Anda di halaman 1dari 5

Dasar-dasar Dakwah

Fadhila Mubarok dan Ahmat Syukur

Beliau Seorang Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Manajemen dakwah adalah terminologi yang terdiri dari dua kata, yakni manajemen dan
dakwah. Kedua kata ini berangkat dari dua disiplin ilmu yang sangat berbeda sama sekali.
Prinsipnya adalah dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Manajemen dakwah mengacu kepada eksperimen lapangan yang berkaitan
dengan etika dakwah, di mana seorang da’i tidak hanya menyeru dan mengajak, tetapi juga harus
berupaya merealisasikan apa yang diserukannya atau dengan istilah lain dakwah bil fi’li dan
dakwah bil hal.

Definisi dakwah adalah menyampaikan ajaran Islam yang meliputi akidah, syariah, dan
akhlak, serta mengajarkan dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Muhammad Munir, S.Ag., M.A. yang mengatakan bahwa “ jika
aktivitas dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen, maka ‘citra profesional ‘ dalam
dakwah akan terwujud pada kehidupan masyarakat. Dengan demikian, dakwah tidak dipandang
dalam objek ubudiyah saja, akan tetapi diinterpretasikan dalam berbagai profesi ”. (Munir, 2006:
36).

Penjelasan tersebut dikuatkan lagi oleh pendapat Muhammad Munir, S.Ag., M.A. yang
mengatakan:

Penggerakan dakwah merupakan inti manajemen dakwah, karena dalam proses ini semua
aktivitas dakwah dilaksanakan. Dalam penggerakan dakwah ini, pimpinan menggerakan
semua elemen organisasi untuk melakukan aktivitas-aktivitas dakwah yang telah
direncanakan, dan dari sinilah aksi semua rencana dakwah akan terealisir, di mana fungsi
manajemen akan bersentuhan secara langsung dengan para pelaku dakwah. (Munir, 2006:
139).
Gagasan tersebut di perkuat oleh Muhammad Munir, S.Ag., M.A. dalam buku yang
berjudul Manajemen Dakwah. Produk utama lembaga dakwah adalah mengajak, tetapi harus
dikelola seperti sebuah perusahaan yang mengahargai nilai pengembangan profesionalisme.
Lembaga dakwah akan kehilangan prLembaga dakwah akan kehilangan profesionalismenya jika
ditandai dengan melemahnya sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian, lembaga dakwah
harus memiliki sebuah sistem pelatihan dan pendidikan yang berjalan secara kontinu untuk tetap
berada dalam posisi yang kompetitif, terutama dalam menghadapi persoalan umat yang semakin
kompleks. Dalam posisi ini, lembaga dakwah akan terus mendapat tuntunan dan kritikan dari
masyarakat serta pengembangan ilmu dan teknologi, oleh karenanya, administrator harus
memerhatikan pengembangan staf jika ingin lembaganya tetap komntpetitif dalam menghadapi
tuntutan zaman dan dinamika umat yang semakin kompleks.1

Pelatihan dakwah dalam manajemen dakwah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan


sumber daya manusia agar memiliki kemampuan, kecakapan, keterampilan dan sikap mental
sesuai dengan kompetensinya, sekaligus untuk mengisi kesenjangan yang terjadi antara tuntutan
dan kebutuhan dan senyatanya. Oleh karna itu, dalam prosesnya, dakwah islamiyah memiliki
kaya nuansa. Sebab dakwah harus berhadapan dengan dinamika kehidupan manusia. Maka
dakwah pun menjadi dinamis, agar bisa selaras dengan kondisi lingkungan manusia yang
didakwahinya yang selalu dinamis. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Aep Kusnawan,
S.Ag, M.Ag. yang mengatakan bahwa “ persiapan yang mantap sebelum pelaksanaan latihan
akan membantu dan menjamin lancarnya pelaksaan latihan, serta tercapainya sesuai dengan yang
diharapkan. Walaupun demikian, selama proses latihan masih sering muncul perkembangan dan
masalah yang tidak terbayangkan sebelumnya ”. (Kusnawan, 2009: 120)

Penjelasan tersebut dikuatkan lagi oleh pendapat Aep Kusnawan, S.Ag, M.Ag. yang
mengatakan:

Jenis-jenis latihan yang berkembang subur dewasa ini adalah latihan yang didasarkan pada
paradigma perubahan prilaku tersebut. Dalam hal ini, latihan pun diartikan sebagai
sejumlah kesempatan belajar yang telah disusun sebelumnya secara rapi. Lalu belajar
diartikan sebagai suatu proses perubahan tersebut diukur dari segi perubahan perilaku. Bisa
dimaklumi jika peristilahan yang digunakan dalam jenis latihan semacam ini memang
banyak berkaitan dengan aspek perubahan prilaku.( Kusnawan, 2009: 152).
Gagasan tersebut di perkuat oleh Aep Kusnawan, S.Ag, M.Ag. dalam buku yang berjudul
Manajemen Pelatihan Dakwah. Pelatihan dakwah memang pekerjaan yang serius, penting dan
mempesona. Karena dengannya orang akan terbawa untuk merenungkan kembali akan

1
Muhammad Munir, S.Ag., M.A., “ Manajemen Dakwah “ (Kencana, Jakarta: 2006) hlm:250
kemanusiaannya, serta membangunnya menjadi sama-sama sebangun antara tujuan dan cara
yang digunakannya dan semuanya berfokus pada satu tujuan tercapainya keberhasilan
pengendalian mutu pelatihan secara terpadu. Untuk itu, sebaiknya kegiatan pengawasan
senantiasa dikaitkan dengan tujuan, serta kriteria pelatihan dakwah, yaitu relevansi. Efektivitas,
efisiensi dan produktivitas.2

