Anda di halaman 1dari 43

BAB 1

PENDAHULUAN

Gagal ginjal kronik (GGK) mengambarkan suatu keadaan ginjal yang


abnormal baik secara struktural maupun fungsinya yang terjadi secara progresif
dan menahun, umumnya bersifat ireversibel. Sering kali berakhir dengan penyakit
ginjal terminal yang menyebabkan penderita harus menjalani dialisis atau bahkan
transplantasi ginjal.1 Penyakit ini sering terjadi, seringkali tanpa disadari dan
bahkan dapat timbul bersamaan dengan berbagai kondisi (penyakit kardiovaskular
dan diabetes).
Di Indonesia, dari data yang didapatkan berdasarkan serum kreatinin yang
abnormal, diperkirakan pasien dengan GGK ialah sekitar 2000/juta penduduk.2
GGK atau sering disebut juga penyakit ginjal kronik (Chronic kidney
disease) memiliki prevalensi yang sama baik pria maupun wanita dan sangat
jarang ditemukan pada anak-anak, kecuali dengan kelainan genetic, seperti
misalnya pada Sindroma Alport ataupun penyakit ginjal polikistik autosomal
resesif.3,4
Terdapat perubahan paradigma dalam pengelolaan GGK karena adanya
data-data epidemiologi yang menunjukan bahwa pasien dengan gangguan fungsi
ginjal ringan sampai sedang lebih banyak daripada mereka yang dengan stadium
lanjut, sehingga upaya penatalaksanaan lebih ditekankan kearah diagnosis dini
dan upaya preventif. Selain itu ditemukan juga bukti-bukti bahwa intervensi atau
pengobatan pada stadium dini dapat mengubah prognosa dari penyakit tersebut.
Terlambatnya penanganan pada penyakit gagal ginjal kronik berhubungan dengan
adanya cadangan fungsi ginjal yang bisa mencapai 20% diatas nilai normal,
sehingga tidak akan menimbulkan gejala sampai terjadi penurunan fungsi ginjal
menjadi 30% dari nilai normal.2
GGK sering berhubungan dengan anemia. Anemia pada GGK muncuk
ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40 ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh.
Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk
lagi, tetapi apabila penyakit ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia akan
secara relatif menetap. Anemia pada GGK terutama diakibatkan oleh
berkurangnya eritropoietin. Anemia merupakan kendala yang cukup besar bagi
upaya mempertahankan kualitas hidup pasien GGK.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan


etiologi yang beragam, yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif dan umunya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal
yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu
sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat
penurunan fungsi ginjal pada penyakit gagal ginjal kronik.

Kriteria penyakit ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari


3 bulan, berupa kelainan structural atau fungsional,
dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan
dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan
dalam tes pencitraan (imaging test).
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
2
ml/menit/1,73m selama 3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.

Tabel 1. Kriteria
penyakit ginjal kronik.5

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan
LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria
penyakit ginjal kronik.
2. Anatomi ginjal
Ginjal merupakan organ yang berbentuk kacang yang terletak di kedua sisi
koloumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena
tertekan ke bawah oleh liver. Kutub atas ginjal kanan setinggi iga ke 12,
sedangkan kutub ginjal kiri setinggi iga ke 11. Permukaan anterior dan posterior
kutub atas, bawah, dan tepi lateral ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi
medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk
atau keluar dari ginjal melalui hilus diantaranya adalah arteri dan vena renalis,
saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.
Arteri renalis berasal dari aorta abdominalis (± setinggi vertebra lumbalis
II). Aorta terletak disebelah kiri garis tengah, sehingga arteri renalis kanan lebih
panjang dari arteri renalis kiri. Setiap arteri renalis bercabang sewaktu masuk
ke dalam hilus ginjal. Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing
ginjal ke dalam vena kava inferior yang terletak di sebalah kanan dari garis
tengah. Vena renalis kiri kira-kira dua kali panjang dari vena renalis kanan.
Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi
arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid, selanjutnya membentuk
percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-piramid tersebut.
Arteri arkuata lalu akan membentuk arteriol interlobularis yang tersusun pararel
dalam korteks. Arteriol interlobularis ini selanjutnya membentuk arteriol aferen.
Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai ke rumbai-rumbai kapiler yang
disebut glomerolus (jamak : glomeruli). Kapiler glomeruli bersatu membentuk
arterior eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem jaringan
portal yang mengelilingi tubulus dan kadang disebut kapiler peritubular.
Medula terbagi-bagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-
piramid tersebut dikelilingi oleh korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-
piramid tersebut tampak bercorak karena tersusun oleh segmen-segmen tubulus
dan duktus pengumpul nefron. Papilla (apeks) dari tiap piramid membentuk
duktus papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak
duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan ujung
pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor. Beberapa kaliks
minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang selanjutnya bersatu sehingga
membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama sistem
pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika urinaria.
Ureter berasal dari bagian bawah pelvis renalis pada ureteropelvic junction
lalu turun ke bawah sepanjang kurang lebih 28 – 34 cm menuju kandung kemih.
Dinding dari kaliks, pelvis dan urter mengandung otot polos yang berkontraksi
secara teratur untuk mendorong urinndue menuju kang kemih

Struktur mikroskopik ginjal:


1. Nefron
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
yang sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman, yang mengitari rumbai
kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus
kontortus distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul.

2. Korpuskular ginjal
Korpuskular ginjal terdiri dari kapsula bowman dan rumbai kapiler
glomerulus. Kapsula bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal.
Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan sel-sel kapsula
bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan ruang Bowman
atau ruang kapsular Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel
parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula; sel epitel
visceralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga bagian
luar dari rumbai kapiler. Sel visceralis membentuk tonjolan yang disebut podosit,
yang bersinggungan dengan membrana basalis pada jarak tertentu sehingga
terdapat daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel Membrana basalis
membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit diantara sel-sel epitel pada
satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis membentuk
lapisan tengah dinding kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari
gel hidrasi yang menjalin serat kolagen. Sel-sel endotel membentuk bagian
terdalam dari rumbai kapiler. Sel endotel langsung berkontak dengan
membrana basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel
visceralis merupakan 3 lapisan yang membentuk membrane filtrasi glomerulus.
Membran filtrasi glomerulus memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan
unsur-unsur darah dan molekul protein besar. Membrana basalis glomerulus
merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang urine
berdasarkan seleksi ukuran molekul. Komponen penting lainnya dari glomerulus
adalah mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel
mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari
glomerulus dan diduga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong.

3. AparatusJukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomelurus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat
dengan kutub vascular masing-masing glomelurus yang berperan penting dalam mengatur
pelepasan rennin dan mengontrol volume cairan ekstraselular (ECF) dan tekanan darah.
JGA terdiri dari 3 macam sel:
1. Juksta glomelurus (JG) atau sel glanular (yang memproduksi
dan menyimpan renin) pada dinding arteriol averen.
2. Makula densa tubulus distal.
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis.
Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai
dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel
lacis dan sel JG yang menyekresi lenin. Secara umum, sekresi renin dikontrol
oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk
mengontrol sekresi renin adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan
tegangan dinding arteriol aferen atau penurunan pengiriman Na ke makula
densa dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk melepaskan renin
dari granula tempat renin tersebut disimpan didalam sel. Sel JG, yang sel
mioepitelialnya secara khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindaksebagai
transducer tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif
(ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal,
yang sirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian
melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan
mekanisme renin- angiotensin-aldosteron. Mekanisme kontrol kedua untuk
pelepasan berpusat didalam sel makula densa, yang dapat berfungsi sebagai
kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada tubulus distal.
Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl) dialirkan ke
tubulus distal (karena banyak yang di absorbsi ke dalam tubulus proximal)
kemudian timbal balik dari sel makula densa ke sel JG menyebabkan
peningkatan renin. Mekanisme sinyal klorida yang diartikan menjadi
perubahan sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti. Suatu peningkatan
volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan
meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang
berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF–yaitu
menekan sekresi renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah
saraf simpatis ginjal, yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta1-
adrenergik dalam JGA, angiotensin II yang menghambat pelepasan renin.
Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk
elektrolit plasma (kalsium dan natrim) dan berbagai hormon, yaitu hormon
natriuretik atrial, dopamin, hormone antidiuretik (ADH), hormon
adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor
relaksasi yang berasal dari endothelium [EDRF] ), dan prostaglandin. Hal ini
terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi
renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.

3. Fungsi ginjal
Ginjal mengekresi bahan-bahan kimia asing tertentu, seperti obat-
obatan, hormon, dan metabolit lain, tetapi fungsi ginjal paling utama adalah
mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas normal. Tentu saja ini
dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut, kecepatan filtrasi
yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan yang tinggi.
Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolism vitamin D merupakan
fungsi nonekskreator yang penting. Sekresi renin berlebihan yang mungkin
penting pada etiologi beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan
pengaktifan vitamin D yang dianggap penting sebagai penyebab anemia dan
penyakit tulang pada uremia.

Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan


sekelompok senyawa yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu
prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang dibentuk oleh pancreas didegradasi oleh
sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes yang menderita payah ginjal
mungkin membutuhkan insulin yang jumlahnya lebih sedikit. Prostaglandin
merupakan hormone asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam banyak jaringan
tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan vasodilator
potensial. Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah
ginjal, pengeluaran renin, dan reabsorbsi Na+. Kekurangan prostaglandin mungkin
juga turut berperan dalam beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun
bukti-bukti yang ada sekarang ini masih kurang memadai.

Fungsi Utama Ginjal :


1. Fungsi ekskresi.
(a). Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah
ekskresi air.
(b). Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah
ekresi Na+.
(c) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam
rentang normal.
(d) Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+
dan membentuk kembali HCO3-.
(e) Mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein (terutama
urea, asam urat, dan kreatinin).
(f) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

2. Fungsi non-ekskresi.(Mensintesis dan Produksi Hormon)


(a) Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.
(b) Eritropoetin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.
(c) 1,25 dihidroksivitamin D3: hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk
paling kuat.
(d) Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan
melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.
3. Degradasi hormon polipeptida.
Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan
hormon gastrointestinal (gastrin,polipeptida intestinal vasoaktif [VIP]).

4. Epidemiologi

Diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di


Amerika Serikat telah menderita gagal ginjal kronik dengan LFG > 60 ml/mnt per
1,73 m2 (derajat 1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah
berada pada derajat 3 dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di
Amerika Serikat insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus/juta
penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8% setiap tahun.Di Malaysia dengan
populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal per tahun.Di
negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
juta/tahun.

5. Etiologi
Penyebab Gagal Ginjal Kronik dapat dibagi dua, yaitu :

1. Kelainan parenkim ginjal


- Penyakit ginjal primer
- Glomerulonefritis
- Pielonefritis
- Ginjal polikistik
- TBC ginjal
- Penyakit ginjal sekunder
- Nefritis lupus
- Nefropati analgesic
- Amiloidosis ginjal
2. Penyakit ginjal obstruktif
- Pembesaran prostat batu
- Batu saluran kencing
6. Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit ginjal kronik awalnya tergantung pada


penyakit awal yang mendasarinya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal menyebabkan hipertrofi
struktur dan fungsi dari nefron yang sehat. Kompensasi hipertrofi ini diperantarai
oleh molekul vasoaktif, sitokin, dan growth factor. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi
sclerosis dan progresifitas penyakit tersebut.
Aktivasi jangka panjang Aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh Growth Factor, seperti Transforming Growth Factor ß (TGF-ß).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal
kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia . Terdapat
variabilitas inter individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit gagal ginjal kronik,
terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih
normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi
penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
ureum dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum
merasakan keluhan (asimptomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea
dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan
tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan
metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah, dan sebagainya. Pasien
juga mudah terkena infeksi saluiran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit, antara lain Na+ dan K+. Pada
LFG di bawah 15%, akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (Renal Replacement Therapy)
antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.
Azotemia adalah Retensi dari produk sisa nitrogen sebagai
perkembangan insufisiensi ginjal. Uremia adalah tahap yang lebih berat dari
progresivitas insufisiensi ginjal dimana berbagai sistem organ telah terganggu.
Meskipun uremia bukan penyebab utama, urea dapat menimbulkan gejala klinis
seperti anoreksia , malaise, muntah dan sakit kepala. Produk nitrogen lainnya
seperti komponen guanido, urat dan hipurat , hasil akhir metabolisme asam
nukleat, poliamin, mioinosital, fenol, benzoat dan indol dapat tertahan dalam
tubuh pada penyakit ginjal kronik dalam hal ini dipercaya dapat meningkatkan
angka kematian pada uremia. Uremia tidak hanya mempengaruhi kegagalan
ekskresi renal saja tetapi dapat juga menyebabkan gangguan pada fungsi
metabolik dan endokrin yang dapat menyebabkan anemia malnutrisi, gangguan
metabolisme karbohidrat, lemak, protein, gangguan penggunaan energi, dan
penyakit tulang metabolik. Lebih jauh lagi kadar plasma berbagai hormon
polipeptida seperti paratiroid hormon (PTH), insulin, glukagon, luteinizing
hormon, dan prolaktin akan meningkat pada gagal ginjal, bukan hanya karena
gangguan katabolisme ginjal tetapi juga karena meningkatkan sekresi endokrin
yang menimbulkan konsekuensi sekunder dari ekskresi primer atau gangguan
sintetik renal. Dilain sisi , produksi eritropoetin (EPO) dan 1,25-
dihidroksikolekalsiferol ginjal terganggu. Jadi patofisiologi dari sindrom uremia
dapat dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama merupakan akumulasi dari produk
metabolisme protein , yang kedua merupakan akibat dari kehilangan dari fungsi
ginjal seperti keseimbangan cairan dan elektrolit, kelainan hormon.

Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel


darah merah , kuantitas hemoglobin, dan volume packed red cells (hematokrit) per
100 ml darah. Anemia bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan
perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang
seksama, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi laboratorium.
Anemia merupakan satu dari gejala klinik pada gagal ginjal. Anemia
pada penyakit ginjal kronik muncul ketika klirens kreatinin turun kira-kira 40
ml/mnt/1,73m2 dari permukaan tubuh, dan hal ini menjadi lebih parah dengan
semakian memburuknya fungsi ekskresi ginjal. Terdapat variasi hematokrit pada
pasien penurunan fungsi ginjal. Kadar nilai hematokrit dan klirens kreatinin
memiliki hubungan yang kuat. Kadar hematokrit biasanya menurun, saat kreatinin
klirens menurun sampai kurang dari 30 – 35 ml/menit. Anemia pada gagal ginjal
merupakan tipe normositik normokrom apabila tidak ada faktor lain yang
memperberat seperti defisiensi besi yang terjadi pada gagal ginjal. Anemia ini
bersifat hiporegeneratif. Jumlah retikulosit yang nilai hematokrit nya dikoreksi
menjadi normal, tidak adekuat.
Terdapat 3 mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada
gagal ginjal, yaitu: Hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, dan
penghambatan respon dari sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin. Proses
sekunder yang memperberat dapat terjadi seperti intoksikasi aluminium.

1. Hemolisis.
Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien
hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan
variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup
berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah
merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup
yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal
ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal.
Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan
enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan
mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa
phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena
itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis.
Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui
dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH. pada darah
akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah
yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen
meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro,
kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism
dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek
langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar PTH, telah banyak
dibuktikan melalui percobaan pada hewan. Yang kedua, efek langsung pada
osteitis fibrosa, yang mengurangi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin
asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb
setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia. Mekanisme
lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan
hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia)
akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan
intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis
dapat timbul akibat kompliksaidari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi
dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat
dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel
darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin
yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi,
dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, pemhambatan hexose
monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan
tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan
kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit.
Hipersplenism merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh
pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit
hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada
pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang
jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn,
dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada
gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti
splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa,
SLE, dan hipertensi maligna.
2. Defisiensi Eritropoetin.
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa
faktor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan= anemia jika respon
eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu.
Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi
eritropoetin pada pasien dengan gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin
yang inadekuat ini merupakan akibat kerusakan yang progresif dari bagian ginjal
yang memproduksi eritropoetin. Peran penting defisiensi eritropoetin pada
patogenesis anemia pada gagal ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat
anemia. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay
menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit
ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan
konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat. Inflamasi kronik, menurunkan
produksi sel darah merah dengan efek tambahan terjadi defisiensi erotropoetin.
Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis
kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis
terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.

3. Penghambatan eritropoesis.
Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel
prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari
eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia
yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada
pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya
meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang
meningkat pada eritrosit, karena penurunan kadar eritropetin serum. Substansi
yang menghambat eritropoesis ini antara lain poliamin, spermin, spermidin, dan
PTH hormon. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal
ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis
tetapi juga menghambat granulopoesis dan trombopoesis. Karena
ketidakspesifikkan, leukopenia, dan trombositopenia bukan merupakan
karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak
memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm
sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan
efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan
paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia,
peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat
anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada
eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatan PTH
seperti fibrosis sum-sum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut
bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroidsm dan anemia pada
gagal ginjal.

3. Mekanisme lain
yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal ginjal
terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat
terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat
fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik
yang kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis,
menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh
intoksikasi alumnium. Patogenesis nya belum sepenuhnya dimengerti tetapi
terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada
eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine.
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan
metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya
sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah
merah pada sumsum tulang.

7 . Manifestasi GGK
1. Kandungan Natrium dan H2O pada seluruh tubuh meningkat secara perlahan.

Penyebabnya adalah terganggunya keseimbangan glomerulotubular yang


menyebabkan retensi natrium atau natrium dari proses pencernaan menyebabkan
penambahan natrium yang menyebabkan ekspansi volume cairan ekstra seluler
(CES) dimana ekspansi CES akan menimbulkan hipertensi yang menyebabkan
kerusakkan ginjal lebih jauh. Pasien dengan penyakit ginjal kronik yang belum di
dialisis tetapi terbukti terjadi ekspansi CES, pemberian loop diuretik bersama
dengan pengurangan intake garam dapat digunakan sebagai terapi. Pasien dengan
penyakit ginjal kronis juga memiliki gangguan mekanisme ginjal untuk
menyimpan natrium dan H2O. Ketika penyebab ekstra renal pada kehilangan
cairan terjadi seperti muntah, diare, berkeringat, demam, pasien akan mengalami
kekurangan CES.

2. Homeostasis Kalium
Pada penyakit ginjal kronik, penurunan LFG tidak selalu disertai dengan
penurunan ekskresi kalium urine. Walaupun demikian hiperkalemia dapat terjadi
dengan gejala klinis berupa konstipasi, katabolisme protein, hemolisis,
pendarahan , transfusion of stored redblood cells, augmented dietary intake,
metabolik asidosis dan beberapa obat dapat menghambat kalium masuk ke dalam
sel atau menghambat sekresi kalium di distal nefron. Hipokalemia jarang terdapat
pada penyakit ginjal kronik. Biasanya merupakan tanda kurangnya intake kalium
dalam kaitannya pada terapi diuretik atau kehilangan dari gastro intestinal.

3. Metabolik Asidosis.
Dengan berlanjutnya gagal ginjal seluruh ekskresi asam sehari hari dan
produksi penyangga jatuh dibawah kadar yang diperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan eksternal ion-ion hidrogen. Asidosis metabolik ialah akibat yang
tidak dapt dihindarkan. Pada kebanyakan pasien dengan insufisiensi ginjal yang
stabil, pemberian 20-30 mmol/hari natrium bikarbonat atau natrium sitrat
memperbaiki asidosis. Namun dalam respons terhadap tantangan asam yang
mendadak (apakah dari sumber endogen atau eksogen), pasien gagal ginjal kronik,
rentan terhadap asidosis, yang dibutuhkan jumlah alkali yang besar utuk koreksi.
Pemberian natrium harus dilaksanakan dengan perhatian yang seksama terhadap
status volume.

4. Penyakit tulang dan kelainan metabolisme kalsium dan fosfat.


Kelainan mayor dari penyakit tulang pada penyakit ginjal kronik dapat
diklasifikasikan sebagai high bone turnover dengan tingginya kadar PTH atau low
bone turnover dengan rendah atau normalnya PTH. Patofisiologi dari penyakit
tulang akibat sekunder hiperparatiroidism berhubungan dengan metabolisme
mineral yang abnormal yaitu : (1). Penurunan LFG menyebabkan penurunan
ekskresi inorganik fosfat (PO43- ) dan menimbulkan retensi PO43-.
Tertahannya PO43- memiliki efek langsung terhadap sintesis PTH dan
masa sel kelenjar para tiroid.

