PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak
unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian
tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang
yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Sebuah organisasi mempunyai budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu pembeda
antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada yang
sesuai dengan anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga seorang
anggota baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut harus
dapat menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat membuat suatu organisasi menjadi terkenal dan bertahan lama.
Yang jadi masalah tidak semua budaya organisasi dapat menjadi pendukung organisasi itu.
Ada budaya organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Maksudnya tidak
dapat menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih ditakutkan lagi organisasi itu
tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan perkembangan zaman karena dia merasa
paling benar.
Dalam keadaan inilah anggota tidak akan mendapatkan kepuasan kerja. Memang banyak
faktor lain yang menyebabkan anggota tidak memperoleh kepuasan kerja, tapi faktor
budaya organisasi merupakan faktor yang utama.
Meski telah disadari bahwa budaya organisasi bersifat dinamik dan pluralistic, perdebatan
tentang apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan masih terjadi.
Pandangan pertama yang diwakili oleh Gagliardi menyatakan bahwa budaya organisasi
dapat di-manage dan dikendalikan. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa budaya
organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam diri setiap orang pada
dataran yang paling mendasar (alam bawah sadar), sehingga untuk merubah budaya
organisasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana alam bawah
sadar terbentuk dan berfungsi serta memungkinkan akan menimbulkan konsekuensi yang
tidak diinginkan.
1
dapat di-manage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang
bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara
kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi,
pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi ?
2. Bagaimana asal muasal budaya organisasi ?
3. Apa saja karakteristik budaya organisasi ?
4. Bagaimanakah menciptakan budaya organisasi yang etis ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian budaya organisasi.
2. Menjelaskan asal muasal budaya organisasi.
3. Mengetahui karakteristik budaya organisasi.
4. Mengetahui bagaimana menciptakan budaya organisasi yang etis.
D. Manfaat Penulisan
Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan konsep mata
kuliah Interpersonal Employee Relation khususnya materi “Budaya Organisasi” dan secara
praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Penulis, sebagai wahana meningkatkan pengetahuan dan konsep keilmuan, khususnya
tentang materi Budaya Organisasi.
2. Pembaca, sebagai media informasi mata kuliah Interpersonal Relationkhususnya
mengenai Budaya Organisasi.
2
BAB II
TEORITIS
Pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi sangat signifikan. Karena itu
menciptakan budaya organisasi yang sifatnya unik untuk setiap organisasi amatlah penting.
Untuk itu perlu dipahami apa budaya organisasi itu.
Budaya organisasi juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi,
megarahkan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, serta bagaimana
mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya perusahaan, dan sebagai alat
untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan.
Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Walter R. Freytag mendefinisikan budaya
organisasi sebagai “a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and
values that binds organizational members together and prescribes appropriate patters of
behavior.” Freytag menitik beratkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau
tidak disadari yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut
menentukan pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Gibson (1997 : 372) mendefinisikan budaya organisasi sebagai sistem yang menembus
nilai-nilai, keyakinan, dan norma yang ada disetiap organisasi. Kultur organisasi dapat
mendorong atau menurunkan efektifitas tergantung dari sifat nilai-nilai, keyakinan dan
norma-norma yang dianut.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi sebagai
“the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations
that organize and integrate a group of people who work together.” Definisi Grunig et.al. ini
mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi
adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan
suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.
Menurut Lathans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang
mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota organisasi akan berperilaku
sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya. Sarplin (1995)
mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu system nilai, kepercayaan dan
kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur system
formalnya untuk menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sebagai suatu cognitive
framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang
disumbangkan oleh anggota organisasi.
Menurut Robbins dan Judge (2008:256) kultur organisasi mengacu pada sebuah sistem
makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi lainnya.
3
Siagian, (1995:126). Budaya organisasi merupakan kesepakatan (komitmen) bersama
tentang nilai-nilai bersama dalam kehidupan organisasi dan mengikat semua orang dalam
organisasi yang bersangkutan.
Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value) organisasi yang
dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti
tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam organisasi.
Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi
dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu,
dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi dan menanggulangi masalah-masalahnya
yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi internal yang sudah berjalan dengan
cukup baik, sehingga perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkanaan dengan masalah-masalah
tersebut.
Menurut Mondy dan Noe (1996), budaya organisasi adalah system dari shared values,[3]
keyakinan dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan
struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Budaya organisasi juga
mencakup nilai-nilai dan standar- standar yang mengarahkan perilaku organisasi dan
menentukan arah organisasi secara keseluruhan.
Menurut Osborne & Plastrik (2000), budaya organisasi adalah seperangkat perilaku,
perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki
bersama oleh anggota organisasi
Menurut Osborne & Plastrik (2000), budaya organisasi adalah seperangkat perilaku,
perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki
bersama oleh anggota organisasi.
Dari sejumlah pengertian diatas, tampak bahwa budaya organisasi memiliki peran yang
sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi,
khususnya kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk menentukan arah
organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan,
bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya organisasional, dan
juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan internal dan
eksternal.
4
Menurut Susanto, “Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman sember
daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi
ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-
nilai yang ada dan bagaimana mereka harus bertingkah laku atau berperilaku.”
Menurut Robbins, Budaya organisasi adalah suatu system makna bersama yang dianut oleh
anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan yang lain.[4] Menurut
Gareth R. Jones, “Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh
anggota-anggota organisasi, suatu system dari makna bersama.” Jadi budaya organisasi itu
adalah suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu menjadi pembeda antara satu
organisasi dengan organisasi yang lain.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi
merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh
anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi.
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah
organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan
seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah pada
sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal
organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan
atauideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih
jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri
melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada
karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang
mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri. Dengan demikian, menginternalisasi
keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut.
Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor
penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat
dalam budaya organisasi.
5
C. Nilai dan Karakteristik Budaya Organisasi
Nilai, dapat diartikan sebagai sesuatu yang menjadi acuan ideal bagi individu-individu
dalam berperilaku/bertindak. Nilai merupakan konsepsi-konsepsi yang ada dalam alam
pikiran masyarakat/organisasi mengenai hal-hal yang dianggap berarti dalam hidup
(Koentjaraningrat, 1974). Dalam konteks nilai budaya organisasi, hal ini berarti pedoman
atau kepercayaan yang dijadikan acuan dalam menjalankan tugas organisasi. Nilai budaya
organisasi terkait dengan masalah pencapaian suatu organisasi, termasuk ke dalam nilai
adalah ideologi, cita-cita, keyakinan.
Namun di satu sisi, sebagaimana diungkapkan Robbins (2002), budaya juga dapat menjadi
salah satu faktor penghambat dalam menghadapi berbagai perubahan. Dinyatakannya pula
bahwa budaya organisasi pada hakikatnya merupakan system makna bersama atau dengan
kata lain berkaitan dengan masalah nilai-nilai yang dianut bersama. Sistem makna bersama
ini, bila dicermati secara lebih seksama merupakan seperangkat karakteristik utama yang
dihargai oleh organisasi.
6
Dalam teori diatas dijelaskan bahwa sebuah organisasi dapat memiliki karakteristik
yang terkandung dalam budaya organisasinya. Sejauh mana organisasi berfokus
kepada hasil, dan bukan hanya pada proses, melihat sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan efek hasil pada individu di dalam organisasi itu.
Kemudian sejauh mana kegiatan kerja di organisasikan sekitar tim-tim, bukannya
individu-individu, melihat sejauh mana karyawan itu agresif dan kompetitif, bukannya
santai-santai, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status
quo sebagai kontras dari pertumbuhan, lalu sejauh mana karyawan berani berinovasi
dan menghadapi resiko pekerjaan. Sampai pada akhirnya.
Berbagai karakteristik tersebut berlangsung pada suatu kontinum dari rendah ke tinggi.
Gambaran yang cukup komprehensif mengenai organisasi antara lain dapat diperoleh
dengan melakukan penilaian berdasarkan karakteristik-karakteristik tersebut. Dengan
demikian, hal tersebut dapat dijadikan dasar bagi pemahaman bersama dari anggota-
anggota organisasi, dasar bagi penyelesaian urusan di dalam organisasi, serta cara
berperilaku anggota-anggota organisasi (Robbins, 2002: 247-248).
