Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan aspek yang umum terjadi dalam
kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya
perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada
masing – masing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam
mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan
bilamana pada setiap daerah biasanya terdapat daerah maju (Development Region) dan daerah
terbelakang (Underdevelopment Region). Terjadinya ketimpangan antar daerah ini membawa
implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar daerah. Karena itu, aspek
ketimpangan pembangunan antar daerah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap
formulasi kebijakan pembangunan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Bertitik tolak dari kenyataan tersebut, kesenjangan atau ketimpangan antar wilayah
merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahapan dalam
pembangunan itu sendiri. Perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antarwilayah yang
berlebihanakan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effect) mendominasi
pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini
mengakibatkan proses ketidakseimbangan.
Ketimpangan wilayah timbul karena tidak adanya pemerataan dalam pembangunan
ekonomi. Hal ini terlihat dengan adanya wilayah yang maju dengan wilayah yang
terkebelakang atau kurang maju. Ketidakmerataan pembangunan ini disebabkan karena
adanya perbedaan antara wilayah satu dengan lainnya. Salah satu permasalahan ketimpangan
yang menonjol di Indonesia adalah kesenjangan antar daerah sebagai konsekuensi dari
terkonsentrasinya kegiatan perekonomian di Pulau Jawa dan Bali.
Ketimpangan antar wilayah di Indonesia yang terjadi padahal pada saat yang
bersamaan provinsi-provinsi tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi. Salah satu indikator
pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi yang adadi Indonesia adalah dengan semakin
meningkatnnya Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) dari masing-masing provinsi, baik
provinsi yang berada di Indonesia bagian Barat maupun yang berada di Indonesia bagian
Timur.

1
BPS, 2014
Gambar 1
Perkembangan PDRB Indonesia Bagian Barat dan Timur
(Dalam Milyar Rupiah)

Gambar 1. menunjukkan kepada kita perkembangan PDRB dari Indonesia Bagian


Barat yang meliputi Pulau Jawa dan PulauSumatera dan PDRB dari Indonesia Bagian Timur
yang meliputi Pulau Kalimantan, Sulawesi,Nusa Tenggara, Maluku, Maluku Utara dan Papua.
Dari Gambar 1 tersebut juga PDRB Indonesia bagian Barat menyumbang rata-rata hampir
83,4% dari total PDB nasional,sementara PDRB dari provinsi yang ada di Indonesia bagian
timur menyumbang hanya rata-rata 16,57% dari PDB nasional. Melihat keadaan tersebut
menandakan masih terjadinyaketimpangan yang cukup parah di Indonesia, antara Indonesia
bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur. Padahal peningkatan pertumbuhan PDRB di
Indonesia diharapkan terjadi secara merata dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan pada latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut “ Bagaimana perkembangan ketimpangan pembangunan
antar wilayah di Indonesia?”

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah “ untuk mengetahui perkembangan
ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia, dan solusi apa yang dapat diberikan
untuk mengurangi ketimpangan tersebut”

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ketimpangan Pembangunan


Indonesia sebagai Negara sedang berkembang sedang giat melakukan pembangunan
secara berencana dan bertahap. Pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai
suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk sesuatu masyarakat
meningkat dalam jangka panjang. Tujuannya tidak lain adalah untuk mengejar ketertinggalan
kita sebagai Negara sedang berkembang dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Ketimpangan atau disparitas adalah perbedaan antar suatu wilayah dengan wilayah
lainnya secara vertikal dan horizontal yang menyebabkan disparitas atau ketidak pemerataan
pembangunan.

