Anda di halaman 1dari 33

BAGIAN ILMU ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN OKTOBER 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

MANAJEMEN NYERI

Oleh :

Nama : Evin Desmawan, S.Ked

NIM : K1A1 13 127

Pembimbing :

dr. Ahmad Safari Samud, M. Kes, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK

BAGIAN ILMU ANASTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Evin Desmawan


NIM : K1A1 13 127
Judul Refarat : Manajemen Nyeri
Program Studi : Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan tugas refarat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian
Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Oktober 2019


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ahmad Safari Samud, M.Kes., Sp.An


MANAJEMEN NYERI

Evin Desmawan, Ahmad Safari Samud

A. PENDAHULUAN

Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang

pertama muncul dan menjadi gejala paling dominan diantara pengalaman

sensorik lainnya yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri sendiri

dapat diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan

yang berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau hanya berupa potensi

kerusakan jaringan. Walaupun terdapat ketidaknyamanan dari suatu nyeri, tetapi

nyeri masih dapat diterima oleh seorang penderitanya sebagai suatu mekanisme

untuk menghindari keadaan yang berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh,

dan untuk mendorong suatu proses penyembuhan.1

Nyeri merupakan pengalaman yang subjektif, sama halnya saat seseorang

mencium bau harum atau busuk, mengecap manis atau asin, yang kesemuanya

merupakan persepsi panca indera dan dirasakan manusia sejak lahir. Walau

demikian, nyeri berbeda dengan stimulus panca indera, karena stimulus nyeri

merupakan suatu hal yang berasal dari kerusakan jaringan atau yang berpotensi

menyebabkan kerusakan jaringan. Fenomena ini dapat berbeda dalam intensitas

(ringan,sedang, berat), kualitas (tumpul, seperti terbakar, tajam), durasi (transien,

intermiten,persisten), dan penyebaran (superfisial atau dalam, terlokalisir atau

difus). Meskipun nyeri adalah suatu sensasi, nyeri memiliki komponen kognitif

1
dan emosional, yang digambarkan dalam suatu bentuk penderitaan. Nyeri juga

berkaitan dengan reflex menghindar dan perubahan output otonom.2

Oleh karena itu penulis membuat refarat ini untuk menjelaskan definisi

nyeri, klasifikasi nyeri, fisiologi nyeri, patofiologi nyeri dan tatalaksana nyeri.

B. DEFINISI NYERI

Nyeri didefinisikan oleh International Association For Study Of Pain

(IASP) sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau dapat dijelaskan

dalam hal kerusakan tersebut. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri dengan

onset baru dan kemungkinan durasi terbatas. Biasanya memiliki hubungan

temporal dan kausal yang dapat diidentifikasi dengan cedera atau penyakit.

Nyeri kronis umumnya bertahan di luar waktu penyembuhan cedera dan

seringkali tidak ada penyebab yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Pada

setiap individu, rasa nyeri merupakan hasil dari interaksi faktor biologis,

psikologis, lingkungan dan sosial. Pendekatan multidisiplin terintegrasi untuk

manajemen, yang juga mempertimbangkan preferensi pasien dan pengalaman

sebelumnya sangat dianjurkan.3

2
C. KLASIFIKASI NYERI

1. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi : 4

a. Nyeri somatik

Nyeri Somatik dapat diklasifikasikan lagi sebagai nyeri somatik superficial

dan nyeri somatik dalam. Nyeri somatik superfisial disebabkan oleh input

nosiseptif yang timbul dari kulit, jaringan subkutan, dan selaput lendir. Ini

secara khas terlokalisir dengan baik dan digambarkan sebagai sensasi yang

tajam, menusuk, berdenyut, atau terbakar. Nyeri somatik yang dalam

timbul dari otot, tendon, sendi, atau tulang. Berbeda dengan nyeri somatik

superfisial, biasanya memiliki kualitas yang tumpul, pegal-pegal dan

kurang terlokalisir dengan baik.

b. Nyeri Visceral

Bentuk visceral dari nyeri akut disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi

abnormal dari organ internal atau pembungkunsyan (misalnya, pleura

parietal, perikardium, atau peritoneum). Nyeri visceral disebabkan karena

distensi organ, spasme otot, traction, iskemik dan inflamasi. Sifat nyeri

visceral adalah tumpul, difus, dan kurang terlokalisir. Nyeri visceral sering

dikaitkan dengan aktivitas simpatis atau parasimpatis abnormal yang

menyebabkan mual, muntah, berkeringat, dan perubahan tekanan darah

dan detak jantung.

