Anda di halaman 1dari 140

PEDOMAN INSTALASI FARMASI

RSUD H. HANAFIE MUARA BUNGO

DISUSUN OLEH

KELOMPOK MANAJEMEN PENGGUNAAN OBAT

2016

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan
pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),
penyembuhanpenyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Konsep kesatuan upaya kesehatan ini menjadi
pedoman dan pegangan bagi semua fasilitas kesehatan di Indonesia termasuk rumah sakit. Rumah
sakit yang merupakan salah satu dari sarana kesehatan,merupakan rujukan pelayanan kesehatan dengan fungsi
utama menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat penyembuhan dan pemulihan bagi pasien.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan
kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit,yang menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah
suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan seluruh kegiatan
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit dan merupakan suatu unit di bawah pimpinan seorang
farmasis dan memenuhi persyaratan secara hukum untuk mengadakan, menyediakan, dan
mengelola seluruh aspek penyediaan perbekalan kesehatan di rumah sakit yang berintikan
pelayanan produk yang lengkap dan pelayanan farmasi klinik yang sifat pelayanannya berorientasi
kepada kepentingan penderita. Kegiatan pada instalasi ini terdiri dari pelayanan farmasi minimal
yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan perbekalan farmasi, dispensing obat
berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan, pengendalian mutu, pengendalian
distribusi pelayanan umum dan spesialis, pelayanan langsung pada pasien serta pelayanan klinis
yang merupakan program rumah sakit secara keseluruhan.
Tuntutan pasien dan masyarakat akan mutu pelayanan farmasi,mengharuskan adanya perubahan
pelayanan dari paradigma lama (drug oriented) ke paradigma baru (patient oriented) dengan filosofi
Pharmaceutical Care (pelayanan kefarmasian). Praktek pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu
dengan tujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan.

B. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup farmasi terbagi menjadi dua, yaitu :


1) Farmasi klinik yaitu ruang lingkup farmasi yang dilakukan dalam kegiatan Pelayanan Kefarmasian
dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan, meliputi:
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;

4
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling;
f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
2) Farmasi non-klinik mencakup kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai , meliputi:
a. pemilihan;

b. perencanaan kebutuhan;

c. pengadaan;

d. penerimaan;

e. penyimpanan;

f. pendistribusian;

g. pemusnahan dan penarikan;

h. pengendalian; dan
i. administrasi

C. LANDASAN HUKUM

Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan
kesehatan yang bermutu. Peraturan perundangan mengenai bahan pelayanan farmasi diantaranya :

 UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


 UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
 UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
 PP no 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasiaan
 Peraturan Menteri Kesehatan 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit

Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk
pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

5
BAB II
PENGGORGANISASIAN INSTALASI FARMASI

A. STRUKTUR ORGANISASI

Pelayanan diselenggarakan dan diatur demi berlangsungnya pelayanan farmasi yang


efisien dan bermutu, berdasarkan fasilitas yang tersedia dan standar pelayanan keprofesian
universal. Untuk menggambarkan garis tanggung jawab struktural maupun fungsional dan
koordinasi didalam dan diluar pelayanan farmasi tercermin dalam bagan organisasi Rumah Sakit
dan bagan organisasi Instalasi farmasi.

STRUKTUR ORGANISASI INSTALASI FARMASI


RSUD H. HANAFIE MUARA BUNGO

Kepala Instalasi Farmasi

Kepala ruangan Administrasi

Pengelolaan Perbekalan Farmasi Klinis Pelayanan Kefarmasian

Rawat jalan Rawat Inap

B. URAIAN TUGAS

Farmasi Rumah Sakit H. Hanafie Muara bungo di dalam melaksanakan pelayanan


farmasi dipimpin oleh Kepala Instalasi dibantu oleh tenaga Apoteker, Ahli Madya Farmasi dan
Tenaga Menengah Farmasi (Asisten Apoteker).
Uraian tugas job description bagi personalia instalasi farmasi:
1. Kepala Instalasi Farmasi
a. Bertanggung jawab atas hasil kerja satu orang atau lebih dari suatu organisasi
b. Penentu kebijakan
c. Motivator farmasis guna mendapatkan hasil kinerja yang baik
d. Memonitor perkembangan farmasis
e. Membuat plan kerja untuk mengembangkan farmasi di Rumah Sakit untuk menjamin
kualitas pelayanan yang baik

2. Bagian pengelola perbekalan/ gudang farmasi


 Perencanaan dan Pengadaan
a. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal

6
b. Menyiapkan perencanaan kebutuhan rutin perbekalan
c. Mengadakan perbekalan farmasi
d. Menerima perbekalam farmasi sesuai spesifikasi yang berlaku
e. Menyimpan perbekalan farmasi
f. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan
 Penerimaan dan Penyimpanan
a. Melaksanakan penerimaan perbekalan farmasi yang diadakan di RS
b. Melaksanakan penyimpanan perbekalan farmasi yang dimiliki RS
c. Melaksanakan pengiriman perbekalan farmasi dari gudang ke unit-unit distribusi
d. Penerimaan pengeluaran dari persediaan perbekalan farmasi yang ada di gudang
perbekalan
3. Bagian farmasi klinis
a. Melaksanakan pelayanan farmasi klinik
b. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan
c. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan
d. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan
e. Memberikan informasi obat kepada dokter, perawat, apoteker, maupun pasien/keluarga.
4. Bagian depo Rawat jalan
a. Melakukan receiving, skrining, labeling, dispensing, dan konseling kepada pasien
b. Melakukan konseling dan informasi obat ke pasien rawat jalan
c. Melakukan amprah (pemesanan ke gudang farmasi ) untuk stok di depo rawat jalan
d. Melakukan pemantauan karyawan di IFRS rawat jalan dan pendelegasian tugas
e. Menerima arahan dan melaporkan kepada kepala IFRS segala pelaksanaan tugas
f. Melakukan stok opname secara berkala didepo rawat jalan
5. Bagian Rawat Inap
a. Melakukan receiving, skrining, labeling, dispensing, dan konseling kepada pasien
b. Melakukan konseling dan informasi obat ke pasien rawat inap
b. Melakukan amprah ( pemesanan ke gudang farmasi) untuk stok obat di IFRS rawat inap
c. Melakukan pemantauan karyawan di IFRS rawat inap dan pendelegasian tugas
d. Melaporkan kepada Kepala IFRS segala pelaksanaan tugasan

C. STANDAR KETENAGAAN

 Peranan Apoteker di Instalasi Farmasi


Instalasi Farmasi mempunyai fungsi utama dalam pelayanan/jasa obat atas dasar resep
dan pelayanan obat tanpa resep, beroreantasi pada pelanggan/pasien apakah obat yang di
berikan dapat menyembuhkan penyakit serta efek samping. Tanggung jawab dan tugas
apoteker di Instalasi Farmasi ialah bertanggung jawab atas obat resep, dan mampu menjelaskan
tetang obat pada pelanggan/pasien. Dengan demikian bisa di ambil kesimpulan bahwa peranan

7
penting dalam Instalasi Farmasi adalah seorang Apoteker. Apoteker adalah administrator
rumah sakit di segala persoalan tetang penggunaan obat. Kriteria Pelayanan farmasi antara lain:
a. Instalasi farmasi rumah sakit dipimpin oleh seorang Apoteker.
b. Pelayanan kefarmasian diselenggarakan dan dikelola oleh apoteker yang mempunyai
pengalaman minimal 2 tahun di bagian rumah sakit.
c. Apoteker telah terdaftar di Kemenkes dan mempunyai surat ijin praktek apoteker (SIPA).
d. Pada pelaksanaannya, apoteker dibantu oleh tenaga ahli madya farmasi dan tenaga
menengah farmasi.
e. Kepala instalasi farmasi rumah sakit bertanggung jawab terhadap segala aspek hukum dan
peraturan-peraturan baik terhadap pengawasan distribusi maupun administrasi barang.
f. Setiap saat harus ada Apoteker di tempat pelayanan untuk melangsungkan dan mengawasi
pelayanan kefarmasian dan harus ada pendelegasian wewenang yang bertanggung-jawab
jika kepala farmasi berhalangan hadir.
g. Adanya staf farmasi yang jumlah dan kualifikasinya disesuaikan dengan kebutuhan.
h. Penilaian terhadap staf harus dilakukan berdasarkan tugas yang terkait dengan pekerjaan
fungsional yang diberikan dan juga pada penampilan kerja yang dihasilkan dalam
meningkatkan mutu pelayanan.

 Sumber Daya Manusia Farmasi Rumah Sakit


Personalia Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah sumber daya manusia yang
melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit yang termasuk dalam bagan organisasi rumah
sakit dengan persyaratan :
• Terdaftar di kementrian Kesehatan
• Terdaftar di Asosiasi Profesi
• Mempunyai izin praktek
• Mempunyai SK penempatan
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 yang dimaksud dengan :
1. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker. mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.
Persyaratan Apoteker di rumah sakit adalah
· Ijazahnya telah terdaftar pada Kementrian Kesehatan
· Telah mengucapkan Sumpah / Janji sebagai Apoteker.
· Memiliki Surat Izin Praktek Apoteker
· Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya
sebagai Apoteker.
· Tidak bekerja disuatu Perusahaan Farmasi dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek
(APA) di Apotek lain.

8
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit, Apoteker dibantu oleh Asisten
Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK). Keputusan Menteri Kesehatan No.
679/MENKES/SK/V/2003, tentang Peraturan Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker, yaitu :
a. Surat Izin Asisten Apoteker adalah bukti tertulis atas kewenangan yang diberikan kepada
pemegang Ijazah Sekolah Asisten Apoteker atau Sekolah Menengah Farmasi, Akademi
Farmasi dan Jurusan Farmasi, Politeknik Kesehatan, Akademi Analis Farmasi dan
Makanan, Jurusan Analis Farmasi serta Makanan Politeknik Kesehatan untuk
menjalankan Pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker.
b. Surat Izin Kerja Asisten Apoteker adalah bukti tertulis yang diberikan kepada pemegang
Surat Izin Asisten Apoteker untuk melakukan pekerjaan Kefarmasian disarana
kefarmasian.

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga farmasi profesional


yang berwewenang berdasarkan undang-undang, memenuhi persyaratan baik dari segi aspek
hukum, strata pendidikan, kualitas maupun kuantitas dengan jaminan kepastian adanya
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap keprofesian terus menerus dalam rangka
menjaga mutu profesi dan kepuasan pelanggan. Kualitas dan rasio kuantitas harus disesuaikan
dengan beban kerja dan keluasan cakupan pelayanan serta perkembangan dan visi rumah sakit.

 Distribusi Ketenagaan
Instalasi Farmasi RSUD H. Hanafie Muara bungo di dalam melaksanakan pelayanan
farmasi dibagi menjadi 3 (tiga) shift pelayanan dalam waktu 24 jam. Distribusi tenaga farmasi
ditempatkan pada 3 ( tiga ) depo pelayanan yaitu depo sentral, depo rawat jalan dan depo
rawat inap serta pelayanan gudang farmasi. Masing-masing depo pelayanan dan gudang
farmasi di pimpin oleh Apoteker.
 Jenis Pelayanan
 Pelayanan IGD (Instalasi Gawat Darurat)
 Pelayanan rawat inap
 Pelayanan rawat jalan
 pelayanan gudang farmasi
 Analisa Kebutuhan Tenaga di IFRS
Analisa kebutuhan tenaga disusun bersama-sama oleh panitia penyusun Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja RS. Jumlah tenaga yang dibutuhkan tergantung pada jenis
pelayanan, komposisi shift jaga dan jumlah pasien yang dilayani. Jumlah ketenagaan Instalasi
Farmasi disusun setahun sekali berdasarkan data tahun berjalan dan perkiraan perkembangan
tahun yang dianggarkan.
 Evaluasi Kinerja Tenaga IFRS

9
Evaluasi kinerja tenaga IFRS RSUD H. Hanafie Muara bungo mengacu pada evaluasi
kinerja karyawan RS sesuai dengan uraian tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi penilaian
terhadap :
 Kualitas Kerja
 Kuantitas Kerja
 Disiplin Kerja
 Kecakapan
 Tanggung Jawab
 Loyalitas
 Inisiatif
 Kejujuran
 Motivasi
 Kerjasama
 Komunikasi
 Absensi
Evaluasi kinerja tersebut dilakukan setiap akhir tahun dan bersifat terbuka dan
diharapkan dapat memberikan umpan balik terhadap kinerja yang bersangkutan.

10
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. BANGUNAN DAN PERLENGKAPAN

Bangunan Instalasi Farmasi RSUD H. Hanafie Muara bungo seluruhnya memiliki Bangunan
terdiri dari :
1. Ruang Pelayanan dan Peracikan
Berlantai keramik kedap air, dinding tembok, plafon triplek. Perlengkapan dalam ruang
pelayanan dan peracikan :
 Rak Obat
 Lemari Pendingin
 Lemari Penyimpanan Obat
 Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan psikotropik
 Lemari Administrasi dan Buku Informasi
 Meja Kerja
 Mortir dan Stamper Berbagai Ukuran
 Bak Cuci
 Alat Tulis Kantor
 Komputer yang terhubung internet dan server jaringan lokal
 Telpon
 Lantai dilengkapi dengan palet

B. GUDANG PERBEKALAN FARMASI

Berlantai keramik kedap air, dinding tembok, plafon triplek. Perlengkapan dalam gudang
perbekalan farmasi :
 Rak obat
 Lemari pendingin
 Lemari Penyimpanan Obat
 Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan psikotropik
 Meja kerja
 Komputer yang terhubung internet
 Telpon
 Alat tulis kantor
 Lantai dilengkapi dengan palet

C. PELAYANAN FARMASI KLINIS

11
Berlantai keramik kedap air, dinding tembok, plafon triplek. Perlengkapan dalam Pelayanan Farmasi
Klinis (belum berupa ruangan tersendiri):
 Meja kerja
 Alat tulis kantor
 Komputer yang terhubung internet
 Buku-buku / literatur elektronik terkait kefarmasian yang terbaru
 Software penunjang pelayanan farmasi klinis

D. RUANG KONSULTASI

 Sebaiknya ada ruang khusus untuk apoteker dalam memberikan konsultasi pada pasien dalam
rangka meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan pasien
 Ruang konsultasi untuk pelayanan rawat jalan
 Ruang konsultasi untuk pelayanan rawat inap
Peralatan Konsultasi
 Buku kepustakaan, bahan-bahan leaflet, jurnal, brosur dan lain-lain
 Meja, kursi untuk apoteker
 Komputer yang terhubung internet
 Telpon
 Lemari arsip
 Kartu arsip

E. RUANG PENYIMPANAN OBAT RADIOAKTIF/SITOTOKSIK*

 Peralatan untuk penyimpanan obat


 penanganan dan pembuangan limbah sitotoksik dan obat berbahaya harus dibuat secara
khusus untuk menjamin keamanan petugas, pasien dan pengunjung

F. RUANG ARSIP

Harus ada ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara dan menyimpan
dokumen dalam rangka menjamin agar penyimpanan sesuai hukum, aturan, persyaratan, dan
tehnik manajemen yang baik. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan resep dengan masa
penyimpanan minimum 3 tahun.
Peralatan Ruang Arsip
 Kartu Arsip
 Lemari Arsip

G. KELENGKAPAN BANGUNAN

 Sumber Air Bersih PDAM


 Penerangan dari PLN

12
 Pendingin Ruangan
 ventilasi
 Lantai dilengkapi dengan palet

H. PERLENGKAPAN ADMINISTRASI

 Blangko Copy Resep


 Blangko Kartu Stok
 Blangko amprah
 Blangko Surat Pesanan Narkotika dan Psikotropik
 Blangko Surat Pesanan Narkotika dan Psikotropik
 Kemasan obat berupa plastik, pot obat, botol, kertas perkamen, kapsul kosong berbagai
ukuran
 Etiket obat putih dan biru berbagai ukuran

I. SARANA INFORMASI

 Buku Farmakope Indonesia Edisi Terbaru


 IIMS dan ISO edisi terbaru
 Formularium RS edisi terbaru
 AHFS Drug Informastion edisi terbaru
 Jurnal dan buku referensi terbaru
 Log book/e book terbaru
 Koneksi Internet

13
BAB IV
PELAYANAN INSTALASI FARMASI

A. TUJUAN

Tujuan Pelayanan Farmasi :


1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa maupun dalam
keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun fasilitas yang tersedia.
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur kefarmasian dan
etika profesi
3. Melaksanakan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) mengenai obat
4. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi

B. VISI DAN MISI INSTALASI FARMASI

VISI : “Pelayanan Kefarmasian Paripurna”


MISI :
1. Mengelola perbekalan farmasi yang bermutu, tepat guna sesuai Formularium Rumah Sakit dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat
2. Memberikan pelayanan farmasi profesional kepada masyarakat
3. Memberikan informasi dan edukasi guna tercapainya penggunaan obat yang rasional
4. Meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia farmasi yang berkualitas

C. TUGAS POKOK DAN FUNGSI

1. TUGAS POKOK
 Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
 Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etika profesi
 Melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi
 Memberikan pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk meningkatkan mutu
pelayanan farmasi
 Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
 Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium Rumah
Sakit

2. FUNGSI
 Pengelolaan Perbekalan Farmasi
1. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit yang merupakan
proses kegiatan sejak meninjau masalah kesehatan yang terjadi di rumah sakit,
identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan

14
memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memparbaharui
standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi
dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi
pembelian.
2. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal yang merupakan proses
kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi yang sesuai
dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
3. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat
sesuai ketentuan yang berlaku
4. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di
rumah sakit yang merupakan kegiatan membuat, mengubah bentuk untuk memenuhi
kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
5. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku
6. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.
7. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.
 Pelayanan Kefarmasian Dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan
1. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien yang meliputi kajian persyaratan
administrasi, persyaratan farmasi, dan persyaratan klinis.
2. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat kesehatan.
3. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat kesehatan.
4. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan.
5. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien atau keluarga pasien.
6. Memberi konseling kepada pasien atau keluarga pasien.
7. Melakukan penyiapan nutrisi parenteral (belum dilakukan)
8. Melakukan evaluasi penggunaan obat (EPO)
9. Melakukan pencatatan setiap kegiatan
10. Melaporkan setiap kegiatan

D. SISTEM PELAYANAN FARMASI

Sistem Pelayanan Farmasi di RSUD H. Hanafie adalah sistem pelayanan satu pintu artinya
seluruh perbekalan farmasi yang digunakan di seluruh bagian Rumah Sakit (Poli, Instalasi dan
Ruangan) berasal dari Instalasi farmasi Rumah Sakit. Waktu Pelayanan rawat inap dan IGD terdiri
dari 3 (tiga) shift dalam waktu 24 jam.

15
E. CAKUPAN PELAYANAN

Instalasi Farmasi RSUD H. Hanafie memberikan pelayanan kepada :


1. Pasien Rawat Jalan Umum, Perusahaan dan BPJS ( Badan Penyelenggara Jaminan Sosial )
2. Pasien Gawat Darurat Umum dan pasien Rawat Inap Umum
3. Pasien Rawat Inap BPJS, Perusahaan dan umum

16
BAB V
PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI

Pengelolaan Perbekalan Farmasi merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan,
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan,
administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan.
Tujuan
 Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efesien
 Menerapkan farmako ekonomi dalam pelayanan
 Meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi
 Mewujudkan Sistem Informasi Manajemen berdaya guna dan tepat guna
 Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan

1. Pemilihan dan pengadaan obat-obatan


Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang terjadi di
rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan
dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui
standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dalam Panitia Farmasi
dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi Pembelian.
 Evaluasi yang dilakukan pada tahap ini dengan menggunakan indikator seleksi obat yaitu
kesesuaian item obat yang tersedia di rumah sakit dengan Formularium Nasional (FORNAS).

2. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan
farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggung jawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain Konsumsi, Epidemiologi, Kombinasi metode
konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

Pedoman Perencanaan
• FORNAS, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit (jika ada), Ketentuan
setempat yang berlaku.
• Data catatan medik
• Anggaran yang tersedia
• Penetapan prioritas
• Siklus penyakit
• Sisa persediaan
• Data pemakaian periode yang lalu

17
• Rencana pengembangan
Cara menentukan kriteria obat yang dapat dimasukkan dalam formularium ( tahap awal yaitu
dengan seleksi obat, hasil seleksi dibuat formularium) :

 Beberapa evaluasi yang digunakan dalam perencanaan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Persentase Dana
 → persentase dana yang tersedia pada IFRS dibanding kebutuhan dana yang
sesungguhnya.
 Nilai standar persentase dana yang tersedia adalah 100%.
2. Penyimpangan perencanaan
 → jumlah item obat dalam perencanaan dan jumlah item obat dalam kenyataan pakai.
 Nilai standar batas penyimpangan perencanaan adalah 20-30%

3. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan
disetujui, melalui :
a. Pembelian :
 Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan)
 Sumbangan/droping/hibah/program
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam pengadaan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):
1. Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya
 digolongkan menjadi 3 kategori: rendah (<12), sedang (12-24), tinggi (>24)
 Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi → kemampuan IFRS dalam
merespon perubahan kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat dalam jumlah
sesuai dengan kebutuhan saat itu.
 Pengadaan obat yang berulang menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS merupakan
obat dengan perputaran cepat (fast moving).
 Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving → kerugian bagi rumah sakit.
2. Frekuensi kesalahan faktur
 Kriteria kesalahan faktur: adanya ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat dalam suatu
item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat pesanan yang bersesuaian
 Penyebab:
a. Tidak ada stok, atau barang habis di PBF
b. Stok barang yang tidak sesuai
c. Reorder atau frekuensi pemesanan terlalu banyak
3. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang disepakati
 Tingginya frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurang baiknya manajemen
keuangan pihak rumah sakit.

18
 Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pihak pemasok kepada rumah sakit sehingga
potensial menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di kemudian hari.
Pemasok Obat Untuk Instalasi Farmasi
Pemasok adalah suatu organisasi/ lembaga yang menyediakan atau memasok produk
atau pelayanan kepada konsumen. Pemasok obat untuk rumah sakit pada umumnya adalah
Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi. Untuk memperoleh obat atau sediaan obat yang
bermutu baik, perlu dilakukan pemilihan pemasok obat yang baik dan produk obat yang
memenuhi semua persyaratan dan spesifikasi mutu. Jadi, salah satu komponen dari Praktek
Pengadaaan Obat Yang Baik (PPOB) ialah pemilihan pemasok yang memenuhi persyaratan
(Siregar, 2004:289).

Kriteria Umum Pemilihan Pemasok


IFRS harus menetapkan kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk rumah sakit.
Kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk rumah sakit adalah, tetapi tidak terbatas
pada hal berikut:
1. Telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan
(telah terdaftar kriteria lengkap dengan lampiran tercantum dalam profil perusahaan).
2. Telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO 9000.
3. Mempunyai reputasi yang baik, artinya tidak pernah:
a. Melakukan hal-hal yang melanggar hukum yang berlaku
b. Menghasilkan/menjual produk obat yang tidak memenuhi syarat
c. Mempunyai sediaan obat yang ditarik dari peredaran karena mutu yang buruk
4. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajiban sebagi pemasok produk obat yang selalu
tersedia dan dengan mutu yang tertinggi, dengan harga yang terendah

Identifikasi Pemasok Sediaan Farmasi Yang Mungkin Untuk Rumah Sakit


IFRS harus melakukan proses untuk mengidentifikasi pemasok sediaan farmasi yang
mungkin. Proses itu mencakup, tetapi tidak terbatas hanya pada kombinasi dari berbagai
komponen berikut:
1. Mengevaluasi sistem mutu yang diterapkan pemasok, berdasarkan evaluasi dokumen dan
evaluasi di lapangan. Pemasok harus mengizinkan apoteker rumah sakit untuk
menginspeksi sistem mutu manufaktur dan pengendalian mutu
2. Menganalisis informasi tentang unjuk kerja pemasok, dan harus dikembangkan ketetapan
serta kriteria operasional dan ditetapkan untuk mengakses kehandalan pemasok dan
menghindari subjektivitas. Kurangnya ketetapan serta kriteria untuk menetapkan pemasok
yang ditolak menimbulakan keraguan pada kejujuran proses pengadaan.

19
3. Untuk pemasok yang baru, adalah penting menginspeksi secara visual sampel sediaan obat,
kemasan dan penandaan.
4. Menguji mutu sediaan obat di laboratorium IFRS (jika ada), mengkaji hasil uji laboratorium
pihak ketiga yang telah diakreditasi, atau hasil uji laboratorium pemasok yang telah
diakreditasi
5. Mengkaji pengalaman terhadap sediaan pemasok yang dipublikasikan oleh pengguna lain
atau informasi dari berbagai rumah sakit lain.
6. Mengevaluasi riwayat mutu, sediaan farmasi yang lampau yang disuplai oleh pemasok
7. Mengkaji mutu produk, harga, unjuk kerja penghataran, dan tanggapan pemasok jika ada
masalah
8. Mengaudit sistem manajemen mutu pemasok dan mengevaluasi kemampuan yang mungkin
untuk mengadakan sediaan obat yang diperlukan secara efisien dan dalam jadwal
9. Mengkaji acuan tentang kepuasan konsumen (dokter dan penderita)
10. Mengevaluasi pengalaman yang relevan dengan pemasok
11. Mengases finansial guna memastikan kelangsungan hidup pemasok dalam seluruh periode
suplai yang diharapkan
12. Kemampuan layanan dan dukungan
13. Kemampuan logistik termasuk lokasi dan sumber (Siregar, 2004:289).

Hal Yang Perlu Disepakati Antara IFRS dan Pemasok


 Kesepakatan Tentang Jaminan Mutu Pasokan
IFRS harus mengadakan suatu kesepakatan yang jelas dengan pemasok mengenai
jaminan mutu terhadap produk yang dipasok. Satu atau lebih dari metode di bawah ini dapat
digunakan dalam kesepakatan jaminan mutu terhadap produk yang dipasok:
1. Mengandalkan sistem mutu pemasok dengan mengadakan audit dokumen mutu dan di
lapangan
2. Penyertaan data inspeksi/pengujian yang ditetapkan dan rekaman pengendalian proses dari
pemasok
3. Penerapan standar sistem mutu formal sesuai kontrak yang disetujui IFRS dan pemasok
4. Evaluasi secara berkala terhadap praktek pengendalian mutu pemasok oleh IFRS atau oleh
pihak ketiga
5. Inspeksi/pengujian penerimaan lot dengan pengambilan contoh oleh pemasok
6. Inspeksi penerimaan dan penyortiran oleh IFRS

 Kesepakatan Mengenai Metode Verifikasi


Kesepakatan yang jelas harus diadakan oleh IFRS bersama pemasok mengenai
metode yang digunakan untuk memverifikasi kesesuaian terhadap persyaratan yang

20
ditetapkan. Kesepakatan tersebut, dapat mencakup pertukaran data inspeksi dan/atau
pengujian, dengan tujuan peningkatan mutu selanjutnya. Adanya kesepakatan tersebut
dapat memperkecil kesulitan dalam penafsirkan persyaratan, metode inspeksi, pengujian,
atau pengambilan contoh

 Kesepakatan Untuk Penyelesaian Perselisihan


Sistem dan prosedur harus ditetapkan IFRS bersama pemasok untuk penyelesaian
perselisihan yang berkaitan dengan mutu yang terjadi dikemudian hari
Kewajiban Pemasok
Pemasok harus dapat memenuhi persyaratan dan/atau ketentuan tersebut di bawah ini:
Ketentuan Teknis
Ketentuan teknis mencakup:
1. Atas permintaan apoteker, pemasok harus memberikan:
a. Data pengendalian analitik
b. Data pengujian sterilitas
c. Data kesetaraan hayati
d. Uraian prosedur pengujian bahan mentah da sediaan jadi
e. Informasi lain yang dapat menunjukkan mutu sediaan obat jadi tertentu. Data pengujian
dari laboratorium independen yang telah diakreditasi harus diberikan tanpa dibayar
2. Semua obat dan/atau sediaannya harus memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi
V atau persyaratan lain yang ditetapkan oleh PFT dan IFRS.
3. Sedapat mungkin, semua sediaan obat tersedia dalam kemasan unit tunggal atau dosis unit
atau kemasan selama terapi.
4. Nama dan alamat manufaktur dari bentuk sediaan akhir dan pengemas atau distributor
harus tertera pada etiket sediaan.
5. Tanggal kedaluwarsa harus secara jelas tertera pada etiket kemasan.
6. Informasi terapi, biofarmasi, dan toksikologi harus tersedia untuk apoteker atas
permintaan.
7. Materi edukasi untuk penderita dan staf, yang penting untuk penggunaan yang tepat dari
sediaan obat harus tersedia secara rutin.
8. Atas permintaan, pemasok harus memberikan bukti dari setiap pernyataan berkaitan
dengan kemanjuran, keamanan dan keunggulan produknya.
9. Atas permintaan, pemasok harus memberikan tanpa biaya, suatu kuantitas yang wajar dari
produknya yang memungkinkan apoteker untuk mengevaluasi sifat fisik, termasuk keelokan
farmasetik (penampilan dan ketidakadaan kerusakan atau cacat fisik) kemasan dan
penandaan.
Kebijakan Distribusi
1. Apabila memungkinkan, penghantaran tiap jenis sediaan obat harus berasal dari suatu nomor
lot/bets tunggal.