2.2 Teori Neo Klasik Tentang Ketimpangan Pembangunan


Secara teoritis permasalahan ketimpangan pembangunan antar daerah mula - mula
dimunculkan oleh Douglas C North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik.
Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antar tingkat
pembangunan ekonomi nasional suatu Negara dengan ketimpangan pembangunan antar
wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim dikenal sebagai Hipotesa Neo-Klasikyang menarik
perhatian para ekonom dan perencana pembangunan daerah. Dalam literatur tentang
ketidaksetaraan regional, kerangka teori Neo-Klasik yang umum diadopsi, menyiratkan
bahwa ketimpangan bisa muncul dengan berbagai factor, seperti yang terjadi di turki. (Duran,
2019)
Menurut Hipotesa Neo-Klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara,
ketimpangan pembangunan antar daerah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai
ketimpangan tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus
berlanjut, maka secara berangsur -angsur ketimpangan pembangunan antar daerah tersebut
akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa
pada Negara- negara sedang berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar daerah
cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara maju ketimpangan tersebut akan menjadi lebih
rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar daerah adalah berbentuk
huruf U terbalik (Reserve U-shape Curve). Untuk lebih jelasnya mengenai kurva huruf U
terbalik yang terkait dengan ketimpangan, dapat dilihat pada gambar 2

3
Gambar 2
Hipotesis Kuznet yang berbentuk huruf U terbalik

Hubungan ketimpangan pembangunan yang berbentuk huruf U terbalik tersebut


dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh (Tirado, 2016) . Penelitian yang memakai
data ketimpangan Negara dengan rentang waktu 1960-2010 membuktikan bahwa hubungan
antara ketimpangan spasial dengan pembangunan ekonomi memiliki hubungan U terbalik,
dan juga ketimpangan spasial akan kembali meningkat pada tingkat perkembangan ekonomi
yang sangat tinggi. Hipotesis diatas juga dibuktikan di Negara-negara bekas sosialis dari
bekas blok timur. Kurva kuznet berlaku ketika kontrol kekuatan pasar perusahaan efektif dan
pajak tinggi Negara-negara tersebut. (Jovanovic, 2018)
Pertanyaan yang menarik adalah mengapa pada waktu proses pembangunan
dilaksanakan di negara sedang berkembang, justru ketimpangan meningkat? Jawabannya
adalah karena pada waktu proses pembangunan baru dimulai di negara sedang berkembang.
Kesempatan dan peluang pembangunan yang ada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-
daerah yang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih
sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan
sarana serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan
oleh factor ekonomi, tetapi juga oleh factor social-budaya sehingga akibatnya ketimpangan
pembangunan antar wilayah cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik,
sedangkan daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan.
Keadaan yang berbeda terjadi di Negara yang sudah maju dimana kondisi daerahnya
ummnya telah dalam kondisi yang lebih baik dari segi prasarana dan sarana serta kualitas

4
sumberdaya manusia. Disamping itu, hambatan-hambatan social dan budaya dalam proses
pembangunan hampir tidak ada sama sekali. Dalam kondisi yang demikian, setiap kesempatan
peluang pembangunan dapat dimanfaatkan secara lebih merata antar daerah. Akibatnya,
proses pembangunan pada Negara maju akan cenderung mengurangi ketimpangan
pembangunan antar daerah.
Kebenaran Hipotesa Neo-Klasik ini kemudian diuji kebenarannya oleh Jefrey G.
Willamson pada tahun 1996 melalui suatu studi tentang ketimpangan pembnagunan
antar daerah pada negara maju dan Negara sedang berkembang dengan menggunakan
data time series dan cross-section. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa Hipotesa Neo-
Klasik yang diformulasikan secara teoritis ternyata terbukti benar secara empiric. Ini berarti
bahwa proses pembangunan suatu Negara tidak otomatis dapat menurunkan ketimpangan
pembangunan antar daerah, tetapi pada tahap permulaan justru terjadi hal sebaliknya.
Fakta empiric ini menunjukan bahwa peningkatan ketimpangan pembangunan yang
terjadi di Negara-negara sedang berkembang sebenarnya bukanlah karena kesalahan
pemerintah atau masyarakatnya, tetapi hal tersebut terjadi secara natural diseluruh Negara.
Bahkan ketika Amerika Serikat mulai melaksanakan proses pembangunan pada abad
kedelapan belas dulu, peningkatan ketimpangan pembangunan antar daerah juga meningkat
tajam. Peningkatan ketimpangan ini bahkan sampai memicu terjadinya perang saudara antar
Negara bagian di Selatan yang masih relative tertinggal dengan Negara bagian di Utara yang
sudah lebih maju. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan adanya pemberontakan
PRRI-Persemesta di Sumatera Barat tahun 1957, Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

