Anda di halaman 1dari 11

AL-’INAD (PEMBANGKANGAN DALAM JAMA’AH DAKWAH)

Posted on 7 April 2018By Tarbawiyah


Definisi Al-‘Inad

Dalam Mu’jam Ma’anil Jami’ dan Qamus Mu’jam Al-Wasith disebutkan makna
al-‘Inad adalah katsirul khilaf, yakni banyak berbeda pendapat, berselisih,
bertentangan, dan melakukan kontroversi. Sedangkan dalam Kamus
Mutarjim, al-Inad diartikan sikap keras kepala dan keras hati.

Dalam konteks pembahasan kita saat ini yang dimaksud al-‘inad adalah
sebuah sikap dan ucapan seseorang untuk mengungkapkan penolakannya—
langsung atau tidak langsung—terhadap apa yang diinginkan atasan nya. Al-
‘inad bisa pula dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya, seorang istri
terhadap suaminya, seorang murid kepada gurunya, atau seorang jundi
(prajurit) kepada qiyadah (komandan)-nya.

Namun adakalanya al-Inad itu bermakna positif jika dibangun di atas kaidah
yang benar dan didukung dalil yang kuat yang tidak ada keraguan di
dalamnya serta tidak ada syubuhat, juga tidak didorong oleh hawa nafsu.
Itulah sikap yang di dalam syariah disebut ats-tsabat ‘alal-haq (tegar dan
teguh pendirian dalam kebenaran).

Jadi, al-‘inad (sikap berselisih, menyimpang, atau membangkang) bermakna


negatif serta tercela manakala didorong oleh hawa nafsu, kesombongan, dan
sikap tidak mau tahu terhadap dalil-dalil yang jelas, serta tidak memiliki
ruang dalam pikirannya tentang kemungkinan benarnya argumen qiyadah-nya
serta kesalahan argumen yang dipilihnya.

Kisah Pembangkangan Pertama dalam Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun

Jama’ah Al-Ikhwan adalah organisasi dakwah di Mesir yang didirikan oleh


Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah, yang disebut-sebut sebagai
organisasi Islam terbesar abad ini. Jama’ah ini memiliki sejarah panjang di
medan dakwah. Mereka telah melewati berbagai macam dinamika perjuangan
dakwah, serta merasakan jatuh bangun di dalamnya. Banyak sekali
pengalaman-pengalaman dakwah mereka yang bisa kita ambil ibrah-nya.

Suatu saat ketika Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah akan


meninggalkan Ismailiyyah, para ikhwah mendesak beliau agar dipilih seorang
Na’ib Mursyid (wakil mursyid) yang akan menggantikan memimpin mereka
dalam melaksanakan aktivitas jama’ah. Beliau kemudian mengajukan Al-Akh
Ali Jadawa, karena dua alasan:

Ali Jadawa adalah salah seorang Ikhwan yang paling mulia akhlak dan
agamanya, mempunyai kadar ilmu dan pengetahuan yang memadai, fasih
dalam membaca Al-Qur’an, pandai berdiskusi, serta tekun belajar dan
membaca.
Beliau juga termasuk seseorang yang paling awal menyambut dakwah, paling
dekat di hati para ikhwan, dan paling dicintai oleh mereka.
Akhirnya Syaikh Ali Jadawa terpilih secara aklamasi, meski ia hanyalah
seorang tukang kayu. Namun ada seorang Syaikh yang merasa lebih mampu
dari Ali Jadawa karena ia sarjana, pandai menggubah syair, jago pidato dan
berbicara, serta mengerti bagaimana cara menyebarkan dakwah dan
berhubungan dengan masyarakat. Semua itu tidak ada pada di diri Ali
Jadawa.

Maka terjadilah konspirasi pertama untuk melawan Jama’ah dengan


dilakukannya kasak-kusuk oleh Syaikh Fulan ini ke berbagai ikhwah dibantu
oleh ikhwah yang dekat dengannya. Saat itu ikhwah terbagi menjadi dua:
kelompok yang menasihatinya dan kelompok kecil yang bersimpati dan
terpengaruh oleh ucapan Syaikh.

