Anda di halaman 1dari 39

DISCOVERY LEARNING

KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA II

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PADA NARAPIDANA

Dhian Ririn Lestari, S.Kep.,Ners, M.Kep

Disusun oleh:
KELOMPOK 5
Okta Vianus Augustus M. W (1610913210014)
Laila Rahmania (1610913120007)
Muhammad Hasan (1610913310024)
Nurfiqri Ilham Zulfikar (1610913110012)
Yuliani (1610913120018)
Winda Lestari (1610913320041)
Putri Wulandari (1610913320034)
Rahmad (1610913210015)
Rizki Thayibah (1610913220019)
Rabiatul Adawiah (1610913210015)
Zauhar Latifah (1610913220021)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Mata Kuliah : Keperawatan Jiwa II


Dosen Pengampu : Dhian Ririn Lestari, Ns., M.Kep
Kelompok : Kelompok 5
Nama Anggota : Laila Rahmaniah 1610913120007
Muhammad hasan 1610913310024
Nurfiqri Ilham Zulfiqar 1610913110012
Okta Vianus Augustus Musi W. 1610913210014
Putri Wulandari 1610913320034
Rabiatul adawiah 1610913320035
Rahmad 1610913210015
Rizki Thayibah 1610913220019
Winda lestari 1610913320042
Yuliani 1610913120018
Zauhar latipah 1610913220021

Banjarbaru, 4 Desember 2018

Dhian Ririn Lestari, Ns., M.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
makalah ini.

Banjarbaru, 4 Desember 2018

Kelompok V
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii

DAFTAR ISI ......................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ................................................................................. 1


2. Tujuan Umum .................................................................................. 2
3. Tujuan Khusus .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Narapidana ...................................................................... 3


2. Jenis Kelompok Narapidana.............................................................. 3
3. Hak-Hak Narapidana ......................................................................... 11
4. Pola Pembinaan Narapidana .............................................................. 14
5. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pembinaan ................................... 17
6. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana ........................................ 18
7. Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial ................. 19
8. Stressor Narapidana........................................................................... 20
9. Dampak Negatif Narapidana ............................................................. 21
10. Perubahan Psikososial, Ekonomi dan Religius Narapidana .............. 22
11. Asuhan Keperawatan Pada Narapidana ............................................ 27

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 34


3.2 Saran ................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Peningkatan pertumbuhan penduduk di Indonesia saaat ini mengakibatkan


persaingan dalam dunia kerja semakin ketat, sehingga berdampak pada
banyaknya pengangguran. Berdasarkan data dari badan pusat statistik (2013),
tingkat pengangguran setiap bulan adalah sekita 5,92% dari jumlah angkatan
kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Banyaknya pengangguran
tersebut menyebabkan beberapa dari mereka menghalalkan segala cara untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan yang harus dipenuhi salah satunya
adalah kebutuhan dasar yang dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari, salah
satunya yaitu kebutuhan untuk makan. Seseorang dengan tingkat ekonomi
menengah kebawah akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
makan mereka sehari-hari. Tingkat ekonomi menengah kebawah tersebut
merupakan suatu hal yang mendasari perbuatan seseorang untukmemenuhi
dorongan social yang memerlukan dukungan finansial sehingga berpengaruh
pada kebutuhan hidup sehari-hari ( Afrinanda, 2009 ). Untuk bisa memenuhi
kebutuhan dasarnya demi meneruskan kebutuhan hidup, maka mereka
menghalalkan segala cara, seperti pencurian, pengeroyokan, dan pembunuhan.

Pelaku kejahatan pasti akan dijatuhi hukuman yang sesuai dengan berat atau
ringannya suatu pelanggaran yang dilakukan. Pelaku kejahatan yang telah
menjalani persidangan dan divonis hukuman pidana disebut dengan narapidana.
Harsono ( Siahaan,2008 ) mengatakan bahwa narapidana adalah seseorang yang
telah dijatuhi vonis bersalah oleh hokum dan harus menjalani hukuman atau
sanksi, yang kemudian akan ditempatkan di dalam sebuah bangunan yang
disebut rutan, penjara atau lembaga pemasyarakatan. Narapidana yang sedang
menjalani hukuman pidana tidak hanya akan mengalami hukuman secara fisik,
tetapi juga mengalami hukuman secara psikologis seperti kehilangan kebebasan
dan kasih sayang dari pasangan, anak, maupun orang tuanya. Frank ( Siahaan,
2008 ) menambhakan bahwa dampak fisik dan psikologis yang dialami
narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak bermakna
yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan dan penuh dengan
keputusasaan. Rahmawati ( Shofia, 2009 ) melalui penelitiannya tentang
kepercayaan diri narapidana pasca hukuman pidana menyatakan bahwa pada
dasarnya mantan narapidana memiliki harga diri rendah dan konsep diri yang
negative. Secara garis besar hal ini disebabkan karena masyarakat cenderung
menolak kehadiran mereka dalam kehidupan yang normal. Penolakan
masyarakat terhadap narapidana dianggap sebagai masalah yang harus
diwaspadai.

2. Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menguraikan asuhan keperawatan pada narapidana

3. Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mengetahui konsep dan pengertian mengenai narapidana

2. Mahasiswa mampu menguraikan asuhan keperawatan pada narapidana


BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Narapidana
Kamus besar Bahasa Indonesia memberikan arti bahwa:Narapidana adalah
orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana);
terhukum. Sementara itu, menurut kamus induk istilah ilmiah menyatakan
bahwa Narapidana adalah orang hukuman; orang buaian. Selanjutnya
berdasarkan kamus hukum narapidana diartikan sebagai berikut: Narapidana
adalah orang yang menjalani pidana dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana di Lembaga
Pemasyarakatan (UU RI No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat
7). Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan
terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan (UU RI No.12 Th.1995
tentang Pemasyarakatan Pasal 1 ayat 2).
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa narapidana adalah orang
atau terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya di Lembaga
Pemasyarakatan dimana kemerdekaannya hilang.

2. Jenis Kelompok Narapidana


A. Kelompok Narapidana Orang Dewasa

Dalam rangka pembinaan terhadap Narapidana di LAPAS dilakukan


penggolongan atas dasar:

a. umur;
b. jenis kelamin;
c. lama pidana yang dijatuhkan;
d. jenis kejahatan; dan
e. kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.
Narapidana pada orang dewasa mempunyai hak- hak yaitu :

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya


2. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi
keluarga
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas
13. Mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Hak Asasi Narapidana yang terdapat pada pedoman PBB mengenai
Standard Minimum Rules untuk perlakuan Napi yang menjalani hukuman
(Standard Minimum Rules For Treatment of Prisoner, 31 Juli 1995), yang
meliputi :

1. Buku register;

2. Pemisahan kategori Napi;

3. Fasilitas akomodasi yang harus memiliki ventilasi;

4. Fasilitas sanitasi yang memadai;

5. Mendapatkan air serta perlengkapan toilet;

6. Pakaian dan tempat tidur yang layak;

7. Makanan yang sehat


8. Hak untuk berolahraga diudara terbuka;

9. Hak untuk mendapatkan pelayanan dokter umum dan doketr gigi;

10. Hak untuk diperlakukan adil menurut peraturan dan membela diri
apabila dianggap indisipliner;

11. Tidak diperkenankan pengurungan pada sel gelap dan hukuman badan;

12. Borgol dan jaket penjara tidak boleh dipergunakan narapidana;

13. Berhak mengetahui peraturan yang berlaku serta saluran resmi untuk
mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan;

