Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam mencapai keluarga yang bahagia ditempuh upaya menurut kemampuan


masing masing keluarga. Namun demikian ,banyak juga keluarga yang gagal
dalam mengupayakan keharmonisannya,impian buruk akan terjadi yaitu
timbulnya suatu benturan “PERCERAIAN” yang tidak pernah mereka
harapkan.Dalam sebuah hubungan rumah tangga tentunya tidak selamnya berjalan
baik sesuai dengan apa yang telah kita inginkan dari impian sebelumnya, namun
ternyata ada beberapa faktor lain yang secara sengaja atau tidak di sengaja
penghambat keharmonisan hubungan keluarga tersebut. Salah satu akibat yang di
timbulkan dengan adanya konflik tersebut ialah adanya perceraian. Perceraian
adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan
pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat
hidup rukun lagi sebagai suami isteri. Putusnya perkawinan oleh suami atau istri
atau atas kesepakatan kedua-duanya apabila hubungan mereka tidak lagi
memungkin-kan tercapainya tujuan perkawinan. Pada umumnya perceraian
dianggap tidak terpuji akan tetapi bila keadaan mereka menemui jalan buntu
untuk dapat memperbaiki hubungan yang retak antara suami dan istri, maka
pemutusan perkawinan atau perceraian menjadi hal yang wajib. Timbulnya
perselisihan tidak hanya dikarenakan oleh pihak wanita atau hanya pihak laki-laki
saja, akan tetapi dikarenakan oleh sikap egoisme masing masing individu. Oleh
karena itu, perceraian dapat dilakukan apabila dengan alasan yang kuat dengan
hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia dituangkan di dalam Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

1
a. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Perceraian itu?


2. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian?
3. Bagaimana Proses Perceraian?
4. Kapan Rawan Terjadinya Perceraian?
5. Apa saja Dampak Perceraian?
6. Apa Efek Perceraian terhadap prilaku anak?
7. Bagaimana Penyelesaian Masalah Terhadap Anak Akibat
Perceraian?
8. Bagaimana Mencegah perceraian ?

b. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Perceraian


2. Untuk Mengetahui Faktor Penyebab Perceraian
3. Mengetahui Dampak positif Perceraian
4. Mengetahui Dampak negativ Perceraian
5. Memahami Perasaan dan Keinginan Anak Atas Masalah
Perceraian Orang Tuanya
6. Mengetahui Upaya mengatasi masalah pada anak akibat perceraian
orang tua

c. Manfaat

Mengetahui apa itu perceraian,dapat mengerti permasalahan yang terjadi dalam


perceraian dan tahu dampak dari perceraian tersebut.

2
BAB II

PEMBAHASAN

a. Pengertian Perceraian

1. Pengertian Perceraian Menurut KBBI :

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Saat kedua pasangan tak ingin
melanjutkan kehidupan pernikahannya, mereka bisa meminta pemerintah untuk
dipisahkan.

Pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar
“cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan
ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada
masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’Menurut Agama Islam :
Dalam islam perceraian ber arti Talak dalam bahasa arab .secara bahasa berarti
melepaskan suatu ikatan,dalam hal ini melepaskan ikatan pernikahan. Talak
adalah salah satu jalan yang merupakan penyelesaian ketika suami dan istri tidak
bisa hidup bersama lagi dan diakhir rumah tangga bersama. Tentu saja,talak
dalam perceraian adalah hal yang dibenci Allah walaupun diperbolehkan dalam
konteks tertentu.

2. Dalam Agama Islam

istilah Fiqh perceraian perceraian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
talaq, yang secara etimologi adalah:

“Talak secara bahasa adalah melepaskan tali”.

3
dikenal dengan istilah “Talak” atau “Furqah”. Talak berarti membuka ikatan atau
membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan
lawan kata dari berkumpul. Perkataan Talak dan Furqah mempunyai pengertian
umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian
yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti
khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami. Dalam fikih Islam,
perceraian atau talak berarti “bercerai lawan dari berkumpul”. Kemudian kata ini
dijadikan istilah oleh ahli fikih yang berarti perceraian antar suamiisteri.6
Sedangkan para ulama memberikan pengertian perceraian (talak) sebagai berikut:

1. Sayyid Sabiq

“Talak adalah melepaskan ikatan atau bubarnya hubungan perkawinan.”

https://media.neliti.com/media/publications/57675-ID-analisis-perceraian-dalam-
kompilasi-huku.pdf

3. Menurut Peraturan Perundang-undangan

Sedangkan dalam UU No.1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa yang dimaksud


dengan perceraian adalah terlepasnya ikatan perkawinan antara kedua belah pihak,
setelah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap berlaku sejak
berlangsungnya perkawinan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pengertian perceraian sebagai


putusnya hubungan perkawianan secara hukum yang disebabkan pada hubungan
perkawinan secara hukum yang disebabkan pada hubungan pernikahan yang
tidak berjalan dengan baik yang biasanya didahului dengan konflik antar pasangan

4
suami istri yang pada akhirnya mengawali berbagai emosi, psikologis, lingkungan
dan anggota keluarga serta dapat menimbulkan perasaan yang mendalam.

Masalah perceraian dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, diatur dalam pasal-
pasal berikut: pasal 38 bahwa Perkawinan dapat putus karena:

a. kematian,

b. perceraian

c. putusan pengadilan.

Pasal 39, Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak; Untuk
melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami/istri itu tidak dapat
hidup rukun sebagai suami istri; Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan
di atur dalam peraturan perundangundangan sendiri; Pasal 40, Gugatan perceraian
diajukan kepada pengadilan; Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1)
Pasal ini diatur dalam perundang-undangan tersendiri.

http://ojs.uma.ac.id/index.php/jppuma/article/download/919/933

Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang


Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya
mengatur tentang tata cara perceraian, yaitu dalam Pasal 14 yang menyatakan
bahwa:

“seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,


yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan
agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.

5
Alasan-alasan yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai berikut
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUP, yaitu :

1. a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain diluar kemampuannya;
3. c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukum lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. d) Salah satu pinak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
5. e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6. f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.

B . Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian

The factors of parents also have a role in a marriage relationship. Some


studies showed that about 16 percent of the men and women whose divorced
parents would influence the relationship of marriage. While for an individual who
did not experience parental divorce, it was only about 10 percent.

From the results, it was obtained that all research subjects came from families
that are intact without ever experiencing a process of divorce. This became
evidence that the divorce on themselves was not due to their parents’ household.
All the subjects got married in Islam, and lawful according to the State
Constitution. Marriage in the perspective of Islam is the place of keeping the
respectability of human beings and their descendants.

6
(Faktor orang tua juga memiliki peran dalam hubungan pernikahan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa sekitar 16 persen pria dan wanita yang orang
tuanya bercerai akan memengaruhi hubungan pernikahan. Sedangkan untuk
individu yang tidak mengalami perceraian orangtua, hanya sekitar 10 persen.

Dari hasil penelitian, diperoleh bahwa semua subjek penelitian berasal dari
keluarga yang utuh tanpa pernah mengalami proses perceraian. Ini menjadi bukti
bahwa perceraian pada diri mereka sendiri bukan karena rumah tangga orang tua
mereka)

The failure was caused by some specific factors from either the husband or the
wife (Ginanjar, 2009). A failure in marriage life generally culminates in divorce
or the misery of life. Many factors lead to the occurrence of dispute cases within
the family that ended up in divorce (Dariyo & Esa, 2004; Sahlan, 2012). These
factors are an economic problem (Marzuki & Watampone, 2016; Syaifuddin &
Turatmiyah, 2012), psychological factor, social factor (I. N. Sari, 2012), age
difference that is (too) much, the desire to have a child (a son or a daughter)
(Prianto et al., 2013), not making a living, violence by the husband (domestic
violence) (Huda, 2005; Irianto, 2006; Noviasari, 2010; Prianto et al., 2013;
Syaifuddin & Turatmiyah, 2012; Turangan, 2010; Winantio, 2009), secret
marriage (I. N. Sari, 2012), the partner who is part of the Indonesian Migrant
Worker, cheating husband (Jannah, 2013; I. N. Sari, 2012), polygamy (Idrus,
2006), husband leaving his wife (Febriyani, El Karimah, & Aristi, 2012), often
treated harshly by husband, and the issue of the different life principle (Sopari,
2013). The other factors are the difference in pressure and the way of educating
children as well as the influence of social support from outside parties, neighbors,
relatives, friends, and community situation which is conducive (I. N. Sari, 2012).

(Kegagalan itu disebabkan oleh beberapa faktor spesifik baik dari suami atau
istri (Ginanjar, 2009). Kegagalan dalam kehidupan pernikahan umumnya berujung
pada perceraian atau kesengsaraan hidup. Banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya kasus perselisihan dalam keluarga yang berakhir dengan perceraian
(Dariyo & Esa, 2004; Sahlan, 2012).

7
Faktor-faktor ini adalah :

1. masalah ekonomi (Marzuki & Watampone, 2016; Syaifuddin &


Turatmiyah, 2012)
2. faktor psikologis, faktor sosial (IN Sari, 2012),
3. perbedaan usia yang (terlalu) banyak,
4. keinginan untuk memiliki anak (anak laki-laki) atau anak perempuan)
(Prianto et al., 2013),.
5. tidak mencari nafkah,
6. kekerasan oleh suami (kekerasan dalam rumah tangga) (Huda, 2005;
Irianto, 2006; Noviasari, 2010; Prianto et al., 2013; Syaifuddin &
Turatmiyah, 2012; Turangan, 2010; Winantio, 2009),
7. .pernikahan rahasia (IN Sari, 2012), mitra yang merupakan bagian dari
Pekerja Migran Indonesia,
8. suami yang selingkuh (Jannah, 2013; IN Sari, 2012),
9. poligami (Idrus, 2006) , suami meninggalkan istrinya (Febriyani, El
Karimah, & Aristi, 2012),
10. sering diperlakukan dengan kasar oleh suami,
11. dan masalah prinsip hidup yang berbeda (Sopari, 2013).

