Anda di halaman 1dari 10

Most research on parental divorce focuses on the negative effects of divorce on

children, teenagers, and young adults. Previous research has shown that children
of divorce often experience a change in their views towards intimate relationships
(boyfriend, girlfriend, romantic partner, etc.), which in turn may cause them to
become either more nervous or wary of these relationships and unsure of their
ability to successfully manage one (Cartwright 2008). Previous research has found
that children of divorce experience pessimistic outlooks/ feelings (towards
themselves and future intimate relationships) and low reports of self-esteem as
well as outcomes on areas such as academic performance, familial relationships,
and performance in everyday functioning (Carlson 2006; Cartwright 2008;
Scabini and Cigoli 2008; Sever, Guttmann, and Lazar 2008). Qualitative studies
have depicted children of divorce as experiencing painful emotional states (i.e.
anger, suspicion, jealousy, etc.) as well as observing significant decreases in their
levels of self-worth, trust, and communication with their peers (Cartwright 2008;
Scabini and Cigoli 2008). Scabini and Cigoli (2008), for example, found that
males from divorced families would often develop a fear of being unable to
maintain a healthy relationship with their spouse and future children.

( Pengaruh Perceraian Orangtua pada Pembentukan dan Pemeliharaan Hubungan


Sebagian besar penelitian tentang perceraian orang tua berfokus pada efek negatif
perceraian pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa anak-anak yang bercerai sering mengalami perubahan dalam
pandangan mereka terhadap hubungan intim (pacar, pacar, romantispasangan,
dll.), yang pada gilirannya dapat menyebabkan mereka menjadi lebih gugup atau
waspada terhadap hubungan-hubungan ini dan tidak yakin akan kemampuan
mereka untuk berhasil mengelola satu (Cartwright 2008). Penelitian sebelumnya
telah menemukan bahwa anak-anak yang bercerai mengalami pandangan /
perasaan pesimis (terhadap diri mereka sendiri dan hubungan intim di masa
depan) dan laporan harga diri yang rendah serta hasil pada bidang-bidang seperti
kinerja akademik, hubungan keluarga, dan kinerja dalam fungsi sehari-hari
(Carlson 2006 ; Cartwright 2008; Scabini dan Cigoli 2008; Sever, Guttmann, dan
Lazar 2008). Studi kualitatif telah menggambarkan anak-anak yang bercerai
sebagai mengalami kondisi emosional yang menyakitkan (yaitu kemarahan,
kecurigaan, kecemburuan, dll.) Serta mengamati penurunan yang signifikan dalam
tingkat harga diri, kepercayaan, dan komunikasi dengan teman sebaya mereka
(Cartwright 2008; Scabini dan Cigoli 2008). Scabini dan Cigoli (2008), misalnya,
menemukan bahwa laki-laki dari keluarga yang bercerai sering mengembangkan
rasa takut tidak mampu mempertahankan hubungan yang sehat dengan pasangan
dan anak-anak mereka di masa depan. )

Mereka akan merasa tidak percaya diri dalam hal menjalin suatu hubungan,
mereka takut tidak mampu mempertahankan hubungan yang baik. Karena anak-
anak korban perceraian orangtua mengalami tingkat emosional yang berbeda,
mereka memiliki rasa marah, curiga dan cemburu yang berlebih. Mereka takut
akan meluapkan emosional mereka kepada pasangan mereka. Mereka takut tidak
dapat megendalikan emosi dan gagal mejadi pasangan yang baik. Mereka juga
takut apa yang dilakukan sekarang berdampak pada anak-anaknyadimasa depan.
Dampak positif perceraian yakni baik untuk mental pasangan dan anak yang
tersakiti agar memiliki motivasi untuk bangkit dan menjadi pribadi yang lebih
baik

An analysis of qualitative data reveals common themes in the participants’


responses that complement the survey data. Half the participants reported that
they felt their parents’ divorce had had a positive impact on their ability to
maintain a relationship in some way, while three felt it had neither a positive nor
negative impact. The most common response to the question of impact was that
the participant would strive to perform better than their parents in their own
relationships by learning from their parents’ mistakes rather than repeat them.

