Anda di halaman 1dari 5

ILMU PENGETAHUAN SOSIAL POSITIVISME

Ilmu pengetahuan positivisme digunakan secara luas, dan positivisme didefinisikan secara luas
menjadi pendekatan ilmu pengetahuan alam. Faktanya, banyak orang tidak pernah mendengar
pendekatan alternatif. Mereka berasumsi jika pendekatan positivisme adalah ilmu. Ada banyak versi
dari positivisme dan hal tersebut memiliki sejarah panjang dari filosofi ilmu dan diantara para ilmuwan.
(5) sampai saat ini untuk banyak peneliti hal tersebut menjadi label rendah untuk dihindari. Turner
(1992: 1511) mengamati, “Positivisme tidak lagi memiliki reverensi jelas, tetapi ini membuktikan jika
dalam beberapa hal menjadi positivis bukanlah hal yang baik.” Jawaban dari delapan pertanyaan
memberi Anda gambaran mengenai apa itu pendekatan positivisme berdasarkan nama seperti
empirisme logis, pandangan yang diterima atau konvensional, postpositivisme, naturalisme, model
hukum, dan behaviorisme.

Positivisme berkembang dari sekolah pada abad 19 yang dipikirkan oleh orang Perancis yang
menemukan sosiologi—Auguste Comte (1798-1857). Pekerjaan utama Comte dalam enam
jilid, Course de Philosophie Positivistic (The Course of Positive Philosophy) masih digunakan hingga
kini. Filsuf Inggris John Stuart Mill (1830-1873) mengelaborasikan dan memodifikasi sitem tersebut
dalam karyanya A Sistem of Logic (1843). Sosiolog klasik Emile Durkheim (1858-1917)
mengarisbawahi sebuah versi dari positivisme dalam Rules of The Sociological Metode (1895)
ciptaannya yang kini menjadi teksbook kunci untuk para peneliti sosial positivis.

Positvisme diasosiasikan dengan banyak teori sosial spesifik. Yang paling terkenal adalah hubungan
terhadap struktural-fungsional, pilihan rasional, dan pertukaran kerangka kerja teori. Peneliti positivis
memilih data kualitatif yang tepat dan kadang menggunakan eksperimen, survey, dan statistik. Mereka
mencari penelitian yang tepat, terperinci, dan “objektif”, dan mereka mengetes hipotesa dengan analisa
yang hati-hati dari tindakan. Banyak peneliti aplikatif (administrator, kriminolog, peneliti pasar, analis
kebijakan, evaluator program, dan perencana) merangkul positivisme. Kritikus menilai positivisme
mengurangi orang dari angka dan kepeduliannya dengan hukum abstrak atau formula tidak relevan
dengan hidup aktual manusia nyata.
Sebuah pendekatan positivisme mendominasi artikel dari jurnal sosiologi utama di Inggris, Kanda,
Scandinavia, dan di Amerika Serikat sepanjang tahun 1960 dan 1970, hal tersebut menurun tajam di
jurnal Eropa tetapi pendekatan tadi cukup dominan di jurnal-jurnal Amerika Utara (6).

Positivisme berkata jika “hanya ada satu logika ilmu, di mana banyak aktivitas intelektual bercita-cita
tinggi terhadap judul ‘ilmu pengetahuan’ harus dikonfirmasi” (Keat dan Urry, 1975:25, memberi
penekanan pada keaslian). Dengan demikian ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam harus
menggunakan metode yang sama. Menurut pandangan ini, perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu
pengetahuan alam tergantung pada ketidak dewasaan atau usia muda dari ilmu sosial dan subyeknya.
Meski demikian, segala ilmu, termasuk ilmu sosial, akan mirip ilmu paling awal, fisika. Perbedaan
diantara ilmu tersebut mungkin ada pada subjek mereka (contohnya, geologi membutuhkan teknik yang
berbeda dari astrofisik atau mikrobiologi karena perbedaan objek yang dipelajari), tapi semua ilmu
pengetahuan membagikan peralatan umum dari prinsip-prinsip dan logika.

