Anda di halaman 1dari 3

Hal 1

Konsep keamanan seringkali dipandang secara generik sebagai keamanan nasional yang lebih
bersifat state-centric dan fisik. Namun Barry Buzan dalam bukunya People, State and Fear
menjelaskan bahwa konsep ini sebenarnya dapat diperdebatkan melalui proses politisasi dan
sekuritisasi.

Hal 2

Reformasi dan Pengarusutamaan Jender di Indonesia

Stereotipe jender yang kerap dilekatkan pada perempuan sebagai makhluk yang lemah dan tidak
bisa ikut terlibat pembuatan kebijakan negara (karena dianggap kurang pendidikan atau emosional)
membuat adanya peminggiran perempuan dari isu-isu keamanan. Oleh karena itu penting untuk
melakukan pengarusutamaan jender di sektor keamanan untuk menciptakan akses bagi representasi
yang adil bagi perempuan di parlemen dan juga keterlibatannya pada aktor-aktor keamanan.

Hal 3

Pengarusutamaan jender adalah usaha untuk memasukkan perspektif jender ke dalam berbagai
bidang kehidupan dan pembangunan negara sehingga tercapai kesetaraan dan kebijakan publik yang
tidak diskriminatif, khususnya untuk perempuan. Pemikiran ini lahir tahun 1985 di Konferensi
Perempuan Sedunia di Nairobi dan baru menjadi komitmen internasional pada tahun 1995 ada Beijing
Platform of Action. Konsepnya sendiri dirumuskan oleh Badan Ekonomi dan Sosial PBB (UN-ECOSOC)
untuk menilai implikasi kebijakan publik (legislasi, kebijakan dan program) di semua bidang dan
tingkatan, baik bagi perempuan dan laki-laki.[2]

Hal 4

Di Indonesia, kesadaran ini baru terjadi paska-reformasi saat Presiden Abdurrahman Wahid
mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender dalam
Pembangunan Nasional. Isinya adalah untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip kesetaraan gender dan
keadilan gender ke dalam perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas
kebijakan dan program pembangunan nasional. Referensi Inpres ini adalah UU No. 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan. Namun pelaksanaan baik UU dan Inpres tersebut belumlah berjalan semestinya,
khususnya dalam sektor pertahanan keamanan.

Hal 5

Berdasarkan landasan Inpres Nomor 7 tahun 2018 tentang Rencana Aksi Nela Negara Tahun 2018 –
2019 yang mewajibkan pelaksanaan Rencana Aksi Bela Negara Tahun 2018 – 2019 bahwa setiap
warga negara tidak terkecuali perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan bela
negara.
Berkenaan dengan posisi strategis kaum perempuan dalam usaha-usaha bela negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah sepatutnya mereka memiliki kesadaran bela negara.

Hal 6

Selanjutnya, Menlu RI menyampaikan 3 (tiga) saran untuk memastikan bahwa keterlibatan


perempuan dalam bidang pertahanan, keamanan dan perdamaian. Pertama, menekankan
pentingnya peranan perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi. Kedua, menggandakan
upaya untuk mengarusutamakan peran perempuan dalam agenda perdamaian di Kawasan. Ketiga,
membangun dan membina jaringan negosiator dan mediator perempuan di Kawasan.

Hal 7

Untuk mewujudkan ketiga hal tersebut, Kementerian Luar Negeri telah menyelenggarakan
Pelatihan mengenai Perempuan, Perdamaian dan Keamanan bagi sekita 60 diplomat perempuan
dari negara anggota ASEAN, Timor Leste dan Papua Nugini. Kegiatan bertujuan untuk menjadi
wadah pembelajaran dan berbagi best practices bagi diplomat muda wanita dalam membangun
kapasitas untuk menganalisa dan mencegah konflik, serta membangun perdamaian pasca konflik.

Hal 8

Pelatihan ini juga berupaya selaras dengan komitmen Indonesia yang saat ini menjadi anggota tidak
tetap Dewan Keamanan PBB dan komitmen ASEAN sebagaimana tercantum dalam “Joint Statement
on Promoting Women, Peace and Security in ASEAN" yang diadopsi oleh para pemimpin ASEAN
pada 13 November 2017 dalam KTT ASEAN ke-31 di Filipina.

Hal 9

Dalam konteks yang lebih luas, perempuan juga memainkan peran kunci dalam mempertahankan
Keamanan melalui peran mereka di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Terlebih lagi, penelitian UN
Women menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam negosiasi perdamaian meningkatkan
kemungkinan perdamaian berkelanjutan sebesar 20%.

Hal 10

Namun, terlepas dari kontribusi penting perempuan dalam pertahanan, keamanan, dan
perdamaian, keterwakilan dan peran perempuan masih belum memadai dalam berbagai fase proses
pertahanan dan keamanan. Melihat hal ini, ada kebutuhan krusial untuk secara aktif mendukung
partisipasi perempuan dalam proses perdamaian berkelanjutan sebelum, selama dan setelah
konflik.

Anda mungkin juga menyukai