Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang
dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali
dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh
seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas . Thalasemia adalah penyakit
anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel darah merah didalam pembuluh
darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). ( Williams,
2012)
Gen thalasemia sangat luas tersebar, dan kelainan ini diyakini merupakan
penyakit genetik manusia yang paling prevalen. Distribusi utama meliputi daerah-
daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, timur tengah, sub benua
India, dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8 % orang Amerika keturunan Italia atau
Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa gen untuk thalasemia β.
Dibeberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi mempunyai satu atau
lebih gen thalasemia.(Kliegam,2014).
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang diwariskan oleh orangtua
kepada anak. Thalasemia mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan
hemoglobin yang berakibat pada penyakit anemia. Hemoglobin adalah suatu protein
dalam sel darah merah yang mengangkut oksigen dan nutrisi lainnya ke sel-sel
lainnya dalam tubuh. Sekitar 100.000 bayi di seluruh dunia terlahir dengan jenis
thalasemia berbahaya setiap tahunnya.(Kliegam,2014)
Ada dua jenis thalassemia yaitu alpha dan beta. Kedua jenis thalassemia ini
diwariskan dengan cara yang sama. Penyakit ini diturunkan oleh orangtua yang
memiliki mutated gen atau gen mutasi thalasemia. Seorang anak yang mewarisi satu
gen mutasi disebut pembawa atau carrier, atau yang disebut juga dengan
thalassemia trait (sifat thalassemia). Kebanyakan pembawa ini hidup normal dan
sehat. Anak yang mewarisi dua sifat gen, di mana satu dariibu dan satu dari ayah,
akan mempunyai penyakit thalassemia. Jika baik ibu maupun ayah adalah
pembawa, kemungkinan anak mewarisi dua sifat gen.(Williams,2012)

1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
klasifikasi, patofisiologi, diagnosis, terapi, komplikasi, prognosis, pencegahan
Thalasemia pada anak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi kerusakan
sel darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek
(kurang dari 100 hari). (Ngastiyah, 2014 )
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang diturunkan
secara resesif. (Mansjoer, 2013 )
Thalasemia merupakan kelompok kelainan genetik heterogen yang timbul
akibat berkurangnya kecepatan sintesis rantai alpha atau beta (Hoffbrand dkk,
2013).

2
2.2 Epidemiologi
Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah mediteranian seperti Italia,
Yunani Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, SriLangka
sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini di kenal sebagai
kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia Tenggara adalah antara 3-9%
(Mansjoer, 2013).
Gen untuk thalassemia-β ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak terbatas
pada propinsi Guangdong, seperti di duga semula. Seperti halnya di Muang Thai,
thalassemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian Selatan Cina. Frekuensi
thalassemia terbesar berpusat di daerah perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja
dengan frekuensi sebesar 50-60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara
dengan frekuensi yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh (Mansjoer,
2013).

Thalassemia di dapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada


daerah-daerah tertentu di Italia dan di negara-negara mediteranian frekuensi carrier.
Thalassemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang Thai 20% penduduknya
mempunyai satu atau jenis lain talasemia alfa. Frekuensi gen untuk Indonesia belum
jelas. Di duga sekitar 3-5%, sama seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar
wahidayat (1979) melaporkan bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo,
Jakarta di dapat kasus baru thalassemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo,
Surabaya lebih sering di jumpai thalassemia beta Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit
Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah). Selama 15
tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalassemia beta.

Untuk talasemia alfa di daerah perbatasan Muang Thai dan Laos


frekuensinya berkisar 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di
Asia Tenggara termasuk Indonesia (Mansjoer, 2013).

2.3 Etiologi

3
Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap
thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan
penyakit menular melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif.
Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang
terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan
berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen
pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami
kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).
Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan
gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia
(Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang
tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka
pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan
pertama si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari
bapak dan ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak
hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya
membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin
beta normal dari kedua orang tuanya.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa
sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%)
kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan
menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut
kepada anak-anaknya tanpa ada yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di
kalangan keluarga mereka.