Faktor lainnya adalah perbedaan tekanan dan cara mendidik anak serta
pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, tetangga, saudara, teman, dan
situasi masyarakat yang kondusif (IN Sari, 2012). Namun, faktor-faktor yang
harus diwaspadai dan mendominasi banyak kasus perceraian (seperti yang
diutarakan oleh para pelaku perceraian) adalah ketidakmampuan pasangan
dalam memikul beban hidup perkawinan atau memikul beban tanggung jawab
yang dia miliki. Semua faktor ini membawa suasana buruk dan merusak
kehidupan rumah tangga.

http://journal.konselor.or.id/index.php/counsedu/article/viewFile/72/pdf

Menurut Pasal 114 KHI(Kompikasi Hukum Islam) menyatakan bahwa putusnya

8
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh
suami atau gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut Pasal 115 KHI
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.

Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian pasangan


suami isteri dapat disebabkan karena:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau
lain sebagainya yang sulit disembuhkan;

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang


membahayakan pihak yang lain;

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f) Terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus


menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;

g) Suami melanggar taklik-talak. Adapun makna taklik-talak adalah perjanjian


yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan
dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan
tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;

9
h) Terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yanG
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Perceraian yang
terjadi karena talak suami isterinya ditandai dengan adanya pembacaan ikrar talak,
yaitu ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dan dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur
dalam Pasal 129, 130, dan 131 (Pasal 117 KHI).

Sedangkan macammacam perceraian yang dikarenakan talak suami terdiri dari:

1) Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).

2) Talak Ba’in yang dapat dibedakan atas talak Ba’in shughraa dan talak Ba’in
kubraa (Pasal 119 KHI):

https://media.neliti.com/media/publications/57675-ID-analisis-perceraian-dalam-
kompilasi-huku.pdf

Pada dasarnya faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian sangat unik


dan kompleks dan masing-masing keluarga berbeda satu dengan lainya.

Adapun beberapa faktor umum yang menyebabkan terjadinya perceraian yaitu:

 Faktor ekonomi
Tingkat kebutuahan ekonomi yang meningkat dijaman sekarang ini
memaksa kedua pasangan haru bekerja untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi keluarga, sehingga sering kali perbedaan pendapatan atau gaji
membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami tidak
memiliki pekerjaan.
Seperti yang dikemukakan oleh Agoes (1996:12), bahwa: “Banyak
pasangan dari kalangan keluarga yang kurang mampu sering kali
perceraian terjadi karena suami kurang berhasil memenuhi kebutuhan
materi dan kebutuhan lainnya dari keluarga”. Dari pendapat di atas bahwa
percekcokan sering terjadi di dalam keluarga karena sang suami tidak

10
dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, secara berlarut-larut disebabkan
sang istri merasa kecewa dan merasa menderita atau tersiksa, sehingga
dengan keadaan seperti ini acapkali berlanjut kepada perceraian.
 Faktor usia
Faktor usia yang terjadi dalam perceraian dalam suatu ikatan
perkawinan di lakukan pada usia muda, karena mereka di dalam dirinya
sedang mengalami perubahanperubahan secara psikologis. Hal ini akan
membuat kerisauan dan kegoncangan dalam membina rumah tangga yang
bahagia. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudarshono (1999:23),
bahwa : “Perkawinan muda banyak mengandung kegagalan karena cinta
monyet yang plantonis penuh impian dan khayalan tidak diringi dengan
persiapan yang cukup.”

Selanjutnya lebih tegas Naqiyah (2007: 5), mengatakan sebagai


berikut: Penyebab perceraian juga dipicu maraknya pernikahan di bawah
umur. Pernikahan di bawah umur membuat mereka belum siap mengatasi
pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai. Pernikahan adalah
memerlukan kesatuan tekad, kepercayaan dan penerimaan dari setiap
pasangan menjalani mahligai perkawinan. Ketidaksiapan pasangan tentu
berhubungan dengan tingkat kedewasaan, mengatasi persoalan yang
terkait dengan kehidupan, seperti keuangan, hubungan kekeluargaan,
pekerjaan setiap pasangan. Cara mereka berpikir, bertindak menentukan
cara mereka mengambil keputusan dalam hidup. Menikah di bawah umur
yang disertai pendidikan rendah menyebabkan tidak dewasa. Dari
pendapat di atas bahwa pasangan muda sebelum memasuki jenjang
perkawinan belum terpikir sedemikian jauh dan rumitnya hidup berumah
tangga, terlintas dipikiran mereka hanya yang indah-indah saja. Hal ini
adalah wajar karena usia masih belia, belum terpikir tentang berbagai hal
yang akan dihadapinya kelak setelah berkeluarga. Banyak anak muda yang
mengira bahwa dengan modal cinta segalanya akan beres padahal
kehidupan berumah tangga demikian kompleks meminta pertanggung

11
jawaban yang tidak dapat diwakilkan pada siapapun. Makin lama usia
perkawinan makin bertambah kewajiban apalagi jika anak telah lahir pula.

Oleh karena itu sering keluarga yang mereka bina kandas di


tengah jalan karena ketidak mampuan mereka dalam mengatasi masalah
yang timbul dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Kenyataan dijumpai
dan dihadapi dengan kenyataan yang mereka khayalkan sebelumnya.
Mereka tidak tahan menderita, sedikit cobaan datang menjadi sumber
permasalahan suami istri.

 Kurangnya pengetahuan agama

Belakangan ini banyak dilihat suasana rumah tangga yang tegang


tidak menentu, yang disebabkan oleh kecurigaan antara suami/istri.
Mungkin karena persoalan suami yang sering pulang malam dengan alasan
lembur karena pekerjaan banyak, ataupuan sang istri yang terlalu sibuk
dengan kegiatan arisan sehingga melupakan kewajibannya sebagai ibu
rumah tangga. Sehingga dengan adanya aktivitas di luar rumah yang
melebihi batas kewajaran, sering kali menimbulkan kecurigaan antara
kedua belah pihak. Jika saja kepala keluarga maupun ibu rumah tangga
memiliki pengetahuan tentang agama, maka mereka akan memahami
fungsinya masingmasing, seperti bapak akan pulang kerumah jika
waktunya harus pulang, begitu juga ibu akan selalu memperhatikan
keadaan rumah tangganya.

Daradjat (1998: 30), menyatakan bahwa: “Biasanya orang yang


mengerti dan rajin melaksanakan ajaran agama dalam hidupnya, moralnya
dapat dipertanggung jawabkan, sebaliknya orang yang akhlaknya merosot,
biasanya keyakinannya terhadap agama kurang atau tidak ada sama sekali.

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bila orang yang


akhlaknya atau tingkah lakunya tidak baik/buruk biasanya orang tersebut

12
kepercayaannya kepada agama sangat tipis atau sama sekali tidak ada.
Sebaliknya bagi orang yang tekun mengerjakan agama atau mempedomani
nilai-nilai yang terkandung di dalam ajaran agama tersebut serta
mengamalkannya untuk kehidupannya maka tingkah lakunya akan dapat
dipertanggung jawabkan. Sebab ia akan berpegang dengan agama itu tadi.

Demikian pula di dalam keluarga bila tidak mengamalkan ilmu


agama dengan segenap ajarannya, maka keluarga itu akan kehilangan arah
dan pegangan dalam membina kehidupan keluarga. Agama adalah
merupakan sarana petunjuk jalan yang tepat dalam segala kegiatan dan
oleh karena itu bila di dalam diri anggota keluarga atau pimpinan keluarga
tanpa bekal agama yang kuat. Hal ini yang dikatakan Daradjat (1998:31),
bahwa: “Agama mempunyai fungsi yang amat penting dalam kehidupan
manusia. Tanpa agama, manusia tidak mungkin merasakan kebahagiaan
kebahagiaan dan ketenangan hidup. Tanpa agama, mustahil dapat dibina
suasana aman dan tentram dalam masyarakat maupun keluarga.” Biasanya
orang yang kurang mendapat pendidikan, bila mendapat suatu kesulitan
dalam hidup ia menjadi tidak tentram dan bisa akhirnya anggotaanggota
keluarga yang lain menjadi sasaran (dipukuli), dan selanjunya
kemungkinan besar keluarga itu berada dipinggir jurang kehancuran yang
dalam. Hal senada sebagaimana pendapat Aziz (1995:10), : “Banyak
terjadi perceraian karena kurangnya pengajaran terhadap agama karena itu
dalam mewujudkan keluarga sehat maka agama sangat berperan, yang
dapat menetralkan keadaan keluarga adalah agama.”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semakin jauh


seseorang dari agama semakin sukarlah hidupnya. Demikian pula pada
suatu keluarga semakin jauh keluarga itu dari ajaran agama maka besar
kemungkinan semakin kacaulah keadaan keluaga itu dan semakin susah
membangunnya kembali.

 Adanya ketidaksesuaian pendapat didalam keluarga

13
Naqiyah (2007: 3), mengatakan dengan tegas bahwa: "Hal yang
ditengarahi menjadi polemik yang memicu keretakan rumah tangga adalah
tidak adanya kecerdasan emosi dalam memahami perasaan pasangan."
Apabila dalam keluarga tidak ada terdapat persesuaian pendapat antara
sesama anggotanya maka ketentraman, kebahagian, keserasian, kasih
sayang, kehangatan/kemesraan sukar di dapat dalam keluarga. Selanjutnya
Maria (1998:39) menambahkan bahwa: Hakekatnya perkawinan
merupakan “integrasi” proses penyatuan dua insan yang berlangsung terus
menerus selama perkawinan itu sendiri. Dalam proses integrasi itu sendiri
biasanya mengalami berbagai hambatan yang bersifat fisik atau
mental/emosional, yang menyatakan diri dalam bentuk benturan-benturan
pendapat, sikap atau tingkah laku antara suami isteri yang menimbulkan
rasa kesal, marah, benci, curiga dan sebel yang terkadang mengakibatkan
terjadinya suatu malapetaka besar “Peceraian”.
Sejalan dengan itu Fahmi (1997: 11), menyatakan bahwa:
“Semenjak dahulu diberi batasan tentang rumah tangga retak adalah rumah
yang merupakan titik pokok dari tidak adanya persesuaian.”
Lebih tegas Naqiyah (2007: 03), mengatakan sebagai berikut:
Melongok penyebab maraknya gugatan cerai kebanyakan dipicu oleh
persoalan sepele, kemudian dibesar-besarkan. Misalnya seorang suami
menggugat cerai istrinya hanya karena si istri menggunakan HP milik
suami tanpa ijin, kemudian suami menuduh istri menelpon lakilaki bukan
muhrim tanpa sepengetahuan suami, Suami marah dan melakukan gugatan
cerai ke PA. Contoh ini, adalah sebagian kecil masalah emosi yang
menimbulkan prasangka buruk secara terus menerus menyebabkan
perceraian. Pasangan tersebut dibajak emosi.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
persesuaian pendapat sangat penting dalam keluarga sebab itu dapat
memberikan andil yang besar sehingga dapat menjadi pilar-pilar dasar
yang bisa memperkokoh berdirinya suatu keluarga yang damai dan abadi.