Positivisme melihat ilmu sosial sebagai sebuah metode yang terorganisir untuk mengombinasikan
logika deduktif dengan pbservasi empiris yang teat dari kebiasaan individual dalam rangka untuk
menemukan dan mengkonfirmasi sebuah peralatan dari hukum probabilitas yang dapat digunakan
untuk memprediksi pola umum dari aktivitas manusia.

Pertanyaan:

1. Mengapa seseorang harus melakukan penelitian sosial ilmiah?


Tujuan utama penelitian adalah adalah penjelasan ilmiah—untuk menemukan dan
mendokumantasikan hukum universal dari tingkah laku manusia. Jawaban penting lainnya adalah
untuk mempelajari bagaimana dunia bekerja sehingga manusia dapat mengontrol atau
memprediksikan suatu kejadian. Ide yang ada dibelakang ini kemudian disebut sebagai
sebuah orientasi instrumental. Ini adalah sebuah ketertarikan teknis yang berasumsi pengetahuan
dapat digunakan sebagai alat atau instrumen untuk memuaskan keinginan manusia dan mengontrol
lingkungan fisik dan sosial. Sekali manusia menemukan hukum yang memerintah kehidupan manusia,
kita dapat menggunakannya untuk mengubah relasi sosial, untuk meningkatkan bagaimana sesuatu
terjadi, dan memprediksikan apa yang akan terjadi. Sebagai contoh, seorang positifis menggunakan
sebuah teori mengenai bagaimana kita belajar mengidentifikasi faktor kunci dari sebuah sistem
pendidikan (seperti ukuran kelas, kebiasaan lembaga pelajar, pendidikan guru dan lain-lain) yang
memprediksi meningkatnya pembelajaran pelajar. Ia memperkenalkan sebuah studi dan ketepatan
untuk mengukur faktor-faktor untuk memferifikasi hukum penyebab dalam teori. Positivis kemudian
membangun pengetahuan yang digunakan untuk sebuahpendidikan resmi untuk mengubah lingkungan
sekolah dengan cara yang mampu meningkatkan cara belajar murid. Pandangan ini dirangkum oleh
Turner (1985: 39) seorang pembela pendekatan positifisme yang menyatakan jika “dunia sosial
menerima pengembangan hukum abstrak yang dapat diuji melakui koleksi yang berhati-hati terhadap
data.” Dan peneliti tersebut perlu untuk “membangun prinsip abstrak dan model mengenai properti
konstan dan tidak lekang waktu dari dunia sosial.”

Positivis berkata jika ilmuwan terikat di pertanyaan tanpa henti untuk pengetahuan. Semakin banyak ia
belajar, kompleksitas baru akan ditemukan sehingga masih harus belajar lagi. Versi awal dari
postivisme menjaga jika manusia tidak akan pernah mengetahui segalanya karena hanya Tuhan yang
memiliki pengetahuan tersebut: bagaimanapun juga, sebagai ciptaan yang ditempatkan di planet ini
dengan kapasitas hebat untuk pengetahuan, manusia memiliki kewajiban untuk menemukan sebanyak
mungkin yang ia bisa.

2. Apa itu dasar alamiah dari realitas sosial?


Positivis modern memegang sebuah pandangan penting: realitas adalah nyata: ini ada “di luar sana”
dan menunggu untuk ditemukan. Ide ini mencatat jika persepsi manusia dan intelektual mungkin cacat,
dan realitas mungkin susah untuk dicocokkan tetapi hal ini nyata. Terlebih lagi, realitas sosial tidak
acak, ini terpola dan memiliki urutan. Tanpa asumsi ini (contoh, jika dunia kalang-kabut dan tanpa
keteraturan) logika dan prediksi adalah hal yang mustahil. Ilmu pengetahuan mengijinkan manusia
menemukan urutan dan hukum alam. “Dasar hukum observational dari ilmu pengetahuan
mempertimbangkan untuk menjadi nyata, pokok, dan pasti karena mereka tercipta dari pabrik dunia
alam. Menemukan hukum ini seperti menemukan Amerika, dalam hal keduanya menunggu untuk
terungkap” (Mulkay, 1979: 21).