Dengan melihat bagaimana awalnya suatu budaya organisasi terbentuk, sampai kepada
proses sosialisasinya, persoalannya tentu tidak akan berhenti pada apakah budaya
organisasi yang ada disukai atau tidak. Namun diharapkan setelah nilai-nilai dan
karakteristik budaya organisasi tersebut terinternalisasi, pengaruhnya akan tampak
lebih signifikan antara lain kepada kepuasan kerja ataupun kinerja dari para anggota
organisasi. Robbins (2002: 265) mendeskripsikan bagaimana nilai-nilai/karateristik
dari budaya organisasi mempengaruhi kinerja dan kepuasan dalam gambar berikut ini
:
7
D. Tingkatan Budaya Organisasi
Dalam mempelajari budaya organisasi ada beberapa tingkatan budaya dalam sebuah
organisasi,, dari yang terlihat dalam perilaku (puncak) sampai pada yang tersembunyi.
Schein (dalam Mohyi 1996: 85) mengklasifikasikan budaya organisasi dalam tiga
kelas, antara lain :
1. Artefak
Artefak merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan
fisik dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi.
3. Asumsi dasar
Adalah keyakinan yang dimiliki anggota organisasi tentang diri mereka sendiri,
tentang orang lain dan hubungan mereka dengan orang lain serta hakekat
organisasi mereka.
1. Artefak
Artefak merupakan aspek-aspek budaya yang terlihat. Artefak lisan, perilaku, dan
fisik dalam manifestasi nyata dari budaya organisasi
2. Perspektif
Perspektif adalah aturan-aturan dan norma yag dapat diaplikasikan dalam konteks
tertentu, misalnya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, cara
anggota organisasi mendefinisikan situasi-siatuasi yang muncul. Biasanya anggota
menyadari perspektif ini.
3. Nilai
Nilai ini lebih abstrak dibanding perspektif, walaupun sering diungkap dalam
filsafat organisasi dalam menjalankan misinya.
4. Asumsi
Asumsi ini seringkali tidak disadari lebih dalam dari artefak, perspektif dan nilai.
8
E. Fungsi Budaya Organisasi
Fungsi budaya pada umumnya sukar dibedakan dengan fungsi budaya kelompok atau
budaya organisasi, karena budaya merupakan gejala sosial. Menurut Ndraha (1997 :
21) ada beberapa fungsi budaya, yaitu :
1. Sebagai identitas dan citra suatu masyarakat
2. Sebagai pengikat suatu masyarakat
3. Sebagai sumber
4. Sebagai kekuatan penggerak
5. Sebagai kemampuan untuk membentuk nilai tambah
6. Sebagai pola perilaku
7. Sebagai warisan
8. Sebagai pengganti formalisasi
9. Sebagai mekanisme adaptasi terhadap perubahan
10. Sebagai proses yang menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga
terbentuk nation – state
Kebiasaan pada saat ini, tradisi, dan cara-cara umum untuk melaksanakan pekerjaan
kebanyakan berasal dari apa yang telah dilaksanakan sebelumnya dan tingkat
keberhasilan dari usaha-usaha yang telah dilakukan. Ini membawa kita kepada sumber
utama dari budaya sebuah organisasi yaitu para pendirinya.
9
3. Kelompok inti memulai serangkaian tindakan untuk menciptakan organisasi,
mengumpulkan dana, menentukan jenis dan tempat usaha dan lain sebagainya
4. Orang-orang lain dibawa kedalam organisasi untuk berkarya bersama-sama
dengan pendiri dan kelompok inti, memulai sebuah sejarah bersama
Begitu juga Nimran (2004: 138) menulis bahwa pembinaan budaya organisasi
dapat dilakukan dengan serangkaian langkah sosialisasi berikut :
1. seleksi pegawai yang obyektif
2. penempatan orang dalam pekerjaannya yang sesuai dengan kemampuan dan
bidangnya (the right man on the place)
3. perolehan dan peningkatan kemahiran melalui pengalaman
4. pengukuran prestasi dan pemberian imbalan yang sesuai
5. penghayatan akan nilai-nilai kerja atau lainnya yang penting
6. cerita-cerita dan faktor organisasi yang menumbuhkan semangat dan kebanggaan
7. pengakuan dan promosi bagi karyawan yang berprestasi.