21
2. Kecuali ditetapkan atau dipersyaratkan lain oleh pertimbangan stabilitas, tidak kurang dari
suatu jarak waktu 12 bulan harus tersedia, antara waktu penghantaran sediaan dan tanggal
kadaluwarsanya.
3. Pemasok harus menerima, tanpa pengesahan sebelumnya, kemasan sediaan obat yang
belum dibuka yang dikembalikan yang belum lewat tanggal kedaluwarsa. Pengembalian
uang penuh seharga pembelian harus kontan atau dimasukkan ke dalam rekening rumah
sakit.
4. Pemasok harus mengirimkan semua pesanan sediaan obat tepat waktu, ongkos kirim
prabayar oleh pemasok, dan menyertakan daftar kemasan pada setiap pengiriman. Semua
sediaan obat “yang habis persediaan” harus dicatat, dan ketersediaan yang diantisipasi dari
sediaan itu harus secara jelas dinyatakan

Kebijakan Pemasaran dan Penjualan


1. Pemasok, tidak diperkenankan menggunakan nama apoteker atau nama IFRS dalam iklan
atau materi promosi.
2. Pemasok harus menghormati keputusan sistem formularium yang dibuat oleh PFT, dan
pemasok harus memenuhi peraturan rumah sakit.
3. Pemasok tidak diperkenankan memberikan uang, alat atau barang kepada IFRS atau stafnya
sebagai bujukan untuk membeli produk pemasok.
4. Dalam mengambil bagian dalam suatu kontrak untuk memasok sediaan obat, pemasok harus
menjamin menyediakan pada harga yang ditetapkan setiap sejumlah minimum sediaan
obat yang ditetapkan. Jika pemasok tidak mampu memenuhi janji pasokan itu, pemasok
harus mengganti pengeluaran rumah sakit untuk pembayaran biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh sediaan obat itu dari sumber lain. Jika selama kontrak berlaku, terjadi
pengurangan harga maka berlaku harga yang lebih rendah

Hubungan IFRS Dengan Pemasok


IFRS dan pemasok industri farmasi harus saling bekerja sama dalam peningkatan mutu
produksi industri farmasi dan mutu pelayanan IFRS. Untuk meningkatkan hubungan kerja sama
antara IFRS dan industri farmasi, komunikasi harus pula ditingkatkan di antara keduanya
IFRS dan industri farmasi harus menetapkan sistem manajemen mutu menyeluruh
(SM3) agar kedua lembaga ini selalu dapat memuaskan konsumen .
Dalam pengadaan sediaan obat untuk rumah sakit, IFRS harus menerapkan manajemen
proses mutu metode modern menggantikan manajemen produk metode tradisional. Migrasi
peningkatan mutu dari manajemen produk ke manajemen proses mutu meratakan jalan untuk
memeperluas teknik peningkatan mutu di luar manufaktur. Metode tradisional difokuskan
produk atau keluaran yang memerlukan inspeksi/pengujian bahan baku maupun sediaan akhir
yang lebih ketat untuk peningkatan mutu. Dengan pendekatan ini, mutu yang lebih baik dapat
dicapai dengan pengeluaran dan pemborosan yang meningkat dan harga yang lebih tinggi. Hal

22
ini berlawanan dengan metode modern, yang peningkatan mutu terpusat pada proses, dengan
pendekatan demikian, mutu yang lebih baik dapat dicapai tanpa memerlukan peningkatan
biaya.

Salah satu strategi untuk meningkatkan komunikasi antara IFRS dan industri farmasi
ialah mengadakan program orientasi formal untuk Perwakilan Perusahaan Farmasi (PPF).
Program orientasi dapat digunakan untuk mendiskusikan standar di rumah sakit bagi PPF, selain
itu dapat digunakan untuk memberikan informasi yang lebih luas kepada PPF sehinggga ia
memahami berbagai sistem rumah sakit. Suatu pengertian yang akurat tentang sistem
pembelian, sistem penghantaran obat, dan sistem formularium akan membantu PPF dalam
melaksanakan pelayanan yang perlu untuk rumah sakit
Komunikasi antara industri farmasi dengan apoteker rumah sakit harus terbuka dan
berkelanjutan. Apoteker rumah sakit harus mengkomunikasikan kebutuhan rumah sakit kepada
industri, dan industri harus berusaha memenuhi kebutuhan itu. Informasi ilmiah berkaitan
dengan sifat fisik (stabilitas, kompatibilitas, pH) dan sifat klinik (farmakokinetik) harus
dikomunikasikan kepada apoteker rumah sakit. Hal sama, industri farmasi harus secara efisien
mengkomunikasikan kebutuhannya kepada apoteker rumah sakit
Pemasok Sebagai Mitra IFRS
IFRS dapat memperoleh manfaat dari pengadaan hubungan dengan pemasok (industri
farmasi dan PPF) untuk meningkatkan serta memberi kemudahan komunikasi yang jernih dan
terbuka, dan untuk meningkatkan proses yang menciptakan nilai. Ada berbagai peluang bagi
IFRS untuk meningkatkan nilai melali kerja sama denagn pemasok dalam berbagai kegiatan
berikut:
1. Mengoptimasikan jumlah pemasok dan mitra.
2. Mengadakan komunikasi dua arah pada tingkat yang paling sesuai dalam kedua lembaga
(IFRS dan pemasok) guna memudahkan solusi masalah yang cepat dan untuk menghindari
keterlambatan atau perselisihan yang mahal.
3. Bekerja sama dengan pemasok dalam memvalidasi kemampuan proses mereka.
4. Memantau kemampuan pemasok menghantarkan sediaan obat yang bermutu.
5. Mendorong pemasok untuk menerapkan program peningkat-an/perbaikan terus-menerus
dan untuk berpartisipasi dalam perkara peningkatan bersama.
6. Melibatkan pemasok dalam kegiatan pengembangan dan/atau desain IFRS untuk berbagi
pengetahuan dan memperbaiki/meningkatkan realisasi dan penghantaran obat yang sesuai.

4. Produksi (belum dilaksanakan)


Merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk, dan pengemasan kembali sediaan
farmasi steril atau nonsteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Produksi/pembuatan sediaan farmasi:
• Produksi Steril

23
• Produksi Non Steril
• Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
• Rekonstruksi sediaan obat kanker

5. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai
dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung atau sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
• Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa
• Barang harus bersumber dari distributor utama
• Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS)
• Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin
• Expire date minimal 2 tahun
Setelah barang yang diorder tersebut datang, barang tersebut diterima bersama
dengan faktur dan di periksa oleh petugas gudang farmasi. Petugas gudang memeriksa tanggal
kadaluarsa dari obat tersebut dan nomor faktur.
Bila barang yang diperiksa telah sesuai dengan faktur, kemudian faktur tersebut ditanda
tangani oleh petugas yang menerima di bagian gudangdan PPHP. Setelah itu, barang
dimasukkan ke dalam gudang dan dicatat pada kartu stok.

6. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obat yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta
gangguan baik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat adalah sebagai
berikut:

Memelihara mutu obat.

Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.

Menjaga kelangsungan persediaan.

Memudahkan pencarian dan pengawasan.

Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang


ditetapkan:
• Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
• Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya
• Mudah tidaknya meledak/terbakar
• Tahan/tidaknya terhadap cahaya disertai dengan sistem informasi yang selalu menjamin
ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.

24
Cara Penyimpanan Obat Secara Umum
Cara penyimpanan obat yang secara umum perlu diketahui oleh masyarakat adalah sebagai
berikut :
a. Ikuti petunjuk penyimpanan pada label/ kemasan
b. Simpan obat dalam kemasan asli dan dalam wadah tertutup rapat.
c. Simpan obat pada suhu kamar dan hindari sinar matahari langsung.
d. Jangan menyimpan obat di tempat panas atau lembab.
e. Jangan menyimpan obat bentuk cair dalam lemari pendingin agar tidak beku, kecuali jika
tertulis pada etiket obat.
f. Jangan menyimpan obat yang telah kadaluarsa atau rusak.
g. Jangan meninggalkan obat di dalam mobil untuk jangka waktu lama.
h. Jauhkan obat dari jangkauan anak-anak.
Peralatan penyimpanan obat secara umum memerlukan :
1. Lemari/rak yang rapi dan terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan
2. Lantai dilengkapi dengan palet yang memenuhi standar
Cara Penyimpanan Obat Secara Khusus
Penyimpanan obat yang secara khusus juga perlu diketahui oleh masyarakat adalah sebagai
berikut :
1. Sediaan obat vagina dan ovula
Sediaan obat untuk vagina dan anus (ovula dan suppositoria) disimpan di lemari es karena
dalam suhu kamar akan mencair.
2. Sediaan Aerosol / Spray
Sediaan obat jangan disimpan di tempat yang mempunyai suhu tinggi karena dapat
menyebabkan ledakan.
Peralatan yang digunakan untuk penyimpanan obat dengan kondisi khusus diantaranya :
1. Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil
2. Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala
3. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan obat psikotropika
4. Peralatan untuk penyimpanan obat, penanganan dan pembuangan limbah sitotoksik dan
obat berbahaya harus dibuat secara khusus untuk menjamin keamanan petugas, pasien dan
pengunjung
Beberapa obat perlu disimpan pada kondisi dan tempat yang khusus untuk memudahkan
pengawasan, yaitu :
1. Obat golongan narkotika dan psikotropika masing-masing disimpan dalam lemari khusus
dan terkunci ganda.
2. Obat-obat seperti vaksin dan supositoria harus disimpan dalam lemari pendingin untuk
menjamin stabilitas sediaan.

25
3. Beberapa cairan mudah terbakar seperti eter, isofluran, sefoflurandan alkohol disimpan
dalam lemari yang berventilasi baik, jauh dari bahan yang mudah terbakar dan peralatan
elektronik. Cairan ini disimpan terpisah dari obat-obatan.
Standar penyimpanan obat yang sering di gunakan adalah sebagai berikut:
1) Persyaratan gudang
a) Luas minimal 3 x 4 m2
b) Ruang kering tidak lembab
c) Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab
d) Cahaya cukup
e) Lantai dari tegel atau semen
f) Dinding dibuat licin
g) Hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam
h) Ada gudang penyimpanan obat
i) Ada pintu dilengkapi kunci ganda
j) Ada lemari khusus untuk narkotika
2) Pengaturan penyimpanan obat
a) Menurut bentuk sediaan dan Alfabetis
b) Menerapkan sistem FIFO dan FEFO
c) Menggunakan almari, rak dan pallet
d) Menggunakan almari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika
e) Menggunakan almari khusus untuk perbekalan farmasi yang memerlukan penyimpanan
pada suhu tertentu
f) Dilengkapi kartu stock obat manual dan atau elektronik

Kegiatan penyimpanan obat meliputi:


1. Pengaturan Gudang Obat
Dalam pengaturan gudang yang akan dipakai untuk penyimpanan haruslah dapat
menjaga agar obat:
a. Tidak rusak secara fisik dan kimia. oleh karena itu, harus diperhatikan ruangnya
tetap kering, adanya ventilasi untuk aliran udara agar tidak panas, cahaya yang
cukup, gudang harus ditata berdasarkan sistem arus lurus, arus U, agar
memudahkan dalam bergerak, dan penempatan rak yang tepat serta penggunaan
Pallet akan dapat meningkatkan sirkukasi uara dan gerakan stok obat.
b. Aman. Agar obat tidak hilang maka perlu adanya ruangan khusus untuk gudang dan
pelayanan, dan sebaiknya ada lemari/rak yang terkunci, serta ada lamari laci khusus
untuk narkotika yang selalu terkunci.

26
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan
pengawasan obat-obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan
baik.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai


berikut:
1) Kemudahan bergerak
Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai berikut :
a. Gudang menggunakan sistem satu lantai jangan menggunakan sekat-sekat
karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan
posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan.
b. Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat
ditata berdasarkan sistem, arus garis lurus, arus U dan arus L
2) Sirkulasi udara yang baik
Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah adanya sirkulasi udara
yang cukup didalam ruangan gudang. Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan
umur hidup dari obat sekaligus bermanfaat dalam memperpanjang dan
memperbaiki kondisi kerja. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya
akan menjadi mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah
menggunakan kipas angin. Apabila kipas angin belum cukup maka perlu ventilasi
melalui atap.
3) Kondisi penyimpanan khusus.
Vaksin memerlukan “Cold Chain” khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan
putusnya aliran listrik.
a. Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu
terkunci,
b. Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol, halotan dan eter harus disimpan
dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari
gudang induk.
4) Pencegahan kebakaran
Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti
dus, kartun dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran harus dipasang pada tempat
yang mudah dijangkau.

2. Penyusunan Stok Obat.


Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis, apabila tidak
memungkinkan obat yang sejenis dapat dikelompokkan menjadi satu.
Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut :

27
a) Gunakan prinsip FIFO dalam penyusunan obat yaitu obat yang pertama diterima
harus pertama juga digunakan sebab umumnya obat yang datang pertama biasanya
juga diproduksi lebih awal dan akan kadaluwarsa lebih awal pula.
b) Susun obat yang berjumlah besar di atas pallet atau diganjal dengan kayu secara rapi
dan teratur.
c) Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan obat-obatan yang berjumlah
sedikit tetapi mahal harganya.
d) Susun obat yang dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi
bakteri pada tempat yang sesuai.
e) Susun obat dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan obat dalam dengan obat-
obatan untuk pemakaian luar.
f) Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi
g) Apabila gudang tidak mempunyai rak maka dus-dus bekas dapat dimanfaatkan
sebagai tempat penyimpanan.
h) Barang-barang yang memakan tempat seperti kapas dapat disimpan dalam dus
besar, sedangkan dus kecil dapat digunakan untuk menyimpan obat-obatan dalam
kaleng atau botol.
i) Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box masing-
masing, ambil seperlunya dan susun dalam satu dus bersama obat-obatan lainnya. Pada
bagian luar dus dapat dibuat daftar obat yang disimpan dalam dus tersebut.
j) Obat-obatan yang mempunyai batas waktu pemakaian maka perlu dilakukan rotasi
stok agar obat tersebut tidak selalu berada dibelakang yang dapat menyebabkan
kadaluarsa obat.

3. Pencatatan Stok Obat


Kartu stok berfungsi:
a) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang,
rusak atau kadaluwarsa) atau kartu stok dapat di peroleh dari billing sistem/ kartu stok
elektronik yang akurat dan real time
b) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis obat
yang berasal dari 1 (satu) sumber dana
c) Tiap baris data hanya diperuntukkan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi obat
d) Data stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan-distribusi
dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik obat dalam tempat penyimpanannya.
Adapun Kegiatan yang harus dilakukan jika menggunakan kartu stok manual:
a) Kartu stok diletakkan bersamaan/berdekatan dengan obat bersangkutan
b) Pencatatan dan pengentrian dilakukan secara rutin dari hari ke hari
c) Setiap terjadi mutasi obat ( penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak/ daluwarsa )
langsung dicatat di dalam kartu stok

28
d) Penerimaan dan pengeluaran dijumlahkan pada setiap akhir bulan
Adapun jika menggunakan kartu stok elektronik, kegiatan yang dilakukan yaitu:
a. Mengentrikan penerimaan OBHP secara langsung sesuai faktur
b. Mengentrikan pengeluaran OBHP secara langsung
c. Mencocokkan stok elektronik dengan fisik obat secara berkala
d. Melakuak evaluasi dan adjustmen berkala
Informasi yang didapat dari kartu stok manual/ elektronik
a) Jumlah obat yang tersedia (sisa stok)
b) Jumlah obat yang diterima
c) Jumlah obat yang keluar
d) Jumlah obat yang hilang/rusak/daluwarsa
e) Jangka waktu kekosongan obat
Adapun manfaat informasi yang didapat :
a) Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan obat.
b) Perencanaan pengadaan dan penggunaan pengendalian persediaan.
Obat disusun menurut ketentuan-ketentuan berikut :
a) Obat dalam jumlah besar ( bulk ) disimpan diatas pallet atau ganjal kayu secara rapi,
teratur dengan memperhatikan tanda-tanda khusus (tidak boleh terbalik, berat, bulat,
segi empat dan lain-lain).
b) Penyimpanan antara kelompok/jenis satu dengan yang lain harus jelas sehingga
memudahkan pengeluaran dan perhitungan.
c) Penyimpanan bersusun dapat dilaksanakan dengan adanya forklift untuk obat-obat
berat.
d) Obat-obat dalam jumlah kecil dan mahal harganya disimpan dalam lemari terkunci
dipegang oleh petugas Penyimpanan.
e) Satu jenis obat disimpan dalam satu lokasi ( rak, lemari dan lain-lain ).
f) Obat dan alat kesehatan yang mempunyai sifat khusus disimpan dalam tempat
khusus. Contoh : Eter, Film dan lain-lain.
Kartu stok memuat nama obat, satuan, asal (sumber) dan diletakkan bersama obat
pada lokasi penyimpanan.
Bagian judul pada kartu Stok diisi dengan dengan nama obat, kemasan, isi kemasan
Kolom-kolom pada Kartu Stok diisi sebagai berikut:
1. Tanggal penerimaan atau pengeluaran.
2. Nomor dokumen penerimaan atau pengeluaran.
3. Sumber asal obat atau kepada siapa obat dikirim.
4. No. Batch/No. Lot.
5. Tanggal kadaluwarsa
6. Jumlah penerimaan
7. Jumlah pengeluaran

29
8. Sisa stok
9. Paraf petugas yang mengerjakan
Catatan : Pada akhir bulan sedapat mungkin kartu stok ditutup, sekaligus untuk
memeriksa kesesuaian antara catatan dengan keadaan fisik. Untuk melakukan hal ini
maka pada setiap akhir bulan beri tanda atau garis dengan warna yang berbeda dengan
yang biasa digunakan, misalnya warna merah.

4. Pengamatan mutu obat.


Istilah mutu obat dalam pelayanan farmasi berbeda dengan istilah mutu obat
secara ilmiah, yang umumnya dicantumkan dalam buku-buku standard seperti
farmakope. Secara teknis, kriteria mutu obat mencakup identitas, kemurnian, potensi,
keseragaman, dan ketersediaan hayatinya.
Beberapa hal berikut perlu mendapat perhatian sehubungan dengan mutu obat, oleh
karena di samping berkaitan dengan efek samping, potensi obat, juga dapat
mempengaruhi efek obat aktif, yaitu:
a) Kontaminasi.
Beberapa jenis sediaan obat harus selalu berada dalam kondisi steril, bebas pirogen
dan kontaminan, misalnya obat injeksi. Oleh sebab itu proses manufaktur,
pengepakan, dan distribusi hingga penyimpanannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Dalam prakteknya kerusakan obat jenis ini umumnya berkaitan dengan
kesalahan dalam penyimpanan dan penyediaannya. Harus dihindari, oleh karena
memungkinkan terjadinya kontaminasi dengan udara luar dan berbagai bakteri,
sehingga prinsip obat dalam kondisi steril sudah tidak tercapai lagi. Untuk sediaan
lain seperti cream, salep atau sirup, meskipun risikonya lebih kecil, tetapi sering
juga terjadi kontaminasi, misalnya karena udara yang terlalu panas, kerusakan pada
pengepakannya, dsb, yang tentu saja mempengaruhi mutu obatnya.
b) Medication error.
Keadaan ini tidak saja dapat terjadi pada saat manufaktur (misalnya kesalahan
dalam mencampur 2 atau lebih obat sehingga dosisnya menjadi terlalu besar atau
terlalu kecil), tetapi dapat juga terjadi saat praktisi medik ingin mencampur
beberapa jenis obat dalam satu sediaan sehingga menimbulkan risiko terjadinya
interaksi obat-obat. Akibatnya efek obat tidak seperti yang diharapkan bahkan
dapat membahayakan pasien.
c) Berubah menjadi toksik (toxic degradation).
Beberapa obat, karena proses penyimpanannya dapat berubah menjadi toksik
(misalnya karena terlalu panas atau lembab), misalnya tetrasiklin. Beberapa
obat yang lain dapat berubah menjadi toksik karena telah kadaluwarsa. Oleh
sebab itu obat yang telah expired (kadaluwarsa) atau berubah warna, bentuk
dan wujudnya, tidak boleh lagi dipergunakan.

30
d) Kehilangan potensi (loss of potency).
Obat dapat kehilangan potensinya sebagai obat aktif antara lain apabila
ketersediaan hayatinya buruk, telah melewati masa kadaluwarsa, proses
pencampuran yang tidak sempurna saat digunakan, atau proses penyimpanan
yang keliru (misalnya terkena sinar matahari secara langsung). Setiap obat
sebenarnya telah memiliki batas keamanan (margin of safety) yang dapat
dipertanggung jawabkan
Adapun Tanda-tanda perubahan mutu obat sesuai standar yang di tetapkan
yaitu :
1) Tablet.
a) Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
b) Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah, retak dan
atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
c) Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
2) Kapsul.
a) Perubahan warna isi kapsul
b) Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya
3) Tablet salut.
a) Pecah-pecah, terjadi perubahan warna dan lengket satu dengan yang
lainnya
b) Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
4) Cairan.
a) Menjadi keruh atau timbul endapan.
b) Konsistensi berubah
c) Warna atau rasa berubah
d) Botol-botol plastik rusak atau bocor

5) Salep.
a) Warna berubah
b) Konsistensi berubah
c) Pot atau tube rusak atau bocor
d) Bau berubah

6) Injeksi.
a) Kebocoran wadah (vial, ampul)
b) Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
c) Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
d) Warna larutan berubah

31
Persyaratan Penyimpanan Narkotika
 Harus terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat (tidak boleh terbuat darikaca).
 Harus mempunyai kunci yang kuat, kunci lemari harus dikuasai oleh penanggung
jawab atau pegawai yang dikuasakan.
 Dibagi menjadi dua bagian dengan masing-masing kunci yang berlainan.
 Apabila lemari memiliki ukuran kurang dari 40 cm x 80 cm x 100 cm, maka dibuat
pada tembok / lantai / lemari khusus.
 Tidak boleh menyimpan atau meletakkan barang-barang selain narkotika, kecuali
ditentukan lain oleh Menteri Kesehatan (Menkes).

Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyimpanan obat adalah (Pudjaningsih,


1996):
1. Persentase kecocokan antara barang dan stok komputer atau kartu stok

Proses pencocokan harus dilakukan pada waktu yang sama untuk menghindari
kekeliruan karena adanya barang yang keluar atau masuk (adanya transaksi).
Apabila tidak dilakukan bersamaan maka kemungkinan ketidakcocokan akan
meningkat.

Ketidakcocokan akan menyebabkan terganggunya perencanaan pembelian barang


dan pelayanan terhadap pasien.

2. Turn Over Ratio (TOR)

TOR = perbandingan Harga Pokok Penjualan (HPP) dalam 1 tahun dengan nilai rata
– rata persediaan pada akhir tahun.

TOR digunakan untuk mengetahui berapa kali perputaran modal dalam 1 tahun,
menghitung efisiensi dalam pengelolaan obat. Apabila TOR rendah, berarti masih
banyak stok obat yang belum terjual sehingga mengakibatkan obat menumpuk dan
berpengaruh terhadap keuntungan (Jati, 2010).

5. Persentase nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak


Mencerminkan ketidaktepatan perencanaan dan atau kurang baiknya sistem distribusi
dan atau kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan atau terjadinya
perubahan pola penyakit atau pola peresepan oleh dokter. Persentase nilai obat yang
kadaluarsa dan atau rusak masih dapat diterima jika nilainya dibawah 1%.

6. Persentase stok mati


Stok mati = stok obat yang tidak digunakan selama 3 bulan atau selama 3 bulan tidak
terdapat transaksi. Penyebabnya :

 Tidak diresepkannya obat oleh dokter karena dokter memilih obat lain.

32
 Perubahan pola penyakit.

 Dokter tidak taat terhadap formularium.

 Kurang tepatnya perencanaan pengadaan obat.

Kerugian yang ditimbulkan akibat stok mati: perputaran uang yang tidak lancar,
kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan obat kadaluarsa.

Pengatasan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian: mengembalikan


beberapa item obat kepada PBF.

7. Persentase nilai stok akhir obat:


Untuk menilai stok akhir obat, yaitu sebagai berikut :

 Stok berlebih

Stok berlebih → meningkatkan pemborosan & kemungkinan obat ED atau rusak


dalam penyimpanan.

Untuk mengantisipasi adanya obat yang melampaui batas ED:

a. Memberlakukan sistem First in First Out (FIFO) dan atau First Expired First Out
(FEFO)

b. Mengembalikan obat kepada PBF atau menukar obat yang hampir tiba waktu
kadaluarsanya dengan obat baru

 Stok kosong

Stok kosong adalah jumlah stok akhir obat sama dengan nol; stok obat di gudang
mengalami kekosongan dalam persediaannya sehingga bila ada permintaan tidak
bisa terpenuhi.

Faktor-faktor penyebab terjadinya stok kosong:

a. Tidak terdeteksinya obat yang hampir habis.

b. Hanya ada persediaan yang kecil untuk obat – obat tertentu (slow moving).

c. Barang yang dipesan belum datang.

d. PBF mengalami kekosongan

e. Pemesanannya ditunda oleh PBF

33
7. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit untuk
pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan serta untuk
menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk
dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan :
• Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
• Metode sentralisasi atau desentralisasi
• Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
e. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan
atau desentralisasi dengan sistem persediaan lengkap di ruangan, sistem resep perorangan,
sistem unit dosis.
f. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara sentralisasi dan
atau desentralisasi dengan system resep perorangan oleh Apotik Rumah Sakit.
g. Sistem pelayanan distribusi :
1. Sistem persediaan lengkap di ruangan
 Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat merupakan
tanggung jawab perawat ruangan.
 Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat.
 Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat dikontrol secara
berkala oleh petugas farmasi.
2. Sistem resep perorangan
Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat jalan dan
rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
3. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan,
diberikan/ digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang berisi obat
dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup untuk penggunaan satu
kali dosis biasa.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada:
a. Apotik rumah sakit dengan sistem resep perorangan
b. Depo farmasi dengan sistem dosis unit
c. Ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan

34
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam penyiapan obat adalah (Pudjaningsih, 1996):

1. Waktu Tunggu
Rata-rata waktu yang digunakan untuk melayani resep sampai ke tangan pasien
Bertujuan untuk mengetahui tingkat kecepatan pelayanan apotek rumah sakit.
2. Persentase obat yang diserahkan
Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan IFRS menyediakan obat yang
diresepkan.
3. Persentase obat yang diberi label dengan benar
Bertujuan untuk mengetahui penguasaan peracik (dispenser) tentang informasi pokok
yang harus ditulis dalam etiket.

8. Formularium Rumah Sakit


Seleksi obat merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengendalikan
pembiayaan obat terhadap pengadaan dan stok obat7. Tujuan seleksi obat bertujuan agar dapat
menerapkan secara tepat asas substitusi generik dan asas pertukaran terapi untuk menjamin
terapi obat bermutu tinggi, untuk pemilihan dan aplikasi terapi yang tepat, memastikan kualitas
obat, mengendalikan pembiayaan obat, bersaing baik dari segi kualitas, penyimpanan,
distribusi, dan prosedur pembuatan dengan harga yang rendah untuk meningkatkan
keuntungan, meningkatkan kualitas hidup pasien dengan obat yang cost effective dan
berdasarkan Efidence Base Medicine. Seleksi obat meliputi evaluasi dan asesmen data
bioekivalen, karakteristik penyimpanan, dispensing dan konsumsi (pemberian), harga dan
informasi produk yang relevan. Seleksi obat dalam formularium meliputi pemilihan distributor,
penyeleksian distributor, penambahan atau penghapusan obat baru setelah disetujui oleh PFT.
Sistem formularium adalah suatu metode yang digunakan staf medik dari suatu rumah
sakit yang bekerja melalui PFT, mengevaluasi, menilai, dan memilih dari berbagai zat aktif obat
dan produk obat yang tersedia, yang dianggap paling berguna dalam perawatan penderita.
Sistem formularium menetapkan pengadaan, penilisan, dispensing, dan pemberian suatu obat
dengan nama dagang atau obat dengan nama generik apabila obat itu tersedia dalam dua nama
tersebut. Hasil utama dari pelaksanaan sistem formularium adalah formularium rumah sakit.
Formularium adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi
untuk digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan.
Tujuan utama dari formularium adalah menyediakan bagi staf rumah sakit, yaitu : 1)
informasi tentang produk obat yang telah disetujui oleh PFT digunakan di rumah sakit; 2)
informasi terapi dasar tiap produk yang disetujui; 3) informasi tentang kebijakan dan prosedur
rumah sakit yang menguasai penggunaan obat, dan 4) informasi khusus tentang obat seperti
pedoman menetapkan dosis dan nomogram, singkatan yang disetujui untuk penulisan
resep/order dan kandungan natrium dari berbagai obat formularium. Sistem pembuatan
formularium adalah suatu sistem dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa

35
sementara Formularium itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi
mengadakan evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran,
dengan lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien.
Proses penyusunan formularium ada beberapa tahap, yaitu: (1) mendata semua obat
yang ada dalam stok rumah sakit, (2) mengedarkan daftar stok obat yang tersedia dan formulir
pengajuan obat untuk masuk dalam formularium, (3) rapat anggota PFT untuk mendiskusikan
pembuatan formularium, (4) mengundang dokter SMF untuk membahas kriteria seleksi obat
dan usulan obat yang akan dimasukkan ke dalam formularium RS, (5) menyusun formularium
rumah sakit berdasarkan hasil-hasil rapat dengan dokter spesialis.
Susunan Formularium harus terdiri atas 3 bagian pokok:
a. Bagian pertama: informasi tentang kebijakan dan prosedur Rumah Sakit tentang obat
b. Bagian kedua: monografi obat yang diterima masuk formularium
c. Bagian ketiga: informasi khusus
Komposisi Formularium : Halaman judul, Daftar nama anggota Panitia Farmasi dan Terapi,
Daftar Isi, Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat, Produk obat yang
diterima untuk digunakan, dan Lampiran.
Formularium terdiri atas :
a. Daftar Formularium (Formulary list) : suatu daftar produk obat yang disetujui digunakan
dalam suatu rumah sakit tertentu, terdiri atas nama generik, kekuatan dan bentuk;
b. Panduan Formularium (Formulary manual) : mengandung ringkasan informasi obat, pada
umumnya termasuk nama generik, indikasi penggunaan, kekuatan, bentuk sediaan,
posologi, toksikologi, jadwal pemberian, kontraindikasi, efek samping, kualitas yang
direkomendasikan di-dispensing, dan informasi penting yang harus diberikan kepada
penderita.
Kriteria pemilihan obat essensial berdasarkan DOEN : 1. Memiliki ratio manfaat –resiko
(benefit-risk-ratio) yang paling menuntungkan penderita; 2. Mutu terjamin, termasuk stabilitas
dan bioavailabilitas; 3. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan; 4. Praktis dalam
penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan;
5. Menuntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita; 6. Memiliki rasio
manfaat-biaya (benefit cost-ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak
langsung; 7. Bila terdapat lebih dari 1 pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada : obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah, sifat
farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan, stabilitasnya lebih baik, mudah diperoleh
dan telah dikenal; 8. Obat jadi kombinasi tetap : hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk
kombinasi tetap, harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada masing-
masing komponen, perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan
yang tepat untuk sebagian besar panderita yang memerluakan kombinasi tersebut, kombinasi
tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost-ratio), antibiotik kombinasi tetap
harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya.