Tertahannya PO43- juga menyebabkan terjadinya produksi yang


berlebihan dan sekresi PTH melalui turunnya ion Ca2+ dan dengan supresi
produksi kalsitriol (1,25 – dihidroksi oleh kalsiferol).
Penurunan produksi kalsitriol merupakan hasil dari penurunan sintesis
akibat pengurangan masa ginjal dan akibat hiperfosfatemia. Kadar kalsitriol yang
rendah, pada akhirnya, menimbulkan hiperparatiroidism melalui mekanisme
langsung dan tidak langsung. Kalsitriol diketahui memiliki efek supresi langsung
pada transkripsi PTH. Oleh karena itu penurunan kalsitriol pada panyakit ginjal
kronik menyebabkan peningkatan kadar PTH. Selain itu pengurangan kalsitriol
menimbulkan gannguan absorbsi Ca2+ dari traktus gasrto interstinal, yang
kemudian menimbulkan hipokalsemia, yang selanjutnya meningkatkan sekresi
dan produksi PTH. Secara keseluruhan, hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan
penurunan sintesis kalsitriol, semuanya menyebabkan produksi PTH dan
proliferasi dari paratiroid sel, yang menimbulkan hiperparatiroid sekunder. Low
turn over bone disease dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu osteomalasia
dan penyakit tulang adinamik. Keduanya memiliki karakteristik berupa penurunan
jumlah osteoklas dan osteoblas dan dikemudian hari terjadi penurunan aktifitas.
Pada osteomalasia, terdapat akumulasi matriks tulang yang tidak termineralisasi,
atau peningkatan volume osteoid, yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin D,
peningkatan deposit aluminium, atau asidosis metabolik. Penyakit tulang
adinamik dikenali sebagai kejadian lesi tulang hiperparatiroid pada pasien dengan
penyakit ginjal kronik dan gagal ginjak kronik, dan ini biasanya terjadi pada
pasien dengan diabetes. Penyakit tulang adinamik memiliki kriteria berupa
pengurangan volume tulang dan mineralisasi dan merupakan hasil supresi
produksi PTH denagn terapi kalsitriol. Osteodistrofi renal merupakan komplikasi
penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksaan osteodistrofi renal
dilaksanakan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol
(1,25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan
fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorpsi fosfat di
saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut
berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

5. Kelainan kardiovaskuler.
(a) Penyakit jantung sistemik
Peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner merupakan akibat dari
faktor resiko tradisional (klasik), yaitu hipertensi, hipervolemia, dislipidemi,
overaktivitas simpatis, dan hiperhomosisteinemia. Dan faktor resiko non-
tradisional, yaitu anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme, dan derajat
mikroinflamasi yang dapat ditemukan dalam setiap derajat penyakit ginjal kronik.
Derajat inflamasi meningkatkan reaktan fase akut, seperti interleukin 6 dan C-
reaktif protein, yang menyebabkan proses penyumbatan koroner dan
meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Nitride oksida merupakan mediator
yang penting dalam pada dilatasi vaskular. Keberadaan nitrit oksida, pada
penyakit ginjal kronik menurun sebab terjadi prningkatan konsentrasi asimetris
dimetil-1-arginin.

(b) Gagal jantung kongestif.


Kelainan fungsi jantung, seperti myocardial ischemic disease dan atau
left ventricular hypertrophy, bersamaan dengan retensi air dan garam pada
uremia, kadang menyebabkan gagal jantung kongestif dan edema pulmonal.

(c) Hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri.


Hipertensi merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang paling
sering. Hipertensi yang berkepanjangan menyebabkan terjaadinya hipertrofi
ventrikel.

(d) Anemia (Kelainan hematologi


Anema terjadi pada 80 – 90 % pasien penyakit ginjal kronik terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam
terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan
saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik,
proses inflamasi akut maupun kronik, hirparatiroidisme yang berat, keracunan
aluminium, dan keadaan umum lain seperti hemoglobinopaties. Anemia yang
tidak diterapi akan berhubungan dengan beberapa kelainan fisiologis, seperti
penurunan pengantaran dan penggunaan oksigen ke jaringan, meningkatkan
cardiac output, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung
kongestif, penurunan fungsi mental dan kognitif, gangguan siklus menstruasi,
gangguan host untuk melawan infeksi.

Manifestasi gangguan sistem pada GGK


1. Gangguan pembekuan.
Hal ini berhubungan dengan pemanjangan bleeding time, penurunan
aktivitas faktor pembekuan III, kelainan platelet agregation, dan gangguan
konsumsi protrombin. Gejala kliniknya berupa perdarahan yang abnormal,
perdarahan dari luka operasi, perdarahan spontan dari traktus gastro intestinal,dll.

2. Kelainan neuromuskular
Neuropati sentral, perifer, dan otonom, dengan gangguan komposisi dan
fungsi otot, merupakan komplikasi yang sering pada penyakit ginjal kronik.
Gejala awal pada sistem saraf pusat, seperti gangguan ingatan sedang, gangguan
konsentrasi, dan gangguan tidur; iritabilitas neuromuskular, seperti hiccups,
keram, fasikulasi atau twiching otot. Pada uremia terminal, didapatkan astherixis,
mioklonus, chorea, bahkan sampai terjadi kejang dan koma. Neuropati perifer
biasanya menyerang saraf sensoris lebih dari saraf motorik, ekstremitas bawah
lebih dari ekstemitas atas, bagian distal lebih dari bagian proximal.

3. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan pada gastrointestinal antara lain uremic foetor ,sensasi
pengecapan seperti metal, gastritis, peptic disease, ulserasi mukosa pada saluran
pencernaan yang dapat menyababkan nyeri perut, mual, muntah, dan kehilangan
darah,peningkatan insiden terjadinyadivertikulosis, pada pasien dengan penyakit
ginjal polikistik, meningkatkan terjadinya pankreatitis.
4. Gangguan metabolik endokrin
Pada penyakit ginjal kronik terjadi gangguan metbolisme glukosa dan
pada wanita terjadi penurunan hormon estrogen, sehingga terjadi amenorea, dan
kemungkinan untuk menjadi hamil menjadi sangat kecil. Pada laki-laki yang telah
menjalani dialisis dalam waktu yang lama akan terjadi impotensi, oligospermia,
displasia sel germinal, yang menurunkan kadar testosteron plasma.

5. Kelainan dermatologi.
Pada penyakit ginjal kronik terdapat pallor pada kulit akibat anemia,
ekimosis dan hematoma akibat gannguan pembejkuab, gatal dan ekskoriasi akibat
deposisi calcium- fosfat dan hiperparatiroid sekunder, diskolorasi berwarna
kuning akibat deposisi pigmen metabolik dan urokrom, serta uremic frost akibat
kadar urea itu sendiri.

8. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas dasar
derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit
dibuat atas satu dari dua persamaan berdasarkan konsntrasi kreatinin plasma,
umur, jenis kelamin, etnik.
Pertama, persamaan dari penelitian modifikasi diet pada penyakit ginjal yaitu:

LFG (ml/menit/1,73m2) = 1,86 x ( P cr) - 1,154 x (umur) - 0,023

Keterangan: wanita x 0,742

Kedua, persamaan dari Kockcroft-Gault sebagai berikut :

Creatinin Clearance Test (ml/mnt) = (140 - umur) x BB


—————————————
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Keterangan: wanita x 0,85
Klasifikasi menurut NICE 2008
1. Memeriksa adanya proteinuria saat menentukan stadium dari GGK
2. Proteinuria:
a. Urin ACR (albumin clearance ratio) 30mg/mmol atau lebih.
b. Urin PCR 50 mg/mmol atau lebih.
(dengan perkiraan urinary protein excreation 0,5 g/24jam atau lebih)
3. Stadium 3 dari GGK harus dibagi menjadi 2 subkategori:
a. LFG 45 – 59 ml/min/1,73 m2 (stadium 3A)
b. LFG 30 – 44 ml/min/1,73 m2 (stadium 3B)

Tabel 2. Stadium
penyakit ginjal kronik.

