Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang

Penanggulangan Penyakit Menular menyebutkan bahwa penyakit menular

masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan,

kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu dilakukan

penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya pencegahan, pengendalian,

dan pemberantasan yang efektif dan efisien, berdasarkan ketentuan pada Pasal

4 ayat 2 huruf w Peraturan Menteri tersebut menyebutkan bahwa kusta

merupakan penyakit menular langsung


Strategi World Health Organization (WHO) dalam penanganan kusta yaitu

dengan menciptakan pelayanan berkualitas bagi pasien kusta dan mengurangi

beban kusta yang dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan penemuan

kasus dini tapi juga dengan mengurangi kecacatan, stigma dan diskriminasi,

serta rehabilitasi sosial dan ekonomi bagi pasien kusta


Kementerian Kesehatan (2018) mengungkapkan berdasarkan data Weekly

Epidemiological Report (2016) diseluruh dunia terdapat 210.758 kasus kusta

yang tersebar dalam 6 regional dunia yaitu untuk Afrika terdapat 20.004

kasus, Amerika sebanyak 26.806 kasus, Mediterania sebanyak 2.167 kasus,

Asia Tenggara sebanyak 156,118 kasus, Pasifik barat sebanyak 3.645 kasus

dan Eropa sebanyak 18 kasus. Prevalensi penderita kusta di Indonesia

menunjukkan trand penurunan dari tahun 2013 – 2017 dimana ditemukan

sebanyak 15.920 kasus kusta baru dengan angka prevalensi mencapai 6,08

kasus per 100.000 penduduk serta 9.872 kasus diderita oleh laki- laki dan

6.048 diderita oleh perempuan. Provinsi Jawa Timur pada tahun 2017

1
2

menyumbang prevalensi kejadian kusta tertinggi seluruh Indonesia yaitu

sebanyak 3373 kasus penderita baru dengan jumlah penderita terdaftar

sebanyak 3645 kasus serta diketahui penderita kusta cacat tipe II sebesar 8,8%

(Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2018)


Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2018) terdapat 3

Kabupaten dengan prevelensi penderita tertinggi yaitu Kabupaten Sumenep

sebanyak 463 kasus, Kabupaten Jember sebanyak 353 kasus, dan Kabupaten

Sampang sebanyak 333 kasus, sehingga dapat dikatakan Jember merupakan

Kabupaten dengan prevalensi tertinggi kedua di Jawa Timur.

Dinas Kesehatan Kabupaten Jember pada tahun 2017 mengungkapkan

angka kasus baru di Jember sebanyak 353 kasus yang terdiri atas 58 kasus

untuk tipe Pausi Basiler sedangkan 295 kasus untuk tipe Multi Basiler

dengan proporsi kasus baru (New Case Detection Rate) sebesar 14,59 per

100.000 penduduk dengan 14,45% berada pada kondisi cacat derajat dua.

Jumlah kasus kusta yang tercatat di Kabupaten Jember sebesar 378 kasus

dengan proporsi selesai berobat (Realease from treathment) pada kondisi

Pausi Basiler sebanyak 102 kasus dan pada kondisi Multi Basiler sebanyak

527 kasus. Kecamatan Sumberbaru merupakan kecamatan dengan prevalensi

tertinggi kusta di Kabupaten Jember dengan kejadian sebanyak 35 kasus

dimana tipe Pausi Basiler (PB) sebanyak 3 kasus dan tipe Multy Basiler

(MB) sebanyak 32 kasus (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, 2017)


Taylor (2006) dalam Yusra (2010) menjelaskan bahwa dukungan

keluarga diartikan sebagai bantuan yang diberikan oleh anggota keluarga

yang lain sehingga akan memberikan kenyamanan fisik dan psikologis pada

orang yang dihadapkan pada situasi stress. Dukungan keluarga terkait dengan
3

kesejahteraan dan kesehatan dimana lingkungan keluarga menjadi tempat

individu belajar seumur hidup. Dukungan keluarga telah didefinisikan sebagai

faktor penting dalam kepatuhan manajemen penyakit untuk remaja dan

dewasa dengan penyakit kronik (Hensaring, 2009 dalam Yusra, 2010)

Selanjutnya Smet (2004) Yusra (2010) mengatakan keluarga merupakan

bagian dari kelompok sosial. Terdapat lima dimensi dalam dukungan keluarga

yaitu dimensi emosional, dimensi penghargaan, dimensi instrumental,

dimensi informasi dan jaringan sosial. Sementara Hensarling (2009) dalam

Yusra (2010) membagi dukungan keluarga menjadi empat dimensi dukungan

yaitu dimensi empathethic (emosional), dimensi encouragement

(penghargaan), dimensi facilitative (instrumental), dan dimensi participative

(partisipasi). Friedman (2010) dalam Nuraenah (2012) menjelaskan salah

satu peran dan fungsi keluarga adalah memberikan fungsi afektif untuk

pemenuhan kebutuhan psikososial anggota keluarganya dalam memberikan

kasih sayang. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan

keluarga terhadap penderita sakit. Fungsi dan peran keluarga adalah sebagai

sistem pendukung dalam memberikan pertolongan dan bantuan bagi

anggotanya yang menderita perilaku kekerasan dan anggota keluarga

memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan

pertolongan dengan bantuan jika diperlukan (Nuraenah, 2012)