( Analisis data kualitatif mengungkapkan tema umum dalam respons peserta yang
melengkapi data survei. Separuh peserta melaporkan bahwa mereka merasa
perceraian orang tua mereka memiliki dampak positif pada kemampuan mereka
untuk mempertahankan hubungan dalam beberapa cara, sementara tiga merasa itu
tidak memiliki dampak positif maupun negatif. Tanggapan paling umum untuk
pertanyaan dampak adalah bahwa peserta akan berusaha untuk melakukan lebih
baik daripada orang tua mereka dalam hubungan mereka sendiri dengan belajar
dari kesalahan orang tua mereka daripada mengulanginya.)

Seorang individu korban perceraian orang tua akan lebih bepikir ketika
menghadapi masalah dalam hubungannya, dia akan berpikir panjang bagaimana
cara mempertahankan hubungannya sebisa mungkun. Dia akan lebih
memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat hubungan yang sedang
dia jalani tidak baik. Dia akan melakukan beberapa cara agar hubungan yang dia
miliki tetap berjalan baik, dia akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang
pernah dia lihat dari orang tuanya. Individu akan merasa bahwa apa yang dialami
orang tua mereka jangan sampai terjadi atau terulang lagi pada dirinya, maka
sebisa mungkin dia akan membekali dirinya sendiri dengan berhati-hati dan
mampu menempatkan sesuatu dengan tepat agar hal-hal yang terjadi pada orang
tuanya tidak terulang pada dirinya. Namun banyak diantaranya anak korban
perceraian orang tua yang memilih tidak menjalin suatu hubungan dengan orang
lain, namun dibalik itu sebenarnya dia ingin menunjukkan pada orang lain bahwa
dia akan melakkan hal yang baik yang tidak seperti orang tuanya.

Additionally, Bernstein (2012) also found that young adults of divorce possess
more sympathy (possibly as part of a supportive coping mechanism), enthusiasm
(believed to be a result of motivation encouraged by the stressful experience of
the divorce), awe (experiencing a greater sense of gratitude and appreciation
towards relationships), and perspective taking than did young adults with
continuously married parents.

( Selain itu, Bernstein (2012) juga menemukan bahwa orang dewasa muda yang
bercerai memiliki lebih banyak simpati (mungkin sebagai bagian dari mekanisme
koping yang mendukung), antusiasme (diyakini sebagai hasil dari motivasi yang
didorong oleh pengalaman stres dari perceraian), kekaguman (mengalami rasa
terima kasih dan penghargaan yang lebih besar terhadap hubungan), dan
pengambilan perspektif dibandingkan orang dewasa muda dengan orang tua yang
terus menikah.)

Remaja korban perceraian orang tua akan memiliki rasa simpati yang lebih, dia
akan peduli terhadap rasa sakit yang dialami orang lain atau pasangannya, maka
dari itu sebisa mungkin dia akan melakukan yang terbaik yang tidak akan
menyakiti orang lain atau pasangannya. Antusias terhadap sesuatu yang dia lihat
atau dia terima, anak korban perceraian akan mereasa senang ketika orang lain
memberikan perhatian sekecil apapun itu, dia akan menerima apapun itu yang
diberikan orang lain. Kekaguman, disini anak korban perceraian orang tua
memiliki atau mengalami rasa terima kasih atau penghargaan yang lebih besar
terhadap hubungan. Tidak hanya hubungan dengan psangan saja tetapi hubungan
dia dengan teman, dia akan lebih memiliki rasa terima kasih kepada orang lain
yang sudah menerimanya dan sebagai tanda terima kasih tersebut dia akan
memberikan suatu penghargaan pada hubungan tersebut dengan melakukan hal
sebaik mungkin yang tidak menyakiti pihak manapun. Seringnya dia akan mersa
bersalah ketika di tidak mewujudkan seseatu yang diinginkan dalam hubungan.
Kondisi seperti ini yang terjadi dalam diri seseorang yang menjadi korban
perceraian orang tua yang belum tentu idrasakan oleh seseorang yang orang
tuanya masih utuh.