Penanganan pada GGK tidak boleh dipengaruhi oleh usia.


Pada orang dengan usia > 70 tahun dengan LFG 45 – 59 ml/min/1,73 m2,
apabila keadaan tersebut stabil seiring dengan waktu tanda ada
kemungkinan dari gagal ginjal, biasanya hal tersebut tidak berhubungan
dengan komplikasi dari GGK.

9. Gejala Klinis
Kardiovaskuler:
1. Hipertensi
2. Pembesaran vena leher
3. Pitting edema
4. Edema periorbital
5.
Friction
rub

Pericardia
l
Pulmoner
:
1. Nafas dangkal
2. Krekels
3. Kusmaul
4.
Sputum
kental
dan liat

Gastroint
estinal:
1. Konstipasi / diare
2. Anoreksia, mual dan muntah
3. Nafas berbau ammonia
4. Perdarahan saluran GI
5. Ulserasi dan perdarahan pada mulut

Muskuloskeletal:
1. Kehilangan kekuatan otot
2. Kram otot
3. Fraktur tulang

Integumen:
1. Kulit kering, bersisik
2. Warna kulit abu-abu mengkilat
3. Kuku tipis dan rapuh
4. Rambut tipis dan kasar
5. Pruritus
6
.

E
k
i
m
o
s
i
s

Reproduksi:
1. Atrofi testis
2. Amenore

Sindrom uremia:
1. Lemah letargi
2. Anoreksia
3. Mual dan muntah
4. Nokturia
5. Kelebihan volume cairan (volume
overload).
6. Neuropati perifer
7. Uremic frost
8. Perikarditis
9. Kejang
10. Koma.
10. Pemeriksaan penunjang
Gambaran laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:


 Sesuai dengan penyakit yang mendasari (diabetes militus, hipertensi,
dll Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus kockcroft-gault. Kadar
kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
 Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast,
isosisteinuria.
2. Gambaran radiologi
Pemeriksaan radiologi Penyakit ginjal kronik meliputi:
 Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opaque.
 Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak
bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya
pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan.
 Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi.
 USG ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
Indikasi USG (NICE 2008):
- Progresif GGK (LFG turun > 5 ml.min.1,73m2 dalam 5 tahun).
- Adanya hematuria
- Ada gejala obstruksi saluran kencing
- Ada riwayat keluarga penyakit ginjal polikistik dan berusia lebih dari
20 tahun.
- GGK stadium 4 dan 5.
- Memerlukan biopsi ginjal.
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan bila ada indikasi.
11. Diagnosis
Diagnosis GGK ditegakan apabila LFG < 60 ml/min/1,73m2 selama
lebih dari 3 bulan, atau adanya bukti gagal ginjal (gambaran patologi yang
abnormal atau adanya tanda kerusakan, termasuk abnormalitas dari pemeriksaan
darah dan urin atau gambaran radiologi). Bila dari hasil pemeriksaan yang sudah
dilakukan belum dapat menegakkan diagnosis, maka dapat dilakukan biopsy
ginjal terutama pada pasien dengan ukuran ginjal mendekati normal.
Tetapi prosedur ini dikontraindikasikan pada ginjal yang kecil bilateral,
penyakit ginjal polikistik, hipertensi tidak terkontrol, infeksi traktur urinarius,
kelainan perdarahan, gangguan pernapasan dan morbid obesity.6

12. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi (menurut NICE guidelines 15september2008)11

A. Kontrol tekanan darah


Pada orang dengan GGK, harus mengkontrol tekanan sistolik < 140 mmHg
(dengan kisaran target 120 – 139 mm Hg) dan tekanan diastolic < 90 mmHg.
Pada orang dengan GGK dan Diabetes dan juga orang dengan ACR 70 mg/mmol
atau lebih (kira-kira ekuivalent dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, atau
proteinuria 1 gr/24jam atau lebih), diharuskan untuk menjaga tekanan sistolik <
130 mmHg (dengan kisaran target 120-129 mmHg) dan tekanan diastolik < 80
mmHg.

Pemilihan agen antihipertensi


1st line: ACEInhibitor/ARBs (apabila ACEInhibitor tidak dapat mentolerir). ACE
Inhibitor/ARBs diberikan pada:
Pada GGK dengan diabetes dan ACR lebih dari 2,5 mg/mmol (pria) atau
lebih dari 3,5 mg/mmol (wanita), tanpa adanya hipertensi atau GGK stadium 3-4.
Note: Perbedaan kedua batas ACR berbeda diberikan di sini untuk memulai
pengobatan ACE Inhibitor pada orang dengan CKD dan proteinuria. Potensi
manfaat ACE inhibitor dalam konteks ini sangat meningkat jika seseorang juga
memiliki diabetes dan hipertensi dan dalam keadaan ini, sebuah batas yang lebih
rendah diterapkan.
 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR 30 mg/mmol
atau lebih (kira-kira ekuivalen dengan PCR 50 mg/mmol atau lebih,
proteinuria 0,5 gr/24jam atau lebih).
 GGK pada non-diabetik dan ACR 70 mg/mmol atau lebih (kira-kira
ekuivalen dengan PCR 100 mg/mmol atau lebih, proteinuria 1
gr/24jam atau lebih), tanpa adanya hipertensi atau penyakit
kardivaskular.
 GGK pada non-diabetik dengan hipertensi dan ACR < 30 mg/mmol
(kira-kira ekuivalen dengan PCR < 50 mg/mmol, atau proteinuria <
0,5 gr/24jam.

 Saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs, upayakan agar mencapai


dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi sebelum
menambahkan terapi 2nd line (spironolakton).
 Hal-hal yang perlu diingat saat menggunakan ACE Inhibitor/ARBs:
o Orang dengan GGK, harus mengetahui konsentrasi serum
potassium dan perkiraan LFG sebelum memulai terapi ACE
Inhibitor/ARBs. Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2
minggu setelah penggunaan obat, dan setelah peningkatan
dosis.
o Terapi ACE Inhibitor/ARBs tidak boleh dimulai apabila
konsentrasi serum potassium secara signifikan > 5,0 mmol/L.
o Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi
tersebut, karena menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat
mencetuskan hiperkalemia.
o Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE
Inhibitor/ARBs yang dapat juga mencetuskan hiperkalemia,
bukan kontraindikasi penggunaan terapi tersebut, tapi harus
menjaga konsentrasi serum potassium.
o Stop terapi tersebut, bila konsentrasi serum potassium
meningkat > 6,0 mmol/L atau lebih dan obat lain yang
diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak
digunakan.
o Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan bila batas LFG saat
sebelum terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma
meningkat dari batas awal kurang dari 30%.
o Apabila perubahan LFG 25% atau lebih atau perubahan
kreatinin plasma 30% atau lebih:
 Investigasi adanya deplesi volume ataupun penggunaan
NSAIDs.
 Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), stop terapi
atau dosis harus diturunkan dan alterlatif
antihipertensi lain bisa digunakan.

