Anda di halaman 1dari 10

Islam dan Pembangunan Ekonom

Sejak Perang Dunia II usai, kata yang paling banyak dibicarakan orang adalah
“pembangunan”. Pembangunan adalah berkah perdamaian dan kemerdekaan yang
dicapai oleh banyak negara selepas dari kekuasaan kolonial. Pembangunan juga
merupakan usaha yang dilakukan secara sadar untuk memperbaiki kehidupan. Usaha
itu mencakup hampir seluruh faset kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik,
mental-spiritual, seni, dan budaya. Kadang-kadang, pembangunan ekonomi juga
dijadikan dasar pembenaran atas langkah-langkah tertentu, seperti penggusuran, dan
stabilitas dengan justifikasi dari pembangunan yang sering kali disokong
pembenarannya, baik oleh agama, budaya, maupun komitmen kemasyarakatan.

Kita tahu sejak 25 tahun yang lalu, Indonesia melaksanakan pembangunan ekonomi
dengan titik berat pada bidang perekonomian. Hasil-hasilnya pun sudah banyak dan
dapat dirasakan oleh semua orang. Keberhasilan Indonesia membangun adalah
keberhasilan rakyat Indonesia, termasuk umat Islam, yang merupakan bagian
terbesar rakyat Indonesia. Untuk itu, kita bersyukur. Namun, keberhasilan itu masih
sangat terbatas dibandingkan dengan yang telah dicapai negara-negara lain, apalagi
bila dibandingkan dengan keinginan dan cita-cita bangsa. Tantangan masih sangat
banyak dan berat.

Umat Islam, sebagai bagian terbesar dari bangsa kita, ditantang menggegaskan tugas
suci menyejahterakan diri dan bangsanya. Dan, ini tidak boleh gagal. Kegagalan
Indonesia membangun tidak bisa lain adalah kegagalan umat Islam. Umat Islam-lah
yang seharusnya paling bertanggung jawab atas berhasil-tidaknya pembangunan
ekonom karena umat Islam jualah yang seharusnya paling berkepentingan dengan
kemajuan bangsa, negara, dan tanah airnya. “Cinta tanah air adalah sebagian dari
iman,” kata mubalig. Satu-satunya cara agar kita berhasil mengubah citra melalui
peningkatan kesejahteraan ekonomi umat adalah dengan bekerja, yaitu bekerja dalam
suatu sistem dan mekanisme yang unggul serta teruji untuk mencapai tingkat
produktivitas yang optimal dan efisiensi yang tinggi.

Patut disayangkan, sampai sekarang berdasarkan pengamatan penulis, secara


nasional perekonomian Indonesia adalah yang paling tidak efisien dibandingkan
dengan semua negara ASEAN, kecuali Filipina. Apalagi bila dibandingkan dengan
negara-negara newly industrializing countries (NICs).” Hal itu berarti hasil-hasil
ekonomi pembangunan yang selama ini dicapai dapat lebih baik lagi bila masyarakat
pelaku ekonomi Indonesia dapat bekerja lebih produktif dan efisien.

Apabila kita melanjutkan pengamatan kasar ini dengan menambahkan observasi


etnologis, tak ayal lagi dapat menimbulkan pikiran yang agak menggelikan, misalnya
kita membandingkan persentase penduduk China di Taiwan, Hongkong, Singapura,
Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Urutan berdasarkan persentasi tertinggi sampai
terendah itu dapat menggoda kita untuk mengambil kesimpulan bahwa semakin
sedikit jumlah orang China, semakin kurang efisien, kurang maju perekonomian, dan
semakin rendah tingkat industrialisasi. Semakin banyak orang China, semakin maju
dan modernlah perekonomian.
Pengamatan ini tidak terlalu salah bila kita perhatikan kenyataan kelompok-
kelompok etnis lain yang juga unggul dalam perekonomian di Eropa dan di wilayah
lain di dunia. Sementara itu, kelompok etnis Melayu di Malaysia” dan pribumi di
Indonesia untuk sekian lama masih perlu belajar banyak untuk mengejar
ketertinggalannya. Salah satu faktor yang menyebabkan ketertinggalan itu adalah
sikap kerja bumiputera dan pribumi yang perlu terus mendapat suntikan semangat
dari “ideologi” atau keyakinan yang dianutnya. Hal yang terakhir ini akan kita bahas
pada bagian lain perbincangan kita.

