Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benign Pristat Hyperplasia (BPH) merupakan penyakit yang berhubungan dengan
penuyaan yang paling sering terjadi pada pria. Gejala yang dirasakan dapat mengganggu
aktivitas sehari- hari yang normal dan mengganggu pola tidur. Gejala yang dialamo
biasanya berupa peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, penurunan aliran air kencing
dan adanya rasa tidak puas xsetelah buang air kecil. Tatalaksana BPH mencakup
tatalaksana non bedah dan pembedahan.
Salah satu pembedahan yang sering dilakukan adalah Transurethral Rectoplasty of
the Prostate (TURP). TURP masih merupakan salah satu terapi standar dari Hipertropi
Prostat Benigna (BPH) yang menimbulkan obstruksi uretra. Operasi ini sudah dikerjakan
mulai beberapa puluh tahun yang lalu diluar negeri dan berkembang terus dengan makin
majunya peralatan yang dipakai. Tapi di Indonesia ini relatif baru. Terapi ini populer
karena trauma operasi pada TURP jauh lebih rendah dibandingkan dengan prostat dengan
mengguanakan kauter yang dilakukan secara visual. Dalam TURP dilakukan irigasi untuk
mengeluarkan sisa- sisa jaringan dan untuk menjaga visualisai yang bisa terhalang karena
perdarahan. Karena seringnya tindakan ini dilakukan maka komplikasi tindakan serta
pencegahan komplikasi makin banyak diketahui.
Komplikasi pasca TURP dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu
komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut adalah ruptur
dari vesika urinaria, perforasi rectal, inkontinensia, insisi pada orifisium uretra sehingga
dapat terbentuk striktira, perdarahan epididimis, sepsis dan TUR Syndrome. Sementara
itu komlikasi jangaka panjang yang dapat terjadi antara lain adalah: ejakulasi retrograd,
gangguan ereksi, inkontinensia, perlunya operasi ulang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan TURP-Syndrom?
2. Apa saja etiologi dari TRUP-Syndrom?
3. Apa saja manifestasi klinis dari TURP-Syndrom?
4. Bagaiamana penatalaksanaan dari TURP-Syndrom?
5. Bagimana asuhan keperawatan dari pasien TURP-Syndrom?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan TURP-Syndrom
2. Untuk mengetahui apa saja etiologi dari TRUP-Syndrom
3. Untuk mengetahui apa saja manifestasi klinis dari TURP-Syndrom
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari TURP-Syndrom
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari pasien TURP-Syndrom
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Definis
Menurut Purnomo (2011) TUR-P merupakan sebuah operasi reseksi kelenjar
prostat yang dilakukan transhuretral dengan menggunakan cairan irigan (pembilas) yang
dimaksudkan menghilangkan hyperplasia prostat yang menekan uretra. Operasi ini perlu
dilakukan pada pasien Benigna Prostat Hyperplasia. Karena dapat menyebabkan
penekanan pada uretra yang dapat menyebabkan penyumbatan yang pada akhirnya dapat
menimbulkan hydronefrosis, dan gagal ginjal.
Sedangkan menurut Srinami (2013) Transurethral Resection of Prostate (TUR-P)
merupakan prrosedur baku dalam hyperplasia prostat yang disertai retensi urin akut
berulang atau kronis. Prosedur ini dilakukan dengan menggunakan alat resectoscope yang
dimasukkan melalui uretra untuk mencapai kelenjar prostat. Alat ini dapat memotong
jaringan yang menonjol kedalam uretra prostatika dalam bentuk potongan- ptongan kecil.
Potongan jaringan hasil reseksi kemidain dievakuasi dari kandung buli- buli dengan
menggunakan cairan irigasi.
Sindrom TUR-P adalah suatu keadan klinik yang ditandai dnegan kumpulan gejala
akibat gangguan neurologik, kardiovaskuler, dan elektrolit yang disebabkan oleh
diserapnya cairan irigasi melalui vena-vena prostat atu cabangnya pada kapsul prostat
yang terjadi selama operasi.
Sindrom TUR-P adalah komplikais sistemik yang disebabkan oleh penyerapan
yang berlebihan cairan irigasi elektrolit.
2.2 Etiologi
Komplikasi tindakan TURP dapat diakibatkan oleh teknik tindakan maupun
akibat pengunaan cairan irigasi. Berkaitan teknik tindakanya dapat mengakibatkan
komplikasi perdarahan, trauma pada uretra, dan perforasi prostat atau buli-buli.
Sedangkan komplikasi yang berkaitan dengan penggunaan cairan irigasi dapat terjadi
akibat diabsorbsinya cairan irigasi secara berlebihan dan dalam volume besar (Srinami &
dkk, 2013).
TUR Syndrome disebabkan oleh absorbsi masif dari cairan irigasi. Absorbsi masif
tergantung oleh: Proses TURP yang lama. Absorbsi meningkat jika reseksi dilakukan
lebih dari 90menit Tekanan intravaskuler meningkat karena tinggi bagian irigasi lebih
dari 60 cm di atas lokasi pembedahan. Banyak sinus prostat yang terbuka. Semakin besar
prostat yang direseksi, semakin banyak sinus prostat yang terbukaJenis cairan irigan
yang digunakan.