14. Hak untuk berkomunikasi dengan dunia luar;

15. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku-buku yang bersifat
mendidik; 16. Hak untuk mendapatkan pelayanan agama;

17. Hak untuk mendapatkan jaminan penyimpanan barang-barang


berharga;

18. Pemberitahuan kematian, sakit, dari anggota keluarga.

Upaya pembinaan narapidana dewasa dalam rangka mewujudkan tujuan


dari pemasyarakatan itu sendiri yang sekaligus terdapat unsur hukuman
“punishment” yang berdampak pada penyadaran diri menuju suatu
perbaikan moral dan sikap sehingga kembali diterima dalam tatanan sosial
masyarakat merupakan hasrat bagi setiap bekas narapidana dan
keluarganya, namun tidaklah semudah dan sesingkat yang dipikirkan,
semua dilalui dalam hitungan hari, minggu, bulan, tahun dan bahkan
puluhan tahun lamanya. Baik itu gejolak mental, asa, serta lingkungan
pergaulan dalam berbagai bentuknya selama menjalani proses penyadaran
dan pembinaan.
Lembaga Pemasyarakatan dewasa dipergunakan untuk penempatan
narapidana dewasa pria berumur lebih dari 21 (dua puluh satu) tahun.

B. Nara Pidana Pada Anak


Menurut undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak
pengadilan anak, dalam pasal 1 butir 3 menyebutkan: anak yang berkonflik dengan hukum
yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur12 (duabelas) tahun,tetapi
belumberumur18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. anak yang
melakukan tindak pidana atau dalam praktek sehari-hari di pengadilan disebut sebagai anak
yang sedang berhadapan dengan hukum, harus diperlakukan secara manusiawi,
didampingi, disediakan sarana dan prasarana khusus, sanksi yang diberikan kepada anak
sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak, hubungan keluarga tetap dipertahankan
artinya anak yang berhadapan dengan hukum kalau bisa tidak ditahan/dipenjarakan
kalaupun dipenjarakan/ditahan, ia dimasukkan dalam ruang tahanan khusus anak dan tidak
bersama orang dewasa.

Dalam undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilanpidana anak


yang merupakan pengganti undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak.
dalam undangundang ini terhadap perkara anak lebih dikedepankan proses diversi dan
sanksi pidana penjara merupakan ultimum

remidium. undang-undang ini menganut paradigma restorative justice. sistem


peradilan pidana anak memiliki sistem tersendiri sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. pendekatan yang
digunakan dalam peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana anak adalah pendekatan
restoratif melalui upaya diversi pada tiap tahapan pemeriksaan perkara mulai dari tahapan
penyidikan sampai pada tahapan sidang pengadilan, sebagaimana diatur dalam:

(1) Sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.
(2) Sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada ayat, meliputi:

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan


ketentuanperaturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
undangundang ini.
b. Persidangan anak yang dilakukanoleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses
pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

(3) dalam sistem peradilan pidana anaksebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan
huruf b wajib diupayakan diversi.
Dalam pasal 5 (1) menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana anak wajib
mengutamakan pendekatan restoratif. sementara yang dimaksud dengan pendekatan
restoratif diatur dalam pasal 1 butir 6 yang menyebutkan: keadilan restoratif adalah
penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, dan pihaklainyang terkait untuk bersamasama mencari penyelesaian yang
adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Dalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana


Anak, menyebutkan bahwa pembinaan narapidana anak dilaksanakan di Lembaga
Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Dalam LPKA anak berhak mendapatkan pembinaan
khusus yaitu yang mengedepankan pendidikan yang layak. Untuk mewujudkan tujuan dari
undangundang tersebut maka diperlukan suatu pola pembinaan narapidana anak yang lebih
mengedepankan kepentingan anak (The best interest of child), kepentingan terbaik anak
adalah pendidikan yang layak.

Dari hasil penelitian lapangan sebagaimana yang telah diuraikan pada subsub bab
terdahulu maka diperoleh fakta melalui data masih banyak persoalan yang dihadapi dalam
pelaksanaan narapidana anak di Lembaga Pendidikan yang layak anak harus merujuk pada
prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4, yaitu:

1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan,
dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis,
dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
layanan pendidikan. Kondisi anak yang sedang menjalani
C. Narapidana Kelompok Pada Remaja

Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk


melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di
Indonesia, tempat tersebut biasa disebut dengan istilah penjara oleh masyarakat.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan unit pelaksana teknis di bawah Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Penghuni
Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari narapidana (Napi), atau warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya sebagai Anak Didik ataupun
masih tahanan yang statusnya masih berada dalam proses peradilan. Petugas
Pegawai Negeri Sipil yang menangani urusan pembinaan narapidana dan tahanan
di Lembaga pemasyarakatan disebut dengan petugas pemasyarakatan, atau dahulu
lebih dikenal dengan istilah sipir penjara.

Undang-undang No. 12 Tahun 1995 telah menegaskan bahwa pembinaan


para
warga binaan pemasyarakatan harus dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman,
persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan
harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya
penderitaan, terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan
orangorang tertentu

Belum ada pola atau sistem pembinaan narapidana/ tahanan yang


sesuai dengan sistem pemasyarakatan, menjadi salah satu dasar pertimbangan
diterbitkannya Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan untuk dijadikan pegangan
bagi setiap petugas Lapas, ini tercermin dari lahirnya Keputusan Menteri
Kehakiman No. M. 02 PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan
Narapidana/Tahanan. Sebagai pedoman umum pelaksanaan pola pembinaan
mengacu pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan yang menyatakan bahwa, sistem pembinaan pemasyarakatan
dilaksanakan
berdasarkan asas:

a. Pengayoman.
b. Persamaan perlakukan dan pelayanan.
c. Pendidikan.
d. Pembimbingan.
e. Penghormatan harkat dan martabat manusia.
f. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan.
g.Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang
tertentu.
D. Kelompok Narapidana Pada Wanita

Dalam perkembangan kejahatan akhir-akhir ini tidak sedikit wanita yang


terlibat dalam tindak kejahatan yang sebelumnya hanya lazim dilakukan laki-laki,
misalnya ikut serta dalam penodongan, perampasan kendaraan bermotor,
pembunuhan atau bahkan otak perampokan. Maka citra wanita yang seolah-olah
lebih bertahan terhadap kejahatan mulai pudar. Kenyataan ini menimbulkan
keprihatinan di sementara kalangan wanita, sebab sampai sekarang secara diam-
diam wanita dianggap sebagai benteng terakhir meluasnya kriminalitas. Secara
umum hak narapidana wanita dan laki laki sama, yaitu :

secara tegas menyatakan narapidana berhak:

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya


2. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi
keluarga
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas
13. Mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pada dasarnya hak antara narapidana perempuan dan narapidana pria adalah
sama, hanya dalam hal ini karena narapidananya adalah wanita maka ada beberapa
hak yang mendapat perlakuan khusus dari narapidana pria yang berbeda dalam
beberapa hal, diantaranya karena wanita mempunyai kodrat yang tidak dipunyai
oleh narapidana pria yaitu menstruasi, hamil,melahirkan, dan menyusui maka
dalam hal ini hak-hak narapidana wanita perlu mendapat perhatian yang khusus
baik menurut Undang-Undang maupun oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan
diseluruh wilayah Indonesia. Lembaga Pemasyarakatan wanita dipergunakan untuk
penempatan narapidana dewasa wanita yang berumur lebih dari 21 (dua puluh satu)
tahun

E. Kelompok Narapidana Pada Laki Laki

Pada umumnya narapidana laki-laki sama dengan narapidana dewasa.