14
Sedangkan salah pengertian antara suami istri dan sebaliknya dapat
menimbulkan suatu perceraian.
Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan, perselisihan
yang terus menerus menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih sayang.
Pertengkaran hanya menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk
sangka terhadap pasangan. Pertengkaran yang meluap-luap akan
menyebabkan hilangnya rasa percaya dan terus memicu perceraian.
Sementara perselisihan yang berakhir dengan baik dengan menyadari dan
mengetahui perasaan masing-masing, bersikap empati dan mau
memaafdxkan kesalahan pasangannya.

http://ojs.uma.ac.id/index.php/jppuma

Grafik Faktor Perceraian pada 2016 di beberapa kota di Indonesia :

15
C. Proses Perceraian

Article 39 Paragraph (1) of the Marriage Constitution stated, "A divorce can
only be held in the judiciary after the respective court tried unsuccessfully to
reconcile both sides." Furthermore, Article 39 Paragraph (2) stated, "for doing
divorce, it is supposed to have enough reasons that between the husband and wife
will not be able to live in peace as a couple".

The explanation of Article 39 Paragraph (2) of the Marriage Constitution and


Article 19 of Government Regulation number 9 of 1975 on the Implementation of
Marriage Constitution mentioned reasons that can be used as the basis for
divorce as follows (Ahmadi, 2008; Subekti, 2010): 1) One of the parties commits
adultery or become an alcoholic, an opium smoker, gambler, and the others which
are difficult to cure; 2) One of the parties leave his or her partner for two (2)
consecutive years without the permission of another party and without valid
reasons or because of other things which are not his or her will; 3) One of the
parties gets a prison sentence of five years or the other severe punishment after
the marriage process; 4) One of the parties does cruelty or severe mistreatment
that harms the others; 5) One of the parties gets disability or illness which
resulted in an inability to perform the responsibility as a husband or wife; 6)
Quarrels and disputes continuously occur between husband and wife and there is
no hope to live in peace anymore in the household.

(Pasal 39 ayat (1) dari Konstitusi Perkawinan menyatakan, "Perceraian hanya


dapat dilakukan di pengadilan setelah masing-masing pengadilan mencoba untuk
tidak berhasil merekonsiliasi kedua belah pihak." Selanjutnya, Pasal 39 ayat (2)
menyatakan, "untuk melakukan perceraian, itu seharusnya memiliki alasan yang
cukup bahwa antara suami dan istri tidak akan dapat hidup damai sebagai
pasangan".

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Konstitusi Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan


Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Penyelenggaraan Konstitusi Perkawinan
menyebutkan alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian sebagai berikut

16
(Ahmadi, 2008; Subekti, 2010 ): 1) Salah satu pihak melakukan perzinahan atau
menjadi pecandu alkohol, perokok opium, penjudi, dan lainnya yang sulit
disembuhkan; 2) Salah satu pihak meninggalkan pasangannya selama dua (2)
tahun berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal-hal lain yang bukan kehendaknya; 3) Salah satu pihak mendapat
hukuman penjara lima tahun atau hukuman berat lainnya setelah proses
pernikahan; 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang merugikan yang lain; 5) Salah satu pihak mendapat cacat atau sakit yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk melakukan tanggung jawab sebagai suami
atau istri; 6) Pertengkaran dan perselisihan terus terjadi antara suami dan istri dan
tidak ada harapan untuk hidup damai lagi di rumah tangga.)

http://journal.konselor.or.id/index.php/counsedu/article/viewFile/72/pdf

1). Cerai Talak

1.
Langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami/kuasanya):

Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan


Agama/Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 66 UU nomor
-
7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006).

Pemohon dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan


Agama/Mahkamah Syariah tentang tata cara membuat surat permohonan
-
(pasal 119 HIR 143 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 yang telah
diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan


2.
petitum. Jika Termohon telah menjawab surat permohonan tersebut harus atas
persetujuan Termohon.

3. Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah:

17
Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon (pasal 66 ayat
- (2) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006).

Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati


bersama tanpa izin Pemohon, maka permohonan harus diajukan kepada
- Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Bila Termohon berkediaman di luar negeri, maka permohonan diajukan


kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya
-
meliputi tempat kediaman Pemohon (pasal 66 ayat (3) UU no 7 tahun 1989
yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka


permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang
- daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada
Pengadilan Agama Pekalongan (pasal 66 ayat (4) UU no 7 tahun 1989 yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

4.
Permohonan tersebut memuat:

Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon dan


-
Termohon.

- Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

- Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

5. Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama, dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau

18
sesudah ikrar talak diucapkan (pasal 66 ayat (5) UU no 7 tahun 1989 yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo pasal 89
6.
UU no 7 tahun 1989). Bagi yang tidak mampu, dapat berperkara secara cuma-
cuma/prodeo (pasal 237 HIR, 273 Rbg).

2). Cerai Gugat

1.
Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri/kuasanya):

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan


Agama/Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg jo pasal 73 UU nomor
-
7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006).

Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada Pengadilan


Agama/Mahkamah Syariah tentang tata cara membuat surat gugatan (pasal
-
118 HIR 142 Rbg jo pasal 58 UU nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah
oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak mengubah posita dan petitum.
- Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan tersebut harus atas persetujuan
Tergugat.

2.
Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah:

Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat (pasal 73


- ayat (1) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006).

- Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati

19
bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan harus diajukan kepada
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Tergugat (pasal 32 ayat (2) UU no 1 tahun 1974 jo pasal
73 ayat (1) UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006).

Bila Penggugat berkediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada


Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi
-
tempat kediaman Tergugat (pasal 73 ayat (2) UU no 7 tahun 1989 yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka


gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang
- daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkan pernikahan atau kepada
Pengadilan Agama Pekalongan (pasal 73 ayat (3) UU no 7 tahun 1989 yang
telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

3. Gugatan tersebut memuat:

Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Penggugat dan


-
Tergugat.

- Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

- Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama,
dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan atau sesudah putusan perceraian
4.
memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 66 ayat (5) UU no 7 tahun 1989
yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

5. Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo pasal 89
UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun

20
2006. Bagi yang tidak mampu, dapat berperkara secara cuma-cuma/prodeo
(pasal 237 HIR, 273 Rbg).

6. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan


panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.

3). Gugatan Lainya

1. Langkah yang harus dilakukan Penggugat (istri/kuasanya):

Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan


-
Agama/Mahkamah Syariah (pasal 118 HIR 142 Rbg).

- Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah:

a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat.

Bila tempat kediaman Tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan


b. kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariahyang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Penggugat.

Bila mengenai benda tetap, maka gugatan dapat diajukan kepada


Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah yang daerah hukumnya meliputi
tempat letak benda tersebut. Bila benda tetap tersebut terletak dalam
c. wilayah beberapa Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, maka
gugatan dapat diajukan kepada salah satu Pengadilan
Agama/Mahkamah Syariahyang dipilih oleh Penggugat (pasal 118 HIR,
142 Rbg).

Membayar biaya perkara (pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) Rbg jo pasal 89
UU no 7 tahun 1989 yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2.
2006). Bagi yang tidak mampu, dapat berperkara secara cuma-cuma/prodeo
(pasal 237 HIR, 273 Rbg).

3. Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan

21
berdasarkan panggilan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah (pasal 121, 124
dan 125 HIR, 145 Rbg).

Sumber : http://www.pa-tegal.go.id/

D.Tahun-tahun Rawan Perceraian Dalam Pernikahan

Sesungguhnya setiap saat setelah bulan madu adalah merupakan periode yang
rawan bagi setiap pasangan pernikahan. Untuk itulah diperlukan kewaspadaan,
diperlukan komitmen dan kesungguh-sungguhan bagi setiap pasangan nikah untuk
saling memupuk , memelihara dan saling membahagiakan.

Sesungguhnya ada tiga Periode dalam pernikahan yang memiliki tingkat


kerawanan melebihi tahun-tahun yang lain, hal ini dikarenakan memuncaknya
perbedaan yang menyerap lebih banyak energi pasangan nikah untuk saling
menyesuaikan diri. Adapun tiga periode yang sesungguhnya kita patut sadari dan
waspadai, dan patut kita antisipasi itu adalah:

(1.) Periode usia nikah 1-5 tahun adalah :

Periode dimana fondasi pernikahan sesungguhnya belum cukup kuat. Dan


justru pada usia 1-4 tahun itu tuntutan untuk saling mencocokan dan
menyesuaikan diri itu menyedot begitu banyak energi pasangan suami istri yang
masih baru ini. Mereka dituntut sanggup menyesuaikan diri dengan pasangannya,
dengan mertua dengan saudara ipar, dengan kerabat, dan dengan pekerjaan atau
karier. Bila mereka sukses dalam saling menyesuaikan diri akan menjadi keluarga
yang semakin kokoh.

Namu bila mereka gagal untuk menyesuaikan diri hal itu akan menyebabkan
problema semakin meruncing dan tidak terselesaikan atau perceraian.

(2.) Periode Puber kedua atau Usia Parobaya yaitu periode usia pernikahan 15-
20 tahun Adalah :

22
Periode dimana usia masing masing suami istri antara 40-50 tahun. Apa yang
sesungguhnya terjadi yang menyebabkan perkawinan menghadapi usia
kritis pada periode ini? Anak-anak mulai menginjak usia remaja, dan kenakalan
remaja seringkali menyebabkan perbedaan cara didik dan cara mendisiplin
anak yang mengakibatkan perbedaan semakin tajam antara suami istri, disinilah
krisis yang baru dimulai.

Bukan itu saja saat ini karir biasanya sudah mantap, keuangan mantap, dan
biasanya orang tua dan mertua yang mengawasi kita sudah mulai meninggal,
disaat yang sama hubungan suami istri biasanya mulai merenggang karena istri
mulai masuk masa menopause dan suami memasuki masa puber kedua.

Dan disinilah terjadi banyak godaan perselingkuhan.