36
Kriteria berikut digunakan oleh Komite Ahli WHO pada Pemilihan dan Penggunaan Obat
Esensial: obat yang dipilih berdasarkan data kemanjuran dan keamanan yang tersedia dari studi
klinis, dan penggunaan umum dalam berbagai pengaturan medis; Setiap obat yang dipilih harus
tersedia dalam bentuk di mana kualitas yang memadai, termasuk bioavailabilitas, dapat
dipastikan, stabilitas di bawah kondisi penyimpanan; Bila dua atau lebih obat-obatan tampak
serupa dalam hal di atas, pilihan dibuat atas dasar evaluasi yang cermat yaitu dilihat dari
khasiat, keamanan, kualitas, harga dan ketersediaan; Sebagai perbandingan biaya antara obat-
obatan, biaya pengobatan total, dan tidak hanya biaya satuan obat, harus dipertimbangkan.
Apabila obat tidak sepenuhnya mirip, pemilihan harus dilakukan atas dasar analisis biaya-
efektivitas; Dalam beberapa kasus, pilihan juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain, seperti
farmakokinetik, atau dengan pertimbangan seperti ketersediaan fasilitas untuk penyimpanan
atau produsen; Sebagian besar obat-obatan esensial harus dirumuskan sebagai senyawa
tunggal. Fixed-ratio produk kombinasi yang dapat diterima hanya bila dosis masing-masing
bahan memenuhi persyaratan populasi tertentu; Obat ditentukan oleh nama Nonproprietary
internasional (INN) atau nama generik tanpa mengacu pada nama merek atau produsen
tertentu.
Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi
antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter yang
mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari Farmasi
Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan PFT adalah a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat,
penggunaan obat serta evaluasinya; b. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan
pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan
kebutuhan1. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2
(dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali untuk
melakukan evaluasi terhadap formularium.
Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi : a. Terdiri dari 3 (tiga) Dokter,
Apoteker dan Perawat; b. Ketua dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan jika
mempunyai ahli farmakologi kedokteran, maka sebagai ketua adalah Farmakologi.
Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
Peran atau tugas apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi adalah : Menjadi salah
seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris), Menetapkan jadwal pertemuan, Mengajukan
acara yang akan dibahas dalam pertemuan, Menyiapkan dan memberikan semua informasi
yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam pertemuan, Mencatat semua hasil keputusan dalam
pertemuan dan melaporkan pada pimpinan rumah sakit, Menyebarluaskan keputusan yang
sudah disetujui oleh pimpinan kepada seluruh pihak yang terkait, Melaksanakan keputusan-
keputusan yang sudah disepakati dalam pertemuan, Menunjang pembuatan pedoman
diagnosis dan terapi, pedoman penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam
kelas terapi lain, Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia

37
Farmasi dan Terapi, Melaksanakan pendidikan dan pelatihan, Melaksanakan pengkajian dan
penggunaan obat, Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan
obat pada pihak terkait.
Tahapan pembuatan Sistem Formularium
1. Tahap Pertama
Pengkajian Populasi penederita dalam empat tahun terakhir berturut-turut dari
rekaman morbiditas RS TSb, lalu dibuat tabel berisi kelompok penyakit, sub kelompk
penyakit, jumlah dan persentase penderita tiap tahun.
Pengelompokan penyakit berdasarkan ICD-10 ( International Classification of Disease
and related Health Problems)
2. Tahap Kedua
Penetapan peringkat penderita terbanyak pada tiap sub kelompok. Dibuat suatu tabel
berisi kelompok penyakit, subkelompok penyakit, jumlah dan persentasenya.
3. Tahap Ketiga
Penetapan peringkat penderita terbanyak tiap sub kelompok
4. Tahap Keempat
Penetapan penyakit, gejala, penyebab, dan gol farmakologi obat . Dibuat tabel berisi
sub kelompok penyakit dan gol farmakologi obat dan bahan pendukung yang diperlukan
untuk tiap golongn farmakologi
5. Tahap Kelima
Penetapan nama obat yang diperlukan dalam tiap golongan farmakologi berdasarkan
AHFS. Dibuat tabel mengandung golongan farmakologi, sub golongan farmakologi, nama
obat dan bahan pendukungnya.

Standar Pelayanan Medik adalah acuan/dasar yang dapat membantu dan membimbing
dalam diagnosis, pengobatan, tujuan pengobatan, dan pilihan pengobatan dan evaluasi hasil
pengobatan oleh dokter, perawat, apoteker, dan staf kesehatan lainnya dalam rangka
pemberian pelayanan kesehatan yang berkualitas kepada pasien. Standar pelayanan medis
antara lain dapat berupa guidelines (pedoman-pedoman), skema-skema pengambilan
keputusan, termasuk prosedur kerja, maupun buku-buku. Standar pelayanan medis disusun
oleh Komite Medik.
Upaya peningkatan mutu sangat terkait dengan standar baik input, proses maupun
outcome maka penyusunan indikator mutu klinis yang merupakan standar outcome sangatlah
penting. Dalam organisasi rumah sakit sesuai dengan Pedoman Pengorganisasian Staf Medis
dan Komite Medis, masing-masing kelompok staf medis wajib menyusun indikator mutu
pelayanan medis. Dengan adanya penetapan jenis indikator mutu pelayanan medis diharapkan
masing-masing kelompok staf medis melakukan monitoring melalui pengumpulan data,
pengolahan data dan melakukan analisa pencapaiannya dan kemudian melakukan tindakan
koreksi.

38
Tujuan pelayanan medis adalah mengupayakan kesembuhan pasien secara optimal
melalui prosedur dan tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan, menjaga mutu dan
menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien, melindungi masyarakat dari praktek-praktek
yang tidak sesuai dengan standar professional, melindungi professi dari tuntutan masyarakat
yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek dokter dan pembinaan serta
peningkatan mutu pelayanan kedokteran, memberikan panduan kepada tenaga kesehatan
dalam hal diagnosis dan pengobatan spesifik, membantu efisiensi dalam pemenuhan
kebutuhan obat dan menetapkan prioritas dalam pengadaannya.
Di Indonesia standar pelayanan medik yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan
telah disusun pada bulan April tahun 1992, berdasarkan Kepmenkes
No.436/MENKES/SK/VI/1993. Standar pelayanan medik ini disusun oleh Ikatan Dokter
Indonesia, sebagai salah satu upaya penertiban dan peningkatan manajemen rumah sakit
dengan memanfaatkan pendayagunaan segala sumber daya yang ada di rumah sakit.
Standar pelayanan harus ditetapkan untuk memelihara mutu pelayanan dan salah
satunya adalah dengan melakukan pemeliharaan formularium. Penggunaan Formularium telah
terbukti menjadi aset berharga untuk memberikan informasi obat kepada tenaga kesehatan.
SPM dapat memberikan informasi tentang diagnosis dan pengobatan sehingga sangat efektif
untuk di satukan. Jadi hubungan Formularium dan SPM saling berhubungan erat sebab dalam
formularium terdapat SPM.

9. Penarikan dan Penanganan Obat Kadaluarsa


Obat kadaluarsa adalah obat jadi yang berasal dari produksi pabrik obat yang telah
habis masa berlaku (batas waktu pemakaiannya) atau dikenal dengan sudah ED (expiration
date). Pencantuman tanda kadaluarsa bisa dicetak dengan tulisan susah untuk dihapus. Obat
kadaluarsa kadang-kadang kalau dilihat dari luar secara organoleptik tampak masih kondisi baik
kemasannya maupun obatnya sendiri. Namun bila diperiksa secara laboratoris kemungkinan
besar sudah di bawah persyaratan kadar Farmakope, dan hasil peruraian obat (degradan) akan
bertambah. Karena kadar zat aktif sangat menurun maka kemungkinan untuk sembuhnya
penyakit menjadi lebih lama lagi.
Prosedur tentang Penanganan Obat Rusak atau Kadaluarsa
 Mengidentifikasikan obat yang sudah rusak atau kadaluarsa.
 Memisahkan obat rusak atau kadaluarsa dan di simpan pada terpisah dari penyimpanan
obat lainnya.
 Membuat catatan nama, no. batch, jumlah dan tanggal kadaluarsa.
 Melaporkan dan mengirim obat tersebut ke Instalasi Farmasi Kebupaten / Kota.
 Mendokumentasikan pencatatan tersebut.

Cara pembuangan obat kadaluarsa

39
Obat beserta alat kesehatan dan bahan habis pakai yang sudah kadaluarsa
dimusnahkan dengan cara di bakar pada alat incinerator.

10. Pemusnahan Resep


Dilakukan selama 3 tahun sekali, setelah dimusnahkan dibuat berita acara pemusnahan.
Dilaporkan ke kantor dinas kesehatan, dan ke kepala balai besar pemeriksaan obat dan
makanan serta kepada kepala dinas kesehatan provinsi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 280/MenKes/V/1981
tentang Tata Cara Pemusnahan :
 Resep Narkotika dihitung lembaranya
 Resep lainya ditimbang
 Resep dihancurkan dengan mesin penghancur, dikubur, atau dibakar.

11. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan merupakan serangkaian kegiatan dalam rangka penata
usahaan obat-obatan secara tertib, baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan
maupun yang digunakan di unit-unit pelayanan di Rumah Sakit.

12. Stelling
stelling adalah kegiatan mencatat dan menyesuaikan data di kartu stock dengan keadan
sebenarnya . ini berfungsi untuk mengetahui persediaan obat agar tidak terjadi kekosongan .
kegiatan ini harus kita lakukan secara periodik untuk menyesuaikan fisik dengan pencatatan
pada kartu elektronik. Dengan kegiatan ini pula apoteker dapat mengevaluasi tingkat
perputaran obat tersebut.

BAB VI
PANDUAN PENULISAN RESEP

A. PANDUAN PENULISAN RESEP

Penulisan resep yang lengkap adalah pendekatan profesional yang bertanggung jawab dalam
menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh
pasien melalui penerapan pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan perilaku apoteker serta
bekerja sama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya.

Tujuan :
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit

40
2. Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan efisiensi
penggunaan obat
3. Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang terkait dalam
pelayanan farmasi
4. Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan penggunaan obat
secara rasional

B. PELAYANAN RESEP

Pelayanan resep merupakan proses dari bagian kegiatan yang harus dikerjakan dimulai dari
menerima resep dari dokter hingga penyerahan obat kepada pasien. Tujuan dari pelayanan resep
adalah agar pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan resep dokter serta bagaimana cara
memakainya. Semua resep yang telah dilayani oleh rumah sakit harus diarsipkan dan disimpan
minimal 3 (tiga) tahun.
a. Teknik/Kaidah Penulisan Resep
Preskripsi dokter sangat penting bagi seorang dokter dalam proses peresepan
obat bagi pasiennya. Dokter dalam mewujudkan terapi yang rasional, memerlukan langkah
yang sistematis dengan moto 5T (Tepat obat, Tepat dosis, Tepat cara, dan jadwal pemberian
serta untuk penderita yang tepat). Preskripsi yang baik haruslah ditulis dalam blanko resep
secara lege artis.
Resep secara umum didefinisikan sebagai
permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada
apoteker pengelola apotek (APA) untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi
penderita sesuai dengan peratuan perundangan yang berlaku. Resep yang benar adalah ditulis
secara jelas, dapat dibaca, lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang
berlaku.

41
Contoh resep yang benar:

Unsur-unsur resep:

1. Identitas Dokter

Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter penulis resep se
rta dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam praktek. Biasanya sudah
tercetak dalam blanko resep.

2. Nama kota (sudah dicetak dalam blanko resep) dan tanggal ditulis resep

3. Superscriptio
Ditulis dengan symbol R/ (recipe=harap diambil). Biasanya sudah dicetak dalam blank
o. Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/formula resep, diperlukan penulisan R/
lagi.

4. Inscriptio

Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah obat yang diperlukan
dan ditulis dengan jelas

5. Subscriptio

Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya. Cara penulisan (dengan
singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang digunakan.

Contoh:

- m.f.l.a. pulv. d.t.d.no. X

- m.f.l.a. sol

- m.f.l.a. pulv. No XX da in caps

6. Signatura

Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi, jumlah
obat dan saat diminum obat, dl .

Contoh: s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah makan)

42
7. Identitas pasien

Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). Nama pasi
en dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan pasien supaya kontrol
dosis oleh apotek dapat akurat.

TATA CARA PENULISAN RESEP

Tidak ada standar baku di dunia tentang penulisan resep. Untuk Indonesia, r
esep yang lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III, pasal 10) memuat:

1. Nama, alamat, Nomor Surat Ijin Praktek Dokter (NSIP)

2. Tanggal penulisan resep

3. Nama setiap obat/komponen obat

4. Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan resep

5. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep

6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah melebihi
dosis maksimum

LANGKAH PRESKRIPSI

1. Pemilihan obat yang tepat

Dalam melakukan prakteknya, dokter pertama kali harus melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang baik pada pasiennya untuk menegakkan diagnosis. Setelah itu, dengn
mempertimbangkan keadaan (patologi penyakit , perjalanan penyakit dan manifestasinya),
maka
tujuan terapi dengan obat akan ditentukan. Kemudian akan dilakukan pemilihan oba
t secara tepat, agar menghasilkan terapi yang rasional.

Hal yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam memilih obat:

a. Bagaimana rasio manfaat dengan risiko obat yang dipilih

b. Bagaimana keamanan (efek samping, kontra indikasi) obat yang dipilih

c. Jenis bahan obat apa (bahan baku, formula standar, bahan generik, atau bahan paten) yang

dipilih

43
d. Pertimbangan biaya/harga obat

Dengan mempertimbangkan hal di atas, diharapkan preskripsi obat dokter akan tepat
berdasar manfaat, keamanan, ekonomi, serta cocok bagi penderita Untuk mewujudkan terapi
obat yang rasional dan untuk meningkatkan daya guna dan hasil gunaserta biaya, maka seorang
dokter perlu memahami kriteria bahan obat dalam preskripsi. Bahan
obat di dalam resep termasuk
bagian dari unsur inscriptio dan merupakan bahan baku, obat standar (obat dalam formula
baku/resmi, sediaan generik) atau bahan jadi/paten

Nama obat dapat dipilih dengan nama generik (nama resmi dalam buku Farmakope
Indonesia) atau nama paten (nama yang diberikan pabrik). Pengguna jenis obat paten perlu
memperhatikan kekuatan bahan aktif dan atau komposisi obat yang dikandung di dalamnya
agar pemilihan obat yang rasional dapat tercapai dan pelayanan obat di apotek tidak
menjumpai adanya masalah.

Contoh: Apabila dalam terapi perlu diberikan bahan obat Paracetamol, maka dapat dipilih
bahan baku (ada di apotik), sediaan generik berlogo (bentuk tablet atau sirup paracetamol atau
sediaan paten) Jumlah obat yang ditulis di dalam resep tergatung dari lama pemberian dan
frekuensi pemberian. Parameter yang diperlukan untuk menentukannya adalah lama
perjalanan penyakit, tujuan terapi,
dan kondisi penderita. Jumlah obat dituliskan dengan angka Romawi untuk jenis sed
iaan jadi/paten

Contoh: Tab. Sanmol 500 mg no. X atau Tab. Sanmol 500 mg da X

Bahan/sediaan obat dalam preskripsi berdasarkan peraturan perundangan dapat dikategorikan:

a. Golongan obat narkotika atau O (ct: codein, morphin, pethidin)

b. Golongan obat Keras atau G atau K

Dibedakan menajadi 3:

- Golongan obat Keras tertentu atau Psikotropika (diazepam dan derivatnya)

- Golongan obat Keras atau K (ct: amoxicil in, ibuprofen)

- Golongan obat wajib apotek atau OWA (ct: famotidin, allopurinol, gentamycin topical)

c. Golongan obat bebas terbatas atau W (ct: paracetamol, pirantel palmoat)

d. Golongan obat bebas (ct: Vitamin B1, Vitamin C)

44
Pada penulisan obat narkotika dan psikotropika/khusus) jumlah obat tidak cukup hanya
dengan angka saja, namun disertai dengan huruf angka tersebut, misal X (decem) dan agar sah
harus dibubuhi tanda tangan dokter (bukan paraf).
Hal ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan obat di masyarakat.

2. Penetapan cara pemberian dan aturan dosis yang tepat

a. Cara pemberian obat

Obat diberikan dengan berbagai macam cara (per oral, per rectal, parenteral, topical, dl ).
Hal yang diperlukan dalam menentukan cara pemberian obat:

- Tujuan terapi

- Kondisi pasien

- Sifat fisika-kimia obat

- Bioaviabilitas obat

- Manfaat (untung-rugi pemberian obat)

Cara pemberian yang dipilih adalah yang memberikan manfaat klinik yang optima
l dan memberikan keamanan bagi pasien. Misalkan pemberian obat Gentamicyn yang
diperlukan untuk tujuan sistemik, maka sebaiknya dipilih lewat parenteral. NSAIDs yang
diberikan pada penderita gastritis sebaiknya dilakukan pemberian per rectal.

b. Aturan dosis (dosis dan jadwal pemberian) obat

Dosis yang ideal adalah dosis yang diberikan per individual. Hal ini mengingat bahwa
respon penderita terhadap obat sangat individualistis. Penentuan dosis perlu
mempertimbangkan:

1) kondisi pasien (seperti: umur, berat badan, fisiologi dan fungsi organ tubuh)

2) kondisi penyakit ( akut, kronis, berat/ringan)

3) Indeks terapi obat (lebar/sempit)

4) variasi kinetik obat

45
5) cara/rumus perhitungan dosis anak ( pilih yang paling teliti)

Perhitungan dosis pada anak secara ideal menggunakan dasar ukuran fisik (berat badan atau
luas permukaan tubuh). Apabila dosis anak dihitung dengan perbandingan dengan dosis
dewasa, yaitu dengan memakai rumus perhitungan dosis anak (antara lain Young, Clark),
maka perlu diperhatikan tentang ketelitian dari rumus yang dipakai.

JADWAL PEMBERIAN

Jadwal pemberian ini meliputi frekuensi, satuan dosis per kali dan saat/waktu pem
berian obat. Dalam resep tertuang dalam unsur signatura.

FREKUENSI

Frekuansi artinya berapa kali obat yang dimaksud diberikan kepada pasien. Jumlah
pemberian tergantung dari waktu paruh obat (T
1/2), BSO, dan tujuan terapi. Obat anti asma diberikan kalau sesak (p.r.n) namum
bila untuk menjaga agar tidak terjadi serangan asma dapat diberikan secara teratur misal 3 x
sehari (t.d.d)

SAAT/WAKTU PEMBERIAN

Hal ini dibutuhkan bagi obat tertentu supaya dalam pemberiannya memiliki efek optimal,
aman dan mudah di
kuti pasien. Misal: Obat yang absorbsinya terganggu oleh makanan sebaiknya
diberikan saat perut kosong 1/2 – 1 jam sebelum makan (1/2 – 1 h. a.c), obat yang
mengiritasi lambung diberikan sesudah makan (p.c) dan obat untuk memepermudah tidur
diberikan sebelum tidur (h.s), dl .

LAMA PEMBERIAN

Lama pemberian obat didasarkan perjalanan penyakit atau menggunakan pedoman


pengobatan yang sudah ditentukan dalam pustaka/RS. Misalkan pemberian antibiotika
dalam
waktu tertentu (2 hari setelah gejala hilang untuk menghindari resistensi kuman,
obat simtomatis hanya perlu diberikan saat simtom muncul (p.r.n), dan pada penyaklit
kronis (misalasma, hipertensi, DM) diperlukan pemberian obat yang terus menerus atau
sepanjang hidup (ITER!)

3. Pemilihan BSO yang tepat

46
Pemilihan BSO dalam preskripsi perlu dipertimbangkan agar pemberian obat optimal
dan hargaterjangkau. Faktor ketaatan penderita, factor sifat obat, bioaviabilitas dan faktor
sosial ekonomi dapat digunakan sebagai pertimbangan pemilihan BSO

4. Pemilihan formula resep yang tepat

Ada 3 formula resep yang dapat digunakan untuk menyusunan preskripsi


dokter (Formula marginalis, officialis atau spesialistis). Pemilihan formula tersebut perlu
mempertimbangkan:

- Yang dapat menjamin ketepatan dosis (dosis individual)

- Yang dapat menajaga stabilitas obat

- Agar dapat menjaga kepatuhan pasien dalam meminum obat

- Biaya/harga terjangkau

5. Penulisan preskripsi dalam blanko resep yang benar (lege artis)

Preskripsi lege artis maksudnya adalah ditulis secara jelas, lengkap (memuat 6 unsur
yang harus ada di dalam resep) dan sesuai dengan aturan/pedoman baku serta
menggunakan singkatan bahasa latin baku, pada blanko standar (ukuran lebar 10-12 cm,
panjang 15-18 cm)

6. Pemberian informasi bagi penderita yang tepat

Cara atau aturan harus tertulis lengkap dalam resep, namun dokter juga
masih harus menjelaskan kepada pasien. Demikian pula hal-
hal atau peringatan yang perlu disampaikan
tentang obat dan pengobatan, misal apakah obat harus diminum sampai habis/ti
dak, efek samping, dl . Hal ini dilakukan untuk ketaatan pasien dan mencapai rasionalitas
peresepan

 Evaluasi dalam penggunaan obat antara lain sebagai berikut (WHO, 2003) :
1. Jumlah rata – rata obat tiap resep
Tujuannya untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasi obat
dihitung sebagai 1 obat. Perhitungan dilakukan dengan membagi jumlah total produk
obat yang diresepkan dengan jumlah resep yang disurvei.
2. Persentase obat generik yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik
3. Persentase antibiotik yang diresepkan

47
Digunakan untuk mengukur penggunaan antibiotik secara berlebihan karena
penggunaan antibiotik secara berlebihan merupakan salah satu bentuk
ketidakrasionalan peresepan.
4. Persentase injeksi yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur penggunaan injeksi yang berlebihan.
5. Persentase obat yang diresepkan dari formularium
Tujuannya untuk mengukur derajat kesesuaian praktek dengan kebijakan obat
nasional yang diindikasikan dengan peresepan dari formularium. Tiap rumah sakit harus
mempunyai formularium sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan resep serta
dibutuhkan suatu prosedur untuk menentukan apakah suatu merk produk tertentu
ekuivalen dengan bentuk generik yang ada pada daftar obat atau formularium.

C. PEDOMAN CARA PENULISAN RESEP DOKTER

1. Ukuran blanko resep (ukuran lebar 10-12 cm, panjang 15-18 cm)
2. 1 (satu ) lembar resep maksimal 6 item obat
3. Penulisan nama obat (Bagian Inscriptio):
a. Dimulai dengan huruf besar
b. Ditulis secara lengkap atau dengan singkatan resmi (dalam farmakope Indonesia atau
nomenklatur internasional) misal: ac. Salic; acetosal
c. Tidak ditulis dengan nama kimia (missal: kali chloride dengan KCl) atau singkatan lain
dengan huruf Kapital (missal clorpromazin dengan CPZ)
4. Penulisan jumlah obat
Satuan berat: mg (miligram), g, G (gram)
Sataun volume: ml (mililiter), l (liter)
Satuan unit: IU/IU (Internasional Unit)
5. Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka Romawi. Misal:

- Tab Novalgin no. XII

- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)

- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X

d. Penulisan alat penakar:

Dalam singkatan bahasa latin dikenal:

C. = sendok makan (volume 15 ml)

Cth. = sendok teh (volume 5 ml)

Gtt. = guttae (1 tetes = 0,05 ml)

48
Catatan: Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah tangga karena
volumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan 5 ml untuk sendok teh. Gunakan sendok
plastik (5 ml) atau alat lain ( volume 5, 10, 15 ml) yang disertakan dalam sediaaan cair paten.

e. Arti prosentase (%)

0,5% (b/b) → 0,5 gram dalam 100 gram sediaan

0,5% (b/v) → 0,5 gram dalam 100 ml sediaan

0,5% (v/v) → 0,5 ml dalam 100 ml sediaan

f. Hindari penulisan dengan angka desimal (misal: 0,…; 0,0….; 0,00…)


6. Penulisan kekuatan obat
a. Penulisan kekuatan obat dalam sediaan obat jadi (generik/paten) yang beredar di pasaran
dengan beberapa kekuatan, maka kekuatan yang diminta harus ditulis, misalkan
Tab. Primperan 5 mg atau Tab. Primperan 10 mg
b. Penulisan volume obat minum dan berat sediaan topikal dalam tube dari sediaan jadi/paten
yang tersedia beberapa kemasan, maka harus ditulis, misal:

- Al erin exp. Yang volume 60 ml atau 120 ml

- Garamycin cream yang 5 mg/tube atau 15mg/tube

7. Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan tidak h


anya untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis dan spesialistis

Misal: m.f.l.a.pulv. No. X

Tab Antangin mg 250 X

Tab Novalgin mg 250 X

8. Penulisan jadwal dosis/aturan pemakaian (bagian signatura)

a. Harus ditulis dengan benar

Misal: S.t.d.d. pulv. I.p.c atau s.p.r.n.t.d.d.tab.I

b. Untuk pemakaian yang rumit seperti pemakaian ”tapering up/down” gunakan tanda s.u.c
(usus cognitus = pemakaian sudah tahu). Penjelasan kepada pasien ditulis pada kertas dengan
bahasa yang dipahami.

49
9. Setiap selesai menuliskan resep diberi tanda penutup berupa garis penutup (untuk 1 R/)
atau tanda pemisah di antara R/ (untuk > 2R/) dan paraf/tanda tangan pada setiap R/.
10. Resep ditulis sekali jadi, tidak boleh ragu-ragu, hindari coretan, hapusan dan tindasan.
11. Penulisan tanda Iter (Itteretur/ harap diulang) dan N.I. (Ne Iterretur/tidak boleh diulang)
Resep yang memerlukan pengulanagan dapat diberi tanda: Iter n X di sebelah kiri atas
dari resep untuk seluruh resep yang diulang. Bila tidak semua resep, maka ditulis
di bawah setiap resep yang diulang. Resep yang tidak boleh diulang, dapat diberi tanda:
NI di sebelah kiri atas dari resep untuk seluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak
semua resep, maka ditulis di bawah setiap resep yang diulang.
12. Penulisan tanda Cito atau PIM
Apabila diperlukan agar resep segera dilayani karena obat sangat diperlukan bag
i penderita, maka resep dapat diberi tanda Cito atau PIM dan harus ditulis di sebelah
kanan atas resep.

D. PENGKAJIAN RESEP

Kegiatan dalam pelayanan kefarmasian yang dimulai dari seleksi persyaratan administarasi,
persyaratan farmasi dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi :
• Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
• Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter
• Tanggal resep
• Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasi meliputi :
• Bentuk dan kekuatan sediaan
• Dosis dan Jumlah obat
• Stabilitas dan ketersediaan
• Aturan, cara dan tehnik penggunaan
Persyaratan klinis meliputi :
• Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat
• Duplikasi pengobatan
• Alergi, interaksi dan efek samping obat
• Kontra indikasi
• Efek aditif
Jika Ada Keraguan terhadap Resep hendaknya di Konsultasikan kepada Dokter
 penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya, bila perlu meminta
persetujuan setelah pemberitahuan.
Prosedur tentang Peracikan
1. Memberikan tempat dan peralatan kerja.

50
2. Mengambil obat atau bahan dari wadahnya menggunakan alat yang sesuai misalnya sendok /
spatula, nama dan jumlah obat sesuai yang di minta, memeriksa mutu secara organoleptis dan
tanggal kadaluarsa obat.
3. Untuk sediaan:
- Sirup kering : Membersihkan sediaan sirup kering harus dalam keadaan sudah dicampur
air matang sesuai dengan takarannya (tanda batas) pada saat akan di serahkan kepada pasien.
- Sediaan Obat Racikan, langkah-langkah sebagai berikut:
Menghitung kesesuaian dosis.
Menyiapkan pembungkus dan wadah obat racikan sesuai dengan kebutuhan.
Menyiapkan dan mengambil obat sesuai kebutuhan.
Tidak mencampur antibiotika dengan obat lain dalam satu sediaan.
Menghindari penggunaan alat yang sama untuk mengerjakan sediaan yang mengandung
beta laktam dan nonbeta laktam.
Menggerus obat yang jumlahnya sedikit terlebih dahulu, lalu digabungkan dengan obat
yang jumlahnya lebih besar, digerus sampai homogen.
Membagi obat dengan rata.
Mengemas racikan obat sesuai dengan permintaan dokter.
Puyer tidak di sediakan dalam jumlah besar sekaligus.
4. Menuliskan nama pasien, Tanggal, Nomor dan Aturan pakai pada etiket yang sesuai dengan
permintaan dalam Resep dengan jelas dan dapat di baca. Etiket putih untuk obat dalam, Etiket
biru untuk oabt luar dan label kocok dahulu untuk sediaan emulsi dan susupensi.
5. Memeriksa kembali jenis dan jumlah obat sesuai permintaan pada resep, lalu memasukkan
obat kedalam wadah yang sesuai agar terjaga mutunya.

E. ALUR PELAYANAN RESEP

51
F. DISPENSING

Merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari tahap validasi, interpretasi,


menyiapkan/meracik obat, memberikan label/etiket, penyerahan obat dengan pemberian
informasi obat yang memadai disertai system dokumentasi.
Tujuan
 Mendapatkan dosis yang tepat dan aman
 Menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan secara oral atau
emperal
 Menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan bermutu.
 Menurunkan total biaya obat
Dispensing dibedakan berdasarkan atas sifat sediaannya :
 Dispensing sediaan farmasi khusus
1. Dispensing sediaan farmasi parenteral nutrisi
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga
yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas sediaan,
formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.
Kegiatan :
 Mencampur sediaan karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral untuk kebutuhan
perorangan.
 Mengemas ke dalam kantong khusus untuk nutrisi
Faktor yang perlu diperhatikan :
 Tim yang terdiri dari dokter, apoteker, perawat, ahli gizi.
 Sarana dan prasarana
 Ruangan khusus
 Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
 Kantong khusus untuk nutrisi parenteral

2. Dispensing sediaan farmasi pencampuran obat steril


Melakukan pencampuran obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin
kompatibilitas, dan stabilitas obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang ditetapkan.
Kegiatan :

52
 Mencampur sediaan intravena kedalam cairan infuse
 Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai
 Mengemas menjadi sediaan siap pakai
Faktor yang perlu diperhatikan :
• Ruangan khusus
• Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
• HEPA Filter
3. Dispensing Sediaan Farmasi Berbahaya
Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap pakai sesuai
kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan pengendalian pada keamanan
terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan obatnya dari efek toksik dan kontaminasi,
dengan menggunakan alat pelindung diri, mengamankan pada saat pencampuran, distribusi,
maupun proses pemberian kepada pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur yang
ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai, sehingga kecelakaan terkendali.
Kegiatan :
􀂅 Melakukan perhitungan dosis secara akurat
􀂅 Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
􀂅 Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan
􀂅 Mengemas dalam kemasan tertentu
􀂅 Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku
Faktor yang perlu diperhatikan :
• Cara pemberian obat kanker
• Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai
• Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
• Hepa Filter
• Pakaian khusus
• Sumber Daya Manusia yang terlatih

G. EVALUASI STOK OBAT DAN BHP (STOCK OFF NAME)

Kegiatan ini adalah perhitungan perbekalan kesehatan yang dilakukan secara periodik.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengecek kesesuaian jumlah obat dengan data yang ada pada kartu
stock juga untuk pengawasan perputaran obat.