Dua asumsi lain adalah jika pola dasar dari realitas sosial adalah stabil dan pengetahuan mengenai hal
tersebut merupakan bahan tambahan. Regularitas dalam relitas sosial tidak barubah dimakan waktu,
dan hukum yang ditemukan saat ini akan menunggu di masa yang akan datang. Kita dapat mempelajari
banyak bagian dari realitas dalam satu waktu, kemudian menambahkan potongan-potongan secara
bersama-sama untuk mendapat gambaran secara keseluruhan. Beberapa versi awal dari asumsi ini
berkata jika keteraturan di alam ini diciptakan dan sebagai bukti keberadaan tuhan ataupun sang
pencipta.

3. Apakah dasar sifat manusia?


Dalam positivisme, manusia diasumsikan tertarik pada dirinya sendiri, pencari kepuasan, individu yang
rasional. Manusia mengoperasikan dasar dari penyebab eksternal dengan penyebab yang sama bisa
memiliki efek yang sama terhadap semua orang. Hal ini lebih penting daripada apa yang terjadi di
realitas dalam dan subjektif. Kadangkala, hal ini disebut sebagai model mekanis dari manusia atau
pendekatan behaviorisme. Ini berarti manusia bereaksi terhadap kekuatan luar yang senyata kekuatan
fisik terhadap sebuah objek. Durkheim (1938: 27) menyatakan, “Realitas eksternal menyarankan jika
peneliti mungkin tidak memeriksa motivas internal yang tidak terlihat dari perilaku seseorang.

Positifis berkata pada institusi manusia tidak terjadi akibat dari apa yang orang inginkan. Kegiatan
manusia dapat diterangkan deferensi dari hukum penyebab, yang mendeskripsikan sebab dan mereka
mengidentifikasi kekuatan yang menggerakan yang sifatnya sama seperti hukum alam di ilmu
pengetahuan. Hal ini menyarankan jika ide mengenai kehendak bebas sebagian besar adalah fiksi dan
hanya mendeskripsikan aspek dari tingkah laku manusia yang belum terungkap oleh ilmu pengetahuan.

Sedikit positivis yang mempercayai determinasi absolut, dimana manusia mirip seperti robot atau
boneka yang harus merespon hal yang sama. Lebih lanjut, hukum penyebab memiliki kemungkinan.
Hukum membutuhkan banyak kelompok orang atau terulang di banyak situasi. Peneliti dapat
memperkirakan tingkah laku yang terprediksi. Dengan kata lain, hukum mengijinkan kita untuk
membuat prediksi akurat mengenai seberapa sering tingkah laku sosial akan terlihat dalam sebuah
grup yang besar. Hukum penyebab tidak dapat memprediksi tingkah laku spesifik dari orang yang
spesifik di tiap kesempatan. Bagaimanapun juga, mereka bisa berkata dalam kondisi X, Y, dan Z, ada
95% kemungkinan jika satu-setengah orang akan terikat dengan di sebuah tingkah laku spesifik.
Sebagai contoh, peneliti tidak dapat memprediksikan bagaimana John Smith akan memilih di pemilu
mendatang. Tetapi, setelah menganalisa berbagai fakta mengenai John Smith dan menggunakan
hukum kebiasaan politik, peneliti dapat melihat secara akurat jika ada 85% kemungkinan jika ia (dan
orang-orang seperti dirinya) akan menggunakan suaranya untuk kandidat C. ini bukan berarti Bapak
Smith tidak bisa memilih siapa yang ia inginkan. Tetapi, tingkah laku memilihnya terpolakan dan
terbentuk oleh kekuatan di luar dirinya.

4. Apa hubungan antara ilmu pengetahuan dan nalar?

Positivis melihat pembagian yang jelas antara ilmu pengetahuan dan yang bukan ilmu pengetahuan.
Dalam banyak cara untuk melihat kebenaran, ilmu pengetahuan sangat khusus—jalan “terbaik”. Ilmu
pengetahuan lebih baik daripada dan akhirnya akan menggantikan cara yang lebih inferior dalam
mendapatka pengetahuan (seperti sihir, agama, astrologi, pengalaman pribadi, dan tradisi). Ilmu
pengetahuan membawa beberapa ide dari nalar, tapi ini menggantikan bagian dari nalar yang ceroboh,
secara logika tidak konsisten, tidak sistematis, dan penuh bias. Komunitas ilmu pengetahuan—dengan
norma spesial, tingkah laku ilmiah, dan tekniknya—dapat dengan berulangkali menghasilkan
“Kebenaran,” dimana nalar tidak begitu jarang dan inkosisten.