(3.) Masa Pensiun atau disebut juga masa sarang kosong yaitu periode 30-35
tahun usia pernikahan :

Masa dimana anak-anak pada umumnya sudah menikah dan meninggalkan rumah.
Pasangan suami istri yang selama ini belum biasa saling memaafkan, menghargai
dan menyesuaikan diri dengan baik maka saat memasuki masa pensiun dan harus
tinggal berduaan selama 24 jam sehari merupakan suatu kesulitan besar yang
mengakibatkan pasangan semakin menjauh diusia senja.

https://anthonsianturi.wordpress.com/2013/07/18/tahun-tahun-rawan-perceraian-
dalam-pernikahan/

E.Pengaruh/ Dampak Perceraian

“Divorce affects the couple economically, mentally, emotionally, and physically.


Divorce also influences the current and future relationships of the couple. Despite
the predominant belief that only negative outcomes exist (deficit perspective),
divorce also benefits some individuals. Best viewed as a process rather than a

23
discrete event, divorce influences individuals before the divorce occurs,
immediately following the divorce, and years later.

Perceraian mempengaruhi pasanagan secara ekonomi, mental, emosional dan


fisik. Perceraian juga mempengaruhi hubungan saat ini dan masa depan pasangan.
Meskipun banyak menghasilkan dampak negatif namun perceraian juga
memunculkan dampak positif. Perceraian juga mempengaruhi individu sejak
sebelum perceraian terjadi, setelah perceraian terjadi dan bertahun-tahun
setelahnya.

 Economic outcomes

“Because of the political and policy implications of the economic situation


associated with divorce, much attention has focused on its economic impact. .
In the United States, Canada, and most other countries, women generally
experience a decline in their economic situation following divorce, whereas
men undergo lesser declines or slight increases in their economic status. It is
important to note that differences in both the magnitude of these changes and
the disparity between men and women's postdivorce economic outcomes have
been debated (see Braver and O'Connell 1998, for a discussion of U.S.
findings). Because divorce divides resources that originally went to one
household, an immediate decline in the standard of living for both spouses
results. It also is important to understand individuals' perceptions of the
degree of economic hardship, as these perceptions affect adjustment more
than objective measures of their economic situation.”

(Dampak terhadap ekonomi.

Karena implikasi politik dan kebijakan dari situasi ekonomi yang terkait dengan
perceraian, banyak perhatian difokuskan pada dampak ekonominya. Di Amerika
serikat, kanada dan sebagian besar negara lain, wanita umunya mengalami
penurunan dalam situasi ekonomi setelah perceraian, sedangkan pria mengalami
penurunan yang lebih sedikit atau mengalami sedikit peningkatan staus ekonomi.

24
Karena perceraian membagi sumber daya yang awalnya ada dalam satu rumah
tangga harus dibagi untuk masing-masing individu karena telah berpisah.)

 Mental and emotional outcomes.

“Studies demonstrate that divorced individuals exhibit higher levels of depression


and anxiety than do individuals who are married, and those divorced also tend to
have poorer self-concepts and exhibit more symptoms of psychological distress
(compared with those who are married). Those with a history of two or more
divorces report significantly more depression than either those with one divorce
or those who are not divorced (Kurdek 1991), suggesting the cumulative nature of
stress from divorce.”

(Studi menunjukan bahwa individu yang bercerai menunujkan tingkat depresi dan
kecemasan yang lebih tinggi daripada individu yang menikah, dan mereka yang
bercerai juga cenderung memiliki konsep diri yang lebih buruk dan lebih banyak
menunujukan tekanan psikologis (dibandingkan dengan mereka yang menikah).
Mereka yang memiliki riwayat dua atau lebih perceraian melaporknandepresi
yang jauh lebih besar dari pada mereka yang memiliki satu perceraian atau
mereka yang tidak bercerai (kurdek,1991), menun jukan sifat kumulatif stres
akibat perceraian.)

 Physical outcomes. Divorced

“ individuals also have more health problems and higher mortality rates than
married or other nondivorced persons. Divorced adults exhibit more risktaking
behaviors (e.g., elevated rates of drugs and alcohol use/abuse). Particularly
among those recently divorced, there is an increased risk for illness, likely due to
poorer immune system functioning from the stress associated with divorce.
(Kitson and Morgan 1990).”

25
(Individu yang bercerai juga memiliki masalah kesehatan yang lebih banyak dan
tingkat kematian yang lebih tinggi dibandningkan dengan mereka yang sudah
menikah ataupun yang tidak bercerai.”orang dewasa yang bercerai menunjukan
perilaku yang lebih beresiko (misalnya; peningkatan tingkat penggunaan narkoba,
dan penggunaan alkohol). “Terutama diantara mereka yang baru saja bercerai ada
peningkatan resiko untuk penyakit, kemungkinan karena sisitem kekbalan tubuh
yang lebih buruk akibat strees yang dipicu oleh masalah perceraian (kitson dan
morgan, 1990).

 Relationship outcomes.

Relationships and social networks are influenced in various ways by divorce.


Divorced individuals generally experience more social isolation and have
smaller social networks than do married individuals. This is explained in
terms of them having less in common with married friends following divorce.
Moreover, friendships can become divided between the couple like other the
marital assets, as friends may choose sides.

 Relationship outcomes.

Relationships and social networks are influenced in various ways by divorce.


Divorced individuals generally experience more social isolation and have
smaller social networks than do married individuals. This is explained in
terms of them having less in common with married friends following divorce.
Moreover, friendships can become divided between the couple like other the
marital assets, as friends may choose sides.

In countries where divorce is still stigmatized, social isolation is more


extreme. For example, in Japan divorced women experience discrimination in
employment opportunities and future marital opportunities due to the impurity
that divorce introduces into their family registry, and the effect of this
impurity spills over to their children (Bryant 1992; Yuko 1998). Similarly,
women in India are isolated following divorce, largely due to the principle of

26
pativratya (i.e., that a woman should devote herself completely to her
husband's needs, sacrificing her own if necessary). When a marriage ends, the
assumption of fault resides with the wife. Also, family structure in India
follows patriarchal lines, with many households consisting of a man, his wife,
his sons, and the sons' wives and children. Following divorce, Indian men
retain both their household and the support of their extended families,
whereas Indian women leave the family household and become isolated from
the entire family. Because re-marriage is not common in India, women are
likely experience further social isolation (Amato 1994).

 Dampak terhadap hubungan sosial.

( Hubungan dan jejaring sosial dipengaruhi oleh perceraian. “ individu yang


mengalami perceraian umunya mengalami lebih banyak isolasi sosial dan
memiliki jaringan sosial yang lebih kecil daripada mereka yang menikah. Di
negara-negara dimana perceraian masih dianggap sebagai aib, isolasi-isolasi sosial
menjadi lebih ekstrim. Misalnya di Jepang, perempuan yang bercerai mengalami
diskriminasi dalam hal kesempopatan kerja dan peluang perkawinan di masa yang
akan datang karena “ketidak murnian” perceraian itu masuk dalam registrasi
keluarga mereka, dan efek ketidakmurnian ini akan menurun ke anak-anak mereka
(bryan;1992; yuko; 1998). Demikian pula yang terjadi di India, wanita akan
terisolasi setelah perceraian, sebagian besar karena psinsip “pativratya” (yaitu,
bahwa seorang wanita harus mengabdikan dirinya sepenuhnya unruk kebutuhan
suaminya, bahkan mengorbankan dirinya sendiri jika perlu). Ketika sebuah
pernikahan berakhir, asumsi kesalahan bersemayam kepada sang istri”. juga
struktur keluarga di india mengikuti garis patriakal, dengan banyak rumah tangga
terdiri dari seorang pria, istrinya, putra-putranya dan istri serta anak-anak para
putra. Stelah perceraian, pria India mempertahankan rumah tangga dan dukungan
keluarga besar mereka, sedangkan wanita meninggalkan rumah tangga keluarga
dan menjadi terisolasi dari seluruh keluarga. “Karena pernikahan kembali tidak
umum di India, perempuan cenderung mengalami isolasi sosial lebih lanjut”
(Amato;1994)

27
https://family.jrank.org/pages/413/Divorce.html

Child Psychology Divorce

Psikologi Anak Perceraian

Many research has been done on Child Psychology Divorce. Here is a list of
remarkable findings during the past decades. They do away with some commonly
accepted beliefs about Children and Divorce.

(Banyak penelitian telah dilakukan pada Psikologi Anak Perceraian. Berikut


adalah daftar temuan yang luar biasa selama dekade terakhir. Mereka pergi
dengan beberapa keyakinan umum diterima tentang Anak-anak dan Perceraian.

1. Long term effects

Children can suffer from divorce on the long run. It happens that the effects
surface only many years after the divorce.
(Book by Wallerstein 1991)

1. efek jangka panjang

Anak-anak bisa menderita perceraian pada jangka panjang. Hal ini terjadi bahwa
efek permukaan hanya beberapa tahun setelah perceraian.
(Pesan hingga Wallerstein 1991)

2. Absent fathers

Children in families without a father suffer more often from one or more of these
disorders: Child Conduct Disorder, Antisocial Personality Disorder and Attention
Deficit Hyperactivity Disorder. A stepfather does not help.
(Study by Pfiffner, McBurnett, Rathouz, 2004)

2. ayah Absen

28
Anak-anak dalam keluarga tanpa ayah menderita lebih sering dari satu atau lebih
gangguan ini: Anak Perilaku Disorder, antisosial Personality Disorder dan
Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Sebuah ayah tiri tidak membantu.
(Studi oleh Pfiffner, McBurnett, Rathouz, 2004)

3. The psychological well being of children of divorce

Children of divorce experience serious negative psychological consequences


before, during and after the divorce. These Child Psychology Divorce
consequences do not depend on the family conditions before the divorce.
(Study by Sun and Li, 2002).

3. baik psikologis menjadi anak dari perceraian

Anak-anak pengalaman perceraian konsekuensi psikologis yang serius negatif


sebelum, selama dan setelah perceraian. Konsekuensi Psikologi Anak Perceraian
ini tidak tergantung pada kondisi keluarga sebelum perceraian.
(Studi oleh Sun dan Li, 2002)

4. Lower commitment to a marriage

Many studies report a much higher divorce rate amongst children of divorce
(almost twice as high). This is mainly due to a lower commitment to the marriage
and to lower relationship skills.
(Book by Heatherington, 2004).

