Anda di halaman 1dari 19

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

Disusun Oleh :
Nama Kelompok
1. Nika Nurmalia ( 010117A063)
2. Puji Astuti Retnoningsih ( 010117A076)
3. Rizal Asep Pratama ( 010117A088)
4. Siti Imronah ( 010117A101)
5. Ali Torihin ( 010117A119)
Teori Psikososial Lansia

A. Definisi
Perkembangan psikososial lanjut usia adalah tercapainya integritas diri yang
utuh. Pemahaman terhadap makna hidup secara keseluruhan membuat lansia
berusaha menuntun generasi berikut (anak dan cucunya) berdasarkan sudut
pandangnya. Lansia yang tidak mencapai integritas diri akan merasa putus asa dan
menyesali masa lalunya karena tidak merasakan hidupnya bermakna (Anonim,
2006). Sedangkan menurut Erikson yang dikutip oleh Arya (2010) perubahan
psikososial lansia adalah perubahan yang meliputi pencapaian keintiman,
generatif dan integritas yang utuh.

Perubahan Aspek Psikososial


Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan
perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan,
tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Beberapa perubahan tersebut dapat dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian
lansia sebagai berikut:
1) Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini
tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.
2) Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada
kecenderungan mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa
lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada
dirinya
3) Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya
sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu
harmonis maka pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup
meninggal maka pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi
jika tidak segera bangkit dari kedukaannya.
4) Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah
memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak
keinginan yang kadang-kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga
menyebabkan kondisi ekonominya menjadi morat-marit.
5) Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini
umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang
lain atau cenderung membuat susah dirinya.
/
Perubahan Dalam Peran Sosial Di Masyarakat
A/kibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik
dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada
lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang,
penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal
itu sebaiknya dicegah dengan selalu mengajak mereka melakukan aktivitas,
selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak merasa terasing atau
diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilaku/nya seperti anak kecil.

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia


yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak
dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar. Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai
tempat untuk pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long
stay rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain
perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam
lingkungan sosial Panti Werdha adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam
masyarakat sebagai seorang lansia

Macam-macam Masalah Keperawatan Psikologi dan Psikososial

Pengertian
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu rnakan, psikomotor, konsentrasi, keielahan,
rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.Depresi adalah suatu
perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat
berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam
(Nugroho, 2000).

Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan,


harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong .Depresi adalah
bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (mood), yang ditandai dengan
kemurungan, kelesuan, ketidakgairahan hidup, perasaan tidak berguna, dan putus
asa.

Tanda Dan Gejala Depresi


Perilaku yang berhubungan dengan depresi meliputi beberapa aspek seperti:
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan, kemurungan,
rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian, harga diri rendah,
kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing, keletihan,
gangguan pencernaan, insomnia, perubahan haid, makan berlebihan/kurang,
gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran
yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas, kecanduan obat,
intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas, sangat tergantung,
kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah menangis, dan menarik diri.

Tingkatan depresi ada 3 berdasarkan gejala-gejalanya yaitu:


1. Depresi Ringan
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang

2. Depresi Sedang
Gejala :
a) Kehilangan minat dan kegembiraan
b) Berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas.
c) Kosentrasi dan perhatian yang kurang
d) Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e) Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
3. Depresi Berat
Gejala :
a) Mood depresif
b) Kehilangan minat dan kegembiraan
c) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
d) Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g) Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h) Tidur terganggu
i) Disertai waham, halusinasi
j) Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu

Karakteristik Depresi Pada Lanjut Usia

Meskipun depresi banyak terjadi dikalangan lansia, depresi ini sering di


diagnosis salah atau diabaikan. Rata-rata 60-70% lanjut usia yang mengunjungi
praktik dokter umum adalah mereka dengan depresi, tetapi ; acapkali tidak
terdeteksi karena lansia lebih banyak memfokuskan pada keluhan badaniah yang
sebetulnya ; adalah penyerta dari gangguan emosi (Mahajudin, 2007).
Menurut Stanley & Beare (2007), sejumlah faktor yang menyebabkan
keadaan ini, mencakup fakta bahwa depresi pada lansia dapat disamarkan atau
tersamarkan oleh gangguan fisik lainnya (masked depression). Selain itu isolasi
sosial, sikap orang tua, penyangkalan pengabaian terhadap proses penuaan normal
menyebabkan tidak terdeteksi dan tidak tertanganinya gangguan ini. Depresi pada
orang lanjut usia dimanifestasikan dengan adanya keluhan tidak merasa berharga,
sedih yang berlebihan, murung, tidak bersemangat, merasa kosong, tidak ada
harapan, menuduh diri, ide-ide pikiran bunuh diri dan pemilihan diri yang kurang
bahkan penelantaran diri.

