Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 TEORI PERTUMBUHAN KOTA

Membahas mengenai Pertumbuhan Kota, terdapat beberapa teori yang


dapat dijadikan bahan pertimbangan.

2.1.1 Teori Pertumbuhan Kota

Menurut Spiro Kostof (1991), Kota adalah Leburan Dari bangunan dan
penduduk, sedangkan bentuk kota pada awalnya adalah netral tetapi kemudian
berubah sampai hal ini dipengaruhi dengan budaya yang tertentu. Bentuk kota ada
dua macam yaitu geometri dan organik. Terdapat dikotomi bentuk perkotaan yang
didasarkan pada bentuk geometri kota yaitu Planned dan Unplanned.

1. Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota eropa abad


pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan
bentuk geometrik.
2. Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota
metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara sepontan
dengan bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga
akhirnya kota akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut
dengan organik pattern, bentuk kota organik tersebut secara spontan, tidak
terencana dan memiliki pola yang tidak teratur dan non geometrik.

Elemen-elemen pembentuk kota pada kota organik, oleh kostol


dianalogikan secara biologis seperti organ tubuh manusia, yaitu :

1. Square, open space sebagai paru-paru.


2. Center, pusat kota sebagai jantung yang memompa darah (traffic).
3. Jaringan jalan sebagai saluran arteri darah dalam tubuh.
4. Kegiatan ekonomi kota sebagai sel yang berfikir.
5. Bank, pelabuhan, kawasan industri sebagai jaringan khusus dalam tubuh.
6. Unsur kapital (keuangan dan bangunan) sebagai energi yang mengalir ke
seluruh sistem perkotaan.

Dalam suatu kota organik, terjadi saling ketergantungan antara lingkungan


fisik dan lingkungan sosial. Contohnya : jalan-jalan dan lorong-lorong menjadi
ruang komunal dan ruang publik yang tidak teratur tetapi menunjukkan adanya
kontak sosial dan saling menyesuaikan diri antara penduduk asli dan pendatang,
antara kepentingan individu dan kepentingan umum. Menurut Kevin Lynch
(1981), definisi model organik atau kota biologis adalah kota yang terlihat sebagai
tempat tinggal yang hidup, memiliki ciri-ciri kehidupan yang membedakannya
dari sekedar mesin, mengatur diri sendiri dan dibatasi oleh ukuran dan batas yang
optimal, struktur internal dan perilaku yang khas. Dalam proses perubahan yang
menimbulkan distorsi (mengingat skala perubahan cukup besar) dalam lingkungan
termasuk didalamnya perubahan penggunaan lahan secara organik, terdapat
beberapa hal yang bisa diamati yaitu :

1. Pertumbuhan terjadi satu demi satu, sedikit demi sedikit atau terus
menerus.
2. Pertumbuhan yang terjadi tidak dapat diduga dan tidak dapat diketahui
kapan dimulai dan kapan akan berakhir, hal ini tergantung dari kekuatan-
kekuatan yang melatar belakanginya.
3. Proses perubahan lahan yang terjadi bukan merupakan proses segmental
yang berlangsung tahap demi tahap, tetapi merupakan proses yang
komprehensif dan berkesinambungan.
4. Perubahan yang terjadi mempunyai kaitan erat dengan emosional (sistem
nilai) yang ada dalam populasi pendukung.
5. Faktor-faktor penyebab perubahan lainya adalah vision (kesan),
optimalnya kawasan, penataan yang maksimal pada kawasan dengn
fungsi-fungsi yang mendukung, penggunaan struktur yang sesuai pada
bangunan serta komposisi tapak pada kawasan. (Cristoper Alexander, A
New Theory Of Urban Design, 1987, 14:32-99).
2.1.2 Teori Konsentris (THE CONSECTRIC THEORY)

Teori ini dikemukakan oleh E.W. Burgess (Yunus, 1999), atas dasar tudy
kasusnya mengenai morfologi kota Chicago, menurutnya suatu kota yang besar
mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar di semua bagian-bagiannya.
Masing-masing zona tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar. Oleh karena semua
bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang
dihasilkan akan berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis, dengan daerah
pusat kegiatan sebagai intinya.
Secara berurutan, tata ruang kota yang ada pada suatu kota yang mengikuti
suatu pola konsentris ini adalah sebagai berikut:

a. Daerah Pusat atau Kawasan Pusat Bisnis (KPB).