H. PELAYANAN PERESEPAN NARKOTIK

53
Berdasarkan Dirjen POM Depkes RI No.011/EE/SE/X/1998 tentang pelayanan Salinan
Resep Narkotika yang dimaksud dengan :
1. Pelayanan Salinan Resep Dokter yang mengandung Narkotika adalah menyerahkan Narkotika
atas dasar salinan resep dari suatu Apotek yang menyimpan resep asli baik sebagian maupun
seluruhnya.
2. Larangan tentang Penyerahan Narkotika menurut UU No.99 Tahun 1976 tentang Narkotika
3. Depo farmasi dilarang mengulangi penyerahan Narkotika atas dasar resep yang sama dari
seorang Dokter.
4. Depo farmasi dilarang menyerahkan Narkotika atas dasar Salinan Resep yang sama dari
seorang Dokter.
5. Salinan Resep Dokter yang mengandung Narkotika yang belum diserahkan hanya boleh
dilayani oleh Apoteker yang menyimpan Resep Asli.
6. Larangan tentang Penyerahan Narkotika menurut Surat Edaran Dirjen POM Depkes RI
No.336/E/SE/77 tanggal 4 Mei 1977.
- Apotek dilarang melayani copy resep yang mengandung Narkotika.
- Resep Narkotika yg baru dilayani sebagian atau belum dilayani semuanya, apotek boleh
membuat copy resep, tetapi yang boleh melayani copy resep tersebut hanya apotek yg
menyimpan resep aslinya.
- Copy resep narkotika ITER tidak boleh dilayani sama sekali.
7. Depo farmasi yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan diatas dapat diberikan peringatan
keras dengan ancaman akan dikenakan sanksi penghentian kegiatan sementara apabila masih
melakukan pelanggaran.

I. PELAYANAN VERIFIKASI OBAT

Standar akreditasi 2012 bab MPO / JCI chapter MMU memberi perhatian khusus pada proses
penggunaan obat. Perhatian khusus itu berupa:
1) Review / tinjauan sebelum penyiapan obat (MMU.5.1).
2) Verifikasi sebelum pemberian obat (MMU.6.1).

Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini:

54
Kedua hal itu sangat penting untuk menjamin obat sampai ke pasien dengan benar.

Untuk mempermudah penerapannya, sebaiknya kita menggunakan alat bantu berupa check list
pada proses review dan verifikasi. Check list itu harus selalu digunakan setiap melakukan
penyiapan atau pemberian obat.

Sebagai catatan, prosedur ini tidak berlaku pada:

1) Kondisi darurat,
2) Dokter pemesan hadir pada saat pemesanan, pemberian, dan pemantauan pasien; atau
3) Jika obat merupakan bagian dari prosedur (misal untuk radiologi diagnostik dan intervensi).

Contoh check list dapat dilihat di bawah ini:

55
J. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak
diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi.
Tujuan :
 Menemukan ESO (Efek Samping Obat) sedini mungkin terutama yang berat, tidak dikenal,
frekuensinya jarang.
 Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping Obat yang sudah dikenal sekali, yang baru
saja ditemukan.
 Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi timbulnya Efek
Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya Efek Samping Obat.
Kegiatan :
 Menganalisa laporan Efek Samping Obat
 Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami Efek
Samping Obat
 Mengisi formulir Efek Samping Obat
 Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional
Faktor yang perlu diperhatikan :
• Kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi dan ruang rawat
• Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat

K. PELAYANAN INFORMASI OBAT

Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan


informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya dan pasien.
Tujuan
 Menyediakan informasi mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan dilingkungan
rumah sakit.
 Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat,
terutama bagi Panitia/Komite Farmasi dan Terapi.
 Meningkatkan profesionalisme apoteker.
 Menunjang terapi obat yang rasional.
Kegiatan :
 Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara aktif dan pasif.

56
 Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui telepon, surat atau
tatap muka.
 Membuat buletin, leaflet, label obat.
 Menyediakan informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan dengan
penyusunan Formularium Rumah Sakit.
 Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap.
 Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan lainnya.
 Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
􀂅 Sumber informasi obat
􀂅 Tempat
􀂅 Tenaga
􀂅 Perlengkapan

Prosedur tetap Pelayanan informasi obat


a. Dalam pelayanan resep
Memberi informasi kepada pasien saat menyerahkan obat, terdiri dari :
Waktu penggunaan obat, misalnya beberapa kali obat digunakan dalam sehari, apakah di waktu
pagi, siang, sore atau malam.
 Dalam hal ini termasuk apakah obat diminum sebelum atau sesudah makan.
 Tetes Lama penggunaan obat, apakah selama keluhan masih ada atau harus di habiskan
untuk mencegah timbulnya resistensi.
 Cara penggunaan obat yang benar akan menentukan keberhasilan pengobatan. Oleh
karena itu, pasien harus mendapat penjelasan mengenai cara penggunaan obat yang benar
terutama untuk sediaan farmasi tertentu seperti obat oral, obat mata, salep mata, obat
tetes hidung, obat semprot hidung, tetes telinga, suppositoria dan krim atau salep serta
rektal atau vagina.
 Efek yang akan timbul dari penggunaan obat, misalnya berkeringat, mengantuk, kurang
waspada, tinja berupa warna, air kencing berubah warna dan sebagainya.
 Hal-hal yang mungkin timbul, misalnya interaksi obat dengan obat lain atau makan tertentu
dengan diet rendah kalori, kehamilan dan menyusui.
b. Menerima dan menjawab pertanyaan
 Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung dengan
jelas dan mudah di mengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui penelusuran literatur
secara sistematis untuk memberi informasi yang dibutuhkan.
 Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis.

L. KONSELING

57
Merupakan suatu proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian
masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat jalan
dan pasien rawat inap.
Tujuan :
Memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan
mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama
penggunaan obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, cara penyimpanan obat dan
penggunaan obat-obat lain.
Kegiatan :
 Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
 Menanyakan hal-hal yang menyangkut obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien
dengan metode open-ended question
 Apa yang dikatakan dokter mengenai obat
 Bagaimana cara pemakaian
 Efek yang diharapkan dari obat tersebut.
 Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan obat
 Verifikasi akhir : mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah
yang berhubungan dengan cara penggunaan obat, untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
Faktor yang perlu diperhatikan :
􀂅 Kriteria pasien :
• Pasien rujukan dokter
• Pasien dengan penyakit kronis
• Pasien dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan polifarmasi
• Pasien geriatric dan Pasien pediatrik.
• Pasien pulang sesuai dengan kriteria diatas
􀂅 Sarana dan Prasarana :
• Ruangan khusus
• Kartu pasien/catatan konseling

M. PEMANTAUAN KADAR OBAT DALAM DARAH

Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter yang
merawat karena indeks terapi yang sempit.
Tujuan :
􀂅 Mengetahui kadar obat dalam darah
􀂅 Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat
Kegiatan :

58
􀂅 Memisahkan serum dan plasma darah
􀂅 Memeriksa kadar obat yang terdapat dalam plasma dengan menggunakan alat TDM
􀂅 Membuat rekomendasi kepada dokter berdasarkan hasil pemeriksaan
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
􀂅 Alat Therapeutic Drug Monitoring
􀂅 Reagen sesuai obat yang diperiksa

N. RONDE/VISITE

Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan tenaga
kesehatan lainnya
Tujuan :
 Pemilihan obat
 Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
 Menilai kemajuan pasien
 Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
Kegiatan :
 Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan tersebut
kepada pasien.
 Untuk pasien baru dirawat, Apoteker harus menanyakan terapi obat terdahulu dan
memperkirakan masalah yang mungkin terjadi.
 Apoteker memberikan keterangan pada formulir resep untuk menjamin penggunaan obat
yang benar.
 Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat akan berguna untuk pemberian obat.
 Setelah kunjungan membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah
dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap Apoteker yang berkunjung ke ruang
pasien untuk menghindari pengulangan kunjungan.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
􀂅 Pengetahuan cara berkomunikasi
􀂅 Memahami teknik edukasi
􀂅 Mencatat perkembangan pasien

O. PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT

Merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan


untuk menjamin obatobat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh
pasien.
Tujuan :

59
 Mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan obat pada pelayanan
kesehatan/dokter tertentu.
 Membandingkan pola penggunaan obat pada pelayanan kesehatan/dokter satu dengan yang
lain.
 Penilaian berkala atas penggunaan obat spesifik
 Menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
o Indikator peresepan
o Indikator pelayanan
o Indikator fasilitas

P. INTERAKSI OBAT

Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi
obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang
signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama.
Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang pertama,
interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat. Yang kedua, interaksi
obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang serius, karena meningkatnya
efek samping dari obat- obat tertentu. Resiko kesehatan dari interaksi obat ini sangat bervariasi,
bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat namun bisa pula fatal.

Obat merupakan bahan kimia yang memungkinkan terjadinya interaksi bila tercampur
dengan bahan kimia lain baik yang berupa makanan, minuman ataupun obat-obatan. Interaksi
juga terjadi pada berbagai kondisi kesehatan seperti diabetes, penyakit ginjal atau tekanan darah
tinggi. Dalam hal ini terminologi interaksi obat dikhususkan pada interaksi obat dengan obat.
Dalam interaksi obat-obat, obat yang mempengaruhi disebut presipitan, sedangkan obat
yang dipengaruhi disebut objek. Contoh presipitan adalah aspirin, fenilbutazon dan sulfa. Object
drug biasanya bersifat mempunyai kurva dose-response yang curam (narrow therapeutic margin),
dosis toksik letaknya dekat dosis terapi (indeks terapi sempit). Contoh : digoksin, gentamisin,
warfarin, dilantin, obat sitotoksik, kontraseptif oral, dan obat-obat sistem saraf pusat.
Berdasarkan jenis atau bentuknya interaksi obat diklasifikasikan atas:

1. Interaksi secara kimia atau farmasetis

2. Interaksi secara farmakokinetik

3. Interaksi secara fisiologi

4. Interaksi secara farmakodinamik

 Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia suatu obat
inkompatibel dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang inkompatibel akan

60
mengakibatkan inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi pada cairan infus yang
mencampurkan berbagai macam obat .
 Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi absorpsi,
distribusi, biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain.
 Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat lain pada
lokasi yang terpisah dari tempat aksinya.
 Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat
mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya.

Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi yang
menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit: probenesit menghambat sekresi
penicillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin dalam plasma dan dengan
demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2) Kombinasi obat anti hipertensi:
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga
meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis:
memperlambat timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat
oleh antidotnya masing-masing.

Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan toksisitas dan
atau mengurangi efektifitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan
batas keamanan yang sempit, misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat
sitotastik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat yang biasa digunakan atau yang
sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang dipakai sekali-kali.

Q. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG INTERAKSI OBAT

Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena :

1. Dokumentasinya masih sangat kurang


2. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter akan
mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa
peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat
sedangkan interaksi berupa penurunan efektifitas seringkali diduga akibat bertambahnya
keparahan penyakit; selain itu, terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit
untuk diingat
3. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih
peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan
kapasitas metabolisme antar individu ), penyakit tertentu ( terutama gagal ginjal atau
penyakit hati yang parah), dan faktor- faktor lain ( dosis besar, obat ditelan bersama-sama,
pemberian kronik).
4. Usia
Fisiologi tubuh, metabolisme dan eliminasi pada bayi, anak dan orang dewasa berbeda.

61
5. Bobot Badan
Perbandingan dosis obat – bobot badan menentukan konsentrasi obat yang mencapai
sasaran.
6. Kehamilan
Pengosongan lambung↑, metabolisme ↑, ekskresi/filtrasi glomerolus ↑.
7. Obat Dalam Asi
Ampisilin, eritromisin, kanamisin, linkomisin, kloramfenikol, rifampisin, streptomisin sulfat,
tetrasiklin, dll.
8. Variasi Diurenal
Hormon kortikosteroid dari korteks adrenal pada pagi hari ↑, mlm hari ↓
9. Toleransi
MK : Induksi enzim
10. Suhu Tubuh
Distribusi ekskresi, ikatan, aktivitas enzim
11. Kondisi Patologik
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal.
12. Genetik
Defisiensi enzim
13. Waktu Pemberian
Sesudah makan/ sebelum makan

R. MEKANISME DASAR INTERAKSI OBAT

Pada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya dengan satu
mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi secara umum mekanisme
interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua mekanisme utama, yaitu interaksi
farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan mekanisme berikut:

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan


(interaksi farmakodinamik).

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki efek
farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi
karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem
fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi dari pengetahuan tentang
farmakologi obat-obat yang berinteraksi

62
Interaksi farmakodinamik meliputi aditif , potensiasi, sinergisme dan antagonisme.
Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada
jaringan atau reseptor.

2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi farmakokinetik).


a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya,
pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau
peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).
b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga
perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara
substansial).
c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar
konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak
menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang
sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat
antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat
imunosupresan

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi,


metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat
yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya

Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva
(AUC), onset aksi, waktu paruh dsb

Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian bersamaan
dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat berinteraksi, tetapi
kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme,
eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas kombinasi.

Pengetahuan tentang mekanisme dimana timbulnya interaksi obat yang diberikan sering
bermanfaat secara klinik, karena mekanisme dapat mempengaruhi baik waktu pemberian
obat maupun metode interaksi. Beberapa interaksi obat yang penting timbul akibat dua
mekanisme atau lebih.

Akibat interaksi obat dapat terjadi keadaan :

a) Sumasi (adiktif).
b) Sinergisme, contoh : Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa dihidrofolat,
sedangkan trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Kedua
obat ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek sinergistik yang kuat sebagai
obat anti bakteri.

63
c) Antagonisme, contoh : Antagonis reseptor beta (beta bloker) mengurangi efektifitas obat-
obat bronkhodilator seperti salbutamol yang merupakan agonis beta reseptor.

d) Potensiasi, contoh :
1) Banyak diuretika yang menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akan
memperkuat efek glikosid jantung yang mempermudah timbulnya toksisitas
glikosid.
2) Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di ujung syaraf
adrenergik dan karena itu memperkuat efek obat-obat seperti efedrin dan tiramin
yang bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin.

S. INTERAKSI OBAT BERMAKNA KLINIS

1. OBAT YANG RENTANG TERAPINYA SEMPIT


Contoh: antiepilepsi, digoksin, lithium, siklosporin, warfarin
2. OBAT YANG MEMERLUKAN PENGATURAN DOSIS TELITI
Contoh: antihipertensi
3. PENGINDUKSI ENZIM
Contoh: asap rokok, barbiturat, fenitoin, griseofulvin, karbamzepin, rifampisin.

4. PENGHAMBAT ENZIM
Contoh: amiodaron, diltiazem, eritromisin, ketokonazol, metronidazol, simetidin,
siprofloksasin, verapamil

T. HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN INTERAKSI OBAT

1. Tidak semua obat yang berinteraksi signifikan scr klinik


2. Interaksi tidak selamanya merugikan.
3. Jika dua obat berinteraksi tidak berarti tidak boleh diberikan
4. Interaksi tidak hanya untuk terapi yang berbeda tetapi kadang untuk mengobati penyakit yang
sama.
5. Interaksi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengobatan.

U. GUNA INTERAKSI OBAT

1. MENINGKATKAN KERJA OBAT


Contoh : sulfametoksasol, analgetik dan kafein
2. MENGURANGI EFEK SAMPING
Contoh : anestetika dan adrenalin
3. MEMPERLUAS SPEKTRUM

64
Contoh : kombinasi antiinfeksi
4. MEMPERPANJANG KERJA OBAT
Probenesid dan penisilin.

V. PASIEN YANG RENTAN TERHADAP INTERAKSI OBAT

 Pasien lanjut usia


 Pasien yang mengkonsumsi lebih dari satu macam obat
 Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati
 Pasien dengan penyakit akut
 Pasien dengan penyakit yang tidak tidak stabil (kadang kambuh)
 Pasien dengan karakteristik genetik tertentu
 Pasien yang dirawat oleh lebih dari satu dokter.

W. PERAN APOTEKER DAN ASISTEN APOTEKER DALAM MENCEGAH INTERAKSI OBAT

Satu prinsip yang harus menjadi perhatian utama saat memberikan informasi kepada
pasien mengenai penggunaan obat adalah pastikan pasien untuk mengikuti petunjuk yang
diberikan agar dapat memperoleh manfaat yang maksimum dengan resiko minimum dari obat
yang diminum. Adapun informasi yang perlu disampaikan kepada pasien mengenai hal-hal yang
perlu diperhatikan sebelum mengkonsumsi obat, terkait dengan kemungkinan adanya interaksi
dengan makanan atau minuman adalah :
 Pasien harus mentaati petunjuk yang terdapat pada label atau etiket yang melengkapi.
 Kapan obat seharusnya dikonsumsi, apakah sebelum atau sesudah makan, atau bersamaan
dengan makanan. Atau pada saat perut kosong.
 Boleh tidaknya obat dikonsumsi bersamaan dengan susu, kopi, teh, atau minuman lain
seperti minuman ringan atau alcohol
 Efek yang mungkin terjadi jika suatu obat dikonsumsi dengan makanan, misalnya bisa
menurunkan atau meningkatkan absorbsi obat, atau bisa mengiritasi lambung jika diberikan
sebelum makan.

X. PENYIMPANAN PRODUK NUTRISI

a. Faktor Sistem Penyimpanan


Sistem penyimpanan menggunakan gabungan antara metode FIFO dan metode FEFO.
Metode FIFO (First in First Out), yaitu produk yang baru masuk diletakkan di belakang obat
yang terdahulu, sedangkan metode FEFO (first expired first out) dengan cara menempatkan
produk yang mempunyai ED (expired date) lebih lama diletakkan di belakang produk yang
mempunyai ED lebih pendek. Proses penyimpanannya memprioritaskan metode FEFO, baru

65
kemudian dilakukan metode FIFO. Barang yang ED-nya paling dekat diletakkan di depan
walaupun barang tersebut datangnya belakangan. Ruang penyimpanan terdapat pengaturan
suhu dan kelembaban yang dilakukan secara berkala.
Standar di Rumah Sakit
 Lokasi menyatu dengan sistem pelayanan rumah sakit.
 Luas yang cukup
 Dipisahkan antara fasilitas penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung pada pasien,
dispensing, serta pembuangan limbah.
 Dipisahkan antara jalur steril, bersih, daerah abu-abu, serta daerah bebas kontaminasi.
 Adanya pengaturan suhu.
 Adanya pengaturan sinar.
 Adanya pengaturan kelembaban.
Hambatan dari aspek gedung dan ruangan dapat diatasi dengan cara:
1) Membuat satelit gudang farmasi yang ditempatkan di setiap bangsal perawatan. Gudang
utama berfungsi sebagai Safety Stock, sedangkan satelit digunakan untuk mempermudah
permintaan dan pengiriman obat antara gudang utama dan bangsal perawatan.
2) Menerapkan model Computerize Inventory, yaitu lemari inventory/logistik yang dilengkapi
dengan sistem komputerisasi, menggunakan password yang dapat diakses tiap satelit di
bangsal untuk mempermudah permintaan obat ke gudang utama.
Persyaratan ruang penyimpanan :
1) Accesibility, adalah ruang penyimpanan harus mudah dan cepat diakses.
2) Size, ruang penyimpanan harus cukup untuk menampung barang yang ada.
3) Utilities, ruang penyimpanan memiliki sumber listrik, air, AC, dan sebagainya.
4) Communication, ruang penyimpanan harus memiliki alat komunikasi misalnya telepon.
5) Drainage, ruang penyimpanan harus berada di lingkungan yang baik dengan sistem
pengairan yang baik pula.
6) Security, ruang penyimpanan harus aman dari resiko pencurian dan penyalahgunaan serta
hewan pengganggu.

Y. PENYIMPANAN BAHAN RADIOAKTIF

Radiasi dari bahan radioaktif dapat menimbulkan efek somatik dan efek genetik, efek
somatik dapat akut atau kronis. Efek somatik akut bila terkena radiasi 200[Rad] sampai
5000[Rad] yang dapat menyebabkan sindroma system saraf sentral, sindroma gas trointestinal
dan sindroma kelainan darah, sedangkan efek somatik kronis terjadi pada dosis yang
rendah. Efek genetik mempengaruhi alat reproduksi yang akibatnya diturunkan pada
keturunan. Bahan ini meliputi isotop radioaktif dan semua persenyawaan yang mengandung
radioaktif. Pemakai zat radioaktif dan sumber radiasi harus memiliki instalasi fasilitas atom,
tenaga yang terlatih untuk bekerja dengan zat radioaktif, peralatan teknis yang diperlukan dan

66
mendapat izin dari BATAN. Penyimpanannya harus ditempat yang memiliki peralatan cukup
untuk memproteksi radiasi, tidak dicampur dengan bahan lain yang dapat membahayakan,
packing/kemasan dari bahan radioaktif harus mengikuti ketentuan khusus yang telah ditetapkan
dan keutuhan kemasan harus dipelihara. Peraturan perundangan mengenai bahan radioaktif
diantaranya :

 Undang-Undang Nomor 31/64 Tentang Ketentuan Pokok Tenaga Atom


 Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 Tentang Keselamatan Kerja terhadap radiasi
 Peraturan pemerintah No. 12 Tahun 1975 Tentang izin Pemakaian Zat Radioaktif dan atau
Sumber Radiasi lainnya
 Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 Tentang Pengangkutan Zat Radioaktif

Pemasangan Label dan Tanda Pada Bahan Berbahaya

Pemasangan label dan tanda dengan memakai lambang atau tulisan peringatan pada
wadah atau tempat penyimpanan untuk bahan berbahaya adalah tindakan pencegahan yang
esensial. Tenaga kerja yang bekerja pada proses produksi atau pengangkutan biasanya belum
mengetahui sifat bahaya dari bahan kimia dalam wadah/packingnya, demikian pula para
konsumen dari barang tersebut, dalam hal inilah pemberian label dan tanda menjadi sangat
penting.

Peringatan tentang bahaya dengan label dan tanda merupakan syarat penting dalam
perlindungan keselamatan kerja, namun hal tersebut tidak dapat dianggap sebagai
perlindungan yang sudah lengkap, usaha perlindungan keselamatan lainnya masih tetap
diperlukan. Lambang yang umum dipakai untuk bahan kimia yang memiliki sifat berbahaya
adalah sebagai berikut:

.Gambar 2 Tanda bahaya dari bahan kimia

Keterangan :

E = Dapat Meledak T = Beracun

67
F+ = Sangat Mudah Terbakar C = Korosif

F = Mudah Terbakar Xi = Iritasi

O = Pengoksidasi Xn = Berbahaya Jika Tertelan

T+ = Sangat Beracun N = Berbahaya Untuk Lingkungan

Z. PENANGANAN OBAT EMERGENSI

Emergensi adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada kondisi
gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian. Pengelolaan pasien
yang terluka parah memerlukaan penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat untuk
menghindari kematian. Obat-obatan emergency atau gawat darurat adalah obat-obat yang
digunakan untuk mengatasi situasi gawat darurat atau untuk resusitasi/life support. Pengetahuan
mengenai obat-obatan ini penting sekali untuk mengatasi situasi gawat darurat yang mengancam
nyawa dengan cepat dan tepat. Di RSUD H. Hanafie obat-obat emergensi di simpan terutama di
ruangan khusus seperti UGD, OK dan ICU, seringkali perawat memberikan injeksi obat-obatan
emergency kepada pasien dengan keadaan tertentu atas perintah dokter.

Tujuan : Untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat lainnya
dengan menggunakan obat-obatan

Perhatian !

 Pemberian obat-obatan adalah orang yang kompeten di bidangnya (dokter atau tenaga
terlatih di bidang gawat darurat)
 Mengingat banyaknya jenis-jenis kegawatdaruratan, maka pemberian obat yang disebutkan
di bawah ini untuk mengatasi kegawatdaruratan secara umum sedangkan dalam menghadapi
pasien, harus melihat kasus per kasus.

Jenis-jenis obat :

Epinephrin

 Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau syok
anfilaktik, hipotensi.
 Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan intratrakeal atau
transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau syok anafilaktik
dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit. Untuk terapi bradikardi atau
hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan dosis 1mg (1 mg = 1 : 1000) dilarutka

68
dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1 μg/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi
hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-10 μg/mnt
 Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan aliran
darah ke otak dan jantung

Lidokain (lignocaine, xylocaine)

 Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT, Ventrikel Ekstra
Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
 Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit sampai dosis total 3 mg/kg
BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai 24 jam
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
 Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama idioventrikuler

Sulfas Atropin

 Merupakan antikolinergik, bekerja menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim konduksi
AtrioVentrikuler
 Indikasi : asistole atau PEA lambat (kelas II B), bradikardi (kelas II A) selain AV blok derajat II tipe
2 atau derajat III (hati-hati pemberian atropine pada bradikardi dengan iskemi atau infark
miokard), keracunan organopospat (atropinisasi)
 Kontra indikasi : bradikardi dengan irama EKG AV blok derajat II tipe 2 atau derajat III.
 Dosis 1 mg IV bolus dapat diulang dalam 3-5 menit sampai dosis total 0,03-0,04 mg/kg BB,
untuk bradikardi 0,5 mg IV bolus setiap 3-5 menit maksimal 3 mg.
 dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena
diencerkan menjadi 10 cc

Dopamin

 Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah jantung
(cardiac output) dan tekanan darah meningkat
 Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul dopamine
dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa

Magnesium Sulfat

 Direkomendasikan untuk pengobatan Torsades de pointes pada ventrikel takikardi, keracunan


digitalis.Bisa juga untuk mengatasi preeklamsia
 Dosis untuk Torsades de pointes 1-2 gr dilarutkan dengan dektrose 5% diberikan selama 5-60
menit. Drip 0,5-1 gr/jam iv selama 24 jam

Morfin

69
 Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
 Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit

Kortikosteroid

 Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk mengurangi
edema cerebri

Natrium bikarbonat

 Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul pada henti
jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III) dan overdosis antidepresi
trisiklik.
 Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.
 Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.

Kalsium gluconat/Kalsium klorida

 Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot jantung
terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau efek transfusi
akibat darah donor yang disimpan lama
 Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan drip
 Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium klorida. Dalam
tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul Kalsium gluconat

Furosemide

 Digunakan untuk mengurangi edema paru dan edema otak


 Efek samping yang dapat terjadi karena diuresis yang berlebih adalah hipotensi, dehidrasi dan
hipokalemia
 Dosis 20 – 40 mg intra vena

Diazepam

 Digunakan untuk mengatasi kejang-kejang, eklamsia, gaduh gelisah dan tetanus


 Efek samping dapat menyebabkan depresi pernafasan
 Dosis dewasa 1 amp (10 mg) intra vena dapat diulangi setiap 15 menit.

DIGOXIN

 Efek: menurunkan kecepatan konduksi impuls yang melalui nodus arttrioventrikularis.


Meningkatkan kekuatan kontraksi jantung (efek inotropic positif)
 Sediaan: Injeksi: 250 mg/ml dalam ampul. Tablet: 62,5 mg, 125 mg

70
 Indikasi: aritmia supraventrikuler, atrial fibrilasi, gagal jantung
 Dosis:
IV: 0,5 mg dalam 15 menit dan diulang setelah 6 jam kemudian dilanjutkan pemberian
peroral.
Oral: Untuk digitalis cepat mulai dengan 0,75-1,5 mg diikuti dengan 0,25 mgsetiap 6 jam
sampai fibrilasi terkontrol. Dosis pemeliharaan: 0,25-0,5 mg/hari. Untuk digitalisasi
lambat mulai dengan 0,25-0,75 mg/hari sampai terjadi perbaikan kemudiandosis
dituunkan. Level digoxin dalam darah 1-2 mg/liter(therapeutik)

 Lama kerja: Half life: 34-51 jam dan lebih lama pada gagal ginjal
 Efek samping: Pada pasien dengan insufisiensi renal atau hipokalemia biasanya lebih mudah
terjadi keracunan digoxin dengan gejala: mual, muntah, aritmia (supraventikuler, bradikardia,
dan block) Ginecomastia (sangat jarang)
 Perhatian: pemberian digoxin intravena harus pelan atau perinfus dan hanya pada situasi
darurat. Dosis harus diturunkan bila pasien telah mendapat obat glikoside jantung yang lain
dalam waktu 72 jam sebelumnya

NALOXONE

 Efek: menetralisir efek obat opiat


 Sediaan: 400mg/ml dan 20 mg/ml dalam ampul 1 ml
 Indikasi: overdosis opiat, depresi karena opiat
 Dosis dewasa: 100-400 mg/kgBB, titrasi
 Pediatrik: 10 mg/kgBB, iv atau im
 Lama kerja: 30-60 menit
 Efek samping: bila naloxone digunakan untuk mereverse suatu over dosis opiat maka efek
analgesiknya akan ikut hilang sehingga problem nyeri akan timbul kembali terutama pada
pemberian naloxone dosis tinggi

NIFEDIPINE

 Efek: vasodilatasi perifer coroner


 Sediaan: tablet 5 mg, 10 mg. Tablet sustaind release: 20 mg
 Indikasi: hipertensi, angina
 Dosis: 20-40 mg tablet SR 2xsehari
 10-20 mg 3x sehari, 10 mg sublingual untuk hipertensi emergency
 Efek samping: sakit kepala, flusing, edema sendi ankle

Dosis pada anak-anak

71
Epinephrin Dosis 0,01/Kg BB dapat diulang 3-5 menit dengan dosis 0,01 mg/KgBB iv
(1:1000)
Atropin Dosis 0,02 mg/KgBB iv (minimal 0,1 mg) dapat diulangi dengan dosis 2 kali
maksimal 1mg
Lidokain Dosis 1 mg/KgBB iv
Natrium Dosis 1 meq/KgBB iv
Bikarbonat
Kalsium Klorida Dosis 20-25 mg/KgBB iv pelan-pelan
Kalsium Glukonat Dosis 60–100 mg/KgBB iv pelan-pelan
Diazepam Dosis 0,3-0,5 mg/Kg BB iv bolus
Furosemide Dosis 0,5-1 mg/KgBB iv bolus

Kriteria Penyimpanan Obat Emergensi


 Tempat menyimpan : TROLI/KIT/LEMARI/KOTAK OBAT EMERGENSI
 Akses terdekat dan selalu siap pakai
 Terjaga isinya/aman àkunci plastik dg no register dan Isi sesuai standar di masing-masing unit
dan tidak boleh dicampur obat lain
 Dipakai hanya untuk emergensi saja dan sesudah dipakai harus melaporkan untuk segera diganti
dan di cek secara berkala apakah ada yg rusak/kadaluwarsa

72
AA. PENANGANAN OBAT SITOSTATIKA **

Prosedur penanganan obat sitostatika yang aman perlu dilaksanakan untuk mencegah
risiko kontaminasi pada personel yang terlibat dalam preparasi, transportasi, penyimpanan dan
pemberian obat sitostatika. Potensial paparan pada petugas pemberian sitostatika telah banyak
diteliti. Falck dkk, th.1979 melaporkan bahwa perawat yang bekerja pada ward kemoterapi
tanpa perlindungan yang memadai menunjukkan aktivitas mutagenik yang signifikan lebih besar
dari pada control subject. Toksisitas yang sering dilaporkan berkenaan dengan preparasi dan
handling sitostatika berupa toksisitas pada liver, neutropenia ringan, fetal malformation, fetal
loss, atau kasus timbulnya kanker. Tahun 1983 Sotaniemi, dkk. Melaporkan adanya kerusakan
liver pada 3 orang perawat yang bekerja pada ward oncology. Di dua rumah sakit di Italy telah
dilakukan penelitian ditemukan cyclophosphamide dan ifosfamide dalam urine perawat dan
staf farmasi yang tidak mengikuti peraturan khusus dalam menangani obat-obat kanker.