B. Pemilihan statins dan antiplatelet


 Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit
kardiovaskular.7 Pada orang dengan GGK, penggunaannya-pun
tidak berbeda.

 Penggunaan statin pada orang dengan GGK merupakan


pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular.Penggunaan
antiplatelet pada orang dengan GGK merupakan pencegahan
sekunder dari penyakit kardiovaskular. GGK bukan merupakan
kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis rendah, tetapi dokter
harus memperhatikan adanya kemungkinan perdarahan minor
pada orang dengan GGK yang diberikan antiplatelet multipel.

C. Komplikasi lainnya
 Metabolisme tulang dan osteoporosis
- Melakukan pengukuran rutin untuk kalsium, fosfat,
paratiroid hormone (PTH) dan level vitamin D pada orang
dengan GGK stadium 1, 2, 3A/3B, tidak
tirekomendasikan.
- Melakukan pengukuran kalsium, fosfat, konsentrasi PTH
pada orang dengan GGK stadium 4 dan 5 (LFG < 30
ml/min/1,73m2).
- Memberikan bisphosphonate, apabila ada indikasi untuk
mencegah dan mengobati osteoporosis pada orang dengan
GGK stadium 1, 2, 3A/3B.
- Pemberian suplemen vitamin D:
o GGK stadium 1, 2, 3A/3B diberikan
cholecalciferol atau ergocalciferol.
o GGK stadium 4 dan 5 diberikan 1-alpha-
hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-
dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
- Monitor lonsentrasi serum kalsium dan fosfat pada orang
yang mendapatkan terapi diberikan 1-alpha-
hydroxycholecalciferol (alfacalcidol) atau 1,25-
dihydroxycholecalciferol (calcitrol).
D. Anemia8
 Penanganan anemia pada GGK harus dilakukan saat Hb < 11 g/dl
(atau 10 g/dl pada usia < 2 tahun).
 Menentukan apakah anemia disebabkan oleh GGK atau
bukan. Dengan memperhatikan LFG < 60 ml/min/1.73m2.
 Anemia defisiensi zat besi, biasanya pada:
o Orang dengan GGK stadium 5 dengan level ferritin < 100
mikrogram/L.
o Orang dengan GGK stadium 3 dan 4, dengan level ferritin
< 100 mikrogram/L.
 Penanganan anemia9
1. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah
tersedia menggunakan recombinant human eritropoetin yang
telah diproduksi untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di
demonstrasikan dengan plasma kambing uremia yang kaya
eritropoetin, human recombinant eritropoetin diberikan
intravena kepada pasien hemodialisa ,telah dibuktikan
menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal ini
memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal
setelah transfusi darah berakhir pada pasien bilateral
nefrektomi yang membutuhkan transfusi reguler. Pada
gambar.3, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x
seminggu setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis
merespon dengan peningkatan Ht dengan dosis tertentu dalam
beberapa minggu. Percobaan menunjukkan bahwa AB yang
melawan materi rekombinan dan menghambat terhadap
penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping
utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan
memerlukan dosis Heparin yang tinggi untuk mencegah
pembekuan pada sirkulasi ekstra korporial selama dialisis.
Pada beberapa pasien, trombosis pada pembuluh darah dapat
terlihat.
eningkatan tekanan darah bukan hanya akibat
peningkatan viskositas darah tetapi juga peningkatan tonus
vaskular perifer. Komplikasi trombosis juga berkaitan dengan
tingginya viskositas darah bagaimanapun sedikitnya satu
kelompok investigator terlihat peningkatan trombosit.
Penelitian in vitro menunjukkan efek stimulasi human
recombinant eritropoetin pada diferensiasi murine
megakariosit. Lalu trombositosis mungkin mempengaruhi
hiperkoagubilitas. Konsentrasi serum predialisis ureum
kreatinin yang meningkat dan hiperkalemia dapat
mengakibatkan berkurangnya efisiensi dializer karena
tingginya Ht dan peningkatan nafsu makan karena
peningkatan keadaan umum. Kecepatan eritropoesis yang
dipengaruhi oleh eritropoetin dapat menimbulkan defisiensi
besi khususnya pada pasien dengan peningkatan blood loss.
Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa recombinant
human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati. Hal ini
juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini
dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit

tidak meningkat ke normal, tetapi pada nilai 30-35%. Produksi


recombinant human eritropoetin merupakan manajemen yang
utama pada pasien uremia.
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO:
1) Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali
pemeriksaan dan penyebab lain anemia sudah
disingkirkan. Syarat pemberian adalah:
a. Cadangan besi adekwat : feritin serum > 100
mcg/L, saturasi transferin > 20%.
b. Tidak ada infeksi yang berat.
2) Kontraindika
hipersensitivitas terhadap EPO.
3) Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati
pada keadaan:

a. Hipertensi tidak terkontrol.


b. Hiperkoagulasi.
c. Beban cairan berlebihan / fluid overload.

Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang


cukup, terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi pada
GGK:

i. Anemia dengan status besi cukup.


ii. Anemia defisiensi besi:
a. Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum <
100 mcg/L
b. Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin

serum > 100 mcg/L Saturasi Transferin < 20 %

 Terapi Eritropoietin Fase koreksi:


Tujuan: Untuk mengoreksi anemia renal sampai target Hb/Ht
tercapai.
a. Pada umumnya mulai dengan 2000-4000 IU subkutan,
2-3x seminggu selama 4 minggu.
b. Target respon yang diharapkan :
Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu atau Ht naik 2-4 %
dalam 2-4 minggu.
c. Pantau Hb dan Ht tiap 4 minggu.
d. Bila target respon tercapai: pertahankan dosis EPO
sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).
e. Bila terget respon belum tercapai naikkan dosis 50%.
f. Bila Hb naik >2,5 g/dL atau Ht naik > 8% dalam 4
minggu, turunkan dosis 25%.
g. Pemantauan status besi:
Selama terapi Eritropoietin, pantau status besi, berikan
suplemen sesuai dengan panduan terapi besi.
 Terapi EPO fase pemeliharaan:
a. Dilakukan bila target Hb sudah tercapai (>12
g/dL). Dosis 2 atau 1 kali 2000 IU/minggu.
Pantau Hb dan Ht setiap bulan Periksa status
besi setiap 3 bulan.
b. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai >
12 g/dL (dan status besi cukup) maka dosis
EPO diturunkan 25% Pemberian eritropoetin
ternyata dapat menimbulkan efek samping
diantaranya:
- Hipertensi:
i. tekanan darah harus dipantau ketat terutama
selama terapi eritropoetin fase koreksi.
ii. pasien mungkin membutuhkan terapi
antihipertensi atau peningkatan dosis obat
antihipertensi.
iii. peningkatan tekanan darah pada pasien
dengan terapi eritropoietin tidak
berhubungan dengan kadar Hb.
- Kejang:
i. Terutama terjadi pada masa terapi EPO fase
koreksi.
ii. Berhubungan dengan kenaikan Hb/Ht yang
cepat dan tekanan darah yang tidak
terkontrol. Terkadang pemberian EPO
menghasilkan respon yang tidak adekwat.
Respon EPO tidak adekwat bila pasien gagal
mencapai kenaikan Hb/Ht yang dikehendaki
setelah pemberian EPO selama 4-8 minggu.
 Terdapat beberapa penyebab respon EPO yang tidak adekuat
yaitu:
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional (merupakan
penyebab tersering).
b. Infeksi/inflamasi (infeksi akses,inflamasi, TBC,
SLE,AIDS).
c. Kehilangan darah kronik.
d. Malnutrisi.
e. Dialisis tidak adekwat.
f. Obat-obatan (dosis tinggi ACE inhibitor, AT 1
reseptor antagonis).
g. Lain-lain (hiperparatiroidisme/osteitis fibrosa,
intoksikasi alumunium, hemoglobinopati seperti
talasemia beta dan sickle cell anemia, defisiensi asam
folat dan vitamin B12, multiple mioloma, dan
mielofibrosis, hemolisis, keganasan).
 Agar pemberian terapi Eritropoietin optimal, perlu diberikan
terapi penunjang yang berupa pemberian:
a. asam folat : 5 mg/hari
b. vitamin B6: 100-150 mg
c. vitamin B12 : 0,25 mg/bulan
d. vitamin C : 300 mg IV pasca HD, pada anemia
defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO.
e. vitamin E: 1200 IU ; mencegah efek induksi stres
oksidatif yang diakibatkan terapi besi intravena.
f. Preparat androgen (2-3 x/minggu):
 Dapat mengurangi kebutuhan EPO
 Obat ini bersifat hepatotoksik, hati-hati pada
pasien dengan gangguan fungsi hati
 Tidak dianjurkan pada wanita
g. vitamin D: mempunyai efek langsung terhadap
prekursor eritroid

2. Terapi transplantasi ginjal ekstra korporeal atau peritoneal


dialisis.
Seluruh terapi pengganti ginjal ekstra korporeal dan peritoneal
dialisis pada dasarnya dapat juga mempengaruhi patogenesis
anemia pada gagal ginjal,
sejak prosedur ini dapat membuang toksin yang menyebabkan
hemolisis dan menghambat eritropoesis. Selain itu,
pengalaman klinis membuktikan bahwa perkembangannya
lebih cepat daripada menggunakan terapi eritropoetin.
Ketidakefektivan pada terapi pengganti ginjal merupakan
akibat keterbatasan pengetahuan tentang toksin dan cara
terbaik untuk menghilangkannya. Pendekatan sederhana
untuk meningkatkan terapi dtoksifikasi pada uremia dengan
meningkatkan batas atas ukuran molekular yang dibuang
dengan difusi dan atau transportasi konvektif tidak
menghasilkan hasil yang memuaskan. Misalnya, tidak ada
data yang membuktikan bahwa hemofiltrasi yang mencakup
pembuangan jangkauan molekuler yang lebih besar dibanding
hemodialisis dengan membaran selulosa yang kecil,
merupakan dua terapi utama dalam mengkoreksi anemia pada
gagal ginjal. Selain itu continious ambulatory peritoneal
dialysis (CAPD) , juga merupakan terapi dengan pembuangan
jangkauan molekuler yang besar, ini lebih baik dibandingkan
dengan hemodialisis standar dengan membaran selulosa yang
kecil. Hal ini masih tidak jelas jika keuntungan CAPD ini
hanya karena pembuangan yang lebih baik dari inhibitor
eritropoesis. Beberapa penelitian mengindikasikan CAPD
meningkatkan produksi eritropoetin, mungkin juga diluar
ginjal dan karena oleh itu meningkatkan eritropoesis.
Walaupun mekanismenya belum diketahui.
3. Pembuangan kelebihan aluminium dengan deferoxamine.
Sejak inhibitor eritropoesis diketahui, pada kasus intoksikasi
aluminium, terapi dapat selektif dan efektif efek aluminium
yang memperberat pada anemia dengan gagal ginjal selalu
harus diasumsikan ketika terjadi anemia mikrositik dengan
normal atau peningkatan feritin serum pada pasien reguler
hemodialisis. Diagnosis ditegakkan denan peningkatan nilai
aluminium serum, riwayat terpapar aluminium baik oral
maupun dialisat, gejala intoksikasi aluminium seperti
ensekalopati penyakit tulang aluminium , dan keberhasilan
percobaan terapi. Terapi utama adalah pemberian chelator
deferoxamin (DFO) IV selama satu sampai dua jam terakhir
saat hemodialisa atau hemofiltrasi atau CAPD. Range dosis
0,5 – 2,0 gr, 3 kali seminggu. DFO memobilisasi aluminium
sebagai larutan yang kompleks, dimana kemudian dibuang
dengan
terapi dialisis atau prosedur filtrasi. Efek samping utama
adalah hipotensi, toksisitas okular, komplikasi neurologi
seperti kejang dan mudah terkena infeksi jamur. Efek
samping ini berespons terhadap pemberhentian terapi
sementara waktu, pengurangan dosis atau pemberhentian
terapi. Efek DFO pada anemia dapat berakibat drastis, yang
menggambarkan perubahan nilai hemoglobine, feritin serum,
dan konsentrasi aluminium, MCV, MCH pada pasien dengan
ostemalasia yang berhubungan dengan aluminium. Pada
permulaan terapi pasien mengalami anemia mikrositik
peningkatan nilai aluminium serum dan feritin. Setelah
beberapa bulan terapi dengan DFO, MCV dan MCH pada
nilai diatas normal, hemoglobin meningkat secara signifikan
dan feritin serum dan aluminium menurun.

4. Mengkoreksi hiperparatiroidism.
Sekunder hiperparatiroid pada anemia dengan gagal ginjal,
paratiroidektomi bukan merupakan indikasi untuk terapi
anemia. Pengobatan supresi aktivitas kelenjar paratiroid
dengan 1,25-dihidroksi vitamin D3 biasanya berhubungan
dengan peningkatan anemia.

