Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

Kusta merupakan penyakit tertua. Kata tusta berasal dari bahasa India
Khusta, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata kusta disebut di dalam
kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencangkup
beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai
penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kita kenal
sekarang.1
Diagnosis lepra yang akurat merupakan dasar yang penting untuk semua
aspek pada penyakit termasuk epidemiologi, manajemen kasus dan pencegahan
kecacatan. Keterlambatan diagnosis kusta tidak jarang terjadi dan lebih umum
terjadi negara-negara non-endemik di mana penyakit ini jarang terjadi. Periode
inkubasi yang panjang, presentasi klinis yang bervariasi dan kurangnya keahlian
tentang penyakit tersebut merupakan kemungkinan alasan keterlambatan
diagnosis.2
Tingginya angka kecacatan kusta disebabkan oleh keterlambatan dalam
penemuan kasus. Ketika ditemukan baik penderita yang datang berobat ke tempat
pelayanan kesehatan maupun yang ditemukan di masyarakat telah mengalami
kecacatan. Hasil penelitian Cardona dan Castro (2013) menyebutkan bahwa angka
kecacatan mencapai 30% (tingkat 1dan 2) pada saat diagnosis dari kasus baru
dilaporkan. Angka tersebut diindikasikan sebagai konsekuensi dari keterlambatan
penemuan kasus baru.3
.

20
21

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

2.2 Epidemiologi
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang
eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada tahun 2000
dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi dibawah 1 kasus per 10.000
penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000.1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir telah
menurun tajam di sebagian besar Negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal
dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007. Di
Indonesia jumlah kasus kusta yang terctata permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang. Distribusi
tidak merata, yang tertinggi antara lain Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan,
Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,76.1
2.3 Etiologi
Mycobacterium leprae: Bersifat intraseluler acid-fast bacillus;
mereproduksi secara optimal pada 27 hingga 30 °C. Organisme tidak dapat
dibiakkan secara in vitro. Menginfeksi kulit dan saraf kulit (Schwann sel basal
lamina). Pada pasien yang tidak diobati, hanya 1% dari organisme dapat
hidup. Tumbuh baik di jaringan yang lebih dingin (kulit, saraf perifer, bilik
mata anterior, saluran pernapasan bagian atas, dan testis), area kulit yang lebih
hangat (aksila, selangkangan, kulit kepala, dan garis tengah punggung).
Manusia merupakan tempat utama M. leprae. Armadillo liar (Amerika Serikat
22

bagian selatan), monyet mangabey dan simpanse terinfeksi dengan M. leprae


secara alami; armadillo bisa menyebabkan lesi lepromatous4

2.4 Pathogenesis
Manusia merupakan reservoar utama bagi M. leprae. Namun di southern
United States, pada binatang nine-banded armadillos juga dapat terinfeksi M.
leprae sehingga menimbulkan pula lesi lepromatosa.4
Kuman ini sangat baik berkembang biak pada jaringan tubuh yang lebih
dingin (kulit, saraf perifer, bilik anterior mata, traktus respiratorius bagian
atas, lobus teinga dan testis) serta area yang lebih hangat (axilla, pangkal
paha, kulit kepala dan midline back)4
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenesitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih , bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan
antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh
respon imun yang berbeda, yang menggunggah timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh
karena itu panyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala
klinisnya lebih sebanading dengan tingkat reaksi selulamnya daripada
intensitas infeksinya.1
2.5 Gejala Klinis
Bila kuman M. leprae masuk ke tubuh sesorang, dapat timbul gejala klinis

sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada

sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, akan tampat gambaran

klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya bila SIS rendah, memberikan gambaran

lepromatosa. Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum

determinate pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk,

yaitu 1:

TT : Tuberkuloid polar
23

Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar

Gambar 1.2 Spektrum Determinate Morbus Hansen


Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. 2017. Kusta, dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi 7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.87-102.

TIipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe

tuberkuloid polar yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe stabil, jadi tidak

mungkin berubah tipe. Begitu pula dengan tipe LL, tipe lepromatosa polar yakni

lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah

lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran antara

tuberkuloid dan lepromatosa. Tipe BBadalah tipe campuran terdiri dari 50%

tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya serta


24

BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini bersifat labil

yang berarti bebas beralih baik ke tipe TT maupun LL.1

Tabel 1.1 Gambaran Klinis Morbus Hansen menurut Ridley dan Jopling
Sifat TT BT BB BL LL
Lesi
Makula
Plakat
Makula Infiltrat
Domeshape
Bentuk Makula Infiltat Plakat difus
d
Papul Papul
Punched-out
Nodus
Sukar
Beberapa Tidak
dihitung,
atau satu Dapat terhitung,
Jumlah Satu masih
dengan dihitung tidak ada
ada kulit
satelit kulit sehat
sehat
Asimetri Hampir
Distribusi Asimetris Asimetris Simetris
s simetris
Kering Kering Agak kasar, Halus Halus
Permukaan
bersisik bersisik agak berkilat berkilat berkilat
Agak
Batas Jelas Jelas Agak jelas Tak jelas
jelas
Anestesia Jelas Jelas Lebih jelas Tak jelas Tak jelas
BTA
Hampir Negatif
Lesi Kulit Agak
selalu atau Banyak Banyak
(BTA) banyak
negatif hanya 1+
Tes Positif Positif
Negatif Negatif Negatif
Lepromin kuat (3+) lemah
Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. 2017. Kusta, dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.87-102.
25

Gambar 1.3 Morbus Hansen Tipe TT


Delphine JL, Thomas HR, Robert LM. 2008. Leprosy in Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 7th Edition. Vol 1&2. USA: McGraw-Hill. pp. 2253-2262.

Gambar 1.4 Morbus Hansen Tipe BT


Delphine JL, Thomas HR, Robert LM. 2008. Leprosy in Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 7th Edition. Vol 1&2. USA: McGraw-Hill. pp. 2253-2262.
26

Gambar 1.5 Morbus Hansen Tipe BL


Delphine JL, Thomas HR, Robert LM. 2008. Leprosy in Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 7th Edition. Vol 1&2. USA: McGraw-Hill. pp. 2253-2262.

Gambar 1.6 Morbus Hansen Tipe LL


Delphine JL, Thomas HR, Robert LM. 2008. Leprosy in Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 7th Edition. Vol 1&2. USA: McGraw-Hill. pp. 2253-2262.
27

Tabel 1.2 Gambaran Klinis Morbus Hansen menurut WHO


PB MB
1 Lesi kulit (makula datar,  1-5 lesi  >5 lesi
papul yang meninggi,  hipopigmentasi/  distribusi
modus) eritema lebih simetris
 distribusi tidak  hilangnya
simetris sensasi
 hilangnya sensasi kurang jelas
yang jelas
2 Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/ kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
3 BTA - +
Wisnu IM, Daili ES, Menaldi SL. 2017. Kusta, dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.91.

2.6 Diagnosa
Diagnosa dan klasifikasi kusta secara tradisional berdasarkan pemeriksaan
klinis dan sering dari informasi tambahan dari lesi kulit. Pemeriksaan
histopatologi, inokulasi dari telapak kaki tikus, tes serologi dan tes reaksi rantai
polimerase (PCR) sebagian besar terbatas pada studi penelitian, tetapi upaya
sedang dilakukan untuk mengembangkan alat baru yang akan membuat tugas
diagnosis dan klasifikasi lebih mudah dan lebih dapat diandalkan. Tiga tanda
kardinal tetap menjadi dasar bagi diagnosis klinis kusta2:
a) Lesi kulit anestesi / hypoanesthetic
b) Menebalnya saraf perifer dengan gangguan sensasi di area yang
disediakan
c) Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit
28