Imam As-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mencoba memanggil ikhwah


yang terpengaruh dan menasihatinya tetapi tidak mempan. Setan telah
menghiasi persepsi mereka sehingga tindakan pembangkangan ini terlihat
indah karena dibungkus dengan slogan: “Demi Kemaslahatan Da’wah”.
Mereka menuntut dilakukan pemilihan ulang na’ib mursyid dengan alasan
saat pemilihan yang dilakukan sebelumnya belum memenuhi kuorum. Selain
itu, undangan proses pemilihan yang disebar pun dianggap terlalu mendadak
dan tidak jelas tujuannya sehingga tidak banyak yang hadir.
Akhirnya Imam As-Syahid menyetujui pemilihan ulang, dimana hal ini
merupakan kejadian baru dan asing bagi Ikhwan yang tidak mengenal kecuali
kebulatan pendapat dan persatuan yang sempurna.

Pemilihan ulang naib mursyid pun dilakukan. Saat itu banyak sekali ikhwah
hadir hingga lebih dari 500 orang, dan hasilnya mencengangkan: Selain empat
orang pendukung Syaikh Fulan yang membangkang, para ikhwah secara
aklamasi tetap memilih Al-Akh Ali Jadawa. Empat orang pembangkang itu
ternyata tetap tidak terima dan memaksakan kehendak melawan 500 orang
ikhwah lainnya. Mereka tetap merasa benar dalam sikapnya.

Sebelum pemilihan ulang, Imam As-Syahid sudah berpesan kepada Ali


Jadawa, jika ia terpilih lagi, ia diminta untuk mengumumkan bahwa ia akan
bekerja secara sukarela—tidak digaji, meski ia harus meninggalkan
pekerjaannya. Maka setelah terpilih kembali ia pun mengumumkan hal
tersebut. Setelah pemilihan selesai ternyata para ikhwah banyak mendatangi
Imam As-Syahid untuk menawarkan hartanya sebagai modal usaha bagi Ali
Jadawa. Beliau berterima kasih kepada mereka, tetapi Jamaah sudah
menyiapkan toko di samping masjid milik jama’ah, untuk dikelola Ali Jadawa
sementara ia tetap berada di dekat masjid dan rumah.

Sementara itu setelah pemilihan, empat orang pembangkang menemui Syaikh


Fulan. Mereka mulai mempelajari apa yang baru saja terjadi. Mereka
kemudian bersepakat menyebarkan keburukan dakwah dan Jama’ah ini
dengan kemasan ‘nasihat dan keprihatinan’. Mereka menyebarluaskan opini:
Penyerahan tugas kepada salah seorang Al-Akh di masa seperti ini adalah
bahaya bagi dakwah! Mereka kemudian mengangkat kasus adanya hutang
jama’ah kepada pengusaha material ketika membangun masjid dan kantor
sekretariat Ikhwan. Mereka menebarkan opini, seharusnya kepemimpinan
diserahkan kepada orang yang berpunya (Syaikh mereka) bukan kepada yang
tidak berpunya, yakni Ali Jadawa. Maka Imam As-Syahid Hasan Al-Banna
rahimahullah merespon hal itu dengan berusaha menyelesaikan masalah
hutang ini sendiri.

Mendengar keadaan seperti itu, Syaikh Muhammad Husain Zamalut


mengundang para ikhwah ke rumahnya, mereka kemudian berlomba-lomba
mengumpulkan uang lebih dari 400 junaih sehingga bisa melunasi hutang
Jama’ah sebesar 350 junaih, dan sisanya dimasukkan kedalam kas Jama’ah.
Setelah itu berturut-turut muncul berbagai sumbangan sehingga kas Jama’ah
menjadi besar.

Hal ini ternyata malah meningkatkan permusuhan dari pihak pembangkang.


Bukannya tersentuh dengan sikap ikhwah yang berlomba-lomba menolong
Jama’ah, tapi mereka malah bertambah sengit permusuhannya kepada
Jama’ah. Mereka mengirim surat pernyataan kepada pimpinan cabang
Ismailiyah berisi tuduhan bahwa Syaikh Hasan Al-Banna telah menghambur-
hamburkan dana Jamaah dan dikirimkannya kepada saudaranya yang
menjadi Naib Ikhwan di Kairo, juga ke Port Said dan Abu Shuwair. Mereka
menuntut kepada kepala bagian yang bertanggung jawab melindungi harta,
untuk turun tangan dan mencegah ‘penghamburan dana’ tersebut.

