PENDAHULUAN
1
regulator penting untuk mengendalikan keseimbangan volume, komposisi
dan keseimbangan asam basa cairan tubuh selama fluktuasi metabolik
normal atau saat terjadi abnormalisasi seperti penyakit atau trauma.
Menjaga agar volume cairan tubuh tetap relatif konstan dan
komposisinya tetap stabil adalah penting untuk homeostatis. Sistem
pengaturan mempertahankan konstannya cairan tubuh, keseimbangan
cairan dan elektrolit dan asam basa, dan pertukaran kompartemen cairan
ekstraseluler dan intraseluler.
Kehidupan manusia sangat bergantung pada apa yang ada di
sekelilingnya termasuk dalam memenuhi kebutuhan dasarnya yaitu makan
dan minum lebih kurang 60% berat badan orang dewasa pada umumnya
terdiri dari cairan (air dan elektrolit). Faktor yang mempengaruhi jumlah
cairan tubuh adalah umur, jenis kelamin, dan kandungan lemak dalam
tubuh.
2
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi nutrisi dan cairan.
2. Untuk mengetahui bagaimana menilai status nutrisi pada pasien kritis
3. Untuk mengetahui bagaimana kebutuhan cairan tubuh bagi manusia
4. Untuk mengetahui bagaimana kebutuhan energi pada penderita sakit
kritis
5. Untuk mengetahui bagaimana fraktor yang berpengaruh dalam
pengaturan cairan
6. Untuk mengetahui bagaimana dukungan nutrisi pada pasien sakit kritis
7. Untuk mengetahui bagaimana gangguan atau masalah dalam
pemenuhan kebutuhan cairan
8. Untuk mengetahui bagaimana rute pemberian nutrisi
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
4. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan teknik pemberian
nutrisi.
5. Meningkatkan outcome pasien; mengurangi morbiditas, mortalitas dan
waktu penyembuhan.
1. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang memiliki peran cukup besar dalam
mengatur kebutuhan cairan dan elektrolit. Ginjal memiliki fungsi
seyakni sebagai pengatur air, pengatur kosentras garam dalam
darah, pengatur keseimbangan asam-basa darah, dan pengatur
ekskresi bahan buangan atau kelebihan garam(Uliyah, Musrifatul
dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015). Proses pengaturan kebutuhan
keseimbangan air ini di awali oleh keampuan bagian ginjal seperti
glomerulus sebagai penyaring cairan. Rata-rata setiap satu satu liter
5
darah mengandung 500 cc plasma yang mengalir melalui
glomerulus, 10 persen di saring keluar. Cairan yang tersaring
(filtrate glomerulus), kemudian kemudian mengalir melalui tubuli
renalis yang sel-selnya menyerap semua bahan yang di butuhkan.
Jumlah urine yang di produksi ginjal dapat di pengaruhi oleh ADh
dan aldosteron dengan rata-rata 1 ml/kg/bb/jam. (Uliyah,
Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015)
2. Kulit
Kulit merupakan bagian penting dalam pengaturan cairan yang
terkait dengan proses pengaturan panas. Proses ini di atur oleh
pusat pengatur panas yang disarafi oleh vasomotrik dengan
kemampuan mengendalikan arteriola kutan dengan cara
vasodilatasi dan vasokonstriksi. Banyak darah yang mengalir
melalui pembulu darah dalam kulit memengarhi jumlah keringat
yang di keluarkan. Proses pelepasan panas kemudian dapat di
lakukan dengan cara penguapan(Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz
Alimul Hidayat,2015). Keringat merupakan sekresi aktif dari
kelenjar keringat di bawah pengendalian saraf simpatis. Melalui
kelenjar keringat ini suhu dapat di turunkan dengan melepaskan air
yang jumlahnya kurang lebih setangah liter sehari.perangsang
kelenjar keringat dapat di peroleh dari aktivitas otot, suhu
lingkungan, dan melalui kondisi tubuh yang panas(Uliyah,
Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015). Proses pelepasan
panas lainnya dilakukan dengan cara pemancaran, yaitu dengan
melepaskan panas ke udara sekitarnya. Cara twrsebut berupa cara
konduksi dan konveksi. Cara kondusi yaitu pengalihan panas ke
benda yang di sentuh, sedangkan cara konveksi yaitu mengalirkan
udara yang telah panas ke permukaan yang lebih dingin (Uliyah,
Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015).
6
3. Paru-paru
Organ paru-paru berperan dalam pengeluaran cairan dengan
menghasilkan insensible water loos +_ 400 ml/hari. Proses
pengeluaran cairan terkait dengan respons akibat perubahan
frekuensi dan kedalaman pernapasan (kemampuan bernafas),
misalnya orang yang melakukan olahraga berat(Uliyah, Musrifatul
dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015).