10
BAB III
PEMBAHASAN
A. Studi Kasus
Tiga tahun kemudian nilai persediaan dari Apria telah merosot sebesar 25%, dan
penghasilan menurun. Sejauh mana kemerosotan Apria merupakan bukti yang cepat ;
ketika usaha mulai mencari perusahaan lain untuk mengambil –alih perusahaan, hanya
beberapa pembeli tampak tertarik. Apa yang terjadi ini terutama karena oleh masalah
operasional yang disebabkan oleh merger. Masalah masalah tersebut tidak dapat
diselesaikan karena konflik internal yang terjadi antara bekas eksekutif dan tenaga kerja
Homedco dan Abbey Healthcare. Puncaknya, BOD, yang bahkan terpisah dapat menerima
keputusan untuk mengganti Timothy Aitken, yang semula adalah CEO Abbey Healthcare,
dengan Jeremy Jones dari Homedco untuk menjabat sebagai CEO.
Tampak nyata dari semula bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki budaya organisasi
yang sangat berbeda. Homedco memiliki struktur yang lebih formal dengan pembuatan
keputusan yang lebih terpusat, sedangkan Abbey Healthcare pembuatan keputusan bersifat
sangat desentralisasi dan manajer cabang mempunyai wewenang yang sangat besar. Juga,
penggabungan sistem komputer dan penagihan dengan menggunakan sistem Abbey
Healthcare berarti bahwa tenaga kerja yang berasal dari Homedco harus mendapatkan
pelatihan, dimana hal ini tidak dapat terjadi begitu cepat. Sebagai akibatnya, banyak sekali
kesalahan dalam penagihan yang menimbulkan keluhan dan telepon dari pelanggan yang
tidak puas yang diterima oleh departemen pelayanan pelanggan pria.
Untuk menghemat biaya dan menghilangkan duplikasi tugas, lebih kurang 14% dari tenaga
kerja pada perusahaan yang digabungkan tersebut kehilangan pekerjaan. Akan tetapi,
jumlah terbesar dari mereka adalah tenaga kerja yang sebelumnya merupakan tenaga kerja
Abbey. Untuk mereka yang masih tinggal di perusahaan, tampak bahwa kebanyakan
manajer Homedco tidak terpengaruh dibandingkan dengan yang dialami manajer Abbey
Healthcare.
11
Sebagai contoh, hanya ada 6 dari 21 manajer regional yang sebelumnya mereka bekerja
untuk Abbey Healthcare, di mana dalam hal ini mengakibatkan kebanyakan perwakilan
penjualan Abbey yang mempunyai kinerja yang baik memilih keluar dari perusahaan.
Bahkan perubahan beberapa peraturan dasar Sumber Daya Manusia telah menimbulkan
masalah.
Contohnya, ketika peraturan Sumber Daya Manusia Homedco digunakan di kantor Abbey,
kode yang baru dan prosedur penyimpanan data mengganggu beberapa tenaga kerja yang
merupakan tenaga kerja Abbey sebelumnya. Sehingga mengakibatkan banyak sekali dari
mereka yang meninggalkan perusahaan pada tahun pertama penggabungan.
Karena tingkat konflik yang sangat hebat menyebabkan tenaga kerja dari satu perusahaan
menganggap mereka yang berasal dari perusahaan lain adalah “orang bodoh” dan menolak
untuk membalas menelepon kembali tenaga kerja dari perusahaan lain. Akhirnya, baik
Aitken maupun Jones meninggalkan perusahaan, dan tim eksekutif yang baru berjuang
untuk membangun kembali Apria. Bukannya menjadi merger yang sehat, malahan
menciptakan “merger dari neraka”.