Sebagai Pimpinan Cabang, Ustadz Mahmud Mujahid lalu memanggil pengirim


surat untuk meluruskan sikap mereka. Tapi sang pembangkang malah makin
menjadi-jadi hingga berkata, “Ya Tuhan! Seandainya ia (Hasan Al-Banna)
mengatakan, ‘Saya mengambil uang ini untuk kepentinganku sendiri,’ mereka
pun pasti menyetujuinya dengan senang hati. Demikian itu karena ia telah
menyihir mereka, maka mereka selalu menyetujui apa saja yang
dilakukannya, tanpa pikir panjang.”

Ustadz Mahmud Mujahid berkata, “Wahai Fulan! Kamu adalah pemuda yang
tampak sebagai orang yang tulus, tetapi kamu telah melakukan kesalahan
besar. Nasihatku kepadamu, kembalilah kepada Jama’ah dan bekerjalah
bersama mereka jika kamu menghendaki, lalu tinggalkanlah pikiran-pikiran
ini. Jika kamu tidak menyukai keadaan mereka, maka duduklah di rumah,
berkonsentrasilah dengan pekerjaan kamu, dan biarkan saja mereka bekerja.
Ini lebih baik bagi kamu jika menginginkan nasihat.” Sang pembangkang pun
lalu pergi.

Mengetahui keadaan ini, Syaikh Askariah datang dari Syibrakhit dan berusaha
menjadi penengah untuk mengembalikan mereka kepada Jama’ah. Tetapi
mereka ternyata tidak berkehendak kecuali membangkang. Maka beliau
berkata kepada Hasan Al-Banna, “Tidak ada kebaikan lagi pada mereka.
Mereka sudah tidak memiliki kesadaran tentang ketinggian nilai dakwah dan
tidak memiliki keyakinan terhadap kewajiban untuk mentaati pemimpin.
Barangsiapa kehilangan dua hal yang vital ini, maka tidak ada lagi kebaikan
dalam dirinya jika ia berada dalam barisan kita. Biarkanlah mereka dan
teruslah melanjutkan perjalanan Anda. Dan Allah adalah tempat memohon
pertolongan.”

Petikan kisah nyata di atas mengandung ibrah tentang al-inad. Semoga kita
dapat mengambil hikmahnya.

Sebab-sebab Munculnya Al-‘Inad

Pertama, merasa memiliki independensi atau kemandirian diri (as-syu’ur bi


istiqlaliyyati adz-dzat), bisa jadi karena kelebihan ilmu, harta, kekuatan, dan
kedudukan sosial serta ketokohan yang dimilikinya. Ia lalu melakukan tahyiin
(menganggap enteng atau menyepelekan) terhadap jamaah dakwah yang
diikutinya.

Marilah mengambil ibrah dari kisah anak Nabi Nuh ‘alaihis salam yang
melakukan pembangkangan terhadap dakwah, bahkan sampai akhir
hayatnya, karena merasa dirinya kuat. Allah Ta’ala menceritakan hal ini dalam
Al-Qur’an,

َ ‫ل َم ْوجَ فِي ِب ِه َْم تَجْ ِري َوه‬


َ‫ِي‬ َِ ‫اركَبَْ بُنَيَ يَا َم ْع ِزلَ فِي َوكَانََ ا ْبنَ َهُ نُوحَ َونَادَى ك َْال ِجبَا‬ ْ ‫ن َو َلَ َم َعنَا‬ َْ ‫ل ْالكَافِ ِرينََ َم ََع ت َ ُك‬
ََ ‫قَا‬
َ
‫سآ ِوي‬ َ
َ ‫ص ُمنِي َجبَلَ إِلى‬ ِ ‫اء ِمنََ يَ ْع‬ ْ
َِ ‫ل ال َم‬ََ ‫ل قَا‬
َ َ ‫اص ََم‬ ْ َ
َْ ‫ّللاِ أ ْم َِر ِم‬
ِ ‫ن اليَ ْو ََم َع‬ َْ ‫ل َر ِح ََم َم‬
َ َ‫ن إِل‬ ََ ‫ج بَ ْي َن ُه َما َو َحا‬ َُ ‫ْال ُم ْغ َرقَِينََ ِمنََ فَكَانََ ال َم ْو‬
ْ