Pustaka artikel: Umat Islam dan Pembangunan Ekonom

Menanti kemakmuran negeri: kumpulan esai tentang pembangunan sosial ekonomi


… Oleh Burhanuddin Abdullah

Perbedaan Ekonomi Mikro Dan Ekonomi Makro


Posted on February 19, 2011 by Artikel Ekonomi

Sebagaimana juga berlaku dalam bidang ilmu lainnya, teori ekonomi mikro
didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu, dianggap valid dan berguna jika sukses
dalam menjelaskan dan memperkirakan fenomena yang menjadi perhatian.
Mengingat asumsi yang mendasarinya belum tentu realistis sempurna maka ‘teori
yang baikpun’ tidak dapat menjelaskan data observasi dengan sempurna, sehingga
ketidak-sempurnaan teori merupakan ‘norma’.

Perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi mikro dan ilmu ekonomi makro

Ilmu ekonomi mikro menganalisis bagian-bagian yang dilakukan oleh unit-unit kecil
dari keseluruhan kegiatan perekonomian. Berbagai aspek yang diulas dalam teori
ekonomi mikro telah dipaparkan di bagian sebelumnya. Dalam hal ini pada
umumnya pendekatan mikro terkait dengan keputusan-keputusan yang diambil oleh
para pelaku ekonomi dengan mengacu pada signal harga pasar. Pemahaman konsep-
konsep ekonomi mikro dan aplikasinya dalam ekonomi dan bisnis memungkinkan
para pelaku ekonomi untuk membuat keputusan yang optimal.

Sebaliknya ilmu ekonomi makro merupakan analisis atas keseluruhan kegiatan


perekonomian yang bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh unit-unit kecil dalam perekonomian. Dalam ekonomi makro, analisis
dijaknkan terhadap keseluruhan produsen dan konsumen dalam perekonomian. Teori
ekonomi makro menerangkan aspekaspek seperti penentuan tingkat perekonomian
negara yang berkaitan dengan sampai di mana suatu perekonomian akan
menghasilkan barang dan jasa.

Tingkat kegiatan perekonomian ditentukan oleh pengeluaran agregat dalam


perekonomian yang terdiri dari 4 komponen yaitu:
 pengeluaran rumah tangga (konsumen rumah tangga)
 pengeluaran pemerintah
 pengeluaran perusahaan-perusahaan (investasi)
 ekspor – import

Selain itu, analisis dalam teori ekonomi makro akan memperhatikan pula masalah
perubahan harga, perubahan penawaran, pengeluaran agregat serta masalah-masalah
yang akan timbul bila pengeluaran agregat tidak mencapai tingkatnya yang ideal
(yaitu kesempatan kerja penuh tanpa inflasi). Sebagai gambaran, dalam teori
ekonomi makro dibahas tentang langkah utama pemerintah dalam mengatasi masalah
pengangguran dan inflasi yang dibedakan menjadi dua bentuk kebijaksanaan yaitu
kebijaksanaan fiskal dan kebijaksanaan moneter. Kebijaksanaan fiskal adalah
langkah-langkah pemerintah dalam merubah struktur dan jumlah pajak dan
pengeluarannya dengan maksud untuk mempengaruhi tingkat kegiatan
perekonomian. Sedangkan kebijaksaan moneter adalah langkah-langkah pemerintah
melalui bank sentral dalam mengatur dan mem-pengaruhi jumlah uang dalam
perekonomian atau mengubah suku bunga dengan tujuan untuk mengatasi masalah
perekonomian yang dihadapi. Dalam perekonomian, kedua kebijaksanaan ini
digunakan oleh pemerintah untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu:

1. Untuk mengatasi masalah-masalah pokok ekonomi makro yang selalu timbul


seperti halnya masalah pengangguran, masalah kenaikan harga-harga dan masalah
penciptaan pertumbuhan ekonomi yang memuaskan.
2. Untuk menjamin agar faktor-faktor produksi digunakan dan dialokasikan
keberbagai kegiatan ekonomi secara efisien.
3. Untuk memperbaiki keadaan distribusi pendapatan yang tidak merata, yang selalu
tercipta dalam masyarakat yang kegiatan perekonomiannya terutama diatur oleh
sistem pasar bebas.