Diperkirakan 2% dari pasien yang dilakukan TURP mengalami Sindrom TUR dari
berbagai tingkat. Suatu penelitian yang dilakukan di Filipina menunjukkan angka
kekerapan sebesar 6%. Penelitian yang lain menunjukkan frekuensi Sindoma TUR
sampai 10%. Penelitian Marrero menunjukkan frekuensi Sindrom TUR meningkat bila:
1. Prostat yang ukurannya lebih dari 45 gr.
2. Operasi yang berlangsung lebih dari 90 menit
3. Cairan irigasi 30 liter atau lebih
4. ketinggian cairan irigasi lebih dari 60 cm
Karena itu TURP hanya boleh dilakukan jika ahli bedah yakin bahwa operasi pasti
dapat diselesaikan tidak lebih dari 90 menit.
Sebaliknya risiko Sindrom TUR akan menurun bila:
1. Dipakai cairan irigasi yang tidak menimbulkan hemolisis (isotonik).
2. Tekanan cairan irigasi yang masuk (in flow) dijaga serendah mungkin.
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya sindroma TURP adalah circulatory
overload, keracunan air, dan hiponatremia.
1. Circulatory overload
Penyerapan cairan irigasi praktis terjadi pada semua operasi TURP dan hal ini
terjadi melalui jaringan vena pada prostat. Menurut penelitian, dalam 1 jam pertama dari
operasi terjadi penyerapan sekitar 1 liter cairan irigasi yang setara dengan penurunan
akut kadar Na sebesar 5-8 mmol/liter. Penyerapan air di atas 1 liter menimbulkan risiko
timbulnya gejala sindrom TUR. Penyerapan air rata-rata selama TUR adalah 20
ml/menit. Dengan adanya circulatory overload, volume darah meningkat, tekanan darah
sistolik dan diastolik menurun dan dapat terjadi payah jantung. Cairan yang diserap akan
menyebabkan pengenceran kadar protein serum, menurunnya tekanan osmotik darah.
Pada saat yang sama, terjadi peningkatan volume darah dan cairan di dorong dari
pembuluh darah ke dalam jaringan interstitial dan menyebabkan udema paru dan cerebri.
Di samping absorbsi cairan irigasi ke dalam peredaran darah sejumlah besar cairan dapat
terkumpul di jaringan interstitial periprostat dan rongga peritoneal. Setiap 100 cc cairan
yang masuk ke dalam cairan interstitial akan membawa 10-15 ml eq Na. Lamanya
pembedahan berhubungan dengan jumlah cairan yang diserap. Morbiditas dan mortalitas
terbukti tinggi bila pembedahan berlangsung lebih dari 90 menit.
Penyerapan cairan intravaskuler berhubungan dengan besarnya prostat sedang
penyerapan cairan interstitial tergantung dengan integritas kapsul prostat. Circulatory
overload sering terjadi bila prostat lebih dari 45 gram. Faktor penting yang berhubungan
dengan kecepatan penyerapan cairan adalah tekanan hidrostatik dalam jaringan prostat.
Tekanan ini berhubungan dengan tingginya tekanan cairan irigasi dan tekanan dalam
kandung kencing selama pembedahan. Tinggi dari cairan irigasi adalah 60 cm yang dapat
memberikan kecepatan 300 cc cairan permenit dengan visualisasi yang baik .
2. Keracunan air
Beberapa pasien dengan sindrom TUR menunjukkan gejala dari keracunan air karena
meningkatnya kadar air dalam otak. Penderita menjadi somnolen, inkoheren dan gelisah.
Dapat terjadi kejang-kejang dan koma, dan posisi desereberate. Dapat terjadi klonus dan
refleks babinsky yang postif. Terjadi papil udem dan midriasis. Gejala keracunan air
terjadi bila kadar Na 15-20 meq/liter di bawah kadar normal.
3. Hiponatremia
Na sangat penting untuk fungsi sel jantung dan otak. Beberapa mekanisme terjadinya
hiponatremia pada pasien TUR adalah:
a. Pengenceran Na karena penyerapan cairan irigasi yang besar.
b. Kehilangan Na dari daerah reseksi prostat ke dalam cairan irigasi.
c. Kehilangan Na ke dalam kantong-kantong cairan irigasi di daerah periprostat dan
rongga peritoneal.
Gejala hiponatremia adalah gelisah, bingung, inkoheren, koma, dan kejang-
kejang. Bila kadar Na di bawah 120 meq/liter, terjadi hipotensi dan penurunan
kontraktilitas otot jantung. BIla kadar Na di bawah 115 meq/liter, terjadi bradikardi dan
kompleks QRS yang melebar, gelombang ektopik ventrikuler dan gelombang T yang
terbalik. Di bawah 100 meq/liter terjadi kejang-kejang, koma, gagal napas, takikardi
ventrikel, fibrilasi ventrikel, dan cardiac arrest.
4. Koagulopati
Pada Sindroma TUR dapat terjadi Disseminated Intravasculer Coagulation (DIC)
yang terjadi akibat lepasnya partikel prostat yang mengandung tromboplastin dalam
jumlah besar ke dalam peredaran darah dan menyebabkan fibrinolisis sekunder. DIC ini
dapat diketahui dari turunnya kadar trombosit dan meningkatnya Fibrin Degradation
Product (FDP) serta kadar fibrinogen yang rendah.
5. Bakteriemia dan Sepsis
Pada 30% penderita yang dilakukan TURP sudah terjadi infeksi sebelum operasi.
Bila sinus vena prostat terbuka sebelum operasi dan dilakukan irigasi dengan tekanan
tinggi maka kuman bisa masuk ke dalam peredaran darah dan terjadi bakteremia. Pada
6% pasien bakteremia ini menyebabkan sepsis.