Psikologi dakwah merupakan ilmu bantu yang sangat diperlukan dalam menyampaikan
pesan kebenaran kepada masyarakat dan harus diakui bahwa selama ini masyarakat dakwah
belum memiliki perhatian yang memadai terhadap psikologi dakwah. Oleh karena itu da’i lebih
banyak memberikan apa yang mereka miliki, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat. Hal inilah
yang menyebabkan dakwah kurang efektif. Pada dasarnya manusia memiliki kebutuhan yang
sama antara lain ingin dihargai, ingin mencintai dan dicintai, ingin memiliki rasa aman dan sudah
barang tentu ingin bahagia dan di sinilah seorang da’i perlu mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku manusia yang menjadi obyek dakwahnya. Hal tersebut diperkuat dengan
pendapat DR. Achmad Mubarok, MA. yang mengatakan bahwa “ seorang da’i suatu ketika
behadapan dengan karakteristik manusia yang berbeda-beda dan dalam situasi yang berbeda-
beda pula. Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor personal maupun situasional,
faktor internal maupun faktor sosiokultura “. (Mubarok, 1999: 51).

Penjelasan tersebut dikuatkan lagi oleh pendapat DR. Achmad Mubarok, MA. yang
mengatakan:

Sepanjang sejarah manusia, pernyataan tentang hakikat manusia selalu muncul, dan jawaba
yang diberikan oleh teori-teori hanya dapat memuaskan sebagian manusia pada zamannya.
Pada generasi berikutnya akan muncul teori baru yang mengkritik teori terdahulu dan
memberikan teori yang dianggapnya lebih benar. Begitulah seterusnya hingga sekarang,
teori tentang manusia tetap menarik untuk dibicarakan baik dalam konteks keilmuan
murni maupun dalam konteks operational. Manusia memiliki kepribadian yang unik, ia
adalah makhluk sosial (ijtima’iyyun bi at thob’i) dan juga makhluk budaya (madaniyyah bi
at thob’i). (Mubarok, 1999: 52).

Gagasan tersebut diperkuat oleh DR. Achmad Mubarok, MA. dalam buku yang berjudul
“Psikologi Dakwah”. Bahwasannya prilaku manusia itu berbeda-beda, banyak teori psikologi
yang berusaha menjawab pertanyaan tentang hakikat manusia itu, sekurang-kurangnya ada

2
Aep Kusnawan, S.Ag, M.Ag., “Manajemen Pelatihan Dakwah“ (PT Rineka Cipta, Jakarta: 2009) hlm:176
empat pendekatan, yaitu pendekatan yang mengetengahkan teori psikoanalisa dengan konsepsi
manusia sebagai manusia berkeinginan, teori behaviourisme dengan konsepsi manusia mesin,
teori kognitif dengan konsepsi manusia berpikir, dan teori humanisme dengan konsepsi manusia
yang mengerti makna kehidupan.3

Dakwah ialah usaha mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku
seperti apa yang didakwahkan oleh da’i. Untuk mencapai tujuan dakwah tersebut diperlukan
strategi maupun stategi maupun teknik operasional komunikasi yang harus dilakukan
komunikatornya, selain peta jalan yang menunjukkan arah yang harus ditempuhnya dan dakwah
memiliki strategi-strategi dalam menyampaikan dakwahnya agar bisa diterima di masyarakat dan
strategi dakwah merupakan mengambil keputusan dengan apa yang ia laksanakan dalam dakwah.
Hal ini diperkuat dengan pendapat Kustadi Suhandang yang mengatakan bahwa “ sebagai
bagian dari suatu perencanaan, strategi merupakan pengambilan keputusan untuk menata dan
mengatur unsur-unsur yang bisa menunjang pelaksaan kerja pencapaian tujuan “. (Suhandang,
2014: 83).

Penjelasan tersebut dikuatkan lagi oleh pendapat Kustadi Suhandang yang mengatakan:

Dengan demikian, strategi komunikasi mencerminkan kebijaksanaan dalam merencanakan masalah


yang dipilih dan kegiatan komunikasi yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah itu,
sedangkan manajemen komunikasi menata dan mengatur tindakan-tindakan yang akan diambil dari
sumber daya yang tersedia guna melaksanaka strategi komunkasi tadi. Dengan kata lain, strategi
menyangkut apa yang akan dilakukan (what to do), dan manajemen menyangkut bagaimana
membuat hal itu bisa terjadi (how to make it happen). (Suhandang, 2014: 86).

Gagasan tersebut diperkuat oleh Kustadi Suhandang dalam buku yang berjudul “Strategi
Dakwah”. Dakwah memiliki cakupan proses komunikasi sangat luas, seolah-olah satu dunia
(universum) yang tidak bertepi, dimana dapat diartikan dalam berbagai tingkat konseptualisai,
maka dakwah yang khusus berkiprah di bidang agama islam pun, secara universal jelas
merupakan salah satu metode untuk mencapai tujuan komuikasi, yaitu menciptakan
kebersamaaan (the production of commoness). Bagi komunikasi, tujuan dimaksud adalah
kebersamaan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku manusia. Unsur-unsur komunikasi yang
dilibatkan dalam proses dakwah itu harus Islami, demikian pula dalam halm pencapaian

3
DR. Achmad Mubarok, MA., “Psikologi Dakwah” (Pustakan Firdaus, Jakarta, 1999) hlm:52
tujuannya harsus menggunakan cara-cara yang Islami. Dengan kata lain, dakwah bisa disebutkan
sebagai metode komunikasi yang berwawasan Islam.4

4
Kustadi Suhandang, “Strategi Dakwah” (PT REMAJA ROSDAKARYA, Bandung: 2014)hlm:90

Anda mungkin juga menyukai