4. komitmen rendah untuk sebuah pernikahan

Banyak penelitian melaporkan tingkat perceraian lebih tinggi di antara anak-anak


dari perceraian (hampir dua kali lebih tinggi). Hal ini terutama karena komitmen
yang lebih rendah untuk pernikahan dan keterampilan hubungan yang lebih
rendah.(Pesan hingga Heatherington, 2004)

29
5. Adolescent children of divorce are more likely to have children.

They have higher delinquency rates and are more likely to have sex when very
young.
(Study by Maher 2003)

5. anak remaja perceraian lebih mungkin untuk memiliki anak.

Mereka memiliki tarif kenakalan yang lebih tinggi dan lebih mungkin melakukan
hubungan seks ketika sangat muda.(Studi oleh Maher 2003)

6. Depression and anxiety

Children of divorce are significantly more often victims of depression or anxiety


well into their twenties. Anxiety can even result in Anxiety Disorder, another
possible Child Psychology Divorce outcome.
(A study reported by the American Sociological Review 1998)

6. Depresi dan kecemasan

Anak-anak dari perceraian secara signifikan lebih sering menjadi korban depresi
atau kecemasan baik ke usia dua puluhan. Kecemasan bahkan dapat
mengakibatkan Anxiety Disorder, kemungkinan hasil Perceraian Psikologi Anak
lain.(Sebuah studi yang dilaporkan oleh American Sociological Review 1998)

7. Death or Divorce

Children from broken homes have more psychological problems then children
from homes disrupted by the death of their father.
(A book by Emery 1988)

7. Kematian atau Perceraian

30
Anak-anak dari keluarga berantakan memiliki masalah psikologis lebih anak-anak
dari rumah terganggu oleh kematian ayah mereka.(Sebuah buku oleh Emery
1988)

8. Health problems

Children of divorce are found to have more injuries, speach defects, asthma and
headaches. When living with their divorced mother, they tend to have more
professional help with behavioral and emotional problems.
(Study by Dawson).

8. Masalah kesehatan

Anak-anak dari perceraian yang ditemukan memiliki cedera lebih, pidato cacat,
asma dan sakit kepala. Ketika hidup dengan ibunya bercerai, mereka cenderung
memiliki lebih banyak bantuan profesional dengan masalah perilaku dan
emosional.(Studi oleh Dawson)

9. Poor relationships with their divorced parents

Children of broken families in the age of 18-22 are twice as likely to have poor a
relationship with their parents. They display high levels of emotional distress or
problem behavior. Many of them get psychological help." Zill found the effects of
divorce still evident 12 to 22 years after the breakup. The impact can be found
after 12 to 22 after the divorce.
(A study by Zill, Morisson and Coiro 1995)

9. hubungan yang buruk dengan orang tua mereka bercerai

Anak-anak dari keluarga yang rusak di usia 18-22 dua kali lebih mungkin untuk
memiliki hubungan yang buruk dengan orang tua mereka. Mereka menampilkan
tingkat tinggi tekanan emosional atau perilaku masalah. Banyak dari mereka
mendapatkan bantuan psikologis. “Zill menemukan efek perceraian masih terlihat

31
12 sampai 22 tahun setelah perpisahan itu. Dampaknya dapat ditemukan setelah
12 sampai 22 setelah perceraian.

10. Oppositional Defiance Disorder

Some children of divorce suffer from oppositional defiance disorder (ODD) These
children display an ongoing pattern of uncooperative, defiant, and hostile behavior
towards their parents. The behavior interferes with the youngster’s day to day
functioning.

10. oposisi Defiance Disorder

Beberapa anak dari perceraian menderita gangguan pembangkangan oposisi


(ODD) Anak-anak ini menampilkan pola berkelanjutan dari perilaku tidak
kooperatif, menantang, dan bermusuhan terhadap orang tua mereka. Perilaku
mengganggu hari anak muda untuk hari berfungsi.

11. Behaviour problems: more and worse

There are significantly more behavioral problems with children in unhappy


families. The behavioral problems in this group are worse too.
(Study by Webster-Stratton, 1989)

11. masalah Perilaku: lebih dan lebih buruk

Ada masalah signifikan lebih perilaku dengan anak-anak dalam keluarga bahagia.
Masalah perilaku dalam kelompok ini adalah lebih buruk juga.
(Studi oleh Webster-Stratton, 1989)

12. Aggression

A number of researches on Child Psychology Divorce found out children of


divorce are more aggressive than children of married couples.
(A study by Emery 1988)

32
12. Agresi

Sejumlah penelitian tentang Psikologi Anak Perceraian menemukan anak-anak


dari perceraian yang lebih agresif dibandingkan dengan anak dari pasangan
menikah.(Sebuah studi oleh Emery 1988)

13. Lonely and unhappy

Judith Wallerstein found many children of divorced parents behave impulsive and
irritable. They are more socially withdrawn and as a result, they feel more lonely,
insecure, anxious and anxious. Not only right after the divorce, but also 6 years
later.
(Study by Wallerstein 1991)

13. Kesepian dan bahagia

Judith Wallerstein menemukan banyak anak-anak dari orang tua bercerai


berperilaku impulsif dan mudah marah. Mereka ditarik lebih sosial dan sebagai
hasilnya, mereka merasa lebih kesepian, tidak aman, cemas dan gelisah. Tidak
hanya tepat setelah perceraian, tetapi juga 6 tahun kemudian.(Studi oleh
Wallerstein 1991)

14. Child Discipline

Child discipline is lower in families with parents with marital problems but is
lowest with children that live with their unmarried mother.
(Study by Webster-Stratton, 1989)

14. Disiplin Anak

Disiplin anak lebih rendah di keluarga dengan orang tua dengan masalah
perkawinan tetapi paling rendah dengan anak-anak yang tinggal bersama ibu
mereka yang belum menikah.

(Studi oleh Webster-Stratton, 1989)

33
15. Disobedience

Research on Child Psychology Divorce found that children of divorce are less
obedient to their divorced parents.
(Study by Stein, Newcomb, and Bentler, 1987).

15. Ketidaktaatan

Penelitian tentang Psikologi Anak Perceraian menemukan bahwa anak-anak yang


bercerai kurang patuh pada orang tua mereka yang bercerai.

(Studi oleh Stein, Newcomb, dan Bentler, 1987)

16. A new marriage does not improve the psychological well-being of


adolescents

Disturbed functioning of adolescents is common among adolescents in


stepfamilies and in adolescents of single parent families. But occurs much less in
normal married families.
(Book by Furstenberg and Cherlin)

16.Pernikahan baru tidak meningkatkan kesejahteraan psikologis remaja

Fungsi remaja yang terganggu sering terjadi pada remaja di keluarga tiri dan pada
remaja keluarga orang tua tunggal. Tetapi terjadi jauh lebih sedikit di keluarga
menikah normal.

(Buku oleh Furstenberg dan Cherlin)

17. Suicide

There is a higher suicide rate for children of divorce than for children of normal
families. There is no correlation found between the death of a parent and suicide
of a child. The suicide seems to be triggered by being rejected by a parent.
(A study by Larson and Larson 1990)

34
17. Bunuh diri

Ada tingkat bunuh diri yang lebih tinggi untuk anak-anak yang bercerai daripada
anak-anak dari keluarga normal. Tidak ada korelasi yang ditemukan antara
kematian orang tua dan bunuh diri anak. Bunuh diri tampaknya dipicu oleh
ditolak oleh orang tua.

(Sebuah studi oleh Larson dan Larson 1990)

18. Learning disabilities

Analysis of nine years of child psychology divorce data in Australia, unveiled that
unmarried women, widows and divorced or separated women are more likely to
have children with a moderate intellectual disability than those who were married.
The researchers think it has to do with their social disadvantage.
(A study by the University of Western Australia)

18. Ketidakmampuan belajar

Analisis sembilan tahun data perceraian psikologi anak di Australia,


mengungkapkan bahwa wanita yang belum menikah, janda dan wanita yang
bercerai atau berpisah lebih mungkin memiliki anak dengan kecacatan intelektual
sedang daripada mereka yang menikah. Para peneliti berpikir itu ada
hubungannya dengan kerugian sosial mereka.

(Sebuah studi oleh University of Western Australia)

19. Academic achievement

Tends to be lower among children of divorce.


(Winslow 2004)

19. Prestasi akademik

Cenderung lebih rendah di antara anak-anak yang bercerai.

35
(Winslow 2004)

20. The Sleeper Effect

The so called “sleeper effect” kicks in on children of divorce on a later age. Most
Young boys tend to express their emotions and frustrations freely. Their emotions
fade out. Young girls however, keep their emotions internally more often. They
do not deal with them. Their emotions stay within and they surface when they
mature. Usually, this occurs in a period in which they make essential decisions for
their lives for many years to come. They are inconsiously influenced by the
anxiety and fear resulting from the divorce of their parents long ago.
(A study by Wallerstein and Blakeslee).

20. Efek Tidur

Yang disebut "efek tidur" menendang pada anak-anak yang bercerai pada usia
lanjut. Sebagian besar anak laki-laki cenderung mengekspresikan emosi dan
frustrasi mereka dengan bebas. Emosi mereka memudar. Namun gadis-gadis
muda, menjaga emosi mereka lebih sering secara internal. Mereka tidak berurusan
dengan mereka. Emosi mereka tetap di dalam dan mereka muncul ketika mereka
dewasa. Biasanya, ini terjadi pada periode di mana mereka membuat keputusan
penting untuk kehidupan mereka selama bertahun-tahun yang akan datang.
Mereka sangat dipengaruhi oleh kecemasan dan ketakutan yang diakibatkan
perceraian orang tua mereka sejak lama.

(Sebuah studi oleh Wallerstein dan Blakeslee).

21. Feeling unsafe

In general, children of divorce feel emotionally unsafe as a child. 6 children out of


10 for children of broken families feel unsafe and only 2 out of 10 for married
families.
(A study by Marquardt 2005)

36
21. Merasa tidak aman

Secara umum, anak-anak yang bercerai merasa tidak aman secara emosional
sebagai seorang anak. 6 anak dari 10 untuk anak-anak dari keluarga yang hancur
merasa tidak aman dan hanya 2 dari 10 untuk keluarga yang sudah menikah.

(Sebuah studi oleh Marquardt 2005)

22. Children feel not being at the center of the broken family

This counts for 67 percent of children of divorced families and for only 33 percent
of children of intact families.
(A study by Marquardt 2005)

22. Anak-anak merasa tidak berada di pusat keluarga yang hancur

Ini dihitung untuk 67 persen anak-anak dari keluarga yang bercerai dan hanya 33
persen anak-anak dari keluarga yang utuh.

