Anda di halaman 1dari 52

KURIKULUM

TRAINING LEGISLATIVE

FORUM LEMBAGA LEGISLATIF


MAHASISWA INDONESIA
Komisi II Pembinaan PP FL2MI 2018/2019
Irfan Dary Nasution - Institut Pertanian Bogor | 0896-2778-4412
FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA
Jl. Barong Tongkok Gedung Student Center Lt. 2, UniversitasMulawarman
E-mail :fl2mi.indonesia1@gmail.comI CP : 0821 49 223 447
KoordinatorPusat :DwiLuthfi I UniversitasMulawarman

SURAT KEPUTUSAN
FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA
NOMOR 012/SK/PP/FL2MI/III/2019
TENTANG
KURIKULUM TRAINING LEGISLATIF
FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA
PERIODE 2018/2019

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA

Menimbang : a. bahwa telah terlaksananya Musyawarah Kerja Nasional X Forum


Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia sebagai wadah
pembahasan dan pengambilan keputusan untuk program kerja
pengurus pusat Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia
periode 2018/2019;
b. bahwa telah terselesaikannya program kerja pembuatan Kurikulum
Training Legislative Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa
Indonesia oleh Komisi Pembinaan Pengurus Pusat Forum Lembaga
Legislatif Mahasiswa Indonesia;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu ditetapkannya Keputusan tentang
Kurikulum Training Legislative Forum Lembaga Legislatif
Mahasiswa Indonesia.
FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA
Jl. Barong Tongkok Gedung Student Center Lt. 2, UniversitasMulawarman
E-mail :fl2mi.indonesia1@gmail.comI CP : 0821 49 223 447
KoordinatorPusat :DwiLuthfi I UniversitasMulawarman
Mengingat : Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 14 Anggaran Dasar Forum Lembaga
Legislatif Mahasiswa Indonesia;
Pasal 14 dan Pasal 17 Anggaran Rumah Tangga Forum Lembaga
Legislatif Mahasiswa Indonesia
MEMUTUSKAN
Menetapkan : SURAT KEPUTUSAN TENTANG KURIKULUM TRAINING
LEGISLATIVE FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA
INDONESIA.
Pertama : Kurikulum Training Legislative Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa
Indonesia sebagaimana terlampir.
Kedua : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ketiga : Bilamana terdapat kekeliruan dalam penetapan keputusan ini, akan
diperbaiki sebagimana mestinya.

Ditetapkan di Samarinda
Pada tanggal 10 Maret 2019

FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA


KOORDINATOR PUSAT,

DWI LUTHFI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Salam sejahtera untuk kita semua.
Segala puji bagi Allah, Yang Mengajari (manusia) dengan pena, Yang Mengajari mereka
apa-apa yang mereka tidak ketahui. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita
Nabi Muhammad saw. beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya hingga hari akhir nanti.
Semoga Allah memuliakan mereka semua.
Kurikulum Training Legislative ini adalah kurikulum yang berisikan silabus dan modul
materi kelegislatifan yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapabilitas setiap anggota lembaga
legislatif mahasiswa yang tergabung dalam Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia
(FL2MI). Kurikulum ini dibuat sebagai pedoman bagi FL2MI, baik kepengurusan pusat,
kepengurusan wilayah, maupun lembaga legislatif setiap kampus dalam pengadaan pelatihan
kelegislatifan. Silabus berisikan program pengembangan kompetensi yang didesain berjenjang,
mulai dari tingkat I sampai tingkat III, disertai dengan perincian materi di setiap program. Modul
materi berisikan materi bacaan penunjang yang berkaitan dengan 3 (tiga) fungsi lembaga
parlemen, yaitu fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Dengan desain training yang
berjenjang, diharapkan dapat membentuk generasi-generasi muda yang berkualitas tinggi untuk
memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik melalui peranannya sebagai anggota lembaga
legislatif.
Telah terselesaikannya kurikulum ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Maka
dari itu, penulis menghaturkan terima kasih kepada rekan-rekan Komisi 2 PP FL2MI yang tak
kenal lelah untuk setia membersamai, dan terima kasih juga kepada seluruh pihak yang tak dapat
penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan baik moral, spiritual, dan
material.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa kurikulum ini masih mempunyai banyak
kekurangan. Karena itu, penulis memohon maaf dan berharap agar pembaca berkenan
menyampaikan kritikan untuk pengembangan kurikulum ini ke depannya. Dengan segala
pengharapan dan keterbukaan, penulis menyampaikan terima kasih. Semoga Allah berkenan
melimpahkan keberkahan bersama kurikulum ini.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Jakarta, April 2019


Penulis
Ketua Komisi II
SILABUS TRAINING LEGISLATIVE
PROGRAM TRAINING LEGISLATIVE

No. Program Pengembangan Tingkat Materi Training Legislative


Kompetensi Training
1 Sejarah FL2MI TL I • Sejarah FL2MI
2 Fungsi Legislasi : Tata TL I • Asas Pembentukan, Jenis, Hierarki, Materi
Cara Pembentukan Muatan, Perencanaan, dan Penyusunan
Peraturan Perundang- Peraturan Perundang-undangan, serta
undangan (Legislative Pembahasan dan Pengesahan Rancangan
Drafting) Undang-Undang
TL II • Pengundangan dan Penyebarluasan
Peraturan Perundang-undangan serta
Partisipasi Masyarakat
3 Fungsi Anggaran : Tata TL I • Pembicaraan Pendahuluan, Pembahasan
Cara Penetapan dan Penetapan Rancangan Undang-
Anggaran Pendapatan Undang tentang APBN
dan Belanja Negara TL II • Penetapan Rancangan Undang-Undang
tentang Perubahan atas
APBN,Pembahasan dan Penetapan
Rancangan Undang-Undang tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN
4 Fungsi Pengawasan : TL I • Pengawasan terhadap kebijakan
Tata Cara Pelaksanaan Pemerintah melalui pelaksanaan Hak
Pengawasan DPR, pelaksanaan tugas pengawasan
komisi, serta konsultasi dan koordinasi
sesama lembaga negara
TL II • Pengawasan terhadap pelaksanaan
undang-undang dan pelaksanaan keuangan
negara
5 Persidangan TL I • Tata Cara Persidangan
6 Interpersonal Skill TL I • Idealisme Parlemen Kampus
TL II • Communication dan Networking
TL III • Art of Listening
7 Critical Thinking TL I • Idealisme Sistem Parlemen Kampus
TL II • Idealisme Sistem Parlemen Daerah
TL III • Idealisme Sistem Parlemen Negara
MODUL TRAINING LEGISLATIVE
SEJARAH FORUM LEMBAGA LEGISLATIF
MAHASISWA INDONESIA

Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) adalah sebuah forum bersatunya
lembaga legislatif kampus seluruh Indonesia yang peduli akan Parlemen Nasional Republik
Indonesia.
a. Latar Belakang Terbentuknya FL2MI
Gerakan mahasiswa sebelum dan pasca kemerdekaan, muncul dengan identitasnya yang
beragam dalam sejarah panjang Indonesia. Secara garis besar gerakan mahasiswa pada masa
sebelum reformasi lebih banyak dipengaruhi oleh kebutuhan mendesak lapangan. Sehingga
garapan-garapan isu pun mengikuti perkembangan situasi dan kondisi politik saat itu.
Ujungnya terjadi saat reformasi 1998 dengan turunnya Soeharto. Gerakan mahasiswa seakan
berjasa besar dalam proses sejarah Indonesia. Hal ini menyebabkan lesunya gerakan mahasiswa
pasca reformasi seakan terlena dengan prestasi menurunkan diktator masa itu. Seiring
berjalannya waktu gerakan mahasiswa dapat disimpulkan tidak memiliki karakter dan fokus
gerakan yang terarah dengan jelas.
Termasuk perkumpulan mahasiswa legislatif yang belakangan bernama FL2MI pun
mengalami masa yang sangat panjang sejak awal kemunculannya untuk menemukan passion
sebagai karakter gerakan mahasiswa yang khas dan berdampak efektif pada akhirnya. Karena
selama ini, gerakan mahasiswa sekan terkesan serampangan dan sporadis dalam langkah
geraknya mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Perkumpulan-perkumpulan mahasiswa nasional yang sebetulnya mampu untuk menciptakan
sebuah gerakan mahasiswa yang efektif dan berdaya juang, terlihat hanya menjadi ajang
eksistensi diribelaka. Maka mulai saat ini setiap elemen gerakan mahasiswa yang ada di
Nusantara, berkewajiban untuk menemukan karakteristiknya dalam berjuang membela
kepentingan rakyat yang sangat beragam persoalannya. Hal ini untuk menghindari
keserampangan dan tumpah tindih peran.
Untuk itulah sejak kemunculan ide membentuk wadah gerakan mahasiswa legislative,
sampai terdeklarasikannya FL2MI tahun 2007, untuk pertama kalinya melalui Mukernas FL2MI
kelima tercetus lah keputusan yang bersejarah. Keputusan yang menyatakan bahwa FL2MI
sesuai namanya memfokuskan gerakan diranah Parlemen baik Nasional maupun daerah. Fokus
gerakan mahasiswa lebih ditekan kanpada pengawalan fungsi-fungsi legislasi yang dijalankan
Parlemen, advokasi masyarakat, pengawasan kinerja dewan, dan pengawsan terhadap anggaran
Negara.
b. Sebelum Kongres/Munas Pertama
Minimnya sumber sejarah kelahiran FL2MI, membuat sedikit kesulitan untuk menuliskan
ulang sejarahnya. Disini akan kami kompilasikan dari berbagai sumber yang kami dapat. Awal
mula kemunculan FL2MI adalah adanya ide untuk membentuk suatu wadah bersama yang
menyatukan visi untuk berjuang diranah regulasi (produk hukum) oleh teman-teman DPM KM
IPB periode 2003-2004.
Dari ide ini ditindak lanjuti berupa suatu pertemuan lembaga legislatif mahasiswa indonesia
yang dinamakan Kongres Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (KL2MI) yang dilaksanakan
selama 3 hari (1-3 Mei 2004) di Bogor (Istana Bogor dan IPB) dengan jumlah peserta lebih dari
25 perguruan tinggi. Pertemuan ini menghasilkan dibentuknya Forum Lembaga Legislatif
Mahasiswa Indonesia (FL2MI) yang dideklarasikan tanggal 3 Mei 2004 bertempat di Auditorium
Rektorat IPB.
Setelah deklarasi ini, forum yang memang sudah ada ini mengalami kemandegan (vakum)
dari berbagai kegiatan.Sampai akhirnya di tahun 2007, bulan Februari BPM Unpad mengadakan
agenda LADSI (Latihan Dasar Advokasi dan Legislasi) di Universitas Padjajaran Bandung. Dari
sinilah mulai muncul ide untuk menghidupkan kembali forum yang telah mati suri. Dari forum
LADSI, diadakan pembahasan untuk menghidupkan kembali dan Universitas Syiah Kuala Aceh,
ditunjuk sebagai tuan rumah untuk pertemuan resminya yaitu kongres pertama sejak kevakuman.
Sampai beberapa bulan belum ada kejelasan, sekitar Juli 2007 ide besar untuk membentuk
wadah bersama itu kembali digulirkan dalam pertemuan DPM Se-Indonesia di DPM UII
Yogyakarta saat peresmian Student Center UII. Beberapa bulan (sekitar 5 bulan) berlalu tanpa
ada kejelasan tentang pelaksanaan persiapan pertemuan di Aceh, maka atas inisiasi beberapa
Universitas yang hadir sebelumnya di LADSI, nama FL2MI kembali dilemparkan pada
pertemuan di Jogja ini.
Tibalah masanya untuk kongres pertama setelah kevakuman, FL2MI kongres di Unsyiah
Kuala Banda Aceh bulan September 2007. Dalam Kongres ini disepakati AD/ART, GBHO,
Rekomendasi dan pemilihan perangkat FL2MI. Terpilih pula Universitas Bengkulu, STT Telkom
(Kini ITT), dan Universitas Syiah Kuala, sebagai Badan Pengawas dan sebagai koordinator pusat
(korpus) terpilih Universitas Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas
Sriwijaya.