5. Terapi Androgen.
Efek yang positif pada terapi ini yaitu meningkatkan produksi
eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin
yang sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester
(testosteron propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil
androstanes (fluoxymesterone, oxymetholone, methyl
testosterone), dan komponen 19 norterstosteron (nandrolone
dekanoat, nandrolone phenpropionate) telah sukses digunakan
pada terapi anemia dengan gagal ginjal. Respon nya lambat
dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4 minggu terapi.
Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis 100-200
mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus
dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-
nortestosteron memiliki ratio anabolik : androgenik yang
paling tinggi dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme
serta paling aman untuk pasien wanita. Fluoksimesterone
dapat menyebabkan priapismus pada pasien pria. Penyakit
Hepatoseluler kolestatik dapat menyebabkan komplikasi pada
penggunaan zat ini dan lebih sering pada 17 methylated
steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase darah yang
progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus
dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini
memiliki ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat
diberikan secara oral. Terapi dengan androgen dapat
menimbulakan gejala prostatism atau pertumbuhan yang
cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara seperti laki-
laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya pada
terapi ini.
6. Suplementasi besi.
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi dengan
absorpsi besi pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh
dengan determinasi ferritin serum satu atau dua kali pertahun
merupakan indikasi. Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi
oleh uremia, suplementasi besi oral lebih dipilih ketika terjadi
defisiensi besi. Jika terapi oral gagal untuk memperbaiki
defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral harus
dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau
interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding
injeksi intra muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1%
pasien yang menerima terapi besi parenteral. Untuk
emngurangi kejadian komplikasi yang berbahaya ini, pasien
harus di tes dengan 5 menit pertama dengan dosis kecil dari
total dosis. Jumlah yang diperlukan untuk replinish
penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis terbagi yaitu
500mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis tunggal
dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran
dan diinfuskan perlahan dalam beberapa jam.
Terapi besi fase pemeliharaan:
a. Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk
eritropoiesis selama terapi EPO.
b. Target terapi: Feritin serum > 100
mcg/L – < 500 mcg/L Saturasi
transferin > 20 % – < 40 %
c. Dosis
i. IV : iron sucrose :
maksimum 100 mg/minggu
iron dextran : IV : 50
mg/minggu
iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
ii. IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
iii. Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari

NutrisiStatus besi diperiksa setiap 3 bulan


Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkanterapi
besi dosis pemeliharaan.
Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi transferin > 40%,
suplementasi besi distop selama 3 bulan.
Bila pemeriksaan ylang setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan
saturasi transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis
1/3-1/2 sebelumnya.

Transfusi darah.
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi
transfusi darah adalah:
a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
b. Tidak memungkinkan penggunaan EPI dan Hb < 7 g /dL
c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati
e. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah : 7-9 g/dL
(tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi
diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb
10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak
terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut
jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk
transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin
dihindari. Pemberian nutrisi yang seimbang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan nutrient sekaligus mengurangi gejala-gejala uremia
dan menunda percepatan penurunan fungsi ginjal atau memperlambatnya.
Status nutrisi memiliki kaitan erat dengan angka mortalitas pada pasien
dengan GGK. Dianjurkan kecukupan energy > 35 kkal/kgBB/hari,
sedangkan untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari, sedangkan
untuk usia > 60 tahun diberikan 30 kkal/kgBB/hari. Asupan kalori harus
cukup untuk mencegah terjadinya proses katabolik. Bila asupan peroral
tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan nutrisis sehari-hari sesuai
dengan status gizi seseorang, dapat ditambahkan nutrisi parenteral.
Perbandingan kalori yang bersumber dari lemak dan karbohidrat sebesar
25% : 75%. Selain itu diberikan kombinasi dari asam amino esensial dan
non esensial. Jumlah maksimal pemberian karbohidrat adalah 5 g/kgBB.
Sedangkan lipid diberikan maksimal 1 g/kgBB dalam bentuk fat
emulsion 10-20% sebanyak 500 mL.

Diet rendah garam, dalam bentuk protein sekitar 0,6 – 0,75%


g/kgBB/hari,dengan protein yang memiliki nilai biologic tinggi, sebesar 0,35
g/kgBB/hari tergantung dari beratnya gangguan fungsi ginjal. Pasien dengan
gagal ginjal krooni harus mengurangi asupan proeinnya karena protein berlebih
akan menyebabkan terjadinya penumpukan nitrogen dan ion inorganic yang
akan mengakibatkan gangguan metabolic yang disebut uremia. Dua penelitian
meta-analisis membuktikan efek dari restriksi protein memperlambat
progresivitas penyakit ginjal diabetik dan non-diabetik. Asupan kalori yang
cukup sekitar 35 kkal/kgBB.

13. Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progesivitas dari GGK
itu sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai
mencapai tingkat lanjut dan menimbulkan gejala, sehingga penangannya sering
kali terlambat diberikan.
BAB III
KESIMPULAN

Gagal ginjal kronis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan


abnormalitas struktur dan penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara
progresif, menahun dan irreversibel. Penyakit ini memiliki prevalensi yang
tinggi dan semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan angka harapan
hidup yang semakin meningkat.
Penyebab dari Gagal ginjal kronis beragam. Dikelompokam menjadi
3 kelompok besar : Pre-renal, renal, dan post-renal. Ada penyebab yang dapat
dicegah dan tidak dapat dicegah. Untuk penyebab yang tidak dapat dicegah
dan pada pasien dalam kondisi gagal ginjal akut perlu didiagnosis secara cepat
kemudian di tatalaksana dengan cepat agar kondisi tersebut tidak jatuh pada
kondisi gagal ginjal kronis yang bersifat irreversibel dan tidak dapat
disembuhkan.
Diagnosis Gagal ginjal kronis memiliki banyak modalitas, mulai dari
anamnesis gejala, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan radiologi. Dianjurkan untuk pemeriksaan yang dilakukan yang
bersifat non-invasive, apabila memang diperlukan pemeriksaan invasive maka
harus disesuaikan dengan indikasi dan kontraindikasinya.
Perawatan dan tatalaksana pada pasien yang sudah jatuh ke dalam
kondisi gagal ginjal akut hanya untuk memperlambat progresivitas dari gejala,
agar tidak jatuh ke dalam stadium yang lebih berat.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Ardaya. Manajemen gagal ginjal kronik. Nefrologi Klinik, tatalaksana


Gagal ginjal Kronik, 2013. Palembang:Perhimpunan Nefrologi Indonesia,
2013:13-22
2. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Gagal ginjal
kronik. Dalam Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI,2011:531-534.
3. Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. Dalam
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, et al (eds):
Harisson’s Principles od Internal Medicine, 16rd ed. New York, McGraw
Hill, 2015:1653-1663.
4. Gold, NS. Chronic Renal Failure. http://www.5mcc.com/content.html.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Dalam
Ilmu Penyakit Dalam Vol.1, ed.4. Jakarta: FKUI, 2017:570
6. Nasution MY, Prodjosudjadi W. pemeriksaan penunjang pada penyakit
ginjal. Dalam Noer S. Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta:
Balai penerbit FKUI, 2011:299-306
7. Baigent C, Landry M (2013) Study of heart and renal protection. Kidney
International 63: S207-S210.
8. National institutes for health and clinical excellences guidelines. Anemia
management in people with chronic kidney disease.Develop by the national
collaborating centre for chronic condition. 2016,September.
9. Perhimpunan Nefrologi Indonesia dalam: Konsensus Manajemen
Anemia Pada pasien Gagal Ginjal Kronik: 2011
10. Ali Z. Nutrisi parenteral pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Dalam
Nefrologi Klinik, Tatalaksana Gagal ginjal Kronik, 2013. Palembang:
perhimpunan nefrologi Indonesia, 2013: 39-34.
11. National institutes for health and clinical excellences guidelines
73.Early identification and management of chronic kidney disease in adult
in primary and secondary care.Develop by the national collaborating
centre for chronic condition. 2018,September.

Anda mungkin juga menyukai