2.3 Manifestasi Klinis


Sindrom TUR dapat terjadi kapan pun dalam fase intra operatif dan dapat terjadi
beberapa menit setelah pembedahan berlangsung sampai beberapa jam setelah selesai
pembedahan. Penderita dengan anestesi regional menunjukkan keluhan-keluhan sebagai
beriku.
a. Pusing, nyeri kepala
b. Mual
c. Rasa tertekan di dada dan tenggorokan
d. Napas pendek
e. Gelisah
f. Bingung
g. Nyeri perut
h. Tekanan sistolik dan diastolik meningkat, nadi menurun.
i. Bradikardi
j. Dapat berlanjut menjadi respiratory distress, hypoxia, pulmonary oedema,
nausea,vomiting, confusion dan coma
k. Tanda dan gejala dideteksi lebih dini pada pasien sadar
l. Pada pasien tidak sadar (dianestesi),tanda yang muncul hanya: takikardi dan
hipertensi.
Bila penderita tidak segera di terapi maka penderita menjadi sianotik, hipotensif
dan dapat terjadi cardiac arrest. Beberapa pasien dapat menunjukkan gejala neurologis.
Mula-mula mengalami letargi dan kemudian tidak sadar, pupil mengalami dilatasi. Dapat
terjadi kejang tonik klonik dan dapat berakhir dengan koma. Bila pasien mengalami
anestesi umum, maka diagnosa dari sindrom TURP menjadi sulit dan sering terlambat.
Salah satu tanda adalah kenaikan dan penurunan tekanan darah yang tidak dapat
diterangkan sebabnya. Perubahan ECG dapat berupa irama nodal, perubahan segmen ST,
munculnya gelombang U, dan komplek QRS yang melebar.
Hipotermi sering terjadi pada pasien yang mengalami TURP. Irigasi kandung
kencing merupakan penyebab penting kehilangannya panas tubuh dan hal ini ditambah
dengan suhu kamar operasi yang rendah. Hipotermi sering terjadi pada penderita lanjut
usia karena gangguan saraf otonomik.