c. Setelah Kongres/Munas Pertama


Kongres pertama dilanjutkan dengan Mukernas FL2MI di Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY) sekitar bulan November-Desember 2007. Hadir sekitar 30 lebih Universitas yang telah
tergabung dalam FL2MI maupun yang belum dalam Mukernas ini. Mukernas I di UNY ini
menyepakati mengangkat isu Pendidikan. Begitu juga dengan wilayah FL2MI yang
awalnyaterdiri dari 3 Korwil yakni :
1. Sumatera,
2. Banten-Jabar- DKI-Jateng- DIY,
3. Jatim-Bali-Nusa Tenggara.
Pada Mukernas dimekarkan menjadi 6 Korwil yakni :
1. Sumatera,
2. Jawa,
3. Bali-Nusra,
4. Sulawesi,
5. Kalimantan, dan
6. Maluku-Papua.
Kongres ke 2 digelar di IT Telkom pada November 2008. Pada kongres ini disepakati
menjadikan Pemilu 2009 sebagai isu utama. Kongres kali ini memilih Universitas Udayana
(Bali), Universitas Andalas (Padang), dan Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) sebagai Badan
Pengawas. Sedang peran Koordinator Pusat terpilih Universitas Syiah Kuala (Banda Aceh),
Institut Teknologi Telkom (Bandung), dan Universitas Muhammadiyah Malang (Malang).
Kongres ke 2 juga mendeklarasikan KALMI (Keluarga Alumni Legislatif Mahasiswa Indonesia)
sebagai wadah bagi alumni FL2MI.
Dilanjutkan dengan Kongres ke 3 di Universitas Negeri Solo (UNS) pada bulan November
2009 yang dihadiri sekitar 60 lebih Universitas dari seluruh Indonesia. Kurang maksimalnya
konsep dari panitia dan tersendatnya kordinasi antara panitia dengan pengurus FL2MI
menyebabkan forum menjadi alot dalam menghasilkan keputusan. Pada akhirnya kongres tidak
menghasilkan apapun. Kongres deadlock yang berujung tidak adanya keputusan rekomenadasi
Kongres dan gagalnya pemilihan Korpus.
Dipenghujung kongres, menyepakati untuk ada pertemuan selanjutnya atau yang disebut
Kongres Luar Biasa (KLB). Karena masa kepengurusan sudah berakhir, ditunjuk lah Pjs Korpus
untuk melaksanakan KLB. Pada pertemuan itu menghasilkan Universitas Negeri Semarang
sebagai Pjs dan Institut Seni Surakarta (ISI) sebagai tuan rumah KLB pada 26 – 29 Februari
2010 di Surakarta.
KLB ISI Solo menghasilkan beberapa keputusan penting bagi perkembangan eksistensi
FL2MI. Dinataranya konversi AD/ART ke Piagam FL2MI. Selain itu juga menghasilkan korpus
terpilih yaitu UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai Korpus 1, IAIN Raden Fatah Palembang
sebagai Korpus 2 dan Universitas Paramadina Jakarta sebagai Korpus 3. Pemekaran wilayah 3
(Yogyakarta, Jawa tengah, dan Jawa timur) bagian dari rekomenadasi internal (keorganisasian)
yang kemudian Jatim menjadi wilayah tersendiri (wilayah 4) sejajar dengan wilayah yang
lainnya.
Didalam Konsideran juga disepakati Musyarawaroh Kerja Nasional ke 3 bertempat di
Universitas Negeri Malang. Tapi dari sumber lain mengatakan bahwa Mukernas di laksanakan di
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tanggal 26-28 Mei 2010. Entah yang mana terealisasi nyata
dari Mukernas ini. Tapi yang jelas dari sini sejarah sudah mulai tertata dengan ternarasikan nya
Kongres ke 3 di UNS yang berujung KLB di ISI Surakarta. Terlepas dimana sebenarnya
Mukernas yang ke 3 ini. Pada Mukernas ke 3 ini mengahasilkan rekomendasi inernal dan
eksternal. Salah satu rekomendasi penting bagi eksistensi FL2MI terhadap masyarakat Indonesia,
yaitu audiensi DPR RI dan lembaga-lembaga pemerintah pusat yang terkait.
Pasca terselenggaranya Mukernas ke 3 dengan segenap rekomendasinya itu, FL2MI seakan
tak jauh beda dengan kepengurusan-kepengurusan sebelumnya yang terkesan mati suri. Dari
pertengahan tahun 2010 pasca Mukernas 3, tidak ada kegiatan dan aktivitas yang berarti sampai
terselenggaranya Kongres ke 4 di Universitas Mataram (Unram) tanggal 27-30 Oktober 2011.
Kongres dihadiri oleh 52 PT dari seluruh Indonesia. Kongres kali ini mengambil tema
“Optimalisasi Lembaga Legislatif Mahasiswa” melalui cara “Laksanakan Sumpah Pemuda
dengan Kontribusi Nyata Pada Bangsa”.
Kongres ke 4 ini menghasilkan keputusan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
sebagai Korpus 1 yaitu Saudara Dinul Haq mahasiswa Teknik Geologi Undip 2007 yang juga
putra asli Sumbawa. Selain itu juga terpilih sebagai korpus 2 Badan Legislatif yang berasal dari
IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan Korpus 3 yang berasal dari Universitas Jambi. Kongres di
Unram yang berlangsung di Mataram bertujuan menyatukan visi dan misi mahasiswa tentang
kinerja dan kebijakan-kebijakan Pemerintahan, menghasilkan rekomendasi dari mahasiswa
tentang kebijakan pemerintah diantaranya perlindungan terhadap TKI yang ada dilur negeri,
ketahanan pangan, batas negara Indonesia, dll.
Dari kongres ini pula menghasilkan keputusan untuk Mukernas di Universitas Riau (Unri)
tanggal 23-26 Februari 2012 dengan peserta kurang lebih 280 orang. Mukernas menghasilkan
beberapa keputusan Salah satu hasilnya ialah Memecah Korwil di Sumatera :
1. Korwil 1 (SUMBASEL),
2. Korwil 2 (SUMBAGUT),
3. Korwil 3 (JABODETABEK),
4. Korwil 4 (JAWA BARAT),
5. Korwil 5 (JAWA TENGAH),
6. Korwil 6 (JAWA TIMUR),
7. Korwil 7 (NTT),
8. Korwil 8 (KALTIM),
9. Korwil 9 (KALBAR).
Setelah Mukernas, agenda FL2MI berikutnya adalah Rakornas di UNDIP Semarang yang
sempat membahas tentang Musyawarah Nasional di Universitas Sriwijaya Palembang. Di
perkuat lagi dengan Rapat Konsolidasi Nasional di STIAMI Jakarta pada awal-awal bulan
Ramadhan 2012. Pada pertemuan ini sempat ada sesi sarasehan tentang FL2MI di malam hari
untuk membahas apa itu FL2MI, sejarahnya, dan sepak terjangnya selama ini dengan dihadiri
mantan korpus dari UIN Jogja, dan Korpus dari Undip.
Sampai akhirnya, menyepakati dengan lebih serius untuk mengadakan Musyawarah
Nasional FL2MI ke 5 di Universitas Sriwijaya Palembang Sumatera Selatan pada tanggal 1-4
November 2012. Dimana menghasilkan keputusan bahwa mulai saat ini Korpus dipegang oleh
personal bukan lagi lembaga kampus, agar organisasi berjalan lebih teratur dan efektif dengan
seorang Korpus di bantu oleh struktur Korpus. Korpus terpilih adalah Ahmad Solikin, Ketua
Senat Mahasiswa UGM periode 2012.
Kemudian untuk menguatkan FL2MI korpus terpilih menunjuk salah satu alumni dari DPM
STIAMI untuk memfasilitasi agar FL2MI dapat bersilaturahmi dengan Komisi X DPR bidang
Pendidikan, dan Kementrian Pendidikan untuk Perguruan Tiggi serta silaturahmi ke Komisi
Pemilhan Umum, salah satu yang menjadi agenda utama adalah pengurusan legalitas di DIKTI,
untuk legalitas di DIKTI Korpus menunjuk sdr Ariawan dri salah satu alumni FL2MI karna sdah
menjadi PR yang cukup lama FL2MI tidak dikenal di DIKTI sehingga pengurusan legalitaspun
dilaksanakan, akhirnya pengurus pusat secara langsung diterima oleh Direktur Belmawa Dikti