2.3 Ukuran Ketimpangan Pembangunan


Salah satu model yang cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan
pembangunan antar wilayah adalah indeks williamson yang dikemukakan oleh Williamson
(1965). Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang atau weighted index
terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang atau un-weighted index) untuk
mengukur tingkat ketimpangan pendapatan per kapita suatu negara pada waktu tertentu.
Walaupun indeks ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain sensitive terhadap
definisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan, namun demikian indeks ini lazim
digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah (Sjafrizal, 2012).
Formulasi Indeks Williamson yang digunakan yaitu:

5
Vw = Indeks Williamson

yi = PDRB per kapita daerah i

y = PDRB per kapita rata-rata seluruh daerah

fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah

Pengertian indeks ini adalah sebagai berikut: bila Vw mendekati 1 berarti sangat

timpang dan bila Vw mendekati nol berarti sangat merata.

2.4 Faktor Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah


Selanjutnya, pada bagian ini, perlu pula dibahas beberapa faktor utama yang
menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Dengan
adanya analisa ini, akan dapat dijelaskan secara empirik unsur penyebab terjadinya
ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Disamping itu, analisa ini juga sangat penting
artinya karena hasilnya dapat memberikan informasi penting untuk pengambilan keputusan
dalam melakukan perumusan kebijakan untuk menanggulangi atau mengurangi ketimpangan
pembangunan wilayah tersebut.
A. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam
Penyebab utama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar daerah
adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-
masing daerah. Sebagiamana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam ini di
Indonesia ternyata cukup besar. Ada daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi
daerah lain tidak mempunyai. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup
besar, tapi daerah lain tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang
juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan
pertanian pada masing-masing daerah. Selain itu juga perbedaan potensi alam untuk
pariwisata juga mempengaruhi ketimpangan daerah seperti penelitian yang dilakukan oleh
(Lv, 2019). Dalam penelitian yang dilakukan di 113 negara dari tahun 1995-2012
menyimpulkan bahwa pariwisata memiliki efek jangka panjang yang negatif pada

6
ketimpangan regional, promosi pariwisata adalah alat yang efektif untuk mencapai
pembangunan daerah yang lebih seimbang. Selain itu, hasil dari uji kausalitas Dumitrescu-
Hurlin Granger menunjukkan kausalitas searah dari pengembangan pariwisata hingga
ketimpangan regional.
B. Perbedaan Kondisi Demografis
Faktor utama lainnya yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan
pembangunan antar wilayahadalah bilamana terdapat perbedaan kondisi demografis yang
cukup besar antar daerah. Kondisi demografis yang dimaksudkan disini meliputi perbedaan
tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan
kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan
kebiasaan serta etos kerja yang dimliki masyarakat daerah bersangkutan.
C. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
Kurang lancanya mobilits barang dan jasa dapat pula mendorong terjadinya
peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi
kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah
(transmigrasi) atau migrsi spontan. Alasannya adalah karena bila mobillitas tersebut kurang
lancar maka kelebihan produksi atau daerah tidak dapat dijual kedaerah lainyang
membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrsi yang kurang lancar menyebabkan
kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat
membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi
karena kelibahan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lian yang membutuhkan,
sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu tidaklah
mengherankan bilamana, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi
pada negara sedang berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan masih
terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.
D. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah
Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yag cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas
akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah
akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang
cukup besar (aglomaresi ekonomi). Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses
pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan
masyarakat. Demikian pula sebaliknya bilamana, konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu
daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadi pengangguran dan rendahnya
tingkat pendapatan masyarakat setempat. Teori ini Sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan di china dengan melihat ketimpangan regional lintas provinsi, prefektur dan
7
kabupaten di Negara tersebut dari tahun 1997 hingga 2010.pergeseran aglomarasi di daerah-
daerah di China menyebabkan terjadinya pergeseran pada ketimpangan regional juga. (He,
Fang, & Zhang, 2017)
E. Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah
Tidak dapat disangka bahwa investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan
pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat alokasi investasi yang
lebih besar dari pemetintah, atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung
mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan
dapat pula mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang
lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya
terjadi bilamana investasi pemerintah dan swasta yang masuk kesuatu daerah ternyarta lebih
rendah. (Lessmann, Foreign direct investment and regional inequality: A panel data analysis,
2013) menyebutkan bahwa investasi mempunyai pengaruh yang bersar terhadap ketimpangan
pembangunan pada Negara-negara yang berpenghasilan rendah (Negara berkembang), namun
pada Negara maju, investasi kurang memiliki pengaruh terhadap ketimpangan pembangunan.