Selain untuk melindungi petugas dan lingkungan dari keterpaparan obat kanker, preparasi obat
sitostatika secara aseptis diperlukan untuk 3 tujuan :

 Produk harus terlindung dari kontaminasi microba dengan teknik aseptis


 Personal yang terlibat harus terlindung dari exposure bahan berbahaya
 Lingkungan harus terhindar dari paparan bahan berbahaya

Terpaparnya obat sitostatika kedalam tubuh dapat melalui inhalasi, absorpsi, atau ingestion.

Prosedur Kerja Penanganan Obat sitostatika

Sebelum kita memulai melaksanakan kegiatan preparasi obat sitostatika yang aman dan
menghasilkan produk yang bermutu, harus disusun dahulu standar prosedur kerja sebagai pedoman
petugas dalam melaksanakan kegiatan.

Standar Prosedur Kerja meliputi :

73
 Fasilitas fisik yang dibutuhkan untuk melindungi operator dan produk
 Pakaian pelindung yang melindungi operator dan produk
 Prosedur pelatihan untuk personal
 Teknik khusus yang diperlukan untuk safe handling cytotoxic
 Prosedur pembersihan tumpahan obat
 Prosedur pemberian label, pengemasan, transportasi dan pembuangan limbah cytotoxic

1. Fasilitas Fisik

Australian standard 2639 mensyaratkan menggunakan Cytotoxic Drugs Safety Cabinet


(CDSC) yang diletakkan dalam Clean Room. CDSC dan Clean Room dilengkapi dengan HEPA
Filter. Cytotoxic Drugs Safety Cabinet yang digunakan bisa Type ISOLATOR atau Biological
Safety Cabinet dengan aliran Vertikal. Tekanan Udara di dalam CDSC lebih negatif dibanding
didalam Clean Room dan tekanan udara didalam Clean lebih positif dibandingkan diluar.
Transportasi keluar masuknya obat-obatan dan alat-alat pendukung preparasi obat
dilakukan melalui Pass Box, untuk meminimalkan kontaminasi udara kedalam clean room.
Komunikasi petugas didalam clean room dengan petugas diluar dilakukan dengan intercom.

Perawatan Cytotoxic Drugs Safety Cabinet & Clean Room :

 Cytogard dibersihkan setiap hari dengan desinfectant atau detergent .


 Desinfeksi clean room dilakukan 1 kali seminggu.
 Uji mikrobiologi dilakukan secara periodik untuk memeriksa apakah HEPA Filter bekerja
dengan baik sehingga dapat menjaga sterilitas sediaan
 Pengukuran jumlah partikel didalam Cytogard maupun dalam clean room dilakukan
secara periodic.

2. Pakaian Pelindung

Pakaian ( Gown )

 Pakaian terdiri dari pakaian dalam dan pakaian luar


 Pakaian Pelindung (pakaian luar) harus terbuat dari material yang tidak melepaskan
debu dan serat.
 Bahan yang digunakan tidak tembus oleh cairan
 Pakaian pelindung dibuat lengan panjang dengan manset elastik pada tangan dan kaki

Sarung tangan

 Sarung tangan yang digunakan double untuk melindungi jika terjadi tusukan dan harus
menutupi manset baju.

74
 Sarung tangan yang dipakai harus bebas dari bedak, untuk menghindari partikel
tersebut masuk kedalam vial.
 Sarung tangan yang robek harus segera diganti

Tutup Kepala

Tutup kepala harus dapat menutupi rambut sekeliling agar tidak ada partikel kotoran yang
dapat mengkontaminasi sediaan.

Tutup Kaki

Tutup kaki digunakan sampai menutup manset baju dalam

Masker & Kaca mata

 Untuk melindungi mata dan mengurangi inhalasi digunakan kaca mata dan masker.
 Disamping untuk melindungi petugas penggunaan masker juga untuk mengurangi
kontaminan.
 Kaca mata yang digunakan harus dapat melindungi mata dari kemungkinan adanya
percikan obat kanker.

3. Personal

 Personal yang akan terlibat dalam preparasi obat sitostatika harus mendapatkan
pelatihan yang memadai tentang teknik aseptic dan penanganan obat sitostatika.
 Petugas wanita yang sedang hamil atau merencanakan untuk hamil tidak dianjurkan
untuk terlibat dalam rekonstitusi obat sitistatika
 Petugas wanita yang sedang menyusui tidak dianjurkan terlibat dalam rekonstitusi obat
sitostatika
 Petugas yang sedang sakit atau mengalami infeksi pada kulit harus diistirahatkan dari
tugas ini.
 Setiap petugas yang akan terlibat dalam rekonstitusi obat sitostatika seminggu
sebelumnya harus mendapat pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :

1. Complete blood count


2. Liver Function Test
3. Renal Function Test

 Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan secara periodic setiap 6 bulan, jika terdapat
kelainan hasil pemeriksaan harus diteliti lebih dalam
 Semua hasil harus didokumentasikan

75
Teknik khusus pada Safe Handling Cytotoxic

Sediaan Cytotoxic Steril

Standar prosedur dan teknik untuk preparasi sediaan cytotoxic steril harus diikuti untuk
menghindari petugas dan lingkungan terpapar baik secara inhalasi maupun terkena tumpahan.
Teknik aseptic juga harus dilaksanakan untuk mencegah kontaminasi mikroba pada sediaan.

Preparasi sediaan steril

 Syringe dan infus set harus menggunakan jenis luer lock, untuk menghindari terjadinya
tumpahan jika terbuka. Penutup jarum harus selalu tertutup untuk menghindari tumpahan
dan menjaga sterilitas.
 Jarum yng digunakan untuk menghisap larutan dari vial melalui tutup karet dipilih yang
mempunyai lubang besar untuk menghindari adanya tekanan yang terlalu tinggi. Biasanya
dipilih needle 18.
 Tutup karet vial harus diseka alcohol sebelum ditusuk jarum untuk menghindari adanya
kontaminan masuk kedalam vial
 Dibuat tekanan negatif dalam vial untuk menghindari terjadinya percikan dari lobang pada
karet penutup.
 Pada saat membuka ampul operator harus memastikan bahwa tidak ada serbuk atau cairan
yang menempel di leher ampul, dengan cara mengetuk dinding ampul sampai semua materi
dalam ampul ada dibagian bawah leher ampul
 Pada saat mematahkan ampul gunakan kasa atau kain pelindung dan arahkan menjauhi
operator.

Preparasi sediaan non steril

 Sediaan steril melliputi capsul, puyer, atau krim yang tidak tersedia di pasaran. Preparasi
harus dilaksanakan didalam Cytotoxic Drug Safety Cabinet. Operator harus menggunakan
pakaian pelindung lengkap.
 Untuk sediaan serbuk gunakan mortir dalam kantong plastik untuk menghindari serbuk
berterbangan.Laminair Air Flow dalam kondisi off.
 Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarganya agar tidak memegang sediaan dengan
tangan langsung, gunakan sendok atau sarung tangan untuk menghindari kontaminasi.
 Semua alat yang digunakan (mortir,stampler, alat penghitung tablet ) harus segera dicuci
dan dikeringkan dengan kasa disposible.

Prosedur pembersihan tumpahan obat

1. Jika tumpahan terjadi didalam Cytogard


 Pastikan bahwa cytogard berjalan dengan baik pada saat kejadian

76
 Nyalakan exhaust fan
 Gantilah sarung tangan dan baju yang terkena tumpahan dan letakkan dalam kantong
khusus.
 Gunakan pakaian pelindung lengkap.
 Angkat pecahan benda tajam dengan pinset dan masukkan dalam wadah buangan
khusus
 Jika tumpahan berupa liquid, hisap dengan flannel kering
 Jika tumpahan berupa serbuk, hisap dengan flannel basah
 Cuci dasar Cytogard dengan detergent dan bilas dengan aquadest
 Buang semua sarung tangan dan lap yang terkena kontaminasi obat cytostatic

2. Jika tumpahan terjadi diluar cytogard

· Isolasi daerah yang terkontaminasi agar jangan dilewati orang

 Gantilah sarung tangan dan baju yang terkena tumpahan dan letakkan dalam kantong
khusus.
 Gunakan pakaian pelindung lengkap.
 Angkat pecahan benda tajam dengan pinset dan masukkan dalam wadah buangan
khusus
 Jika tumpahan berupa liquid, hisap dengan flannel kering
 Jika tumpahan berupa serbuk, hisap dengan flannel basah
 Pel lantai dengan detergent dan bilas dengan aquadest
 Buang semua sarung tangan dan lap yang terkena kontaminasi obat cytostatic.

Semua kejadian kecelakaan harus didokumentasikan

Prosedur pemberian label, pengemasan, transportasi dan pembuangan limbah cytotoxic

1. Pemberian label pada cytostatic yang telah di rekonstitusi terdiri dari :

 Nama,
 No. MR,
 Jenis obat dan dosis
 Jenis dan jumlah pelarut yang digunakan
 Tgl. Persiapan
 Tgl. Kadaluarsa.

2. Obat cytostatic yang telah direkonstitusi harus dikemas yang aman untuk dibawa keruang
perawatan, dan diberi label peringatan obat berbahaya.

3. Petugas yang bawa dengan trolley khusus untuk obat cytostatic.

77
4. Pembuangan limbah cytostatic harus dalam wadah terpisah, untuk limbah tajam masukkan
dalam container khusus yang tidak tembus benda tajam.

5. Semua limbah kemoterapi harus dibakar dalam incenerator

BB. PENANGANAN OBAT YANG DIBAWA PASIEN DARI RUMAH KERUMAH SAKIT

Obat-obat yang bisa dibawa di rumah kerumah sakit adalah obat-obatan yang bisa
didapat dari pemeriksaan pada praktek dokter ataupun Puskesmas. Obat-obat biasa dibawa
pasien pada saat berobat jalan atau dirawat dirumah sakit. Petugas melakukan wawancara
kepada pasien/keluarga pasien tentang riwayat pengobatan sebelum masuk rumah sakit dan
meminta sampel obat yang dibawa pasien. Petugas mengkonsultasikan dengan dokter tentang
pertimbangan penggunaan obat yang dibawa tersebut. Apakah obat tetap dipakai atau obat
dihentikan.

78
BAB VII
KESELAMATAN PASIEN

Manajemen risiko adalah suatu metode yang sistematis untuk mengidentifikasi,


menganalisis, mengendalikan, memantau, mengevaluasi dan mengkomunikasikan risiko yang ada
pada suatu kegiatan.Untuk mengetahui gambaran kegiatan pada suatu unit kerja (misalnya pada
pelayanan kefarmasian), terlebih dahulu dilakukan inventarisasi kegiatan di unit kerja tersebut.
Inventarisasi dapat dilakukan dengan cara :
- mempelajari diagram kegiatan yang ada
- melakukan inspeksi dengan menggunakan daftar tilik (checklist)
- melakukan konsultasi dengan petugas
Inventarisasi kegiatan diarahkan kepada perolehan informasi untuk menentukan potensi
bahaya (hazard) yang ada. Bahaya (hazard) adalah sesuatu atau kondisi pada suatu tempat kerja
yang dapat berpotensi menyebabkan kematian, cedera atau kerugian lain. Pengendalian risiko
melalui sistem manajemen dapat dilakukan oleh pihak manajemen pembuat komitmen dan
kebijakan, organisasi, program pengendalian, prosedur pengendalian, tanggung jawab, pelaksanaan
dan evaluasi. Kegiatan-kegiatan tersebut secara terpadu dapat mendukung terlaksananya
pengendalian secara teknis.
Manajemen risiko dalam pelayanan kefarmasian terutama medication error meliputi
kegiatan :
- koreksi bila ada kesalahan sesegera mungkin
- pelaporan medication error
- dokumentasi medication error
- pelaporan medication error yang berdampak cedera
- supervisi setelah terjadinya laporan medication error
- sistem pencegahan
- pemantauan kesalahan secara periodik
- tindakan preventif
- pelaporan ke tim keselamatan pasien tingkat nasional
Keselamatan pasien (Patient safety) secara sederhana di definisikan sebagai suatu upaya
untuk mencegah bahaya yang terjadi pada pasien. Walaupun mempunyai definisi yang sangat
sederhana, tetapi upaya untuk menjamin keselamatan pasien di fasilitas kesehatan sangatlah
kompleks dan banyak hambatan. Konsep keselamatan pasien harus dijalankan secara menyeluruh
dan terpadu.
Strategi untuk meningkatkan keselamatan pasien :

79
a. Menggunakan obat dan peralatan yang aman
b. Melakukan praktek klinik yang aman dan dalam lingkungan yang aman
c. Melaksanakan manajemen risiko, contoh : pengendalian infeksi
d. Membuat dan meningkatkan sistem yang dapat menurunkan risiko yang berorientasi kepada
pasien.
e. Meningkatkan keselamatan pasien dengan :
- mencegah terjadinya kejadian tidak diharapkan (adverse event)
- membuat sistem identifikasi dan pelaporan adverse event
- mengurangi efek akibat adverse event
Pada tanggal 18 Januari 2002, WHO telah mengeluarkan suatu resolusi untuk membentuk program
manajemen risiko untuk keselamatan pasien yang terdiri dari 4 aspek utama:
a. Penentuan tentang norma-norma global, standar dan pedoman untuk definisi, pengukuran dan
pelaporan dalam mengambil tindakan pencegahan, dan menerapkan ukuran untuk mengurangi
resiko
b. Penyusunan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based) dalam standar global yang akan
meningkatkan pelayanan kepada pasien dengan penekanan tertentu pada beberapa aspek seperti
keamanan produk, praktek klinik yang aman sesuai dengan pedoman, penggunaan produk obat dan
alat kesehatan yang aman dan menciptakan suatu budaya keselamatan pada petugas kesehatan dan
institusi pendidikan.
c. Pengembangan mekanisme melalui akreditasi dan instrumen lain, untuk mengenali karakteristik
penyedia pelayanan kesehatan yang unggul dalam keselamatan pasien secara internasional
d. Mendorong penelitian tentang keselamatan pasien

Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penerapan Keselamatan Pasien


Dalam penerapannya, keselamatan pasien harus dikelola dengan pendekatan sistemik.
Sistem ini dapat dilihat sebagai suatu sistem terbuka, dimana sistem terkecil akan dipengaruhi,
bahkan tergantung pada sistem yang lebih besar. Sistem terkecil disebut Mikrosistem, terdiri dari
petugas kesehatan dan pasien itu sendiri, serta proses-proses pemberian pelayanan di ujung
tombak, termasuk elemen-elemen pelayanan di dalamnya. Mikrosistem dipengaruhi oleh
Makrosistem, yang merupakan unit yang lebih besar, misalnya rumah sakit dan apotek. Mikrosistem
dan Makrosistem dipengaruhi oleh sistem
yang lebih besar lagi yang disebut Megasistem. Seorang Apoteker yang berperan di dalam
mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi lain)
dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-elemen dalam

80
mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori, keuangan dan
teknologi informasi.

A. KESELAMATAN PASIEN DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN

Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu difahami dan disepakati
bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:
- Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)
- Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)
- Kejadan Sentinel
- Adverse Drug Event
- Adverse Drug Reaction
- Medication Error
- Efek samping obat
Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug Events: A Clinician’s Guide to
terminology, Documentation, and Reporting, serta dari Glossary AHRQ (Agency for Healthcare
Research and Quality) dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang berhubungan dengan cedera
akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.

TABEL 1
RINGKASAN DEFINISI YANG BERHUBUNGAN DENGAN CEDERA AKIBAT OBAT
Istilah Definisi Contoh
Terjadi cedera Kejadian cedera pada pasien Iritasi pada kulit karena
• Kejadian yang selama proses penggunaan perban.
tidak diharapkan terapi/penatalaksanaan medis. Jatuh dari tempat tidur.
(Adverse Event) Penatalaksanaan medis
mencakup seluruh aspek
pelayanan, termasuk diagnosa,
terapi, kegagalan
diagnosa/terapi, sistem,
peralatan untuk pelayanan.
Adverse event dapat dicegah
atau tidak dapat dicegah.
Istilah Definisi Contoh

81
• Reaksi obat yang Kejadian cedera pada pasien Steven-Johnson Syndrom
tidak diharapkan selama proses terapi akibat : Sulfa, Obat epilepsi dll
(Adverse Drug penggunaan obat.
Reaction)
• Kejadian tentang Respons yang tidak diharapkan • Shok anafilaksis
obat yang tidak terhadap terapi obat dan pada penggunaan
diharapkan mengganggu atau antbiotik golongan
(Adverse Drug menimbulkan cedera pada penisilin
Event) penggunaan obat • Mengantuk pada
dosis normal. penggunaan CTM
Reaksi Obat Yang Tidak
Diharapkan (ROTD) ada yang
berkaitan dengan efek
farmakologi/mekanisme kerja
(efek samping) ada yang tidak
berkaitan dengan efek
farmakologi (reaksi
hipersensitivitas).
• Efek obat yang Respons yang tidak diharapkan Shok anafilaksis pada
tidak diharapkan (Adverse terhadap terapi obat dan penggunaan antbiotik golongan
drug mengganggu atau penisilin.
effect) menimbulkan cedera pada Mengantuk pada penggunaan
penggunaan obat dosis lazim CTM
Sama dengan ROTD tapi dilihat
dari sudut pandang obat. ROTD
dilihat dari sudut pandang
pasien.
Cedera dapat terjadi
atau tidak terjadi
• Medication Error Kejadian yang dapat dicegah Peresepan obat yang
akibat penggunaan obat, yang tidak rasional.
menyebabkan cedera. Kesalahan perhitungan
dosis pada peracikan.
Ketidakpatuhan pasien

82
sehingga terjadi dosis
berlebih.
Istilah Definisi Contoh
• Efek Samping Efek yang dapat diprediksi, (sebaiknya istilah ini
tergantung pada dosis, yang dihindarkan)
bukan efek tujuan obat. Efek
samping dapat dikehendaki,
tidak dikehendaki, atau tidak
ada kaitannya.
Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah di atas beserta contohnya sehingga dapat
membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera akibat
penggunaan obat dalam melaksanakan program Keselamatan pasien.
Berdasarkan laporan IOM (Institute of Medicine) tentang adverse event yang dialami pasien,
disebutkan bahwa insiden berhubungan dengan pengobatan menempati urutan utama. Disimak dari
aspek biaya, kejadian 459 adverse drug event dari 14732 bernilai sebesar $348 juta, senilai $159 juta
yang dapat dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak menimbulkan cedera namun tetap
menimbulkan konsekuensi biaya.
Atas kejadian tersebut, IOM merekomendasikan untuk :
1. Menetapkan suatu fokus nasional terhadap isu tersebut
2. Mengembangkan suatu sistem pelaporan kesalahan secara nasional
3. Meningkatkan standar organisasi
4. Menciptakan sistem keselamatan dalam organisasi kesehatan.
Penelitian terbaru (Allin Hospital) menunjukkan 2% dari pasien masuk rumah sakit
mengalami adverse drug event yang berdampak meningkatnya Length Of Stay (LOS) 4.6 hari dan
meningkatkan biaya kesehatan $ 4.7000 dari setiap pasien yang masuk rumah sakit. Temuan ini
merubah tujuan pelayanan farmasi rumah sakit tersebut : a fail-safe system that is free of errors.
Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM) antara 2001-2003
menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien Intensive Care Unit (ICU) antara lain
dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian keliru dan cara pemberian yang
tidak tepat. Lingkup perpindahan/perjalanan obat (meliputi obat, alat kesehatan, obat untuk
diagnostik, gas medis, anastesi) : obat dibawa pasien di komunitas, di rumah sakit, pindah antar
ruang, antar rumah sakit, rujukan, pulang, apotek,
praktek dokter. Multidisiplin problem : dipetakan dalam proses penggunaan obat : pasien/care giver,
dokter, apoteker, perawat, tenaga asisten apoteker, mahasiswa, teknik, administrasi, pabrik obat.

83
Kejadian medication error dimungkinkan tidak mudah untuk dikenali, diperlukan kompetensi dan
pengalaman, kerjasama-tahap proses.
Tujuan utama farmakoterapi adalah mencapai kepastian keluaran klinik sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan risiko baik yang tampak maupun yang
potensial meliputi obat (bebas maupun dengan resep), alat kesehatan pendukung proses
pengobatan (drug administration devices). Timbulnya kejadian yang tidak sesuai dengan tujuan
(incidence/hazard) dikatakan sebagai drug misadventuring, terdiri dari medication errors dan
adverse drug reaction.
Ada beberapa pengelompokan medication error sesuai dengan dampak dan proses (tabel 2
dan 3). Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan intervensi yang tepat.
Tabel 2 . Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan dampak)
Errors Kategori Hasil
No error A Kejadian atau yang berpotensi
untuk terjadinya kesalahan

Error, no B Terjadi kesalahan sebelum obat


mencapai pasien

harm C Terjadi kesalahan dan obat


sudah diminum/digunakan
pasien tetapi tidak
membahayakan pasien

D dilakukan tetapi tidak Terjadinya kesalahan, sehingga


membahayakan pasien monitoring ketat harus

Error, E Terjadi kesalahan, hingga terapi


harm dan intervensi lanjut
diperlukan dan kesalahan ini
memberikan efek yang buruk
yang sifatnya sementara

F Terjadi kesalahan dan


mengakibatkan pasien harus

84
dirawat lebih lama di rumah
sakit serta memberikan efek
buruk yang sifatnya sementara

G Terjadi kesalahan yang


mengakibatkan efek buruk yang
bersifat permanen

H Terjadi kesalahan dan hampir


merenggut nyawa pasien
contoh syok anafilaktik

Error, I Terjadi kesalahan dan pasien


death meninggal dunia

Tabel 3 . Jenis-jenis medication errors (berdasarkan alur proses pengobatan)


Tipe Medication Errors Keterangan

Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien


padahal
diresepkan oleh bukan dokter yang berwenang

Improper dose/quantity Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak


sesuai
dengan yang dimaskud dalam resep

Wrong dose preparation Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat


method yang tidak
sesuai

Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara

85
pemberian
yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan di
dalam
resep

Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien


yang keliru
yang tidak sesuai dengan yang tertera di resep

Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai


permintaan,
mengabaikan penolakan pasien atau keputusan
klinik yang mengisyaratkan untuk tidak diberikan
obat yang
bersangkutan

Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu yang


berbeda

Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah


diberikan
secara lisan atau diresepkan oleh dokter yang
tidak
berkompeten

Wrong administration Menggunakan cara pemberian yang keliru


technique termasuk
misalnya menyiapkan obat dengan teknik yang
tidak
dibenarkan (misalkan obat im diberikan iv)

Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal


pemberian

86
atau diluar jadwal yang ditetapkan

JCAHO (2007) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses manajemen
obat : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage, distribution), sistem
permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and transcribing), sistem penyiapan,
labelisasi/etiket, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai kecukupan informasi
(preparing dan dispensing), teknik penggunaan obat pasien (administration), pemantauan efektifitas
penggunaan (monitoring). Didalamnya termasuk system kerjasama dengan tenaga kesehatan terkait
baik kompetensi maupun kewenangannya, sistem pelaporan masalah obat dengan upaya perbaikan,
informasi obat yang selalu tersedia, keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya prosedur khusus
obat dan alat yang memerlukan perhatian khusus karena dampak yang membahayakan.
WHO dalam developing pharmacy practice-a focus on patient care membedakan tentang
praktek farmasi (berhubungan dengan pasien langsung) dan pelayanan farmasi (berhubungan
dengan kualitas obat dan sistem proses pelayanan farmasi)
- Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan, pengadaan produk farmasi dan pelayanan
kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
- Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam
mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi informasi,
pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat, pemberian informasi
obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.
- Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu masyarakat
dalam mendapatkan manfaat yang terbaik.
Klasifikasi aktivitas apoteker (American Pharmacists Association/APha)
A. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai
a. Memastikan farmakoterapi yang sesuai
b. Memastikan kepahaman/kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatannya
c. Monitoring dan pelaporan hasil
B. Dispensing obat dan alat kesehatan
a. Memproses resep atau pesanan obat
b. Menyiapkan produk farmasi
c. Mengantarkan obat atau alat kesehatan
C. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
a. Pengantaran jasa penanggulangan klinis
b. Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat

87
c. Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Manajemen sistem kesehatan
a. Pengelolaan praktek
b. Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
c. Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
d. Partisipasi dalam aktivitas penelitian
e. Kerjasama antardisiplin
Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen tentang Standard profesional mengenai
kesalahan pengobatan yang berhubungan dengan peresepan obat dengan tujuan mendefinisikan
istilah "kesalahan pengobatan" dan untuk menyarankan suatu tatanama standard untuk
mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan dan disain sistemnya untuk meningkatkan keselamatan
dalam pabrikasi, pemesanan, pelabelan, penyiapan, administrasi dan penggunaan obat.
Dalam, relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagi penyedia obat
(pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan
berubahnya situasi secara cepat di system kesehatan, praktek asuhan kefarmasian diasumsikan
apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya menerima asumsi
tersebut.
Dengan demikian apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya, kualitas,
hasil pelayanan kefarmasian. Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk keselamatan
pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko dan promosi penggunaan obat yang
aman.
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan medication error yang jika
dipaparkan menurut urutan dampak efektifitas terbesar adalah :
1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints) : suatu upaya mendesain
sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik, contoh : sediaan potasium klorida siap
pakai dalam konsentrasi 10% Nacl 0.9%, karena sediaan di pasar dalam konsentrasi 20% (>10%) yang
mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada
tempat injeksi)
2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry) : membuat statis /robotisasi
pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh : komputerisasi proses
penulisan resep oleh dokter diikuti dengan ”/tanda peringatan” jika di luar standar (ada penanda
otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g)
3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti ilmiah dan
standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur baku). Kontribusi

88
apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan sertifikasi/akreditasi pelayanan
memegang peranan penting.
4. Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang setiap
langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan pemetaan
analisis titik kritis dalam sistem.
5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien. contoh :
semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker
6. Pendidikan dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan
pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan mendukung
kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi
7. Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah kesalahan,
contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.