(Sebuah studi oleh Marquardt 2005)

23. Feeling lonely

Children of divorced families reported they are 6 times more likely to feel alone
as a child.
(A study by Marquardt 2005)

23. Merasa kesepian

Anak-anak dari keluarga yang bercerai melaporkan bahwa mereka 6 kali lebih
mungkin merasa sendirian sebagai seorang anak.

(Sebuah studi oleh Marquardt 2005)

37
24. When in need of comfort, they do not go to their parents

This counts for 68 percent of children of divorced families and for only 32 percent
of children of intact families.
(A study by Marquardt 2005)

24. Ketika membutuhkan kenyamanan, mereka tidak pergi ke orang tua mereka

Ini menghitung 68 persen anak-anak dari keluarga yang bercerai dan hanya 32
persen dari anak-anak dari keluarga utuh.

25. Teens have their own objectives and try to maintain their identity

They often follow a child psychology divorce strategy like this:

 they keep away information from one parent so they do not get punished
or to improve their relationship with the other parent. They handsomely
use the limited communication between their parents.
 when parents try to use their teen as a messenger between them, the teen
will use this in his advantage. He chooses the messages he wants to be
passed on. He will make some changes to some messages to benefit from
it
 live in the house of the least demanding parent. It is an easy way to walk
away from an unwanted situation. Sometimes it is to punish one of the
parents
 banning one of the parents out of his life.

(study by Chris Menning 2003)

25. Remaja memiliki tujuan mereka sendiri dan berusaha mempertahankan


identitas mereka

Mereka sering mengikuti strategi perceraian psikologi anak seperti ini:

38
 mereka menyimpan informasi dari satu orang tua sehingga mereka tidak
dihukum atau meningkatkan hubungan mereka dengan orang tua lainnya.
Mereka menggunakan komunikasi terbatas antara orang tua mereka.
 ketika orang tua mencoba menggunakan anak remaja mereka sebagai
pembawa pesan di antara mereka, anak remaja akan menggunakan ini
untuk keuntungannya. Dia memilih pesan yang ingin disampaikannya. Dia
akan membuat beberapa perubahan pada beberapa pesan untuk mendapat
manfaat darinya
 tinggal di rumah orang tua yang paling tidak menuntut. Ini adalah cara
mudah untuk menjauh dari situasi yang tidak diinginkan. Terkadang untuk
menghukum salah satu orang tua
 melarang salah satu orang tua dari hidupnya
(belajar oleh Chris Menning 2003)

26. Children of divorce do not benefit from Joint physical custody

Opposed to what was thought before, joint physical custody does not benefit the
children. However, it does not damage them either.

26. Anak-anak yang bercerai tidak mendapat manfaat dari tahanan fisik gabungan

Menentang apa yang dipikirkan sebelumnya, hak asuh fisik bersama tidak
menguntungkan anak-anak. Namun, itu tidak merusak mereka juga.

https://www.children-and-divorce.com/child-psychology-divorce.html

F. Apa Efek Perceraian terhadap prilaku anak?

Most research on parental divorce focuses on the negative effects of divorce on


children, teenagers, and young adults. Previous research has shown that children
of divorce often experience a change in their views towards intimate relationships

39
(boyfriend, girlfriend, romantic partner, etc.), which in turn may cause them to
become either more nervous or wary of these relationships and unsure of their
ability to successfully manage one (Cartwright 2008). Previous research has
found that children of divorce experience pessimistic outlooks/ feelings (towards
themselves and future intimate relationships) and low reports of self-esteem as
well as outcomes on areas such as academic performance, familial relationships,
and performance in everyday functioning (Carlson 2006; Cartwright 2008;
Scabini and Cigoli 2008; Sever, Guttmann, and Lazar 2008). Qualitative studies
have depicted children of divorce as experiencing painful emotional states (i.e.
anger, suspicion, jealousy, etc.) as well as observing significant decreases in their
levels of self-worth, trust, and communication with their peers (Cartwright 2008;
Scabini and Cigoli 2008). Scabini and Cigoli (2008), for example, found that
males from divorced families would often develop a fear of being unable to
maintain a healthy relationship with their spouse and future children.

( Pengaruh Perceraian Orangtua pada Pembentukan dan Pemeliharaan Hubungan


Sebagian besar penelitian tentang perceraian orang tua berfokus pada efek negatif
perceraian pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa anak-anak yang bercerai sering mengalami perubahan dalam
pandangan mereka terhadap hubungan intim (pacar, pacar, romantispasangan,
dll.), yang pada gilirannya dapat menyebabkan mereka menjadi lebih gugup atau
waspada terhadap hubungan-hubungan ini dan tidak yakin akan kemampuan
mereka untuk berhasil mengelola satu (Cartwright 2008). Penelitian sebelumnya
telah menemukan bahwa anak-anak yang bercerai mengalami pandangan /
perasaan pesimis (terhadap diri mereka sendiri dan hubungan intim di masa
depan) dan laporan harga diri yang rendah serta hasil pada bidang-bidang seperti
kinerja akademik, hubungan keluarga, dan kinerja dalam fungsi sehari-hari
(Carlson 2006 ; Cartwright 2008; Scabini dan Cigoli 2008; Sever, Guttmann, dan
Lazar 2008). Studi kualitatif telah menggambarkan anak-anak yang bercerai
sebagai mengalami kondisi emosional yang menyakitkan (yaitu kemarahan,
kecurigaan, kecemburuan, dll.) Serta mengamati penurunan yang signifikan dalam

40
tingkat harga diri, kepercayaan, dan komunikasi dengan teman sebaya mereka
(Cartwright 2008; Scabini dan Cigoli 2008). Scabini dan Cigoli (2008), misalnya,
menemukan bahwa laki-laki dari keluarga yang bercerai sering mengembangkan
rasa takut tidak mampu mempertahankan hubungan yang sehat dengan pasangan
dan anak-anak mereka di masa depan. )

Mereka akan merasa tidak percaya diri dalam hal menjalin suatu hubungan,
mereka takut tidak mampu mempertahankan hubungan yang baik. Karena anak-
anak korban perceraian orangtua mengalami tingkat emosional yang berbeda,
mereka memiliki rasa marah, curiga dan cemburu yang berlebih. Mereka takut
akan meluapkan emosional mereka kepada pasangan mereka. Mereka takut tidak
dapat megendalikan emosi dan gagal mejadi pasangan yang baik. Mereka juga
takut apa yang dilakukan sekarang berdampak pada anak-anaknyadimasa depan.
Dampak positif perceraian yakni baik untuk mental pasangan dan anak yang
tersakiti agar memiliki motivasi untuk bangkit dan menjadi pribadi yang lebih
baik)

“An analysis of qualitative data reveals common themes in the participants’


responses that complement the survey data. Half the participants reported that
they felt their parents’ divorce had had a positive impact on their ability to
maintain a relationship in some way, while three felt it had neither a positive nor
negative impact. The most common response to the question of impact was that
the participant would strive to perform better than their parents in their own
relationships by learning from their parents’ mistakes rather than repeat them”

( Analisis data kualitatif mengungkapkan tema umum dalam respons peserta yang
melengkapi data survei. Separuh peserta melaporkan bahwa mereka merasa
perceraian orang tua mereka memiliki dampak positif pada kemampuan mereka
untuk mempertahankan hubungan dalam beberapa cara, sementara tiga merasa itu
tidak memiliki dampak positif maupun negatif. Tanggapan paling umum untuk
pertanyaan dampak adalah bahwa peserta akan berusaha untuk melakukan lebih

41
baik daripada orang tua mereka dalam hubungan mereka sendiri dengan belajar
dari kesalahan orang tua mereka daripada mengulanginya.)

Seorang individu korban perceraian orang tua akan lebih bepikir ketika
menghadapi masalah dalam hubungannya, dia akan berpikir panjang bagaimana
cara mempertahankan hubungannya sebisa mungkun. Dia akan lebih
memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin akan membuat hubungan yang sedang
dia jalani tidak baik. Dia akan melakukan beberapa cara agar hubungan yang dia
miliki tetap berjalan baik, dia akan belajar dari pengalaman-pengalaman yang
pernah dia lihat dari orang tuanya. Individu akan merasa bahwa apa yang dialami
orang tua mereka jangan sampai terjadi atau terulang lagi pada dirinya, maka
sebisa mungkin dia akan membekali dirinya sendiri dengan berhati-hati dan
mampu menempatkan sesuatu dengan tepat agar hal-hal yang terjadi pada orang
tuanya tidak terulang pada dirinya. Namun banyak diantaranya anak korban
perceraian orang tua yang memilih tidak menjalin suatu hubungan dengan orang
lain, namun dibalik itu sebenarnya dia ingin menunjukkan pada orang lain bahwa
dia akan melakkan hal yang baik yang tidak seperti orang tuanya.

Additionally, Bernstein (2012) also found that young adults of divorce possess
more sympathy (possibly as part of a supportive coping mechanism), enthusiasm
(believed to be a result of motivation encouraged by the stressful experience of the
divorce), awe (experiencing a greater sense of gratitude and appreciation
towards relationships), and perspective taking than did young adults with
continuously married parents.

( Selain itu, Bernstein (2012) juga menemukan bahwa orang dewasa muda yang
bercerai memiliki lebih banyak simpati (mungkin sebagai bagian dari mekanisme
koping yang mendukung), antusiasme (diyakini sebagai hasil dari motivasi yang
didorong oleh pengalaman stres dari perceraian), kekaguman (mengalami rasa
terima kasih dan penghargaan yang lebih besar terhadap hubungan), dan
pengambilan perspektif dibandingkan orang dewasa muda dengan orang tua yang
terus menikah.)