This support coping style was found to be strongly correlated to three factors,
each representing a central theme of positive outcomes: empowerment (defined as
a subjective sense of growth, strength, and maturity), empathy (an increased
feeling of compassion for the pain of others), and relationshipsavviness
(acknowledging the complexity of intimate relationships and having realistic
expectations of them). Participants who reported primarily using the support
coping style experienced a greater sense of responsibility, maturity, self-
confidence, and inner strength, as well as a higher acceptance of their parents’
choices, weaknesses, and strengths. These ultimately contributed to the
participants’ understanding of intimate relationships, helping them to make peace
with their parents’ divorce as well as giving them an increased sense of
commitment for their own relationships (Sever et al. 2008).

( Gaya dukungan koping ini ditemukan berkorelasi kuat dengan tiga faktor,
masing-masing mewakili tema sentral dari hasil positif: pemberdayaan
(didefinisikan sebagai rasa subjektif pertumbuhan, kekuatan, dan kematangan),
empati (perasaan kasih sayang yang meningkat terhadap rasa sakit dari lain-lain),
dan hubungan yang bersahabat (mengakui kompleksitas hubungan intim dan
memiliki harapan yang realistis dari mereka). Peserta yang dilaporkan terutama
menggunakan gaya koping dukungan mengalami rasa tanggung jawab,
kedewasaan, kepercayaan diri, dan kekuatan batin yang lebih besar, serta
penerimaan yang lebih tinggi atas pilihan, kelemahan, dan kekuatan orang tua
mereka. Ini pada akhirnya berkontribusi pada pemahaman peserta tentang
hubungan intim, membantu mereka untuk berdamai dengan perceraian orang tua
mereka serta memberi mereka rasa komitmen yang meningkat untuk hubungan
mereka sendiri (Sever et al. 2008). )

Anak korban perceraian orang tua akan memiliki rasa tanggung jawab terhadap
sesuatu misalnya dalam suatu hubungan dia akan bertanggug jawab dengan
berkomitmen, ketika dia menjalin suatu hubungan dengan seseorang dia akan
lebih menghargai hubungan tersebut, akan bertanggung jawab memberikan arau
melakukan sesuatu yang memang harus dilakukan dalam hubungan tersebut.
Kedewasaan anak korban perceraian jangan diragukan lagi, dia akan menjadi
dewasa terhadap sesuatu yang dia lihat atau yang sedang terjadi, anak-anak
korban perceraian orang tua akan lebih realistis terhadap seseatu dan selalu
berpikir dengan logika. Dan mereka meiliki kekuatan batin yang lebih besar
diantara orang lain, karena mereka pernah melihat suatu kehancuran hebat dalam
hidupnya, maka ketika dia mendapati suatu masalah dia tidak cengeng dan lebih
kuat menhadapinya. Dia akan menganggap masalah adalah hal yang kecil dan
mudah ditaklukan, karena dia pernah melihat masalah terbesar dalam hidupnya
yang belum tentu orang lain tau. Mereka harus melihat pilihan hidup orang tuanya
untuk bercerai, mau tidak mau dia harus menerima, namun dalam hal ini
penerimaan berlangsung dalam jangka waktu yang lama mereka tidak langsung
dapat menerima hal tersebut begitu saja, perlu waktu untuk menerimanya dan
untuk dapat menyesuaikan kehidupanya setelah itu. Dia harus menyesuaikan
keadaan-keadaan yang biasanya didalamnya dilakukan oleh orang tua yang utuh.
Penerimaan keadaan dan pandangan orang lain terhadap dirinya dan keluarganya.

In 2003, Kim Leon published an extensive review of the existing literature on


parental divorce and early childhood development in order to determine how
parental divorce affects young children’s developmental outcomes, risk and
protective factors influencing adaptation, and how early parental divorce affects
later adjustment.