8
BAB III
KETIMPANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH
DI INDONESIA

3.1 Perkembangan Ketimpangan Pembangunan di Indonesia


Munculnya studi Williamson (1965), telah mendorong pula beberapa ahli untuk
melakukan studi tentang ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia. Studi
pertama dilakukan oleh Hendra Esmara (1975) yang menggunakan Williamson Index sebagai
ukuran ketimpangan antar wilayah. Untuk mempertajam analisa, kalkulisasi indeks
ketimpangan disni dibedakan antara PDRB termasuk dan diluar minyak dan gas alam. Namun
demikian, karena ketersediaan data tentang Pendapatan Regional di Indonesia pada saat itu
masih sangat terbatas, maka jangka pembahasan pada analisa juga masih terbatas sehingga
generalisasi untuk mendapatkan kesimpulan umum masih sulit dilakukan. Kemudian studi ini
dilanjutkan oleh Uppal, J.S and Budiono Sri Handoko (1986) menggunakan cara yang sama
dan seri data yang lebih panjang. Pada kedua studi ini, ketimpangan yang dimaksud adalah
antar provinsi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari kedua studi ini adalah bahwa ketimpangan antar
wilayah di Indonesia ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan Negara maju. Bahkan
diantara sesame Negara berkembang, ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia
termasuk yang lebih tinggi. Kenyataan ini adalah sejalan dengan Hipotesa Neo-Klasik yang
diuraikan terdahulu. Disamping itu, terlihat pula bahwa indek ketimpangan tersebut
cenderung meningkat antar waktu yang menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan antar
wilayah di Indonesia masih belum mencapai puncaknya. Peningkatan ketimpangan ini
membawa implikasi negative dan cenderung mendorong timbulnya kecemburuan social
daerah terbelakang terhadap daerah maju yang dapat menimbulkan dampak politisi bila tidak
diatasi segera mungkin. Studi lainnya yang membahas ketimpangan pembangunan antar
wilayah di Indonesia adalah Ari Mulia Ginting (2014) untuk periode 2004-2012. Adapun
hasil dari penelitiannya dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