Samiun (2006) menggambarkan gejala-gejala depresi pada lansia :

1. Kognitif
Sekurang-kurangnya ada 6 proses kognif pada lansia yang menunjukkan
gejala depresi. Pertama, individu yang mengalami depresi memiliki self-
esteem yang sangat rendah. Mereka berpikir tidak adekuat, tidak mampu,
merasa dirinya tidak berarti, merasa rendah diri dan merasa bersalah terhadap
kegagalan yang dialami. Kedua, lansia selalu pesimis dalam menghadapi
masalah dan segala sesuatu yang dijalaninya menjadi buruk dan kepercayaan
terhadap dirinya (self-confident) yang tidak adekuat. Ketiga, memiliki
motivasi yang kurang dalam menjalani hidupnya, selalu meminta bantuan dan
melihat semuanya gagal dan sia-sia sehingga merasa tidak ada gunanya
berusaha. Keempat, membesar-besarkan masalah dan selalu pesimistik
menghadapi masalah. Kelima, proses berpikirnya menjadi lambat,
performance intelektualnya berkurang. Keenam, generalisasi dari gejala
depresi, harga diri rendah, pesimisme dan kurangnya motivasi.
2. Afektif
Lansia yang mengalami depresi merasa tertekan , murung, sedih, putus asa,
kehilangan semangat dan muram. Sering merasa terisolasi, ditolak dan tidak
dicintai. Lansia yang mengalami depresi menggambarkan dirinya berada
dalam lubang gelap yang tidak dapat terjangkau dan tidak dapat keluar dari
sana.
3. Somatik
Masalah somatik yang sering dialami lansia yang mengalami depresi seperti
pola tidur yang terganggu ( insomnia ), gangguan pola makan dan dorongan
seksual yang berkurang. Lansia lebih rentan terhadap penyakit karena sistem
kekebalan tubuhnya melemah, selain karena aging proces juga karena orang
yang mengalami depresi menghasilkan sel darah putih yang kurang (Samiun,
2006).
4. Psikomotor
Gejala psikomotor pada lansia depresi yang dominan adalah retardasi motor.
Sering duduk dengan terkulai dan tatapan kosong tanpa ekspresi, berbicara
sedikit dengan kalimat datar dan sering menghentikan pembicaraan karena
tidak memiliki tenaga atau minat yang cukup untuk menyelesaikan kalimat
itu. Dalam pengkajian depresi pada lansia, menurut Sadavoy et all (2004)
gejala-gejala depresi dirangkum dalam SIGECAPS yaitu gangguan pola tidur
(sleep) pada lansia yang dapat berupa keluhan susah tidur, mimpi buruk dan
bangun dini dan tidak bisa tidur lagi, penurunan minat dan aktifitas (interest),
rasa bersalah dan menyalahkan diri (guilty), merasa cepat lelah dan tidak
mempunyai tenaga (energy), penurunan konsentrasi dan proses pikir
(concentration), nafsu makan menurun (appetite), gerakan lamban dan sering
duduk terkulai (psychomotor) dan penelantaran diri serta ide bunuh diri
(suicidaly)

Penyebab Depresi
Faktor penyebab depresi ialah :

