PERTEMUAN 5
MEMBANGUN PARADIGMA QUR’ANI
yang mendominasi masyarakat dunia di abad modern saat ini adalah sistem
yang lahir dan mengkristal dari paradigma filsafat Barat Modern. Menurut
Nurcholish Madjid (1995), dengan tibanya zaman ini, umat manusia tidak
lagi dihadapkan pada persoalan lokal kultural secara terpisah dan
berkembang secara otonom dari yang lain, tetapi terdorong untuk membaur
ke dalam masyarakat jagad (global).
Karena dimensi pengaruhnya yang global dan cepat, maka modernisasi
sekali dimulai oleh suatu kelompok manusia (dalam hal ini bangsa Barat),
tidak mungkin lagi bagi kelompok manusia lain untuk memulainya dari titik
nol. Jadi, bangsa-bangsa bukan Barat pada permulaan proses
perkembangannya terpaksa harus menerima paradigma modernitas Barat.
Hal ini disebabkan karena adanya sistem global, yang di dalamnya terdapat
sistem-sistem kehidupan, seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya
dan ilmu pengetahuan, yang saling kait-mengkait dan mempengaruhi satu
sama lain; dan semuanya terpola menuju terbentuknya masyarakat jagad
(global society).
Kini sudah menjadi klise untuk mengatakan bahwa kita hidup di abad
informasi. Penemuan microchip dan sebagai akibatnya perkembangan
teknologi komputer mikro, telah menimbulkan kekuatan yang
memungkinkan diperolehnya informasi hanya dengan sentuhan sebuah
tombol. Terdapat konsensus yang luas bahwa teknologi komputer yang
secara tak terelakkan akan memberi bentuk baru masa depan umat manusia,
mengharuskan kita mendefinisikan kembali kegiatan kerja dan waktu santai;
dan dalam jangka panjang, mengharuskan kita melakukan redefinisi terhadap
pemikiran dan ilmu pengetahuan. Masa depan yang dimaksudkan itu,
menurut Ziauddin Sardar (1992), akan tercipta melalui penggabungan dua
bidang yang sebelum ini terpisah, tetapi yang sekarang sedang dalam proses
melebur: komputer dan telekomunikasi.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |5
Copyright © September 2019
“Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang Rasul
yang menyerukan ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut (sesembahan
selain Allah)'” (QS. An Nahl: 36)
Bahkan setiap Rasul mengajak kepada kaumnya dengan seruan
yang serupa yaitu, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tiada sesembahan
(yang benar) bagi kalian selain Dia.” (lihat QS. Al A’raaf: 59, 65, 73 dan
85). Inilah seruan yang diucapkan oleh Nabi Nuh, Hud, Shalih, Syu’aib dan
seluruh Nabi-Nabi kepada kaum mereka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Mekkah sesudah
beliau diutus sebagai Rasul selama 13 tahun mengajak orang-orang supaya
mau bertauhid (mengesakan Allah dalam beribadah) dan demi
memperbaiki akidah. Hal itu dikarenakan akidah adalah fondasi tegaknya
bangunan agama. Para dai penyeru kebaikan telah menempuh jalan
sebagaimana jalannya para nabi dan Rasul dari jaman ke jaman. Mereka
selalu memulai dakwah dengan ajaran tauhid dan perbaikan akidah
kemudian sesudah itu mereka menyampaikan berbagai permasalahan
agama yang lainnya (lihat At Tauhid Li Shaffil Awwal Al ‘Aali, hal. 9-10).
Sebab-Sebab Penyimpangan dari Akidah yang Benar
Penyimpangan dari akidah yang benar adalah sumber petaka dan
bencana. Seseorang yang tidak mempunyai akidah yang benar maka sangat
rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran,
sampai-sampai apabila mereka telah berputus asa maka mereka pun
mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan yaitu dengan
bunuh diri. Sebagaimana pernah kita dengar ada remaja atau pemuda yang
gantung diri gara-gara diputus pacarnya.