Sayangnya, situasi ini bukanlah hal yang tabu, budaya konflik serupa juga telah
melenyapkan keefektivan merger oleh perusahaan dalam bidang industri yang lain. Salah
satu contoh adalah merger antara dua lembaga keuangan yaitu Society Corp. dan Key
Corporation (Key Corp.).
12
BAB IV
HASIL PEMBAHASAN
B. Analisis Kasus
Melihat dari masalah yang terjadi di atas, salah satunya adalah mengenai penggabungan
dari 2 budaya organisasi yang berbeda. Masalah tersebut sering terjadi kepada perusahaan-
perusahaan yang melakukan penggabungan atau merger perusahaan. Perbedaan 2 budaya
menjadi satu tersebut malah membuat perusahaan memiliki penurunan dalam pasar. Oleh
karena itu, seharusnya perusahaan tersebut harus menciptakan kembali suatu budaya
organisasi yang etis agar perusahaan tersebut dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut
harus dimulai dari pimpinan (CEO) perusahaan tersebut.
Pemimpin seharusnya dapat menjadi model peran yang visible yang baik, dan tidak
memihak kepada perusahaannya terdahulu sebelum di merger tersebut, pimpinan harus
dapat menjadi penengah dan memberikan peran yang baik di depan para karyawannya,
sehinga hal tersebut dapat memberikan pesan positif bagi semua karyawannya. Kemudian
pimpinan mengkomunikasikan kembali harapan harapan yang etis yaitu berupa kode etik
organisasi. Kode etik tersebut tentu saja harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan
berbagai aturan yang baru yang dapat dipatuhi oleh para karyawan.
Pemimpin juga dapat memberikan beberapa pelatihan etis seperti seminar, loka karya dan
yang lain-lain yang nantinya dapat memperkuat standar tuntutan organisasi, mana yang
diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan di dalam organisasi.
Setelah itu, pemimpin dapat secara nyata memberikan penghargaaan kepada karyawan
yang menjunjung tinggi kode etik tersebut, dan memberikan hukuman kepada karyawan
yang melanggar, dengan begitu akan membuat karyawan untuk selalu menjunjung tinggi
kode etik dari budaya organisasi tersebut. Terakhir pemimpin dapat mengadakan
mekanisme formal di dalam organisasi yang dapat mengurusi perihal kode etik tersebut.
Sehingga karyawan dapat melaporkan hal-hal yang terjadi dalam perusahaan yang
melanggar kode etik tersebut dan ditindak lanjuti.
Dengan beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemimpin tersebut dalam
menciptakan kembali budaya organisasi, dapat membuat perusahaan tersebut berjalan
kembali dengan lancar dan tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua
perusahaan yang telah di merger tersebut.
13
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan teori-teori di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan
dipahami bersama oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam
organisasi.
2. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri hanya merekrut
dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka.
Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan
berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak
sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri.
3. Terdapat 7 karakteristik dalam organisasi, yaitu: orientasi hasil, orientasi orang,
orientasi tim, keagresifan, kemantapan/stabilitas, inovasi dan keberanian
mengambil resiko, dan perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
4. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin untuk
menciptakan budaya organisasi yang etis, yaitu menjadi model peran yang visible,
mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis kepada karyawan, memberikan
pelatihan etis, memberikan penghargaan atas tindakan etis dan hukuman terhadap
tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan mekanisme perlindungan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul Azis. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan (Telaah
Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung : Alfabeta
Larissa A. Grunig, James E. Grunig, Dkk. 2002. Excellent Public Relations and Effective
Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries. New Jersey :
Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
Antonius Atoshoki Gea dan Antonina Panca Yuni Wulandari. 2006. Character Building IV
:Relasi dengan Dunia. Jakarta: Elex Media Komputindo)
Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2. Jakarta:
Salemba Empat.
http://mahalapie.files.wordpress.com/2012/03/bab-12-budaya-organisasi.ppt
http://www.sarjanaku.com/2012/07/pengertian-budaya-organisasi-definisi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
http://file.upi.edu/Direktori/FPEB/PRODI._MANAJEMEN_FPEB/197207152003121-
CHAIRUL_FURQON/Artikel-Organizational_Culture.pd
15