Dalam Mu’jam Ma’anil Jami’ dan Qamus Mu’jam Al-Wasith disebutkan makna
al-‘Inad adalah katsirul khilaf, yakni banyak berbeda pendapat, berselisih,
bertentangan, dan melakukan kontroversi. Sedangkan dalam Kamus
Mutarjim, al-Inad diartikan sikap keras kepala dan keras hati.
Dalam konteks pembahasan kita saat ini yang dimaksud al-‘inad adalah
sebuah sikap dan ucapan seseorang untuk mengungkapkan penolakannya—
langsung atau tidak langsung—terhadap apa yang diinginkan atasan nya. Al-
‘inad bisa pula dilakukan seorang anak terhadap orang tuanya, seorang istri
terhadap suaminya, seorang murid kepada gurunya, atau seorang jundi
(prajurit) kepada qiyadah (komandan)-nya.
Namun adakalanya al-Inad itu bermakna positif jika dibangun di atas kaidah
yang benar dan didukung dalil yang kuat yang tidak ada keraguan di
dalamnya serta tidak ada syubuhat, juga tidak didorong oleh hawa nafsu.
Itulah sikap yang di dalam syariah disebut ats-tsabat ‘alal-haq (tegar dan
teguh pendirian dalam kebenaran).
Ali Jadawa adalah salah seorang Ikhwan yang paling mulia akhlak dan
agamanya, mempunyai kadar ilmu dan pengetahuan yang memadai, fasih
dalam membaca Al-Qur’an, pandai berdiskusi, serta tekun belajar dan
membaca.
Beliau juga termasuk seseorang yang paling awal menyambut dakwah, paling
dekat di hati para ikhwan, dan paling dicintai oleh mereka.
Akhirnya Syaikh Ali Jadawa terpilih secara aklamasi, meski ia hanyalah
seorang tukang kayu. Namun ada seorang Syaikh yang merasa lebih mampu
dari Ali Jadawa karena ia sarjana, pandai menggubah syair, jago pidato dan
berbicara, serta mengerti bagaimana cara menyebarkan dakwah dan
berhubungan dengan masyarakat. Semua itu tidak ada pada di diri Ali
Jadawa.
Pemilihan ulang naib mursyid pun dilakukan. Saat itu banyak sekali ikhwah
hadir hingga lebih dari 500 orang, dan hasilnya mencengangkan: Selain empat
orang pendukung Syaikh Fulan yang membangkang, para ikhwah secara
aklamasi tetap memilih Al-Akh Ali Jadawa. Empat orang pembangkang itu
ternyata tetap tidak terima dan memaksakan kehendak melawan 500 orang
ikhwah lainnya. Mereka tetap merasa benar dalam sikapnya.
Ustadz Mahmud Mujahid berkata, “Wahai Fulan! Kamu adalah pemuda yang
tampak sebagai orang yang tulus, tetapi kamu telah melakukan kesalahan
besar. Nasihatku kepadamu, kembalilah kepada Jama’ah dan bekerjalah
bersama mereka jika kamu menghendaki, lalu tinggalkanlah pikiran-pikiran
ini. Jika kamu tidak menyukai keadaan mereka, maka duduklah di rumah,
berkonsentrasilah dengan pekerjaan kamu, dan biarkan saja mereka bekerja.
Ini lebih baik bagi kamu jika menginginkan nasihat.” Sang pembangkang pun
lalu pergi.
Mengetahui keadaan ini, Syaikh Askariah datang dari Syibrakhit dan berusaha
menjadi penengah untuk mengembalikan mereka kepada Jama’ah. Tetapi
mereka ternyata tidak berkehendak kecuali membangkang. Maka beliau
berkata kepada Hasan Al-Banna, “Tidak ada kebaikan lagi pada mereka.
Mereka sudah tidak memiliki kesadaran tentang ketinggian nilai dakwah dan
tidak memiliki keyakinan terhadap kewajiban untuk mentaati pemimpin.
Barangsiapa kehilangan dua hal yang vital ini, maka tidak ada lagi kebaikan
dalam dirinya jika ia berada dalam barisan kita. Biarkanlah mereka dan
teruslah melanjutkan perjalanan Anda. Dan Allah adalah tempat memohon
pertolongan.”
Petikan kisah nyata di atas mengandung ibrah tentang al-inad. Semoga kita
dapat mengambil hikmahnya.
Marilah mengambil ibrah dari kisah anak Nabi Nuh ‘alaihis salam yang
melakukan pembangkangan terhadap dakwah, bahkan sampai akhir
hayatnya, karena merasa dirinya kuat. Allah Ta’ala menceritakan hal ini dalam
Al-Qur’an,
Kedua, adanya persepsi yang salah yang terbangun dalam dirinya hingga
mengharuskan orang lain mengikuti persepsi dan keinginannya.
Ketiga, adanya ketidak-jelasan dalam mafahim tarbawiyyah, misalnya terkait
pemahaman tentang ats-tsawabit wal mutaghayyirat (mana perkara-perkara
baku, dan mana perkara-perkarayang fleksibel), fiqhul-waqi’ (pemahaman
terhadap realita), syura, ijtihad, ketaatan, tsiqah, dan lain-lain.
Gejala-gejala Al-’Inad
Kedua, ‘Ilaj amali haraki (terapi amal haraki). Yakni dengan memperbaiki
hubungan dengan orang yang memiliki gejala al-‘inad dengan upaya-upaya
ta’liful qulub (yang dapat menautkan hati); menjauhkan orang yang terindikasi
memiliki potensi al-‘inad dari komunitasnya; lalu melibatkannya dalam
berbagai amal da’awi jama’i hingga ia merasakan indahnya ukhuwah dan
manisnya berjama’ah; membangun komunikasi intensif dengannya melalui
berbagai sarana hingga ketsiqahannya kembali kuat; serta sering mengajaknya
dalam mu’ayasyah (interaksi) bersama para masyayikh dan orang-orang senior
dalam dakwah dimana mereka tetap solid dan eksis.
Wallahul Musta’an.
CATATAN KAKI:
[1] Nama anak Nabi Nuh a.s. yang kafir itu Qanaan, sedang putra-putranya
yang beriman Ialah: Sam, Ham dan Jafits.
Fitnah Kedua (1937-1938)
Tokoh:
1. Muhamamd Izzat Hasan Mu'awin
2. Ahmad Rif'at
3. Shadiq Affandi Amin
4. Hasan As Sayyid Ustman
Perlawanan Ahmad Rif'at makin keras, dan didukung Isa Abduh, intelektual
Ikhwan pada saat itu. Pengikutnya makin banyak, makin nekat dan
menentang Al-Banna secara langsung dan melontarkan kata-kata pedas,
memanggil dengan panggilan tak pantas. Ia dan kelompoknya melangkah lebih
jauh dengan mencaci maki Al-Banna yang membuat hampir semua anggota
jamaan marah dan tak kuasa menahan diri. Pengkut setia Al-Banna ingin
menghadang dengan sedikit keras, tapi Al-Banna mengetahui sikap itu dan
menghalangi maksud pengikut beliau.
Berakhirnya Fitnah
Akibat Fitnah