A. Faktor Predisposisi
1. Faktor genetik, dianggap mempengaruhi transmisi gangguan afektif
melalui riwayat keluarga dan keturunan.
2. Teori agresi menyerang kedalam, menunjukkan bahwa depresi terjadi
karena perasaan marah yang ditunjukkan kepada diri sendiri.
3. Teori kehilangan obyek, menunjuk kepada perpisahan traumatika individu
dengan benda atau yang sangat berarti.
4. Teori organisasi kepribadian, menguraikan bagaimana konsep diri yang
negatif dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan dan
penilaian seseorang terhadap stressor.
5. Model kognitif, menyatakan bahwa depresi merupakan masalah kognitif
yang di dominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap diri sesorang,
dunia seseorang dan masa depan seseorang.
6. Model ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helplessness ),
menunjukkkan bukan semata-mata trauma menyebabkan depresi tetapi
keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang
penting dalam kehidupannya, oleh karena itu ia mengulang respon yang
tidak adaptif.
7. Model perilaku, berkembang dari teori belajar sosial, yang mengasumsi
penyebab depresi terletak pada kurangnya keinginan positif dalam
berinteraksi dengan lingkungan.
8. Model biologik, menguraikan perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi
selama depresi, termasuk definisi katekolamin, disfungsi endokri,
hipersekresi kortisol, dan variasi periodik dalam irama biologis.

B. Stresor Pencetus
Ada 4 sumber utama stresor yang dapat mencetuskan gangguan alam perasaan (
depresi ), yaitu :
1. Kehilangan keterikatan yang nyata atau dibayangkan, termasuk kehilangan
cinta seseorang, fungsi fisik, kedudukan atau harga diri. Karena elemen aktual
dan simbolik melibatkan konsep kehilangan, maka persepsi seseorang
merupakan hal sangat penting.
2. Peristiwa besar dalam kehidupan, hal ini sering dilaporkan sebagai pendahulu
episode depresi dan mempunyai dampak terhadap masalah-masalah yang
dihadapi sekarang dan kemampuan menyelesaikan masalah.
3. Peran dan ketegangan peran telah dilaporka mempengaruhi perkembangan
depresi, terutama pada wanita.
4. Perubahan fisiologik diakibatkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit
fisik. Seperti infeksi, neoplasma, dan gangguan keseimbangan metabolik,
dapat mencentuskan gangguan alam perasaan. Diantara obat-obatan tersebut
terdapat obat anti hipertensi dan penyalahgunaan zat yang menyebabkan
kecanduan. Kebanyakan penyakit kronik yang melemahkan tubuh juga sering
disertai depresi.

Penyebab depresi adalah gabungan dari faktor predisposisi (teori biologis


terdiri dari genetik dan biokimia), dan faktor pencetus (teori psikososial terdiri
dari psikoanalisis, kognitif, teori pembelajaran, teori kehilangan objek).
Penyebab Depresi Pada Lanjut Usia
Depresi pada lansia merupakan permasalahan kesehatan jiwa (mental health)
yang serius dan kompleks, tidak hanya dikarenakanaging process tetapi juga
faktor lain yang saling terkait. Sehingga dalam mencari penyebab depresi pada
lansia harus dengan multiple approach. Menurut Samiun (2006) ada 5 pendekatan
yang dapat menjelaskan terjadinya depresi pada lansia yaitu :
1. Pendekatan Psikodinamik
Salah satu kebutuhan manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai,
rasa aman dan terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-
lain.Seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love
object) dapat jatuh dari kesedihan yang dalam. Sebagai contoh seorang kehilangan
orang yang dicintai (terhadap suami atau istri yang meninggal), kehilangan
pekerjaan/jabatan dan sejenisnya akan dan menyebabkan orang itu mengalami
kesedihan yang mendalam, kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah dan
seterusnya, yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi.