Bandura (1994) dalam Ariani (2011) mengemukakan bahwa motivasi

merupakan salah satu proses pembentukan efikasi diri selain kognitif, afektif

dan seleksi. Motivasi merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri

maupun dari luar individu untuk melakukan tugas tertentu guna mencapai

suatu tujuan. Dasar motivasi diri adalah efikasi diri. Efikasi diri merupakan
4

gagasan kunci dari teori sosial kognitif (social cognitive theory) yang

dikembangkan oleh Albert Bandura (Ariani, 2011). Bandura (1997) dalam

(Ariani, 2011) mendefenisikan efikasi diri sebagai keyakinan individu akan

kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang

dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi diri

membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta

kegigihan dan ketekunan dalam mempertahankan tugas-tugas yang mencakup

kehidupan mereka. Menurut Pender (1996) dalam Ariani (2011) efikasi diri

adalah keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan

melakukan prilaku yang mendukung kesehatannya berdasarkan pada tujuan

dan harapan yang diinginkannya. Efikasi diri mempengaruhi bagaimana

seseorang berpikir, merasa, memotivasi diri sendiri dan bertindak. Kott

(2008) dalam Ariani (2011) menegaskan bahwa seseorang yang memiliki

efikasi diri yang kuat akan menetapkan tujuan yang tinggi dan berpegang

teguh pada tujuannya. Sebaliknya, seseorang yang memiliki efikasi diri yang

lemah akan berkomitmen lemah pada tujuannya, sehingga terjadi

ketidakpatuhan terhadap perawatan dirinya (Ariani, 2011) Motivasi adalah

sesuatu yang membuat seseorang bertindak, mendorong untuk mencapai

tujuan tertentu. Adanya motivasi dapat mempengaruhi kesembuhan pasien.

Hal ini dapat terjadi karena adanya motivasi pasien untuk mencari

pengobatan. Motivasi untuk sembuh sangat penting untuk pasien karena hal

ini akan menjadi salah satu faktor yang dapat mempercepat kesembuhan

pasien (Permatasari, 2017)


Hal inilah yang menarik peneliti untuk meneliti hal tersebut sehingga

peneliti tertarik untuk melakukan suatu studi mengenai Hubungan dukungan


5

keluarga dengan motivasi penderita untuk sembuh pada penderita kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru Kabupaten Jember.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik suatu rumusan masalah

berupa “Apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan motivasi penderita

untuk sembuh pada penderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru

Kabupaten Jember?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan dukungan

keluarga dengan motivasi penderita untuk sembuh pada penderita kusta di

Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru Kabupaten Jember

1.3.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah :
a. Mengidentifikasi dukungan keluarga penderita kusta di Wilayah Kerja

Puskesmas Sumberbaru Kabupaten Jember


b. Mengidentifikasi motivasi penderita untuk sembuh pada penderita

kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Sumberbaru Kabupaten Jember


c. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan motivasi penderita

untuk sembuh pada penderita kusta di Wilayah Kerja Puskesmas

Sumberbaru Kabupaten Jember

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi

keluarga untuk terus meningkatkan dukungan bagi penderita kusta


6

b. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi dasar dalam memberikan

edukasi bagi masyarakat untuk menghilangkan stigmatisasi yang

terjadi pada penderita kusta


1.4.2 Manfaat Teoritis
a. Diharapkan penelitian ini dapat memperkaya khazanah bagi Ilmu

Keperawatan dalam pengembangan keilmuan khususnya Keperawatan

Medikal Bedah
b. Diharapkan penelitian ini menjadi sumber data serta sebagai acuan dan

sumber refrensi mengenai dukungan keluarga penderita kusta, motivasi

untuk sembuh bagi peneliti selanjutnya

1.5 Keaslian Penelitian

Nama,
Judul Metode Hasil Perbedaan
Tahun
Dini Hubungan Desain yang
Hasil uji Pebedaan
Permtasari, tingkat digunakanstatistik waktu dan
2017 spriritualitas adalah Spearman tempat
dengan korelasional
Rank penelitian,
motivasi dengan teknik
(p=0,004) perbedaan
sembuh sampling sehingga variabel
pasien kritis menggunakan
disimpulkan terikat
di RSUD dr Purposivebahwa ada (variabel
Moewardi sampling hubungan dependen),
Surakarta antara tingkat objek
spriritalitas penelitian
dengan
motivasi
sembuh
Alif Farkhan, Hubungan Desain yang Hasil uji Pebedaan
2016 dukungan digunakan statistik uji waktu dan
keluarga dan adalah korelasi tempat
pengetahuan korelasional Pearson penelitian,
terhadap dengan teknik (p=0,00) perbedaan
perawatan sampling sehingga variabel
diri penderita menggunakan disimpulkan bebas
kusta di simple bahwa ada (variabel
Puskesmas random hubungan independen),
Grati sampling antara
dukungan
keluarga
dengan
7

perawatan
diri penderita
kusta
Ruly Virga, Hubungan Desain yang Hasil uji Pebedaan
2015 motivasi digunakan statistik waktu dan
berobat kusta adalah Spearman tempat
dengan korelasional Rho penelitian,
derajat cacat dengan teknik (p=0,000) perbedaan
penderita sampling sehingga variabel
kusta di menggunakan disimpulkan
Puskesmas total bahwa
Jenggawah sampling terdapat
Kabupaten hubungan
Jember motivasi
berobat kusta
dengan
derajad cacat

Anda mungkin juga menyukai