Mempunyai hak-hak sebgai berikut :

1. Melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya


2. Mendapat perawatan baik rohani maupun jasmani
3. Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makan yang layak
5. Menyampaikan keluhan
6. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya
yang tidak dilarang
7. Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu
lainnya
9. Mendapatkan pengurangan masa pidana
10. Mendapatkan kesempatan berasimilasi ternasuk cuti mengunjungi
keluarga
11. Mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Mendapatkan cuti menjelang bebas
13. Mendapatkan hak-hak Narapidana sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Selama didalam lapas, warga binaan permasyarakatan tetap memperoleh
hak hakna yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain, hak perdatanya
tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum,
pakaian, tempat tidur latihan keterampilan, olahraga dan rekreasi.

3. Hak-hak Narapidana
Konsep HAM memiliki dua pengertian dasar, pertama merupakan hak-hak
yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut. Hak ini adalah hak-hak moral yang
berasal dari kemanusiaan setiap insan dan hak-hak itu bertujuan untuk
menjamin marrtabat setiap manusia. Kedua, hak menurut hukum, yang dibuat
sesuai dengan proses pembuatan hukum dari masyarakat itu sendiri, baik secara
nasional maupun internasional. Adapun dasar dari hak-hak ini adalah
persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga, yang
tunduk pada pada hak-hak itu dan tidak hanya tertib alamiah, yang merupakan
dasar dari arti yang pertama tersebut di atas.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Lembaga
Pemasyarakatan. Pada Pasal 14 di tentukan bahwa Narapidana berhak :
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e. menyampaikan keluhan;
f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa
lainnya yang tidak dilarang;
g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu
lainnya;
i. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
j. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi
keluarga;
k. mendapatkan pembebasan bersyarat;
l. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak-hak lain sesuai
dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Kesadaran manusia terhadap HAM bermula dari kesadaran terhadap adanya
nilai harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya. Sesungguhnya hak-hak
manusia sudah ada sejak manusia itu ditakdirkan lahir didunia ini, dengan
demikian HAM bukan hal yang baru lagi. Pemerintah Indonesia yang batinnya
menghormati dan mengakui HAM, komitmen terhadap
perlindungan/pemenuhan HAM pada tahap pelaksanaan putusan. Wujud
komitmen tersebut adalah institusi hakim pengawas dan pengamat (WASMAT)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 KUHAP,
serta diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan, dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Jaminan dalam proses perkara pidana yang diatur dalam Internasional
Covenant on Civil and Political Rights (1CCPR) 1996 (Kovenan Internasional
hak-Hak Sipil Dan Politik), Declaration on Protection From Torture 1975
(Deklarasi Perlindungan Dan Penyiksaan dan perlakuan atau Pidana lain yang
kejam tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia), Standar Minimum
Rules For The Treatmen Of Prisoner 1957 (peraturan standar minimum untuk
perlakuan napi yang menjalani Pidana).
Pada tahap pelaksanaan putusan, HAM yang diinrodusir menjadi hak
narapidana tetap menjamin dan dilindungi oleh hukum yang bermakna
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Pasal 10 ICCPR ditegaskan
bahwa semua orang yang kehilangan kebebasannya, diperlakukan secara
berperikemanusiaan dan dengan rasa hormat mengenai martabat pribadi insan
bawahannya. Sistem penjara harus didasarkan pada perlakuan tahanan-tahanan
yang esensialnya adalah reformasi dan rehabilitasi sosial. Pelanggara-pelanggar
dibawah umur harus dipisahkan dari orang-orang dewasa dan diberikan
perlakuan yang layak bagi usaha dan status hukum mereka.
Materi HAM Napi yang terdapat pada pedoman PBB mengenai Standard
Minimum Rules untuk perlakuan Napi yang menjalani hukuman (Standard
minimum Rules For The Treatment Of Prisoner, 31 Juli 1957), yang meliputi:
1. Buku register;
2. Pemisahan kategori Napi;
3. Fasilitas akomodasi yang harus memiliki ventilasi;
4. Fasilitas sanitasi yang memadai;
5. Mendapatkan air serta perlengkapan toilet;
6. Pakaian dan tempat tidur yang layak;
7. Makanan yang sehat;
8. Hak untuk berolahraga diudara terbuka;
9. Hak untuk mendapatkan pelayanan dokter umum dan dokter gigi
10.Hak untuk diperlakukan adil menurut peraturan dan membela diri apabila
dianggap indisipliner;
11. Tidak diperkenankan pengurungan pada sel gelap dan hukuman badan;
12. Borgol dan jaket penjara tidak boleh dipergunakan narapidana;
13. Berhak mengetahui peraturan yang berlaku serta saluran resmi untuk
mendapatkan informasi dan menyampaikan keluhan;
14. Hak untuk berkomunikasi dengan dunia luar;
15. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku-buku yang bersifat
mendidik;
15. Hak untuk mendapatkan pelayanan agama;
16.Hak untuk mendapatkan jaminan penyimpanan barang-barang berharga;
17. Pemberitahuan kematian, sakit, dari anggota keluarga;
Dari apa yang tertulis di atas, dapat di lihat bahwa masih banyak aturan-aturan
yang disepakati oleh masyarakat internasional yang dikeluarkan oleh PB8
tentang Perlindungan HAM Napi yang masih sangat mungkin untuk di adopsi
kedalam hukum normatif di Indonesia terkait dengan pemasyarakatan di
Indonesia.
4. Pola Pembinaan Pemasyarakatan.
Pola pembinaan narapidana merupakan suatu cara perlakuan terhadap
narapidana yang dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha
mencapai tujuan, yaitu agar sekembalinya narapidana dapat berperilaku sebagai
anggota masyarakat yang baik dan berguna bagi dirinya, masyarakat serta
negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembinaan narapidana juga
mempunyai arti memperlakukan seseorang yang berstatus narapidana untuk
dibangun agar bangkit menjadi seseorang yang baik. Maka yang perlu dibina
adalah pribadi dan budi pekerti narapidana agar membangkitkan kembali rasa
percaya dirinya dan dapat mengembangkan fungsi
sosialnya dengan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dalam
masyarakat. Jadi pembinaan sangat memerlukan dukungan dan keikutsertaan
dari masyarakat.
Bantuan tersebut dapat dilihat dari sikap positif masyarakat untuk menerima
mereka
kembali di masyarakat. Berdasarkan UU No.12 tahun 1995 pembinaan
narapidana dilaksanakan dengan sistem:
a. Pengayoman
Pengayoman adalah perilaku terhadap warga binaan pemasyrakatan
dalam rangka melingdungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya
tindak pidana oleh wargabinaan pemasyarakatan, juga memberikan
bekal hidupnya kepada warga binaan pemasyarakatan, agar menjadi
warga yang berguna di masyarakat.
b. Persamaan Perlakuan dan Pelayanan
Persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan
pelayanan yang sama kepada warga binaan pemasyarakatan tanpa
membeda-bedakan orang.
c. Pendidikan
Pendidikan adalah bahwa penyelenggara pendidikan dan bimbingan
dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa
kekeluargaan, keterampilan, pendidikan kerohanian, dan kesempatan
untuk menunaikan ibadah.
d. Penghormatan Harkat dan Martabat Manusia
Penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang
yang tersesat warga binaan pemasyarakatan harus tetap diperlukan
sebagai manusia.
e. Kehilangan Kemerdekaan
Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah
warga binaan pemasyarakatan harus berada didalam Lembaga
Pemasyarakatan untuk jangka waktu tertentu, sehingga mempunyai
kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di Lembaga
Pemasyarakatan (warga binaan tetap memperoleh hak-hakny yang lain
seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap
dilindungi seperti hak memperoleh perawatan, kesehatan, makan,
minum, pakaian, tempat tidur, latihan, olah raga, atau rekreasi).