4
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memiliki darah yang normal,
atau mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor.(hoffbrand dkk,2013)

Menurut Williams (2012) penyebab thalasemia adalah


1. Gangguan resesif autosomal yang diturunkan
2. Gangguan herediter yang disebabkan kelainan sistem rantai beta dan rantai alfa
globin

2.4 Patofisiologi
Penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi
pada gen globin alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut
berkurang atau tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat
pematangan sel darah merah sehingga eritropoiesis dan mengakibatkan anemia
berat. Akibatnya produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak
atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). (Kliegman,2014)
Normal hemoglobin adalah terdiri dari Hb-A dengan polipeptida rantai alpa
dan dua rantai beta. Pada beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kurangnya rantai
beta thalasemia yaitu tidak adanya atau kekurangan rantai beta dalam molekul
hemoglobin yang mana ada gangguan kemampuan ertrosit membawa oksigen. Ada
suatu kompensator yang meningkat dalam rantai alpa, tetapi rantai beta
memproduksi secara terus menerus sehingga menghasilkan hemoglobin defictive.
Ketidak seimbangan polipeptida ini memudahkan ketidakstabilan dan disintegrasi.
Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi hemolisis dan menimbulkan anemia
dan atau hemosiderosis.
Kelebihan pada rantai alpa ditemukan pada talasemia beta dan kelebihan
rantai beta dan gama ditemukan pada talasemia alpa. Kelebihan rantai polipeptida
ini mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa dan beta, atau
terdiri dari hemoglobin tak stabil badan heint, merusak sampul eritrosit dan
menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi yang konstan
pada bone marrow, produksi RBC diluar menjadi eritropik aktif. Kompensator
produksi RBC secara terus menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya

5
destruksi RBC,menimbulkan tidak edukatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan
produksi dan edstruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis dan mudah
pecah atau rapuh. (Williams, 2012 )
Pada talasemia letak salah satu asam amino rantai polipre tidak berbeda
urutannya/ditukar dengan jenis asam amino lain. Perubahan susunan asam amino
tersebut. Bisa terjadi pada ke-4 rantai poliper Hb-A, sedangkan kelainan pada rantai
alpha dapat menyebabkan kelainan ketiga Hb yaitu Hb-A, Hb-A2 dan Hb-F.
(Williams, 2012)

2.5 Klafisikasi
1. Thalassemia α (gangguan pembentukan rantai α)
Sindrom thalassemia α disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada
kromosom 16 (terdapat 2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi
seperti gangguan mRNA pada penyambungan gen yang menyebabkan rantai
menjadi lebih panjang dari kondisi normal.
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α -Thalasemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin _ sedangkan tiga lokus globin yang ada
masih bisa menjalankan fungsi normal sehingga tidak terlihat gejala-gejala
bila ia terkena thalasemia.
b. Delesi pada dua rantai α (α -Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH
dan terjadi manifestasi klinis ringan seperti anemia kronis yang ringan
dengan eritrosit hipokromik mikrositer dan MCV(mean corpuscular volume)
60-75 fl.
c. Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)
Delesi ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai anemia
hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan
retikulositosis. HbH terbentuk dalam jumlah banyak karena tidak
terbentuknya rantai α sehingga rantai β tidak memiliki pasangan dan
kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β 4). Dengan banyak
terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit
sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan. Penderita dapat tumbuh
sampai dewasa dengan anemia sedang (Hb 8-10 g/dl) dan MCV(mean
corpuscular volume) 60-70 fl.

6
d. Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb
Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak terbentuknya rantai γ sehingga
rantai γ membentuk tetramer sendiri menjadi γ4. Manifestasi klinis dapat
berupa ikterus, hepatosplenomegali, dan janin yang sangat anemis. Kadar
Hb hanya 6 g/dl dan pada elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb Barts,
sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau HbF. Biasanya bayi yang
mengalami kelainan ini akan beberapa jam setelah kelahirannya.
2. Thalassemia β (gangguan pembentukan rantai β)
Thalassemia - β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek
kromosom 11.
a. Thalassemia β o
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga
tidak dihasilkan rantai β yang berfungsi dalam pembentukan HbA
b. Thalassemia β +
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional
namun hanya sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA dapat
dibentuk walaupun hanya sedikit.

Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu


a. Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat thalasemia.Gejala
penyakit muncul sejak awal masa kanak-kanak dan biasanya penderita hanya
bertahan hingga umur sekitar 2 tahun. Penderita bercirikan :
 Lemah
 Pucat
 Perkembangan fisik tidak sesuai dengan umur
 Berat badan kurang
 Tidak dapat hidup tanpa transfusi transfusi darah seumur hidupnya.
b. Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan, biasanya
hanya sebagai pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait digunakan untuk orang
normal namun dapat mewariskan gen thalassemia pada anak-anaknya:ditandai
oleh splenomegali, anemia berat, bentuk homozigot.
Pada anak yang besar sering dijumpai adanya:
 Gizi buruk
 Perut buncit karena pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba

7
 Aktivitas tidak aktif karena pembesaran limpa dan hati(Hepatomegali ),
Limpa yang besar ini mudah ruptur karena trauma ringan saja
Gejala khas adalah:
 Bentuk muka mongoloid yaitu hidung pesek, tanpa pangkal hidung, jarak
antara kedua mata lebar dan tulang dahi juga lebar.
 Keadaan kuning pucat pada kulit, jika sering ditransfusi, kulitnya menjadi
kelabu karena penimbunan besi

2.6 Manifestasi Klinis


Semua jenis talasemia memiliki gejala yang mirip tetapi beratnya bervariasi.
Sebagaian besar mengalami gangguan anemia ringan.
1. Thalasemia minor (thalasemia heterogen) umumnya hanya memiliki gejala
berupa anemia ringan sampai sedang dan mungkin bersifat asimtomatik dan
sering tidak terdeteksi.
2. Thalasemia mayor, umumnya menampakkan manifestasi klinis pada usia 6
bulan, setelah efek Hb 7 menghilang.
a. Tanda awal adalah awitan mendadak, anemia, demam yang tidak dapat
dijelaskan, cara makan yang buruk, penurunan BB dan pembesaran limpa.
b. Tanda lanjut adalah hipoksia kronis; kerusakan hati, limpa, jantung, pankreas,
kelenjar limphe akibat hemokromotosis, ikterus ringan atau warna kulit
mengkilap, kranial tebal dengan pipi menonjol dan hidung datar; retardasi
pertumbuhan; dan keterlambatan perkembangan seksual.
3. Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan
kerusakan sel resultan yang mengakibatkan :
a. Splenomegali
b. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran kepala,
tulang wajah menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap fraktur spontan.
c. Komplikasi jantung, seperti aritmia, perikarditis, CHF dan fibrosis serat otot
jantung.
d. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
e. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
f. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan pragmentasi coklat akibat defisit zat
besi.
g. Retardasi pertumbuhan dan komplikasi endokrin.
4. Gejala lain pada penderita Thalasemia adalah jantung mudah berdebar-debar. Hal
ini karena oksigen yang dibawah tersebut kurang, maka jantung juga akan
beusaha bekerja lebih keras sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-

8
debar, lama-kelamaan jantung akan bekerja lebih keras sehingga lebih cepat
lelah. Sehingga terjadi lemah jantung, limfa penderita bisa menjadi besar karena
penghancuran darah terjadi di sana, selain itu sumsum tulang juga bekerja lebih
keras karena berusaha mengkompensasi kekurangan Hb, sehingga tulang
menjadi tipis dan rapuh sehingga mudah rapuh. Jika ini terjadi pada muka
(tulang hidung maka wajah akan berubah bentuk, batang hidung akan hilang/
melesak ke dalam (fasise cookey) ini merupakan salah satu tanda khas penderita
thalasemia.(hoffbrand dkk,2013)

Secara klinis Thalasemia dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai beratnya
gejala klinis :
1. mayor, intermedia dan minor atau troit (pembawa sifat). Batas diantara
tingkatan tersebut sering tidak jelas. Anemia berat menjadi nyata pada umur 3 –
6 bulan setelah lahir dan tidak dapat hidup tanpa ditransfusi.
2. Pembesaran hati dan limpa terjadi karena penghancuran sel darah merah
berlebihan, haemopoesis ekstra modular dan kelebihan beban besi. Limpa yang
membesar meningkatkan kebutuhan darah dengan menambah penghancuran sel
darah merah dan pemusatan (pooling) dan dengan menyebabkan pertambahan
volume plasma.
3. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas
dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang mendapat transfusi
darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat
menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta
maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.
4. Gejala lain yang tampak ialah anak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak
sesuai umur, berat badan kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering
mendapat transfusi darah kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat
penimbunan besi dalam jaringan kulit.
5. Keadaan klinisnya lebih baik dan gejala lebih ringan dari pada Thalasemia
mayor, anemia sedang (hemoglobin 7 – 10,0 g/dl)
Gejala deformitas tulang, hepatomegali dan splenomegali, eritropoesis ekstra
medular dan gambaran kelebihan beban besi nampak pada masa dewasa.
6. Umumnya tidak dijumpai gejala klinis yang khas, ditandai oleh anemia
mikrositin, bentuk heterozigot tetapi tanpa anemia atau anemia ringan.