Seorang peneliti yang bekerja di tradisi positivisme kadang menciptakan perbendaharaan kata yang
sepenuhnya baru—sebuah peralatan ide ilmiah dan istilah terkait. Ia menginginkan untuk
menggunakan ide yang lebih konsisten secara logika dan dengan hati-hati berpikir keluar dan
memperbaiki jika ide dapat ditemukan di nalar harian. Peneliti positivis “harus memformulasikan konsep
baru di permulaan dan tidak mengandalkan gagasan diam…. Ada pilihan untuk masing ketepatan yang
dipercayai mungkin di sebuah bahasa yang berdasar pada disiplin daripada bahsa samar dan tidak
tepat dalam hidup sehari-hari” (Blaikie, 1993: 206). Dalam Hukum Metodologi Sosiologi karyanya,
Durkheim mengingatkan peneliti untuk “secara mantap menolak dirinya menggunakan konsep tersebut
dibentuk diluar ilmu pengetahuan” dan untuk “membebaskan dirinya dari semua pengertian keliru yang
menunggu digoyang oleh pikiran dari orang biasa” (dikutip dalam Gilbert, 1992: 4).

5. Apa yang merupakan sebuah penjelasan atau teori dari realitas sosial?

Penjelasan ilmu pengetahuan positifis adalah nomothetic (nomos dalam Bahasa Yunani berarti
hukum); ini berdasar pada sistem sebuah hukum keseluruhan. Ilmu pengetahuan menjelaskan kenapa
kehidupan sosial adalah sebuah jalan yang sekarang ini menemukan hukum penyebab. Penjelasan
memerlukan bentuk: Y itu disebabkan oleh X karena X dan Y merupakan jarak spesifik dari hukum
penyebab. Dengan kata lain, sebuah penjelasan positivis menyatakan keumuman hukum penyebab
yang diaplikasikan untuk atau menutupi observasi spesifik mengenai kehidupan sosial. Hal ini mengapa
positivisme diklatakan menggunakan sebuah model hukum meliputi dari penjelasan.

Positifisme berasumsi jika hukum berlaku sesuai alasan yang logis dan ketat. Peneliti menghubungkan
hukum penyebab dan fakta spesifik yang diamati mengenai kehidupan sosial dengan logika deduktif.
Positifis percaya jika akhirnya hukum dan teori mengenai ilmu sosial akan terlihat dalam sistem simbol
formal, dengan aksioma, akibat wajar, dalil, dan teorema-teorema. Suatu hari, teori ilmu pengetahuan
sosial akan terlihat sama dengan yang ada dalam matematika dan ilmu pengetahuan alam.

Hukum dari tingkah laku manusia seharusnya berlaku secara universal, termasuk didalamnya di segala
masa dan semua budaya. Seperti tercatat sebelumnya, hukum tersebut tercantum dalam bentuk
kemungkinan untuk keseluruhan orang. Sebagai contoh, sebuah penjelasan positifis dari kenaikan
tingkat kejahatan di Toronto pada tahun 1990 menunjukkan faktor-faktor (seperti naiknya angka
perceraian, berkurangnya komitmen terhadap nilai moral tradisional dan sebagainya) yang dapat
ditemukan di mana saja dan kapan saja: di Buenos Aires pada tahun 1890, di Chicago pada 1940, atau
di Singapura pada 2010. Faktor-faktor tersebut secara logika mengikuti sebuah hukum keseluruhan
(seperti turunya tradisi moral akibat meningkatnya angka tingkah laku kriminal).