f. Terjaminnya Hak Untuk Tetap Berhubungan Dengan Keluarga atau


Orang tertentu.
Terjaminnya hak unutk tetap berhubungan dengan keluarga atau orang
tertentu adalah bahwa warga binaan pemasyarakatan berada di Lembaga
Pemasyarakatan, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan kepada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan oleh masyarakat, antara lain
berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke
dalam Lembaga Pemasyarakatn dari anggota masyarakat yang bebas,
dalam kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti
program cuti mengunjungi keluarga.
Berdasarkan kepada Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tertanggal 8 Februari
1965 tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses, maka dapat dikemukakan bahwa
pembinaan Narapidana dewasa dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap yang
merupakan suatu kesatuan proses yang bersifat terpadu, antara lain:
1. Tahap Pertama
Terhadap setiap Narapidana yang masuk di Lembaga Pemasyarakatan
dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal ikhwal perihal
dirinya, termasuk sebab-sebab Narapidana melakukan pelanggaran dan
segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarga,
bekas majikan atau atasannya, teman sekerja, si korban dari
perbuatannya, serta dari petugas instansi lain yang telah menangani
perkaranya. Pembinaan pada tahap ini disebut pembinaan tahap awal, di
mana kegiatan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan
untuk menentukan perencanaan pelaksanaan program pembinaan
kepribadian dan kemandirian yang waktunya dimulai pada saat yang
bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3
(sepertiga) dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih
dilakukan dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasannya
maksimun (maksimum security).
2. Tahap Kedua
Jika proses pembinaan terhadap Narapidana yang bersangkutan telah
berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut
Tim Pengamat Pemasyarakatan (selanjutnya disebut TPP) sudah dicapai
cukup kemajuan, antara lain menunjukkan keinsyafan, perbaikan,
disiplin dan patuh pada peraturan tata tertib yang berlaku di Lembaga
Pemasyarakatan, maka kepada Narapidana yang bersangkutan diberikan
kebebasan lebih banyak dan ditempatkan pada Lembaga
Pemasyarakatan dengan melalui pengawasan medium-security.
3. Tahap Ketiga
Jika proses pembinaan terhadap Narapidana telah dijalani ½ (setengah)
dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut TPP telah dicapai cukup
kemajuankemajuan, baik secara fisik maupun mental dan juga dari segi
ketrampilannya, maka wadah proses pembinaannya diperluas dengan
program Asimilasi yang pelaksanaannya terdiri dari 2 (dua) bagian,
antara lain:
a. Waktunya dimulai sejak berakhirnya tahap awal sampai dengan ½
(setengah) dari masa pidananya. Pada tahap ini pembinaan masih
dilaksanakan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan pengawasannya
sudah memasuki tahap medium-security.
b. Pada tahapan ini waktunya dimulai sejak berakhirnya masa lanjutan
pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidananya. Dalam tahap
lanjutan ini Narapidana sudah memasuki tahap Asimilasi dan
selanjutnya dapat diberikan pembebasan bersyarat atau cuti menjelang
bebas dengan pengawasan minimum security.
4. Tahap Keempat
Jika proses pembinaan telah menjalani 2/3 (duapertiga) dari masa pidana
yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan.
Pembinaan ini disebut pembinaan tahap akhir yaitu kegiatan berupa
perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang dimulai sejak
berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari
Narapidana yang bersangkutan. Pembinaan pada tahap ini terhadap
Narapidana yang telah memenuhi syarat untuk diberikan cuti Menjelang
Bebas atau Pembebasan Bersyarat dan pembinaannya dilakukandi luar
Lembaga Pemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan yang kemudian
disebut Pembimbing Klien Pemasyarakatan. Pembimbingan adalah
pemberian tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan terhadapa
Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan prilaku profesional,
kesehatan jasmani dan rohani Klien Pemasyarakatan.
5. Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pembinaan narapidana oleh Lembaga Pemasyarakatan
dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang
ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni
di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses
pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar
bangunan Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial,
dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok
tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram
penghuninya.
2. Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Lembaga
Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam
jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga
tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai
dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi
perusahan).
3. Petugas Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan
Petugas pemasyarakatan adalah pegawai negeri sipil yang
menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di lembaga
pemasyarakatan.Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di
Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya
dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri,
mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal
kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang
dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta
dalam melakukan pembinaan.
6. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana
Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem
Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan
solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya
tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan
tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat
dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi
dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.
Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi
kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai
restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki
kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga
masyarakat.Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa
diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan
“pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku
kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam
institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari
proses restorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara
langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana
yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku
tindak pidana diabaikan.Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-
reintegrasikan ke dalam masyarakat.Konsekuensi dari kondisi mi
mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan
pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling
menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang
terjadi.

7. Perwujudan Konkret Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial


Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program
kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu
meliputi :
1. Asimilasi
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang
salah satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada
narapidana.
2. Reintegrasi Sosial
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program
pembinaan, yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
8. Stressor Narapidana

Lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan Negara (rutan) secara


“alami” adalah tempat yang stressfull atau menekan.Terminology stress megacu
pada keadaan internal (individu) yang disebabkan karena adanya sesuatu yang
secara fisik berpengaruh pada tubuh (penyakit, perubahan temperature, dan
sebagainya) atau oleh lingkungan dan situasi sosial yang di nilai mengancam atau
membahayakan. Keadaan fisik, lingkungan social dan situasi sosial yang
mengakibatkan stress di sebut stressor. Stressor tertentu mengakibatkan keadaan
stress kemudian mengarahkan pada munculnya respon-respon tertentu baik berupa
respon fisik pada tubuh (sakit perut, pusing, jantung berdebar, dan sebagainya), atau
respon psikologis seperti kecemasan dan depresi. (Clifford T. Morgan, dkk., 1986
: 321)

Kecemasan, pada tingkatan tertentu merupakan hal yang normal dan akan
selalu ada sepanjang kehidupan manusia. Pada kadar ringan dan moderat,
kecemasan membantu individu tetap siaga dan waspada dalam menghadapi suatu
peristiwa. Tetapi pada kadar berlebihan, dengan reaksi yang berlebihan pula,
kecemasan menjadi sesuatu yang menggangu dan ia dapat digolongkan sebagai
gangguan psikologis ( eastwood atwanter dan karen grovers duffy, 1999 : 350).
Reaksi atas adanya situasi yang menekan (stressor) tertentu berbeda pada orang
yang berbeda, setiap orang mempunyai perbedaan dalam menghadapi stressor yang
dapat di pengaruhi oleh sifat (berat atau ringannya) stressor, tetapi juga di pengaruhi
oleh kemampuan adaptasi dan kemampuan orang tersebut dalam mengatasi
(coping) stressor yang dihadapinya. Secara umum kehidupan seseorang merupakan
stressor yang penting. (T.H. Holmes, 1984, dalam Clifford T. Morgan, Dkk., 1986
:321).