terkait dengan keberadaan FL2MI, seluruh berkas persyaratan telah dimasukan dan FL2MI
dinyatakan terdaftar sebagai organisasi mahasiswa di Direktorat Pendidikan Tinggi hanya karna
yang tergabung bkan ilmu serumpun sehingga DIKTI tidak mengeluarkan surat legalitas namun
cukup terdaftar secara sah di DIKTI.
Sementara itu Salah satu rekomendasi Munas yng dilaksanakan di Unri adalah pelaksanaan
Mukernas ke 5 di UI yang terlaksana tanggal 21-25 Januari 2013. Dan Munas ke 6 di UGM
bulan November 2013.Diantara hasil Mukernas adalah struktur Korpus terdiri dari Sekjend,
sekretaris eksekutif, bendahara, dan lima bidang yang masing-masing adalah :Bidang Internal,
Bidang Eksternal, Bidang Legislasi, Bidang Pengawasan, Bidang Pengembangan dan Pelatihan
Sumberdaya Manusia untuk membekali para legislator muda dalam menjalankan fungsi kontrol
legislasi, pengawasan, dan anggaran Negara.
Dari Mukernas kali ini, FL2MI menekatkan dirinya untuk fokus bergerak pada gerakan
mahasiswa di ranah Parlemen baik Nasional maupun Daerah.Hal ini untuk mengawal fungsi-
fungsi Parlemen seperti fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dewan.Dari
sinilah awal mula lahirnya wacana gerakan “Parliamentary Watch” atau “Pengawasan
Parlemen”.Hal ini berangkat dari keprihatinan begitu maraknya aksi para anggota dewan bolos
rapat-rapat di Parlemen.Fenomena ini merata tidak hanya di daerah tapi juga tingkat Parlemen
Nasional (DPR RI).Untuk hasil Mukernas lebih lengkap nya dapat diakses di blog Korpus (2012
red ) di http://www.ahmadsolikinn.wordpress.com.
Pada Munas yang dilaksanakan di Univ. Gajahmada (UGM) situasi munas sempat
berlangsung panas selama jalannya persidangan terlebih disaat pemilihan kordinator pusat,
alhasil Munaspun tidak mencapai kesepakatan yang kemudian berakhir dengan deadlock, pada
Munas kali ini merupakan awal FL2MI terpecah menjadi dua kubu ( Korpus ), yakni versi munas
UGM sdr. Delon dan Versi Muslub Sdr. Sabda.
Di Munas UGM sendiri Korpus yang seharusnya terpilih kemudian mengundurkan diri,
sehingga tidak menemui titik temu, hal inilah yang kemudian memunculkan 2 pendapat dan 2
kubu. Yang kemudian memunculkan adannya Musyawarah Luar Biasa (Muslub) pada tanggal
15-17 Mei 2014 dengan agenda utama yaitu pemilihan koordinator pusat selama satu periode
kedepan. Agenda kali ini yang mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah adalah Universitas
Diponegoro, Semarang. Acara ini bertempat di New Bandugan Indah Waterpark, Semarang,
Jawa Tengah. Acara berlangsung lancar dan kondusif meskipun terdapat sedikit perdebatan
hangat yang wajar.
Sebanyak 36 Universitas se-Indonesia hadir dalam acara ini, antara lain ; Universitas
Lambung Mangkurat, Universitas Tanjungpura, Universitas Andalas, Universitas Indonesia,
Universitas Airlangga, Universitas Negeri Riau, Universitas Padjadjaran, Institut Pertanian
Bogor, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Sebelas Maret, Perbanas Institute Jakarta,
STAIN Pamekasan, Univeristas Gadjah Mada, UHAMKA, Poltekkes Kemenkes Jakarta II,
Universitas Negeri Semarang, ISI Surakarta, Universitas Diponegoro, Universitas Sriwijaya,
STIFI Perintis Padang, UIN Sunan Kalijaga Jogja, STAIN Jember, Universitas Negeri Mataram,
IAIN Raden Intan Lampung, Politeknik Negeri Lampung, STAIN Pekalongan, Universitas
Lampung, IAIN WaliSongo, Universitas Mulawarman, AKA Bogor, STKIP YPM Bangko,
STIQ An-nur, STAIN Kendari, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Ar-Raniry, Universitas
Trisakti.
Universitas Diponegoro menjadi tuan rumah Musyawarah Luar Biasa FL2MI tahun ini.
Musyawarah yang mengusung tagline #eSlamatkanFL2M Iini mengharapkan FL2MI kembali
bersatu dan tak ada lagi konflik kepentingan di dalam tubuh FL2MI, begitu pernyataan korpus
sebelumnya, Ahmad Solikin.
Musyawarah luar biasa ini menghasilkan kesepakatan bersama yang telah diresmikan, yaitu
Hasil musyawarah Nasional VI FL2MI pada tanggal 25-27 Oktober 2013 bertempat di
Yogyakarta dengan tuan rumah UGM dengan beberapa fakta sebagai berikut :
1. Seluruh hasil sidang Munas VI FL2MI Yogyakarta tidak memberikan bukti otentik
konsideran atau surat keputusan.
2. Munas VI FL2MI Yogyakarta tidak menghasilkan Korpus terpilih.
3. Munas VI FL2MI Yogyakarta mengalami kericuhan dan mengakibatkan perpecahan
sehingga sidang tidak dapat dilanjutkan.
4. Musyawarah Lanjutan FL2MI pada bulan maret 2014 yang bertempat di Malang
dinyatakan tidak sah dan ilegal beserta seluruh hasil yang disepakati.
5. Muslub FL2MI 2014 mengambil sikap tegas terhadap oknum-oknum yang memicu
perpecahan FL2MI dalam hal ini Delon Akbar Taradipa denganme-nonaktifkan Delon
Akbar Taradipa beserta strukturnya selama kepengurusan FL2MI 2014-2015
berlangsung.
6. Hasil Muslub FL2MI 2014 memberikan kesempatan kepada kampus-kampus yang
mengikuti Munas Lanjutan Malang untuk dapat bergabung dengan FL2MI kembali dan
memberikan tugas kepada Korwil-korwil untuk memberikan pemahaman ulang tentang
FL2MI kepada kampus di wilayah masing-masing.
7. Segala informasi resmi FL2MI berasal dari hasil Musyawarah Luar Biasa (Muslub)
FL2MI 2014 yang bertempat di Semarang dan diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa
KM Universitas Diponegoro pada 15-17 Mei 2014.
Selain kesepakatan bersama, Musyawarah Luar Biasa (Muslub) ini secara resmi menetapkan
Sabda M. Holil (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) sebagai koordinator pusat (korpus) FL2MI
periode 2014-2015 menggantikan Ahmad Solikin korpus sebelumnya serta menetapkan
Koordinator Wilayah (korwil) yang terdiri dari 10 wilayah. Program kerja setahun mendatang
yang ditetapkan oleh FL2MI akan diusulkan dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas)
berikutnya yaitu H+30 dari selesainya Muslub ini, kemudian berdasarkan dari rekomendasi
kepengurusan menetapkan Mukernas dan Rakornas dilakukan di wilayah Sumatera atau
Kalimantan.
Selama satu tahun FL2MI berjalan pada tahun 2014 terdapat dua korpus yakni sdr. Delon
dan sdr. Sabda. Hingga berakhir pada Munas di Jakarta tepatnya di Univ. Esa Unggul. Disini lah
kedua Korpus dipertemukan dan menyepakati untuk tidak lagi adanya perpecahan di tubuh
FL2MI.
Hasil Munas Esa Unggul inilah yang kemudian menghasilkan satu Korpus untuk lembaga
legislatif nasional FL2MI ini, yakni dengan korpus sdr. Hikmatyar Abdul Aziz (UNS) dengan
mengambil textline #kolaborasiuntuknegeri.
Usai munas yang dilakukan dijakarta dengan menyatukan dua Korpus, kemudian di
lanjutkan dengan MUSLUB dan MUKERNAS FL2MI di Banda Aceh dengan tuan Rumah UIN
AR-RANIRY Banda Aceh.
FUNGSI LEGISLASI
TATA CARA PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(LEGISLATIVE DRAFTING)