Pemenang penghargaan Nobel—Steven Weinberg (2001: 50) mengekspresikan tampilan nomotetis


dalam positivisme dan bagaimana hal tersebut dihubungkan dengan pemikiran positifis ketika ia
berkata:

Kami berharap jika di masa mendatang kita akan mendapatkan sebuah pemahaman dari semua
regularitas yang kita lihat di alam berdasarkan pada beberapa prinsip sederhana, hukum alam, yang
mana semua keteraturan bisa disimpulkan. Hukum ini akan menjelaskan prinsip apapun… dapat
disimpulkan secara langsung darinya, dan hal tersebut prinsip menyimpulkan secara langsung tersebut
dapat disimpulkan darinya, dan seterusnya… Mungkin harapan terbesar kami untuk sebuah penjelasan
akhir adalah untuk menemukan seperangkat hukum alam terakhir dan memperlihatkan jika hal tersebut
hanyalah konsistensi logis, teori yang kaya… Ini mungkin hanya terjadi dalam satu atau dua abad.

6. Bagaimana seseorang menentukan kapan sebuah pernyatan itu benar atau salah?

Positivisme berkembang selama masa Pencerahan (paska—Abad Pertengahan) era berpikir Barat (7).
Ini termasuk sebuah ide Pencerahan penting: Manusia dapat mengenali kebenaran dan membedakan
hal tersebut dari kebohongan dengan menerapkan alasan, dan dalam jangka panjang melewati abad,
kondisi manusia dapat mempertajam pemikiran mulai penggunaan alasan dan perburuan kebenaran.
Saat pengetahuan tumbuh dan ketidakpedulian menurun, kondisi akan membaik. Optimisme ini
mempercayai jika pengetahuan yang menumpuk melalui waktu memainkan peran dalam bagaimana
positivis memisahkan kebenaran dari penjelasan salah.

Dalam positivisme, untuk diperhatikan secara serius, penjelasan harus menemui dua kondisi: mereka
harus (1) tidak memiliki kontradiksi logis dan (2) harus konsisten dengan fakta yang diamati.
Sebelumnya, ini tidak cukup. Pengulangan juga dibutuhkan (8). Beberapa peneliti dapat mengulang
atau membuat ulang hasil dari penelitian sebelumnya. Hal ini meletakkan sebuah pemeriksaan dalam
keseluruhan sistem untuk menciptakan pengetahuan. Ini menjamin kejujuran karena ini secara
berulang diuji oleh penjelasan melalui fakta yang keras dan obyektif. Sebuah kompetisi terbuka ada
diantara penjelasan yang berlawanan, hukum pembagian digunakan, fakta netral secara akurat
diobservasi, dan logika setepatnya diikuti. Melampaui waktu, ilmu pengetahuan ilmiah menumpuk
sebagai penelitian yang berbeda berlaku tes merdeka dari sebuah teori dan tambahan temuan. Sebagai
contoh, seorang peneliti menemukan jika kanaikan pengangguran berkaitan dengan meningkatnya
kekerasan terhadap anak di San Diego, California. Sebuah hubungan sebab akibat diantara kekerasan
anak dan pengangguran ini tidak hanya ditunjukkan oleh sebuah studi. Mengkonfirmasi sebuah hukum
penyebab tergantung pada cara menemukan hubungan yang sama di kota lain dengan peneliti lain
menggunakan tes mandiri mengenai keterkaitan antara pengangguran dan kekerasan terhadap anak.

7. Seperti apakah bukti yang baik dan informasi faktual terlihat?

Positivisme adalah dualisme: ini mengasumsikan jika fakta yang dingin dan dapat diamati secara
fundamental dipisahkan dari ide, nilai, dan teori. Fakta empiris berdiri terpisah dari ide personal atau
pemikiran. Kita dapat mengobservasi mereka menggunakan organ perasaan kita (penglihatan, bau,
dan sentuhan) atau instrumen spesial yang memperpanjang perasaan (seperti teleskop, mikroskop,
dan peralatan Geiger). Beberapa peneliti memperlihatkan ide ini sebagai bahasa dari fakta empiris dan
sebuah bahasa dari teori abstrak. Jika manusia tidak setuju terhadap fakta, ini harus menunjuk pada
kegunaan tidak penting dari instrumen yang terkait atau untuk observasi yang ceroboh atau tidak
memadai. “Penjelasan ilmiah melibatkan akurasi dan ketepatan keterikatan dari fenomena” (Derksen
dan Gartrell, 1992: 1714). Pengetahuan dari mengamati realitas yang ada menggunakan perasaan kita
lebih superior daripada pengetahuan lain (seperti intitusi, perasaan emosional, dll): hal ini mengijinkan
kita untuk memisahkan kebenaran dari ide keliru mengenai kehidupan sosial.