B. PERAN APOTEKER DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN PASIEN

Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam
mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di perhatikan.
Dari data-data yang termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah pasien mengalami cedera
atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan kesehatan, khususnya terkait penggunaan
obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya,
kejadian medication error dapat dicegah jika melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang
sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus
menangani medication safety. Peran Apoteker Keselamatan Pengobatan (Medication Safety
Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola laporan medication error
• Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
• Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
• Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
• Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
• Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering terjadi atau
berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang aman
• Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan kepatuhan
terhadap aturan/SOP yang ada

89
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
• Komite Keselamatan Pasien RS
• Dan komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada
Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu aspek
manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan farmasi, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem pengendalian (misalnya
memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining permintaan obat (resep atau bebas),
penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan pemberian informasi obat, konseling, monitoring
dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat diperlukan terutama pada pasien yang menerima
pengobatan dengan risiko tinggi. Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu
didukung mengingat keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi
besar dalam menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :
1. Pemilihan
Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan
pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium.
2. Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan yang berlaku
(legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.
3. Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan pengambilan
obat dan menjamin mutu obat:
• Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names)
secara terpisah.
• Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera jika
terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
o menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi, narkotik
opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
o kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis, tetapi
tempatkan secara terpisah
• Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep

90
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui kolaborasi
dengan dokter dan pasien.
• Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/ nomor
resep,
• Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis resep.
• Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan keputusan
pemberian obat, seperti :
o Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan
hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang
menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan dosis.
o Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan parameter
lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang penting, terutama untuk
obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis
(seperti pada penurunan fungsi ginjal).
• Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
• Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan otomatisasi
(automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan pengobatan pasien
seperti sudah disebutkan diatas.
• Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun harus
dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan mengeja nama obat
serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan kepada petugas yang
meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan harus menulis dengan jelas
instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
5. Dispensing
• Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
• Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali :
pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
• Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
• Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan
kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

91
Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang penting tentang obat
dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien adalah :
• Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat dengan
benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus kembali ke dokter
• Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
• Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan makanan
harus dijelaskan kepada pasien
• Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang mengakibatkan cedera
pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi kemungkinan
terjadinya ADR tersebut
• Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak atau
kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai kesempatan untuk
menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan pada proses sebelumnya.
7. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah sakit dan
sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain. Hal yang perlu
diperhatikan adalah :
• Tepat pasien
• Tepat indikasi
• Tepat waktu pemberian
• Tepat obat
• Tepat dosis
• Tepat label obat (aturan pakai)
• Tepat rute pemberian
8. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah pengulangan
kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus terlibat didalam
program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara terus menerus
mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk meningkatkan keselamatan
pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain :
• Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )

92
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan. Institusi
pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan
membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya dikomunikasikan.
Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan dengan
jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan informasi dengan berbicara
perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko menimbulkan
kesalahan untuk diwaspadai.
• Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area dispensing
harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan kelelahan dengan
pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu area kerja harus bersih dan
teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat untuk setiap pasien perlu disiapkan dalam
nampan terpisah.
• Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung maupun
melalui telepon.
• Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban kerja
berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
• Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam sistem
menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan Tujuh
Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu pada buku
Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (diterbitkan oleh Depkes tahun
2006) :
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang
terbuka dan adil
• Adanya kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya tentang Keselamatan
Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC), Kejadian
Sentinel, dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh apoteker dan tenaga farmasi, pasien dan
keluarga jika terjadi insiden.
• Buat, sosialisasikan dan penerapan SOP sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
• Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke atasan langsung

93
2. Pimpin dan Dukung Staf Anda
Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di tempat pelayanan
(instalasi farmasi/apotek)
• Adanya suatu tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung jawab terhadap keselamatan
pasien (sesuai dengan kondisi)
• Tunjuk staf Instalasi Farmasi/Apotek yang bisa menjadi penggerak dan mampu mensosialisasikan
program (leader)
• Adakan pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti oleh seluruh staf dan tempatkan staf
sesuai kompetensi
Staf farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SOP yang berkaitan dengan
proses dispensing yang akurat, mengenai nama dan bentuk obat-obat yang membingungkan, obat-
obat formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung asuransi/non-asuransi, obat-obat
baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian khusus. Disamping itu petugas farmasi harus
mewaspadai dan mencegah medication error yang dapat terjadi.
• Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani melaporkan setiap
insiden yang terjadi
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan identifikasi dan asesmen hal yang
potensial bermasalah
• Buat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
• Buat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan mengevaluasi SOP yang sudah ada
atau mengembangkan SOP bila diperlukan
4. Kembangkan Sistem Pelaporan
• Pastikan semua staf Instalasi Farmasi/Apotek dengan mudah dapat melaporkan insiden kepada
atasan langsung tanpa rasa takut
• Beri penghargaan pada staf yang melaporkan
5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien
• Pastikan setiap penyerahan obat diikuti dengan pemberian Informasi yang jelas dan tepat
• Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker tentang obat yang
diterima
• Lakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden serta berikan solusi tentang
insiden yang dilaporkan
6. Belajar dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien

94
Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah
• Lakukan kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk menghindari berulangnya insiden
7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara :
• Gunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari system pelaporan, asesmen risiko,
kajian insiden dan audit serta analisis untuk menentukan solusi
• Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system), penyesuaian SOP yang
menjamin keselamatan pasien
• Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi/Apotek

C. PENCATATAN DAN PELAPORAN

Di Indonesia data tentang Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadian Nyaris Cedera (KNC)
dan Kejadian Sentinel masih sangat langka. Setiap kegiatan pelayanan kefarmasian baik di rumah
sakit maupun di komunitas diharapkan melakukan pencatatan dan pelaporan semua kejadian terkait
dengan keselamatan pasien meliputi KTD, KNC, dan Kejadian Sentinel. Pelaporan di rumah sakit
dilakukan sesuai dengan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) dan
Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) yang dikeluarkan oleh Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit - Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI). Kejadian terkait dengan
keselamatan pasien dalam pelayanan farmasi komunitas di Indonesia belum mempunyai panduan
pelaporan, sehingga kegiatan yang dilakukan adalah pencatatan untuk monitoring dan evaluasi.
Tujuan dilakukan pelaporan Insiden Keselamatan Pasien adalah untuk menurunkan Insiden
Keselamatan Pasien yang terkait dengan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel serta meningkatkan mutu
pelayanan dan keselamatan pasien.
Sistem pelaporan mengharuskan semua orang dalam organisasi untuk peduli terhadap
bahaya/potensi bahaya yang dapat terjadi pada pasien. Pelaporan juga penting digunakan untuk
memonitor upaya pencegahan terjadinya kesalahan sehingga diharapkan dapat mendorong
dilakukannya investigasi lebih lanjut. Pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali. Setiap kejadian dilaporkan kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit menggunakan formulir yang sudah disediakan di rumah sakit untuk
diinvestigasi.
1 Prosedur Pelaporan Insiden
1. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris
terjadi.
2. Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau staf farmasi yang pertama kali menemukan
kejadian atau terlibat dalam kejadian.

95
3. Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden” yang bersifat rahasia
2 Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit
(Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan kefarmasian,
wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/ akibat yang tidak
diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan Insiden
pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan menunda laporan (paling
lambat 2 x 24 jam).
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap insiden
yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
• Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 1 minggu
• Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 2 minggu
• Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS, waktu
maksimal 45 hari
• Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS, waktu
maksimal 45 hari
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan insiden
dilaporkan ke Tim KP di RS.
7. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk menentukan
apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan melakukan Regrading
8. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali
10. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi
11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada instalasi
farmasi.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan kerjanya
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.

Peran Apoteker Dalam Penyusunan Laporan

96
Idealnya setiap KTD/KNC/Kejadian Sentinel yang terkait dengan penggunaan obat harus
dikaji terlebih dahulu oleh apoteker yang berpengalaman sebelum diserahkan kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Tujuan pengkajian untuk memastikan bahwa laporan tersebut
sudah sesuai, nama obat yang dilaporkan benar, dan memasukkan dalam kategori insiden yang
benar. Kategori kesalahan dalam pemberian obat adalah :
• Pasien mengalami reaksi alergi
• Kontraindikasi
• Obat kadaluwarsa
• Bentuk sediaan yang salah
• Frekuensi pemberian yang salah
• Label obat salah / tidak ada / tidak jelas
• Informasi obat kepada pasien yang salah / tidak jelas
• Obat diberikan pada pasien yang salah
• Cara menyiapkan (meracik) obat yang salah
• Jumlah obat yang tidak sesuai
• ADR ( jika digunakan berulang )
• Rute pemberian yang salah
• Cara penyimpanan yang salah
• Penjelasan petunjuk penggunaan kepada pasien yang salah

Permasalahan Dalam Pencatatan Dan Pelaporan


Yang bertangggungjawab dalam pencatatan laporan adalah :
• Staf IFRS/Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang pertama menemukan kejadian atau
supervisornya
• Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang terlibat dengan kejadian atau supervisornya
• Staf IFRS/ Sarana Pelayanan Kesehatan Lainnya yang perlu melaporkan kejadian
Masalah yang dihadapi dalam pencatatan dan pelaporan kejadian
• Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”
• Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan
• Laporan terlambat
• Laporan kurang lengkap ( cara mengisi formulir salah, data kurang lengkap )
Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
1. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam
2. JANGAN menunda laporan insiden dengan alasan belum ditindaklanjuti atau ditandatangani

97
3. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah tercatat dalam laporan insiden
4. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam medic pasien
5. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun
6. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi
Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan
- Pandangan bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan kesalahan dibebankan pada satu orang
saja.
- Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan membeberkan
keburukan dari personal atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana pelayanan kesehatan lain.
- Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
- Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan
- Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor
- Kurangnya sumber daya
- Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat
- Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu

Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana pelayanan
kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.

D. MONITORING DAN EVALUASI

Sebagai tindak lanjut terhadap Program Keselamatan Pasien, Apoteker perlu melakukan
kegiatan monitoring dan evaluasi di unit kerjanya secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan
pemantauan terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian terkait Program Keselamatan Pasien.
Evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian terkait Program Keselamatan
Pasien. Tujuan dilakukan monitoring dan evaluasi agar pelayanan kefarmasian yang dilakukan sesuai
dengan kaidah keselamatan pasien dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan dan
berulang dimasa yang akan datang.
Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap :
- Sumber daya manusia (SDM)
- Pengelolaan perbekalan farmasi (seleksi, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan
distribusi/penggunaan)
- Pelayanan farmasi klinik (pengkajian resep, penyerahan obat, pemberian informasi obat, konseling
obat, rekonstitusi obat kanker, iv.admixture, total parenteral nutrition, therapeutic drug monitoring)

98
- Laporan yang didokumentasikan.
Dari hasil monitoring dan evaluasi dilakukan intervensi berupa rekomendasi dan tindak lanjut
terhadap hal-hal yang perlu diperbaiki seperti perbaikan kebijakan, prosedur, peningkatan kinerja
SDM, sarana dan prasarana ataupun organisasi. Hasil dari rekomendasi dan tindak lanjut ini harus
diumpan balikkan ke semua pihak yang terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit.
Untuk mengukur keberhasilan program kegiatan yang telah ditetapkan diperlukan indikator, suatu
alat/tolok ukur yang menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap prosedur yang telah ditetapkan.

Indikator keberhasilan program dapat dilihat dari :


1. Menurunnya angka kejadian tidak diinginkan (KTD), kejadian nyaris cedera (KNC) dan kejadian
sentinel.
2. Menurunnya KTD, KNC dan Kejadian Sentinel yang berulang.

99
BAB VIII
KERJASAMA DOKTER DAN APOTEKER DALAM PELAYANAN PASIEN DI RUMAH SAKIT

Komunikasi adalah tulang punggung dalam pelaksanaan sebuah program di institusi mana
pun. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi menjadi lebih penting karena menyangkut
kelangsungan hidup serta hak sehat manusia. Komunikasi antara dokter dengan ahli farmasi menjadi
semakin penting mengingat aktivitas pemberian obat kepada pasien ternyata bukan sekedar
penyerahan obat dari penyedia obat kepada pasien. Berbagai aspek layak disimak mengenai
komunikasi (dapat juga disebut kerja sama atau kolaborasi) antara dokter dengan ahli farmasi.
Pekerjaan yang dilakukan dokter dan ahli farmasi sebenarnya bersifat saling melengkapi (
komplementer ), secara hipotetikal dapat dikatakan bahwa kerja sama tersebut dapat memberikan
pengaruh positif terhadap keluaran pasien (patient outcome). Wujud kolaborasi antara dokter dan
ahli farmasi antara lainmisalnya: penelusuranan informasi riwayat obat yang lengkap dan akurat;
penyediaan informasi obat yang lege artis; pemanfaatan evidencebased prescribing; deteksi dini
kesalahan peresepan obat; pemantauan obat (meningkatkan keamanan obat); meningkatkan cost-
effectiveness dalam peresepan obat; meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masing-masing
pihak demi kepuasan pasien. Kolaborasi yang tidak optimal dapat merugikan pasien. Pemberian obat
oral yang tidak disesuaikan dengan sifat farmakok inet i k obat yang bersangkutan potensial
menurunkan efektivitas obat dan bahkan dapat meningkatkan risiko interaksi obat. Agar komunikasi
terjalin dengan efisien, interaksi/ komunikasi harus masuk dalam sebuah system (tim terpadu
misalnya); akan ada kesempatan untuk memperkenalkan diri dan menjelaskan peran ahli farmasi
pada pengelolaan pasien terutama masalah yang terkait peresepan. Selanjutnya, baik dokter mau
pun ahli farmasi dapat saling berbagi (dari sudut pandang masing-masing) dan berdiskusi tentang
pengelolaan peresepanan pasien tersebut. Dengan sistem yang dibangun seperti di atas maka
kesalahan akibat miss communication dapat dihindari.
Hubungan Kerja Kolaboratif antara Dokter dan Apoteker (Pharmacist-Phycisian Collaborative
Working Relationship. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hubungan ini antara lain
disebutkan:
a. Karakteristik partisipan. Yang termasuk karakteristik partisipan adalah faktor demografi seperti
pendidikan dan usia. Contohnya, dokter muda yang sejak awal dididik untuk dapat bekerja sama
dalam tim interdisipliner mungkin akan lebih mudah menerima konsep hubungan dokter-
Apoteker.

100
b. Karakteristik konteks. Yang dimaksud adalah kondisi pasien, tipe praktek (apakah tunggal atau
bersama), kedekatan jarak praktek, banyaknya interaksi, akan menentukan seberapa intensif
hubungan yang akan terjalin.

c. Karakteristik pertukaran. Yang termasuk di sini antara lain adalah: ketertarikan secara
profesional, komunikasi yang terbuka dan dua arah, kerjasama yang seimbang, penilaian
terhadap performance, konflik dan resolusinya. Semakin seimbang pertukaran antara kedua
belah pihak, akan memungkinkan hubungan kolaboratif yang lebih baik.

Menurut McDonough dan Doucette (2001) ada 4 tahap stage hubungan untuk memulai kerjasama
kolaboratif antara dokter dan Apoteker adalah sebagai berikut:

Stage 0: Professional awareness

Ini adalah stage awal, di mana masing-masing profesi saling mengenal dan mengetahui.
Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas Apoteker menerima resep dari dokter, kemudian
dispensing. Apoteker mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait dengan resep
(dosis, nama obat, dsb), dan menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak ada diskusi lebih
lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien.
Mestinya Apoteker tidak boleh puas hanya dengan stage tersebut, walau dianggap lebih aman
secara profesional. Apoteker perlu meningkatkan peranannya untuk mencapai pada stage 1.

Stage1: Professional recognition.

Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter-Apoteker
cenderung unilateral, dengan Apoteker yang harus memulai. Apoteker perlu berusaha untuk
membuat dokter menjadi paham tentang apa-apa yang bisa “disumbangkan” Apoteker terhadap
pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi obat yang up to
date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien, dsb. Dari situ dokter akan
dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan komitmen terhadap hubungan kerjasama
dengan Apoteker.Pada stage ini, komunikasi sering merupakan tantangan tersendiri. Jangan sampai
terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah Apoteker akan “mengintervensi” wewenang dokter dalam
memilih obat atau akan menjadi “polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu
ditekankan bahwa Apoteker adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan
kewenangannya, demi tercapainya pengobatan pasien yang optimal. Pada stage ini dapat

101
dirumuskan mengenai bentuk kerjasama, bagaimana cara komunikasinya, bagaimana protokolnya,
dan dibuat suatu kesepakatan.

Stage 2: exploration and trial.

Setelah hubungan kerjasama disepakati untuk berlanjut, masuklah pada stage ke 2. Pada stage ini
partisipan (dokter dan Apoteker) akan menguji kekompakan, harapan, kepercayaan dan komitmen
mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk merujuk pasien ke
Apoteker untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian dosis dan konseling obat,
dan mengevaluasi kompetensi Apoteker untuk memutuskan apakah kerjasama ini cukup bermanfaat
dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat menilai apakah dokter tersebut dapat diajak
bekerja sama yang positif. Pada fase ini, jika harapan dokter terhadap Apoteker terpenuhi, dokter
akan memberikan kepercayaan kepada Apoteker untuk meneruskan kerjasama untuk bersama-sama
memberikan pelayanan yang terbaik pada pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing
tidak terpenuhi dari adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir.
Jika dokter dan Apoteker telah melihat dan mendapatkan manfaat kerjasama mereka dari stage
exploration and trial, maka mereka dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama profesional
tersebut dan sampai ke stage 3.

Stage 3: professional relationship expansion.

Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma/aturan yang disepakati, penilaian
performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini the exchange efforts masih belum seimbang, dengan
Apoteker perlu secara kontinyu mengkomunikasikan mengenai manfaat bagi pasien yang mendapat
pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance Apoteker sesuai dengan ekspektasi dokter, dokter
dan Apoteker secara pelan-pelan akan memantapkan lingkup dan kedalaman saling ketergantungan
(interdependence) mereka. Tujuannya adalah memelihara atau meningkatkan kualitas pertukaran
sehingga hubungan profesional dapat terus dikembangkan

Stage 4: commitment to the collaborative working relationship.

Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya
kerjasama dengan Apoteker resiko praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak nilai
tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai jika usaha dan
keinginan bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan mengandalkan

102
pengetahuan dan keahlian Apoteker mengenai obat-obatan, sementara Apoteker akan bersandar
pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan membantu memanage terapi pasien.
Pada stage ini pertemuan tatap muka untuk mendiskusikan masalah pasien, masalah-masalah
pelayanan, dan hal-hal lain harus dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan
yang lain. Selain itu adanya komitmen kerjasama ini perlu diinformasikan kepada tenaga kesehatan
yang lain sehingga mereka dapat turut terlibat di dalamnya.

Kerja sama tim multidisiplin secara interdisiplin


Dalam hubungan kerja sama antara dokter dengan ahli farmasi setidaknya terdapat dua
disiplin ilmu dan dua profesi yang berhubungan. Hubungan kerja sama tersebut tentu merupakan
hubungan multidisiplin yang pendekatannya seharusnya bersifat interdisiplin dan bukan bersifat
multidisiplin. Pendekatan yang bersifat multidisiplin paling sering keliru diinterpretasikan sebagai
model interdisiplin. Pada pendekatan yang bersifat multidisiplin ini disiplin atau bidang ilmu terkait
berupaya untuk mengintegrasikan pelayanan demi kepentingan pasien. Mereka bertemu, saling
berbagi informasi, merencanakan dan menetapkan siapa yang akan ikut berperan/ berkontribusi dan
jenis keahlian apa yang dapat diperankan. Namun demikian, setiap bidang ilmu mengembangkan
pengalaman di bidang masingmasing kecuali untuk keahlian yang memang berada pada area 'abu-
abu' pada saat mereka melakukan koordinasi. Tugas dan tanggung jawab diterapkan pada setiap
bidang ilmu dengan batasan yang tegas sesuai disiplin masing-masing. Setiap bidang melaksanakan
(mempraktekkan) peker jaan mereka secara independen, sangat berhati-hati untuk tidak 'memasuki
wilayah' bidang lain. Pengembangan profesionalisme terjadi di dalam
bidang masing-masing (Satin, 1996).
Pada pendekatan yang bersifat interdisiplin, semua perencanaan, pengembangan
pengalaman, dan pelaksanaan pelayanan dikerjakan dengan penuh pemahaman bahwa terdapat
tumpang tindih dalam hal kompetensi; dipahami pula bahwa masalah-masalah pasien dapat saling
terkait. Setiap bidang mampu mengembangkan diri bersama. Mereka bertemu untuk mengevaluasi
masalah yang sedang dihadapi, membicarakan tujuan spesifik yang harus dicapai serta
mendiskusikan berbagai intervensi yang harus diambil untuk mencapai tujuan tadi. Pekerjaan, tugas
dan tanggung jawab diterapkan tidak sematamata
berdasarkan disiplin atau bidang terkait namun juga berdasarkan kompetensi atau kemampuan
individu, mau pun atas dasar kebutuhan dan situasi masalah yang sedang dihadapi.
Peran dan tanggung jawab setiap disiplin tidaklah kaku namun dapat beralih sesuai
perkembangan masalah yang ada saat itu. Pada model ini, identitas dan praktik setiapbbidang tidak
pada disiplin terkait, melainkan dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan paparan dengan
disiplin lain saat bekerja, juga dengan pengalaman yang didapat serta sejalan dengan perkembangan

103
kebutuhan profesional yang semakin mendalam; yang lebih penting adalah sesuai pula dengan
kemampuandan ketertarikan untuk mengembangkan profesinya masing-masing (Satin, 1996;
Siegler, 2006).

Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )


Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan. Institusi
pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas kesehatan dan
membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya dikomunikasikan.
Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis
resep.Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya perlu dilakukan
dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan informasi dengan
berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan dosis yang berisiko
menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.

104
BAB IX
HIGH ALERT MEDICATIONS

Pengertian obat High alert adalah obat-obatan yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
menyebabkan/menimbulkan adanya komplikasi/membahayakan pasien secara signifikan jika terdapat
kesalahan penggunaan (dosis, interval, dan pemilihannya).
Obat-obatan yang termasuk dalam kategori high alert medications:
Tabel Obat-obatan Kategori HIGH ALERT K
Katagori/Kelas Obat Jenis Obat
Agonis adnergik IV Epinefrin, fenilefrin, norepinefrin,
isoproterenol
Antagonis adrenergic IV Propanolol, metoprolol, labetalol

Agen anestesi (umum, inhalasi, Propofol, ketamin


dan IV)
Anti-aritmia IV Lidokain, amiodaron

Anti-trombotik, termasuk:
a. Antikoagulan a. Warfarin, LMWH (low-molecular-weight
heparin), unfractionated heparin IV
b. Inhibitor faktor Xa b. Fondaparinux
c. Direct thrombin inhibitors c. Argatroban, bivalrudin, dabigatran
texilate,lepirudin
d. Trombolitik d. Alteplase, reteplase, tenecteplase
e. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa e. Eptifibatide , abciximab, tirofiban
Larutan / solusio kardioplegik
Agen kemoterapi (parenteral
dan oral)
Dekstrosa hipertonik ( ≥ 20%)
Larutan dialysis (peritoneal dan
hemodialisis)
Obat-obatan epidural atau
intratekal Obat-obatan epidural
atau intratekal
Obat hipoglikemik (oral)
Obat inotropik IV Digoksin, milrinone
Insulin (SC dan IV) Insulin regular, aspart, NPH, glargin

105
Obat-obatan dengan bentuk amfoterisin B liposomal
liposomal
Agen sedasi moderat / sedang IV Dexamedetomidine, midazolam
Agen sedasi moderat / sedang Chloral hydrate, ketamin, midazolam
oral, untuk anak
Opioid / narkose:
a. IV
b. Transdermal
c. Oral (termasuk konsentrat
air, formula rapid dan lepas
lambat)
Agen blok neuromuscular Suksinilkolin, rokuronium, vekuronium,
atrakurium, pankuronium
Preparat nutrisi parenteral
Agen radiokontras IV
Akua bi destilata, inhalasi, dan
irigasi (dalam kemasan ≥ 100ml)
NaCl untuk injeksi, hipertonik,
dengan konsentrasi > 0,9%
Konsentrat KCl untuk injeksi
Epoprostenol IV
Injeksi Magnesium Sulfat
(MgSO4)
Digoksin IV
Metotreksat oral (penggunaan
non-onkologi)
Opium tincture
Oksitosin IV
Injeksi natrium nitropruside
Injeksi kalium fosfat
Prometazin IV
Kalsium intravena
Vasopressin (IV atau intraoseus)
Antikonvulsan Benzodiazepin
-obatan Jenis obat

Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadi kesalahan pada obat high alert :
1. Kurangi atau eliminasi kemungkinan terjadinya kesalahan
a. Mengurangi jumlah high alert medications yang disimpan di suatu unit

106
b. Mengurangi konsentrasi dan volume obat yang tersedia
c. Hindarkan penggunaan high alert medications sebisa mungkin
2. Lakukan pengecekan ganda
3. Minimalisasi konsekuensi kesalahan
a. Pisahkan obat-obat dengan nama atau label yang mirip
b. Minimalisasi instruksi verbal dan hindarkan penggunaan singkatan
c. Batasi akses terhadap high alert medications

A. PROSEDUR

Lakukan prosedur dengan aman dan hati-hati selama memberikan instruksi, mempersiapkan,
memberikan obat, dan menyimpan high alert medications
1. Peresepan
a. Jangan berikan instruksi hanya secara verbal mengenai high alert medications1
b. Instruksi ini harus mencakup minimal:
1) Nama pasien dan nomor rekam medis
2) Tanggal dan waktu instruksi dibuat
3) Nama obat (generik), dosis, jalur pemberian, dan tanggal pemberian setiap obat
4) Kecepatan dan atau durasi pemberian obat.
c. Dokter harus mempunyai diagnosis, kondisi, dan indikasi penggunaan setiap high alert
medications secara tertulis.
d. Sistem instruksi elektronik akan memberikan informasi terbaru secara periodik mengenai
standar pelayanan, dosis, dan konsentrasi obat (yang telah disetujui oleh Komite Farmasi dan
Terapeutik ah terstandarisasi
dengan menggunakan instruksi tercetak.
e. Instruksi kemoterapi harus ditulis pada ‘Formulir Instruksi Kemoterapi’ dan ditandatangani oleh
spesialis onkologi, informasi ini termasuk riwayat alergi pasien, tinggi badan, berat badan, dan
luas permukaan tubuh pasien. Hal ini memungkinkan ahli farmasi dan perawat untuk
melakukan pengecekan ganda terhadap penghitungan dosis berdasarkan berat badan dan luas
permukaan tubuh.

2. Persiapan dan Penyimpanan


a. High alert medications disimpan di pos perawat di dalam troli atau cabinet yang memiliki
kunci.
b. Semua tempat penyimpanan harus diberikan label yang jelas dan dipisahkan dengan obat-
obatan rutin lainnya. Jika high alert medications harus disimpan di area perawatan pasien,
kuncilah tempat penyimpanan dengan diberikan label ‘Peringatan: high alert medications’
pada tutup luar tempat penyimpanan.
c. Jika menggunakan dispensing cabinet untuk menyimpan high alert medications, berikanlah
pesan pengingat di tutup cabinet agar pengasuh/perawat pasien menjadi waspada dan

107
berhati-hati dengan high alert medications. Setiap kotak/tempat yang berisi high alert
medications harus diberi label.
d. Infus intravena high alert medications harus diberikan label yang jelas dengan
menggunakan huruf/tulisan yang berbeda dengan sekitarnya.

3. Pemberian obat
a. Perawat harus selalu melakukan pengecekan ganda (double-check) terhadap semua high
alert medications sebelum diberikan kepada pasien.
b. Pengecekan Ganda Terhadap High Alert Medications
1) Tujuan:
Identifikasi obat-obatan yang memerlukan verifikasi atau pengecekan ganda oleh
petugas kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum memberikan obat dengan
tujuan meningkatkan keselamatan dan akurasi.
2) Kebijakan:
a) pengecekan ganda diperlukan sebelum memberikan high alert medications tertentu
/ spesifik dan di saat pelaporan pergantian jaga atau saat melakukan transfer
pasien.
b) Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau pada catatan
pemberian medikasi pasien.
c) Pengecekan pertama harus dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk
menginstruksikan, meresepkan, atau memberikan obat-obatan, antara lain:
perawat, ahli farmasi, dan dokter.
d) Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas yang berwenang, teknisi, atau
perawat lainnya. (petugas tidak boleh sama dengan pengecek pertama)
e) Kebutuhan minimal untuk melakukan pengecekan ganda/verifikasi oleh orang
kedua dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
 Setiap akan memberikan injeksi obat
 Untuk infuse:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
f) Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dari dokter.
3) Berikut adalah high alert medications yang memerlukan pengecekan ganda:

108
Tabel High alert medications Perlu Pengecekan Ganda untuk Semua Dosis Termasuk
Bolus
Obat- obat
Obat-Obatan
Kemoterapi
Heparin
Insulin
Infuse Magnesium sulfat pada pasien obstetric
Infuse kateter saraf epidural dan perifer
*abciximab
argatroban
Bivalirudin
*eptifibatide
Lepirudan
Citrate ACD-A
Kalsium klorida 8 gm/1000ml infuse (untuk CRRT)
* obat-obatan yang sebaiknya tidak diberikan sebagai bolus dari kantong infuse / vial
Obat-obatan yang Memerlukan Pengecekan Ganda jika Terdapat Perubahan Kantong
Infus
Obat-obatan Obat-Obatan
Infuse benzodiazepine
Kemoterapi
Infuse opioid
Infuse epidural
Infuse kateter saraf perifer

Obat-obatan yang Memerlukan Pengecekan Ganda jika Terdapat Perubahan Dosis


/Kecepatan Pemberian
ObObat-Obatan
Epoprostenol
Kemoterapi
Treprostinil
Infuse bensodiazepin
Infuse opioid, epidural
Heparin

109
4) Prosedur:
a) Untuk dosis inisial atau inisiasi infuse baru
(1) Petugas kesehatan mempersiapkan obat dan hal-hal di bawah ini untuk menjalani
pengecekan ganda oleh petugas kedua:
(a) Obat-obatan pasien dengan label yang masih intak
(b) Rekam medis pasien, catatan pemberian medikasi pasien, atau resep /
instruksi tertulis dokter
(c) Obat yang hendak diberikan lengkap dengan labelnya
(2) Petugas kedua akan memastikan hal-hal berikut ini:
(a) Obat telah disiapkan dan sesuai dengan instruksi
(b) Perawat pasien harus memverifikasi bahwa obat yang hendak diberikan telah
sesuai dengan instruksi dokter.
(c) Obat memenuhi 5 persyaratan.
(d) Membaca label dengan suara lantang kepada perawat untuk memverifikasi
kelima persyaratan ini:
 Obat tepat.
 Dosis atau kecepatannya tepat, termasuk pengecekan ganda mengenai
penghitungan dan verifikasi pompa infuse.
 Rute pemberian tepat.
 Frekuensi interval tepat.
 Diberikan kepada pasien yang tepat.
(e) Pada beberapa kasus, harus tersedia juga kemasan/ vial obat untuk
memastikan bahwa obat yang disiapkan adalah obat yang benar, misalnya:
dosis insulin
(f) Ketika petugas kedua telah selesai melakukan pengecekan ganda dan kedua
petugas puas bahwa obat telah sesuai, lakukanlah pencatatan pada rekam
medis/catatan pemberian medikasi pasien.
(g) Petugas kedua harus menulis ‘dicek oleh:’ dan diisi dengan nama pengecek.
(h) Pengecekan ganda akan dilakukan sebelum obat diberikan kepada pasien
(i) Pastikan infuse obat berada pada jalur/selang yang benar dan lakukan
pengecekan selang infuse mulai dari larutan/cairan infuse, pompa, hingga
tempat insersi selang.
(j) Pastikan pompa infuse terprogram dengan kecepatan pemberian yang tepat,
termasuk ketepatan data berat badan pasien.
b) Untuk pengecekan saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien:
(1) Petugas kedua akan memastikan hal-hal berikut ini:
(a) Obat yang diberikan harus memenuhi kelima persyaratan.

