Anda di halaman 1dari 7

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Morbus Hansen

Kusta termasuk penyakit tertua, kata kusta berasal dari bahasa India yaitu

kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit kusta merupakan

penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan

mutilasi pada anggot tubuh terutama bagian kaki. Kusta atau lepra merupakan

penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae termasuk bakteri gram

negatif yang tahan asam. Mycobacterium leprae sudah tidak terlalu banyak

penderitanya saat ini, namun di beberapa daerah di Indonesia M leprae masih bisa

ditemukan.

Kusta merupakan penyakit infeksi yang saat masih tinggi prevalensinya

terutama di negara berkembang, merupakan penyakit bersifat endemki diseluruh

dunia kecuali Antartika. Di Amerika hanya Kanada dan Chili yang tidak pernah

ditemukan endemik dari kusta. Di bagian Selatan Eropa hanya ditemukan sedikit

kasus dari kusta. Angka kejadi tertinggi kasus kusta terdapat dibagian pulau

Pasifik, seperti India. India merupakan negara kedua yang memiliki angka

tertinggi dari kusta ( Djuanda, dkk, 2008). Kasus lepra atau kusta secara mendunia

menurun sekitar 90% selama kurun waktu 20 tahun ini karena adanya program

kesehatan. Dari data WHO menyatakan ada 220.000 kasus pada tahun 2006.

WHO memiliki target untuk menghilangkan M. leprae di dekade berikutnya,

meskipun saat ini masih ada banyak penderita penyakit kusta (siregar, 2005).

Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama

5
6

penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan

sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta.

Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium

leprae (Dacre, et al, 2008).

Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase lepromatus leprosi.

Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan

anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.

Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup

didalam droplet beberapa hari. Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari

sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun (Mulyati, dkk, 2009).

Sampai saat ini kusta hanya pernah ditemukan menginfeksi manusia, dan

pernah dilaporkan ditemukan pada armadilo liar. Hal ini juga menjadi pemersulit

pembiakkan M leprae. M leprae belum dapat dibiakkan dengan medium buatan

maupun biakan sel, hanya dapat tumbuh pada mouse footpad dan armadilo.1

Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di

kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin.

Sputum dapat banyak mengandung M leprae yang berasal dari traktus

respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama.

Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat menyerang semua umur baik

anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14

tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat

ini usaha pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di
7

cari kemungkinan ada tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta

terdapat pada orang dengan usia 25-35 tahun.

Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang

rendah, dari data penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan

semakin berat penyakitnya, sebaliknya semakin tinggi keadaan sosial ekonomi

masyarakat makan akan semakin membantu penyembuhan. Selain itu dari

penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang mengakibatkan gambaran

klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor genetik yang

berbeda. Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena

dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita

karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan dari masyarakat

disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan

ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai paralisis

dan atrofi otot.

1. Etiologi

Kuman penyebab dari kusta adalah Mycobacterium leprae. M leprae

merupakan basil tahan asam berukuran panjang 4 – 7 µm dan lebar 0,3 – 0,4 µm.

Genom M leprae ada 3.3 juta pasang, dengan kurang lebih 1600 gen (Djuanda,

dkk, 2008).
8

2. Patogenesis

Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginoklusikan M leprae pada kaki

mencit dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai sepesimen,

bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies.

Agar dapat tubuh diperlukan jumlah minimum M leprae di tempat suntikkan

namun jumlah maksimal tidak berarti meningkatkan perkembangbiakan. Inokulasi

pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900 r, sehingga

kehilangan respon imun selularnya akan menghasilkan granuloma penuh kuman

terutama di bagian tubuh yang relatif dingin yaitu hidung, cuping telinga, kaki dan

ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi

salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi. Sebenarnya

M leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita

yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih

berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidak seimbangan antara derajat infeksi dengan

derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

merangsang timbulnya granuloma setempat dan menyeluruh yang dapat sembuh

atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit

imunologik. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya

daripada intesitas infeksinya(Mulyati, dkk, 2008).

3. Gejala Klinis

Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu

multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap

kuman M.leprae
9

serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.

Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:

1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf

yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang

menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom.

2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan

tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-

bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebut

glove dan stocking anaesthesia terjadi penebalan saraf menyebabkan

gangguan motorik, sensorik dan otonom dan ada keadaan akut apabila

terjadi reaksi tipe 2.

3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan

tipe lepromatosa)

4. Xerosis pada kusta

Xerosis terjadi pada kondisi kusta merupakan akibat dari Mycobacterium

Leprae menyerang saraf tepi sehingga fungsi otonom terganggu. Terganggunya

fungsi otonom dapat mengakibatkan menurunnya kerja kelenjar tiroid, sehingga

metabolisme tubuh terganggu yang mengakibatkan fungsi kulit terganggu.

Biasanya xerosis terjadi pada penderita kusta yang mengalami reaksi. Reaksi

tersebut terjadi sebagai suatu perjalanan penyakit dari kusta. Penderita reaksi

kusta telah meminum obat MDT (Multidrug Therapy) selama 1 tahun sebagai

pemutus rantai penularan kusta. Sehingga pada penderita kusta yang telah diobati
10

masih ada gejala sisa yang mengakibatkan adanya hiperpigmentasi atau

hipopigmentasi dan hilangnya fungsi sensorik kulit atau lesi anestesi.

Secara klinis xerosis ditandai dengan kulit yang kering, kasar, bersisik,

dan gatal. Secara patofisiologis hal ini terjadi karena stratum korneum yang

terganggu, dehidrasi, dan gangguan diferensiasi keratinosit. Xerosis ini

mencerminkan adanya kelainan pada proses maturasi dari epidermis sehingga

akan menghasilkan suatu permukaan kulit yang tidak rata. Peradangan ini

disebabkan adanya kelainan pada lapisan tanduk. Permasalahan fisioterapi dalam

kasus ini adalah terganggunya fungsi proteksi kulit, terganggunya metabolisme

kulit, terganggunya fungsi otonom sehingga membuat kulit menjadi kering dan

kasar, kelembaban kulit berkurang serta menurunnya elastisitas kulit (Barco et al.,

2008).

B. Massage dan terapi latihan

Kata masase berasal dari bahasa Arab “mash” yang berarti menekan

dengan lembut, atau dari Yunani “massien” yang berarti memijat atau melulut.

Masase merupakan salah satu manipulasi sederhana yang pertama-tama

ditemukan oleh manusia untuk mengelus-elus rasa sakit. Hampir setiap hari

manusia melakukan pemijatan sendiri. Semenjak 3000 tahun sebelum masehi,

masase sudah digunakan sebagai terapi. Di kawasan Timur Tengah masase

merupakan salah satu pengobatan tertua yang diakukan oleh manusia

Massage adalah manipulasi ilmiah dari jaringan lunak tubuh untuk tujuan

normalisasi jaringan tersebut dan terdiri dari teknik manual yang mencakup
11

menerapkan tekanan tetap atau bergerak, memegang, dan atau menyebabkan

pergerakan pada tubuh, massage bertujuan untuk merangsang sistem vaskuler.

dengan perbaikan vaskularisasi meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi,

meningkatkan pembuangan sampah metabolik.

Terapi latihan adalah suatu usaha pengobatan yang dalam pelaksanaannya

menggunakan latihan- latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif. Terapi

latihan dapat membantu mempertahankan kekuatan otot, mencegah kontraktur,

serta mempertahankan lingkup gerak sendi. Secara umum tujuan terapi latihan

adalah untuk pencegahan disfungsi dengan pengembangan, peningkatan,

perbaikan atau pemeliharaan dari kekuatan dan daya tahan otot dan kemampuan

fungsional (Kisner dan Colby, 2002).

Anda mungkin juga menyukai