( Hasil Pada tahun 2003, Kim Leon menerbitkan tinjauan luas literatur yang ada
tentang perceraian orang tua dan perkembangan anak usia dini untuk menentukan
bagaimana perceraian orang tua mempengaruhi hasil perkembangan anak-anak,
faktor risiko dan faktor pelindung yang mempengaruhi adaptasi, dan bagaimana
perceraian orang tua mempengaruhi penyesuaian nanti.)

Perceraian orangtua sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,


berpengaruh terhadap adaptasinya dengan lingkungan sekitar. Bagaimana dia
beradaptasi dengan teman sebaya, dengan keluarga dan dengan pasangannya. Dia
harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan setelah orang
tuanya bercerai. Karena setelah melihat perceraian orang tuanya dia akan
memiliki rasa dan pandangan yang berbeda terhadap sesuatu terlebih soal
komitmen atau hubungan.

Males identified with the parent of the same gender and, without a proper role
model, became fearful that such undesirable traits were innate. Young women, on
the other hand, were more likely to focus on the importance of finding a reliable
partner. For them, the excessive maternal presence reinforced the need for
stability and unity in a familial setting (Scabini and Cigoli 2008).

(Laki-laki diidentifikasi dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama dan, tanpa
model peran yang tepat, menjadi takut seperti itu sifat-sifat yang tidak diinginkan
adalah bawaan. Sebaliknya, remaja putri lebih cenderung berfokus pada
pentingnya menemukan pasangan yang dapat diandalkan.)

Anak laki-laki korban perceraian orang tua meresa takut akan melakukan hal yang
sama seperti yang terjadi diantara orang tuanya. Terlebih lagi pandangan orang
lain dan lingkungan sekitar yang memandang bahwa ketika orangtuanya
melakakukan hal tersebut itu juga akan menurun pada anaknya. Dan sebisa
mungkin anak perembpuan akan mecari dan berusaha menemukan pasangan yang
tidak akan melakukan hal yang sama seperti orangtuanya. Dia akan lebih teliti
dalam menemukan pasangannya nanti. Dia tidak ingin merasakan apa yang
orangtuanya alami, namun sebisa mungkin dia tidak menunjukkan latar belakang
keluarganya kepada pasangannya. Karena dia juga takut pasangannya tersebut
tidak bisa menenrima latar belakang keluarganya yang orang tuanya bercerai.
Karena balik lagi anak korban perceraian orangtua memiliki emosional yang
itnggi terhdap seseatu. Namun sebisa mungkin dia akan menjadi baik dan lebih
baik lagi agar dia tidak merasakan apa yang dialami orangtuanya. Karena anak
perempuan kehilangan sosok ayah maka dari itu dia akan mencari pasangan yang
mampu mengimbanginya. Dia membutuhkan sosok yang bisa memperhatikannya
seperti ketika dia diperhatikan oleh ayah atau orangtuanya. Anak perempuan
korban perceraian akan lebih selektif lagi dalam mencari pasangan hidupnya.

Further, the results of this study aligned with the notion that males from divorced
families had a higher chance of becoming unsure of their ability to have a healthy
relationship with their partners, primarily because they were not sure how a
healthy relationship was supposed to turn out.

(Lebih lanjut, hasil penelitian ini sejalan dengan gagasan bahwa laki-laki dari
keluarga yang bercerai memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi tidak yakin
akan kemampuan mereka untuk memiliki hubungan yang sehat dengan pasangan
mereka, terutama karena mereka tidak yakin bagaimana hubungan yang sehat
seharusnya berubah.)
Karena mereka merasa akan menjadi ayah dikemudian hari, maka dari itu meraka
takut gagal dalam menjalin suatu hubungan. Takut tidak dapat diterima dengan
baik oleh pasangan karena latar belakang keluarganya. Mereka selalu tidak yakin
terhadap pilihan yang dia pilih maka dari itu banyak dari mereka yang tidak dapat
mempertahankan hubungannya. Namun bukan hanya itu faktor kurangnya
kepercayaan juga menjadi salah satu hal yang membuat dia tidak yakin untuk
menjalin hubungan.