110
(b) Perawat berikutnya akan membaca label dengan lantang kepada perawat
sebelumnya untuk memverifikasi kelima persyaratan (seperti yang telah
disebutkan di atas).
(2) Saat pengecekan telah selesai dan kedua perawat yakin bahwa obat telah sesuai,
lakukanlah pencatatan pada bagian ‘pengecekan oleh perawat’ di rekam medis
pasien3.
Sesaat sebelum memberikan obat, perawat mengecek nama pasien, memberitahukan
kepada pasien mengenai nama obat yang diberikan, dosis, dan tujuannya (pasien dapat
juga berperan sebagai pengecek, jika memungkinkan).
c. Semua pemberian high alert medications intravena dan bersifat kontinue harus diberikan
melalui pompa infus IV. Pengecualian dapat diberikan pada pasien di Ruang Rawat Intensif
Neonatus (Neonates Intensive Care Unit – NICU), atau pada pasien risiko tinggi mengalami
kelebihan cairan (volume over-load) .Setiap selang infuse harus diberi label dengan nama
obat yang diberikan di ujung distal selang dan pada pintu masuk pompa (untuk
mempermudah verifikasi dan meminimalkan kesalahan).
d. Pada situasi emergensi, di mana pelabelan dan prosedur pengecekan ganda dapat
menghambat / menunda penatalaksanaan dan berdampak negatif terhadap pasien,
perawat atau dokter pertama-tama harus menentukan dan memastikan bahwa kondisi
klinis pasien benar-benar bersifat emergensi dan perlu ditatalaksanakan segera sedemikian
rupa sehingga pengecekan ganda dapat ditunda. Petugas yang memberikan obat harus
menyebutkan dengan lantang semua terapi obat yang diberikan sebelum memberikannya
kepada pasien.
e. Obat yang tidak digunakan dikembalikan kepada farmasi/apotek, dan dilakukan peninjauan
ulang oleh ahli farmasi atau apoteker apakah terjadi kesalahan obat yang belum diberikan.
f. Dosis ekstra yang digunakan ditinjau ulang oleh apoteker untuk mengetahui indikasi
penggunaan dosis ekstra.

B. OBAT-OBAT DENGAN PENGAWASAN (HIGH ALERT MEDICATIONS)

1. Alkaloid Vinca (Vincristine, vinblastine, vinorelbine)


a. Semua dosis vinkristin dan vinblastin disiapkan dan disimpan dalam larutan 10ml NaCl 0,9%
(injeksi)
b. Vinorelbine disiapkan dan disimpan dalam larutan 20ml NaCl 0,9% (injeksi)
c. Spuit harus diberi label dengan peringatan:
1) ‘Fatal jika diberikan intratekal’
2) ‘Hanya untuk penggunaan IV’
3) ‘Perlu pengecekan ganda’
d. Setiap spuit harus disertai tutup dan harus tetap intak hingga waktu pemberian obat tiba.
2. Pemberian obat melalui intratekal

111
a. Lakukan pengecekan ganda setelah persiapan dosis obat intratekal untuk memastikan obat
dan pelabelan benar.
b. Pelabelan meliputi peringatan:
1) ‘Perhatian: hanya untuk penggunaan intratekal’
2) ‘Perlu pengecekan ganda’
c. Obat-obatan kemoterapi intratekal akan disimpan dan disiapkan dalam sediaan spuit 10 ml
atau lebih kecil.
d. Tidak boleh ada obat-obatan sitotoksik lainnya di sebelah tempat tidur pasien selama proses
pemberian obat kemoterapi intratekal.
e. Lakukan pengecekan ganda
3. Agonis Adrenergik IV (epinefrin, fenilefrin, norepinefrin, isoproterenol)
a. Instruksi medikasi harus meliputi ‘kecepatan awal’.
b. Saat titrasi obat, haruslah meliputi parameternya
c. Konsentrasi standar untuk infuse kontinu:
1) Epinefrin: 4 mg/250ml
2) Norepinefrin: 8 mg/250ml
3) Fenilefrin: 50 mg/250ml
d. Pada kondisi klinis di mana diperlukan konsentrasi infuse yang tidak sesuai standar, spuit atau
botol infuse harus diberi label ‘konsentrasi yang digunakan adalah ….’
e. Gunakan monitor kardiovaskular pada semua pasien dengan pemasangan vena sentral
4. Antagonis adrenergic (propanolol, esmolol, metoprolol, labetalol)
Konsentrasi standar esmolol:
a. Vial 100 mg/10ml
b. Ampul 2,5 g/10ml
5. Dopamine dan dobutamin
a. Sering terjadi kesalahan berupa obat tertukar karena namanya yang mirip, konsentrasi yang
mirip, dan indikasinya yang serupa. Gunakan label yang dapat membedakan nama obat
(misalnya: DOBUTamin, DOPamin)
b. Gunakan konsentrasi standar
c. Beri label pada pompa dan botol infuse berupa ‘nama obat dan dosisnya’
6. Kalsium Intravena (sebagai gluceptate, gluconate, atau chloride)
a. CaCl tidak boleh diberikan melalui IM karena bersifat sangat iritatif terhadap jaringan.
b. Faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam darah adalah kadar fosfor serum
dan albumin serum.
c. Efek samping yang dapat terjadi:
1) Interaksi obat dengan digoksin (injeksi cepat kalsium dapat menyebabkan bradiaritmia,
terutama pada pasien yang mengkonsumsi digoksin).
2) Antagonis terhadap CCB (calcium-channel blocker) dan peningkatan tekanan darah.
3) Hipokalsemia atau hiperkalsemia akibat pemantauan kadar kalsium yang tidak efisien.

112
4) Rasio kalsium-fosfor yang tidak tepat dalam larutan IV dan menyebabkan presipitasi dan
kerusakan organ.
5) Nekrosis jaringan akibat ekstravasasi kalsium Klorida.
d. Instruksikan pemberian kalsium dalam satuan milligram.
e. Lakukan pengecekan ganda

7. Agen Kemoterapi (intravena, intraperitoneal, intraarterial, intrahepatik, dan intrapleural)


a. Dalam meresepkan obat kemoterapi, perlu dilakukan sertifikasi dan verifikasi secara tepat
sebelum meresepkan dan memberikan obat.
b. Instruksi kemoterapi harus ditulis di ‘formulir instruksi kemoterapi’ dan ditandatangani oleh
spesialis onkologi.
c. Tidak diperbolehkan memberikan instruksi obat kemoterapi hanya dalam bentuk verbal (harus
tertulis)
d. Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan singkatan.
e. Jangan menggunakan pompa IV jika hanya perlu dosis bolus.
f. Kapanpun memungkinkan, gunakan instruksi yang dicetak (print) dalam meresepkan obat.
g. Saat meresepkan obat kemoterapi IV, instruksi harus tertulis dengan dosis individual, bukan
jumlah total obat yang diberikan sepanjang program terapi ini.
h. Instruksi lengkap mengenai pemberian obat ini harus mencakup:
1) Nama pasien dan nomor rekam medis
2) Tanggal dan waktu penulisan instruksi
3) Semua elemen yang digunakan untuk menghitung dosis inisial atau perubahan tatalaksana
kemoterapi harus dicantumkan dalam resep (tinggi badan, berat badan, dan atau luas
permukaan tubuh)
4) Indikasi dan inform consent
5) Alergi
6) Nama obat kemoterapi, dosis, rute pemberian, dan tanggal pemberian setiap obat
7) Jumlah siklus dan atau jumlah minggu pemberian regimen pengobatan, jika memungkinkan
i. Berikan label yang jelas dan kemasan berbeda-beda untuk membedakan dengan obat lainnya.
j. Semua dosis obat harus disertai dengan tulisan: ‘Perhatian: agen kemoterapi’
k. Adanya dosis obat yang hilang harus diselidiki segera oleh ahli farmasi dan dosis pengganti
sebaiknya tidak diberikan sebelum disposisi dosis pertama diverifikasi.
l. Obat kemoterapi akan diberikan berdasarkan pada instruksi dokter dan dilakukan sesuai
dengan prosedur yang berlaku.
m. Berikan label pada setiap alat/benda spesifik milik pasien yang berhubungan dengan
kemoterapi, misalnya: ‘Peringatan: materi/bahan anti-neoplastik. Perlakukan dengan baik dan
hati-hati.’

113
n. Obat kemoterapi akan dikemas dengan 2 lapisan untuk meminimalisasi kemungkinan tercecer
atau tersebar.
o. Semua obat kemoterapi yang telah dipersiapkan akan menjalani pengecekan ganda
p. Lakukan pengecekan dalam perhitungan dosis sebanyak 2 kali oleh 2 orang yang berbeda
q. Lakukan pengecekan pengaturan pompa kemoterapi sebelum memberikan obat.
r. Hanya perawat yang memiliki kompetensi dalam pemberian kemoterapi yang boleh
memberikan obat.

8. Infuse kontinu Heparin, Lepirudin, Argatroban, Warfarin IV


a. Protokol standar indikasi adalah untuk thrombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis – DVT),
sakit jantung, stroke, dan ultra-filtrasi.
b. Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan singkatan.
c. Standar konsentrasi obat untuk infuse kontinu:
1) Heparin: 25.000 unit/500ml dekstrosa 5% (setara dengan 50 unit/ml)
2) Lepirudin: 50 mg/250ml dan 100 mg/250ml
3) Argatroban: 250 mg/250ml
d. Gunakan pompa infuse
e. Lakukan pengecekan ganda
f. Berikan stiker atau label pada vial heparin dan lakukan pengecekan ganda terhadap adanya
perubahan kecepatan pemberian.
g. Untuk pemberian bolus, berikan dengan spuit (daripada memodifikasi kecepatan infus)
h. Obat-obatan harus diawasi dan dipantau
i. Warfarin harus diinstruksikan secara harian berdasarkan pada nilai INR / PT harian.

9. Insulin IV
a. Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan singkatan.
b. Infuse insulin: konsentrasi standar = 1 unit/ml, berikan label ‘high alert’ , ikuti protokol
standar ICU
c. Vial insulin yang telah dibuka memiliki waktu kadaluarsa dalam 30 hari setelah dibuka.
d. Vial insulin disimpan pada tempat terpisah di dalam kulkas dan diberi label.
e. Pisahkan tempat penyimpanan insulin dan heparin (karena sering tertukar)
f. Jangan pernah menyiapkan insulin dengan dosis U100di dalam spuit 1 cc, selalu gunakan spuit
insulin (khusus).
g. Lakukan pengecekan ganda
h. Perawat harus memberitahukan kepada pasien bahwa mereka akan diberikan suntikan
insulin/
i. Distribusi dan penyimpanan vial insulin dengan beragam dosis:
1) Simpan dalam kulkas secara terpisah dan diberi label yang tepat

114
2) Semua vial insulin harus dibuang dalam waktu 30 hari setelah dibuka (injeksi jarum
suntik). Tanggal dibuka / digunakannya insulin untuk pertama kali harus dicatat pada vial.
10. Konsentrat elektrolit: injeksi NaCl > 0,9% dan injeksi Kalium (klorida, asetat, dan fosfat) ≥ 0,4
Eq/ml
a. Jika KCl diinjeksi terlalu cepat (misalnya pada kecepatan melebihi 10 mEq/jam) atau dengan
dosis yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan henti jantung.
b. KCl tidak boleh diberikan sebagai IV push/bolus.
c. Hanya disimpan di apotek, ICU, ICCU, dan kamar operasi
d. Standar konsentrasi pemberian infuse NaCl: maksimal 3% dalam 500ml.
e. Berikan label pada botol infuse: ‘larutan natrium hipertonik 3%’ (Tulisan berwarna merah)
f. Protokol untuk KCl:
1) Indikasi infuse KCl
2) Kecepatan maksimal infuse
3) Konsentrasi maksimal yang masih diperbolehkan
4) Panduan mengenai kapan diperlukannya monitor kardiovaskular
5) Penentuan bahwa semua infuse KCl harus diberikan via pompa
6) Larangan untuk memberikan larutan KCl multipel secara berbarengan (misalnya: tidak
boleh memberikan KCl IV sementara pasien sedang mendapat infuse KCl di jalur IV
lainnya)
7) Diperbolehkan untuk melakukan substitusi dari KCl oral menjadi KCl IV, jika diperlukan
g. Lakukan pengecekan ganda.
11. Infuse narkose/opiat, termasuk infuse narkose epidural11
a. Opiate dan substansi lainnya harus disimpan dalam lemari penyimpanan yangterkunci di
apotik / unit farmasi dan di ruang perawatan pasien.
b. Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print) sebaiknya tersedia dalam
meresepkan obat.
c. Berikan label ‘high alert’: untuk infuse kontinu dengan konsentrasi non-standar yang
diberikan /diantarkan ke unit rawat, jika dperlukan sewaktu-waktu.
d. Konsentrasi standar:
1) Morfin: 1 mg/ml
2) Meperidin: 10 mg/ml
3) Hidromorfin: 0,2 mg/ml (lima kali lebih poten dibandingkan morfin)
4) Fentanil (penggunaan ICU): 10 mcg/ml
e. Konsentrasi tinggi: (berikan label ‘konsentrasi tinggi’)
1) Morfin: 5 mg/ml
2) Hidromorfin: 1 mg/ml (lima kali lebih poten dibandingkan morfin)
3) Fentanil (penggunaan ICU): 50 mcg/ml
f. Instruksi penggunaan narkose harus mengikuti Kebijakan Titrasi.

115
g. Pastikan tersedia nalokson atau sejenisnya di semua area yang terdapat kemungkinan
menggunakan morfin
h. Tanyakan kepada semua pasien yang menerima opiate mengenai riwayat alergi
i. Hanya gunakan nama generik
j. Jalur pemberian epidural:
1) semua pemberian infuse narkose/opiate harus diberikan dengan pompa infuse yang
terprogram dan diberikan label pada alat pompa
2) Gunakan tabung infuse yang spesifik (misalnya: warna: kuning bergaris) tanpa portal
injeksi.
3) Berikan label pada ujung distal selang infuse epidural dan selang infus IV untuk
membedakan.
k. Jika diperlukan perubahan dosis, hubungi dokter yang bertanggungjawab
l. Lakukan pengecekan ganda.
12. Agen sedasi IV (lorazepam, midazolam, propofol)
a. Setiap infuse obat sedasi kontinu memiliki standar dosis, yaitu:
1) Lorazepam: 1 mg/ml
2) Midazolam: 1 mg/ml, efek puncak: 5-10 menit
3) Propofol: 10 mg/ml
b. Lakukan monitor selama pemberian obat (oksimetri denyut, tanda vital, tersedia peralatan
resusitasi)
13. Infus Magnesium Sulfat
a. Tergolong sebagai high alert medications pada pemberian konsentrasi melebihi standar,
yaitu > 40 mg/ml dalam larutan 100 ml (4 g dalam 100 ml larutan isotonic / normal saline).
b. Perlu pengecekan ganda (perhitungan dosis, persiapan dosis, pengaturan pompa infuse).
14. Infuse Alteplase (t-PA, activase) IV
a. Semua infuse Alteplase yang digunakan di rumah sakit harus disiapkan oleh ahli farmasi.
b. Untuk penggunaan dalam kondisi emergensi, saat ahli farmasi tidak ada di tempat untuk
mempersiapkan obat, 1 sediaan Alteplase akan disimpan di Instalasi Gawat Darurat (IGD).
Saat obat ini hendak digunakan, lakukanlah pencatatan yang sesuai dan lengkap berisi
identifikasi pasien dan alasan/indikasi pemberian obat. Pencatatan ini harus ditransmisikan
ke farmasi/apotek sebelum dosis obat berikutnya diberikan.
c. Siapkan Alteplase dengan dosis spesifik untuk setiap pasien.
d. Tidak diperbolehkan adanya obat ekstra / berlebih di container obat final yang akan
diberikan kepada pasien (contohnya: hanua obat dengan dosis spesifik dan tepat yang
diletakkan di container obat final).
e. Beri label pada setiap dosis obat yang digunakan (di spuit dan container infuse), dan harus
meliputi minimal:
1) Nama pasien
2) Nomor rekam medis pasien

116
3) Lokasi pasien
4) Nama generic dan paten obat yang digunakan
5) Konsentrasi obat yang dinyatakan dalam mg/ml
6) Kuantitas total obat/volume total larutan yang terkandung di dalam sediaan
7) Tanggal kadaluarsa obat
8) Kecepatan pemberian infuse
f. Pemberian obat tidak boleh diinterupsi dan dilakukan di area/tempat yang bebas
gangguan/distraksi.
g. Perlu pengecekan ganda.

15. Injeksi Tenecteplase IV


a. Pada tempat penyimpanan obat, berikan label yang jelas, untuk dapat membedakan dengan
alteplase dan meminimalisasi kemungkinan obat tertukar
b. Lakukan pengecekan ganda.
16. Agen blok neuromuscular (Suksinilkolin, rokuronium, vekuronium, atrakurium, pankuronium)
a. Harus disimpan di area khusus dan spesifik, seperti: kamar operasi, Ruang Rawat Intensif
(Pediatric Intensive Care Unit / Neonates Intensive Care Unit / Intensive Care Unit), IGD, Cath
Lab.
b. Berikan label yang terlihat jelas dan dapat dibedakan dengan obat-obatan lainnya. Farmasi
akan memberikan label pada semua vial untuk penyimpanan obat di luar kamar operasi.
c. Penyimpanan harus dipisahkan dari obat-obatan lainnya, misalnya dengan kotak berwarna,
penyekatan, dan sebagainya.
d. Semua infuse agen blok neuromuscular harus memiliki label yang bertuliskan:
1) ‘Peringatan: Agen Paralisis’
2) ‘Dapat menyebabkan henti napas’
e. Lakukan pengecekan ganda
f. Untuk setiap container obat baru yang disediakan oleh farmasi (misalnya: vial, spuit, dan
sebagainya), pengecekan ganda harus dicatat oleh kedua petugas di rekam medis pasien.
g. Catatlah jika ada perubahan instruksi, termasuk perubahan kecepatan infuse dan
pengaturan pompa infuse
h. Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print) sebaiknya tersedia. Instruksi juga
harus menyatakan ‘Pasien harus terpasang ventilator’.
i. Jangan pernah menganggap obat-obatan ini sebagai ‘relaksan’
j. Harus dihentikan pemberiannya pada pasien yang di-ekstubasi dan tidak menggunakan
ventilator lagi.
17. Obat-obatan inotropik IV (Digoksin, Milrinone)
a. Obat-obatan ini memiliki rentang terapeutik yang sempit dan memiliki sejumlahinteraksi
obat.

117
b. Pasien-pasien yang harus mendapatkan pengawasan ekstra adalah: lansia (geriatric) yang
mendapat dosis tinggi obat inotropik dan juga mengkonsumsi quinidine.
c. Dalam penggunaan obat, berikan edukasi kepada pasien mengenai pentingnya kepatuhan
pasien dalam hal dosis, perlunya pemeriksaan darah perifer secara rutin, dan tanda-tanda
peringatan akan terjadinya potensi over dosis.
d. Tingkatkan pemantauan pasien dengan memperbanyak kunjungan dokter dan pemeriksaan
laboratorium
e. Lakukan pemeriksaan digoksin darah secara rutin.
f. Monitor penggunaan Digibind dan kembangkan suatu protokol mengenai indikasi
penggunaan Digibind.
18. Garam fosfat (Natrium dan Kalium)
a. Sebisa mungkin, berikan terapi pengganti fosfat melalui jalur oral
b. Berikan dalam bentuk natrium fostat, kapanpun memungkinkan
b. Pemberian Kalium Fosfat berdasarkan pada level/kadar fosfat inorganik pasien dan faktor
klinis lainnya.
c. Dosis normal kalium fosfat: tidak melebihi 0,32 mmol/kgBB dalam 12 jam. Dosis dapat
diulang hingga serum fosfat > 2 mg/dl.
d. Selalu berikan via pompa infuse.

C. PEMBERIAN HIGH ALERT MEDICATIONS PADA PEDIATRIK DAN NEONATUS

1. High alert medications pada neonatus dan pediatric serupa dengan obat-obatan pada dewasa,
dan obat-obatan di bawah ini:
a. Regicide (semua jalur pemberian)
b. Chloral hydrate (semua jalur pemberian)
c. Insulin (semua jalur pemberian)
d. Digoksin (oral dan IV)
e. Infuse dopamine, dobutamin, epinefrin, norepinefrin

2. Pemberian chloral hydrate untuk sedasi:


a. Kesalahan yang sering terjadi:
1) Dosis tertukar karena terdapat 2 sediaan: 250 mg/5ml dan 500 mg/5ml.
2) Instruksi sering dalam bentuk satuan volume (ml), dan bukan dalam dosis mg.
3) Pasien agitasi sering mendapat dosis multipel sebelum dosis yang pertama mencapai
efek puncaknya sehingga mengakibatkan terjadinya over dosis.
b. Tidak boleh untuk penggunaan di rumah
c. Monitor semua anak yang diberikan chloral hydrate untuk sedasi pre-operatif sebelum dan
setelah prosedur dilakukan. buatlah rencana resusitasi dan pastikan tersedianya peralatan
resusitasi.

118
3. Prosedur pemberian obat:
a. Lakukan pengecekan ganda oleh 2 orang petugas kesehatan yang berkualitas (perawat,
dokter, ahli farmasi)
b. Berikut adalah konsentrasi standar obat-obatan untuk penggunaan secara kontinyu infuse
intravena untuk semua pasien pediatric yang dirawat, PICU, dan NICU. Berikan label
‘konsentrasi …….’ untuk spuit atau botol infuse dengan konsentrasi modifikasi.

Tabel Konsentrasi Standar Obat-obatan untuk Pediatric, PICU, dan NICU


Obat Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3
KCl 0,1 mEq/ml 0,2 mEq/ml
(10 mEq/100ml) (20 mEq/100ml),
hanya untuk infus
vena sentral

Spesifik untuk pediatric / PICU


Dopamin 1600 mcg/ml 3200 mcg/ml
(400 mcg/250ml) (800 mcg/250ml)

Dobutamin 200 mcg/ml 4000 mcg/ml


(500 mcg/250ml) (1 mg g/250ml)
Epinefrin 16 mcg/ml 64 mcg/ml
(4 mg/250ml) (16 mg/250ml)
Norepinefrin 16 mcg/ml 32 mcg/ml 64 mcg/ml
(4 mg/250ml) (8 mg/250ml) (16 mg/250ml)
Insulin, regular 0,5 unit/ml 1 unit/ml
Spesifik untuk NICU
Dopamine 400 mcg/ml 800 mcg/ml 1600 mcg/ml
Dobutamin 500 mcg/ml 500 mcg/ml 2000 mcg/ml
Epinefrin 20 mcg/ml 40 mcg/ml
Insulin, regular 0,1 unit/ml 0,5 unit/ml
Fentanil 4 mcg/ml 12,5 mcg/ml

c. Hanya staf yang berpengalaman dan kompeten yang diperbolehkan memberikan obat.
d. Simpan dan instruksikan hanya 1 (satu) konsentrasi.
e. Harus memberikan instruksi dalam satuan milligram, tidak boleh menggunakan satuan milliliter
f. Jangan menginstruksikan penggunaan obat-obatan ini sebagai rutinitas /jika perlu. Jika
diperlukan pemberian obat secara pro re nata (jika perlu), tentukan dosis maksimal yang masih
diperbolehkan (misalnya: dosis maksimal 500 mg per hari).

119
120
BAB X
PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN

Dalam upaya meningkatkan pengetahuan staf instalasi farmasi disusun setiap tahun program
pengembangan staf instalasi farmasi, diusulkan ke Direktu RS melalui bidang diklat, apabila disetujui
dilaksanakan pada tahun yang akan datang. Program pengembangan staf dapat berupa program
pendidikan berkelanjuatan, pelatihan atau pertemuan ilmiah. Instalasi Farmasi RSUD H. Hanafie juga
menjadi tempat praktek kerja siswa SMF dan D3 Farmasi.
a. Program orientasi bagi tenaga baru instalasi farmasi
Tenaga Instalasi farmasi yang baru ditetapkan di IF RSUD H. Hanafie menjalani program
orientasi selama 1 bulan. Tenaga yang bersangkutan ditugaskan pada shift pagi sampai masa
orientasi berakhir. Setelah 1 bulan, baru ditugaskan seperti tenaga yang lain, yaitu dinas 3 shift
untuk Apoteker/Ahli Madya Farmasi, dan untuk Apoteker tetap shift pagi.
b. Program Diseminasi
Merupakan program pendidikan intern dimana karyawan yang telah mengikuti kegiatan
pendidikan berkelanjutan, pelatihan dan kursus wajib membagikan pengetahuan kepada
karyawan lain.
c. Program Jangka Pendek
Tujuan program pendidkan, pelatihan dan pertemuan ilmiah adalah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, antara lain :
 Mengikutsertakan karyawan instalasi farmasi secara bergiliran dalam seminar,
simposium, lokakarya, pelatihan yang diadakan didalam atau luar RS.
 Mengikutsertakan karyawa instalasi farmasi dalam training/kursus serta kunjungan RS
lain.
d. Program Monitoring
 Memonitor program orientasi tenaga baru :
- Disiplin kerja dan kerapian dalam berpakaian
- Kecepatan dan ketepatan dalam menjalankan tugas yang telah ditentukan
 Memonitor program disseminasi
- Memonitor pelaksanaan program disseminasi sesuai jadwal pelaksanaan
- Memonitor keberhasilan program disseminasi dengan memberikan umpan balik kepada
seluruh karyawan farmasi

 Memonitor program jangka pendek

121
- Mengikuti perkembangan dan informasi pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan
oleh Kemenkes RI, Lembaga Pendidikan Kefarmasian, IAI atau HISFARSI.
- Memonitor apakah ilmu keterampilan dan pengalaman mengenai pekerjaan
kefarmasian yang telah diperoleh dan dapat diterapkan di RSUD H. Hanafie telah
dibuatkan perencanaan untuk dilaksanakan.
e. Evaluasi Program
1. Evaluasi program orientasi tenaga baru
Berdasarkan monitoring dapat dilakukan evaluasi hasil program :
- Penilaian kemampuan dalam menjalankan tugas pokok dan tanggung jawab
- Penilaian kemampuan dalam bekerjasama dengan tenaga lain
- Penilaian kedisiplinan menjalankan peraturan dan prosedur tetap
2. Evaluasi program disseminasi
Dengan memberikan umpan balik pengetahuan dan peraturan baru yang telah
dipresentasikan
3. Evaluasi program jangka pendek
Menilai berapa banyak piagam/sertifikat yang dimiliki karyawan berkaitan dengan
pekerjaan kefarmasian
4. Menilai kreatifitas karyawan yang bersangkutan dalam menerapkan ilmu keterampilan di
RSUD H. Hanafie
f. Program pendidikan bagi calon asisten Apoteker dan Ahli Madya Farmasi
Instalasi Farmasi bekerjasama menyelenggarakan program pendidikan bagi calon
Asisten Apoteker dan Ahli Madya Farmasi dengan pelaksanaan praktek kerja lapangan.

I. EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU

1) Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM


2) Peningkatan operasional kegiatan pelayanan instalasi farmasi
3) Peningkatan pelayanan farmasi dan pelayanan farmasi klinik sesuai dengan prosedur tetap
4) Melakukan pembaharuan prosedur tetap sesuai dengan keadaan dan perkembangan
instalasi farmasi
5) Peningkatan mutu terpadu pelayanan rumah sakit
a) Jangka Pendek
- Meneliti dan mengevaluasi kepuasan/keinginan pasien melalui kuestioner dan gugus
kendali mutu

122
- Pembinaan personil dan motivasi secara berkala
- Mengikuti pelatihan/pendidikan bagi tenaga farmasi secara bergantian
- Penambahan sumber daya manusia sesuai keadaan dan perkembangan instalasi
farmasi
7) Program pengendalian mutu
Kegiatan pengendalian mutu meliputi :
- Pemantauan : Mengumpulkan informasi/data yang berhubungan dengan
pelayanan farmasi
- Penilaian : Menilai secara berkala masalah atau yang timbul dalam
pelayanan dan berupaya untuk memperbaikinya.
- Tindakan : Bila masalah sudah ditemukan, dilakukan tindakan untuk
memperbaiki dan mendokumentasikan.
- Evaluasi : mengevaluasi efektifitas tindakan agar dapat diterpakan dalam
program jangka panjang.
- Umpan balik : Menginformasikan hasil tindakan secara teratur kepada staf
8) Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian
Indikator inti, antara lain :
- Indikator penulisan resep oleh dokter
- Jumlah rata-rata obat setiap kali kunjungan
- Persentase penulisan resep antibiotik
- Persentase penulisan resep injeksi
- Persentase penulisan resep sesuai formularium
- Persentase penulisan resep generik
Indikator pelayanan pasien
- Rata-rata waktu pelayanan per resep
- Persentase obat yang dibeli pasien
Indikator pelengkap, antara lain :
- Rata-rata biaya obat per lembar resep rawat jalan
- Rata-rata biaya antibiotik
- Rata-rata biaya obat injeksi
- Persentase obat yang diresepkan yang masuk dalam formularium
- Persentase pasien yang puas terhadap pelayanan yang diterimanya.

123
124
BAB XI
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR

Kegiatan pelayanan instalasi farmasi dijalankan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan dan
sesuai dengan kesepakatan bersama yang diterapkan di SK Direktur. Apabila dipandang perlu,
kebijakan tersebut dapat diubah sesuai dengan perkembangan RS dan IPTEK.

A. KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI

I. PEMILIHAN PERBEKALAN FARMASI


II. PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI
III. PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI
IV. PENGADAAN DAN PENYIMPANAN BAHAN BERBAHAYA
V. PENANGGULANGAN BILA TERJADI KONTAMINASI BAHAN BERBAHAYA
VI. PENERIMAAN PERBEKALAN FARMASI
VII. PENERIMAAN DONASI OBAT
VIII. PENERIMAAN ALAT KESEHATAN HABIS PAKAI
IX. PENYIMPANAN PERBEKALAN FARMASI
X. PENYIMPANAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
XI. PENDISTRIBUSIAN PERBEKALAN FARMASI DARI GUDANG INSTALASI FARMASI
XII. PERMINTAAN OKSIGEN KE INSTALASI FARMASI
XIII. PELAYANAN PERBEKALAN FARMASI UNTUK PASIEN RAWAT JALAN, RAWAT INAP, ASKES
SOSIAL(PNS), KARYAWAN PNS/NON PNS, ASKES KOMERSIAL, JAMINAN PERUSAHAAN
DAN PASIEN JAMKESMAS/DA/PROV SERTA JAMPERSAL
XIV. PELAYANAN FARMASI MELALUI SATU PINTU
XV. PENGGUNAAN OBAT/PERBEKALAN FARMASI DI RUMAH SAKIT
XVI. PENGEMBALIAN PERBEKALAN FARMASI KE DISTRIBUTOR
XVII. PENGEMBALIAN PERBEKALAN FARMASI PASIEN RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP
XVIII. PENCATATAN/PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI
XIX. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA
XX. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN MORFIN, PETHIDIN, FENTANYL INJ EKSI
PER PASIEN
XXI. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN OBAT GENERIK
XXII. PENGAWASAN MUTU PERBEKALAN FARMASI DAN MUTU PELAYANAN FARMASI
XXIII. PENGARSIPAN DOKUMEN
XXIV. PENGARSIPAN RESEP

125
XXV. PEMUSNAHAN RESEP
XXVI. PENARIKAN OBAT KADALUARSA
XXVII. PEMUSNAHAN PERBEKALAN FARMASI RUSAK/KADALUARSA
XXVIII. KEBIJAKAN PENANGANAN BILA PERBEKALAN FARMASI TIDAK TERSEDIA DI RUMAH
SAKIT

B. ISI DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI

I. PEMILIHAN PERBEKALAN FARMASI


1. Rumah sakit melalui Komite Medik membentuk Panitia Farmasi dan terapi
2. Panitia Farmasi dan terapi memwakili hubungan komunikasi anatara staf medis dan
staf farmasi, terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi yang ada di rumah sakit dan
apoteker wakil dari intalasi famasi.
3. Panitia farmasi dan terapi mengkaji penggunaan obat, menetapkan kebijakan
penggunaan obat, mengelola Sistem Formulasi dan Standar Terapi.
4. Formularium Rumah Sakit adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia
Farmasi dan terapi untuk digunakan di Rumah Sakit, merupakan acuan dalam
perencanaan pengadaan obat di Rumah Sakit.