3
2. Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi : 5

a. Nyeri nosiseptif

Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi serabut A delta dan C-ke

nociceptors sebagai respons terhadap stimulus berbahaya (misalnya,

cedera, penyakit, peradangan). Nyeri yang timbul dari organ visceral

disebut nyeri visceral, sedangkan yang timbul dari jaringan seperti kulit,

otot, kapsul sendi, dan tulang disebut nyeri somatic.

b. Nyeri neuropati (Non-Nosiseptif)

Nyeri neuropatik disebabkan oleh pemrosesan sinyal yang

menyimpang di sistem saraf perifer atau pusat. Dengan kata lain, nyeri

neuropatik mencerminkan cedera atau gangguan sistem saraf. Penyebab

umum nyeri neuropatik meliputi trauma, peradangan, penyakit

metabolisme (misalnya, diabetes), infeksi (misalnya herpes zoster), tumor,

toksin, dan penyakit neurologis primer. Nyeri neuropatik dapat

dikategorikan sebagai perifer atau sentral. Nyeri neuropatik kadang-kadang

disebut nyeri "patologis" karena tidak melalui nosiseptor. Sensitisasi

memainkan peran penting dalam proses nyeri neuropati. Cedera saraf

memicu perubahan pada SSP yang dapat bertahan tanpa batas waktu. Nyeri

neuropatik dapat terus menerus atau episodic.

4
3. Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi: 6

a. Nyeri Akut

Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh

stimulasi berbahaya karena cedera, proses penyakit, atau fungsi abnormal

otot atau visceral. Mekanismenya melalui nosiseptif. Nyeri nosiseptif

berfungsi untuk mendeteksi, melokalisasi, dan membatasi kerusakan

jaringan. Bentuknya yang paling umum termasuk nyeri pasca trauma, pasca

operasi, dan kebidanan serta nyeri yang terkait dengan penyakit medis akut,

seperti infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Sebagian besar bentuk

nyeri akut sembuh sendiri atau sembuh dengan pengobatan dalam beberapa

hari atau minggu.

b. Nyeri kronik

Nyeri kronis pernah didefinisikan sebagai nyeri yang dialami 3 atau 6

bulan setelah onset atau melampaui periode penyembuhan yang

diharapkan. Namun, definisi baru membedakan nyeri kronis dari nyeri akut

berdasarkan lebih dari sekedar waktu. Nyeri kronis sekarang dikenal

sebagai nyeri yang melampaui periode penyembuhan, dengan tingkat

patologi yang teridentifikasi sering rendah dan tidak cukup untuk

menjelaskan keberadaan dan atau luasnya nyeri. Nyeri kronis juga

didefinisikan sebagai nyeri persisten yang “mengganggu tidur dan hidup

normal, dan sebaliknya menurunkan kesehatan dan kemampuan

fungsional. Jadi, tidak seperti nyeri akut, nyeri kronis tidak memiliki tujuan

5
adaptif atau fungsi perlindungan. Nyeri kronis dapat berupa nosiseptif,

neuropatik, atau keduanya dan disebabkan oleh cedera (misalnya trauma,

pembedahan), kondisi ganas, atau berbagai kondisi kronis yang tidak

mengancam jiwa (misalnya, artritis, fibromialgia, neuropati).

4. Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi : 4

a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas sehari

hari dan menjelang tidur.

b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya hilan

gbila penderita tidur.

c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak

dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.

D. FISIOLOGI NYERI

Nosiseptor merupakan suatu kelas aferen primer yang khusus

memberikan respon terhadap rangsangan yang intens dan berbahaya pada kulit,

otot, sendi, viseral, maupun pembuluh darah. Nosiseptor bersifat khas yang

secara khusus berespon terhadap berbagai bentuk energi yang menghasilkan

cedera (rangsangan panas, mekanis, dan kimiawi) serta memberikan informasi

pada sistem saraf pusat berkaitan dengan lokasi maupun intensitas rangsangan

yang berbahaya. Pada jaringan normal, nosiseptor tidak aktif sehingga

dirangsang oleh energi yang cukup untuk mencapai ambang rangsangan

(istirahat). Dengan demikian, nosiseptor mencegah perambatan sinyal acak

6
(fungsi penapisan) menuju sistem saraf pusat dalam interpretasi nyeri. Jenis

nosiseptor spesifik bereaksi terhadap jenis rangsangan yang berbeda.4

Mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel yaitu

nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas

ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera

jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses nyeri yaitu

tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.7

Gambar 1. Mekanisme Nyeri

7
1. Transduksi adalah suatu proses dimana akhiran saraf aferen

menerjemahkan stimulus (misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls

nosiseptif. Ada tiga tipe serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu

serabut A-beta, A-delta, dan C. Serabut yang berespon secara maksimal

terhadap stimulasi non noksius dikelompokkan sebagai serabut penghantar

nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini adalah A-delta dan C. Silent nociceptor,

juga terlibat dalam proses transduksi, merupakan serabut saraf aferen yang

tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal tanpa adanya mediator

inflamasi.6

2. Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu

dorsalis medula spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak.

