukum Perancis

Selama berabad-abad, Perancis memiliki adat kebiasaan yang beragam, karena


terdiri dari lebih 60 wilayah geografis yang terpisah yang memiliki peraturan
sendiri-sendiri. Perancis masuk dalam bagian kekaisaran Romawi, sehingga hukum
Romawi berlaku di wilayah ini, akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, adat
istiadat tetap bertahan. Telah kita ketahui bersama bahwa ajaran hukum Romawi
sebenarnya mengatur hukum privat yang dipraktekkan oleh semua bangsa, hukum
antara bangsa tidak terwujud. Pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan
hukum cukup besar, khususnya melalui ius gentium (timbulnya hukum bangsa-
bangsa). Melalui jalan inilah hukum Romawi menjadi sumber utama dari hukum
perdata modern.

Sejak abad ke-5 Masehi, kekaisaran Romawi mengalami kehancuran. Akan tetapi
hukum Romawi mampu bertahan di negara Jermanik, khususnya kerajaan Visigoth,
Burgandia, dan Frank. Eksistensi hukum Romawi ini disebabkan oleh
pengundangan peraturan hukum Lex Romana Visigithorum oleh Raja Visigoth,
Alaric II, yang terdiri dari ringkasan dari Leges dan Jus, serta ringkasan yang
diambil dari Code of Theodisius.

Lex adalah dokumen yang disebut constitutions, yang berisi opini, pengundangan,
dan keputusan yang telah diturunkan dari beberapa kaisar secara langsung .
Sedangkan Jus terdiri atas beberapa tulisan dari para ahli hukum, interpretasi dan
perkembangan sumber-sumber hukum yang lebih tua, bahkan sampai pada abad
pertengahan ke-3 Masehi.

Pada Abad ke-13, hukum Perancis menjadi dua bagian yakni, wilayah droit ecrit
(hukum tertulis) di bagian selatan, dan wilayah droit coutumier (hukum adat) di
bagian utara. Di bagian selatan adalah tempat hukum tertulis dan peradaban
Romawi berjaya. Sehingga ketika Renaissance (kehidupan kedua Romawi)
berlangsung, maka penerimaan terhadap hukum tersebut lebih mudah diterima
sebagai hukum praktis di wilayah tersebut. Berkebalikan dengan wilayah selatan,
yakni wilayah utara berlaku adat istiadat dari Jermanik. Diantara kedua wilayah
tersebut tidak ada pemisahan yang sempurna karena sebelumnya kedua wilayah itu
berasal dari adat istiadat setempat. Pada akhirnya, semua adat istiadat lokal perlahan
menghilang dan digantikan oleh hukum Romawi. Demikian juga, bagian utara
Perancis, meski common law, hukum kontrak dan obligasi menggunakan hukum
Romawi sebagai hukum suplementer. Hal tersebut terjadi percampuran hukum, dan
tidak ada konflik dalam hal percampuran tersebut.

Pada abad ke-15 sampai abad 17, sebagian besar hukum adat Perancis
dikodifikasikan menjadi hukum tertulis. Banyak ordonansi kerajaan yang telah
dikeluarkan terkait prosedur perdata atau pidana. Pada saat ini juga terdapat
kumpulan hukum yang dirumuskan oleh para hakim dari berbagai sidang
pengadilan, yang dikeluarkan oleh parlemen de Paris yang dikenal dengan sebutan
Custom of Paris. Kumpulan hukum ini menuntun ke sebuah studi yang lebih rinci.
Prinsip-prinsip umum diambil dan dijadikan sebagai rujukan serta diaplikasikan ke
seluruh Perancis. Hal inilah yang menjadikan hukum Perancis mulai dikenal secara
umum.
Revolusi Perancis, yang terjadi pada tahun 1789 mengakhiri rezim kuno atau
periode hukum kuno. Hal ini ditandai dengan awal terbentuknya periode transisi
yang disebut hukum intermedier. Hukum-hukum feodal mulai dihapuskan,
demikian juga kelas sosial juga dihapuskan dan semua orang dianggap sama di
muka hukum, perlindungan terhadap kepemilikan privat dikuatkan. Awal
terbentuknya Civil code dengan memuat peraturan hukum umum yang dibuat
sederhana, jelas, dan sesuai dengan konstitusi. Ini merupakan karya baru dalam
bidang hukum substantif yang menggabungkan hukum Romawi dengan hukum
adat istiadat. Beberapa negara banyak yang meniru Code of Civil, contohnya belgia
dan luxemburg, serta mempengaruhi hukum yang ada di Italia, Spanyol, Portugis,
dan Belanda. Pada tahun 1811, empat macam hukum tambahan telah diberlakukan
yakni Code of Civil Procedure, Code of Commerce, Code of Criminal Procedur,
dan Penal Code.