Freud mengemukakan bahwa depresi terjadi sebagai reaksi terhadap


kehilangan. Perasaan sedih dan duka cita sesudah kehilangan objek yang dicintai
(loss of love object), tetapi seringkali mengalami perasaan ambivalensi terhadap
objek tersebut (mencintai tetapi marah dan benci karena telah meninggalkan).
Orang yang mengalami depresi percaya bahwa intropeksi merupakan satu-satunya
cara ego untuk melepaskan suatu objek, sehingga sering mengritik, marah dan
menyalahkan diri karena kehilangan objek tadi.Depresi yang terjadi pada lanjut
usia adalah dampak negatif kejadian penurunan fungsi tubuh dan perubahan yang
terjadi terutama perubahan psikososial. Perubahan-perubahan tersebut diatas
seringkali menjadi stresor bagi lanjut usia yang membutuhkan adaptasi biologis
dan biologis. Menurut Maramis (1995), pada lanjut usia permasalahan yang
menarik adalah kurangnya kemampuan dalam beradaptasi secara psikologis
terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi
terhadap perubahan dan stres lingkungan sering menyebabkan depresi.
Strategi adaptasi yang seringkali digunakan lansia yang mengalami depresi
adalah strategi pasif (defence mcanism) seperti menghindar, menolak, impian,
displacement dan lain-lain (Samiun, 2006). Hubungan stress dan kejadian depresi
seringkali melibatkan dukungan sosial (social support) yang tersedia dan
digunakan lansia dalam menghadapi stresor. Ada bukti bahwa individu yang
memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang mengalami
depresi bila berhadapan dengan stres ( Samiun , 2006).

2. Pendekatan Perilaku Belajar


Salah satu hipotesis untuk menjelaskan depresi pada lansia adalah individu
yang kurang menerima hadiah (reward) atau penghargaan dan hukuman
(punishment) yang lebih banyak dibandingkan individu yang idak depresi
(Samiun, 2006). Dampak dari kurangnya hadiah dan hukuman yang lebih banyak
ini mengakibatkan lansia merasakan kehidupan yang kurang menyenangkan,
kecenderungan memiliki self-esteem yang kurang dan mengembangkan self-
concept yang rendah. Hadiah dan hukuman bersumber dari lingkungan (orang-
orang dan peristiwa sekitar) dan dari diri sendiri. Situasi akan bertambah buruk
jika seseorang menilai hadiah yang diterima terlalu rendah dan hukuman yang
diterima terlalu tinggi terutama untuk tingkah laku mereka sendiri, sehingga
mengakibatkan ketidakseimbangan antara nilai reward dan punishment itu. Peran
hadiah dan hukuman terhadap diri sendiri yang tidak tepat dapat menimbulkan
depresi (Samiun 2006).

Faktor lain dari lingkungan yang berkenaan dari hadiah dan hukuman
adalah seseorang jika pindah ke tempat lain yang dapat mengakibatkan kehilangan
sumber-sumber hadiah dan perubahan dari tingkah laku yang mendapat hadiah
sehingga aktifitas yang sebelumnya dihadiahi menjadi tidak berguna. Standar
untuk hadiah dan hukuman yang meningkat menyebabkan performansi yang
diperlukan untuk mendapat hadiah lebih tinggi. Kehilangan hadiah yang
sebelumnya diterima dapat menyebabkan depresi apabila sumber alternatif untuk
mendapat hadiah tidak ditemukan.
3. Pendekatan Kognitif
Menurut Samiun (2006), seseorang yang mengalami depresikarena memiliki
kemapanan kognitif yang negatif (negative cognitive sets) untuk
menginterpretasikan diri sendiri, dunia dan masa depan mereka. Misalnya,
seseorang yang berhasil mendapatkan pekerjaan akan mengabaikan keberhasilan
tersebut dan menginterpretasikan sebagai suatu yang kebetulan dan tetap
memikirkan kegagalannya. Akibat dari persepsi yang negatif itu, individu akan
memiliki self-concept sebagai seorang yang gagal, menyalahkan diri, merasa masa
depannya suram dan penuh dengan kegagalan. Masalah utam pada lansia yang
depresi adalah kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) akibat persepsi diri
yang negatif .

Negative cognitive sets digunakan individu secara otomatis dan tidak


menyadari adanya distorsi pemikiran dan adanya interpretasi alternative yang
lebih positif, sehingga menyebabkan tingkat aktifitas berkurang karena merasa
tidak ada alasan berusaha. Individu menjadi tidak dapat mengontrol aspek-aspek
negative dari kehidupannya dan merasa tidak berdaya (helplessness). Perasaan
ketidakberdayaan ini yang menyebabkan depresi ( Samiun, 2006).

Interpretasi yang keliru (misinterpretation) kognitif yang sering adalah


melibatkan distorsi negative pengalaman hidup, penilaian diri yang negative,
pesimistis dan keputusasaan. Pandangan negative dan ketidakberdayaan yang
dipelajari (learned helplessness) tersebut selanjutnya menyebabkan perasaan
depresi. Pengalaman awal memberikan dasar pemikiran diri yang negative dan
ketidakberdayaan ini, sepertio pola asuh orang tua, kritik yang terus menerus
tanpa diimbangi dengan pujian, dan kegagalan-kegagalan yang sering dialami
individu (Samiun, 2006).