Neuron aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal

elektrik dan kimiawi. Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis

dan selanjutnya berhubungan dengan banyak neuron spinal.6

3. Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related

neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis,

dan mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid

seperti mu, kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem

nosiseptif juga mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis,

hipotalamus, dan area otak lainnya ke otak tengah (midbrain) dan medula

oblongata, selanjutnya menuju medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi

8
desendens ini adalah penguatan, atau bahkan penghambatan (blok) sinyal

nosiseptif di kornu dorsalis.6

Proses modulasi terhadap transmisi nosiseptif terjadi pada beberapa

level (perifer, spinal, supraspinal). Namun secara historis, modulasi telah

dilihat sebagai pelemahan dari transmisi dorsal horn medulla spinalis

dengan menurunkan input penghambatan dari otak. Melzack dan Wall's Gate

Control Theory membawa gagasan ini ke public umum pada tahun 1965.

Beberapa daerah otak berkontribusi pada penurunan jalur penghambatan.

Serat saraf dari jalur ini melepaskan zat penghambat (misalnya, opioid

endogen, serotonin, norepinefrin, GABA) pada sinapsis dengan neuron lain

di dorsal horn medulla spinalis. Zat-zat ini mengikat reseptor pada aferen

primer dan atau neuron di dorsal horn medulla spinalis dan menghambat

transmisi nosiseptif. Modulasi endogen seperti itu dapat berkontribusi pada

variasi luas dalam persepsi nyeri yang diamati pada pasien dengan cedera

yang serupa.5

Dalam teori gate control modulasi nyeri, serat A delta yang membawa

informasi sensorik tentang rangsangan mekanik membantu menghambat

transmisi rasa sakit. Ab serat bersinaps pada interneuron penghambat dan

meningkatkan aktivitas penghambatan interneuron. Jika rangsangan

simultan mencapai penghambatan neuron dari serat A delta dan C, respons

terpadu adalah penghambatan sebagian dari jalur nyeri ascenden sehingga

rasa sakit yang dirasakan oleh otak berkurang. Teori gate control

9
menjelaskan mengapa menggosok siku yang terbentur atau tulang kering

mengurangi rasa sakit.7

4. Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi

merupakan hasil dari interaksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek

psikologis, dan karakteristik individu lainnya. Reseptor nyeri adalah organ

tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang

berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang

berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial merusak. 6

E. JALUR NYERI DI SISTEM SARAF PUSAT

a. Jalur Asenden

Serabut saraf C dan A delta halus, yang masing-masing membawa nyeri

akut tajam dan kronik lambat, bersinap disubstansia gelatinosa kornu

dorsalis, memotong medula spinalis dan naik ke otak di cabang

neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus spino

talamikus anterolateralis. Traktus neospinotalamikus yang terutama

diaktifkan oleh aferen perifer A delta, bersinap di nukleus ventropostero

lateralis (VPN) talamus dan melanjutkan diri secara langsung ke kortek

somato sensorik girus pasca sentralis, tempat nyeri dipersepsikan sebagai

sensasi yang tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang

terutama diaktifkan oleh aferen perifer serabt saraf C adalah suatu jalur

difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formatio retikularis batang otak

10
dan struktur lain. Serat-serat ini mempengaruhi hipotalamus dan sistem

limbik serta kortek serebri.8

b. Jalur Desenden

Salah satu jalur desenden yang telah di identifikasi adalah mencakup 3

komponen yaitu :

1. Bagian pertama adalah substansia grisea periaquaductus (PAG ) dan

substansia grisea periventrikel mesenssefalon dan pons bagian atas yang

mengelilingi aquaductus Sylvius.

2. Neuron-neuron di daerah satu mengirim impuls ke nukleus ravemaknus

(NRM) yang terletak di pons bagian bawah dan medula oblongata

bagian atas dannukleus retikularis paragigantoselularis (PGL) di

medula lateralis.

3. Impuls ditransmisikan ke bawah menuju kolumna dorsalis medula

spinalis ke suatu komplek inhibitorik nyeri yang terletak di kornu

dorsalis medula spinalis. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar

dibawah ini.8

11
Gambar 2. Jalur Asenden dan desenden

F. PATOFISIOLOGI NYERI SECARA UMUM

Rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas

tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh lesi jaringan.

Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein intraseluler .

Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan depolarisasi

nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan akan menginfiltrasi

mikroorganisme sehingga menyebabkan peradangan / inflamasi. Akibatnya,

mediator nyeri dilepaskan seperti leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin

yang akan merangsang nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak

berbahaya dapat menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia). Selain itu

12
lesi juga mengaktifkan faktor pembekuan darah sehingga bradikinin dan

serotonin akan terstimulasi dan merangsang nosiseptor. Jika terjadi oklusi

pembuluh darah maka akan terjadi iskemia yang akan menyebabkan akumulasi

K + ekstraseluler dan H + yang selanjutnya mengaktifkan nosiseptor. Histamin,

bradikinin, dan prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator dan meningkatkan

permeabilitas pembuluh darah. Hal ini menyebabkan edema lokal, tekanan

jaringan meningkat dan juga terjadi Perangsangan nosisepto. Bila nosiseptor

terangsang maka mereka melepaskan substansi peptida P (SP) dan kalsitonin

gen terkait peptida (CGRP), yang akan merangsang proses inflamasi dan juga

menghasilkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

Vasokonstriksi (oleh serotonin), diikuti oleh vasodilatasi, mungkin juga

bertanggung jawab untuk serangan migrain . Peransangan nosiseptor inilah

yang menyebabkan nyeri. Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawah ini.8

Gambar 3. Mekanisme nyeri perifer

13
G. NEUREGULATOR NYERI

Neuroregulator Nyeri Neuroregulator atau substansi yang berperan

dalam transmisi stimulus saraf dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu

neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls-

impuls elektrik melewati rongga sinaps antara dua serabut saraf, dan dapat

bersifat sebagai penghambat atau dapat pula mengeksitasi. Sedangkan

neuromodulator dipercaya bekerja secara tidak langsung dengan meningkatkan

atau menurunkan efek partikular neurotransmitter.8

Beberapa neuroregulator yang berperan dalam penghantaran impuls nyeri

antara lain adalah:

1. Neurotransmiter

a. Substansi P (Peptida) Ditemukan pada neuron nyeri di kornu dorsalis

(peptide eksitator) berfungsi untuk menstranmisi impuls nyeri dari perifer ke

otak dan dapat menyebabkan vasodilatasi dan edema.

b. Serotonin Dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat

transmisi nyeri.

c. Prostaglandin Dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel

dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel.

2. Neuromodulator

a. Endorfin (morfin endogen) Merupakan substansi sejenis morfin yang

disuplai oleh tubuh. Diaktivasi oleh daya stress dan nyeri. Terdapat pada otak,

spinal, dan traktus gastrointestinal. Berfungsi memberi efek analgesik

14
b. Bradikinin dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar pembuluh darah pada

daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada reseptor saraf perifer,

menyebabkan peningkatan stimulus nyeri dan bekerja pada sel, menyebabkan

reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin.8

H. PENILAIAN SKALA NYERI

Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai tingkat nyeri pada

seseorang yaitu : 9

1. Visual Analog Scale (VAS)

VAS adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala

linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin

dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm,

dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini

dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak

ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang

mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat

diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien

anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat

mudah dan sederhana. Namun, untuk periode pasca bedah, VAS tidak banyak

bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual dan motorik serta

kemampuan konsentrasi.

15
2. Verbal Rating Scale (VRS)

Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada skala

ini, sama seperti pada VAS. Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada

periode pascabedah, karena secara alami verbal/kata-kata tidak terlalu

mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal menggunakan kata

- kata dan bukan garis atau angka untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala

yang digunakan dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya

nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang,

cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi

pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.9

3. Numeric Rating Scale (NRS) dianggap sederhana dan mudah dimengerti,

sensitif terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada

VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah

keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak

16
memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan

dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek

analgesik.9

4. Woker Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat

menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka

5. McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Terdiri dari empat bagian:

 gambar nyeri,

 indeks nyeri

 pertanyaan pertanyaan mengenai nyeri terdahulu dan lokasinya;

 indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini.