9
Gambar 2
Perkembangan ketimpangan Indonesia Bagian Barat dan Timur
(berdasarkan indeks williamson)

Dari Gambar 2. terlihat perkembangan ketimpangan ekonomi berdasarkan data dari


Provinsi-provinsi yang ada di Indonesia dengan membagi menjadi dua bagian, yaitu Indonesia
Bagian Barat dan Indonesia BagianTimur. Indonesia bagian barat sendiri terdiri dari Provinsi-
provinsi yang berada di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, dan Bali. Sedangkan Indonesia bagian
timur terdiri dari provinsi-provinsi yang berada di Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara,Maluku, Maluku Utara dan Pulau Papua. Jika diperhatikan indeks Williamson
untuk Indonesia Bagian Timur lebih tinggi dibandingkan Indeks Williamson untuk Indonesia
Bagian Barat. Perbedaan indeks yang lebih tinggi pada Indonesia bagian timur menjelaskan
bahwa pembangunan di Indonesia bagian timur lebih timpang daripada pembangunan di
Indonesia Bagian Barat. Pada tahun 2004 indeks Williamson untuk Indonesia bagian timur
adalah sebesar 0,4285 sedangkan indeks Williamson untuk Indonesia bagian barat lebih
rendah dibandingkan indeks williamson untuk Indonesia bagian timur yaitu sebeasar
0,239.Akan tetapi yang menarik untuk dicermati adalah bahwa pada tahun 2004, ketika
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama tahun 2004, indeks williamson
untuk Indonesia bagian timur cukup tinggi sebesar 0,42585 sedangkan indeks williamson
untuk Indonesia Bagian Barat sebesar 0,239. Perbedaan indeks williamson yang cukup tinggi
menandakan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar atau tinggi antara Indonesia
bagian barat dan Indonesia bagian timur. Akan tetapi secara perlahan namun pasti, pada
periode selanjutnya indeks williamson untuk Indonesia bagian timur mengalami penurunan
dari 0,42585 pada tahun 2004 maka pada tahun 2012 menjadi 0,31929. Hal ini pertanda
terjadi peningkatan kualitas pembangunan di Indonesia bagian timur sehingga dapat
10
mengurangi ketimpangan pembangunan yang terjadi. Terjadinya penurunan ketimpangan
yang terjadi di Indonesia khususnya diIndonesia bagian timur tidak lepas dari fungsi
pemerintah. Menurut Stiglitz yang dikutip oleh Rama,et. al.mengatakan bahwa fungsi
pemerintah itu sendiri diantaranya adalah fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi. Fungsi
alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta
secara efefsien,yaitu adanya peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi
agar tercipta secara efesien, yaitu adanya peran pemerintah dalam menyediakan barang yang
tidak bisa disediakan oleh pasar.Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam
mempengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan. Fungsi
stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam mempengaruhi keseluruhan tingkat
pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Namun demikian gap antara indeks
williamson untuk Indonesia bagian timur dan Indonesia bagian barat secara keseluruhan dari
tahun 2004 sampai dengan tahun 2012 masih terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Hal
ini menunjukkan bahwa pembangunan yang tercipta di Indonesia bagian timur memang
terjadi akan tetapi belum dapat mengimbangi pembangunan yang terjadi di Indonesia bagian
barat. Untuk itu maka diperlukan suatu strategi “crash program” untuk mendorong terjadinya
konvergensi antara pembangunan di Indonesia bagian bagian barat dan timur. Sehingga
ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat segera dapat diatasi dengan cepat dan tuntas.