4. Pendekatan Humanistik – Eksitensial


Teori humanistic dan eksistensial berpendapat bahwa depresi terjadi karena
adanya ketidakcocokan antara reality self dan ideal self. Individu yang menyadari
jurang yang dalam antara reality self dan ideal self dan tidak dapat dijangkau,
sehingga menyerah dalam kesedihan dan tidak berusaha mencapai aktualisasi diri.
Menyerah merupakan factor yang penting terjadinya depresi. Individu merasa
tidak ada lagi pilihan dan berhenti hidup sebagai seeorang yang real. Pada lansia
yang gagal untuk bereksistensi diri menyadari bahwa mereka tidak mau berada
pada kondisinya sekarang yang mengalami perubahan dan kurang mampu
menyesuaikan diri, sehingga kehidupan fisik mereka segera berakhir. Kegagalan
bereksistensi ini merupakan suatu kematian simbolis sebagai seseorang yang real.

5. Pendekatan Fisiologis
Teori fisiologis menerangkan bahwa depresi terjadi karena aktivitas
neurologis yang rendah (neurotransmiter norepinefrin dan serotonin) pada sinaps-

sinaps otak yang berfungsi mengatur kesenangan. Neurotransmitter ini


memainkan peranan penting dalam fungsi hypothalamus, seperti mengontrol tidur,
selera makan, seks dan tingkah laku motor ( Samiun, 2006), sehingga seringkali
seseorang yang mengalami depresi disertai dengan keluhan-keluhan tersebut.

Pendekatan genetic terhadap kejadian depresi dengan penelitian saudara


kembar. Monozogotik Twins (MZ) berisiko mengalami depresi 4,5 kali lebih
besar (65%) daripada kembar bersaudara (Dizigotik Twins/DZ) yang 14%
(Samiun, 2006). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa secara genetic depresi
itu diturunkan.

Menurut Mangoenprasodjo (2004), depresi pada lansia merupakan perpaduan


interaksi yang unik dari berkurangnya interaksi social, kesepian, masalah social
ekonomi, perasaan rendah diri karena penurunan kemampuan rendah diri,
kemandirian, dan penurunan fungsi tubuh, serta kesedihan ditinggal orang yang
dicintai, factor kepribadian, genetic, dan factor biologis penurunan neuron-neuron
dan neurotransmitter di otak. Perpaduan ini sebagai factor terjadinya depresi pada
lansia. Kompleksitasnya perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia, sehingga
depresi pada lansia dianggap sebagai hal yang wajar terjadi.

Depresi Lanjut Usia Pasca Kuasa (POST POWER SYNDROME)


Depresi pada pasca kuasa adalah perasaan sedih yang mendalam yang dialami
seseorang setelah mengalami pension. Salah satu factor penyebab depresi pada
pasca kuasa adalah karena adanya perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan
atau kekuasaan ketika pension. Meskipun tujuan ideal pension adalah agar para
lansia dapat menikmati hati tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya
sering diartikan sebaliknya, karena pension sering dirasakan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri (Rini J,
2001). Menurut Kuntioro (2002), reaksi setelah orang memasuki masa pension
lebih tergantung dari model kepribadiannya. Untuk mensiasati agar masa pension
tidak merupakan beban mental lansia, jawabannya adalah sangat tergantung pada
sikap dan mental individu dalam masa pensiun, dalam kenyataannya ada yang
menerima ada yang takut kehilangan ada yang merasa senang memiliki jaminan
hari tua da nada juga yang seolah-olah acuh terhadap pension (pasrah). Masing-
masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu
baik positif maupun negative. Dampak positif lebih menentramkan driri lansia dan
dampak negative akan mengganggu kesejahteraan hidup.