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan.
2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-
undangan.
3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan
yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
8. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama
Bupati/Walikota.
9. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen
perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis.
10. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen
perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
11. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat.
12. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
13. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan.
14. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
15. Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2

Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.

Pasal 3
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar
dalam Peraturan Perundang-undangan.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
3. Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.

Pasal 4
Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi Undang-
Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.
BAB II
ASAS PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 5
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.

Pasal 6
1. Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

2. Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Peraturan Perundang-


undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB III
JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 7
1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat 1.
Pasal 8
1. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1
mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,
Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
2. Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan
kewenangan.
Pasal 9
1. Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi.
2. Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga
bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pasal 10
1. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
c. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
2. Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
Pasal 11
Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi
muatan Undang-Undang.
Pasal 12
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang
sebagaimana mestinya.
Pasal 13
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Pasal 14
Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung
kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih
tinggi.
Pasal 15
1. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:
a. Undang-Undang;
b. Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b dan huruf c berupa
ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
3. Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat
ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
BAB IV
PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Kesatu
Perencanaan Undang-Undang
Pasal 16
Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.
Pasal 17
Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program
pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional.
Pasal 18
Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar
Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:
a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. perintah Undang-Undang lainnya;
d. sistem perencanaan pembangunan nasional;
e. rencana pembangunan jangka panjang nasional;
f. rencana pembangunan jangka menengah;
g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan
h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat.
Pasal 19
1. Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan
Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan
keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
2. Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan keterangan mengenai konsepsi
Rancangan Undang-Undang yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan
c. jangkauan dan arah pengaturan.
3. Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat 2 yang telah melalui pengkajian
dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Pasal 20
1. Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
2. Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan Rancangan Undang-Undang.
3. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa
keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
4. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan
penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan.
5. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas
jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-
Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 21
1. Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
2. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR
yang khusus menangani bidang legislasi.
3. Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan
dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau
masyarakat.
4. Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud
pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Peraturan DPR.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 22
1. Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat 1 disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna
DPR.
2. Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan DPR.
Pasal 23
1. Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau
Kabupaten/Kota; dan
e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

2. Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-
Undang di luar Prolegnas mencakup:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan
b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu
Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum.
Bagian Kedua
Perencanaan Peraturan Pemerintah
Pasal 24
Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 25
1. Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
2. Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun.
Pasal 26
1. Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum.
2. Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 27
Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya.
Pasal 28
1. Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat
mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan
Pemerintah.
2. Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah
diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Perencanaan Peraturan Presiden
Pasal 30
Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan
Peraturan Presiden.
Pasal 31
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan
penyusunan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 32
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi.
Pasal 33
1. Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan
Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi
yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya.
2. Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan keterangan mengenai konsepsi
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang ingin diwujudkan;
c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.
3. Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat 2 yang telah melalui pengkajian
dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
Pasal 34
1. Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah
Daerah Provinsi.
2. Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala
prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi.
3. Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi.

Pasal 35
Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1),
penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas:
a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi;
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah.
Pasal 36
1. Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi
dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi.
2. Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat
kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
3. Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi
dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertical terkait.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan
DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan DPRD
Provinsi.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan
Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 diatur dengan Peraturan
Gubernur.
Pasal 37
1. Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat 1 disepakati menjadi Prolegda
Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi.
2. Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Keputusan
DPRD Provinsi.
Pasal 38
1. Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas:
a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
2. Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:
a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Bagian Kelima
Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 39
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda
Kabupaten/Kota.
Pasal 40
Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap
perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 41
Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
Bagian Keenam
Perencanaan Peraturan Perundang-undangan Lainnya
Pasal 42
1. Perencanaan penyusunan Peraturan Perundangundangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat 1 merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan
lembaga, komisi, atau instansi masing-masing.
2. Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau
instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.

BAB V
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Kesatu
Penyusunan Undang-Undang
Pasal 43
1. Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.
2. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dapat berasal dari DPD.
3. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai
Naskah Akademik.
4. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan Undang-
Undang mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-
Undang; atau
c. pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
5. Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 4 disertai dengan
keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pasal 44
1. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan
teknik penyusunan Naskah Akademik.
2. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 45
1. Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta
Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan
Prolegnas.
2. Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat
1 adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan daerah;
c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Pasal 46
1. Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.
2. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 47
1. Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan
tanggung jawabnya.
2. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga
pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau
antarnonkementerian.
3. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang
yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 48
1. Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD
kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.
2. Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan oleh
pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi
untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang.
3. Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dalam melakukan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang
dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang
perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.
4. Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 menyampaikan laporan tertulis
mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat 3 kepada pimpinan
DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
Pasal 49
1. Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada
Presiden.
2. Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang
bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak
surat pimpinan DPR diterima.
3. Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengoordinasikan persiapan pembahasan
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 50
1. Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada
pimpinan DPR.
2. Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat penunjukan menteri yang
ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang
bersama DPR.
3. DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden
diterima.
4. Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau
pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang
tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Pasal 51
Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-
Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang
disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.
Bagian Kedua
Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Pasal 52
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam
persidangan yang berikut.
2. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang
penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
3. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR
dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut
ditetapkan menjadi Undang-Undang.
5. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan
DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut
harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
6. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat 5, DPR atau Presiden
mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
7. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 6 mengatur segala akibat hukum dari
pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
8. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 7 ditetapkan menjadi Undang-
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam
rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat 5.
Pasal 53
Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Penyusunan Peraturan Pemerintah
Pasal 54
1. Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia
antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian.
2. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian
dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Keempat
Penyusunan Peraturan Presiden
Pasal 55
1. Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia
antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
2. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan
Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian
dan/atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kelima
Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 56
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.
2. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disertai
dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
3. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi;
b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau
c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa
materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan
yang diatur.

Pasal 57
1. Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai
dengan teknik penyusunan Naskah Akademik.
2. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal 58
1. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD
Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
2. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat
mengikutsertakan instansi vertical dari kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 60
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan
komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal 61
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi
disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur.
2. Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan
surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi.
Pasal 62
Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.

Bagian Keenam
Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 63
Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

BAB VI
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 64
1. Penyusunan Rancangan Peraturan Perundangundangan dilakukan sesuai dengan teknik
penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
2. Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3. Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan Presiden.

