Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

PERITONITIS

Disusun oleh :
Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp B. FINACS (K) TRAUMA. FICS

SMF ILMU BEDAH


RSU HAJI SURABAYA
2013
KATA PENGANTAR

Penyusun memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat mengerjakan makalah yang
berjudul “Peritonitis”. Makalah ini berisikan tentang anatomi, klasifikasi, patofisiologi,
diagnosis, tatalasana tindakan peritonitis, serta komplikasinya.
Selama penyusunan makalah ini, penyusun telah banyak mendapatkan
bantuan yang tidak sedikit dari beberapa pihak, sehingga dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dokter sejawat
SMF Bedah lain yang telah memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat
terselesaikan sebagaimana mestinya.
Penyusun menyadari bahwa selama dalam penyusunan makalah ini jauh dari
sempurna dan banyak kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.
Surabaya, Maret 2013
Penyusun

Dr. dr. Koernia Swa Oetomo, Sp B. FINACS (K) TRAUMA. FICS

Peritonitis copyright 2013 i


DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................................... i
Daftar Isi ....................................................................................................

ii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................... 1
BAB 2 ANATOMI..................................................................................... 2
BAB 3 Tinjauan Pustaka ........................................................................ 6
Peritonitis ................................................................................................

6
3.1 Definisi.................................................................................... 6
3.2 Etiologi.................................................................................... 6
3.3 Klasifikasi ............................................................................... 7
3.4 Patofisiologi ............................................................................ 8
3.5 Manifestasi Klinik .................................................................... 12
3.5.1 Gejala klinis ................................................................... 12
3.5.2 Tanda ............................................................................ 14
3.6 Pemeriksaan penunjang ......................................................... 16
3.6.1 Laboratorium ................................................................. 16
3.6.2 Radiologi ....................................................................... 17
3.7 Tata Laksana .......................................................................... 20
3.7.1 Pre Operatif ................................................................... 20
3.7.2 Operatif .......................................................................... 22
3.7.3 Post Operatif ................................................................. 24
3.8 Diagnosa Banding .................................................................. 24
3.9 Komplikasi .............................................................................. 25
3.10 Prognosis ............................................................................ 25
BAB 4 KESIMPULAN.............................................................................. 27
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 28

Peritonitis copyright 2013 ii


BAB 1
PENDAHULUAN

Suatu kegawatan abdomen dapat digambarkan ke dalam keadaan klinik


akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri
sebagai keluhan utama.Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang
sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perdarahan, infeksi,
obstruksi atau strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang
mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah
1,2
peritonitis.
Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang
sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya
apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,
3,4
komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara
inokulasi kecil-kecilan.Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen,
penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencerna aktif,
5
merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung
dari kemampuan melakukan analisis pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
.2
pemeriksaan penunjang

Peritonitis copyright 2013 1


BAB 2
ANATOMI

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.


Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak
sub kutan dan facies superfisial (facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut
m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum
abdominis, dan akhirnya lapis preperitoneum dan peritoneum, yaitu fascia
transversalis, lemak preperitonial dan peritoneum. Otot di bagian depan tengah
terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah
2
dipisahkan oleh linea alba.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron.
Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan
ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi
12
peritoneum.
12
Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.

Peritonitis copyright 2013 2


Sumber, Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
Gambar 1. Peritoneum,

Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis


kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu
duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan
dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus
yang disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale
dan mesenterium dorsale. Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal
pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium
ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi
ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu
perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus
atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus
12
vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok
dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270° dengan
aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada
dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus
menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale
mendekati peritoneum parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah
Peritonitis copyright 2013 3
oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah
12
ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale
mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi
perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai
alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritoneum
sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat
penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum
parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei,
12
dengan demikian:
 Duodenum terletak retroperitoneal;
 Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium;
 Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
 Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung
disebut mesocolon transversum;
 Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum;
 cecum terletak intraperitoneal;
 Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada
peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara
usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara
mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan
dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di
flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi
recessus duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus
12
duodenalis inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon
sigmoideum terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan
12
mesosigmoideum.

Peritonitis copyright 2013 4


Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris.
Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga
12
terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. Dataran peritoneum yang
dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan
sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum
synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat
intra peritoneal satu terhadap yang lain.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem
saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan.Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien.
Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang
berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang
seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasakan nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
11,14
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri
dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan
11,14
dengan tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten
dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak
12
kedua arah.

Peritonitis copyright 2013 5


BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

Peritonitis
3.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut (peritonieum).Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.Lokasi peritonitis
bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis
disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat
daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut
peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus
(secondary peritonitis).Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
5
intraabdominal, peritonitis diketagorikan sebagai primary peritonitis.