Ketika seseorang ‘harus’ memasuki kehidupan barunya di penjara, mau


tidak mau ia harus mengalami banyak kehilangan, seperti kehilangan kemerdekaan
yang disertai kehilangan otonomi, kehilangan rasa aman, kehilangan perkerjaan
serta pelayanan pribadi (purnomo, 1992:8). Kehilangan-kehilangan tersebut secara
sendiri-sendiri merupakan sumber stress (stressor) bagi seseorang. Tidak
mengherankan jika lapas dan rutan menjadi tempat yang pontesial bagi timbulnya
gangguan-gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi (David J. Cokke,
Pamela J. Baldwin dan Jacqueline Howison, 1990 : 60). Kehilangan atau terpisah
dengan anggota keluarga, perubahan aktivitas social, perubahan lingkungan (fisik
maupun social) secara mendadak, kehilngan pekerjaan, dalam skala stress (
Eastwood Adwanter dan Karen Grover Duffy, 1999 : 93 ) adalah sumber stress yang
potensial menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan kecemasan dan
depresi, bahkan dalam kondisi ekstrem seringkali di ikuti dengan tindakan
percobaan bunuh diri atau bunuh diri itu sendiri.
9. Dampak Negatif Narapidana
1. Pengertian dampak negatif

Pidana penjara dapat memberikan berbagai dampak terhadap anak yang


dikenai. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif dan dampak negatif, dilihat
dari segi etimologisnya dampak ialah melanggar, mengenai, membentur (Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia). Negatif ialah ingkar, pernyataan tidak atau bukan,
tidak positif (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia). (Muhammad Ali, 1998:73).
Sedangkan dampak negatif yang dimaksud disini ialah dampak negatif dari
pengenaan pidana penjara terhadap anak.

2. Bentuk-bentuk dampak negatif

Pidana penjara dan pelaksanaannya banyak mengandung aspek keburukan,


terdapat beberapa bentuk dampak negatif, salah satu bentuk dampak negatif
pengenaan pidana penjara terhadap anak adalah prisonisasi, prisonisasi berkaitan
dengan proses pembelajaran seorang anak untuk menjadi lebih jahat dari
sebelumnya hal ini dikarenakan di dalam lembaga pemasyarakatan keberadaan para
narapidana secara bersama-sama dan terus menerus membentuk sebuah masyarakat
yang mempnyai suatu sistem sosial khusus hal ini seperti yang diungkapkan oleh
Syekes sebagaimana dikutip Roger Hood dan Richard Sparks dalam bukunya Key
Issues In Criminology. (Angkasa, 1993:14) Prisonisasi menurut Donald Clemmer
memperkenalkan istilah “prisonization” yaitu tinggi rendahnya atau besar kecilnya
pengaruh tata cara kehidupan, moral, kebiasan dan kultur umum yang ada didalam
penjara dari istilah diatas dapat dipahami bahwa prisonisasi dimaksudkan sebagai
proses penyerapan tata cara kehidupan didalam penjara. Proses penyerapan tersebut
dilakukan dengan proses belajar (learning process) dalam berinteraksi antar sesama
narapidana dengan demikian untuk menentukan tinggi rendahnya pengaruh tatacara
kehidupan dalam penjara ditentukan oleh erat tidaknya kontak interpersonal antar
narapidana.

Kultur kehidupan narapidana mempunyai pengaruh yang besar terhadap


kehidupan individual antar pidana sehingga setiap penghuni penjara (narapidana)
akan menjalani proses penyesuaian dengan kehidupan di dalamnya. Meskipun
penyerapan tersebut tidak selalu sempurna, akan tetapi dapat diasumsikan bahwa
penyerapan oleh seorang narapidana mengarah pada cara-cara kehidupan yang
tidak baik. Dalam keadaan inilah penjara dapat dilukiskan sebagai sekolah
kejahatan atau pabrik kejahatan. (http://www.digilib.ui.edu/opac/themes/libri2
diakses pada 5 Mei 2008). Sedangkan efek prisonisasi menurut Iqrak Sulhin ialah
pembelajaran menjadi pelaku kejahatan yang lebih profesional atau melakukan
kejahatan yang lebih serius. Sehingga mengakibatkan seringnya orang beranggapan
bahwa penjara tidak lain sebagai sekolah tinggi ilmu kejahatan.
Selain masalah prisonisasi terdapat juga beberapa dampak negatif pidana
penjara yang berkaitan dengan masalah keterbatasan fasilitas. Seperti masalah
pendidikan, kurangnya tenaga pengajar serta keterbatasan pendidikan yang
diberikan merupakan salah satu dari sekian banyak masalah mengenai pendidikan
di penjara atau lembaga pemasyarakatan keterbatasan tenaga guru, guru yang
mengajar biasanya adalah petugas Lapas sendiri, selain itu keadaan di perpustakaan
juga sangat memprihatinkan buku-buku pada perpustakaan sudah ketinggalan
zaman dan sudah tidak dipergunakan lagi oleh sekolah-sekolah di luar Lapas. Tidak
hanya pendidikan masalah kesehatan juga masih menjadi masalah. Kesehatan yang
dimaksud tentunya adalah soal kesehatan fisik dan psikis.

Masih kurangnya sarana maupun fasilitas di dalam penjara atau sekarang


yang lebih sering disebut lembaga pemasyarakatan sangat memprihatinkan karena
keterbatasan tersebut berakibat pada terbentuknya dampak negatif pidana penjara.
Mengingat hal tersebut diatas maka diperlukan adanya pembinaan sebagai suatu
bentuk perlindungan terhadap narapidana anak yang sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun1987 Tentang Kesejahteraan Anak

10. Perubahan Psikososial, Ekonomi Dan Religious Pada Narapidana


1. Aspek Psikososial
Kebebasan merupakan proses yang paling ditunggu oleh narapidana yang
sedang menjalani masa hukuman. Narapidana kembali ke lingkungan masyarakat
dan kembali berkumpul dengan sanak keluarga serta dapat kembali berinteraksi
dengan masyarakat. Narapidana bisa kembali menghirup udara segar diluar dinding
penjara dan bisa kembali berekspresi serta hidup bebas tanpa aturan yang mengikat
seperti pada saat menjalani hukuman penjara. Kebebasan bisa memunculkan
masalah bagi narapidana, sebab narapidana yang berada di Lembaga
Pemasyarakatan mempunyai kondisi yang sangat berbeda dengan manusia pada
umumnya. Seorang narapidana dalam jangka waktu tertentu harus berada di dalam
tempat yang dibatasi ruang lingkupnya, aktifitas yang terbatas, komunikasi terbatas
dan segala sesuatu yang terbatas.