Begitu pula sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi
akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran pemikiran
materialisme (segala-galanya diukur dengan materi), sehingga apabila
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |9
Copyright © September 2019
‘Tidak, tetapi kami tetap akan mengikuti apa yang kami dapatkan
dari nenek-nenek moyang kami’ (Allah katakan) Apakah mereka
akan tetap mengikutinya meskipun nenek moyang mereka itu tidak
memiliki pemahaman sedikit pun dan juga tidak mendapatkan
hidayah?” (QS. Al Baqarah: 170)
3. Taklid buta (mengikuti tanpa landasan dalil). Hal ini terjadi dengan
mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah
tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya. Inilah
kenyataan yang menimpa sekian banyak kelompok-kelompok
sempalan seperti kaum Jahmiyah, Mu’tazilah dan lain sebagainya.
Mereka mengikuti saja perkataan tokoh-tokoh sebelum mereka
padahal mereka itu sesat. Maka mereka juga ikut-ikutan menjadi
tersesat, jauh dari pemahaman akidah yang benar.
4. Berlebih-lebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang
saleh. Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai
manusia. Hal ini benar-benar terjadi hingga ada di antara mereka
yang meyakini bahwa tokoh yang dikaguminya bisa mengetahui
perkara gaib, padahal ilmu gaib hanya Allah yang mengetahuinya.
Ada juga di antara mereka yang berkeyakinan bahwa wali yang
sudah mati bisa mendatangkan manfaat, melancarkan rezeki dan
bisa juga menolak bala dan musibah. Jadilah kubur-kubur wali
ramai dikunjungi orang untuk meminta-minta berbagai hajat
mereka. Mereka beralasan hal itu mereka lakukan karena mereka
merasa sebagai orang-orang yang banyak dosanya, sehingga tidak
pantas menghadap Allah sendirian. Karena itulah mereka
menjadikan wali-wali yang telah mati itu sebagai perantara. Padahal
perbuatan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Allah
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |11
Copyright © September 2019
ِ َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آَ َد َم َو َح َم ْلنَاهُ ْم فِي ْالبَ ِّر َو ْالبَحْ ِر َو َر َز ْقنَاهُ ْم ِمنَ الطَّيِّبَا
ت
ً ض
يًل ٍ َِوفَض َّْلنَاهُ ْم َعلَى َكث
ِ ير ِم َّم ْن َخلَ ْقنَا تَ ْف
”Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak Adam, kami angkut
mereka didaratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik
dan Kami berikan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk, yang telah kami ciptakan”. (Qs. Al-Israa’ ayat 70)
Berdasarkan ayat ini, ada hal-hal spesifik yang hanya dipunyai manusia
dan tidak dipunyai binatang atau makhluk lain. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam kitab ‘Idhdhatun Nasyi’in, bahwa ciri-ciri spesifik manusia itu antara
lain:
1. husn al-shurah (keelokan rupa). Manusia itu diciptakan dengan
seelok-elok rupa dan sebaik-baik bentuk (ahsan taqwim), tak seperti
binatang. Karenanya, manusia bisa berpenampilan necis dan selalu
ingin tampil menarik. Ini berbeda dengan binatang yang cenderung
sebaliknya.
2. al-mazaj al-a’dal (keistimewaan keseimbangan). Dalam hidupnya,
manusia senantiasa mementingkan keseimbangan. Tidak berat sebelah.
3. i’tidal al-qamah (keseimbangan postur). Manusia itu tidak terlalu
tinggi dan tidak terlalu rendah. Ini beda dengan binatang semisal
Jerapah, gajah, katak, dan lainnya.
4. al-‘aql (akal). Ini inti pokok pembeda antara manusia dengan
binatang. Menurut Mang Ubang, dengan perangkat akal ini, manusia
bisa memahami bahasa (al-ifham bi al-nuthq). Karenanya, para filosof
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |15
Copyright © September 2019
اْل ْن َسانَ فِي أَحْ َس ِن تَ ْق ِو ٍيم ثُ َّم َر َد ْدنَاهُ أَ ْسفَ َل َسافِلِينَ إِ َّال الَّ ِذينَ آَ َمنُوا
ِ ْ لَقَ ْد َخلَ ْقنَا
ٍ ُت فَلَهُ ْم أَجْ ٌر َغ ْي ُر َم ْمن
ون ِ َو َع ِملُوا الصَّالِ َحا
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia ke dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ia ke tempat yang
serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh maka bagi mereka pahala yang tiada putus.”
(QS. At Tiin ayat 4-6)
Pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad,
Allah subhanahu wa ta’ala memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan “al-
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |18
Copyright © September 2019
khalifah di atas bumi ini. Bukankah itu sebuah penunjukan yang mutlak
membuktikan ketinggian derajat manusia?
Malaikat sendiri pernah melakukan protes terhadap pengangkatan
jabatan khalifah kepada manusia ini, karena merasa dirinya pun mampu
menandingi kehebatan manusia. Dan secara bijaksana Allah telah memberi
kesempatan kedua makhluk ini untuk unjuk gigi, memperlihatkan
kemampuannya. Ternyata yang keluar sebagai pemenang dalam
pertandingan ini adalah manusia.Dan akhirnya dengan ikhlas malaikatpun
menerima keunggulan manusia tersebut, dan bersujudlah mereka sebagai
tanda hormat kepada Adam. Pembuktian ini diterangkan Allah dalam al-
Qur’an, surat al-Baqarah atay 30-34.
Begitu pula dikisahkan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 72,
bahwa pernah Allah menawarkan amanah besar kepada langit, bumi dan
gunung, namun semua menolak karena merasa tak mampu.Ternyata justru
manusialah yang mau menerima amanah tersebut. Dan Allah pun
memberikan amanah itu kepada manusia, karena tahu persis bahwa memang
manusia memiliki kemampuan untuk memikulnya. Allah tahu persis, bahwa
manusia memiliki kemampuan yang lebih dari pada gunung yang tinggi
besar menjulang, yang gejolak dan api panasnya bahkan mampu menghancur
leburkan ratusan kilometer lokasi di sekitarnya.
Sungguh manusia banyak diuntungkan dengan peristiwa itu, karena
bekas-bekas kehancuran gunung berapi tersebut bahkan sangat bermanfaat
bagi manusia, karena bermanfaat menjadi lahan yang amat subur. Ketinggian
dan kekokohan gunung pun bisa dikalahkan manusia hanya dengan ledakan
bom, sehingga manusia bisa menembus dan membuat jalur kereta api
melintasi gunung, bisa memanfaatkannya pula sebagai tempat wisata yang
indah, dan mampu meghindarkan dirinya dari bencana gunung berapi akibat
kecanggihan peralatan yang berhasil dirakit otak manusia.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |21
Copyright © September 2019
7. Hak kepemilikan
Islam menjamin hak kepemilikan yang sah dan mengharamkan
penggunaan cara apa pun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan
haknya, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 188:
َو َال تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل َوتُ ْدلُوا بِهَا إِلَى ْال ُح َّك ِام لِتَأْ ُكلُوا فَ ِريقًا ِم ْن
َاْل ْث ِم َوأَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون ِ َّأَ ْم َوا ِل الن
ِ ْ ِاس ب
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di
antara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu
kepada hakim agar kamu dapat memakan harta benda orang lain itu dengan
jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya.”
8. Hak mendapatkan pekerjaan dan memperoleh Imbalan
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak, tetapi juga
sebagai kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin,
sebagaimana sabda Nabi saw : “Tidak ada makanan yang lebih baik yang
dimakan seseorang dari pada makanan yang dihasilkan dari tangannya
sendiri.” (HR. Bukhari)
Sehubungan dengan hak bekerja dan memperoleh upah dari suatu
pekerjaan dijelaskan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an menyatakan
sebagai berikut:
وال فَٱ ْم ُشوا فِى َمنَا ِك ِبهَا َو ُكلُوا ِمنرِّ ْزقِ ِهۦ َوإِلَ ْي ِهٱلنُّ ُشو ُر َ ْهُ َو ٱلَّ ِذى َج َع َل لَ ُك ُم ْٱْلَر
ً ُض َذل
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |25
Copyright © September 2019