BAB VII
PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Bagian Kesatu
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pasal 65
1. Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi.
2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang
berkaitan dengan:
a. otonomi daerah;
b. hubungan pusat dan daerah;
c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;
d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan
e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
3. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I.
4. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi
materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas.
5. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pasal 66
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Pasal 67
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas:
a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi,
rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.
Pasal 68
1. Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c. penyampaian pendapat mini.
2. Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a:
a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika
Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR;
b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat 2 berasal dari DPR;
c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari Presiden; atau
d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan
jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat 2 berasal dari Presiden.
3. Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b diajukan oleh:
a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau
b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan
mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat 2.
4. Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c disampaikan
pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:
a. fraksi;
b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan
c. Presiden.
5. Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2
huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud
pada ayat 4 huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
6. Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga
lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau
lembaga lain.
Pasal 69
1. Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
dengan kegiatan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD,
dan hasil pembicaraan tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap tiap fraksi dan anggota secara lisan
yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
2. Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b tidak dapat dicapai
secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak.
3. Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan DPR masa itu.
Pasal 70
1. Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR
dan Presiden.
2. Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Undang-
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan Peraturan DPR.
Pasal 71
1. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan
pembahasan Rancangan Undang-Undang.
2. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan
dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang.
3. Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 3
dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:
a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden;
b. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan
c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat
Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan
persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Bagian Kedua
Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Pasal 72
1. Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-
Undang.
2. Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.
Pasal 73
1. Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh
Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden.
2. Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak
ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan Undang-
Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
3. Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 2,
kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan
ketentuan Pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4. Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah
Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 74
1. Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan
Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.
2. Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam
penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan
dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1.

BAB VIII
PEMBAHASAN DAN PENETAPAN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN
DAERAH
KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 75
1. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi
bersama Gubernur.
2. Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan melalui tingkat-
tingkat pembicaraan.
3. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dalam rapat
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang
legislasi dan rapat paripurna.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Pasal 76
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama
oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
2. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi.
Bagian Kedua
Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 77
Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bagian Ketiga
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
Pasal 78
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi
dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk
ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
2. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama.
Pasal 79
1. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ditetapkan
oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama
oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
2. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
3. Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat 2, kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
4. Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat 3 harus
dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan
naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah.
Bagian Keempat
Penetapan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
Pasal 80
Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
BAB IX
PENGUNDANGAN
Pasal 81
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundangundangan harus diundangkan dengan
menempatkannya dalam:
a. Lembaran Negara Republik Indonesia;
b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
c. Berita Negara Republik Indonesia;
d. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia;
e. Lembaran Daerah;
f. Tambahan Lembaran Daerah; atau
g. Berita Daerah.
Pasal 82
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Presiden; dan
d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Pasal 83
Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia
meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 84
1. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan
Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
2. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-
undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Pasal 85
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83
dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 86
1. Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
2. Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota diundangkan dalam Berita Daerah.
3. Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Daerah dan Berita
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dilaksanakan oleh Sekretaris
Daerah.

Pasal 87
Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada
tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.

BAB X
PENYEBARLUASAN
Bagian Kesatu
Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang,
dan Undang-Undang
Pasal 88
1. Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas,
penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang,
hingga Pengundangan Undang-Undang.
2. Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan untuk memberikan
informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan.
Pasal 89
1. Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang
dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
2. Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh
komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
3. Penyebarluasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan
oleh instansi pemrakarsa.
Pasal 90
1. Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah.
2. Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilakukan
oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Pasal 91
1. Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing,
penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
2. Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan terjemahan resmi.
Bagian Kedua
Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 92
1. Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak
penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah.
2. Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan untuk dapat memberikan
informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
Pasal 93
1. Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah
Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang
khusus menangani bidang legislasi.
2. Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh
alat kelengkapan DPRD.
3. Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau
Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.
Pasal 94
Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang
telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah
Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Naskah yang Disebarluaskan
Pasal 95
Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan
naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah.