Being able to recognize the pitfalls of romantic relationships and how to avoid or
properly remedy them as a result of having experiences parental divorce reveals a silver
lining that one can expect from such a scenario.

(Mampu mengenali jebakan dalam hubungan romantis dan bagaimana cara


menghindarinya atau memperbaikinya dengan benar sebagai akibat dari memiliki
pengalaman perceraian orang tua mengungkapkan garis perak yang dapat
diharapkan seseorang dari skenario semacam itu.)

Seorang anak korban perceraian akan lebih mengerti keadaan-keadaan dalam


suatu hubungan, dia akan lebih peka terhadap tingkah laku seseorang yang
cenderung kurang baik dalam hubungan. Dia akan memberikan pertahanan
dirinya agar mampu menghindari rasa sakit dari suatu hubungan, dia akan belajar
memperbaiki hubungannya seseuia dengan pengalaman yang dia lihat dari
orangtuanya.

Ketika rumah tangga berakhir, anak kadang menjadi korban. Ada beberapa hal
yang bisa terjadi pada anak saat orang tuanya bercerai.

Anak Jadi Paranoid

Rumah tangga yang runtuh berisiko besar menghilangkan rasa percaya,


kedamaian, hingga harapan anak. Akibatnya, anak berkembang menjadi pribadi
paranoid. Sifat tidak percaya itu dapat membuat anak mengalami kemunduran
dalam pergaulan. Entah dia menarik diri dan bersembunyi dalam kesendirian atau
sebaliknya menjadi pribadi yang kasar.
Anak Jadi Pembangkang

Dampak negatif lainnya, anak bisa menjadi pembangkang. Anak merasa tak
dihargai orang tuanya sehingga membalas dengan bertindak semaunya.
Anak Jadi Minder

Pada kasus lain anak juga bisa jadi peragu dan minder. Hal itu bisa terjadi karena
kepercayaan dirinya luruh. Pasalnya, pendapatnya tak pernah didengar dan
dihargai orang tuanya.
Merasa Bersalah

Yang paling fatal adalah jika anak sampai menyalahkan diri sendiri dan
menganggap dialah penyebab orang tuanya bercerai. Anak-anak yang masih muda
(di bawah usia 12 tahun) sangat rapuh menghadapi kenyataan pahit perpisahan
orang tuanya. Mereka melihatnya sebagai masalah berat karena kapasitas
mengolah informasi dalam pikiran mereka masih terbatas. Imbasnya, timbul rasa
bingung hingga menimbulkan asumsi. Salah satunya adalah asumsi, ‘Jangan-
jangan mama papa berpisah karena saya’.
Baik-Baik Saja

Perceraian tidak selalu berakibat buruk pada anak. Ada juga tipe anak yang meski
kedua orang tuanya bercerai, ia tampak baik-baik saja. Mereka tipe anak-anak
yang berkepribadian lebih kuat, berani, dan matang dalam menghadapi kenyataan.
Namun, bukan berarti anak yang diam dan berlagak tidak peduli, tidak merasa
terluka. Ketidakpedulian yang ditunjukkan bisa jadi sebuah mekanisme
pertahanan diri anak agar ia survive menghadapi cobaan berat hidupnya. Di luar
tampak tegar dan tenang, namun di dalam hatinya hancur lebur. Ini juga perlu
diwaspadai. Karena itu, orang tua harus selalu peka dan membantu anak
memahami kondisi tak ideal yang harus terjadi.

Namun Anda juga perlu tahu bahwa dengan arahan yang bijak dari kedua orang
tua dan lingkungan, sebenarnya perceraian tak harus membuat si kecil tumbuh
dalam luka dan duka. Diperlukan peran orang tua agar anak-anak tidak menjadi
korban dari perceraian.

Anda mungkin juga menyukai