Bila terdapat salah satu dari tanda-tanda ini telah dianggap cukup untuk
diagnosis kusta, sehingga sensitivitasnya tinggi. Setiap tanda juga cukup spesifik
tersendiri sehingga spesifisitas juga tinggi. Potensi kesalahan terbesar adalah
keandala pemeriksaan seorang pasien oleh petugas kesehatan yang belum tahu.
Karena manajemen klinis lepra menjadi terintegrasi ke dalam layanan kesehatan
umum, mayoritas pasien akan didiagnosis dan dikelola oleh dokter non-spesialis.
Oleh karena itu, upaya telah dilakukan untuk menyederhanakan pedoman
diagnosis yang akan digunakan oleh staf di lapangan dengan mempertimbangkan
satu tanda - menemukan patch atau lesi kulit dengan gangguan sensasi. Lainnya
dengan lesi sugestif kusta tetapi tanpa anestesi atau tidak didiagnosis oleh kriteria
tunggal ini dapat dirujuk pusat yang tepat untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ini
strategi diagnostik yang secara rutin diterapkan dalam survei dan banyak program
nasional dapat menyebabkan underdiagnosis, khususnya penyakit multibasiler
(MB) di mana sensasi tetap hampir utuh di tahap awal penyakit. Hal ini
mempengaruhi implikasi epidemiologis dan klinis. Pertama, pasien MB adalah
sumber utama infeksi yang mengarah ke transmisi lebih lanjut dari M. leprae dan
kedua mereka memiliki risiko reaksi dan kerusakan saraf yang lebih besar. 2
Ekstremitas: Neuropati sensoris. ulkus plantar, infeksi sekunder; ulnar
dan peroneal palstes sendi Charcot. Sel skuamosakarsinoma bisa timbul pada
bisul kaki kronis. Hidung: Sinus hidung kronis, epistaksis; penghancuran tulang
rawan hidung. Mata : Palsi pada saraf kranial, lagophthalmus,dan ketidak
sensitifan kornea. Di LL, anterior chamber dapat dengan dengan uveitis.
glaukoma, dan katarak . kerusakan kornea dapat terjadi sekunder akibat trichiasis
dan neuropati sensorik, infeksi sekunder, dan kelumpuhan otot. Testis: Dapat
terlibat dalam LL dengan resultan hipogonadisme. 4
Komplikasi Lepra : Squamous cell carcinoma dapat muncul pada
neurotropik kronis pada ekstremitas bawah. Tumor keganasan derajat rendah
dapat bermetastase ke kelenjar getah bening regional dan menyebabkan kematian.
Secondary Amiloidosis dengan kelianan hati dan ginjal 4
29

Kusta: tipe lepromatous


Seorang wanita Vietnam berusia 60 tahun dengan pengobatan lanjut. Ulnar
palsy, hilangnya jari
tangan kanan, dan deformitas hidung-pelana terkait
dengan hilangnya kartilago hidung terlihat.

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya


berbentuk makula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Buatlah diagnose banding
dengan banyak penyakit kulit lainnya yang hamper serupa, sebeb penyakit kusta
ini mendapat julukan the great imitator dalam ilmu penyakit kulit. Penyakit kulit
yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain dermatofitosis,
tinea versikolor, ptiriasis rosea, ptiriasis alba, dermatitis seboroika, psoariasis,
neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosis, scleroderma, leukemia kutis,
tuberculosis kutis verukosa, and birth mark .1
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anesthesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas. Hal
30

ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri,
kapas terhadap rasa raba, dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut
barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu panas dan dingin dengan
menggunakan 2 tabung reaksi.1
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan pula tidak, dipertegas
dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara mulai dari tengah lesi
ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, garisan kulit normal akan lebih tebal bila
dibandingkan dengan bagian tengah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu,
tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar
menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksa Voluntary Muscle Test
(VMT). 1
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran,
konsistensi, ada/tidaknya nyeri spontan dan atau nyeri tekan. Hanya beberapa
saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. facialis, N. auricularis
magnus, N. ulnaris, N. radialis, N. medianus, N. popliteal lateralis, dan N. tibialis
posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisir
mengikuti tempat lesinya.1
31

Gambar 1.7 Pemeriksaan Saraf Perifer


Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Jakarta.