Faktor Penting Teori Ekonomi Mikro


Posted on February 20, 2011 by Artikel Ekonomi

Dalam teori ekonomi mikro didapati 4 unsur penting berikut, yaitu definisi-definisi,
pemisalan-pemisalan, hipotesis dan pembuatan ramalan.

1. DEFINISI-DEFINISI
Definisi-definisi menjelaskan variabel-variabel (suatu besaran yang nilainya dapat
mengalami perubahan) yang sifat hubungannya akan diterangkan dalam teori
tersebut. Sebagai contoh dalam hukum permintaan dinyatakan “kalau harga suatu
barang berubah maka jumlah barang yang diminta akan berubah”. Dengan demikian
variabel yang terkait dalam hukum permintaan tersebut adalah variabel harga dan
variabel jumlah barang yang diminta (dibeli).

Variabel dibedakan menjadi variabel endogenus (variabel yang sifatnya diterangkan


dalam teori yang berkaitan) dan variabel eksogenus (variabel yang mempengaruhi
variabel endogenus yang besarnya ditentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar
teori yang berkaitan)
2. PEMISALAN-PEMISALAN (ASUMSI)
Kegiatan ekonomi dan kehidupan perekonomian sangatlah kompleks sehingga harus
dibuat gambaran yang Iebih sederhana mengenai hubungan suatu peristiwa dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya (terutama dengan faktor-faktor yang
terpenting). Penyederhanaan tersebut dilakukan dengan membuat pemisalan-
pemisalan. Pemisalan merupakan satu syarat penting untuk pembuatan teori.
Pemisalan dikenal sebagai CETERIS PARIBUS (dari bahasa Latin yang berarti hal-
hal lainnya tidak mengalami perubahan)

3. HIPOTESIS
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang bersifat umum mengenai barang dan jasa.
Keinginan ini dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu keinginan yang disertai
kemampuan membeli barang dan jasa yang diinginkan dan keinginan yang tidak
disertai oleh kemampuan untuk membeli. Keinginan yang disertai oleh kemampuan
untuk membeli dinamakan permintaan efektif.

Keinginan manusia tidak terbatas jumlahnya, sedangkan sumber-sumber daya atau


faktor-faktor produksi yang dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa
yang dibutuhkan terbatas baik dalam jumlah maupun dalam mutu. Dengan demikian
manusia tidak dapat memperoleh dan menikmati semua barang dan jasa yang mereka
inginkan akibat terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah keinginan manusia
dengan jumlah sumber daya yang tersedia. Disamping keterbatasan sumber daya
yang ada terkadang keinginan masyarakat tidak disertai dengan kemampuan untuk
membeli. Adanya ketidakseimbangan inilah yang menimbulkan aktivitas ekonomi.
Manusia lalu berusaha untuk mengatur penggunaan sumber-sumber daya itu
sedemikian rupa agar mereka dapat memenuhi keinginan sebanyak mungkin. Semua
kegiatan manusia (perseorangan, perusahaan dan masyarakat) untuk memproduksi
barang dan jasa maupun mengkonsumsi yang ditujukan kepada usaha untuk
memenuhi segala keinginan yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber-
sumber daya yang serba terbatas dinamakan aktivitas ekonomi.

Upaya manusia untuk melakukan pengaturan guna memenuhi kebutuhannya


menghendaki seseorang, perusahaan atau masyarakat untuk membuat keputusan
tentang cara terbaik untuk melakukan kegiatan ekonomi. Pembuatan keputusan
tersebut dimungkinkan karena tersedianya altenatif pilihan dalam melakukan
kegiatan ekonomi agar dapat memilih alternatif terbaik yang mungkin. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa persoalan pokok yang diterangkan dalam analisis
ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menjawab pertanyaan berikut:

Bagaimana caranya menggunakan sumber-sumber daya atau pendapatan tertentu


agar penggunaan tersebut dapat memberikan kepuasan dan kemakmuran yang
maksimum kepada individu dan masyarakat?