2.4 Penatalaksanaan
1. Menilai Air way, Breating and circulation. Pertimbangkan pemasangan intubasi jika
terjadi odema paru, menilai arteri dan vena central dan evaluasi hemodinamic dan
terapi cairan.
2. Jika dideteksi saat intra operatif terjadi syndrome TUR maka tindakan operasi harus
di hentikan
3. Jika pasien gelisah atau berontak berikan benzodiazepan atau barbiturat
4. Kirim sample darah untuk mengetahui electrolit, ABG, dan kougulasi
5. Pada kasus syndrome TUR biasanya Na < 120 mEq/L
6. Jika Na < 120 mEq/L berikan terapi hipertonic salin, cairan salin 3% tidak lebih dari
100 ml/jam diberikan kontinyu sampai sodium serum > 120 mEq/L. Sodium serum
tidak akan meningkat lebih dari 12 mEq/L dalam 24 jam.
7. Jika Na > 120 mEq/L berikan furosemid dan Cairan infus dihentikan.
8. Selanjutnya observasi perubahan sistemic dan frequensi darah yang keluar
BAB III
KONSEP ASKEP

3.1 Pengkajian
1. Identitas:
Nama :-
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : usia > 45 th
Alamat :-
Pekerjaan :-
Pendidikan :-
No. Registrasi :-
Ras/suku :-
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama: nyeri
b. Riwayat penyakit sekarang: klien biasanya mengeluh nyeri perut bawah bagian
supra pubik hingga pinggang punggung, rasa tidak puas sehabis miksi (berkemih),
terasa sakit dan sulit saat BAK (disuria), kencing terputus-putus (intermiten).
c. Riwayat penyakit dahulu: Kaji apakah klien memiliki riwayat penyakit ginjal, ISK
kronik, konsumsi obat anti hypertensi.
d. Riwayat penyakit keluarga: Kaji apakah ada anggota keluarga mengalami penyakit
BPH.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : tampak lemah
b. Kesadaran : komposmentis
c. Pemeriksaan tanda-tanda vital :
TD : meningkat (normal 120/80 mmHg)
Nadi : bradikardi (60-100 x/mnt)
Suhu : menigkat (36,5-37,5°C)
RR : normal (18-24 x/mnt)
d. Head to toe
1) Kepala dan leher
Inspeksi : tidak ada luka, bentuk simetris, tidak ada benjolan
Palpasi : tidak ada nyeri tekan,tidak ada krepitasi
2) Dada
Inspeksi : gerak dada simetris atau tidak, terdapat jejas atau tidak.
Palpasi : adanya benjolan atau tidak, tidak ada krepitasi dan nyeri tekan.
Perkusi : Suara normal sonor
Auskultasi : Paru-paru : suara nafas vesikuler,
Jantung : S1 S2 tunggal reguler, tidak ada suara murmur.
3) Abdomen
Inspeksi : tidak ada jejas,
Palpasi : adanya nyeri tekan di perut bawah bagian supra pubik, terdapat distensi
kandung kemih.
Auskultasi : bising usus normal (12x/mnt)
4) Genetalia
Palpasi : Pada pemeriksaan colok dubur pada prostat menunjukkan prostat
teraba membesar,konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung,
permukaan rata, lobus kanan dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan
menonjol kedalam rektum.
e. Pengkajian Pola Fungsional
1) Persepsi dan managemen kesehatan
Bila mengalami sakit biasanya klien berobat ke pelayanan kesehatan.
2) Nutrisi / cairan
Sebelum MRS klien biasa makan 3 kali sehari. Sejak MRS klien mengatakan
nafsu makan menurun.
3) Eliminasi
Pasien mengalami gangguan eliminasi (inkontinensia urine), pancaran urine
tersendat, kencing tidak tuntas, nocturia, disuria, hematuri, konstipasi, distensi
abdomen/bledder.
4) Aktifitas/istirahat
Biasanya sebelum MRS pasien dapat bebas beraktivitas dan tanpa bantuan. Saat
MRS pasien lemah dan tidak dapat beraktivitas seperti biasanya karena nyeri
yang di rasakan.
5) Kognitif perceptual
Biasanya pasien dan keluarga mengatakan ingin cepat sembuh dan segera
pulang.
6) Istirahat dan tidur
Saat MRS klien biasanya susah tidur karena pasien mengalami nyeri pada luka
operasi.
7) Peran dan hubungan
Biasanya pasien di RS ditunggu oleh keluarga dan pasien tidak dapat
menjalankan perannya akibat pasien dirawat di RS.
8) Reproduksi
Pasien biasanya mengalami disfungsi seksual.
9) Keyakinan dan nilai
Saat MRS klien beribadah sholat di atas bed karena tidak kuat berjalan akibat
kepala sakit.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan elektrolit; Na < 115meq/l
b.Pemeriksaan EKG; perubahan segmen ST, kompleks QRS yang melebar
c. Urinalisis : warna kuning sampai kemerahan, keruh, lekosit meningkat (mikroskopis),
pH 7 atau lebih
d. Kultur urine : Stap. Aureis, klibseela, proteus, pseudomonas, e.colli.
e. BUN >20/100 cc, creatinin > 1 % pada stadium lanjut.