4. Gastrointestinal
Gastrointestinal merupakan organ saluran pencernaan yang
berperan dalam mengeluarkan cairan melalui proses penyerapan
dan pengeluaran air. Dalam kondisi normal, cairan yang hilang
dalam system ini sekitar 100-200ml/hari (Uliyah, Musrifatul dan
A. Aziz Alimul Hidayat,2015)
Selain itu, pengaturan keseimbangan cairan dapat melalui
mekanisme rasa haus yang di kontrol oleh sistem endokrin
(hormonal), yakni antic diuretic hormone (ADH), sistem
aldosteron, prostaglandin,dan glukortikoid (Uliyah, Musrifatul dan
A. Aziz Alimul Hidayat,2015).
1. ADH
Hormone ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi
air sehingga dapat mengendalikan keseimbangan air dalam
tubuh (Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015)
2. Aldosteron
Hormone ini di sekresi oleh kelenjar adrenal di tubulus ginjal
dan berfungsi pada absorbs natrium (Uliyah, Musrifatul dan A.
Aziz Alimul Hidayat,2015)
3. Prostaglandin
Prostaglandin merupakan asam lemak yang terdapat pada
jaringan yang berfungsi merespons radang, pengendalian
tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan pergerakan
7
gastrointestinal (Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul
Hidayat,2015).
4. Glukokortikoid
Hormone ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi
natrium dan air yang menyebabkan volume darah meningkat
sehingga terjadi retensi natrium (Uliyah, Musrifatul dan A.
Aziz Alimul Hidayat,2015).
8
dan sebagai indikator status nutrisi. Level serum hemoglobin dan trace
elements sepertimagnesium dan fosfor merupakan tiga indikator biokimia
tambahan. Hemoglobin digunakan sebagai indikator kapasitas angkut
oksigen, sedangkan magnesium atau fosfor sebagai indikator gangguan
pada jantung, saraf dan neuromuskular.Selain itu Delayedhypersensitivity
dan Total Lymphocyte Count (TLC) adalah dua pengukuran yang dapat
digunakan untuk mengukur fungsi imun sekaligus berfungsi
sebagai screening.
Penilaian global subyektif (Subjective global assessment/SGA)
juga merupakan alat penilai status nutrisi, karena mempertimbangkan
kebiasaan makan, kehilangan berat badan yang baru ataupun
kronis,gangguan gastrointestinal, penurunan kapasitas fungsional dan
diagnosis yang dihubungkan dengan asupan yang buruk. Penilaian
jaringan lemak subkutan dan penyimpanannya dalam otot skelet juga
merupakan bagian dari SGA, dan bersama dengan evaluasi edemadan
ascites, membantu untuk menegakkan kemungkinan malnutrisi
sebelumnya. Level stres pada pasien sakit kritis juga harus dinilai karena
bisa memperburuk status nutrisi penderita secara keseluruhan.
9
wanita dewasa lebih banyak di bandingkan dengan lemak dalam tubuh pria
dewasa (Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015).
Kebutuhan air berdasarkan usia dan berat badan :
10
melebihi ekskresi nitrogen, dan menggambarkan bahwa asupan nutrisi
cukup untuk terjadinya anabolisme dan dapat mempertahankan lean body
mass. Sebaliknya keseimbangan nitrogen negatif ditandai dengan ekskresi
nitrogen yang melebihi asupan. Kebutuhan energi dapat juga
diperkirakan dengan formula persamaan Harris-Bennedict (tabel 1), atau
kalorimetri indirek. Persamaan Harris-Bennedict pada pasien
hipermetabolik harus ditambahkan faktor stres. Penelitian menunjukkan
bahwa rumus perkiraan kebutuhan energi dengan menggunakan prosedur
inicenderung berlebih dalam perhitungan energi expenditure pada pasien
dengan sakit kritis hingga 15%.3,15 Sejumlah ahli menggunakan
perumusan yang sederhana "Rule of Thumb" dalam
menghitung kebutuhan kalori, yaitu 25-30 kkal/kgbb/hari. Selain itu
penetapan Resting Energy Expenditue (REE) harus dilakukan sebelum
memberikan nutrisi. REE adalah pengukuran jumlah energi yang
dikeluarkan untuk mempertahankan kehidupan pada kondisi istirahat
dan 12 - 18 jam setelah makan. REE sering juga disebut BMR (Basal
Metabolic Rate), BER (Basal Energy Requirement), atau BEE (Basal
Energy Expenditure). Perkiraan REE yang akurat dapat membantu
mengurangi komplikasi akibat kelebihan pemberian nutrisi (overfeeding)
seperti infiltrasi lemak ke hati dan pulmonary compromise.Banyak metode
yang tersedia untuk memperkirakan REE, salah satunya adalah
kalorimetri yang dapat dipertimbangkan sebagai gold standard dan
direkomendasi sebagai metode pengukuran REE pada pasien-pasien sakit
kritis.
11
2.5 Faktor yang Berpengaruh Dalam Pengaturan Cairan
Proses pengaturan cairan di pengaruhi oleh dua factor yakni
tekanan cairan dan membrane sempermeabel. (Uliyah, Musrifatul dan A.
Aziz Alimul Hidayat,2015).
1. Tekanan cairan
Proses difusi dan osmosis melibatkan adanya tekanan cairan. Dalam
proses osmosis, tekanan osmotic merupakan kemampuan partikel
pelarut untuk menarik larutan melalui membran. Bila terdapat dua
larutan dengan perbedaan kosentrasi, maka larutan yang kosentrasi
molekul nya lebih pekat dan tidak dapat bergabung di sebut kolid.
Sementara larutan dengan kepekatan yang sama dapat bergabung, maka
larutan itu di sebut kristaloid. Sebagai contoh, koloid adalah apabila
protein bercampur dengan plasma, sedangkan larutan kristaloid adalah
larutan garam. Secara normal, perpindahan cairan menembus
membrane sel permeable tidak terjadi . prinsip tekanan osmotic ini
sangat penting dalam proses pemberian cairan intravena. Biasanya
larutan yang sering di gunakan dalam pemberian infuse itravena bersifat
isotonic karena mempunyai kosentrasi yang sama dengan plasma darah.
Hal ini penting untuk mencegah perpindahan cairan dan elektrolit ke
dalam intrasel (Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015).
2. Membrane semipermiabel merupakan penyaring agar cairan yang
bermolekul besar tidak tergabung . membrane seipermiabel ini terdapat
pada dinding kapiler pembuluh darah, yang terdapat di seluruh tubuh
sehingga molekul atau zat lain tidak berpindah ke jaringan (Uliyah,
Musrifatul dan A. Aziz Alimul Hidayat,2015).
12
2.6 Dukungan Nutrisi Pada Pasien Sakit Kritis
Tujuan pemberian nutrisi adalah menjamin kecukupan energi dan
nitrogen, tapi menghindari masalah-masalah yang disebabkan overfeeding
atau refeeding syndrome seperti uremia, dehidrasi hipertonik, steatosis
hati, gagal napas hiperkarbia, hiperglisemia,koma non-ketotik
hiperosmolar dan hiperlipidemia. Level yang terbaik untuk memulai
pemberian nutrisi pada pasien sakit kritis adalah 25 kkal/kgbb dari
berat badan ideal per hari.19 Harus diperhatikan bahwa pemberian nutrisi
yang kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan buat pasien. REE
dapat bervariasi antarameningkat sampai 40% dan menurun sampai 30%,
tergantung dari kondisi pasien (tabel 1).
13
abnormalitas jantung, disfungsi SSP, disfungsi eritrosit, disfungsi leukosit
dan kesulitan untuk menghentikan penggunaanrespirator.
14
3. Dehidrasi ringan, dengan terjadinya kehilangan cairan mencapai 5%
BB atau 1,5-2 L (Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul
Hidayat,2015).
2. Hipervolume atau overhidrasi
Terjadi dua manifestasi yang di timbulkan akibat kelebihan cairan
yaitu hipervolume (peningkatan volume darah) dan edema (kelebihan
cairan pada interstisial). Normalnya cairan interstisial tidak terikat dengan
air. Tetapi elastis dan hanya terdapat di antara jaringan. Keadaan
hipervolume yang dapat menyebabkan pitting edema, yang merupakan
edema yang berada pada darah perifer atau akan mencekung setelah di
tekan pada daerah yang bengkak (Uliyah, Musrifatul dan A. Aziz Alimul
Hidayat,2015).
15
penderita sakit kritis, nutrisi enteral selalu menjadi pilihan pertama dan
nutrisi parenteral menjadi alternatif berikutnya.
1. Nutrisi Enteral
Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan daripada oral,
kecuali pada keadaan fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko
penetrasi ke intrakranial. Pipa naso jejunal dapat digunakan jika terjadi
kelainan pengosongan lambung yang menetap dengan pemberian obat
prokinetik atau pada pankreatitis. Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral
jangka panjang adalah dengan gastrostomi dan jejunum
perkutaneus. Larutan nutrisi enteral yang tersedia dipasaran
memiliki komposisi yang bervariasi. Nutrisi polimer mengandung protein
utuh (berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan kasein), karbohidrat
dalam bentuk oligosakarida ataupolisakarida. Formula demikian
memerlukan enzim pankreas saat absorbsinya. Nutrisi elemental dengan
sumber nitrogen (asam amino maupun peptida) tidaklah
menguntungkan bila digunakan secara rutin, namun dapat membantu bila
absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada insufisiensi pankreas atau
setelah kelaparan dalamjangka panjang. Lipid biasanya berasal dari
minyak nabati yang mengandung banyak trigliserida rantai panjang, tapi
juga berisi trigliserida rantai sedang yang lebih mudah diserap. Proporsi
kalori dari non protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga dari
totalkebutuhan kalori. Serat diberikan untuk menurunkan insiden diare.
Serat dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam lemak rantai pendek, yang
digunakan oleh koloni untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit,
vitamin dan trace mineral ditambahkan sampai volume yang mengandung
2000 kkal. Nutrisi enteral adalah faktor resiko independen pneumonia
nosokomial yang berhubungan dengan ventilasi mekanik. Cara
pemberian sedini mungkin dan benar nutrisi enteral akan menurunkan
kejadian pneumonia, sebab bila nutrisienteral yang diberikan secara dini
akan membantu memelihara epitel pencernaan, mencegah
translokasi kuman, mencegah peningkatan distensi gaster,
16
kolonisasi kuman, dan regurgitasi.Posisi pasien setengah duduk dapat
mengurangi resiko regurgitasi aspirasi.Diaresering terjadi pada pasien di
ICU yang mendapat nutrisi enteral, penyebabnya multifaktorial, termasuk
terapi antibiotik, infeksi Clostridium difficile, impaksi feses, dan efek tidak
spesifik akibat penyakit kritis. Komplikasi metabolik paling sering berupa
abnormalitas elektrolit dan hiperglikemia.
2. Nutrisi Parenteral
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat
dipenuhi dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan
nutrisi enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan suplemen nutrisi
parenteral. Pemberian nutrisi parenteralpada setiap pasien dilakukan
dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada
pasien ICU, kebutuhan dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu
dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor biokimia dan klinis harus
dilakukan secara ketat. Hal yang paling ditakutkan pada pemberian nutrisi
parenteral total (TPN/Total Parenteral Nutrition) melalui vena sentral
adalah infeksi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a. Insersi subklavia: infeksi lebih jarang dibanding jugular interna dan
femoral.
b. Keahlian operator dan staf perawat di ICU mempengaruhi tingkat infeksi.
c. Disenfektan kulit klorheksidin 2% dalam alkohol adalah sangat efektif.
d. Teknik yang steril akan mengurangi resiko infeksi.
e. Penutup tempat insersi kateter dengan bahan transparan lebih baik.
f. Kateter sekitar tempat insersi sering-sering diolesi dengan salep
antimikroba.
g. Penjadwalan penggantian kateter tidak terbukti menurunkan sepsis.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Cariran dan elektrolit sangat berguna dalam mempertahankan
fungsi tubuh manusia. Kebutuhan cairan dan elektrolit bagi manusia
berbeda - beda sesuai dengan tingkat usia seseorang. Kebutuhan cairan
sangat di perlukan tubuh dalam menganggkut zat makanan kedalam sel,
sisa metabolisme, sebagia pelarut elektrolit dan nonelektrolit, memelihara
suhu tubuh, mempermudah eliminasi, dan membantu pencernaan. Di
samping kebutuhan cairan, elektrolit ( natrium ,kalium , kalsium, klorida,
dan fosfat ) sangat penting untuk menjaga keseimbangan asam-basa,
konduksi saraf, kontraksi mosular dan osmolaritas. Kondisi tidak terpenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit dapat memengaruhi sistem organ tubuh
terutama ginjal. Untuk mempertahankan kondisi cairan dan elektrolit
dalam keadaan seimbang maka pemasukan harus cukup sesuai dengan
kebutuhan. Prosedure pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit dalam
pelayanan keprawatan dapat di lakukan melalui pemberian cairan per oval
atai intravena.
3.2 Saran
Diharapkan setelah membaca makalah ini, pembaca khususnya
mahasiswa keperawatan dan perawat dapat memahami tentang terapi
cairan dan nutrisi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Kim Hyunjung., dkk. 2012. Why patients in critical care do not receive
adequate enteral nutrition? A review of the literature. Journal of Critical
Care (2012) 27,702-713.
19