2. Sejarah Hukum Jerman

Hukum Jerman sebagian besar hanya terdiri atas adat dan tradisi, sama seperti
hukum pada zaman abad pertengahan. Kekuasaan sentral Romawi tidak berusaha
untuk menggantikan hukum adat lokal yang ada pada Jerman. Pada Tahun 1450-an
sampai menjelang akhir abad ke-15, perseteruan kelompok yang banyak terjadi,
yang seringkali anarkis, serta tidak adanya otoritas sentral yang kuat, merupakan
faktor yang meyakinkan untuk segera mengakhiri perseteruan kelompok. Kaisar
Maximillan berusaha untuk merestorasi kekuasaan monarki dan menjaga
kedamaian dan kesatuan.

Pada 1495, karena beberapa alasan yang tidak diketahui, hukum Romawi mulai
diadopsi di pengadilan kekaisaran yang baru dibentuk, yang disebut
Reichskammergericht. Ordonansi Tahun 1945 menempatkan undang-undang dan
hukum adat pada posisi yang setara, sehingga para hakim diperintahkan untuk
memutuskan perkara berdasarkan hukum Romawi. Keberadaan hukum Romawi
pada wilayah Jerman bukanlah Corpus Juris abad ke-6 yang masih murni,
melainkan sudah dimodifikasi oleh para Glosator.

Selama abad ke-16, 17, dan 18, para praktisi hukum Romawi di Jerman telah
menghasilkan sintesis hukum Romawi modern atas nama hukum alam dan hukum
nalar. Mereka mengumpulkan hukum-hukum yang berlaku di masyarakat menjadi
sebuah dokumen hukum. Pandangan mereka terkait hukum adalah sebagai sebuah
sistem pemikiran, prinsip dan institusi tertutup yang berasal dari hukum Romawi.
Pada tahun 1815 diadakan Kongres Wina, dibentuklah konfederasi Jerman. Setelah
kongres, berbagai upaya untuk mencapai kodifikasi hukum. Salah satu penghambat
kodifikasi Jerman adalah perselisihan yang begitu terkenal antara dua sarjana
Jerman, Carl von Savigny yang merupakan pemimpin Historical School of
Jurisprudence (Madzhab Sejarah Hukum), dan Profesor Tibaut dari Heidelberg,
juru bicara terkemuka madzhab hukum alam, yang menyerukan dilakukannya
kodifikasi. Konflik ini berlangsung sampai beberapa dekade, sebagian orang
menyebeut konflik ini sebagai konflik antara Romawi (diwakilkan oleh Savigny)
dan Jerman (diwakilkan oleh Tibaut). Dari perdebatan sengit itu, pandangan
Thibaut berhasil memenangkan dan memasukkan unsur-unsur hukum alam ke
dalam German Civil Code.

B. Sistem Common Law

Common law bukanlah sistem hukum tertua, tetapi pengaruhnya sampai pada
wilayah-wilayah kerajaan, terutama kerajaan Inggris, yakni Amerika, India,
Malaysia, Singapura, Australia, Hongkong, dan sebagian besar wilayah
Afrika.Tradisi common law Inggris ini dapat berdiri bersama dengan budaya,
agama, dan hukum adat asli tempat-tempat tersebut. Sebagai contoh adalah India
yang mayoritas beragama hindu, namun memberlakukan filsafat hukum Inggris dan
menerapkan common law Inggris, begitu juga di Malaysia yang mayoritas
beragama Islam, menerapkan sistem hukum common law. Hal tersebut adalah
bukti dari adanya transplantasi hukum dan adaptabilitas hukum Inggris, khususnya
pembebanan hukum tersebut berdasarkan sukarela.

Tradisi common law pada awalnya sebagai akibat dari kolonialisasi Inggris, misi
perdagangan, dan dominasi kerajaan Inggris selama periode penting dalam sejarah
dunia. Tahapan awal terbentuknya sejarah hukum Inggris adalah sentralisasi
pengadilan yang dibentuk oleh Raja Henry II, yang di dalamnya pengadilan-
pengadilan kerajaan menjadi sumber utama dari hukum yang berlaku umum di
seluruh negara.
Hal tersebut yang menjadikan awal terbentuknya common law, yang memegang
prinsip pada kasus, dan hukum itu ditemukan oleh hakim berdasarkan penalaran
logis. Dalam hal pengklasifikasian, Common law tidak membedakan secara
struktur antara hukum privat/publik.

Perjalanan Sejarah Hukum di Indonesia

Hukum di Indonesia mulai berlaku sejak dibacakan Proklamasi tanggal 17 Agustus


1945. Sejarah hukum sebelum kemerdekaan sedikit tidak memengaruhi komponen
hukum yang ada di Indonesia karena untuk melepaskan hukum kolonial ke dalam
hukum Indonesia tidaklah mudah. Hal tersebut dikarenakan hukum kolonial dapat
mengakomodasi hukum-hukum yang belum diatur sebelumnya melalui hukum
Adat ataupun hukum Islam.