3.2 Etiologi
Peritonitis yang merupakan suatu peradangan membran serosa rongga
abdomen dan organ-organ yang terkandung di dalamnya. Peritonitis bisa
terjadi karena proses infeksi atau proses steril dalam abdomen melalui
perforasi dinding perut, misalnya pada ruptur apendiks atau divertikulum
colon. Penyakit ini bisa juga terjadi karena adanya iritasi bahan kimia,
misalnya asam lambung dari perforasi ulkus gastrikum atau kandung empedu
dari kantong yang pecah atau hepar yang mengalami laserasi. Pada wanita,
peritonitis juga terjadi terutama karena terdapat infeksi tuba falopii atau ruptur
kista ovarium.
Sejak zaman dahulu, peritonitis yang tidak diobati dapat menjadi sangat
fatal. Tahun 1926 prinsip-prinsip dasar penatalaksanaan operasi peritonitis
mulai dikerjakan. Hingga kini tindakan operatif merupakan pilihan terbaik
untuk menyelesaikan masalah peritonitis. Selain itu, harus dilakukan pula tata
laksana terhadap penyakit yang mendasarinya, pemberian antibiotik, dan
terapi suportif untuk mencegah komplikasi sekunder akibat gagal sistem
6
organ . Di Indonesia penyebab tersering dari peritonitis ini adalah : perforasi

Peritonitis copyright 2013 6


apendisitis, perforasi typhus abdominalis, trauma organ hollow viscus,
5
peritonitis yang disebabkan infeksi kuman mycobacterium Tuberculosis.
(4,5,11)
3.3 Klasifikasi
4
Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk
· 4,5
Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung
dari rongga peritoneum.Penyebab paling sering dari peritonitis primer
adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar
kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites
akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

· Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis,
perforasi gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling
sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta
4,5
strangulasi usus halus.
Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab


Boerhaave syndrome
Esophagus Malignancy
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Peptic ulcer perforation


Malignancy
Stomach (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Peptic ulcer perforation


Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*

Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or
Biliary tract common duct
Malignancy
Choledochal cyst (rare)

Peritonitis copyright 2013 7


Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*

Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)


Pancreas Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*

Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Small bowel Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)

Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Large bowel Ulcerative colitis and Crohn disease
Appendicitis
and appendix
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-


Uterus, salpinx, ovarian abscess, ovarian cyst)
and ovaries Malignancy (rare)
Trauma (uncommon)

· 4,5,11
Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan
akibat tindakan operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized
(peritonitis) dan localized (abses intra abdomen).

5
3.4 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa.Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara
perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya menghilang

Peritonitis copyright 2013 8


bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa,
5
yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumula si cair an karena kapiler dan membran mengalamikebocoran. Jik a defisit cairan tidak dik oreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan kematian

sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat


memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.Karena tubuh
mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit
oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi
5
hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebutmeninggi.Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ
intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan
retroperitonealmenyebabkan hipovolemia.Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu,masukan yang tidak ada, serta
muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat
usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
5
penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan
meregang.Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
5
usus.

Peritonitis copyright 2013 9


Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus
dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguanmekanik
(sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha

untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir
dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan
karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi
5
peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus


yang disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuhmanusia
melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk
keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyer di
ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi
ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam

Peritonitis copyright 2013 10


selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan
malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan
5
keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum
yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat
peritonitis generalisata.Perforasi lambung dan duodenum bagian depan
menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini
tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.Nyeri ini timbul mendadak
terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium
oleh asam lambung, empedu
dan atau enzim pankreas.Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut

pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia,

adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa pengenceran zat asam

garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian

terjadi peritonitis bacteria.


5

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh


penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda
asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi
tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren
dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan
5
akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan
trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai
dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra
peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari
organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia

Peritonitis copyright 2013 11


sampai dengan kolon yang berisi feses.Rangsangan kimia onsetnya paling
cepat dan feses paling lambat.Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya
didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah
trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian
bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah
5
24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

6,7
3.5 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran
di dalam rongga abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan
beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit, perluasan dari kontaminasi
cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta
6
tingkat kesehatan penderita secara umum.
Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang
berasal dari awal peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik.
Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen, nyeri tekan, kekakuan dari
dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum peritoneum
dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari
peritoneum parietalis dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik
meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat, takipneu, gelisah,
7
dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.

3.5.1Gejala klinis
· Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada
peritonitis.Nyeri biasanya dating dengan onset yang tiba-tiba, hebat
dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada
7
seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-
hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan.Nyeri biasanya lebih
terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum.
Peritonitis copyright 2013 12
Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan
adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika intensitasnya
bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri
8
menandakan penyebaran dari peritonitis.
· Anoreksia, mual, muntah dan demam
Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat
diikuti dengan muntah.Penderita biasanya juga mengeluh haus dan
badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang
O
hilang timbul.Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar 38 C sampai
O 8
40 C.
· Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates.Gejala
ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata
6
cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates
biasanya berada pada stadium pre terminal.Hal ini ditandai dengan
posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi
interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat menyebabkan
8
nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan
tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih
awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat
6
lebih banyak berkurang.
· Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua
factor.Pertama akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum
peritoneum atau ke lumen dari intestinal.Yang kedua dikarenakan
6
terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septikemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram

negative dimana dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme

dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari

endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip

seperti gambaran yang terlihat pada manusia.