2.7 Penunjang Diagnosa


Diagnosis morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis cardinal

signs, bakterioskopik, histopatologik dan serologik.

1. Bakterioskopik

Spesimen diambil dari kedua cuping telinga dan lesi yang paling aktif

(paling eritematosa dan infiltratif) karena diharapkan banyak mengandung

kuman pada bagian tubuh yang relatif dingin tersebut. Selain itu, spesimen

dapat diambil dari kedua siku dan lutut. Dimulai dengan desinfeksi lalu jepit

lesi diantara ibu jari dan jari telunjuk sampai menjadi pucat/ iskemik, gunakan

skalpel untuk membuat irisan sampai dermis. Hasil kerokan difiksasi di atas

api dan dilakukan pewarnaan Ziehl Neelsen.4


32

Bentuk M. leprae dibedakan batang utuh (solid), batang terputus

(fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup

sedangkan bentuk fragmented dan granular adalah kuman mati. Kuman hidup

ini lebih berbahaya karena dapat berkembang biak dan menularkan ke orang

lain. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid dinyatakan

dalam indeks bakteri (IB), yaitu:1

1+ : 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ : 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ : 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ : 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ : 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+ : >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Gambar 1.8 M. leprae dalam Pewarnaan Ziehl Neelsen


Lockwood DNJ. 2010. Leprosy In Rook’s Textbook of Dermatology. Wiley Blackwell. p.32.5

2. Histopatologik

M. leprae yang masuk ke dalam tubuh akan difagosit oleh makrofag

yang ada di kulit (histiosit) lalu makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang

tidak dapat bergerak dan kemudian menjadi sel datia Langhans. Pada SIS

rendah, histiosit tidak mampu menghancurkan M. leprae sehingga dijadikan


33

tempat berkembang biak (sel Virchow) sebagai alat pengangkut

penyebarluasan. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi limfosit

disebut tuberkel, penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Sedangkan

akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya dapat membentuk

granuloma.1

Gambar 1.9 Histopatologik M. leprae


Delphine JL, Thomas HR, Robert LM. 2008. Leprosy in Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 7th Edition. Vol 1&2. USA: McGraw-Hill. pp. 2253-2262.

3. Serologik

Pemeriksaan ini digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

morbus Hansen yang meragukan baik dengan tanda klinis maupun

bakteriologik. Antibodi spesifik IgM yang terbentuk terhadap M. leprae yaitu

antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1).4

Macam-macam pemeriksaan serologic kusta adalah :

1. MLPA(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)

2. Uji ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

3. ML Dipstick test (Mycobacterium Leprae Dipstick test)

4. ML Flow test (Mycobacterium Leprae Flow test)


34

BAB 3
KESIMPULAN
Diagnosa dari Lepra bisa didasarkan dari gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya, gambaran klinislah yang paling
penting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Penentuan tipe kusta
perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
35

DAFTAR PUSTAKA

1. Cipto H, Suriadiredja ASD. 2015. Tumor Kulit. Dalam: Djauanda A, Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. Hal. 262-264.
2. Kumar B, Dogra S. Leprosy: A disease with diagnostic and management
challenges!. Indian J Dermatol Venereol
3. Kamal M, Martini S. 2015. Kurangnya Konseling dan Penemuan Kasus
Mempengaruhi Kejadian Kecacatan Kusta Tingkat II di Kabupaten Sampang.
4. Wolff, K; Johnson, RA; Saavedra AP. 2013. Hemangioma of Infancy. In:
Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis of Clinical Dermatology. San Fransisco:
Mc Graw Hill Education. Ed.7, Section 9, pp. 155-158.
5. Kemenkes RI, (2012). Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Jakarta : Ditjen PP & PL

Anda mungkin juga menyukai