42
Remaja korban perceraian orang tua akan memiliki rasa simpati yang lebih, dia
akan peduli terhadap rasa sakit yang dialami orang lain atau pasangannya, maka
dari itu sebisa mungkin dia akan melakukan yang terbaik yang tidak akan
menyakiti orang lain atau pasangannya. Antusias terhadap sesuatu yang dia lihat
atau dia terima, anak korban perceraian akan mereasa senang ketika orang lain
memberikan perhatian sekecil apapun itu, dia akan menerima apapun itu yang
diberikan orang lain. Kekaguman, disini anak korban perceraian orang tua
memiliki atau mengalami rasa terima kasih atau penghargaan yang lebih besar
terhadap hubungan. Tidak hanya hubungan dengan psangan saja tetapi hubungan
dia dengan teman, dia akan lebih memiliki rasa terima kasih kepada orang lain
yang sudah menerimanya dan sebagai tanda terima kasih tersebut dia akan
memberikan suatu penghargaan pada hubungan tersebut dengan melakukan hal
sebaik mungkin yang tidak menyakiti pihak manapun. Seringnya dia akan mersa
bersalah ketika di tidak mewujudkan seseatu yang diinginkan dalam hubungan.
Kondisi seperti ini yang terjadi dalam diri seseorang yang menjadi korban
perceraian orang tua yang belum tentu idrasakan oleh seseorang yang orang
tuanya masih utuh.)

This support coping style was found to be strongly correlated to three factors,
each representing a central theme of positive outcomes: empowerment (defined as
a subjective sense of growth, strength, and maturity), empathy (an increased
feeling of compassion for the pain of others), and relationshipsavviness
(acknowledging the complexity of intimate relationships and having realistic
expectations of them). Participants who reported primarily using the support
coping style experienced a greater sense of responsibility, maturity, self-
confidence, and inner strength, as well as a higher acceptance of their parents’
choices, weaknesses, and strengths. These ultimately contributed to the
participants’ understanding of intimate relationships, helping them to make peace
with their parents’ divorce as well as giving them an increased sense of
commitment for their own relationships (Sever et al. 2008).

43
( Gaya dukungan koping ini ditemukan berkorelasi kuat dengan tiga faktor,
masing-masing mewakili tema sentral dari hasil positif: pemberdayaan
(didefinisikan sebagai rasa subjektif pertumbuhan, kekuatan, dan kematangan),
empati (perasaan kasih sayang yang meningkat terhadap rasa sakit dari lain-lain),
dan hubungan yang bersahabat (mengakui kompleksitas hubungan intim dan
memiliki harapan yang realistis dari mereka). Peserta yang dilaporkan terutama
menggunakan gaya koping dukungan mengalami rasa tanggung jawab,
kedewasaan, kepercayaan diri, dan kekuatan batin yang lebih besar, serta
penerimaan yang lebih tinggi atas pilihan, kelemahan, dan kekuatan orang tua
mereka. Ini pada akhirnya berkontribusi pada pemahaman peserta tentang
hubungan intim, membantu mereka untuk berdamai dengan perceraian orang tua
mereka serta memberi mereka rasa komitmen yang meningkat untuk hubungan
mereka sendiri (Sever et al. 2008). )

Anak korban perceraian orang tua akan memiliki rasa tanggung jawab terhadap
sesuatu misalnya dalam suatu hubungan dia akan bertanggug jawab dengan
berkomitmen, ketika dia menjalin suatu hubungan dengan seseorang dia akan
lebih menghargai hubungan tersebut, akan bertanggung jawab memberikan arau
melakukan sesuatu yang memang harus dilakukan dalam hubungan tersebut.
Kedewasaan anak korban perceraian jangan diragukan lagi, dia akan menjadi
dewasa terhadap sesuatu yang dia lihat atau yang sedang terjadi, anak-anak
korban perceraian orang tua akan lebih realistis terhadap seseatu dan selalu
berpikir dengan logika. Dan mereka meiliki kekuatan batin yang lebih besar
diantara orang lain, karena mereka pernah melihat suatu kehancuran hebat dalam
hidupnya, maka ketika dia mendapati suatu masalah dia tidak cengeng dan lebih
kuat menhadapinya. Dia akan menganggap masalah adalah hal yang kecil dan
mudah ditaklukan, karena dia pernah melihat masalah terbesar dalam hidupnya
yang belum tentu orang lain tau. Mereka harus melihat pilihan hidup orang tuanya
untuk bercerai, mau tidak mau dia harus menerima, namun dalam hal ini
penerimaan berlangsung dalam jangka waktu yang lama mereka tidak langsung
dapat menerima hal tersebut begitu saja, perlu waktu untuk menerimanya dan

44
untuk dapat menyesuaikan kehidupanya setelah itu. Dia harus menyesuaikan
keadaan-keadaan yang biasanya didalamnya dilakukan oleh orang tua yang utuh.
Penerimaan keadaan dan pandangan orang lain terhadap dirinya dan keluarganya.

“In 2003, Kim Leon published an extensive review of the existing literature on
parental divorce and early childhood development in order to determine how
parental divorce affects young children’s developmental outcomes, risk and
protective factors influencing adaptation, and how early parental divorce affects
later adjustment.

( Hasil Pada tahun 2003, Kim Leon menerbitkan tinjauan luas literatur yang ada
tentang perceraian orang tua dan perkembangan anak usia dini untuk menentukan
bagaimana perceraian orang tua mempengaruhi hasil perkembangan anak-anak,
faktor risiko dan faktor pelindung yang mempengaruhi adaptasi, dan bagaimana
perceraian orang tua mempengaruhi penyesuaian nanti.)

Perceraian orangtua sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,


berpengaruh terhadap adaptasinya dengan lingkungan sekitar. Bagaimana dia
beradaptasi dengan teman sebaya, dengan keluarga dan dengan pasangannya. Dia
harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan keadaan setelah orang
tuanya bercerai. Karena setelah melihat perceraian orang tuanya dia akan
memiliki rasa dan pandangan yang berbeda terhadap sesuatu terlebih soal
komitmen atau hubungan.

“Males identified with the parent of the same gender and, without a proper role
model, became fearful that such undesirable traits were innate. Young women, on
the other hand, were more likely to focus on the importance of finding a reliable
partner. For them, the excessive maternal presence reinforced the need for
stability and unity in a familial setting (Scabini and Cigoli 2008). “

(Laki-laki diidentifikasi dengan orang tua dari jenis kelamin yang sama dan, tanpa
model peran yang tepat, menjadi takut seperti itu sifat-sifat yang tidak diinginkan
adalah bawaan. Sebaliknya, remaja putri lebih cenderung berfokus pada
pentingnya menemukan pasangan yang dapat diandalkan.)

45
Anak laki-laki korban perceraian orang tua meresa takut akan melakukan hal yang
sama seperti yang terjadi diantara orang tuanya. Terlebih lagi pandangan orang
lain dan lingkungan sekitar yang memandang bahwa ketika orangtuanya
melakakukan hal tersebut itu juga akan menurun pada anaknya. Dan sebisa
mungkin anak perembpuan akan mecari dan berusaha menemukan pasangan yang
tidak akan melakukan hal yang sama seperti orangtuanya. Dia akan lebih teliti
dalam menemukan pasangannya nanti. Dia tidak ingin merasakan apa yang
orangtuanya alami, namun sebisa mungkin dia tidak menunjukkan latar belakang
keluarganya kepada pasangannya. Karena dia juga takut pasangannya tersebut
tidak bisa menenrima latar belakang keluarganya yang orang tuanya bercerai.
Karena balik lagi anak korban perceraian orangtua memiliki emosional yang
itnggi terhdap seseatu. Namun sebisa mungkin dia akan menjadi baik dan lebih
baik lagi agar dia tidak merasakan apa yang dialami orangtuanya. Karena anak
perempuan kehilangan sosok ayah maka dari itu dia akan mencari pasangan yang
mampu mengimbanginya. Dia membutuhkan sosok yang bisa memperhatikannya
seperti ketika dia diperhatikan oleh ayah atau orangtuanya. Anak perempuan
korban perceraian akan lebih selektif lagi dalam mencari pasangan hidupnya.

Further, the results of this study aligned with the notion that males from divorced
families had a higher chance of becoming unsure of their ability to have a healthy
relationship with their partners, primarily because they were not sure how a
healthy relationship was supposed to turn out.

(Lebih lanjut, hasil penelitian ini sejalan dengan gagasan bahwa laki-laki dari
keluarga yang bercerai memiliki peluang lebih tinggi untuk menjadi tidak yakin
akan kemampuan mereka untuk memiliki hubungan yang sehat dengan pasangan
mereka, terutama karena mereka tidak yakin bagaimana hubungan yang sehat
seharusnya berubah.)

Karena mereka merasa akan menjadi ayah dikemudian hari, maka dari itu meraka
takut gagal dalam menjalin suatu hubungan. Takut tidak dapat diterima dengan
baik oleh pasangan karena latar belakang keluarganya. Mereka selalu tidak yakin

46
terhadap pilihan yang dia pilih maka dari itu banyak dari mereka yang tidak dapat
mempertahankan hubungannya. Namun bukan hanya itu faktor kurangnya
kepercayaan juga menjadi salah satu hal yang membuat dia tidak yakin untuk
menjalin hubungan.

Being able to recognize the pitfalls of romantic relationships and how to avoid or
properly remedy them as a result of having experiences parental divorce reveals a
silver lining that one can expect from such a scenario.

(Mampu mengenali jebakan dalam hubungan romantis dan bagaimana cara


menghindarinya atau memperbaikinya dengan benar sebagai akibat dari memiliki
pengalaman perceraian orang tua mengungkapkan garis perak yang dapat
diharapkan seseorang dari skenario semacam itu.)Seorang anak korban perceraian
akan lebih mengerti keadaan-keadaan dalam suatu hubungan, dia akan lebih peka
terhadap tingkah laku seseorang yang cenderung kurang baik dalam hubungan.
Dia akan memberikan pertahanan dirinya agar mampu menghindari rasa sakit dari
suatu hubungan, dia akan belajar memperbaiki hubungannya seseuia dengan
pengalaman yang dia lihat dari orangtuanya.)

https://www.children-and-divorce.com/child-psychology-divorce.html

H. Hal-hal yang terjadi pada anak korban perceraian

-Ketika rumah tangga berakhir, anak kadang menjadi korban. Ada beberapa hal
yang bisa terjadi pada anak saat orang tuanya bercerai.