Selain itu juga terdapat pengelompokan oleh pemerintah Belanda bahwa penduduk
Hindia Belanda dikelompokan ke dalam tiga golongan penduduk. Ketiga golongan
yaitu: (1) Golongan Eropa (Europeanen) dan mereka yang dipersamakan
dengannya; (2) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen); dan (3) Golongan
Bumi Putera (Inlanders). Untuk tiap golongan penduduk tersebut berlaku
hukumnya sendiri-sendiri. Asas utamanya adalah hukum adat bagi orang Indonesia
(Bumi Putera) dan orang-orang yang digolongkan sama dengan pribumi, sedangkan
hukum Belanda bagi orang-orang Eropa. Namun demikian karena sebab-sebab
yang jelas dan masuk akal asas tersebut benar-benar tidak berlaku. Bahkan
penggolongan rakyat yang tetap dipertahankan sampai berakhirnya kekuasaan
kolonial itu mengisyaratkan tetap akan dikukuhkannya dualisme dan pluralisme
hukum kolonial di Indonesia.

Terjadinya masih penerimaan terhadap hukum kolonial tersebut sejauh mana di


dalam hukum Indonesia tidak mengatur ketentuan mengenai hal tersebut. Sebagai
contoh adalah mengenai hukum agraria, sebelumnya digunakan landasan
Agrarische Wet 1870 sebagai landasan agrari di Indonesia, tetapi sejak
diberlakukan Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok
Agrari maka Agrarische Wet tidak berlaku lagi. Selain itu juga, ketentuan mengenai
Buku II BW sepanjang menyangkut mengenai agraria dicabut dan tidak berlaku,
kecuali mengenai hipotek.

Untuk mengubah secara menyeluruh terhadap hukum kolonial bukanlah perkara


mudah, karena dalam hal legislasi dibutuhkan naskah akademik yang didapatkan
dari berbagai penelitian dan riset terkait ke-Indonesian. Dalam hal keberadaan
hukum di Indonesia juga lebih berdasarkan pada komunalisme atau kebersamaan,
berbeda dengan Eropa yang lebih pada individualisme. Pengutamaan ini jelas tidak
memberikan aliran liberalisme berkembang di Indonesia. Talcott Parsons dalam
teori Cybernatic-nya bahwa konfigurasi nilai-nilai komunalisme lebih
mengutamakan nilai-nilai budaya dan politik daripada ekonomi.
Penggambaran Indonesia dalam sistem pemerintahan dalam artian politik dapat
dijadikan sebagi acuan untuk mengungkap sejarah dan perjalanan hukum yang ada
di Indonesia. Pengaruh terhadap diterpakannya sistem civil law, sistem hukum
Islam, serta hukum asli bangsa Indonesia (Adat) memberikan pengaturan yang
rumit terutama permasalahan kodifikasi. Harus ada sistem yang harus dikorbankan
agar hukum tersebut berlaku dan diterapkan adil bagi Rakyat Indonesia.

Daftar Pustaka
Apeldoorn, L.J. van, 2011, Inleiding tot De Studie van Het Nederlandse Recht,
dalam edisi Bahasa Indonesia, Pengantar Ilmu Hukum, cet. 34, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Black, Henry Campbell, 1968, Black’s Law Dictionary, West Publishing.
Cruz, Peter de, 2012, Comparative Law in a Changing World, dalam edisi Bahasa
Indonesia, Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung.
Gilissen, Emeritus Jhon Dan Emeritus Frits Gorle, 2007, Sejarah Hukum Suatu
Pengantar, Refika Aditama, Bandung.
Hart, H.L.A., 2013, The Concept of Law, dalam edisi Bahasa Indonesia, Konsep
Hukum, Cetakan V, Nusa Media, Bandung.
Huijbers, Theo, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta.
Ismail, Nurhasan, 2012, Ilmu Hukum dalam Perspektif Sosiologis: Obyek
Perbincangan yang Terpinggirkan, Disampaikan dalam Kongres Ilmu Hukum
“Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia”, ASHI.
Mertokusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),edisi kedua,
Liberty, Yogyakarta.
Parsons, Talcott, 1977, Social Systems and The Evolution of Action Theory, The
Free Press, New York.
Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung.
Rasjidi, Lili, 1990, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Cet. V, Citra Aditya, Bandung.
Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum:Paradigma, Metode, dan Masalah,
Elsam dan Huma, Jakarta.
Zamboni, Mauro, 2008, Law and Politics : A Dilemma fo Contemporary Legal
Theory, Springer, Berlin.

Anda mungkin juga menyukai