BAB XI
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 96
1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
2. Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat
dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan.
4. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 97
Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara
mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan
Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan
DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan
Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur
Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga,
atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan
Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan
Kepala Desa atau yang setingkat.
Pasal 98
1. Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundangundangan mengikutsertakan
Perancang Peraturan Perundang-undangan.
2. Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 99
Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98
ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli.
FUNGSI ANGGARAN
TATA CARA PENETAPAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 1
1. Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
2. Rancangan rencana kerja pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan
disepakati bersama dengan DPR.
3. Rencana kerja pemerintah yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan DPR
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 menjadi pedoman bagi penyusunan rancangan APBN
untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan APBN dan menjadi acuan
kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Bagian Kedua
Pembicaraan Pendahuluan
Pasal 2
1. Pemerintah menyampaikan pokok-pokok pembicaraan pendahuluan rancangan APBN
dalam rapat paripurna DPR, yang meliputi:
a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiscal tahun anggaran
berikutnya;
b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap
kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan
c. perincian unit organisasi, fungsi, dan program.
2. Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiscal
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pada tanggal 20 Mei tahun sebelumnya pada rapat
paripurna DPR.
3. Apabila tanggal 20 Mei sebagaimana dimaksud pada ayat 2 jatuh pada hari libur, rapat
paripurna DPR dilakukan 1 (satu) hari sebelumnya.
4. Fraksi menyampaikan pandangannya atas materi yang disampaikan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam rapat paripurna DPR.
5. Pemerintah memberikan tanggapan terhadap pandangan Fraksi sebagaimana dimaksud
pada ayat 4 dalam rapat paripurna DPR.
6. Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar
pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga tersebut.
7. Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat 6
disampaikan secara tertulis kepada Badan Anggaran.
8. Badan Anggaran melakukan rapat kerja dengan Pemerintah untuk penyelesaian akhir
berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat 6 dan ayat 7.
9. Badan Anggaran menyampaikan hasil rapat sebagaimana dimaksud pada ayat 8 dalam
rapat paripurna DPR.
10. Pengaturan jadwal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, ayat
4, dan ayat 9 disesuaikan dengan alokasi waktu pembahasan pembicaraan pendahuluan
dan sesuai dengan jadwal persidangan.
11. Pembahasan pembicaraan pendahuluan rancangan APBN paling lambat selesai pada
bulan Juli.
Bagian Ketiga
Pembahasan dan Penetapan
Rancangan Undang-Undang tentang
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pasal 3
1. Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang APBN disertai nota keuangan
dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
2. Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang APBN berserta nota keuangan,
sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepada Fraksi diberikan kesempatan menyampaikan
pemandangan umum yang disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
3. Pemandangan umum Fraksi, sebagaimana dimaksud pada ayat 2, disampaikan sebelum
memasuki pembahasan Pembicaraan Tingkat I.
4. Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum Fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1
disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
Pasal 4
1. Terhadap Rancangan Undang-Undang tentang APBN beserta nota keuangan,
sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat 1, DPD memberikan pertimbangan kepada
DPR.
2. Pimpinan DPR memberitahu rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
APBN kepada pimpinan DPD.
3. DPD menyampaikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada pimpinan
DPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum diambil persetujuan bersama antara
DPR dan Presiden.
4. Pimpinan DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan oleh DPD.
Pasal 5
1. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang APBN berserta nota keuangannya
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. rapat kerja diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi
anggaran untuk program dan kegiatan kementerian/lembaga dan hasil pembahasan
disampaikan kepada Badan Anggaran secara tertulis; dan
b. rapat kerja penyelesaian akhir Rancangan Undang-Undang tentang APBN diadakan
oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dengan memperhatikan
pemandangan umum Fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan
Musyawarah, alokasi anggaran yang diputuskan dalam rapat kerja komisi dan
Pemerintah mengenai anggaran untun program dan kegiatan kementerian/lembaga.
2. Anggota Badan Anggaran dari komisi membahas alokasi anggaran kementerian/lembaga
yang telah diputuskan oleh komisi bersama Badan Anggaran dan hasil pembahasannya
disampaikan kembali kepada komisi yang bersangkutan secara tertulis.
3. Paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 diterima, komisi bersama mitra kerjanya membahas alokasi anggaran dan hasilnya
disampaikan kepada Badan Anggaran untuk mendapat penetapan.
4. Pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang tentang APBN antara Badan
Anggaran dan pemerintah pada akhir Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan acara:
a. pengantar ketua Badan Anggaran;
b. laporan panitia kerja;
c. pembacaan naskah Rancangan Undang-Undang tentang APBN;
d. pendapat mini sebagai sikap akhir Fraksi;
e. pendapat pemerintah;
f. penandatanganan naskah Rancangan Undang-Undang tentang APBN; dan
g. pengambilan keputusan untuk dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II.
5. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dilaporkan dalam rapat paripurna
DPR untuk ditetapkan yang didahului dengan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini sebagai sikap akhir Fraksi,
dan hasil Pembicaraan Tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap Fraksi dan Anggota secara lisan
yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna DPR; dan
c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
6. Hasil penetapan rencana kerja anggaran kementerian/lembaga sebelum disampaikan ke
Menteri Keuangan terlebih dahulu disetujui dan ditandatangani oleh pimpinan komisi
terkait untuk selanjutnya diproses menjadi daftar isian perencanaan anggaran
kementerian/lembaga.
Bagian Keempat
Dana Transfer Daerah
Pasal 6
1. Badan Anggaran membahasan dana alokasi umum dengan mempertimbangkan masukan
dari DPD.
2. Badan Anggaran menerima usulan program yang akan didanai oleh dana alokasi khusus
berdasarkan kriteria teknis dari komisi terkait.
3. Badan Anggaran menerima, membahas, dan mengintegrasikan usulan Anggota
berdasarkan aspirasi daerah pemilihan kepada komisi terkait.
4. Badan Anggaran bersama Pemerintah melakukan sinkronisasi dan penetapan atas usulan
program sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 yang selanjutnya hasil
penetapan tersebut disampaikan kepada komisi terkait sesuai dengan prioritas program
dana transfer daerah.
Bagian Kelima
Penetapan Rancangan Undang-Undang tentang
Perubahan atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pasal 7
1. Pembahasan terhadap perubahan atas APBN dilakukan oleh Badan Anggaran dan komisi
terkait dengan Pemerintah paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas APBN diajukan oleh Pemerintah
kepada DPR.
2. Untuk pengambilan keputusan dalam Pembicaraan Tingkat I terhadap Rancangan
Undang Undang tentang Perubahan atas APBN, berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4.
3. Hasil pembahasan Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat 2
disampaikan oleh Badang Anggaran dalam rapat paripurna DPR.
4. Untuk acara rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 3, berlaku ketentuan
dalam Pasal 5 ayat 5.
Bagian Keenam
Pembahasan dan Penetapan Rancangan Undang-Undang tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Pasal 8
1. Pemerintah menyampaikan pokok-pokok Rancangan Undang-Undang tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dalam rapat paripurna DPR kepada DPR berupa
laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
2. Fraksi menyampaikan pandangannya terhadap materi Rancangan Undang-Undang
tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN yang disampaikan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam rapat paripurna DPR.
3. Pemerintah memberikan pandangan terhadap pandangan Fraksi sebagaimana dimaksud
pada ayat 2 dalam rapat paripurna DPR.
4. BPK menyampaikan laporan keuangan pemerintah pusat pada rapat paripurna DPR.
5. Badan Anggaran melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dengan mempertimbangkan pemandangan
umum Fraksi, tanggapan Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan
rapat kerja komisi dengan pemerintah, serta laporan keuangan pemerintah pusat.
6. Pembahasan dan penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah bahan hasil
pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah disampaikan oleh BPK ke DPR.
7. Badan Anggaran melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat 6.
8. Untuk pengambilan keputusan dalam Pembicaraan Tngkat I terhadap Rancangan
Undang-Undang tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN, berlaku ketentuan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat 4.
9. Hasil pembahasan Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada ayat 6
disampaikan oleh Badan Anggaran dalam rapat paripurna DPR.
10. Untuk acara rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 3, berlaku ketentuan
dalam Pasal 5 ayat 5.
FUNGSI PENGAWASAN
TATA CARA PELAKSANAAN PENGAWASAN

Pasal 1
1. DPR mempunyai fungsi pengawasan.
2. Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap:
a. pelaksanaan undang-undang;
b. pelaksanaan keuangan negara; dan
c. kebijakan Pemerintah.
Pasal 2
1. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 dilaksanakan melalui
pelaksanaan hak DPR sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai tata cara
pelaksanaan hak DPR.
2. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan melalui pelaksanaan tugas
pengawasan komisi sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai alat kelengkapan
DPR.
3. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 huruf b dapat dilakukan
melalui:
a. pembahasan laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diaudit oleh BPK;
b. hasil pemeriksaan semester BPK;
c. tindak lanjut hasil pemeriksaan semester BPK;
d. hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu oleh BPK;
e. hasil pengawasan DPD; dan/atau
f. pengaduan masyarakat.
4. Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat 2 dapat dilaksanakan melalui
pembentukan tim sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai alat kelengkapan DPR.
5. Dalam melaksanakan pengawasan, DPR dapat melakukan konsultasi dengan lembaga
negara lain sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai konsultasi dan koordinasi
sesama lembaga negara.
PANDUAN SIDANG
FORUM LEMBAGA LEGISLATIF MAHASISWA INDONESIA

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. Panduan Sidang FL2MI adalah aturan standar dalam menyelenggarakan sidang pada
setiap kampus yang tergabung dalam Fl2MI.
2. Pemimpin Sidang adalah orang yang memimpin dan bertanggungjawab atas jalannya
sidang.
3. Peserta Sidang adalah anggota sidang yang berkewajiban menghadiri dan mengikuti
sidang.

Pasal 2

Panduan Sidang ini bertujuan untuk:

1. Menyamaratakan sistem persidangan setiap kampus yang tergabung dalam FL2MI;


2. Mengefektifkan sidang agar sesuai dengan tujuan yang diharapkan; dan
3. Mengondisikan peserta sidang agar fokus, terarah, dan optimal memberikan ide-ide
dalam mengambil keputusan dan/ atau kebijakan.

BAB II
KETENTUAN POKOK
Bagian Kesatu
Sosialisasi dan Konfirmasi
Pasal 3
1. Sosialisasi agenda sidang minimal 24 jam sebelum sidang, untuk agenda yang sudah
terjadwal.
2. Bagi yang tidak berkenan hadir dalam sidang atau akan terlambat hadir, diwajibkan
memberikan kabar selambat-lambatnya satu jam sebelum sidang dimulai.
3. Peserta sidang yang tidak hadir tidak dapat menyampaikan pendapatnya melalui
pemimpin sidang.
4. Apabila ada keperluan yang mendesak dan kondisional, maka ayat 1 tidak terpenuhi.

Pasal 4

Setiap peserta sidang telah mempersiapkan diri untuk sidang dengan membawa bahan sidang
untuk diajukan atau dibahas dalam sidang sesuai dengan agenda yang telah disosialisasikan.

Bagian Kedua
Mekanisme Sidang
Pasal 5
1. Susunan Sidang
a. Pembukaan;
Pembukaan sidang dilakukan dengan cara menyapa peserta sidang, dan menbuka
sidang dengan tiga kali ketukan palu sidang.
Contoh : Dengan mengucap bismillahirrohmanirrohim, atas rahmat allah yang
maha esa, sidang resmi di buka.
b. Penyepakatan agenda sidang;
Membahas tata tertib untuk peserta sidang
Pemilihan presidium sidang tetap
Menetapkan waktu persidangan
Pembahasan agenda sidang
c. Penutupan.
2. Setiap sidang dilakukan pencatatan jurnal sidang pada buku sidang oleh Notulensi
sidang. Notulensi sidang yang dimaksud adalah notulensi yang di beri amanat
kepada presidium sidang tiga, dan di bantu pencatatan oleh pihak panitia
penyelenggara sidang.
3. Setiap sidang peserta sidang mengisi daftar hadir sidang.
4. Istilah dalam persidangan.
a. Skorsing adalah memberhentikan sidang untuk sementara waktu dengan tujuan
tertentu seperti istirahat, lobby, penundaan sidang.
b. PK/Peninjauan kembali adalah mekanisme yang digunakan untuk mengulang
kembali pembahasan/ putusan yang telah dikukuhkan.
c. Interupsi adalah memotong/menyela pembicaraan dikarenakan ada hal-hal yang
sangat penting untuk diungkapkan.
d. Jenis-jenis interupsi sebagai berikut :
• Point of clarification adalah interupsi untuk menjernihkan/meluruskan
permasalahan atau isi pembahasan.
• Point of view adalah interupsi yang digunakan untuk menyampaikan
pendapat, tanggapan, usulan, saran.
• Point of order adalah interupsi yang digunakan untuk meminta pemimpin
sidang meluruskan jalannya sidang apabila keluar dari konteks, atau sidang
dianggap janggal.
• Point of solution adalah interupsi untuk memberikan solusi atas
permasalahan yang dibahas.
• Point of information adalah interupsi untuk memberikan informasi, baik
tentang pembicaraan yang tidak sesuai atau informasi yang berkaitan dengan
kondisi yang menjadi pokok pembahasan atau hal-hal yang dipandang urgen
untuk diinformasikan.
• Point of privilege (rehabilitation) adalah interupsi yang berfungsi untuk
membersihkan nama baik atau kehormatan seseorang/kelompok karena
dipandang pembicaraan tersebut menyimpang dari etika atau menyinggung
perasaan.
e. Lobby adalah mekanisme komunikasi antar pihak yang berbeda pendapat untuk
saling berargumen dan mengambil pendapat.
f. Voting adalah pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak dari peserta
penuh.
5. Sidang dimulai dengan membahas agenda yang paling penting dan/atau disepakati
peserta sidang.
6. Jika ada penambahan agenda, pemimpin sidang berkewajiban meminta persetujuan
peserta sidang.
7. Penambahan agenda hanya dapat dilakukan jika benar – benar penting.
8. Pengkondisian sidang dengan pembekalan singkat oleh pemimpin sidang.
9. Dalam membahas agenda sidang, harus:
a. Efisisen dan efektif;
b. Tidak melebar ke permasalahan lain (focus);
c. Memberi kesempatan bagi tiap peserta untuk mengeluarkan pendapat;
d. Pimpinan sidang harus berdemokerasi dalam memberikan kesempatan hak bicara
padaseluruh peserta sidang;
e. Jika waktu yang ditentukan tidak mencukupi untuk pembahasan agenda sidang
dilakukan penambahan waktu sesuai dengan persetujuan peserta sidang; dan
f. Jika waktu yang ditentukan tidak mencukupi untuk pembahasan agenda, maka
waktu pembahasan dapat ditambahkan dengan persetujuan bersama.
10. Penutup sidang
a. Mengatur agenda sidang berikutnya; dan
b. Tutup dengan mengucapkan syukur, dan mengucapkan doa (hamdalah, istighfar,
dan membaca doa penutup rapat).

Bagian Ketiga
Unsur – Unsur Persidangan
Pasal 6

1. Panitia sidang (yang menyelenggarakan sidang) :


a. Steering Committee adalah panitia pengarah yang mengemban amanah sebagai
pengurus resmi yang kemudian disebut SC. SC pada skala nasional terdiri atas
perwakilan pengurus pusat FL2MI. SC pada setiap lingkup kampus adalah
masing-masing anggota lembaga legislatif yang tedapat pada kampus.
b. Organizing committee adalah panitia pelaksana yang dibentuk oleh SC.
2. Pimpinan sidang :
a. Presidium sidang sementara adalah presidium yang ditunjuk oleh SC untuk
memimpin jalannya persidangan dan bertugas sampai terpilihnya pimpinan
sidang tetap.
b. Presidium sidang tetap adalah presidium yang dipilih oleh forum secara langsung
untuk melanjutkan jalannya persidangan dan bertugas hingga penutupan sidang.
3. Presidium sidang pada ayat 2 :
a. Presidium sidang satu sebagai pemimpin sidang;
b. Presidium sidang dua sebagai pemerhati forum;
c. Presidium tiga sebagai notulis.
4. Sekretaris sidang dapat ditunjuk lansung oleh panitia sidang yang fungsinya sebagai
notulensi.
5. Anggota sidang ;
a. Peserta :
b. Peninjau ;
c. Pengunjung; dan
d. Undangan.
Bagian Keempat
Ketukan Palu
Pasal 7

1. Ketukan palu satu kali


a. Pengesahan;
b. Pergantian pimpinan sidang;
c. Mencabut kembali keputusan yang keliru (PK); dan
d. Pending.
2. Ketukan palu dua kali
a. Skorsing; dan
b. Mencabut skorsing.
3. Ketukan palu tiga kali
a. Membuka persidangan;
b. Mengesahkan putusan final; dan
c. Menutup persidangan.

BAB III
KETENTUAN PENUTUP

1. Segala sesuatu yang belum diatur dalam panduan sidang ini akan dipputuskan pada
kemudian hari.
2. Panduan persidangan ini dapat dijadikan acuan Lembaga Kemahasiswaan

Anda mungkin juga menyukai