6

Peritonitis copyright 2013 13


3.5.2Tanda
· Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau
komplikasi yang timbul pada peritonitis.Pada keadaan asidosis
metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat
daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk
mengembalikan ke keadaan normal.Takikardi, berkurangnya volume
nadi perifer dan tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan
adanya syok hipovolemik.
Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang
lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat
8
perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih buruk.
· Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah
adanya distensi dari abdomen.Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi
abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika
penderita diperiksa pada awal dari perjalanan penyakit, karena dalam
2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi
akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi
6
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.

· Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian.
Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti
obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus
pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya suara borborygmi dan
peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara

Peritonitis copyright 2013 14


perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada
abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus
6
yang mengalami strangulasi,
· Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman
pemeriksa.Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya
perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam
cavum peritoneum yang berasal dari intestinal yang mengalami
6
perforasi.Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ
berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah
8
diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.
· Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan
abdomen pada kondisi ini.Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah
dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum
berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan.Ini terutama
dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah
yang nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna.Kelompok
orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada wanita yang
sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit
untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding
abdomen.Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan
yang menetap lebih dari satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan
menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter.

Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup


gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari
peritoneum oleh suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir
pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi menyebar
seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya

Peritonitis copyright 2013 15


terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan
6
yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut
melakukan spasme secara involunter sebagai mekanisme
pertahanan.Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat
8
seperti papan.

3.6 Pemeriksaan Penunjang


3.6.1 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan
antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik.Tes yang paling
sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan
urinalisis.Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih
3
dari 20.000/mm , kecuali pada penderita yang sangat tua atau
seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat
6
mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan
didominasi oleh polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya
peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan
8
yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta
7
tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.
Pemeriksaan juga dapat dilakukan pada cairan peritoneal dengan
menggunakan Diagnostic Peritoneal Lavage. Pada peritonitis
tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3
gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan
5
dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

Peritonitis copyright 2013 16


Sumber, Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,
McGraw Hill,Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917.

Gambar 3. Diagnostic Peritoneal Lavage


3.6.2 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya
mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada
foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus
inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan
menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada
satu sisi atau keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum
6
peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus
halus dan usus besar mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat
pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan
dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus
atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas
harus dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara
6
di usus besar dan usus halus
Gambaran Radiologis yang ditemukan dapat berupa :
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut.
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan
proyeksi anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau
memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.

Peritonitis copyright 2013 17


3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.

Sumber, Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
Gambar 4. Gambaran radiologis umum peritonitis

Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya


kekaburan pada cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra
7,15
peritoneal
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas
pada foto polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada
pemeriksaan USG.
Sedangkan gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat
dilihat pada pemeriksaan foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan
perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus buntu atau
karena sebab lain, tanda utama radiologi adalah:

Posisi tidur, didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen

Posisi duduk atau berdiri, di datpkan free air subdiafragma
berbentuk bulan sabit ( semilunar shadow)

Peritonitis copyright 2013 18


Sumber, Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
Gambar 5. Foto BOF peritonitis
 Posisi LLD, didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen
atau antara pelvis dengan dinding abdomen.

Sumber, Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9th Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
Gambar 6. Foto BOF LLD

Peritonitis copyright 2013 19


3.7 Tata Laksana
Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan
7
elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.
3.7.1 Penanganan Preoperatif
o Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum
menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum
6
peritoneum dan ruang intersisial
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui
intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap
baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan
terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC
(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan
7
koloid harus diberikan untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan
cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan
kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah
8
yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari
7
jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah diproduksi.
o Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi
bakteri aerob yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan
Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah
Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi
8
peritoneum
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan
hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji
sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara
klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung
sel darah putih, perubahan antibiotik harus

Peritonitis copyright 2013 20


dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan hasil dari uji
6
sensitivitas
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-
kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab
dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman
oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
8
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram
harus segera diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika
dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari
penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram
negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram
streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan
regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif terhadap
penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral
6
lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi
dengan aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin
8
generasi kedua
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk
gram negatif, metronidazole dan clindamycin untuk organisme
7
anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting
daripada pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis
antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan
terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati,
karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu
aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan sampai
penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang
8
normal.