Ketika narapidana kembali ke tengah keluarga, lembaga dan lingkungan di


sekitarnya maka narapidana melakukan interaksi dengan lingkungan yang baru lagi.
Mantan narapidana mempunyai kecemasan dan kekhawatiran yang tinggi karena
mereka takut akan masa depannya, akan penerimaan masyarakat, pasangan hidup
dan lain sebagainya. Secara umum, mantan narapidana lebih sabar dan tidak
sombong. Kemampuan mengekspresikan emosi senang atau sedih nampaknya
bukanlah sesuatu yang positif karena akan menjadi bahan pembicaraan. Masalah
psikis yang sering terjadi pada mantan narapidana yaitu kebingungan, frustasi,
kemarahan, kegelisahan, rasa takut, menyalahkan, rasa bersalah dan berkurangnya
motivasi untuk berbuat positif. Pikiran dan niat positif tersebut akan mengarahkan
seseorang untuk berperilaku positif dalam keseharian nantinya. Minat pribadi selalu
menyangkut seseorang tertentu. Minta pribadi yang kuat pada masa remaja masih
terbawa sampai pada masa dewasa (Hurlock, 1999: 255). Minat Pribadi meliputi
penampilan, pakaian & perhiasan, status, simbol kedewasaan, uang dan agama.
Minat pribadi yang kuat dapat menyebabkan seseorang bersifat egosentris. Namun
dengan bertambahnya tugas dan tanggung jawab di tempat kerja, di rumah, atau
pada masa orang tua, minat egosentris biasanya sedikit demi sedikit berkurang dan
minat sosial berkembang.

Menurut Erickson dalam Hurlock (1999: 261) masa dewasa dini merupakan
mata “krisis keterpencilan” dalam masa ini pria atau wanita sering merasa kesepian.
Pria atau wanita yang belum menikah biasanya bingung ketika mengisi waktu luang
dan kesepian karena teman-temannya sudah mempunyai kesibukan sendiri. Pria
dan wanita yang sudah menikahpun kadang merasa kesepian dan rindu dengan
temannya begitupun. Mantan narapidana ketika telah tumbuh dewasa belajar untuk
menerima perubahan fisik dan juga memanfaatkannya. Mantan narapidana juga
menyadari kekurangan pada diri mereka dan memperbaiki kesalahan mereka.

Menurut Syamsu Yusuf (2010: 115) ada beberapa contoh tentang pengaruh
emosi terhadap perilaku individu diantaranya sebagai berikut:

1) Memperkuat semangat, apabila seorang merasa senang atau puas atas hasil
yang telah dicapai.

2) Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa akan kegagalan dan


sebagai puncak dari keadaan ini adalah timbulnya rasa putus asa (frustasi).

3) Menghambat atau menggangu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami


ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap
dalam berbicara.

4) Terganggu penyesuaian sosial, apabila timbul rasa cemburu dan iri hati.

5) Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan
mempengaruhi sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.

Mantan narapidana yang kebanyakan berusia dewasa sulit diketahui emosi


yang dirasakannya. Menurut Syamsu Yusuf (2010: 116) ciri-ciri emosi orang
dewasa yaitu:

1) Berlangsung lebih lama dan berakhir dengan lambat.


2) Tidak terlihat hebat/ kuat.

3) Lebih mendalam dan lama.

4) Jarang terjadi.

5) Sulit diketahui karena lebih pandai menyembunyikannya.

Menurut Piaget dalam Agoes Dariyo (2003: 4) kapasitas kognitif dewasa


muda tergolong masa operasional formal bahkan kadang mencapai masa Post-
operasi formal. Tahap ini menyebabkan mantan narapidana mampu memecahkan
masalah yang kompleks dengan kapasitas berfikir abstrak, logis dan rasional.
Masalah yang dihadapi mantan narapidana juga lebih kompleks karena
menyandang status sebagai mantan narapidana yang membutuhkan kemampuan
pemecahan masalah yang baik agar dapat menyesuaikan diri.

Manusia pasti mengalami tahap akuisitif yaitu tahap yang terjadi pada masa
anak dan remaja (bahkan dewasa muda) dan mereka berusaha menguasai
pengetahuan dan keterampilan melalui jalur pendidikan baik formal maupun
informal (Agoes dariyo, 2003: 61). Masa pencapaian prestasi dianggap sebagai
kemampuan untuk mempraktikan seluruh potensi intelektual, bakat minat,
pengetahuan dalam masa akuisitif ke dalam dunia karir. Mantan narapidana di
dalam lembaga pemasyarakatan atau rutan tentu mempunyai keterampilan baru
yang diadakan di dalam lembaga pemsyarakatan atau rutan.

Menurut Kartini Kartono (1981: 170) bahwa usia 35 tahun itu sering timbul
krisis jiwa, yaitu berlangsung peristiwa sebagai berikut:

1. Mereka ingin berhenti menjadi penjahat dan menjadi baik, namun harus hidup
berhemat dan berkekurangan. Ataupun mereka melakukan kejahatan-kejahatan
yang ringan.

2. Atau mereka justru menjadi semakin pintar dan licin, lebih matang, lebih kejam,
lalu menjadi abnormal dan psikopatik. Khususnya penjahat-penjahat yang
melakukan kejahatan penggelapan, pemalsuan cek, penipuan pada bank-bank dan
manipulasi ekonomi, sehingga menjadi semakin cekatan dan lebih berani, lagi pada
usia sekitar 35 tahun yang lalu.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam rangka menyadarkan


para mantan narapidana dari tindakan-tindakan jahat yang telah mereka lakukan.
Upaya tersebut meliputi pendidikan dan pelatihan yang telah mereka dapatkan di
dalam ruang tahanan. Salah satu contohnya adalah dengan adanya pelatihan yang
diadakan oleh pemerintah dalam ruang tahanan yang umumnya bertujuan untuk
memberikan bekal ketrampilan khusus supaya mereka nanti bisa diserap pada dunia
kerja dan dapat diterima kepada masyarakat.
Penyesuaian diri mantan narapidana dilihat dari aspek psikososial meliputi
tentang afeksi tentang perasaan mantan narapidana, kognitif tentang kemampuan
mantan narapidana tentang masalah ekonomi yang dihadapinya dan kejadian yang
berkesan selama menjadi mantan narapidana, dan psikomotor yang meliputi tentang
keterampilan yang diperoleh di lembaga pemasyarakatan atau rutan dan minat
mantan narapidana.