Dalam kenyataannya ada 3 persoalan pokok yang dihadapi dalam setiap


perekonomian:
1. Barang dan jasa apa yang diproduksi (what)
2. Bagaimana cara memproduksi barang dan jasa tersebut (how)
3. Untuk siapa barang dan jasa tersebut diproduksi (for whom)

Permasalahan pertama (what) berkaitan dengan pertanyaan berapa banyaknya barang


dan jasa harus dibuat, barang dan jasa apa yang harus dibuat, kapan akan diproduksi ,
termasuk pula ukuran dari barang dan jasa yang akan dibuat. Permasalahan pertama
ini merupakan akibat langsung dari ketidakmampuan sumber-sumber daya yang
tersedia untuk memproduksi semua barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat
karena keterbatasannya. Oleh sebab itu masyarakat harus melakukan pilihan.
Permasalahan kedua (how) berkaitan dengan siapa yang akan memproduksi, dengan
gabungan faktor-faktor produksi yang mana serta dengan teknik produksi yang
bagaimana yang dapat digunakan untuk menghasilkan produk tersebut. Permasalahan
ketiga (for whom) berkaitan dengan siapa yang akan menikmati dan memperoleh
manfaat barang dan jasa yang dihasilkan oleh produsen, serta bagaimana
mendistribusikan produk-produk yang dibuat.

Walaupun ketiga masalah ini sangat mendasar dan umum terjadi pada semua corak
perekonomian, tetapi dengan berbedanya sistem perekonomian akan menimbulkan
perbedaan cara pemecahan. Dalam kenyataannya ditemukan bahwa tidak ada satu
orangpun atau satu organisasipun dalam perekonomian pasar yang mampu atau
bertanggung jawab mengatasi masalah dasar itu sendiri. Yang mampu menjawab ke
tiga masalah dasar tersebut adalah jutaan unit usaha dan konsumen yang terlibat
dalam proses perdagangan sukarela, segenap tindakan dan tujuan mereka terkordinir
oleh mekanisme sistem harga dan pasar.

Capital Market: Pengertian Pasar Modal


Posted on October 29, 2011 by Artikel Ekonomi

Secara sederhana “pasar” bisa diartikan sebagai tempat bertemunya penjual dan
pembeli untuk melakukan transaksi jual-beli. Bersamaan dengan berkembangnya
peradaban manusia, pengertian “pasar” bertambah luas. Saat ini, berkembang
berbagai jenis pasar modern, termasuk di dalamnya pasar modal (capital markets).
Pasar modern ini juga semakin berkembang. Bahkan, di pasar modal (capital
markets), produk yang diperjualhelikan tidak lagi berwujud barang melainkan surat
berharga (efek). Kini, berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIM),
transaksi efek di pasar modal (capital markets) tidak lagi memakai warkat dan dapat
dilakukan dari jarak jauh dengan cara remote-trading.

Pasar modal (capital markets) memperjualbelikan efek (surat berharga / securities)


seperti saham, obligasi, derivatif, dan reksadana (mutual funds). Perusahaan yang
membutuhkan tambahan modal usaha bisa menjual sebagian sahamnya melalui pasar
modal (capital markets) atau menerbitkan surat utang (obligasi). Penambahan modal
usaha dengan cara menerbitkan saham atau obligasi dilakukan perusahaan karena
dianggap lebih murah daripada mengajukan kredit (credit) di bank.
Pasar modal (capital markets) adalah pasar tempat memperdagangkan berbagai
instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, misalnya saham
(ekuiti/penyertaan), obligasi (surat utang), reksadana, produk derivatif, maupun
instrumen lainnya. Pasar modal (capital markets) merupakan sarana pendanaan bagi
perusahaan maupun institusi pemerintah, sekaligus sebagai sarana hagi masyarakat
untuk melakukan kegiatan investasi. Dengan demi kian, pasar modal (capital
markets) memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli surat-surat
berharga dan kegiatan terkait lainnya. Instrumen keuangan yang diperdagangkan di
pasar modal (capital markets) merupakan instrumen jangka panjang (lebih dari satu
tahun), yaitu: saham, obligasi, reksadana, dan berbagai instrumen derivatif seperti
option, futures, waran, right, dan lain-lain.