“…dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana


gunung, dan Nuh memanggil anaknya,[1] sedang anak itu berada di tempat
yang jauh terpencil: ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’ Anaknya menjawab:
‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkanku
dari air bah!” Nuh berkata: ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah
selain Allah (saja) yang Maha Penyayang’, lalu gelombang menjadi penghalang
antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang
ditenggelamkan.” (QS. Huud, 11: 42 – 43)

Kedua, adanya persepsi yang salah yang terbangun dalam dirinya hingga
mengharuskan orang lain mengikuti persepsi dan keinginannya.
Ketiga, adanya ketidak-jelasan dalam mafahim tarbawiyyah, misalnya terkait
pemahaman tentang ats-tsawabit wal mutaghayyirat (mana perkara-perkara
baku, dan mana perkara-perkarayang fleksibel), fiqhul-waqi’ (pemahaman
terhadap realita), syura, ijtihad, ketaatan, tsiqah, dan lain-lain.

Keempat, adanya hasrat-hasrat pribadi (raghabat syakhsiyyah) di balik semua


kerja-kerja dakwah yang dilakukannya, seperti adanya hasrat kekuasaan,
harta, dan keinginan duniawi lainnya. Penyebab pembangkangan yang
sebenarnya adalah keadaan jiwa. Jika jiwa telah dikuasai oleh hawa nafsu,
mata akan menjadi buta, telinga akan menjadi tuli, serta tidak dapat
mendengar kebenaran.

Kelima, tidak mempertimbangkan al-mitsaliyyah (idealita) dan al-waqi’iyyah


(realita).

Gejala-gejala Al-’Inad

Gemar mengkritisi kebijakan qiyadah bukan pada forum yang tepat,


sementara dia pun bukan orang yang memiliki kapasitas untuk
melakukannya. Terkadang seseorang menyadari keterbatasan kapasitasnya,
akan tetapi ia lebih cenderung percaya kepada berbagai opini negatif tentang
kebijakan qiyadah.
Senang berkelompok bersama orang-orang yang membangkang lalu membuat
kutlah-kutlah (kelompok-kelompok kecil) dalam jama’ah dakwah. Bahkan
tidak jarang terjadi at-tha’nu ‘ala syakhsiyyah mu’ayyanah (serangan/tikaman
kepada pribadi tertentu secara definitif) di luar konteks yang dipermasahkan
dan syetan menghiasi amal mereka itu.
Lemah tsiqah (kepercayaan)-nya kepada orang-orang yang berseberangan
pendapat dengannya.
Menganggap dirinya paling benar sedangkan yang berbeda pendapat
dengannya salah.
Upaya memperbaiki Al-’Inad
Pertama, ‘ilaj fikri (terapi pemikiran). Yakni dengan menyampaikan mafahim
tarbawiyah shahihah melalui berbagai forum dan sarana; menugaskannya
untuk membaca literatur tentang bahaya al-’inad dan keharusan menjaga
soliditas shaf (barisan jama’ah); serta memberikan bayanat fikriyyah
(penjelasan gagasan) yang disertai dengan dalil-dalil syar’i dan ‘aqli yang kuat.

Kedua, ‘Ilaj amali haraki (terapi amal haraki). Yakni dengan memperbaiki
hubungan dengan orang yang memiliki gejala al-‘inad dengan upaya-upaya
ta’liful qulub (yang dapat menautkan hati); menjauhkan orang yang terindikasi
memiliki potensi al-‘inad dari komunitasnya; lalu melibatkannya dalam
berbagai amal da’awi jama’i hingga ia merasakan indahnya ukhuwah dan
manisnya berjama’ah; membangun komunikasi intensif dengannya melalui
berbagai sarana hingga ketsiqahannya kembali kuat; serta sering mengajaknya
dalam mu’ayasyah (interaksi) bersama para masyayikh dan orang-orang senior
dalam dakwah dimana mereka tetap solid dan eksis.

