Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH HUBUNGAN PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstuktur


Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraam

Dosen Pembimbing:
1. Drs. H., Idad Suhada, M.Pd
2. Dr. H., Buhori M, M.Ag

Oleh:
Haliza Aulia Unnisa Az-zahra (1192060046)
Khoirotul Wijayanti (1192060052)
M Iqbal Putra (1192060058)
Nursyifana Raspati S (1192060071)
Kelompok: 2/ 1B
PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2019

1
Daftar Isi

Daftar Isi 2
Pendahuluan 3
Pembahasan 4
Penutup 9
Daftar Pustaka 10

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hubungan Sipil-Militer adalah satu perkara yang amat penting bagi satu bangsa karena
berpengaruh besar kepada ketahanan nasionalnya. Hal itu juga berlaku bagi bangsa Indonesia.
Pengertian Hubungan Sipil-Militer semula tidak dikenal di Indonesia dan baru dipergunakan
setelah pengaruh dunia Barat, khususnya yang berpandangan liberal, makin kuat. Mula-mula
itupun terbatas pada kalangan terpelajar yang banyak berhubungan dengan ilmu sosial yang
berasal dari dunia barat. Akan tetapi lambat laun pengertian itu menyebar di semua kalangan dan
sekarang sudah menjadi pengertian yang diakui dan dipergunakan secara umum di Indonesia.
Namun ada satu perbedaan yang menonjol dalam penggunaan pengertian itu antara mereka yang
hidup dalam alam sosial barat dengan bangsa Indonesia yang menerima dan menetapkan
Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Di dunia Barat yang berpaham liberal
Hubungan Sipil-Militer senantiasa berarti supremasi Sipil atas Militer, sedangkan di Republik
Indonesia yang berhaluan Pancasila tidak dengan sendirinya Hubungan Sipil-Militer berarti
supremasi sipil atas militer. Bahkan dengan memperhatikan bahwa Panca Sila menekankan
faktor kekeluargaan dan kerukunan justru tidak ada supremasi satu golongan masyarakat atas
yang lain, melainkan dalam kebersamaan memperjuangkan dan mengusahakan hal yang terbaik
bagi bangsa, negara dan masyarakat.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. a.Pengertian Pemerintahan

Pemerintahan dalam bahasa inggris disebut government yang berasal dari bahasa latin:
gobernare, greek kybernan yang berarti mengemudikan atau mengendalikan.

b.Bentuk Pemerintahan

1. Bentuk negara kesatuan bentuk pemerintahan republik sistem pemerintahan presidensial


konstitusi UUD 1945.
2. Bentuk negara federasi bentuk pemerintahan republik sistem pemerintahan parlementer
semu konstitusi UUD RIS.
3. Bentuk negara kesatuan bentuk pemerintahan republik sistem pemerintahan parlementer s
konstitusi UUD 1950.
4. Bentuk negara kesatuan bentuk pemerintahan republik sistem pemerintahan presidensial
konstitusi UUD 1945(1959-1966) .
5. Bentuk negara kesatuan bentuk pemerintahan republik sistem pemerintahan presidensial
konstitusi UUD 1945 (1966-1998) .
6. Tepat tanggal 21 Mei 1998, runtuhnya pemerintahan orde baru dimulai nya sistem
pemerintahan ini bentuk negara kesatuan bentuk pemerintahan republik sistem
pemerintahan tetap menganut sistem presidensial konstitusi UUD 1945.

c.Pengertian Sipil

Seorang warga negara yang statusnya adalah sebagai masyarakat umum biasa dan bukan
merupakan anggota militer, angkatan bersenjata, ataupun anggota kepolisian: Contoh warga sipil
adalah petani, nelayan, pedagang, guru, pelajar dsb.

d.Pengertian Militer

Bagian dari warga sipil yang mempunyai kualifikasi militer yang dididik, dibentuk dan dilatih
untuk melakukan pertahanan negara secara militer.

B. a.Karakteristik Pemerintahan Sipil


Eric Nordlinger dalam bukunya “Meliter dalam Politik” dikemukakan ada 3 bentuk
pemerintahan sipil:
1 Pemerintahan sipil tradisional, bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya
perbedaan anatara sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang
serius diantara mereka

4
2 Pemerintahan sipil liberal, model pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para
elit berkenaan keahlian dan tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi di
dalam pemerintahan
3 Pemerithan sipil serapan, pemerintahan sipil ini banyak dianut oleh negara-negara
barat, karena kebnyakan dari mereka beridiologi liberal yang memunculkan supremasi sipil
atas militer (sivilian supremasi upon the militeri)
b.Karakteristik Pemerintahan Militer

Dalam pemerintahan militer, untuk menggerakkan bawahannya digunakan sistem


perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan, gerak geriknya senantiasa tergantung kepada
pangkat dan jabatannya senang akan formalitas yang berlebih-lebihan, menuntut disiplin keras
dan kaku dari bawahannya, senang akan upacara-upacara untuk berbagai-bagai
keadaan dan tidak menerima kritik dari bawahannya dan lain sebagainya. Dalam militer tidak
ada orang sipil di pemerintahannya, semuanya orang militer, tatanan sosial terlalu ketat, seperti
jam malam, tidak boleh demonstrasi, dan cara pemilihan pemimpin dilakukan secara turun
temurun.
Selain Negara kita yang pernah didominasi oleh Militer, Negara lain yang bisa diambil
contoh melaksanakan pemerintahan militer, contoh Junta Militer di Burma (Myanmar), Kuba
Korea Utara, dan negara-negara di Amerika Latin.

C. Bentuk pemerintahan sipil dan pemerintahan militer


1. Monarkhi (Monarchy) . Monarki berasal dari bahasa yunani: monos yang brarti
satu dan archein yang berarti pemerintah Monarki merupakan sejenis
pemerintahan dimana raja menjadi kepala negara.
2. Despotisme (Despotism) . Yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh seorang
pemimpin saja, dan semua rakyatnya dianggap sebagai hamba.
3. Kediktatoran (Dictatorship) . Yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang
yang memiliki kekuasaan yang penuh atas negara nya.
4. Oligarkhi (Oligarchy). Yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh sekelompok kecil
oran yang memiliki kepentingan bersama atau yang memiliki hubungan
kekeluargaan.
5. Plutokrasi (Plutocracy). Yaitu pemerintahan yang berasal dari kelas atau
kelompok kaya.
6. Demokrasi (Democrac) . Yaitu pemerintahan yang rakyat nya memegang
kekuasaan, demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu
negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
7. Teokrasi (Theocracy). Yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh para elit
keagamaan.
8. Anarkhi (Anarchy) . Yaitu sebuah pemerintahan yang lemah.

5
D. Hubungan antara sipil dengan militer

Sebagai bangsa Indonesia kita mestinya bangga dengan TNI, karena apa? ternyata Indonesia
memperoleh peringkat yang luar biasa dalam bidang kemiliteran. Jadi sebenarnya tidak beralasan
kalau kita meremehkan tentara nasional kita. Menurut data yang diambil oleh World Military
Strengh Ranking. Militer Indonesia berada pada posisi ke-14 dari seluruh negara di dunia ini, di
atas negara-negara maju lainnya seperti Kanada, Australia, dsb.
Kembali kepada sejarah militer Indonesia, pengambilan alih kekuasaan oleh pihak militer di
Indonesia sekiranya sudah lama diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah jauh dari politik,
sejak dari kemerdekaan pada tahun 1945. Organisasi nasional militer pun diperlukan untuk tugas
yang maha penting yakni membangun suatu negara bangsa dari beribu-ribu pulau yang
membentuk negeri ini.
Pada masa itu terjadi kompetisi politik antara Militer dan Partai Komunis Indonesia yang
kadang kala bersifat keras, Komunis yang dalam hal ini sejak kemerdekaan ada dalam naungan
Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno bersaing ketat dengan golongan elit militer. Dan
puncaknya adalah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.
Sampai munculnya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas
memberi Jenderal Soeharto wewenang yang diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno
yang pada saat itu dianggap sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya merupakan
lambang, sampai secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada tanggal 27 Maret 1968.
Setelah menjadi Presiden, Soeharto memandang tugasnya adalah : memulihkan tingkat
partisipasi rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan negeri yang secara politis terpecah belah,
dan membangun perekonomian yang telah diabaikan. Maka untuk mendukung upaya tersebut
Soeharto memutuskan untuk membentuk GOLKAR (Golongan Karya) atau kelompok yang
fungsional, mencakup buruh, petani, birokrat sipil, birokrat militer, mahasiswa, dan intelegensia.
Jika Soekarno ingin mengusahakan agar kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari
militer, maka Soeharto lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain
Soeharto telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada militer.
Sejak tahun 1959, menurut suatu penelitian, perwira-perwira angkatan darat secara kasar
telah memegang seperempat dari semua portofolio kabinet maupun berbagai posisi penting pada
departemen pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26 Gubernur adalah bekas perwira
militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat, dan 40% dari kepala desa.
Masuk ke Era Reformasi, setelah lengsernya Soeharto, maka kedigdayaan Militer dalam hal
ini ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci maki terhadap ABRI.
Jika sebelumnya tidak ada yang berani mengusik, sejak itu keberadaan ABRI mulai banyak
dipersoalkan. ABRI bukan cuma dipersalahkan, karena telah membuat banyak orang di Aceh,
Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga
karena terlibat penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, karena dianggap tidak mampu lagi
mengatasi kerusuhan di berbagai tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa sejak Mei
1998.
Saat ini ABRI harus menghadapi kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas keterlibatannya.
Secara historis keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami dalam kerangka menjamin stabilitas
nasional. Kalau mau jujur, sebenarnya bangsa dan negara manapun di dunia ini membutuhkan
stabilitas demi pembangunan dan kemajuan bersama rakyatnya.
Menurut Jenderal Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah
hubungan sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu militer menguasai
berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde baru; yang kedua, subjective

6
civilian control, yaitu kontrol subyektif pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi
pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari
ABRI.
Dalam pengarahannya kepada peserta Lokakarya Kepemimpinan Pertahanan 2010 di Istana
Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak perlu lagi ada jarak
antara militer dan non militer pada era demokrasi. Beliau juga menyatakan saat ini tidak perlu
lagi ada dikotomi antara sipil dan militer dalam mengemban tugas untuk negara. "Dulu pernah
ada jarak antara militer dan nonmiliter, antara mahasiswa di perguruan tinggi dan taruna di
akademi. Tapi dengan era demokrasi ini dengan perubahan di TNI tidak lagi menjalankan politik
praktis maka sudah tidak ada perbedaan," tutur Presiden.
Lalu, apakah artinya dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah
Indonesia, dikotomi sipil-militer bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini ABRI terkesan tidak suka
dan selalu mengelak adanya dikotomi sipil-militer di Indonesia, sikap semacam itu tidak lepas
dari penafsiran diri ABRI dalam konteks sejarah Indonesia. ABRI juga mudah curiga kepada
cendekiawan, seniman, aktivis LSM dan kalangan intelektual lain yang memang selalu sangat
antusias memperbincangkan hubungan sipil-militer, yang selalu melemparkan isu-isu
demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara ranah
politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas. Antara perang dan
politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah jalan lain dari politik. Ini lah yang
terjadi pada awal pembentukan Indonesia.
Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan
tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam sejarahnya
Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang
mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman
ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan
tertinggi berada di tangan Presiden Soekarno.
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan bahwa militer Indonesia
telah berkembang menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi
dunia profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar
"semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan.
Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian, bisa
ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini ditafsirkan secara
politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu ABRI di
identifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI
adalah tentara professional yang mengabdi kepada rakyat).
Namun, hal ini tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI, menurut
saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan negara, dan hal itu kini
bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran tersebut cukup diletakkan pada tataran
"kebijakan" (policy) di tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep
kekaryaan seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk
merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan. Jika ada militer
yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, maka harus melepas jaket hijau-
lorengnya.

7
Mereka adalah warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan dalam kerangka
doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara. Fungsi pertahanan keamanan
sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk hanya punya komitmen dan tangung
jawab moral terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI. Konsekuensi moral professional dari
komitmen dan tanggung jawab moral ini adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada
Negara dan bukan kepada pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya sejauh
pemerintah yang berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai
dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan bersama yang
demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi manusia.
Maka tidak perlu dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut dunia Barat, karena
adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak sesuai dengan pandangan Panca
Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun secara organisatoris dengan sendirinya setiap unsur
negara harus menjalankan keputusan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka
tanpa ada ketentuan supremasi sipil dengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala
kepatuhan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk dalam
pemerintah itu. Sebaliknya, sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan berhak menyampaikan
pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari pandangan
Pemerintah. Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu berpedoman pada Panca Sila
dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara hakiki berarti bahwa TNI harus selalu
memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Yang sekarang diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini secara konsisten dan
sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus. Hubungan Sipil-militer yang dihasilkan
kemudian akan merupakan faktor positif dalam perwujudan Ketahanan nasional Indonesia,
termasuk pembinaan daya saing nasional bangsa kita.

8
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk pemerintahan sipil


dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria gaya dan sifat
memerintah sebuah pemerintah.
Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan gaya sipil
dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemerintahan militer adalah
suatu pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa diktator yang mengandalkan gaya militer
yang sarat dengan disiplin dan kental dengan ketentaraan.
Hubungan antara Sipil dan Militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalam bentuk
ekstrim karena kegagalan pemerintahan sipil yang menyebabkan terjadinya kudeta-kudeta,
dan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi memerintah lebih baik dari
pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya kedua hal tersebut tidak dapat berkembang
sesuai dengan tujuan yang dimilikinya.
Dan pada saat ini ketika semua hal dihadapkan kepada profesionalisme yang
menitikberatkan sejauhmana peran seorang warga negara terhadap negaranya, maka militer
memfokuskan diri dalam ranahnya sendiri, demikian pula dengan sipil yang sekarang
terintegrasi dalam bentuk yang lebih dinamis. Sehingga tidak akan terjadi supremasi sipil
terhadap militer.
B. SARAN
Pergulatan politik antara ranah sipil dan militer telah menghasilkan supremasi di antara
kedua bentuk pemerintahan tersebut, maka seyogyanya untuk menghindari hal tersebut
diperlukan langkah perubahan ke arah yang positif sehingga akan memunculkan hubungan
yang baik antara sipil dan militer dan dapat menunjang kepada terciptanya ketahanan
nasional.

9
DAFTAR PUSTAKA

Janowitz, Morri, Hubungan Sipil Militer,Jakarta: Bina Aksara, 1985


Nordlinger, Eric, Militer Dalam Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Syarafuddin, Makalah Konsep Dan Metodologi Perbandingan Pemerintahan, 2010
Ubaedillah, Ahmad, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008
Widiyanti, Ninik, YW. Sunindia, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern,Jakarta: Bina
Aksara, 1988
Wirahadikusumah, Agus, E-book Mencari Format Baru Hubungan -Militer,
Sumaryadi, I Nyoman, Sosiologi Pemerintahan, Bogor: Ghalia Indonesia, 2018

10

Anda mungkin juga menyukai