Pasar modal (capital markets), sesuai UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995
diartikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan
perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Pasar modal
(capital markets) memiliki peran penting bagi kemajuan perekonomian suatu negara,
yang merupakan sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat
(investor). Dana yang diperoleh dari pasar modal (capital markets) dapat digunakan
untuk pengembangan usaha, membayar utang, penambahan modal kerja, dan lain-
lain. Pasar modal (capital markets) juga menjadi sarana bagi masyarakat untuk
berinvestasi dengan membeli produk jasa keuangan seperti saham, obligasi,
reksadana, derivatif, dan lain- lain.

Investor membeli produk keuangan di pasar modal (capital markets) karena ingin
mendapatkan keuntungan lebih besar daripada yang didapatkan dari tabungan atau
deposito. Meskipun investasi saham (equity investment), obligasi, atau reksadana
menjanjikan keuntungan lebih besar, kita tetap perlu berhati-hati. Investasi di pasar
modal (capital markets investment) tidak dijamin pemerintah sehingga investor
dapat merugi hahkan rugi total karena sahamnya tidak bernilai sama sekali. Di
camping itu, meskipun bungan kecil, tabungan dan deposito cukup aman karena
dijamin pemerintah cq LPS. Semakin besar risiko investasi, semakin besar pula
potensi keuntungannya. Untuk meminimalkan risiko investasi, kita harus memahami
investasi tersebut dengan besar. Untuk itu, teruslah asah intuisi dan tambah
pengalaman tentang investasi Anda.

Pustaka: Buku Pintar Hukum Bisnis Pasar Modal Oleh Iswi Hariyani, Ir. R.
Serfianto

Dimensi Kekuasaan Dalam Bisnis Internasional


Posted on September 22, 2011 by Artikel Ekonomi

Keberadaan suatu teori sangat diperlukan untuk memberikan eksplanasi terhadap


pelbagai fenomena dengan melihat pada:
(1) unit analisisnya (individu, komunitas, organisasi, negara, asosiasi regional, atau
gabungan antara pelbagai aktor);
(2) tingkat analisisnya (mikro, mezzo atau makro yang juga identik dengan
lokal/kecil, nasional/menengah, dan internasional/ besar);
(3) keterkaitan antara variabel-variabelnya (independen atau dependen);
(4) regularitasnya, yaitu apakah pola-pola tertentu berulang;
(5) kemungkinan untuk melakukan generalisasi terhadap suatu fenomena tertentu;
serta
(6) memprediksi konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh suatu
fenomena tertentu.

Banyak pengamat beranggapan bahwa valid atau tidaknya suatu teori dapat dinilai
dan solid atau tidaknya proposisi-proposisi yang dikemukakannya; jelas atau
tidaknya gambaran tentang keterkaitan antarvariabel yang ada dan lemah atau
kuatnya daya prediksi teori tersebut.

Walaupun tidak semua teori harus mampu melakukan prediksi, sebuah teori
sekurang-kurangnya harus mampu memberikan eksplanasi logis terhadap berbagai
kejadian yang ada. Sebagai contoh, dalam disiplin hubungan internasional teori
Balance of Power (Perimbangan Kekuatan) yang dikemukakan kaum Realis dapat
menjelaskan perilaku ofensif sebuah negara. Dengan berasumsi bahwa setiap negara
mempunyai kecenderungan untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional
dan kewajiban untuk meminimalisir ancaman dari luar, maka teori ini dapat
memberikan eksplanasi logis terhadap perlombaan persenjataan serta persekutuan
dan perseteruan antarnegara. Di dalam konteks pembangunan ekonomi, Teori
Ketergantungan (Dependency) mengeksplanasi ketimpangan hubungan ekonomi
antara negara maju dan berkembang. Menurut teori ini. hubungan eksploitatif yang
memungkinkan repatriasi surplus produksi dari negara-negara satelit ke negara-
negara pusat (metropok) telah membagi dunia menjadi dua bagian: negara-negara
maju yang dengan kekuatannya mendominasi pasar dunia, dan negara-negara
terbelakang yang terus-menerus menyuplai produk dan profit ke negara-negara maju.