II. PERENCANAAN PERBEKALAN FARMASI


1. Perencanaan perbekalan farmasi dibuat oleh Instalasi Farmasi berdasarkan Rencana
kebutuhan obat (RKO), Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Rumah
Sakit, pola penyakit, sisa stok dan data pemakaian periode yang lalu serta usulan dari
poli/ruangan/instalasi
2. Perencanaan secara umum dibuat untuk keperluan 1 tahun
III. PENGADAAN PERBEKALAN FARMASI
1. Pengadaan perbekalan farmasi dilakukan melalui pembelian langsung ke distributor
resmi.
2. Surat pesanan ditandatangani oleh apoteker, diketahui oleh Panitia Pengadaan dan
Direktu Rumah Sakit.
3. Panitia Pengadaan dan Penerimaan ditetapkan dengan SK Direktur.

IV. PENGADAAN DAN PENYIMPANAN BAHAN BERBAHAYA

126
1. Pengadaan bahan berbahaya di Rumah Sakit dilakukan oleh Instalasi farmasi dan
dilakukan sesuai prosedur pengadaan perbekalan farmasi.
2. Bahan berbahaya yang dikirim berdasarkan pesanan harus diperiksa oleh panitia
penerimaan sesuai dengan spesifikasi, kondisi, kualitas, tanda-tanda maupun tata cara
penyimpanan.
3. Bahan berbahaya dengan ketentuan khusus seperti mudah terbakar dan menguap
disimpan di ruang khusus.
4. Ruangan penyumpanan bahan berbahaya harus memiliki sirkulasi udara yang baik.

V. PENANGGULANGAN BILA TERJADI KONTAMINASI BAHAN BERBAHAYA


1. Direktur Rumah Sakit menetapkan adanya Pedoman Penyimpanan dan Upaya
Perlindungan serta Penanggulangan Kontaminasi terhadap bahan berbahaya di Rumah
Sakit
2. Adanya ketetapan baru mengenai bahan berbahaya harus segera disosialisakan ke
semua unti terkait
3. Adanya kasus-kasus yang terjadi sehubungan dengan penggunaan bahan berbahaya di
rumah sakit haru segera dilaporkan dan didata sebagai masukan dalam membuat
protap di lapangan.

VI. PENERIMAAN PERBEKALAN FARMASI


1. Seluruh perbekalan farmasi yang dibeli oleh Panitia Pengadaan Rumah Sakit harus
diperiksa oleh Panitia Penerimaan dengan bukti paraf pada setiap faktur pembelian.
2. Pemeriksaan perbekalan farmasi dilakukan dengan menyesuaikan antara Surat
Pesanan, faktur pembelian dan barang yang diterima.
3. Setiap perbekalan farmasi yang diterima oleh panitia penerimaan dibuatkan berita
acara yang ditandatangani panitia penerimaan.
4. Perbekalan farmasi yang diterima dan diperiksa kebenarannya oleh panitia penerimaan
disimpan digudang instalasi farmasi.

VII. PENERIMAAN DONASI OBAT*tidak diberlakukan*


1. Panitia farmasi dan terapi bekerjasama dengan Instalasi Farmasi untuk uji coba obat
baru.
2. Hasil evaluasi uji cobat baru dapat dijadikan dasar pengadaan obat tersebut di Instalasi
Farmasi

127
VIII. PENERIMAAN ALAT KESEHATAN HABIS PAKAI
1. Panitia Farmasi dan terapi bekerjasama dengan Instalai Farmasi mengelola uji coba alat
kesehatan habis pakai merk baru.

IX. PENYIMPANAN PERBEKALAN FARMASI


1. Perbekalan farmasi yang diterima oleh petugas Instalasi Farmasi disimpan dengan
mengelompokkan sesuai dengan bentuk sediaan pada rak yang tersedia.
2. Perbekalan farmasi yang mudah terbakar dan menguap harus disimpan pada ruang
khusus.
3. Perbekalan farmasi berupa narkotika dan psikotropika disimpan pada lemari tersendiri.
4. Perbekalan farmasi yang harus disimpan pada suhu tertentu (2 – 8 derajat Celcius)
disimpan dalam lemari pendingin.
5. Perbekalan farmasi disimpan secara alfabetis dan mengikuti kaidah FIFO.
6. Ruang penyimpanan perbekalan farmasi harus memiliki ventilasi baik.

X. PENYIMPANAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA


1. Lemari penyimpanan dibuat sesuai dengan peraturan pemerintah.
2. Narkotika dan psikotropika yang diterima langsung disimpan dalam lemari khusus
narkotika dan psikotropika.
3. Penyimpanan mengikuti kaidah penyimpanan yang berlaku.
4. Kunci lemari narkotika dan psikotropika disimpan oleh Kepala Instalasi Farmasi dan
pengelola bertugas.

XI. PENGEMASAN ULANG PERBEKALAN FARMASI


1. Instalasi farmasi melayani produk kemasan ulang tanpa melakukan perubahan
komposisi sediaan.
2. Produk kemasan ulang tersebut antara lain larutan H2O2, Kapas dan Alkohol

XII. PENDISTRIBUSIAN PERBEKALAN FARMASI DARI GUDANG INSTALASI FARMASI


1. Semua perbekalan farmasi milik RS harus disimpan digudang Instalasi Farmasi
2. Gudang Instalasi Farmasi adalah pusat penyimpanan dan pendistribusian perbekalan
farmasi (obat. BAKHP dan gas medis) ke poli/ruangan/instalasi di lingkungan RSUD H.
Hanafie

128
XIII. PERMINTAAN OKSIGEN KE INSTALASI FARMASI
1. Tersedianya formulir permintaan oksigen rangkap dua yang ditandatangani oleh kepala
ruangan dan petugas Instalasi Farmasi.
2. Tersedianya buku permintaan dan pemakaian oksigen yang berisi jumlah permintaan,
jumlah yang diterima dan pemakaian oksigen yang ditandatangani oleh kepala ruangan
dan kepala Instalasi Farmasi.
3. Tersedianya bon sementara untuk permintaan sore, malam dan hari libur (rangkap
dua)
4. Ada petugas yang mengantarkan oksigen ke ruangan perawatan yang memerlukan.

XIV. PELAYANAN PERBEKALAN FARMASI UNTUK PASIEN RAWAT JALAN, RAWAT INAP, ASKES
SOSIAL(PNS), KARYAWAN PNS/NON PNS, ASKES KOMERSIAL, JAMINAN PERUSAHAAN DAN
PASIEN JAMKESMAS/DA/PROV SERTA JAMPERSAL
1. Pelayanan perbekalan farmasi di instalasi farmasi berupa obat dan BAKHP dibuka 24
jam, mencakup pelayanan pasien rawat jalan, rawat inap dan pasien gawat darurat.
2. Instalasi farmasi juga melayani amprahan BAKHP bagi poli/instalasi dan ruangan yang
memerlukan.
3. Pelayanan instalasi farmasi mencakup pasien umum, Askes PNS, Jamsostek, pasien
perusahaan yang menjalin kerjasama, Jamkesmas/Da/Prov/jampersal dan karyawan
rumah sakit non PNS.
4. Kriteria dan tata cara pelayanan masing-masing pasien mengikuti prosedur yang
berlaku di Rumah Sakit

XV. PELAYANAN FARMASI MELALUI SATU PINTU


1. Instalasi farmasi adalah satu-satunya instalasi dalam bagan organisasi Rumah Sakit
yang bertugas untuk menyalurkan seluruh perbekalan farmasi bagi semua pasien yang
ada di Rumah Sakit
2. Seluruh pengadaan perbekalan farmasi untuk memenuhi keperluan ruangan/instalasi
dan pasien harus melalui instalasi farmasi.
3. Adanya distribusi barang selain dari Instalasi Farmasi diluar tanggung jawab Rumah
Sakit baik dari segi medis maupun hukum.
4. Instalasi Farmasi wajib menyediakan obat generik untuk pasien dan dokter diwajibkan
menuliskan obat generik.

129
5. Instalasi Farmasi berhak mengganti obat paten yang diresepkan dokter dengan obat
generik untuk pasien yang kurang mampu.
6. Waktu pelayanan 24 jam (3 shift)
7. Jenis pelayanan yaitu pelayananIGD, ICU, Rawat Inap, Rawat jalan dan pelayanan
kebutuhan ruangan perawatan/unit lain.
8. Sistem distribusi perbekalan farmasi diselenggarakan secara sentralisasi dengan sistem
peresepan individual untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap. Pasien rawat jalan
resep ditulis dikertas resep dan bagi pasien rawat inap resep ditulis di kartu
pengambilan obat/BAKHP.
9. Di ruangan IGD dan ICU diberlakukan persediaan perbekalan farmasi emergensi dalam
jumlah terbatas.

XVI. PENGGUNAAN OBAT/PERBEKALAN FARMASI DI RUMAH SAKIT


1. Tersedianya kartu permintaan obat dan BAKHP pasien yang warnanya disesuaikan
dengan status pasien.
2. Penulisan resep harus mengacu pada formularium RS yang ditetapkan Direktur melalui
Panitia farmas dan Terapi

XVII. PENGEMBALIAN PERBEKALAN FARMASI KE DISTRIBUTOR


1. Perbekalan farmasi yang 3 bulan lagi kadaluarsa dikonfirmasi ke distributor
untuk mendapat penggantian barang yang sama dengan masa kadaluarsa lebih
panjang.

XVIII. PENGEMBALIAN PERBEKALAN FARMASI PASIEN RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP
1. Pengembalian perbekalan farmasi yang dibeli oleh pasien rawat inap dapat
diterima karena alasan ganti terapi, pulang, pulang paksa atau meninggal dengan
membawa kartu pengambilan obat/BAKHP atau bakti pembayaran asli.
2. Pengembalian perbekalan farmasi yang dibeli oleh pasien rawat jalan dapat
diterima karena alasan alergi dengan surat pengantar pengambilan dari dokter
penulis resep dan bukti pembayaran asli.
3. Pengembalian perbekalan farmasi tidak dikenai potongan harga.
4. Pengembalian perbekalan farmasi dilakukan sebelum pasien dan menyelesaikan
administrasi pembayaran.

130
XIX. PENCATATAN/PELAPORAN PENGGUNAAN PERBEKALAN FARMASI
1. Instalasi farmasi wajib membuat catatan pengeluaran perbekalan farmasi harian dan
membuat laporan bulanan penerimaan dan pengeluaran semua perbekalan farmasi
termasuk obat narkotika dan psikotropika.
2. Setiap akhir tahun anggaran Instalasi Farmasi wajib membuat laporan rekapitulasi
penerimaan dan pengeluaran serta sisa stok perbekalan farmasi dalam bentuk uang.
3. Setiap 3 bulan instalasi wajib melaporkan kegiatan instalasi farmasi berupa berapa
jumlah resep generik dan non generik yang ditulis dan berapa persen yang dapat
dilayani ke bagian PPL Rumah Sakit.

XX. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA


1. RSUD H. Hanafie khususnya Instalasi Farmasi secara rutin mengirimkan laporan
penggunaan narkotika dan psikotropika secara rutin sesuai dengan peraturan yang
berlaku.

XXI. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN MORFIN, PETHIDIN, FENTANYL INJ EKSI PER
PASIEN
1. RSUD H. Hanafie khususnya Instalasi Farmasi secara rutin mengirimkan laporan
penggunaan morfin, pethidin injeksi, fentanyl injeksi per pelayanan pasien secara rutin
sesuai dengan peraturan yang berlaku.

XXII. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN OBAT GENERIK


1. RSUD H. Hanafie khusunya Instalasi Farmasi secara rutin mengirimkan laporan
penggunaan obat generik secara rutin sesuai dengan peraturan yang berlaku
melalui rekam medik.

XXIII. PENGAWASAN MUTU PERBEKALAN FARMASI DAN MUTU PELAYANAN FARMASI


1. Instalasi Farmasi harus melakukan pengwasan mutu perbekalan farmasi dengan
memonitor tanggal kadaluarsa perbekalan farmasi, melihat kondisi fisik barang
apakah terjadi perubahan warna dan lain-lain
2. Instalasi Farmasi harus memonitor stok barang yang menumpuk di gudang dan
memberi tahun UPF pemakai agar meresepkan obat tersebut

131
3. Mutu pelayanan farmasi harus dijaga dengan parameter waktu tunggu pasien,
keramahan dalam pelayanan, ketepatan jumlah dan jenis obat sesuai resep dan
pemberian informasi yang jelas kepada pasien.

XXIV. PENGARSIPAN DOKUMEN


1. Dokumen Instalasi farmasi berupa resep bersifat rahasia dan wajib disimpan
selama 3 tahun
2. Resep yang telah disimpan lebih dari 3 tahun dapat dimusnahkan dengan
membuat berita acara pemusnahan resep sesuai aturan yang berlaku.
3. Berkas berupa kartu stok, buku catatan, laporan disimpan selama 5 tahun dan
setelah 5 tahun dapat dimusnahkan.

XXV. PENGARSIPAN RESEP


1. Instalasi Farmasi menyimpan semua resep dan transaksi yang berkaitan
langsung dengan pelayanan resep tersebut minimum 3 tahun

XXVI. PEMUSNAHAN RESEP


1. Instalasi Farmasi bersama tim IPSRS dan tim audit melakukan proses
pemusnahan resep yang telah disimpan lebih dari 3 tahun minimum setahun
sekali

XXVII. KEBIJAKAN PENARIKAN OBAT KADALUARSA


1. Perbekalan farmasi yang 3 bulan lagi kadaluarsa dicatat nama, kadar dan
jumlahnya di buku khusus dan ditarik dari tempat penyimpanan

XXVIII. PEMUSNAHAN PERBEKALAN FARMASI RUSAK/KADALUARSA


1. Perbekalan farmasi yang 3 bulan lagi kadaluarsa dikonfirmsi ke distributor untuk
mendapat penggantian barang yang sama dengan masa kadaluarsa lebih
panjang.
2. Perbekalan farmasi yang kadaluarsa dicata nama, kadar dan jumlahnya dibuku
khusus dan dimusnahkan apabila jumlah barang telah menumpuk.
3. Pemusnahan obat keras dan narkotika/psikotropika mengikuti prosedur yang
berlaku dan dibuat berita acara pemusnahan.

132
4. Pemusnahan perbekalan farmasi dilakukan setalah mendapat persetujuan dari
pihak terkait dalam hal ini Pemerintah Provinsi selaku pemilik Rumah Sakit.

XXIX. KEBIJAKAN PENANGANAN BILA PERBEKALAN FARMASI TIDAK TERSEDIA DI


RUMAH SAKIT

1. Instalasi farmasi dapat mengadakan perbekalan farmasi diluar perencanaan


yang telah dibuat pada bulan berjalan karena perbekalan farmasi tersebut
habis sebelum waktu nya dan sangat diperlukan untuk pelayanan .

2. Pengadaan dapat dilakukan cito ke distributor farmasi atau melalui instalasi


farmasi RS lain apabila di distributor stok perbekalan farmasi yang diperlukan
kosong.

C. KEBIJAKAN TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN

I. PENGKAJIAN RESEP
II. PENULIS RESEP
III. FARMASI TENTANG BATASAN PEMBERIAN OBAT OLEH PETUGAS
IV. BATASAN PENULISAN RESEP
V. PENULISAN RESEP
VI. PELAYANAN FARMASI MENETAPKAN UNTUK MENGHUBUNGI PETUGAS PENULIS
RESEP/PESANAN OBAT BILA TIMBUL PERTANYAAN
VII. DISPENSING
VIII. SISTEM DISTRIBUSI KEPADA PASIEN
IX. FARMASI YANG MENELAAH RESEP
X. FARMASI YANG BERWENANG PENYERAHAN OBAT
XI. PELAYANAN INFORMASI OBAT
XII. KONSELING
XIII. VISITE PASIEN
XIV. PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT
XV. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT
XVI. MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN
XVII. TENTANG PENDOKUMENTASIAN DAN PENGELOLAAN OBAT YANG DIBAWA KE DALAM
RUMAH SAKIT OLEH PASIEN
XVIII. WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT

133
XIX. TENTANG PENGOBATAN SENDIRI / SWAMEDIKASI
XX. PEMBENTUKAN PFT
XXI. PENGAWASAN OBAT

I. PENGKAJIAN RESEP
1. Pengkajian resep dilaksanakan oleh Apoteker
2. Tiap resep yang masuk diperiksa persyaratan administrasi meliputi nama pasien, umur,
jenis kelamin, berat badan pasien, nama dokter, nomor ijin, alamat dan paraf dokter,
tanggal resep dan ruangan asal resep. Diperiksa juga persyaratan farmasi meliputi
bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan jumlah obat, aturan, cara dan teknik
penggunaan.
3. Apabila resep yang diperksa ada yang tidak sesuai dengan poin nomor 2, apoteker
berhak menanyakan ke dokter penulis resep

II. KEBIJAKAN PENULIS RESEP


1. Dokter, dokter gigi bertanggung jawab menulis resep sesuia dengan peraturan berlaku.

III. KEBIJAKAN FARMASI TENTANG BATASAN PEMBERIAN OBAT OLEH PETUGAS


1. Resep pasien rawat inap dilayani dengan sistem ODD (ones Daily Dose)/ untuk
pemakaian sehari.

IV. KEBIJAKAN TENTANG BATASAN PENULISAN RESEP


1. Resep yang ditulis oleh petugas yang berwenang dalam hal penulisan item obat dalam
satu lembar resep di batasi maksimal 5 item.

V. KEBIJAKAN TENTANG PENULISAN RESEP


1. Petugas yang berwenang dalam menulis resep harus mencantumkan kelengkapan
adminstrasi, kesesuaian farmasetis dan pertimbangan klinis.
2. Penulisan resep dengan tulisan yang Jelas dan mudah dibaca serta tidak boleh
menggunakan singkatan-singkatan yang tidak umum.

134
VI. KEBIJAKAN PELAYANAN FARMASI MENETAPKAN UNTUK MENGHUBUNGI PETUGAS PENULIS
RESEP/PESANAN OBAT BILA TIMBUL PERTANYAAN
1. Apoteker bertanggung jawab melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam hal menghubungi petugas yang menulis resep / pesanan
obat bila timbul pertanyaan

VII. DISPENSING
1. Resep-resep yang memenuhi persyaratan adminstrasi dan persyaratan farmasi di
interpretasikan.
2. Resep dihargai kemudian disiapkan obat-obatan yang diperlukan, diberikan etikan,
diserahkan disertai dengan pemberian informasi obat yang memadai.
3. Resep yang telah dilayani didokumentasikan sesuai ketentuan yang berlaku.

VIII. KEBIJAKAN SISTEM DISTRIBUSI KEPADA PASIEN


1. Sistem distribusi obat di RSUD H. Hanafie Sistem Individual Prescribtion/Resep
Perorangan untuk pasien rawat jalan dan Sistem Distribusi Dosis Per hari untuk pasien
rawat inap.

IX. KEBIJAKAN FARMASI YANG MENELAAH RESEP


1. Apoteker bertanggung jawab melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam hal penelaahan resep

X. KEBIJAKAN FARMASI YANG BERWENANG PENYERAHAN OBAT


1. Apoteker bertanggung jawab melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam hal penyerahan obat

XI. PELAYANAN INFORMASI OBAT


1. Pelayanan Informasi Obat adalah kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker
untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter,
Apoteker, Perawat, Profesi kesehatan lainnya dan pasien.
2. Instalasi Farmasi dalam memberikan pelayanan informasi obat dapat secara aktif dan
pasif melalui tatap muka, telepon dan surat maupun dengan cara membuat buletin dan
leaflet.

135
3. Instalasi Farmasi bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien
rawat jalan, rawat inap.
4. Instalasi farmasi melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga Farmasi dan tenaga
kesehatan lain.

XII. KONSELING
1. Konseling merupakan proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan penyelesaian
masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan obat pasien rawat
jalan dan pasien rawat inap.
2. Konseling dimaksudkan untuk memberi permasalahan yang benar mengenai obat,
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan
obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, dan cara penyimpanan obat.

XIII. VISITE PASIEN


1. Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan
tenaga kesehatan lainnya.
2. Apoteker yang melakukan visite bersama tim memberikan saran dalam pemilihan obat
dan menilai kunjungan pasien.
3. Setelah kunjungan Apoteker harus membuat catatan mengenai permasalahan dan
penyelesaian masalah dalam satu buku untuk digunakan lagi setiap berkunjung ke ruang
pasien.

XIV. PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT


1. Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat yang digunakan sesuai indikasi,
efektif, aman dan terjangkau oleh pasien.
2. Instalasi farmasi membandingkan pola penyusunan obat pada pelayanan
kesehatan/dokter satu dengan yang lain.
3. Instalasi menilai secara berkala penyusunan obat spesifik.
4. Instalasi Farmasi menilai intervensi atas pola penggunaan obat.

XV. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT

136
1. Pemantauan efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan setiap respon
terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal
yang digunakan pada manusai untuk tujuan profilaksis, diagnosis, dan terapi.
2. Pemantauan efek samping obat adalah kegiatan bersama antara instalasi farmasi,
panitia Farmasi dan terapi serta ruang rawat inap.
3. Instalasi farmasi harus selalu memperhatikan ketersediaan Formulir MESO di ruangan.

XI. KEBIJAKAN MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN

1. Pemantauan medication errors merupakan kegiatan pemantauan terhadap proses


pengobatan pasien terkait dengan praktek profesional, prosedur dan sistem peresepan;
komunikasi, administrasi, edukasi, monitoring dan penggunaan obat.

2. Pemantauan medication errors adalah kegiatan bersama yang dilakukan oleh Instalasi
Farmasi Rumah Sakit dan tenaga kesehatan lain.

3. Instalasi Farmasi memiliki Formulir Laporan Medication Errors


4. Evaluasi terhadap laporan medication errors dilakukan oleh Instalasi Farmasi bersama
tenaga kesehatan yang terkait

XVI. KEBIJAKAN TENTANG PENDOKUMENTASIAN DAN PENGELOLAAN OBAT YANG DIBAWA KE


DALAM RUMAH SAKIT OLEH PASIEN/ REKONSILIASI
1. Penanganan obat yang dibawa sendiri oleh pasien dilakukan oleh Instalasi Farmasi

XVII. KEBIJAKAN WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT


1. Waktu tunggu untuk resep non racikan adalah maksimal 15 menit
2. Waktu tunggu untuk resep racikan adalah maksimal 30 menit

XVIII. KEBIJAKAN TENTANG PENGOBATAN SENDIRI ATAU SWAMEDIKASI


1. Apoteker hanya melayani penjualan obat untuk swamedikasi yag tergolong dalam obat
bebas an bebas terbatas
2. Pertimbangan pemberian obat dilihat dari keamanan dan kemanfatannya lebih tinggi
dari faktor resiko
3. Untuk pengobatan symtomatik (penyakit yang bisa diobati secara mandiri)

XVIII. KEBIJAKAN PEMBENTUKAN PFT

137
1. Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan komunikasi
antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri dari dokter
yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan apoteker wakil dari
Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya
2. Tujuan PFT adalah a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat,
penggunaan obat serta evaluasinya; b. Melengkapi staf profesional di bidang
kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan
penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan1. Panitia Farmasi dan Terapi harus
mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah
sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali untuk melakukan evaluasi terhadap
formularium.
3. Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi : a. Terdiri dari 3 (tiga) Dokter,
Apoteker dan Perawat; b. Ketua dipilih dari dokter yang ada di dalam kepanitiaan dan
jika mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi.
Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk

XIX. KEBIJAKAN PENGAWASAN OBAT


1. Apoteker bertanggung jawab atas pengawasan penggunaan obat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. PROSEDUR TETAP PELAYANAN INSTALASI FARMASI

Prosedur tetap instalasi farmasi digunakan sebagai pedoman dalam menjamin tercapainya
mutu pelayanan instalasi farmasi yang berorientasi kepada pasien. Prosedur tetap instalasi farmasi

138
disesuaikan dengan kebijakan Rumah Sakit. Prosedur tetap secara berkala ditinjau kembali
disesuaikan dengan perkembangan pelayanan farmasi di RSUD H. Hanafie .
Prosedur tetap Instalasi Farmasi meliputi :
I. Prosedur pemilihan perbekalan farmasi
II. Prosedur perencanaan perbekalan farmasi
III. Prosedur pengadaan perbekalan farmasi
IV. Prosedur pengadaan dan penyimpanan bahan berbahaya
V. Prosedur penerimaan perbekalan farmasi
VI. Prosedur penerimaan donasi obat
VII. Prosedur penerimaan donasi alat kesehatan habis pakai
VIII. Prosedur penyimpanan perbekalan farmasi di ruang penyimpanan (gudang)
IX. Prosedur penyimpanan Narkotika dan Psikotropika
X. Prosedur penanggulangan bila terjadi kontaminasi bahan berbahaya
XI. Prosedur pengemasan ulang perbekalan farmasi
XII. Prosedur produksi skala kecil (pengenceran alkohol)
XIII. Prosedur pendistribusian perbekalan farmasi dari gudang instalasi farmasi
XIV. Prosedur pendistribusian oksigen ke ruang perawatan
XV. Prosedur permintaan obat dan bahan alat kesehatan habis pakai (BAKHP) persediaan
ruangan ke instalasi farmasi
XVI. Prosedur pelayanan farmasi dengan melalui satu pintu
XVII. Prosedur Pelayanan resep
XVIII. Prosedur pelayanan resep narkotik
XIX. Prosedur pelayanan perbekalan farmasi untuk Pasien Rawat Jalan, Rawat Inap, Askes
Sosial (PNS), Karyawan PNS/Non PNS, Askes Komersial, jamsostek, Jaminan
Perusahaan dan Pasien jamkesmas/Da/Prov serta Jampersal
XX. Prosedur pengembalian perbekalan farmasi ke distributor
XXI. Prosedur pengembalian perbekalan farmasi pasien rawat jalan dan rawat inap
XXII. Prosedur pencatatan/pelaporan penggunaan perbekalan farmasi
XXIII. Prosedur pencatatan/pelaporan penggunaan narkotika dan psikotropika
XXIV. Prosedur pencatatan dan pelaoran penggunaan morfin, pethidin dan fentanyl
injeksi ke pasien
XXV. Prosedur pencatatan dan pelaporan obat generik
XXVI. Prosedur pengarsipan dokumen
XXVII. Prosedur pengarsipan resep

139
XXVIII. Prosedur pemusnahan resep
XXIX. Prosedur pemusnahan perbekalan farmasi yang rusak/kadaluarsa
XXX. Prosedur pengkajian resep
XXXI. Prosedur dispensing
XXXII. Prosedur pemantauan dan pelaporan efek samping obat
XXXIII. Prosedur pelayanan informasi obat
XXXIV. Prosedur konseling
XXXV. Prosedur visite
XXXVI. Prosedur pengkajian penggunaan obat
XXXVII. Prosedur evaluasi kinerja tenaga instalasi farmasi
XXXVIII. Prosedur orientasi pegawai baru
XXXIX. Prosedur penyusunan jadwal dinas
XL. Prosedur Evaluasi dan Pengendalian Mutu
XLI. Prosedur peningkatan mutu sumber daya manusia instalasi farmasi
XLII. Prosedur pertemua berkala
XLIII. Prosedur perjanjian kerjasama pendidikan dan pelatihan dengan institusi
pendidikan kefarmasian
XLIV. Prosedur bimbingan siswa/mahasiswa kefarmasian
XLV. Prosedur penjenjangan karier
XLVI. Prosedur Apabila penulisan resep tidak jelas dan tidak terbaca
XLVII. Penanganan iv mixture
XLVIII. Prosedur Penarikan obat kembali
XLIX. Prosedur Pengadaan pihak ke 3
L. Prosedur pengelolaan obat rusak atau kadaluarsa
LI. Prosedur penanganan radioaktif / Sitostatika
LII. Prosedur Penambahan obat Formularium
LIII. Prosedur Penyerahan Obat
LIV. Prosedur Penarikan Obat Rusak atau Kadaluarsa
LV. Prosedur Penyimpanan Obat Nutrisi
LVI. Prosedur Penyimpanan Obat Emergensi

140
141
BAB XII
PENUTUP

Dengan ditetapkannya pedoman Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tidaklah berarti semua
permasalahan tentang pelayanan kefarmasian di rumah sakit menjadi mudah dan selesai. Dalam
pelaksanaannya di lapangan, pedoman Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit ini sudah barang tentu akan
menghadapi bebagai kendala, antara lain sumber daya manusia/tenaga farmasi di rumah sakit,
kebijakan manajeman rumah sakit serta pihak-pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma
lama yang “melihat” pelayanan farmasi di rumah sakit “hanya” mengurusi masalah pengadaan dan
distribusi obat saja. Untuk keberhasilan pelaksanaan pedoman Pelayanan Farmasi di rumah sakit perlu
komitmen dan kerjasama yang lebih baik antara instalasi farmasi dengan semua unit yang terkait
dengan pelayanan pasien sehingga pelayanan rumah sakit pada umumnya akan semakin optimal, dan
khususnya pelayanan farmasi di rumah sakit akan dirasakan oleh pasien/masyarakat.

142

Anda mungkin juga menyukai