17
Terdiri dari 78 kata sifat/ajektif, yang dibagi ke dalam 20 kelompok.

Setiap set mengandung sekitar 6 kata yang menggambarkan kualitas nyeri yang

makin meningkat. Kelompok 1 sampai 10 menggambarkan kualitas sensorik

nyeri (misalnya, waktu/temporal, lokasi/spatial, suhu/thermal). Kelompok 11

sampai 15 menggambarkan kualitas efektif nyeri (misalnya stres, takut, sifat-

sifat otonom). Kelompok 16 menggambarkan dimensi evaluasi dan kelompok

17 sampai 20 untuk keterangan lain-lain dan mencakup kata-kata spesifi k

untuk kondisi tertentu. Penilaian menggunakan angka diberikan untuk setiap

kata sifat dan kemudian dengan menjumlahkan semua angka berdasarkan 10

pilihan kata pasien maka akan diperoleh angka total. 9

6. Untuk pasien bayi 0-1 tahun, digunakan skala NIPS (Neonatal Infant Pain

Scale). Karena sistem neurologi belum berkembang sempurna saat bayi

dilahirkan. Sebagian besar perkembangan otak, mielinisasi sistem saraf pusat

dan perifer, terjadi selama tahun pertama kehidupan. Beberapa refleks primitif

sudah ada pada saat dilahirkan, termasuk refleks menarik diri ketika mendapat

stimulus nyeri. Bayi baru lahir seringkali memerlukan stimulus yang kuat untuk

menghasilkan respons dan kemudian dia akan merespons dengan cara menangis

dan menggerakan seluruh tubuh. Kemampuan melokalisasi tempat stimulus

dan untuk menghasilkan respons spesifik motorik anak anak berkembang

seiring dengan tingkat mielinisasi.9

18
7. Critical-care Pain Observational Tool (CPOT) merupakan instrument untuk

menilai nyeri pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal atau pasien

yang mengalami penurunan kesadaran. Instrument CPOT lebih efektif dari

instrument Wong Bekker dalam mengkaji nyeri pada saat istirahat dan saat

perubahan posisi pada pasien penurunan kesadaran. Indikator CPOT terdapat

ekspresi wajah, gerakan tubuh keteraturan terhadap ventilator untuk pasien

yang terintubasi, vokalisasi nyeri untuk pasien yang tidak terintubasi dan

ketegangan otot.

I. PENATALAKSANAAN

Secara umum terdapat modalitas dalam tatalsana nyeri, antara lain 10:

1. Modalitas terapi fisik : Pendinginan pada trauma akut, penghangatan pada

nyeri kronik, restriksi gerak seperti pada imobilisasi paska reposisi fraktura

dan metode akupuntur.

19
2. Modalitas Terapi psikologi : Seperti relaksasi, distraksi, hipnosis, dan

sebagainya.

3. Modalitas surgical : Seperti pada reposisi fraktur, insisi abses, eksisi tumor,

dan intevensi bedah saraf pada kordotomi, talamotomi, dan sebagainya.

4. Modalitas terapi farmakologik : seperti penggunaan paracetamol dan Non

Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAID), Opioid, Adjuvan (anti konvulsi

dan anti depresi.

5. Modalitas blok saraf perifer dan saraf sentral 10.

Nyeri Akut

Opioid Kuat
NSAID ±
Analgesik Adjuvan
NSAID ±
Analgesik Adjuvan
± Opioid lemah Berat
Paracetamol atau
NSAID ±
Analgesik Adjuvan Sedang

Ringan
Nyeri Kronik

Gambar 4 . Three Step Analgesic Ladder 10

Analgesia digunakan untuk mengurangi atau mengendalikan rasa sakit.

Di antara kelas obat yang paling banyak digunakan dalam pengobatan nyeri

adalah obat antiinflamasi non-steroid, opioid dan anestesi lokal . Analgesik

yang paling umum digunakan pada periode pasca operasi adalah

acetaminophen, dipyrone, dan parasetamol yang mengurangi hiperalgesia

20
primer. Jenis analgesia ini diindikasikan untuk mengurangi rasa sakit yang lebih

ringan dan jangka pendek. Sebaliknya, obat antiinflamasi non-steroid (NSAID)

dan opioid lebih sering merupakan agen analgesik pada nyeri yang lebih parah,

karena mereka bertindak dalam struktur perifer dan sentral, opioid yang paling

umum digunakan adalah Tramadol, Meperidine, Morphine, Propoxyphene.

NSAID yang paling sering digunakan adalah ibuprofen dan asam

asetilsalisilat.11

a. Non Steroid Antiinflamatory Drugs (NSAID)

Cyclooxygenase Analgesik nonopioid oral termasuk salisilat,

asetaminofen, dan NSAID. Agen-agen ini menghambat sintesis prostaglandin

(COX) dan memiliki berbagai sifat analgesik, antipiretik, dan antiinflamasi.