Secara umum peristiwa kehidupan meliputi kehilangan harga diri, gangguan


interpersonal, peristiwa social yang tidak diinginkan dan gangguan pola
kehidupan yang besar. Kejadian yang tidak diinginkan juga sering menjadi factor
presipitasi depresi. Kejadian di masa lampau (perpisahan dan segala macam
kehilangan) lebih sering memperburuk gejal kejiwaan, perubahan kesehatan fisik,
gangguan penampilan peran social dan depresi.

Orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan,


wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang
yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless), artinya sesuatu yang
dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of
love object ini adalah terganggunya keseimbangan mental/emosional dengan
manifestasi berbagai keluhn fisik, kecemasan dan terlebih-lebih depresi. Keluhan-
keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan
kumpulan gejala yang disebut sindroma pasca kuasa (post power syndrome).
Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan
psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan atau kekuasaan.
Kehilangan jabatan atau kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu kuat
kini merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam
fikir (rasio) dan alam perasaan pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-
keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan (kekecewaan atau depresi) itu
sifatnya kedalam, tertutup dan tidak terbuka maka keluhan psikososial inilah yang
sering menampakan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku.

Keluhan-keluhan psikososial terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang


mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi
psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu,
orang menggunakan mekanisme defensive antara lain berupa makanisme proyeksi
dan rasionalisasi itulah maka terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap
kondisi psikososial sekelilingnya.Bahwa stress psikologis terutama pada jiwa,
seperti kecemasan, kekecewaan dan rasa bersalah yang menimbulkan mekanisme
penyesuaian psikologis. Mungkin pada sewaktu-waktu, hanya gejala badaniah
atau gejala psiokologik saja yang menonjol, tetapi kita harus mengingat bahwa
manusia itu senantiasa bereaksi secara holistic, yaitu bahwa seluruh manusia itu
terlibat dalam hal ini.

Karena manusia bereaksi secara holistic, maka depresi terdapat juga komponen
psikologik dan komponen somatic. Gejala-gejala psikologik ialah menjadi
pendiam, rasa sedih, pesimistis, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak
dapat mengambil keputusan lekas lupa timbul pikiran bunuh diri. Sedangkan
gejala badaniah ialah penderita kelihatan tidak senang, lelah tak bersemangat atau
apatis, bicara dan gerak-geriknya pelan dan kurang hidup, terdapat anoreksia
(kadang-kadang makan terlalu banyak sebagai pelarian), insomnia (sukar untuk
tertidur) dan konstipasi.

Faktor-faktor yang menyebabkan depresi pada lanjut usia yang tinggal di


Institusi
Terjadinya depresi pada lanjut usia yang tinggal dalam institusional seperti tinggal
di panti wreda (Endah dkk, 2003) :
a. Faktor Psikologis
Motivasi masuk panti wreda sangat penting bagi lanjut usia untuk
menentukan tujuan hidup dan apa yang ingin dicapainya dalam kehidupan di
panti. Tempat dan situasi yang baru, orang0orang yang belum dikenal, aturan
dan nilai-nilai yang berbeda, dan keterasingan merupakan stressor bagi lansia
yang membutuhkan penyesuaian diri. Adanya keinginan dan motivasi lansia
untuk tinggal dipanti akan membuatnya bersemangat meningkatkan toleransi
dan kemampuan adaptasi terhadap situasi baru.

Pada lanjut usia permasalah yang menarik adalah kekurangan kemampuan


dalam beradaptasi secara psikologis terhadap perubahan yang terjadi pada
dirinya. Penurunan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan stress
lingkungan sering menyebabkan depresi. Hubungan stress dan kejadian
depresi seringkali melibatkan dukungan social (social support) yang tersedia
dan digunakan lansia dalam menghadapi stressor. Ada bukti bahwa individu
yang memiliki teman akrab dan dukungan emosional yang cukup, kurang
mengalami depresi bila berhadapan dengan stress (Samiun, 2006).