Peritonitis copyright 2013 21


o Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada
peritonitis cukup diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan
dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada
ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-
kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar

yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO 2 50 mmHg atau lebih

tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan PaO 2 kurang dari 55
mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal

o Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari
abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting
mengurangi jumlah udara pada usus.Pemasangan kateter untuk
mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.Tanda
vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat
paling tidak tiap 4 jam.Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum
elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
8
urinalisis

2.7.2 Penanganan Operatif


Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi
biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber dari kontaminasi
peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi
usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama
operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum
peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah
8
dari bakteri virulen

Peritonitis copyright 2013 22


o Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk
menghilangkan semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi
penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali
pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik
operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi
dan menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang.
Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan peritoneum
dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit
primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur
apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau
drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan
yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah
7
memasuki kavum peritoneum .

o Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3
liter) dapat menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan
fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan
irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi
(misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum
dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.
Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat
menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena
kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction.
Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus
diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal
dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana
8
fagosit menghancurkan bakteri

Peritonitis copyright 2013 23


o Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan
peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari
kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan,
karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan
udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis
pada peritonitis difus tidak dapat mencegah pembentukan abses,
bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase
berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau
8
kavitas yang tidak dapat direseksi

2.7.3 Pengananan Postoperatif


Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien
yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas
hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin
dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik
diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis.
Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal,
penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada
durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP,
urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi
8
sekunder

3.8 Diagnosa Banding


Diagnosis banding dari peritonitis adalah :
 Apendisitis
 Pankreatitis
 Gastroenteritis
 Kolesistitis
 Kehamilan ektopik terganggu

Peritonitis copyright 2013 24


3.9 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder,
dimana komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut,
yaitu :

Komplikasi dini

 Septikemia dan syok septik


 Syok hipovolemik
 Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol
dengan kegagalan multi sistem
 Abses residual intraperitoneal

Komplikasi lanjut
 Adhesi (perlengketan)
 Obstruksi intestinal rekuren

3.10 Prognosis
Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya tingkat mortalitas antara lain
tipe penyakit primer dan durasinya, keterlibatan kegagalan organ multipel
sebelum pengobatan, serta usia dan kondisi kesehatan awal pasien. Tingkat
mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis,
pada usia muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada
pasien yang terdiagnosis lebih awal (Doherty, 2006).

Peritonitis copyright 2013 25


Prognosis juga dipengaruhi oleh :
o Lamanya peritonitis :

< 24 jam : > 90%

24-48 jam : 60%

48 jam : 20%

o Usia
o Komplikasi

Peritonitis copyright 2013 26


BAB 4
KESIMPULAN

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum yang merupakan pembungkus


visera dalam rongga perut.Hal ini erat kaitannya dengan suatu infeksi intrabdominal
yang merupakan suatu respon inflamasi pada peritoneum terhadap mikroorganisme
dan toksinnya yang menghasilkan eksudat purulen pada rongga peritoneum.
Peritonitis dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu : Peritonitis
bacterial primer, peritonitis bacterial akut sekunder, peritonitis non bakterial akut,
peritonitis bakterial kronik. Dimana angka kejadian menunjukkan bahwa peritonitis
yang diakibatkan appendisitis perforasi dan kuman Tuberculosis.
Gejala yang dapat timbul berupa suhu badan penderita akan naik dan terjadi
takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.Nyeri subjektif berupa
nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas,
atau tes lainnya.
Diagnosa dapat ditegakkan melalui gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan X-ray.
Pengobatan yang dapat diberikan berupa penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang adekuat,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah berupa komplikasi dini dan komplikasi
lanjut

Peritonitis copyright 2013 27


DAFTAR PUSTAKA

1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam


Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
2. De Jong, W., Sjamsuhidajat, Buku Ajar Ilmu Bedah. 2005,Edisi 3 Penerbit
EGC, Jakarta; Hal.221-239 ; 696.
3. Way. L. W., 2004, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis &
Treatment, 11th Ed., Maruzen, USA.
4. Brian, J. 2011, Peritonitis and Abdominal
Sepsis.http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#aw2aab6b2b4aa
5. Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1,
McGraw Hill,Peritonitis halaman 808-810, 1916-1917.
th
6. Cole et al. 1970. Cole and Zollinger Textbook of Surgery 9 Edition.
AppeltonCentury Corp, Hal 784-795
7. Doherty, G.M., Current Diagnosis & Treatment. 2010, USA : McGraw Hill
Company
th
8. Schwartz, S.I et al, Principal of Surgery, 9 edition, 2006, USA : McGraw
Hill Company; Hal1459-1467
9. Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
10. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta
11. Townsend, C.M, et al. Sabiston textbook of surgery. 2008. Canada :
Saunder
12. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
13. Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah,
FKUI, Jakarta

Peritonitis copyright 2013 28

Anda mungkin juga menyukai