Asetaminofen tidak memiliki aktivitas antiinflamasi yang signifikan. Analgesia

disebabkan oleh blokade sintesis prostaglandin, yang membuat peka dan

memperkuat input nosiseptif. Beberapa jenis rasa sakit, terutama rasa sakit

selama operasi ortopedi dan ginekologi, merespon dengan sangat baik terhadap

agen-agen ini, menunjukkan peran penting untuk prostaglandin. Inhibitor COX

kemungkinan memiliki aksi sistem saraf perifer dan sentral yang penting.12

Ketorolak IV banyak digunakan selama periode perioperatif untuk

pengobatan nyeri akut jangka pendek dan sebagai tambahan untuk opioid untuk

perawatan nyeri postoperatif sedang hingga berat. Manfaat maksimal terjadi

ketika NSAID dilanjutkan selama 3 sampai 5 hari pasca operasi. Penambahan

NSAID ke opioid sistemik mengurangi intensitas nyeri pasca operasi,

21
mengurangi kebutuhan opioid, dan mengurangi efek samping opioid, seperti

mual dan muntah pasca operasi dan depresi pernapasan. NSAID adalah

komponen kunci dari analgesia multimodal tetapi umumnya tidak memadai

sebagai agen analgesik tunggal dalam mengendalikan rasa sakit pasca operasi

yang parah. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan opioid, NSAID

meningkatkan analgesia, mengurangi konsumsi opioid, dan mengurangi

insiden efek samping terkait opioid, seperti mual pasca operasi, muntah, dan

sedasi.12

NSAID meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal dan

perdarahan pasca operasi, penurunan fungsi ginjal , gangguan penyembuhan

luka, dan risiko kebocoran anastomosis. Oleh karena itu, penggunaannya harus

dipandu oleh jenis operasi yang dilakukan dan melalui konsultasi antara tim

22
bedah dan anestesi. Inhibitor COX-2 juga mengurangi nyeri pasca operasi,

dengan risiko disfungsi dan perdarahan trombosit yang berhubungan dengan

OAINS, tetapi berhubungan dengan risiko kardiovaskular pada periode

perioperatif. Risiko efek ginjal yang merugikan dari NSAID nonselektif dan

inhibitor COX-2 meningkat di hadapan gangguan ginjal yang sudah ada

sebelumnya, hipovolemia, hipotensi, dan penggunaan agen nefrotoksik lainnya

dan inhibitor enzim pengubah angiotensin.12

b. Opioid

Opioid masih merupakan kelas obat yang efektif yang digunakan untuk

pengobatan nyeri akut dan digunakan sendiri dikombinasikan dengan kelas

analgesik lain dalam pendekatan multimodal untuk kontrol nyeri akut.

Umumnya, opioid parenteral diberikan selama 24-48 jam pertama setelah

operasi ketika nyeri cenderung parah dan pasien kurang mampu mentoleransi

obat oral. Kemudian, opioid oral diperkenalkan ketika pasien dapat

mentoleransi PO dan menggantikan opioid parenteral. Mekanisme aksi opioid

melibatkan agonisme reseptor di SSP, sedangkan efek sampingnya disebabkan

agonis reseptor di tempat lain di tubuh, termasuk saluran GI (konstipasi) dan

sistem kemih (retensi urin). Depresi pernapasan adalah yang paling ditakuti dari

efek samping opioid, dan memang demikian, karena ini adalah efek samping

yang berpotensi fatal. Pilihan opioid sangat tergantung pada keakraban dan

preferensi dokter yang merawat seperti pada perbedaan farmakologi yang

secara umum tidak kentara di antara obat-obatan ini.12

23
a) Morphine adalah alkaloid opioid pertama yang diidentifikasi, dan

merupakan opioid standar yang sering dibandingkan dengan opioid lain. Ini

tersedia dalam bentuk PO, IV, epidural, dan intratekal. Morfin adalah opioid

lipofilik yang paling sedikit dengan bioavailabilitas oral 17-33%. Dengan

demikian, dosis oral umumnya tiga kali dosis intravena. Pemberian IV

memberikan onset pada 5-10 menit dengan efek puncak pada 20 menit.

Ketika diminum, morfin pelepasan segera memiliki onset 30 menit dan

mencapai efek puncak setelah 1 jam. Durasi normal dari dosis standar (10

mg) adalah 3-4 jam. Formulasi morfin extended-release lebih jarang

digunakan untuk manajemen nyeri akut dengan pengecualian pasien toleran

opioid. Dosis awal yang khas untuk pasien naif opioid: PO 10-20 mg, IVP

2-4 mg, PCA 1-2 mg q15m. Morfin dimetabolisme oleh konjugasi hati dan

diekskresikan dalam urin dan feses. Morphine-6-glucuronide (M6G) adalah

metabolit aktif dengan waktu paruh yang lama dibandingkan dengan morfin.