3.2 Solusi Mengatasi Ketimpangan Antar Wilayah


Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan daerah sangat
ditentukan oleh faktor yang menentukan terjadinya ketimpangan tersebut Kebijakan yang
dimaksudkan disini adalah merupakan upaya pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang
dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangan pembangunan antar daerah
dalam suatu negara atau wilayah.
1. Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan
Sebagaimana ttelah dibahas terdahulu bahwa salah satu penyebab terjadinya
ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah karena adanya perbedaan kandungan
sumberdaya alam yang cukup besar antar daerah. Sementara itu, ketidak lancaran proses
perdagangan dan mobilitas faktor produksi antar daerah juga turut mendorong terjadinya
ketimpangan wilayah tersebut. Karena itu, kebijakan dan upaya yang dapat dilakukan untuk
mengurangi ketimpangan tersebut adalah dengan mempelancar mobilitas barang dan faktor
produksi antar daerah. Upaya utuk mendorong kelancaran mobilitas barangdan faktor
produksi antar daerah dapat dilakukan melalui penyebaran pembangunan prasarana dan
sarana perhubungan keseluruh pelosok daerah.
11
2. Mendorong Transmigrasi dan Migrasi Spontan
Untuk mengurangi kepentingan pembangun antar wilayah, kebijakan dan upaya lain
yang dapat dilakukan adalah mendorong pelaksanaan transmigrasi dan migrasi spontan.
Transmigrasi adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan
menggunakan fasilitas dan dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah
perpindahan penduduk yang dilakukan secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui
proses transmigrasi dan migrasi spontan ini, kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh
daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga prosees pembangunan daerah
bersangutan akan dapat pula digerakan.
3. Pengembangan Pusat Pertumbuhan
Kebijakan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan
antar wilayah adalah melalui pengembangan pusat pertumbuhan (Growth Poles) secara
tersebar. Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antar
wilayah karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi
secara sekaligus. Aspek konsentrasi diperluka agar penyebaran kegiatan pembangunan
tersebut dapat dilakukan dengan masih terus mempertahankan tingkat efesiensi usaha yang
sangat diperlukan untuk mengembangkan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi
diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan antar daerah dapat dilakukan sehingga
ketimpangan pembangunan antar wilayah akan dapat dikurangi. Penerapan konsep pusat
pertumbuhan ini untuk mendorong proses pembangunan daerah dan sekaligus untuk dapat
mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilakukan melalui pembangunan
pusat-pusat pertumbuhan pada kota-kota skala kecil dan menengah.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan juga dapat digunakan
untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hal ini jelas, karena
dengan dilaksanakannya otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas
pembangunan daerah, termasuk daerah terbelakang akan dapat lebih digerakan karena ada
wewenang yang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan adanya
kewenangan tersebut, maka berbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi
daerah akan dapat lebih digerakan. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan
daerah secara keseluruhan akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan
pembangunan antar daerah akan dapat pula dikurangi. Pemerintah indonsia telah melakukan
otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu. Melalui

12
kebijakan ini, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola
kegiatan pembangunan didaerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan).

13
BAB IV
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam pembahasan kali ini dapat di simpulkan bahwa Ketimpangan Pembangunan
Antar Daerah itu adalah perbedaan pembangunan antar suatu daerah dengan daerah lainnya
bai secara partikal maupun secara horizontal yang menyebabkan disparatis atau ketidak
pemerataan pembangunan. itu di sebabkan oleh beberapa factor antara lain Perbedaan
Kandungan Sumber Daya Alam, Perbedaan Kondisi Demografis, Kurang Lancarnya
Mobilitas Barang dan Jasa, Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah, dan Alokasi Dana
Pembangunan Antar Daerah. Adapun solusi untuk permasalaan tersebut adalah dengan cara
pemerintah harus melakukan Penyebaran Pembangunan Prasarana Perhubungan, Mendorong
Transmigrasi dan Migrasi Spontan, Pengembangan Pusat Pertumbuhan, dan Pelaksanaan
Otonomi Daerah.

3.2 Saran
Penulis sadar bahwa tulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, maka penulis
mengharapkan segala jenis kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk perbaikan tulisan
ini di masa yang akan datang. Semoga tulisan sederhana ini bisa bermampaat bagi rekan
pembaca.

14
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Indonesia, 2014

Duran, H. E. (2019). Asymmetries in regional development: Does TFP or capital


accumulation matter for spatial inequalities? The Journal of Economic Asymmetries,
1-11.

He, S., Fang, C., & Zhang, W. (2017). A geospatial analysis of multi-scalar regional
inequality in China and in metropolitan regions. Applied Geography, 199-212.

Jovanovic, B. (2018). When is there a Kuznets curve? Some evidence from the ex-socialist
countries. Economic Systems, 248-268.

Lessmann, C. (2013). Foreign direct investment and regional inequality: A panel data
analysis. China Economic Review, Pages 129-149.

Lv, Z. (2019). Deepening or lessening? The effects of tourism on regional inequality. Tourism
Management, 23-26.

Sjafrizal. 2012. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media

Tirado, D. A. (2016). Regional inequality and economic development in Spain, 1860–2010.


Journal of Historical Geography, pages 87-98.

15

Anda mungkin juga menyukai