Rasa kurang percaya diri atau tidak berdaya dan selalu menganggap bahwa
hidupnya telah gagal karena harus menghabiskan sisa hidupnya jauh dari
orang-orang yang dicintai mengakibatkan lansia memandang masa depan
suram dan selalu menyesali diri, sehingga mempengaruhi kemampuan lansia
dalam beradaptasi terhadap situasi baru tinggal di institusi.

b. Faktor Psikososial
Kunjungan keluarga yang kurang, berkurangnya interaksi social dan dukungan
social mengakibatkan penyesuaian diri yang negative pada lansia. Menurunnya
kepasitas hubungan keakraban dengan keluarga dan berkurangnnya interaksi
dengan keluarga yang dicintai dapat menimbulkan perasaan tidak berguana,
merasa disingkirkan, tidak dibutuhkan lagi dan kondisi ini dapat berperan dalam
terjadinya depresi. Tinggal di institusi membuat konflik bagi lansia antara
integritas, pemuasan hidup dan keputusasaan karena kehilangan dukungan social
yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk memelihara dan mempertahankan
kepuasan hidup dan self-esteemnya sehingga mudah terjadi depresi pada lansia.

Kemampuan adaptasi dan lamanya tinggal dipanti mempengaruhi terjadinya


depresi. Sulit bagi lansia meninggalkan tempat tinggal lamanya. Pada lansia yang
harus meninggalkan rumah tempat tinggal lamanya (relokasi) oleh karena masalah
kesehatan atau social ekonomi merupakan pengalaman yang traumatic karena
berpisah dengan kenangan lama dan pertalian persahabatan yang telah
memberikan perasaan aman dan stabilitas sehingga sering mengakibatkan lansia
merasa kesepian dan kesendirian bahkan kemeorosotan kesehatan dan depresi.

Pekerjaan di waktu muda dulu yang berkaitan dengan peran social dan
pekerjaannya yang hilang setelah memasuki masa lanjut usia dan tinggal di
institusi mengakibatkan hilangnya gairah hidup, kepuasaan dan penghargaan diri.
Lansia yang dulunya aktif bekerja dan memiliki peran penting dalam
pekerjaannya kemudian berhenti bekerja mengalami penyesuaian diri dengan
peran barunya sehingga seringkali menjadi tidak percaya dan rendah diri (Rini,
2001).

c. Faktor Budaya
Perubahan social ekonomi dan nilai social masyarakat, mengakibatkan
kecenderungan lansia tersisihkan dan terbengkalai tidak mendapatkan perawatan
dan banyak yang memilih untuk menaruhnya di panti lansia (Darmojo & Martono,
2004). Pergeseran system keluarga (family system) dari extendend family ke
nuclear family akibat industrialisasi dan urbanisasi mengakibatkan lansia
terpinggirkan. Budaya industrialisasi dengan sifat mandiri dan individualis
menggangap lansia sebagai “trouble maker” dan menjadi beban sehingga langkah
penyelesainnya dengan menitipkan di panti. Akibatnya bagi lansia memperburuk
psikologisnya dan mempengaruhi kesehatannya.
Skala Pengukuran Depresi Pada Lanjut Usia

Depresi dapat mempengaruhi perilaku dan aktivitas seseorang terhadap


lingkungannya. Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai
dengan gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi, harus dilakukan
pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat dipercayai serta
valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia. Salah satu yang paling
mudah digunakan untuk diinterprestasikan di berbagai tempat, baik oleh peneliti
maupun praktisi klinis adalah Geriatric Depression Scale (GDS). Alat ini
diperkenalkan oleh Yesavage pada tahun 1983 dengan indikasi utama pada lanjut
usia, dan memiliki keunggulan mudah digunakan dan tidak memerlukan
keterampilan khusus dari pengguna. Instrument GDS ini memiliki sensitivitas 84
% dan specificity 95 %. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85.
Alat ini terdiri dari 30 poin pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada
lansia. GDS menggunakan format laporan sederhana yang diisi sendiri dengan
menjawab “ya” atau “tidak” setiap pertanyaan, yang memrlukan waktu sekitar 5-
10 menit untuk menyelesaikannya. GDS merupakan alat psikomotorik dan tidak
mencakup hal-hal somatic yang tidak berhubungan dengan pengukuran mood
lainnya.

Skor 0-10 menunjukkan tidak ada depresi, nilai 11-20 menunjukkan depresi
ringan dan skor 21-30 termasuk depresi sedang/berat yang membutuhkan rujukan
guna mendapatkan evaluasi psikiatrik terhadap depresi secara lebih rinci, karena
GDS hanya merupakan alat penapisan.

Anda mungkin juga menyukai