M6G dapat menumpuk, terutama pada pasien dengan insufisiensi ginjal,

24
menyebabkan tanda-tanda klinis overdosis opioid. Morphine-3-glucoronide

adalah metabolit utama kedua dan diduga terlibat dalam menyebabkan

tanda-tanda klinis neurotoksisitas (misalnya, mioklonus, agitasi). Morfin

menginduksi pelepasan histamin, dan injeksi bolus yang cepat dapat

menghasilkan eritema lokal, hipotensi, atau jarang, bronkospasme. Morfin

dapat menyebabkan spasme empedu dan saluran kemih, meskipun penelitian

baru-baru ini menunjukkan bahwa ini adalah efek kelas opioid, tidak secara

khusus merupakan efek morfin.12

b) Codeine adalah bentuk morfin teretilasi dengan analgesia lemah hingga

sedang. Kodein hanya tersedia untuk penggunaan oral dan umumnya

ditemukan dalam analgesik kombinasi seperti Tylenol 3 (asetaminofen

dengan kodein). Mungkin ada lebih banyak variabilitas genetik dalam respon

analgesik terhadap kodein dibandingkan opioid lain karena perbedaan

metabolisme. Dosis tipikal adalah 30-60 mg PO. Codeine memiliki waktu

onset PO 30-60 menit, efek puncak pada 1,5 jam, dan durasi aksi 4-5 jam.

Kodein dimetabolisme menjadi morfin melalui CYP2D6, yang berkontribusi

terhadap variabel analgesia kodein di antara populasi. Secara khusus,

ultrametabolizers (yang memiliki lebih dari dua salinan fungsional dari alel

CYP2D6) berada pada peningkatan risiko toksisitas morfin. Induser seperti

rifampisin dan deksametason juga dapat meningkatkan konversi menjadi

morfin. Ada juga sejumlah obat yang menghambat CYP2D6, termasuk

SSRI, buproprion, dan duloxetine. Pasien dengan CYP2D6 yang dihambat

25
mungkin tidak memiliki analgesia dengan kodein. Sembelit dan kantuk

adalah masalah yang paling umum terlihat pada kodein. 12

c) Oksikodon biasanya digunakan untuk pengobatan nyeri akut yang cukup

berat.. Oksikodon 1,5 kali lebih kuat daripada morfin oralOxycodone

memiliki onset aksi 1 jam, level puncak dalam 3 jam, dan durasi aksi 8-12

jam. Dosis tipikal adalah 5-10 mg setiap 4 jam. Metabolisme - oksikodon

dimetabolisme di hati oleh sistem CYP450 menjadi beberapa metabolit aktif

termasuk oxymorphone yang lebih kuat, dan dihilangkan oleh ginjal sebagai

metabolit. Oxycodone menunjukkan efek samping opioid yang umum. 13

d) Fentanyl, Fentanyl adalah opioid sintetis, yang 50 hingga 80 kali lebih kuat

daripada morfin. Ini memiliki onset cepat dalam 5-7 menit, dengan durasi

singkat hanya sekitar 1 jam. Fentanyl IV dapat menjadi sangat efektif ketika

analgesia cepat diperlukan, seperti di unit perawatan postanesthesia atau

ICU. Fentanil transdermal adalah suatu alternatif untuk preparasi oral morfin

dan oksikodon yang berkelanjutan. Tambalan ini memiliki reservoir obat,

yang dipisahkan dari kulit oleh membran pembatas laju mikro, dan

menyediakan obat yang bertahan selama 2 hingga 3 hari. Penyerapan

fentanil berlangsung selama beberapa jam, bahkan setelah patch

dihilangkan. Kerugian dari rute transdermal termasuk lambatnya onset dan

ketidakmampuan untuk mengubah dosis dengan cepat, karena kadar fentanyl

darah meningkat dan dataran tinggi pada 12 hingga 40 jam. Peringatan

keamanan telah dikeluarkan peringatan terhadap penggunaan patch fentanyl

26
pada pasien naif opioid, dan peningkatan kadar fentanyl serum yang

berpotensi berbahaya terjadi dengan peningkatan suhu tubuh atau paparan

patch pada sumber panas eksternal.12

e) Tramadol adalah obat yang berguna untuk nyeri ringan hingga sedang,

terutama pada pasien yang menolak opioid lain atau mentolerirnya dengan

buruk. Ini tersedia secara lisan di Amerika Serikat. Tramadol adalah obat

yang menarik dengan aktivitas opioid yang lemah dan tambahan

norepinefrin dan serotonin reuptake. Tramadol memiliki onset aksi 20-30

menit dan perkiraan durasi 4-6 jam. Tramadol mengalami metabolisme hati

melalui isoenzim sitokrom P450 CYP2B6, CYP2D6, dan CYP3A4 menjadi

metabolit aktif. O-Desmethyltramadol adalah yang paling signifikan karena

memiliki 200 kali afinitas (+) - tramadol, dan selanjutnya memiliki waktu

paruh eliminasi sembilan jam, dibandingkan dengan enam jam untuk

tramadol itu sendiri. Efek samping unik terkait dengan tramadol termasuk

kejang (terutama pada 400 mg/hari), dan peningkatan risiko sindrom

serotonin. Dibandingkan dengan opioid lain, risiko sembelit dan depresi

pernapasan lebih sedikit. 12

c. Infiltrasi Anestesi Lokal.