Di dalam bisnis internasional terdapat salah satu macam pendekatan yang umum
dipakai oleh para pakar dalam menganalisis fenomena transaksi ekonomi
antarbangsa di berbagai literatur, yauit adalah: pendekatan beroirentasi kekuasaan
(power).

Pendekatan Kekuasaan (power)

Pendekatan ini menekankan pada pentingnya faktor kekuasaan di dalam


menganalisis hubungan ekonomi antarbangsa. Sebagaimana dikatakan Robert
Keohane (1984: 21): “Di dalam perekonomian dunia, kapan pun juga, para
pelakunya menggunakan kekuasaan (power) untuk saling memberikan pengaruh satu
sama lain agar dapat mencapai tujuan masing-masing. Hal inilah yang membuat
ekonomi internasional sarat dengan muatan politik”. Secara sederhana, kekuasaan
dapat dipahami sebagai kemampuan suatu pihak (individu maupun lembaga) untuk
mencapai tujuan, baik dengan cara persuasi maupun pemaksaan kehendak. Di dalam
bukunya, Economy and Society (1978 [1956]: 53), Max Weber mendetinisikan
kekuasaan sebagai: “suatu situasi di mana aktor tertentu dalam melakukan hubungan
sosial cenderung melakukan kehendaknya sendiri dalam menghadapi resistensi yang
datang dari pelbagai pihak”.
Sistem ekonomi pasar pun tidak lepas dari unsur kekuasaan. Sekalipun para petnikir
liberal beranggapan bahwa mekanisme pasar dapat dengan sendirinya menciptakan
kemakmuran bersama, persoalan bagaimana kemakmuran itu didistribusikan sering
kali menjadi masalah besar. Elemen kekuasaan sering kali terlibat dalam menentukan
siapa menerima bagian terbanyak di dalam berdaulat). Sejak akhir 1970-an, negara
menjadi perhatian utama para pakar ekonomi-politik bersamaan dengan makin
kuatnya perspektif negare dalam wacana politik. Ada dua hal yang mendorong
negara dalam mendominasi kegiatan politik-ekonomi. Pertama, kecenderungan
negara untuk selalu “mengungguli” pelbagai kekuatan kemasyarakatan dan
membendung pelbagai tekanan yang datang dari kelompok maupun organisasi di luar
negara. Keunggulan ini ditentukan oleh pelbagai cara. Pada masyarakat demokratis,
keunggulan negara ditentukan oleh proses bargaining (tawar-menawar), sedangkan
pada masyarakat nondemokratis, keunggulan negara sering ditentukan oleh
penggunaan kekerasan. Kedua, negara dianggap mampu untuk memaksakan
kehendaknya kepada rakyat bilamana perlu. Dalam konteks ini Eric Nordlinger
(1981) berbicara tentang strong state yang mengacu pada kemampuan negara untuk
melakukan keinginannya tanpa hambatan berarti dari pihak-pihak lain. Karena
negara memonopoli penggunaan kekerasan dan berhak untuk melindungi kepen-
tingannya dengan seperangkat peraturan dan undang-undang, maka posisinya selalu
sebagai pemegang privilege (hak istimewa) di dalam proses tawar-menawar dengan
kekuatan-kekuatan yang datang dari masyarakat.