Ketiga, ‘ilaj Rabbani (terapi rabbani), yakni dengan mendoakannya fi zhahril


ghaib (dalam keadaan tidak diketahui oleh orang yang dido’akan) serta
melibatkan ikhwah lain untuk bersama-sama mendo’akannya pula terutama
memanfaatkan waktu-waktu dan tempat-tempat yang mustajab.

Wallahul Musta’an.

CATATAN KAKI:
[1] Nama anak Nabi Nuh a.s. yang kafir itu Qanaan, sedang putra-putranya
yang beriman Ialah: Sam, Ham dan Jafits.
Fitnah Kedua (1937-1938)

Sebab: semangat yang meledak-ledak, ingin mencapai tujuan sebelum


sempurna prinsip-prinsipnya.

Tokoh:
1. Muhamamd Izzat Hasan Mu'awin
2. Ahmad Rif'at
3. Shadiq Affandi Amin
4. Hasan As Sayyid Ustman

Keempatnya adalah anggota kantor pusat dan memiliki sejumlah pengikut.

Kebijakan yg dikritisi adalah:


1. Ikhwan terlalu basa-basi dan hanya melakukan manuver politik
2. Masalah perempuan dan keharusan mentaati hukum islam tentang
larangan berdandan dan berpenampilan seronok (tidak tegas)
3. Dlm masalah Palestina, tak cukup hanya kampanye dan dana

Akh muhammad izzat menulis artikel di majalah "Jaridah Al-Ikhwan Al-


Muslimin, diantaranya: 'Ikhwan untuk meraih tujuannya dan mengemban
amanahnya pada terakhir ini bukan tindakan yg dekat dengan Allah, bukan
jalan yg digariskan Allah dan bukan tindakan yg dilakukan Rasulullah Saw,
tidak sejalan dengan sunnatullah terhadap hamba-hambanya dan tindakan yg
tidak tepat.'

Al-Banna kemudian menulis artikel bantahan yang sangat panjang di majalah


yg sama, yang intinya menegaskan kebijakan yg diambil Ikhwan adalah yg
terdekat dg Islam dan sunnah rasul-Nya, Ikhwan tidak membuat permusuhan
dengan masyarakat apalagi menyingkirkannya. Terkait palestina, Albanna
menyurati mufti Palestina, yg kemudian merespon: 'yg dilakukan Ikhwan
untuk mengkampanyekan Palestina sdh tepat dan kami tidak memerulakan
sukerelawan.'

Perlawanan Ahmad Rif'at makin keras, dan didukung Isa Abduh, intelektual
Ikhwan pada saat itu. Pengikutnya makin banyak, makin nekat dan
menentang Al-Banna secara langsung dan melontarkan kata-kata pedas,
memanggil dengan panggilan tak pantas. Ia dan kelompoknya melangkah lebih
jauh dengan mencaci maki Al-Banna yang membuat hampir semua anggota
jamaan marah dan tak kuasa menahan diri. Pengkut setia Al-Banna ingin
menghadang dengan sedikit keras, tapi Al-Banna mengetahui sikap itu dan
menghalangi maksud pengikut beliau.

Al-Banna kemudian melarang merespon Rif'at dkk, meski dengan kata-kata yg


bisa menyinggung perasaan mereka. meski demikian Rif'at dkk tdk merasa
malu, tidak mengalah dan makin menampakkan kebodohannya.