2. Aspek Ekonomi
Menurut Hurlock (1999: 257), orang-orang dewasa muda lebih tertarik pada
uang karena dapat memenuhi kebutuhan saat ini, daripada fungsi uang untuk hari
depan. Orang beranggapan bahwa dia dapat memiliki atau mengerjakan hal-hal
yang dimiliki atau dikerjakan oleh orang-orang muda lainnya dari kelompok
pilihannya, maka kepemilikan atau kegiatan-kegiatan itu akan mempercepat
penerimaan dalam kalangan itu serta memantapkan kedudukannya. Pekerjaan yang
layak, hasil yang mencukupi serta hubungan baik dengan masyarakat adalah
dambaan bagi setiap orang apalagi mantan narapidana, agar semua kebutuhan hidup
mereka dapat terpenuhi.
Menurut Rand Conger dalam Syamsu Yusuf (2010: 53) mengemukakan
orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu mengatasi
masalah finansialnya cenderung menjadi depresi dan mengalami konflik dengan
keluarganya. Mantan narapidana mempunyai kesulitan dalam mendapatkan
pekerjaan karena dalam memperoleh pekerjaan harus mempunyai Surat Keterangan
Catatan Kepolisian (SKCK). Dalam surat keterangan catatan kepolisian disebutkan
“tidak pernah tersangkut perkara polisi”, maka jelaslah mantan narapidana tidak
akan mendapatkannya. Pada umumnya mantan narapidana dapat memperoleh
pekerjaan dengan bantuan keluarganya, teman atau usaha sendiri yang tidak
memperlukan syarat SKBB. Biasanya pekerjaan yang diperoleh oleh mantan
narapidana lebih rendah daripada pekerjaan sebelumnya.

3. Aspek Religius
Salah satu hal yang dapat memberikan nilai-nilai yang positif mantan
narapidana adalah pembekalan agama. Di dalam psikologi, agama dipahami
sebagai variabel yang bersifat multidimensional yang mencakup apa yang
dipercayai, dirasakan, dilakukan, diketahui seseorang, dan bagaimana mereka
berespon terhadap kepercayaan mereka. Menurut Sofyan S. Willis (2004:37)
kurangnya pendidikan agama menyebabkan tidak mempunyai pegangan hidup dan
akhirnya menjadi orang-orang yang stres, konflik, frustasi, dan bahkan bunuh diri
seperti di Jepang. Madjid N. (2000: 4) menjelaskan bahwa rasa tawakal yang tinggi
adalah mereka menginsafi dan mengakui keterbatasan diri sendiri setelah usaha
yang optimal dan untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua persoalan dapat
dikuasai dan diatasi tanpa bantuan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2008: 149) apabila manusia
menyadari kekurangan dan keterbatasan kemampuan, kesalahan, dan dosa atas
kejahatan maka manusia akan tulus ikhlas menyerahkan diri kepada Tuhan,
memohon ampun dan dijauhkan dari tindak kejahatan. Mereka dengan bekal
tawakal yang memadai, tidak lagi mengulang kejahatan yang pernah dilakukan
sebelumnya, berperilaku sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat,
sekaligus diharapkan dapat memiliki bekal keterampilan untuk menjalani
kehidupan seperti masyarakat kebanyakan. Agama dapat membantu mantan
narapidana dalam menerima dan melihat kehidupan secara positif.
Mantan narapidana telah menjalani hukuman sesuai apa yang telah
dilakukannya maka mantan narapidana dapat memulai hidup yang baru. Wahai
orang-orang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-
murninya (QS Al-Tahrim, 66:8). Manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh
Allah Sang Maha Kuasa sebagai dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai
penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orangpun yang belum pernah melakukan
perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana.
Agama berperan positif dalam penyesuaian diri narapidana. Namun, tidak
sejak awal agama menjadi resource yang berkontribusi besar dalam penyesuaian
diri narapidana. Hal ini dipengaruhi oleh komitmen religius narapidana sebelum
masuk penjara. Mantan narapidana menjadi lebih sadar tujuan hidup mereka adalah
tidak berbuat dosa lagi, mengenal Tuhan, beribadah, memberikan diri untuk Tuhan,
dan beramal. Kepercayaan lain yang muncul adalah tidak boleh menduakan Tuhan,
tidak boleh mengandalkan manusia, tidak boleh meninggikan diri, selalu datang
pada Tuhan jika ada masalah.
11. Asuhan Keperawatan Pada Narapidana
A. Pengkajian
1. Identitas : identitas pasien, identitas penanggung jawab, dan
identitas rumah sakit.
2. Alasan masuk rumah sakit
3. Faktor predisposisi : faktor biologis, faktor fisiologis, sosial budaya,
dan faktor genetic
4. Faktor presipitasi : sikap persepsi merasa tidak mampu, putus asa,
tidak percaya diri, merasa gagal, merasa malang, kehilangan, rendah
diri, perilaku agresif, kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan
penanganan gejala stress pencetus.
5. Psikososial
a) Genogram
b) Pola istirahat dan tidur
c) Pola persepsi dan kognitif
d) Pola persepsi dan konsep diri
e) Pola peran dan hubungan
f) Pola reproduksi dan seksual
g) Pola koping terhadap stress
h) Pola tata nilai dan kepercayaan
6. Status mental
a) Penampilan
b) Pembicaraan
c) Aktivitas motorik
d) Afek dan emosi
e) Interaksi selama wawancara
f) Alam perasaan
g) Tingkat kesadaran
h) Memori
i) Tingkat konsentrasi dan berhitung
j) Kemampuan penilaian
k) Daya titik diri
7. Mekanisme koping
8. Masalah psikososial dan lingkungan
9. Pengetahuan tentang masalah kejiwaan

B. Diagnosa keperawatan
1. Harga diri rendah situasional (00120) berhubungan dengan perilaku
tidak konsisten dengan nilai dan gangguan peran sosial
2. Isolasi sosial (00053) berhubungan dengan perubahan status mental,
sumber personal yang tidak adekuat, dan perilaku sosial tidak sesuai
norma
3. Ketidakefektifan koping (00069) berhubungan dengan tingkat
persepsi kontrol yang tidak adekuat
4. Resiko bunuh diri (00150) berhubungan dengan situasional tinggal
di tatanan non-tradisional yaitu penjara

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


. Keperawatan (NOC) (NIC)

1. Harga diri rendah Harga diri (1205) Peningkatan harga diri (5400)
situasional (00120) Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pernyataan pasien
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam mengenai harga diri
perilaku tidak diharapkan: 2. Tentukan kepercayaan diri
konsisten dengan nilai 1. Klien dapat menghargai pasien dalam hal penilaian
dan gangguan peran orang lain diri
sosial 2. Klien dapat menerima kritik 3. Bantu pasien untuk
yang membangun menemukan penerimaan diri
3. Perasaan nilai diri
2. Isolasi sosial (00053) Keparahan kesepian (1203) Peningkatan sosialisasi (5100)
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan 1. Anjurkan lesabaran dalam
perubahan status keperawatan selama 1 x 24 jam pengembangan hubungan
mental, sumber diharapkan: 2. Tingkatkan berrbagi
personal yang tidak 1. Klien merasa hilang harapan masalah dengan orang lain
adekuat, dan perilaku 2. Perasaan klien terisolasi 3. Fasilitasi masukan pasien
sosial tidak sesuai secara social dan perencenaan kegiatan
norma 3. Klien depresi dimasa depan
4. Gangguan konsentrasi