Di dalam kajian ekonomi-politik internasional, teori yang dianggap paling mewakili


pendekatan berorientasi pada kekuasaan adalah Teori Stabilitas Hegemoni
(Hegemonic Stability Theory). Oleh para pencetusnya — Charles Kindleberger,
Stephen Krasner, dan Robert Keohane — teori ini dipakai untuk menjelaskan
stabilitas perdagangan internasional di bawah payung hegemoni Amerika Serikat.
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa stabilitas perekonomian dunia dapat tercipta
jika ada satu kekuatan hegemonis yang kekuatannya militer maupun ekonomi —
tidak dapat diimbangi oleh negara mana pun (Hadiwinata, 1993: 17). Stabilitas
terjadi karena negara hegemonis dapat menggunakan sumber-sumber yang
dimilikinya (termasuk kekuatan militer) untuk memaksa pihak lain agar mematuhi
peraturan dan standar perilaku internasional (Kindleberger, 1973; Krasner, 1976;
Gilpin, 1987).

Robert Cox (1993: 62) menggambarkan hegemoni sebagai suatu manifestasi struktur
sosial, ekonomi, dan politik yang diekspresikan dalam bentuk normanorma universal,
institusi-institusi dan mekanisme-mekanisme yang mendasari aturan dan tingkah
laku negara serta civil society yang melampaui batas-batas nasional — suatu tatanan
yang menopang mode produksi yang dominan. Di bawah hegemoni AS sistem
perdagangan bebas dapat menjamin terjadinya Balance of Power dan stabilitas.
Menurut Kindleberger (1973), bagaimanapun liberalnya sebuah sistem internasional,
stabilitas tidak akan pernah terwujud jika tidak ada kekuatan hegemonis yang dapat
“menghukum” para pelanggar atau “memberikan imbalan” bagi mereka yang
mematuhi peraturan maupun ketentuan.

Pada masa pasca-Perang Dunia II, proyek rekonstruksi politik-ekonomi dunia


dijalankan di bawah pengawasan AS sebagai kekuatan hegemonis. Proyek ini
meliputi Marshall Plans, pembentukan lembaga keuangan internasional IBRD
(World Bank) dan IMF, serta pelembagaan sistem perdagangan bebas dalam bentuk
GATT (General Agreement on Tariffs and Trade). Melalui lembaga-lembaga
tersebut AS — dengan dibantu oleh Eropa Barat — memberlakukan sistem pasar
bebas. Hingga awal dekade 1970-an AS berperan sebagai penjamin sistem
pertukaran dunia melalui pemberlakuan sistem koversi langsung US dollar terhadap
harga emas. Sekalipun pada dekade 1980-an, sistem perdagangan bebas sempat
terguncang oleh berbagai konflik yang melibatkan AS, Jepang, dan Uni Eropa,
namun pada dekade 1990-an AS kembali memainkan peran besar dalam
memberlakukan prinsip perdagangan bebas di dalam konteks WTO (World Trade
Organization). Sejak pertemuan Marakesh pada tahun 1994, agenda WTO dapat
disesuaikan dengan kepentingan AS untuk menciptakan sistem perdagangan dunia
yang bebas dan terbuka. Secara ekonomis, sistem perdagangan bebas memang lebih
menguntungkan negara-negara besar yang dapat dengan mudah berpindah dari satu
bidang ke bidang lainnya.

Teori Stabilitas Hegemoni beranggapan bahwa sistem kapitalisme dunia yang


berlaku saat ini erat berkaitan dengan dominasi AS. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah: Mengapa AS begitu dominan? Gilpin (1981) berusaha menjawab
pertanyaan ini dengan menyatakan bahwa di dalam sistem perekonomian bebas — di
mana para aktor bebas untuk melakukan transaksi — mereka yang berproduksi
secara lebih efisien akan menghasilkan keuntungan lebih dari yang lainnya. Maka,
tidak mengherankan jika AS — yang dianggap paling efisien secara ekonomis
maupun politis — menjadi kekuatan terbesar dunia tanpa dapat diimbangi oleh
negara-negara lain (Gilpin, 1981: 129). Alasan lain- nya adalah perang dingin.