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa Pre Operasi
1 Nyeri akut b.d distensi kandung kemih
2 Gangguan pola eliminasi urine (retensi urine akut/kronik ) b.d obstruksi oleh
pembesaran prostat.
3.3 Nursing Care Plan
Diagnosa Keperawatan Pre Operasi
No.
Diagnosa NOC NIC
Dx
1. Nyeri berhubungan dengan distensi Setelah dilakuakan keperawatan selama Pain management
kandung kemih 2x24 jam diharapkan rasa nyeri teratasi 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
. dengan kriteria hasil: komprehensif termasuk lokasi,
1. Mampu mengontrol nyeri karakteristik, durasi, frekuensi,
(mengetahui penyebab nyeri, mampu kualitas dan faktor presipitasi.
menggunakan teknik nonfarmakologi 2. Tingkatkan istirahat
untyk mengurangi nyeri, mencari 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
bantuan). untuk mengetahui pengalaman nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang pasien
dengan menggunakan manajemen 4. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
nyeri. (farmakologi, non farmakologi, dan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, interpersonal).
intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri). 5. Berikan analgesik untuk mengurangi
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri.
nyeri berkurang. 6. Cek riwayat alergi obat
2. Gangguan pola eliminasi urine Setelah dilakuakan keperawatan selama Urinary retention care.
(retensi urine akut/kronik ) b.d 2x24 jam diharapkan gangguan 1. Observasi kandung kemih dengan
obstruksi oleh pembesaran prostat. eliminasi urine teratasi dengan kriteria berfokus pada inkontinensia (misalnya
. hasil: output urine, pola berkemih, fungsi
1. Kandung kemih kosong secara total. kognitif dan masalah kencing)
2. Bebas dari ISK 2. Merangsang refleks kandung kemih
3. Tidak ada spasme bladder dengan menerapkan kompres dingin
pada perut.
3. Rawat meatus cateter
4. Memantau tingkat distensi kandung
kemih dengan palpasi dan perkusi
5. Merujuk ke spesialis kontinensia
kemih.
DAFTAR PUSTAKA

Micheal,Claybon. (2012). TURP Syndrome. http://anes.med.umich.edu/vault/1000944-


turp.pdf
Purnomo, B. (2011). Dasar- dasar urologi. Edisi ke tiga. Yogyakarta: Sagung Seto.

Srinami, Dewi, dkk. (2013). Perbedaan osmolalitas dan PH darah pada tindakan
Transurethral resection of prostat (TURP) yang diberikan natrium laktat hipertonik
ml/kgBB dengan natrium klorida 0,9% 3ml/kg BB.

Anda mungkin juga menyukai