3. Ketidakefektifan Tingkat streas (1212) Peningkatan koping (5230)


koping (00069) Setelah dilakukan tindakan 1. Bantu pasien dalam
berhubungan dengan keperawatan selama 1 x 24 jam mengidentifikasi tujuan
tingkat persepsi diharapkan: jangka pendek dan jangka
kontrol yang tidak 1. Klien mudah marah panjang yang tepat
adekuat 2. Depresi 2. Bantu pasien menyelesaikan
3. kecemasan masalh dengan cara yanf
4. Kecurigaan konstruktif
5. Pikiran menyakiti (orang 3. Dukung pasien untuk
lain) mengevaluasi perilakunya
sendiri
4. Resiko bunuh diri Control gejala (1608) Pencegahan bunuh diri (6340)
(00150) berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan apakah pasien
dengan situasional keperawatan selama 1 x 24 jam memiliki alat untuk
tinggal di tatanan non- diharapkan: melaksanakan bunuh
tradisional yaitu 1. Memnatau munculnya dirinya
penjara gejala 2. Lakukan tindakan untuk
2. Memantau tindakan- mencegah individu
tindakan pencegahan membahayakan diri atau
3. Mendapatkan perawatan membunuh dirinya, pada
kesehatan gejala yang saat melakukan kontrak
berbahaya muncul untuk tidak membahayakan
4. Menggunakan sumber- diri atau kontrak keamanan
sumber yang tersedia (misalnya observasi
5. Melaporkan gejala yang ditingkatkan, memindahkan
dapat dikontrol objek yang dapat digunakan
untuk membahayakan/
menyakiti diri)
3. Periksa lingkungan secara
rutin dan pndahkan barang
yang berbahaya untuk
memelihara (lingkungan0
bebas dari bahaya
4. Batasi pasien menggunakan
senjata potensial (misalnya,
objek yang tajam dan seperti
tali)
Implementasi dan Evaluasi

Waktu
Waktu
Dx Kep Implementasi TT Tgl/Ja Evaluasi TT
Tgl/Jam
m

Harga diri rendah 04/12/20 - Memonitor pernyataan 04/12/20 S: Pasien


18
18
situasional pasien mengenai harga diri mengatakan sudah
(00120) -Membantu menentukan dapat menemukan
berhubungan kepercayaan diri pasien 08.30 kepercayaan dan
08.00
dengan perilaku dalam hal penilaian diri penerimaan diri.
tidak konsisten - Membantu pasien untuk O: Pasien terlihat
dengan nilai dan menemukan penerimaan sudah dapat
gangguan peran diri meningkatkan
sosial harga diri.
A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan
intervensi
selanjutnya
Isolasi sosial 04/12/2 -Menganjurkan kesabaran 04/12/ S: Pasien
(00053) 018 dalam pengembangan 2018 mengatakan sudah
berhubungan hubungan dapat memasukan
dengan perubahan -Meningkatkan berbagi kesabaran dalam
status mental, masalah dengan orang lain pengembangan
sumber personal -Memfasilitasi masukan hubungan
yang tidak pasien dan perencenaan O: Pasien terlihat
adekuat, dan kegiatan dimasa depan sudah dapat berbagi
perilaku sosial masalah dengan
tidak sesuai 08.30 09.00 orang lain
norma A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan
intervensi
selanjutnya
Ketidakefektifan 08.00 - Membantu pasien 08.30 S: Pasien
koping (00069) dalam mengatakan sudah
berhubungan mengidentifikasi dapat
dengan tingkat tujuan jangka pendek mengidentifikasi
persepsi kontrol dan jangka panjang tujuan jangka
yang tidak yang tepat pendek dan jangka
adekuat - Membantu pasien panjang yang tepat
menyelesaikan masalh O: Pasien terlihat
dengan cara yanf sudah dapat
konstruktif menyelesaikan
- Mendukung pasien masalh dengan cara
untuk mengevaluasi yanf konstruktif
perilakunya sendiri A: Masalah teratasi
P: Lanjutkan
intervensi
selanjutnya
Resiko bunuh diri 08.30 - Menentukan apakah pasien 09.00 S: Pasien
(00150) memiliki alat untuk mengatakan sudah
berhubungan melaksanakan bunuh dirinya dapat mengontrol
dengan situasional - Melakukan tindakan untuk tindakan yang
tinggal di tatanan mencegah individu membahayakan diri
non-tradisional membahayakan diri atau atau membunuh
yaitu penjara membunuh dirinya, pada saat dirinya,
melakukan kontrak untuk O: Pasien terlihat
tidak membahayakan diri atau sudah dapat
kontrak keamanan (misalnya mengontrol
observasi ditingkatkan, kenginan bunuh
memindahkan objek yang dirinya.
dapat digunakan untuk A: Masalah teratasi
membahayakan/ menyakiti P: Lanjutkan
diri) intervensi
- Memeriksa lingkungan selanjutnya
secara rutin dan pndahkan
barang yang berbahaya untuk
memelihara (lingkungan0
bebas dari bahaya
-Membatasi pasien
menggunakan senjata
potensial (misalnya, objek
yang tajam dan seperti tali)
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Narapidana adalah orang atau terpidana yang sedang menjalani masa


hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan dimana kemerdekaannya hilang.
Narapidana mempunyai hak – hak, Adapun dasar dari hak-hak ini adalah
persetujuan orang yang diperintah, yaitu persetujuan dari para warga, yang
tunduk pada pada hak-hak itu dan tidak hanya tertib alamiah, yang
merupakan dasar dari arti yang pertama tersebut di atas. Pola pembinaan
narapidana merupakan suatu cara perlakuan terhadap narapidana yang
dikehendaki oleh sistem pemasyarakatan dalam usaha mencapai tujuan,
yaitu agar sekembalinya narapidana dapat berperilaku sebagai anggota
masyarakat yang baik dan berguna bagi dirinya, masyarakat serta negara

2. Saran

Adapun Saran yang dapat Penulis sampaikan kepada para pembaca


dalam penulisan Makalah ini adalah kita harus tahu tentang narapidana
beserta hak hak para narapidana dan juga pola pembinaan narapidana, karna
kita berada di negara yang menganut sistem hukum. Kami menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kata sempurna, semoga kedepannya nanti akan lebih
detail dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia,


Bandung, Refika Aditamma.
2. Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , Jakarta: Sarwoko, 1986
3. UU RI No.12 Th.1995 tentang Pemasyarakatan
4. Surat Edaran No.KP.10.13/3/1 tertanggal 8 Februari 1965 tentang
Pemasyarakatan Sebagai Proses
5. Barda Nawawi Arif dan Muladi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Alumni. Bandung. 1992
6. Harkristuti Harkrisnowo, 2010 Revisi Undangundang Pengadilan Anak Kedepankan
Diversi.
7. Dariyo A. (2003). Psikologi Perkembangan Dewasa Muda. Jakarta:
Gramedia
8. Hasan A.B.P. 2008. Psikologi Perkembangan Islam. Jakarta: PT Jakarta Raya
Grafindo Persada.
9. Hurlock E. 1999. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga Press.
10. Juntika A, Nurihsan, Yusuf, S. 2010. Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: PT. Remaja Rosdikarya
11. Kartono A. 1981. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
12. Madjid N. 2000. Islam, Doktrin, dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan kemoderenan. Jakarta:
Paramadina.
13. Willis S.S. 2004. Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung:
Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai