Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS KASUS (PEMERKOSAAN YUYUN DI KECAMATAN PADANG ULAK TANDING

KABUPATEN REJANG LEBONG PROVINSI BENGKULU)

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia


Dosen Pembimbing: Dwi Desi Yayi Tarina, S.H., M.H.

Disusun oleh:

Nada Siti Salsabila


(1610611159)

FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2016
Kronologi Kasus:
Bermula ketika pada Sabtu (02/04/2016), Yuyun baru pulang dari sekolahnya mengenakan
seragam SMP (berseragam pramuka) pukul 13:00 wib, melintas disebuah jalan yang mana
diketahui di jalan itu terdapat 14 pemuda yang habis pesta minum tuak. Yuyun dihadang dan
disekap saat melintas di lokasi tempat 14 pemuda yang habis pesta tuak tersebut. Lalu diseret ke
semak yang tak jauh dari lokasi kejadian perkara. Korban diperkosa secara bergantian, bagian
kepala korban dipukul oleh 2 dari 14 pelaku menggunakan kayu. Setelah disekap dan diseret ke
semak, rok dan celana dalam korban dibuka oleh 1 (dari 14 pelaku). Bahkan dalam kondisi itu
(saat ditelanjangi), 1 pelaku lain (diantara 14 pelaku yang jadi pelaku pemerkosaan dan
pembunuhan) mencekik leher korban karena korban sempat berontak dan berteriak. Korban
diperkosa secara bergiliran oleh 14 pria yang sebagian besar masih anak dibawah umur. Setelah
diperkosan secara bergiliran bahkan 6 dari 12 pelaku menggotong mayat korban ke jurang. Lalu
tersangka menyembunyikan tas, sepatu dan seragam pramuka korban dibalik semak-semak. Dan
yang lebih mengejutkan lagi setelah korban dibuang ke dalam jurang oleh 6 pelaku dari 14 pelaku,
ada tersangka yang kembali kembali ke dalam jurang. Ini diketahui pada saat ditemukannya mayat
korban di dalam jurang dengan kedalaman 15 meter tersebut ditemukan daun pakis yang telah
menutupi mayat korban.

Analisis Kasus:
Sejumlah kekerasan secara fisik maupun seksual pada anak di usia dini sangatlah merebak
dan banyak terjadi pada saat ini. Dalam hal ini, anak usia dini yang merupakan generasi penerus
dengan mempersiapkan anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal baik dalam
pengembangan moral, perilaku, fisik, bahasa maupun emosional. Sangat lah di sayangkan pada
akhir-akhir ini kita melihat fenomena yang terjadi di masyarakat yaitu perilaku negatif yang
menjadi korbanya adalah anak-anak di usia dini. Kita dapat melihat melalui media surat kabar,
televisi dan lain sebagaiya. Bentuk kekerasan yang terjadi yakni kekerasan secara fisik, verbal,
mental bahkan terdapat bentuk pelangaran yang di luar moral manusia yaitu pelecehan seksual.
Kasus perkosaan dan pembunuhan ‘Yuyun’, merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran
paling serius terhadap hak perempuan. Kekerasan terhadap Yuyun merupakan bentuk pelanggaran
Hak Asasi Manusia HAM) sebagaimana yang ditentukan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia tahun 1948, UU RI No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Yakni, pemerintah Indonesia mengutuk diskriminasi
terhadap perempuan dalam segala bentuk termasuk kekerasan terhadap perempuan, dan bersepakat
untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda. Berusaha untuk
menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak perempuan atas dasar yang sama dengan
kaum laki-laki dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan
pemerintah lainnya, perlindungan kaum perempuan yang efektif terhadap tindakan diskriminasi
apa pun.

2
Karena itu, peristiwa yang menimpa Yuyun, merupakan kasus kejahatan dan pelanggaran
paling serius terhadap hak perempuan. Mulai dari pelanggaran terhadap 12 Jenis Hak Kesehatan
Seksual dan Reproduksi terkhusus hak-hak, di antaranya hak untuk hidup, hak atas kemerdekaan
dan keamanan, dan hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk.
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang mengutuk kekerasan
terhadap perempuan yang menyatakan Negara harus mengupayakan cara-cara yang sesuai dan
tidak menunda-nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan khususnya
kekerasan seksual. Dipertegas pula pada poin (d) yang menyatakan untuk menghukum dan
menindak berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan sebagai akibat dari kekerasan
terhadapnya sebagaimana diatur oleh perundang-undangan nasional, ganti rugi yang efektif dan
adil atas kerugian yang mereka derita,
Penyelesaian hukum, tidak menyelesaikan perkosaan dan kekerasan seksual. Hukuman-
hukuman untuk pelaku kejahatan seksual (perkosaan) sering tidak memenuhi rasa keadilan
perempuan. Setiap perkosaan terjadi, perempuan selalu dipersalahkan atas cara berpakaiannya,
bukan menghujat tindakan kekerasan yang dilakukan pelaku perkosaan.
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Curup, Heny Farida, memutuskan untuk
menghukum 10 tahun terhadap 7 pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun, siswi SMP di
Bengkulu. Para perlaku dinyatakan terbukti secara meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
telah melakukan kekerasan, memaksa anak persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dan
membiarkan turut serta yang membiarkan kekerasan terhadap anak, sehingga menyebabkan anak
mati.
Berbagai reaksi pun bermunculan, ada yang menilai bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh
majelis hakim cukup ringan. Karena, tindak pidana terhadap korban cenderung sangat keji
sehingga menimbulkan kegeraman bagi masyarakat. Keinginan masyarakat agar pelaku dihukum
seberat-beratnya merupakan reaksi sesaat dari kengerian yang timbul di masyarakat. Kejadian ini
menjadi shock therapy yang menyadarkan semua pihak bahwa telah ada perubahan norma di
kalangan anak muda kita yang selama ini hanya dinilai kenakalan biasa.
Menurut Pakar Pidana, Eva Achjani Zulfa, hukuman terberat pun tidak menjamin remaja
lain menjadi jera untuk tidak melakukan tindakan yang sama. Tidak selamanya hukuman yang
berat menjadi obat mujarab penyakit sosial. Menurutnya, untuk mencegah kejadian yang sama
terulang, harus dituntaskan dari akar masalah.
Di Indonesia hukuman terhadap suatu tindak pidana sangat bergantung pada subjektivitas
hakim. Kadangkala, subyektivitas ini menurutnya tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Saat ini Indonesia memang belum dikenal sentencing guideline yang menjadi panduan semacam
matematis bagi hakim untuk menghitung hukuman yang adil dengan menghitung berbagai
variabel. Hakim telah menjatuhkan hukuman terberat bagi para pelaku. Di dalam hukum pidana
ada prinsip nulla poena sine lege, artinya tidak ada sanksi pidana yang tidak diatur di dalam
ketentuan undang-undang. Hukuman bagi para pelaku sudah sesuai prinsip legalitas.

3
Saat ini di Indonesia berlaku hukuman mati sebagai hukum terberat yang bisa dijatuhkan
kepada pelaku tindak pidana. Hanya saja, karena para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan
korban Yuyun masih masuk kategori anak, maka berlaku pengecualian. Menurut UU No.11 Tahun
2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengganti hukuman mati bagi anak adalah penjara
selama sepuluh tahun.
Dengan demikian, menurut Eva, hakim telah menjatuhkan hukuman maksimal bagi para
pelaku. Hakim tidak bisa menghukum lebih berat lagi karena tersangkut azas legalitas. Sebab,
menurut ketentuan undang-undang tidak ada hukuman yang lebih berat yang bisa dijatuhkan
kepada anak selain penjara selama sepuluh tahun. Menurut ketentuan undang-undang usia sampai
dengan 18 tahun masih disebut sebagai anak. Ada filosofi tersendiri penggantian hukuman mati
bagi anak dengan penjara 10 tahun. Anak dianggap masih memiliki masa depan. Selain itu,
diharapkan anak-anak yang telah melakukan tindak pidana masih bisa dididik agar di kemudian
hari menjadi lebih baik.
Sistem penjara di Indonesia saat ini masih belum ramah terhadap anak. Jika anak dipenjara
lebih lama maka ada kemungkinan pidana tersebut justru membuat perilaku anak lebih buruk.
Sehingga, penjara yang lama bukan solusi untuk mengatasi pidana yang dilakukan oleh anak.
Hakim bisa memberikan pidana tambahan untuk memerintahkan para pelaku menjalani
rehabilitasi sosial dan medis. Pidana tambahan itu boleh diberikan oleh hakim kendati belum ada
ketentuan yang mengatur. Pasalnya, saat ini Indonesia menganut sistem double track antara pidana
dan tindakan. Sehingga, penjara dapat dikategorikan sebagai pidana dan rehabilitasi menjadi
tindakan. Tindakan tersebut bisa berdiri sendiri bisa pula dilaksanakan bersama-sama dengan
pidana pokok. Jadi, hakim boleh memberikan pidana tambahan rehabilitasi sebagai sebuah
tindakan.

Landasan Hukum:
1. Pasal yang didakwakan adalah Pasal 81 Ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang mana ancaman minimal adalah
5 Tahun dan maksimal adalah 15 Tahun.
2. Berdasarkan hal tersebut menjadi pertimbangan adalah ancaman maksimal adalah 15 Tahun
kemudian dikarenakan unsur anak-anak melakukan bersama-sama (Vide Pasal 55 Ayat 1 Ke-
1 KUHP) dan berdasarkan pasal 65 Ayat 1 dan Ayat 2 KUHP serta berdasarkan teori hukum
pidana, pidana yang terberat ditambah sepertiga dari ancaman hukuman maksimal.
3. Berdasarkan Pasal 81 Ayat 2 UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak yang paling lama setengah dari ancaman
maksimal pidana penjara bagi orang dewasa.
4. Maka dari penjelasan tuntutan pidana adalah sebagai berikut 15 Tahun (ancaman maksimal
Pasal 81 Ayat 1 UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak), di tambah 5 Tahun (Pasal 65 Ayat1 dan Ayat 2 KUHP) menjadi
20 Tahun, dikarenakan terdapat terdapat ketentuan Pasal 81 Ayat 2 UU No 11 Tahun 2012

4
Tentang sistem peradilan Pidana Anak yaitu setengah dari ancaman pidana maksimal dan
pengganti hukuman mati bagi anak adalah penjara selama sepuluh tahun.
5. Tuntutan maksimal yang dapat dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum adalah 10 Tahun.

Saran:
1. Perempuan punya hak atas tubuhnya untuk terhindar dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
Publik tidak boleh diam, anak kita harus aman berada di luar rumah untuk menuntut ilmu,
berkreasi dan anak laki-laki kita harus didik menjadi laki-laki sejati yang hormat pada
perempuan. Pemimpin harus diajari menjadi orang tua tauladan.
2. Pemerintah harus segera membentuk Tim Penanganan khusus pemulihan psikis dan sosial dan
dampingan hukum untuk keluarga korban yang melibatkan para pihak. Pemerintah desa,
kecamatan, kabupaten/Kota, Provinsi di Bengkulu harus menjamin keamanan dan
perlindungan bagi keluarga, teman korban, saksi dan pendamping juga harus segera merancang
dan menjalankan program pendidikan dan penyadaran tentang Hak Kesehatan Seksual &
Reproduksi (HKSR) bagi perempuan, perempuan muda/remaja, laki-laki muda/remaja,
suami/ayah sebagai program prioritas di sana.
3. Jika kita lihat kasus kekerasan seksual ini jika korban masih hidup akan mengalami trauma
berkepanjangan dan sulit membuka diri di masyarakat. Walaupun sekarang sudah terdapat
operasi dan terapi namun tidak mudah untuk memulihkan rasa trauma yang terjadi. Selain itu
penerimaan yang terjadi di masyarakat sangat lah sulit menerima. Dalam kasus ini sangatlah
penting agar lembaga-lembaga dalam pencegahan semua lembaga perlu berperan aktif, baik
dari keluarga unit lembaga terkecil, pendidikan baik mengarakan pendidikan moral maupun
pendidikan seks pada usia dini agar tidak di salah gunakan di kemudian harinya, lembaga
agama yang mengkonstruksi nilai-nilai dan moral masyarakatnya sehingga dalam bertindak
bertindak yang baik, lembaga pemerintah juga berperan aktif dalam upaya perlindungan
hukum dan supermasi hukum bagi anak usia dini dalam mengurangi kekerasan seksual pada
anak.

5
Daftar Pustaka

http://www.kompasiana.com/rickyvinandooo/kasus-yuyun-pembunuhan-berencana-inilah-yang-
tak-dipahami-banyak-orang_5729c86fce7e61ef073b6b8a
http://rrdewiikawati.blogspot.com/2016/05/analisis-kasus-dalam-konteks-sosiologi.html
http://harian.analisadaily.com/kota/news/kasus-yuyun-pelanggaran-serius-kepada-
perempuan/235724/2016/05/10
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5731bf1c5a5b7/pakar-pidana--pembunuh-yuyun-tak-
bisa-dihukum-lebih-berat

Anda mungkin juga menyukai