Pembagian dua kubu Liberalistne/Kapitalisme dan Komunisme/Sosialisme — di


mana AS tampil sebagai pembela utama ke-kuatan liberal-kapitalis seolah-olah
memberikan justifikasi bagi pelbagai aksi militer dan ekonomi AS di pelbagai
wilayah dunia. Dengan dalih untuk menciptakan stabilitas perekonomian dunia dan
upaya untuk membendung pengaruh ideologi radikal komunisme, maka AS merasa
berhak untuk tnenggunakan kekuatan militernya yang besar untuk mengukuhkan diri
sebagai sebuah kekuatan hegemonik dunia (Hadiwinata, 1993: 11).

Secara historis, kebenaran asumsi teori ini dibuktikan oleh fakta bahwa sejak masa
prasejarah hingga saat ini stabilitas politik ekonomi dunia tercipta di bawah
perlindungan kekuatan-kekuatan hegemonik seperti Imperium Ro-mawi pada masa
Pax Romana (100 SM – 300), Belanda pada masa Par Ho!-landa (1200-an hingga
1600-an), Inggris pada masa Pax Britanica (1600-an hingga awal 1900-an), dan AS
pada masa Pal: Americana (1940-an hingga saat ini). Pax Americana bermula dari
pertumbuhan pesat perekonomian AS. Antara tahun 1946 – 1949, AS menikmati
surplus neraca pembayaran yang sangat signifikan.

Supreinasi teknologi dan kapasitas organisasional bangsa Amerika telah


menghasilkan penumpukan kesejahteraan dari hasil transaksi produk dan jasa.
Melalui pelbagai perusahaan multinasionalnya yang tersebar ke mancanegara, AS
mengontrol perekonomian dunia. Pada awal dekade 1970-an, misalnya, perusahaan-
perusahaan multinasional AS menguasai 52 persen dari seluruh investasi asing di
dunia. Maka bagi AS, proteksionisme atau nasionalisme ekonomi dianggap
berbahaya karena dapat menghambat peredaran barang dan jasa serta merusak
kelancaran aliran modal antarnegara. Dalam konteks ini AS memainkan peran
sebagai “bearer of world capitalist leadership” (pemimpin kapitalisme dunia) dengan
menekankan pada prinsip pasar bebas keterbukaan (Krasner, 1982).

Terlepas dari fakta yang mendukung kebenaran asumsi-asumsinya, Teori Stabilitas


Hegemoni mendapat kritikan tajam dari beberapa pakar. Salah seorang
pengkritiknya, Robert Keohane, justru adalah orang yang sebelumnya merupakan
salah satu pencetus teori ini. Menurut Keohane (1984), ukuran kekuatan (power)
suatu negara yang dipakai teori ini terlalu mengandalkan pada faktorfaktor yang
dapat dilihat (tangible resources) seperti GDP (Gross Domestic Product), kekuatan
militer, pemilikan sumber-sumber alam, jumlah penduduk, luas wilayah, dan lain-
lain; serta kurang memberikan perhatian pada faktorfaktor yang tidak dapat dilihat
(intangible resources) seperti kemampuan diplomasi, dukungan internasional yang
diperoleh suatu negara, kemampuan untuk menarik investor asing, kemampuan untuk
melakukan inovasi teknologi, dan lain-lain. Keohane bahkan sangat meragukan
kemampuan negara hegemonik untuk mendiktekan kemauannya di dalam rezim
moneter maupun perdagangan internasional. Sejak pertengahan dekade 1970-an AS
tampak semakin kewalahan dalam upaya untuk mempertahankan peran
“kepemimpinannya” dalam menyelesaikan pelbagai krisis moneter yang dialami
negara-negara berkembang, terutama di Amerika Latin dan Afrika (Keohane, 1984:
102). Di dalam perdagangan internasional pun dominasi AS semakin menurun,
terbukti ketika pada awal dekade 1970-an negara ini tidak mampu menjaga
kestabilan dunia akibat aksi embargo minyak yang dilancarkan oleh negara-negara
anggota OPEC (Or-ganization of Petroleum Exporting Countries). Di dalam forum
GATT pun peran AS semakin menurun, terutama ketika banyak permintaan negara-
negara anggota EC (European Community) yang lebih diakomodasi di dalam
peraturanperaturan GATT.

Anda mungkin juga menyukai