Daerah pusat kegiatan ini sering disebut sebagai pusat kota. Dalam daerah
ini terdapat bangunan-bangunan utama untuk melakukan kegiatan baik sosial,
ekonomi, poitik dan budaya. Contohnya : Daerah pertokoan, perkantoran, gedung
kesenian, bank dan lainnya.

b. Daerah Peralihan.

Daerah ini kebanyakan di huni oleh golongan penduduk kurang mampu


dalam kehidupan sosial-ekonominya. Penduduk ini sebagian besar terdiri dari
pendatang-pendatang yang tidak stabil (musiman), terutama ditinjau dari tempat
tinggalnya. Di beberapa tempat pada daerah ini terdapat kegiatan industri ringan,
sebagai perluasan dari KPB.

c. Daerah Pabrik dan Perumahan Pekerja.

Daerah ini di huni oleh pekerja-pekerja pabrik yang ada di daerah ini.
Kondisi perumahannya sedikit lebih buruk daripada daerah peralihan, hal ini
disebabkan karena kebanyakan pekerja-pekerja yang tinggal di sini adalah dari
golongan pekerja kelas rendah.
d. Daerah Perumahan yang Lebih Baik Kondisinya.

Daerah ini dihuni oleh penduduk yang lebih stabil keadaannya dibanding
dengan penduduk yang menghuni daerah yang disebut sebelumnya, baik ditinjau
dari pemukimannya maupun dari perekonomiannya.

e. Daerah Penglaju.

Daerah ini mempunyai tipe kehidupan yang dipengaruhi oleh pola hidup
daerah pedesaan disekitarnya. Sebagian menunjukkan ciri-ciri kehidupan
perkotaan dan sebagian yang lain menunjukkan ciri-ciri kehidupan pedesaan,
Kebanyakan penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan nonagraris dan
merupakan pekerja-pekerja penglaju yang bekerja di dalam kota, sebagian
penduduk yang lain adalah penduduk yang bekerja di bidang pertanian.