9
 Thalasemia mayor (Thalasemia homozigot)
 Thalasemia intermedia
 Thalasemia minor atau troit ( pembawa sifat)
7. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik,
anisositosis, polklilositosis dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel
normoblas).
8. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC)
menjadi rendah dan dapat mencapai nol
Elektroforesis hemoglobin memperlihatkan tingginya HbF lebih dari 30%,
kadang ditemukan juga hemoglobin patologik. Di Indonesia kira-kira 45%
pasien Thalasemia juga mempunyai HbE maupun HbS.
9. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, SGOT dan SGPT dapat meningkat
karena kerusakan parankim hati oleh hemosiderosis.
10. Penyelidikan sintesis alfa/beta terhadap refikulosit sirkulasi memperlihatkan
peningkatan nyata ratio alfa/beta yakni berkurangnya atau tidak adanya sintetis
rantai beta.

2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan timbul karena anemia: pucat, gangguan nafsu makan, gangguan
tumbuh kembang dan perut membesar karena pembesaran lien dan hati. Pada
umumnya keluh kesah ini mulai timbul pada usia 6 bulan (Permono, 2012)
2. Pemeriksaan Fisik
 Pucat
 Bentuk muka mongoloid (facies cooley)
 Icterus
 Gangguan pertumbuhan
 Splemomegali dan hepatomegaly yang menyebabkan perut membesar
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening
test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai
gangguan Thalassemia (Wlliams, 2012).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.

10
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi
pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini:
Thalassemia < kontrol < spherositosis (Maureen,1999). Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan
berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%,
spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative
rate 8.53% (Maureen, 2009).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Maureen, 2009).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
seperti 0.01 x MCH x (MCV)², RDW x MCH x (MCV) ²/Hb x 100,
MCV/RBC dan MCH/RBC tetapi kebanyakkannya digunakan untuk
membedakan anemia defisiensi besi dengan Thalassemia β (Maureen,
2009).
Sekiranya Indeks Mentzer = MCV/RBC digunakan, nilai yang diperoleh
sekiranya >13 cenderung ke arah defisiensi besi sedangkan <13
mengarah ke Thalassemia trait. Pada penderita Thalassemia trait kadar
MCV rendah, eritrosit meningkat dan anemia tidak ada ataupun ringan.
Pada anemia defisiensi besi pula MCV rendah, eritrosit normal ke
rendah dan anemia adalah gejala lanjut (Ngastiyah, 2014).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di
dalam darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1
95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini

11
tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor
Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan
Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun,
elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Williams,
2012).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb
C. Pemeriksaan menggunakan high performance liquid
chromatography (HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2
meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk
diagnosa Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan
variannya serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan
Hb A2
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis
Thalassemia. Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe
Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi yang berlaku

2.8 Penatalaksanaan
Menurut (Sarwono, 20013) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain :
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat
besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan
pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi
dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine diberikan secar
intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan
secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy : dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen
(transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari
tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid),

12
karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk
yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan sumsum tulang. Terapi
genetik masih dalam tahap penelitian.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral obat
penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan subkutan dalam
jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6
malam/minggu.

2.9 Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalassemia.
1. Komplikasi Jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan penurunan
kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau detak jantung yang tidak
beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jantung.
Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan penderita thalasemia beta
mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk memeriksa fungsi
jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh untuk memeriksa konduksi
aliran listrik jantung menggunakan electrocardiogram oleh dokter spesialis
jantung.
Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat dilakukan dengan terapi
khelasi yang lebih menyeluruh dan mengonsumsi obat penghambat enzim
konversi angiotensin.
2. Komplikasi pada Tulang
Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang akibat tubuh
kekuerangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi tulang yang dapat terjadi
adalah sebagai berikut:
 Nyeri persendian dan tulang
 Osteoporosis
 Kelainan bentuk tulang
 Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah.
3. Pembesaran Limpa (Splenomegali)
Pembesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk mendaur ulang sel darah
yang memiliki bentuk tidak normal dan berakibat kepada meningkatnya jumlah
darah yang ada di dalam limpa, membuat limpa tumbuh lebih besar.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel darah yang sehat akan
menjadi tidak efektif jika limpa telah membesar dan menjadi terlalu aktif, serta