Positivis mengombinasikan ide dari status istimewa dari observasi empiris dengan asumsi jika
pemahaman subjektif dari dunia empiris dibagikan. Pengetahuan faktual ini tidak hanya berdasar pada
observasi dan alasan dari satu orang. Ini harus bisa dikomunikasikan dan dibagikan kepada yang lain.
Manusia rasional yang secara mandiri mengamati fakta akan setuju dengannya. Hal ini
disebut intersubyektivitas, atau pembagian pengetahuan subyektif dari fakta-fakta. Banyak positivis
menerima sebuah versi doktrin pemalsuan yang diungkap oleh filsuf Anglo-Australian Sir Karl Popper
(1902-1991) dalam The Logic of Scientific Discovery (1934). Proper berargumen jika klaim jika ilmu
pengetahuan “tidak dapat dibuktikan dan dijustifikasi secara utuh, mereka hanya bisa ditolak (Phillips,
1987: 3). Bukti yang bagus untuk sebuah hukum sebab-akibat melibatkan lebih dari mengelupas fakta
pendukung; ini melibatkan pencarian bukti yang kontradiktif dengan hukum sebab-akibat. Dalam contoh
klasik, jika saya ingin mengetes klaim mengenai seluruh angsa berwarna putih dan saya menemukan
seribu angsa putih, saya tidak secara keseluruhan mengkonfirmasi sebuah hukum sebab-akibat atau
sebuah pola. Semuanya hanya perlu menaruh sebuah angsa hitam untuk menolak klaim saya—
sekeping bukti negatif. Hal ini berarti peneliti mencari bukti yang tidak dikonfirmasi, dengan demikian
hal terbaik yang bsia mereka katakan adalah, “Sejauh ini, aku tidak mampu menunjukkan beberapa
sehingga klaimnya mungkin benar.”
8. Di mana nilai sosiopolitik memasuki ilmu pengetahuan?
Positivis berargumen untuk sebuah ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang objektif. Ada dua makna
mengenai istilah objektif: observernya menyetujui apa yang mereka lihat dan ilmu
pengetahuan tersebut tidak berdasar pada nilai-nilai, opini, sikap, atau kepercayaan. (9) positivis
melihat ilmu pengetahuan sebagai bagian yang sepesial dan terpisah dari masyarakat yang bebas dari
nilai-nilai personal, politik dan keagamaan. Hal ini berlaku merdeka dari kekuatan sosial dan kultural
yang mempengaruhi aktivitas lain manusia. Ini melibatkan penerapan cara berpikir rasional yang ketat
dan pengamatan sistematis dalam kebiasan yang transcent prasangka personal, bias, dan nilai. Peneliti
menerima dan menginternalisasikan norma sebagai bagian dari keanggotaan mereka dalam komunitas
ilmiah. Komunitas ilmiah memiliki sebuah sistem elaborasi dari pemeriksaan dan keseimbangan untuk
menjaga dari bias nilai. Seorang tugas utama peneliti menjadi sebuah “peneliti tanpa ketertarikan” (10)
cara pandang positivis terhadap nilai telah memiliki dampak besar dalam bagaimana manusia melihat
isu etnik dan pengetahuan:

Untuk tingkatan jika sebuah teori positivisme dari sebuah pengetahuan ilmiah menjadi kriteria dari
segala pengetahuan, pemahaman moral, dan komitmen politis telah dilegitimasi sebagai hal yang
irasional dan mereduksi inclination subyektif. Prasangka ethnical saat ini terpikir sebagai opini personal.
(Brown, 1989: 37).

Anda mungkin juga menyukai