2.2 TEORI TATA GUNA LAHAN

2.2.1 Teori Menurut Tejoyuwono (1986: 28-29)

Mengatakan bahwa lahan adalah merupakan keseluruhan kemampuan


muka daratan beserta segala gejala di bawah permukaannya yang bersangkut paut
dengan pemanfaatannya bagi manusia. Pengertian tersebut menunjukan bahwa
lahan merupakan suatu bentang alam sebagai modal utama kegiatan, sebagai
tempat dimana seluruh makhluk hidup berada dan melangsungkan kehidupannya
dengan memanfaatkan lahan itu sendiri. Sedangkan penggunaan lahan adalah
suatu usaha pemanfaatan lahan dari waktu ke waktu untuk memperoleh hasil.
Selaras dengan perkembangan kota dan aktivitas penduduknya maka lahan di kota
terpetak-petak sesuai dengan peruntukkannya. Jayadinata (1992: 101)
mengemukakan bahwa tata guna tanah perkotaan menunjukan pembagian dalam
ruang dan peran kota.
Penggunaan Lahan menurut Sandy (1977:24), dikatakan bahwa
penggunaan lahan perkotaan diklasifikasikan sebagai berikut; (a) lahan
permukiman, meliputi perumahan termasuk pekarangan dan lapangan olah raga;
(b) lahan jasa, meliputi perkantoran pemerintah dan swasta, sekolahan, puskesmas
dan tempat ibadah; (c) lahan perusahaan, meliputi pasar, toko,kios dan tempat
hiburan; dan (d) lahan industri, meliputi pabrik dan percetakan.
Penggunaan Lahan menurut Sutanto (1977: 42), penggunaan lahan
diklasifikasikan menjadi; (a) lahan permukiman; (b) lahan perdagangan; (c) lahan
pertanian; (d) lahan indsutri; (e) lahan jasa; (f) lahan rekreasi; (g) lahan ibadah dan
(h) lahan lainnya.
Shirvani (1985:9) menyimpulkan bahwa tata guna lahan perlu
mempertimbangkan dua hal, yaitu pertimbangan segi umum dan aktifitas pejalan
kaki (street level) yang akan menciptakan lingkungan yang lebih manusiawi.
Selanjutnya dia mencontohkan dalam Urban Design Process, bahwa Kota Seattle
dan Washington menggunakan istilah Floor Area Districts, yang didasarkan atas
tata guna lahan khusus dan kondisi aksesibilitas di daerah tertentu, sehingga
ketentuan mengenai tata guna lahan dapat disesuaikan langsung dengan masalah
bagaimana seharusnya suatu daerah dikembangkan. Selanjutnya dikatakan bahwa
land use planning merupakan proses alokasi sumber daya yang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat kota secara luas. Perencanaan ini berkaitan dengan land use policies
yang akan menentukan hubungan antara rencana (plan) dan kebijaksanaan
(policy). Suatu rencana tata guna lahan (land use plan) yang dibuat dalam
kaitannya dengan land use policies akan menentukan hubungan antara rencana
(plan) dan policy (kebijaksanaan) akan menentukan fungsi yang tepat dari suatu
daerah tertentu.
Catanesse (1988 : 281), mengatakan bahwa secara umum ada 4 (empat)
kategori alat-alat perencanaan tata guna lahan, untuk melaksanakan rencana.
1. Penyediaan fasilitas umum
Fasilitas umum diselenggarakan terutama melalui program perbaikan modal
dengan cara melestarikan sejak dini menguasai lahan umum dan daerah milik
jalan (damija).
2. Peraturan-peraturan pembangunan
Ordonansi yang mengatur pendaerahan (zoning), peraturan tentang pengaplingan,
dan ketentuan-ketentuan hukum lain mengenai pembangunan, merupakan jaminan
agar kegiatan pembangunan oleh sektor swasta mematuhi standar dan tidak
menyimpang dari rencana tata guna lahan.
3. Himbauan, kepemimpinan dan koordinasi
Sekalipun agak lebih informal dari pada program perbaikan modal atau peraturan-
peraturan pembangunan, hal ini dapat menjadi lebih efektif untuk menjamin agar
gagasan-gagasan, data-data, informasi dan risat mengenai pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat daat masuk dalam pembuatan keputusan kalangan
developer swasta dan juga instansi pemerintah yang melayani kepentingan umum.
4. Rencana tata guna lahan
Rencana saja sebenarnya sudah merupakan alat untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan serta saran-saran yang dikandungnya selama itu semua terbuka dan
tidak basi sebagai arahan yang secara terus-menerus untuk acuhan pengambilan
keputusan baik kalangan pemerintah maupun swasta. Suatu cara untuk
melaksanakan hal itu adalah dengan cara meninjau, menyusun dan mensyahkan
kembali, rencana tersebut dari waktu ke waktu. Cara lain adalah dengan
menciptakan rangkaian bekesinambungan antara rencana tersebut dengan
perangkat-perangkat pelaksanaan untuk mewujudkan rencana tersebut.

2.2.2 Teori Sektor

Teori sektor ini dikemukakan oleh Homer Hoyt (Yunus, 1991 & 1999),
dinyatakan bahwa perkembangan-perkembangan baru yang terjadi di dalam suatu
kota, berangsur-angsur menghasilkan kembali karakter yang dipunyai oleh sektor-
sektor yang sama terlebih dahulu. Alasan ini terutama didasarkan pada adanya
kenyataan bahwa di dalam kota-kota yang besar terdapat variasi sewa tanah atau
sewa rumah yang besar. Belum tentu sesuatu tempat yang mempunyai jarak yang
sama terhadap KPB akan mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang sama,
atau belum tentu semakin jauh letak atau tempat terhadap KPB akan mempunyai
nilai sewa yang semakin rendah. Kadang-kadang daerah tertentu dan bahkan
sering terjadi bahwa daerah-daerah tertentu yang letaknya lebih dekat dengan
KPB mempunyai nilai sewa tanah atau rumah yang lebih rendah daripada daerah
yang lebih jauh dari KPB. Keadaan ini sangat banyak dipengaruhi oleh factor
transportasi, komunikasi dan segala aspek-aspek yang lainnya.
1. Pertumbuhan Vertikat, yaitu daerah ini dihuni oleh struktur keluarga
tunggal dan semakin lama akan didiami oleh struktur keluarga ganda. Hal
ini karena ada factor pembatas, yaitu : fisik, social, ekonomi dan politik.

2. Pertumbuhan Memampat, yaitu apabila wilayah suatu kota masih cukup


tersedia ruang-ruang kosong untuk bangunan tempat tinggal dan bangunan
lainnya.

3. Pertumbuhan Mendatar ke Arah Luar (Centrifugal), yaitu biasanya terjadi


karena adanya kekurangan ruang bagi tempat tinggal dan kegiatan lainnya.
Pertumbuhannya bersifat datar centrifugal, karena perembetan
pertumbuhannya akan kelihatan nyata pada sepanjang rute transportasi.
Pertumbuhan datar centrifugal ini dapat dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu :

1. Pertumbuhan Datas Aksial, pertumbuhan kota yang memanjang ini


terutama dipengaruhi oleh adanya jalur transportasi yang
menghubungkan KPB dengan daerah-daerah yang berada
diluarnya.

2. Pertumbuhan Datar Tematis, pertumbuhan lateral suatu kota tipe


ini tidak mengikuti arah jalur transportasi yang ada, tetapi lebih
banyak dilatarbelakangi oleh keadaan khusus, sebagai cintih yaitu
dengan didirikannya beberapa pusat pendidikan, sehingga akan
menarik penduduk untuk bertempat tinggal di daerah sekitarnya. Di
lingkungan pusat kegiatan yang beru ii akan timbul suatu suasana
perkotaan yang secara administrative mungkin terpisah dari kota
yang ada. Oleh karena jarak antara pusast kegiatan yang baru
dengan daerah perkotaan yang lama biasanya tidak terlalu jauh,
maka pertumbuhan selanjutnya adalah pada pusat yang lama
dengan pusat yang baru akan bergabung menjadi satu.

Pertumbuhan Datar Kolesen, perkembangan lateral ketiga ini terjadi


karena adanya gabungan dari perkembangan tipe satu dan dua. Sehubungan
dengan adanya perkembangan yang terus-menerus dan bersifat datar pada kota
(pusat kegiatan), maka mengakibatkan terjadinya penggabungan pusat-pusat
tersebut satu kesatuan kegiatan.

2.2.3 Teori Figure Ground

Teori ini dapat dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara
bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space)
Analisis Figure/ ground adalah alat yang baik untuk:
1. Mengidentifikasi sebuah tekstur dan pola-pola tata ruang perkotaan
(urban fabric).
2. Mengidentifikasi masalah keteraturan massa/ ruang perkotaan.

2.2.4 Teori Keterkaitan (Lingkage)

Lingkage artinya berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen


yang satu dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik
satu dengan yang lain. Garis ini bias berbendtuk jarungan jalan, jalur pedestrian,
ruang terbuka yang berbentuk segaris dan sebagainya. Menurut Fumuhiko Maki,
Lingkage adalah semacam perekat kota yang sederhana, suatu bentuk upaya untuk
mempersatukan seluruh tingkatan kegiatan yang menghasilkan bentuk fisik suatu
kota. Sedangkan menurut Shirvani, Lingkage menggambarkan keterkaitan elemen
bentuk dan tatanan massa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa
bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat
tersebut.
2.2.5 Teori Lokasi (Place)

Dalam teori ini ditekankan bahwa integrasi kota tidak hanya terletak pada
konfigurasi fisik morfologi, tetapi integrasi antara aspek fisik morfologi ruang
dengan masyarakat yang merupakan tujuan utama dari teori ini, melalui
pandangan bahwa urban design pada dasarnya bertujuan untuk membrikan wadah
kehidupan yang baik untuk penggunaan ruang kota baik public maupun privat.
2.3 TEORI SISTEM TRANSPORTASI

Menurut Abbas, (2003), transportasi sebagai dasar untuk pembangunan


ekonomi dan perkembangan masyarakat serta pertumbuhan industrialisasi.
Dengan adanya transportasi menyebabkan, adanya spesialisasi atau pembagian
pekerjaan menurut keahlian sesuai dengan budaya, adat-istiadat, dan budaya suatu
bangsa atau daerah. Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau bangsa tergantung
pada tersedianya pengangkutan dalam negara atau bangsa yang bersangkutan.
Pengertian transportasi menurut Morlok (1981) adalah memindahkan atau
mengangkut dari suatu tempat ke tempat lain. Sementara menurut
Papacostas(1987), transportasi didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri
dari fasilitas tertentu beserta arus dan sistem kontrol yang memungkinkan orang
atau barang dapat berpindah dari suatu tempat ke tempat lain secara efisien dalam
setiap waktu untuk mendukung aktifitas manusia.

Transportasi dari suatu wilayah adalah sistem pergerakan manusia dan


barang antara satu zona asal dan zona tujuan dalam wilayah yang bersangkutan.
Pergerakan yang dimaksud dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai sarana
atau moda, dengan menggunakan berbagai sumber tenaga, dan dilakukan untuk
suatu keperluan tertentu (Setijowarno dan Frasila, 2001). Transportasi dikatakan
baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak mengalami kemacetan, frekuensi
pelayanan cukup, aman, bebas dari kemungkinan kecelakaan dan kondisi
pelayanan yang nyaman. Kondisi transportasi yang ideal sangat ditentukan oleh
berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi prasarana
(jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan sikap mental
pemakai fasilitas transportasi tersebut.

2.5 TEORI DESAIN SPASIAL KOTA

Menurut Tracik (1986) dalam suatu lingkungan permukiman ada


rangkaian antara figure ground, linkage dan palce. Figure ground menekankan
adanya public civics space atau open space pada kota sebagai figure. Melalui
figure ground plan dapat diketahui antara lain pola atau tipologi, konfigurasi solid
void yang merupakan elemtal kawasan atau pattern kawasan penelitian, kualitas
ruang luar sangat dipengaruhi oleh figure bangunan-bangunan yang
melingkupinya, dimana tampak bangunan merupakan dinding ruang luar, oleh
karena itu tata letak, bentuk dan fasade sistem bangunan harus berada dalam
sistem ruang luar yang membentuknya. Komunikasi antara privat dan publik
tercipta secara langsung. Ruang yang mengurung (enclosure) merupakan void
yang paling dominan, berskala manusia (dalam lingkup sudut pandang mata 25-30
derajat) void adalah ruang luar yang berskala interior, dimana ruang tersebut
seperti di dalam bangunan, sehingga ruang luar yang enclosure terasa seperti
interior. Diperlukan keakraban antara bangunan sebagai private domain dan ruang
luar sebagai public dominan yang menyatu. Dalam ¨lingkage theory¨ sirkulasi
merupakan penekanan pada hubungan pergerakan yang meruakan kontribusi yang
sangat penting.

Menurut Fumihiko Maki, Linkage secara sederhana adalah perekat,


yaitu suatu kegiatan yang menyatukan seluruh lapisan aktivitas dan menghasilkan
bentuk fisik kota, dalam teorinya dibedakan menjadi tiga tipe ruang kota formal,
yaitu : Composition form, Megaform dan groupform. Teori linkage yang dapat
diterapkan dalam kajian ini adalah group form yang merupakan ciri khas dari
bentuk-bentuk spasial kota yang mempunyai kajian sejarah. Linkage theory ini
dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan arahan dalam penataan suatu
kawasan (lingkungan). Dalam konteks urban design, linkage menunjukkan
hubungan pergerakan yang terjadi pada beberapa bagian zone makro dan mikro,
dengan atau tanpa aspek keragaman fungsi yang berkaitan dengan fisik, historis,
ekonomi, sosial, budaya dan politik (danarti Karsono, 1996).

Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen


bentuk dan tatanan masa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa
bangunan tersebut akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat
tersebut. Karena konfigurasi dan penampilan massa bangunan dapat membentuk,
mengarahkan, menjadi orientasi yang mendukung elemen linkage tersebut
Pentingnya place theory dalam spasial design yaitu pemahaman tentang culture
dan karakteristik suatu daerah yang ada menjadi ciri khas untuk digunakan
sebagai salah satu pertimbangan agar penghuni (masyarakat) tidak merasa asing di
dalam lingkungannya. Sebagaimana tempat mempunyai masa lalu (linkage
history), tempat juga terus berkembang pada masa berikutnya. Artinya, nilai
sejarah sangat penting dalam suatu kawasan kota. Aspek spesifik lingkungan
menjadi indikator yang sangat penting dalam menggali potensi, mengatur tingkat
perubahan serta kemungkinan pengembangan di masa datang, teori ini
memberikan pengertian bahwa semakin penting nilai-nilai sosial dan budaya,
dengan kaitan sejarah di dalam suatu ruang kota.

Anda mungkin juga menyukai