13
mulai menghancurkan sel darah yang sehat. Splenectomy atau operasi
pengangkatan limpa merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah ini.
Vaksinasi untuk mengatasi potensi infeksi yang serius, seperti flu dan
meningitis, disarankan untuk dilakukan jika anak Anda telah melakukan operasi
pengangkatan limpa, hal ini dikarenakan limpa berperan dalam melawan
infeksi. Segera temui dokter jika anak Anda memiliki gejala infeksi,
seperti nyeri otot dan demam, karena bisa berakibat fatal.
4. Komplikasi pada Hati
Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan terjadinya
beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati, sirosis hati atau penyakit
degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal menjadi rusak, lalu digantikan
oleh jaringan parut, serta hepatitis. Oleh karena itu, penderita thalassemia
dianjurkan untuk memeriksa fungsi hati tiap tiga bulan sekali.
Pencegahan infeksi hati dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat antivirus,
sedangkan mencegah kerusakan hati yang lebih parah dapat dilakukan terapi
khelasi.
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon
Sistem hormon diatur oleh kelenjar pituitari yang sangat sensitif terhadap zat
besi. Para penderita thalassemia beta mayor, walaupun telah melakukan terapi
khelasi, dapat mengalami gangguan sistem hormon.Perawatan dengan terapi
pergantian hormon mungkin diperlukan untuk mengatasi pertumbuhan dan masa
pubertas yang terhambat akibat kelenjar pituitari yang rusak. Ada beberapa
komplikasi pada kelenjar hormon yang dapat terjadi usai pubertas seperti
berikut ini:
 Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
 Pankreas – diabetes
Pemeriksaan dengan mengukur berat dan tinggi badan harus dilakukan anak-
anak penderita thalassemia tiap enam bulan sekali untuk mengukur
pertumbuhannya. Sementara itu, pemeriksaan pertumbuhan pada para remaja
yang sudah memasuki masa pubertas dilakukan tiap satu tahun sekali.

2.10 Prognosis
Talasemia beta homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang
mencapai usia dekade ke – 3. Walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah
infeksi dan pemberian Chelating agents untuk mengurangi hemosiderosis. Apabila

14
dikemudian hari transplantasi sum – sum tulang dapat diterapkan maka prgnosis
akan baik karena diperoleh penyembuhan.
Talasemia mayor pada umumnya prognosa jelek, biasanya orang dengan
talasemia mayor jarang mencapai umur dewasa walaupun ada yang melaporkan
bahwa dengan mempertahankan kadar Hb yang tinggi dapat memperpanjang umur
penderita sampai 20 tahun. (Kosasih, 2014)

2.12 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Penyuluhan sebelum perkawinan ( marriage counselling ) untuk mencegah
perkawinan diantara penderita talasemia agar tidak mendapat keturunan yang
hemozigot atau varian – varian talasemia dengan mortalitas tinggi.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan kelahiran bayi homozigot dari pasangan suami istri dengan
talasemia heterozigot. Salah satu jalan keluar adalah inseminasi buatan dengna
sperma berasal dari donor yang bebas talasemia . Kelahiran kasus homozigot
terhindar tetapi 50 % dari anak yang lahir adalah carier seperti ibunya
sedangkan 50 % lainnya adalah normal. Diagnosis prenatal melalui
pemeriksaan DNA cairan amnion merupakan suatu kemajuan dan digunakan
untuk mendiagnosis kasus homozigot intrauterin sehingga dapat dilakukan
tindakan abortus provokatus. (Koaasi, 2014)

BAB III
PENUTUP

15
Talasemia merupakan penyakit anemia hemalitik dimana terjadi kerusakan sel
darah merah di dalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang
dari 100 hari).
Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat
ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia
dalam sel – selnya/ Faktor genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit menular
melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan
melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada
manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur
pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen
globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta.
Penyakit thalassemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi pada
gen globin alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang
atau tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat pematangan sel
darah merah sehingga eritropoiesis dan mengakibatkan anemia berat. Akibatnya produksi
Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih pendek dari
sel darah normal (120 hari.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand. A.V & Petit,J.E. (2013). Kapita Selekta Hematologi . Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC
2. Kosasih E. N sindrom talasemia dalam : Soeparman. Waspadji. S. Ilmu penyakit
dalam jilid 2 Jakarta : Balai penerbit FKUI 1990 H : 417 – 25.
3. Mansjoer, Arif, Dkk. (2013). Kapita Selekta kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

16
4. Maureen Okam, M.D (Harvard Media School). (2009). Thalassemia Information.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC
5. Ngastiyah .(2014). Perawatan Anak Sakit Edisi 1 . Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
6. Permono B, Ugrasena IDG , A Mia. Talasemia.Bag/ SMF Ilmu Kesehatan Anak,
Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya www.Pediatrik.com [diakses 3 Desember
2012]
7. Schwartz,M.William. (2012). Pedoman Klinis Pediatri,Alih Bahasa Brahm U
Pandit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
8. Soeparman,Sarwono w. (2013). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

17

Anda mungkin juga menyukai