Berakhirnya Fitnah

Akh Mahmud Abdul Halim dan rekan-rekannya mengusulkan kepada Al-


Banna:
1. Al-Banna menjauhi kantor pusat
2. Menugaskan sejumlah anggota yg konsisten dan setia dengan bai'atnya utk
di kantor pusat tiap malam
3. Para anggota yang msh komit dg baiat dihimbau untuk memboikot para
pemicu fitnah dan pengikutnya. Tak usah berucap salam dan menjawab salam
mereka dan tak perlu mendengarkan omongan mereka
4. Para anggota yg masih komit harus berjanji tidak akan menyinggung
penebar fitnah dan dan menyakitinya, apapun bentuknya
5. Membentuk komisi untuk melaksankan keputusan di atas
6. Memperbarui ikrar dan janji kebersamaan atas dasar prinsip-prinsip
dakwah, taat dalam senang atau duka.
Anggota ikhwan melaksanakan dan mensosialisasikan usulan tersebut, dan
terlihat jelas mana yg masih komit dg Al-Banna dan mana pendukung fitnah.
Lama-kelamaan pengikut fitnah makin berkurang tinggal provokator dan
beberpa gelintir orang.

Akibat Fitnah

Dampak buruk fitnah tsb adalah:


1. Terhentinya aktivitas ikhwan dan terkurasnya energi kurang lebih satu
setengah tahun
2. Keluarnya anggota senior Ikhwan, diantaranya Mahmud Izzat, padahal ia
adalah perekrut Musryid 'Am ketiga, Umar Tilmisani.
3. Ahmad Rif'at berinisiatif sendiri ke Palestina dan tewas oleh mujahidin
palestina karena dicurigai sbg mata-mata.
4. Lepasnya majalah (jaridah) Al-Ikhwan Al-Muslimin dari kontrol jamaah.

Majalah An-Nadzir, Juni 1938 memuat keputusan kantor pusat:

1. Kantor pusat memutuskan pemecatan thd Muhammad Affandi Izzat, Hasan


Affandi As Sayyidi, Shadiq Affandi Amin, Ahmad Affandi Rif'at karena
menyalahi pemikiran Ikhwan. Dg demikian mereka bertanggung jawab atas
perbuatan mereka sendiri dan tidak merepresentasikan jamaah sampai ada
keputusan lain yg meninjau setatus mereka.

Penjelasan kantor pusat:

- Pimpinan pusat telah berkali-kali melakukan nasihat santun dan persuasif,


tp mereka malah menentang dan sesumbar. akhirnya kantor pusat
mengumumkan pemecatan mereka disebabkan menyalahi pilihan
sikap/pemikiran yg diambil jamaah.
- Kantor pusat tdk menyerang mereka, dan tidak mengaggap mereka krn sdh
diluar jamaah.
- Kantor pusat akan memberi dukungan manakala sejalan dg misi Ikhwan
- Diingatkan bhw setiap gerakan dakwah memiliki musuh, baik dr
keluarganya sendiri maupun selian mereka, yg tidak memahami hakikat
dakwah, mengejar kepentingan pribadi, atau merasa tergoda olehnya- hati
manusia di tangan allah, bahkan dakwah islam pertama di masa Rasul yg
ma'shum pun tidak terlepas dr pembangkangan.
- Karenanya setiap anggota ikhwan diingatkan untuk- menyiapkan hati, krn
pembangkangan mungkin sj terjadi di kemudian hari, dakwah makin
berkembang makin banyak musuh.- bersegeralah terjun untuk melakukan
amal-amal dakwah, tak ada waktu utk debat dan membincangkan fitnah.
- Kantor pusat tidak akan segan mengambil tindakan tegas thd anggota yg
melanggar aturan dan platform/konsep berfikir yg dipilih jamaah apapun
jabatan, kedudukan, posisinya.
- Hak Allah di atas semua hak, pemecatan bukan berarti perpecahan dlm
jamaah bukan pula kelemahan dakwah namun merupakan upaya tarbawi yg
harus dilakukan untuk pembelajaran yang benar serta pembersihan terhadap
pembangkangan dan sangsi yang lazim.
- Dalam setiap gerakan dakwah selalu ada yg tidak jera kecuali kepada
hukuman.

Wahai ikhwan, melaju berlarilah dengan berkah Allah, Rasulullah pemimpin


kalian, dan Mursyid 'Am adalah komandan kalian. Allah tidak menginginkan
kecuali menyempurnakan cahaya petunjuk-Nya.

Abdul Hakim Abidin


(Sekretaris Kantor Pusat)

Anda mungkin juga menyukai