Infiltrasi langsung dari sayatan atau blok lapangan dengan anestesi lokal

adalah metode yang mudah dan aman untuk mencapai baik pereda nyeri pasca

operasi yang. Blok saraf Ilioinguinal dan femoralis dapat digunakan untuk

perbaikan hernia dan prosedur skrotum, dan blok penis dapat digunakan dengan

27
sunat. Analgesia seringkali lebih lama dari durasi farmakokinetik anestesi lokal.

Lebih disukai untuk memberikan anestesi lokal sebelum operasi untuk

menghasilkan efek analgesik preemptive. Suntikan anestesi lokal, opioid, atau

kombinasi intraarticular tampaknya efektif untuk banyak pasien yang

mengikuti prosedur arthroscopic.13

d. Adjuvan Terapi

Analgesik konvensional dapat dilengkapi dengan obat tambahan yang

memiliki mekanisme aksi berbeda. Manajemen nyeri pasca operasi sering

dibatasi oleh efek samping seperti mual dan muntah. Agen-agen ini dapat

bertindak secara sinergis untuk meningkatkan analgesia dan mengurangi dosis

analgesik konvensional yang diperlukan. Obat ini seperti anti konvulsi, anti

depresi, neuroleptic dan kortikosteroid.13

a) Clonidine

A2 agonis adrenergik (oral, IV, epidural, atau spinal biasanya 1-3mcg

/ kg) kadang diberikan sebelum operasi dan memiliki sejumlah tindakan

bermanfaat termasuk analgesia seperti opioid tanpa beberapa efek samping

opioid-ergic yang khas.13

 Sedasi dan ansiolisis.

 Efek anestesi dan hemat opioid.

 Menurunkan tekanan darah arteri dan detak jantung.

28
 Tidak menghasilkan depresi pernapasan, gatal, atau retensi urin.

 Mencegah menggigil pasca operasi.

 Mengurangi mual dan muntah.

 Efek analgesik pasca operasi yang berlangsung lama.

 Apakah memperpanjang ileus pasca operasi.

b) Dexamethasone

Sebuah glukokortikoid yang telah digunakan secara luas untuk

mengurangi pembengkakan setelah pembedahan dan telah ditemukan analgesik

untuk beberapa prosedur.13

 Beberapa jenis nyeri pasca operasi berkurang, misalnya tonsilektomi.

 Ada bukti kuat untuk pengurangan mual dan muntah pasca operasi (PONV).

 Mengurangi waktu pemulihan.

 Melemahkan respons inflamasi (protein C-reaktif, interleukin-6).

 Efek hemat opioid telah ditunjukkan.

 Meskipun penggunaan steroid yang berkepanjangan dikaitkan dengan

morbiditas, bukti yang ada menunjukkan bahwa dosis tunggal relatif aman.

c) Ketamine (IV, IM, atau SC)

Ketamine adalah antagonis NMDA dengan profil farmakodinamik yang

berguna sebagai agen anestesi atau analgesik. Reseptor NMDA terlibat dalam

sensitisasi sirkuit nyeri dan oleh karena itu antagonis secara rasional digunakan

29
sebagai pembantu analgesik. Ketamin dalam dosis subanaesthetic efektif dalam

mengurangi kebutuhan morfin dalam 24 jam pertama setelah operasi. Efek

samping biasanya ringan tetapi dapat bermanifestasi sebagai gejala

psikomimetik. Peran ketamin untuk analgesia pasca operasi dapat berguna

untuk kasus-kasus yang menantang (terutama dengan infus dosis rendah) tetapi

penggunaan rutinnya masih dapat diperdebatkan.13

Ketamin dapat digunakan sebagai antihyperalgesik pada periode

perioperatif. Meskipun secara tradisional digunakan secara intraoperatif,

ketamin dosis rendah semakin banyak diberikan untuk analgesia postoperatif.

Dosis subanestetik praoperatif telah terbukti mengurangi kebutuhan opioid dan

mengurangi intensitas nyeri yang dilaporkan. Pada dosis rendah yang

digunakan pada periode pasca operasi, ketamin tidak menghasilkan halusinasi

atau gangguan kognitif yang sering terlihat dengan dosis tinggi.14

d) Gabapentin / pregabalin

Obat-obatan antiepilepsi ini awalnya hanya diindikasikan untuk

pengobatan nyeri dengan komponen neuropatik. Namun, penelitian terbaru

dalam pengaturan perioperatif telah menunjukkan efek opioid-sparing yang

konsisten dengan beberapa pengurangan efek samping. Ada juga harapan

bahwa mungkin ada pengurangan yang sesuai pada nyeri kronis yang menyertai

penggunaan perioperatif mereka tetapi ini belum dibuktikan.12

30
31

Anda mungkin juga menyukai