 Anak Jadi Paranoid

Rumah tangga yang runtuh berisiko besar menghilangkan rasa percaya,


kedamaian, hingga harapan anak. Akibatnya, anak berkembang menjadi pribadi
paranoid. Sifat tidak percaya itu dapat membuat anak mengalami kemunduran
dalam pergaulan. Entah dia menarik diri dan bersembunyi dalam kesendirian atau

47
sebaliknya menjadi pribadi yang kasar.
Anak Jadi Pembangkang

Dampak negatif lainnya, anak bisa menjadi pembangkang. Anak merasa tak
dihargai orang tuanya sehingga membalas dengan bertindak semaunya.
Anak Jadi Minder

 Pada kasus lain anak juga bisa jadi peragu dan minder. Hal itu bisa terjadi
karena kepercayaan dirinya luruh. Pasalnya, pendapatnya tak pernah
didengar dan dihargai orang tuanya.
Merasa Bersalah

Yang paling fatal adalah jika anak sampai menyalahkan diri sendiri dan
menganggap dialah penyebab orang tuanya bercerai. Anak-anak yang masih muda
(di bawah usia 12 tahun) sangat rapuh menghadapi kenyataan pahit perpisahan
orang tuanya. Mereka melihatnya sebagai masalah berat karena kapasitas
mengolah informasi dalam pikiran mereka masih terbatas. Imbasnya, timbul rasa
bingung hingga menimbulkan asumsi. Salah satunya adalah asumsi, ‘Jangan-
jangan mama papa berpisah karena saya’.

Baik-Baik Saja

Perceraian tidak selalu berakibat buruk pada anak. Ada juga tipe anak yang meski
kedua orang tuanya bercerai, ia tampak baik-baik saja. Mereka tipe anak-anak
yang berkepribadian lebih kuat, berani, dan matang dalam menghadapi kenyataan.
Namun, bukan berarti anak yang diam dan berlagak tidak peduli, tidak merasa
terluka. Ketidakpedulian yang ditunjukkan bisa jadi sebuah mekanisme
pertahanan diri anak agar ia survive menghadapi cobaan berat hidupnya. Di luar
tampak tegar dan tenang, namun di dalam hatinya hancur lebur. Ini juga perlu
diwaspadai. Karena itu, orang tua harus selalu peka dan membantu anak
memahami kondisi tak ideal yang harus terjadi.
Namun Anda juga perlu tahu bahwa dengan arahan yang bijak dari kedua orang
tua dan lingkungan, sebenarnya perceraian tak harus membuat si kecil tumbuh

48
dalam luka dan duka. Diperlukan peran orang tua agar anak-anak tidak menjadi
korban dari perceraian.

I. Upaya Pencegahan Perceraian

Proven Divorce Prevention Techniques That Save Marriages

Over the years now we have tested several proven marriage counseling
techniques, and your therapist will work with you and your spouse to discover the
best method(s) for your marriage. Here are some examples:

 Positive Psychology puts a specific focus on the positive components of


the married couple’s character strengths, positive emotions and past
experiences. These factors along with other productive aspects of the
marriage are explored to promote happiness that is an outcome of those
experiences, and then the counseling sessions can build upon that
momentum.
 The Gottman Method uses proven marriage counseling techniques to
increase closeness in marriage, affection for each other, and mutual
respect. Married couples work together and openly discuss their problems
in a controlled and calm exchange of words and solution-based
conversation.
 Biblically based marriage counseling is offered when a couple allows
God and His Word to be an active and integral part of the counseling
sessions. Trained biblically sound therapists can use the wisdom of
scripture to seek out principles to help couples choosing to be submissive
to God’s plan for their lives.
 Analyzing Communication is a technique that can dramatically improve
how a couple communicates, and this careful analysis of the methods
married people use to communicate offers tremendous insight into
common miss-interpretations. With this information your therapist can
guide you both towards functional forms of communication and begin to
alleviate misunderstandings.

49
 Individual Counseling is always recommended in situations where only
one person is willing to seek marriage counseling and marriage therapy.
This is an important step to preventing divorce, but remember the best
outcome takes place after both people have become fully committed to
divorce prevention and are actively seeking help with a professional
therapist.
 Exploring Unconscious Roots of Problems is another divorce prevention
technique that is very effective. During this therapy unconscious root
problems are explored. Occasionally, previous life events and early
childhood experiences are discovered in therapy and can be re-shaped
into positive and functional memories.

Divorce Prevention can work when married couples come together with a
qualified therapist. In place of divorce, a couple can pursue a clinically sound
program of regaining the love and joy they once held in their marriage, and
reestablish a home environment where the entire family may thrive once again.

(Teknik Pencegahan Perceraian Yang Terbukti Menghemat Pernikahan

Selama bertahun-tahun sekarang kami telah menguji beberapa teknik konseling


perkawinan yang terbukti, dan terapis Anda akan bekerja dengan Anda dan
pasangan Anda untuk menemukan metode terbaik untuk pernikahan Anda.
Berikut ini beberapa contohnya:

• Psikologi Positif menempatkan fokus khusus pada komponen positif dari


kekuatan karakter pasangan menikah, emosi positif dan pengalaman masa lalu.
Faktor-faktor ini bersama dengan aspek produktif lainnya dari pernikahan
dieksplorasi untuk mempromosikan kebahagiaan yang merupakan hasil dari
pengalaman-pengalaman itu, dan kemudian sesi konseling dapat membangun
momentum itu.

• Metode Gottman menggunakan teknik konseling perkawinan yang terbukti


untuk meningkatkan kedekatan dalam pernikahan, kasih sayang satu sama lain,

50
dan saling menghormati. Pasangan yang sudah menikah bekerja bersama dan
secara terbuka mendiskusikan masalah mereka dalam pertukaran kata yang
terkendali dan tenang dan percakapan berbasis solusi.

• Konseling pernikahan berbasis Alkitab ditawarkan ketika pasangan mengizinkan


Allah dan Firman-Nya menjadi bagian aktif dan integral dari sesi konseling.
Terapis yang terlatih secara Alkitabiah dapat menggunakan kebijaksanaan tulisan
suci untuk mencari asas-asas untuk membantu pasangan yang memilih untuk
tunduk pada rencana Allah bagi kehidupan mereka.

• Menganalisis Komunikasi adalah teknik yang secara dramatis dapat


meningkatkan cara pasangan berkomunikasi, dan analisis yang cermat terhadap
metode yang digunakan orang yang menikah untuk berkomunikasi menawarkan
wawasan yang luar biasa tentang interpretasi yang salah. Dengan informasi ini,
terapis Anda dapat membimbing Anda berdua ke bentuk komunikasi fungsional
dan mulai mengurangi kesalahpahaman.

• Konseling Perorangan selalu dianjurkan dalam situasi di mana hanya satu orang
yang bersedia mencari konseling pernikahan dan terapi pernikahan. Ini adalah
langkah penting untuk mencegah perceraian, tetapi ingatlah bahwa hasil terbaik
terjadi setelah kedua orang berkomitmen penuh untuk pencegahan perceraian dan
secara aktif mencari bantuan dengan terapis profesional.

• Menjelajahi Akar Masalah yang Tidak Sadar adalah teknik pencegahan


perceraian lain yang sangat efektif. Selama terapi ini masalah akar yang tidak
disadari dieksplorasi. Kadang-kadang, peristiwa kehidupan sebelumnya dan
pengalaman anak usia dini ditemukan dalam terapi dan dapat dibentuk kembali
menjadi memori positif dan fungsional.

https://perspectivesoftroy.com/divorce-prevention/

51
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perceraian ialah berakhirnya suatu pernikahan saat kedua pasangan tidak ingin
melanjutkan kehidupan pernikahannya. Perceraian merupakan terputusnya
keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling
meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami
istri. Dalam perspektif psikologi, suasana keluarga yang tidak lagi kondusif
memperkuat niat pasangan suami isteri untuk bercerai. Agoes menambahkan,
perceraian sering diawali dengan kondisi dimana suami dan isteri merasa jauh
secara emosional dengan pasangan hidupnya (psycho-emotional divorce),
walaupun mungkin mereka masih tinggal dalam satu rumah. Pertemuan secara
fisik, tatap muka, berpapasan atau hidup serumah, bukan tolak ukur sebagai tanda
keutuhan hubungan suami-istri. Masing-masing mungkin tidak bertegur-sapa,
berkomunikasi, acuh tak acuh, “cuek”, tidak saling memperhatikan dan tidak
memberi kasih-sayang. Kehidupan mereka terasa hambar, kaku, tidak nyaman,
dan tidak bahagia. Dengan demikian, dapat dikatakan walaupun secara fisik
berdekatan, akan tetapi mereka merasa jauh dan tidak ada ikatan emosional
sebagai pasangan suami-istri.

Pada dasarnya faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian sangat unik dan
kompleks dan masing-masing keluarga berbeda satu dengan lainya. Adapun
beberapa faktor umum yang menyebabkan terjadinya perceraian yaitu:Faktor
ekonomi.Tingkat kebutuahan ekonomi yang meningkat dijaman sekarang ini
memaksa kedua pasangan haru bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga, sehingga sering kali perbedaan pendapatan atau gaji membuat tiap
pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami tidak memiliki pekerjaan. Faktor
usia, faktor usia yang terjadi dalam perceraian dalam suatu ikatan perkawinan di
lakukan pada usia muda, karena mereka di dalam dirinya sedang mengalami
perubahanperubahan secara psikologis. Adanya ketidaksesuaian pendapat didalam

52
keluarga dan faktor kurangnya pengetahuan agama, uyang menjadikan pasangan
suami isti memutuskan untuk saling bercerai yang secara tidak sadar dapat
merugikan bagi anak dan keluarga.

SARAN

Perceraian telah menjadi lebih umum dan diakui sebagai sesuatu yang

mungkin terjadi dalam kehidupan seseorang. Masalah dan kasus perceraian telah
menjadi salah satu topik terpanas di sektor media.
Perceraian merupakan sebuah hal yang buruk baik bagi individu maupun bagi
anak..

Solusi dari kasus perceraian yaitu harus mempertimbangkann lagi apakah benar-
banar harus bercerai, harus di fikir secara matang-matang akan kerugian yang
akan didapatnya nanti. Perceraian akan memberikan dampak buruk pada psikologi
ank,seharusnya orang tua mempentingkan nasib anaknya ketimbang egonya
masing-masing.

53
Lampiran

Nikah, Talak dan Cerai, serta Rujuk, 2007–2016

54
55
Menurut data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam
`“Statistik Indonesia 2018’, sebuah publikasi kompilasi data statistik
tahunan di Indonesia, jumlah seluruh kasus perceraian yang terjadi di
Indonesia pada tahun 2017 adalah sebanyak 374.516 kasus perceraian. Hal
tersebut sudah seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua. Jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya maka didapatkan suatu
kenaikan yang cukup stabil. Jumlah seluruh kasus perceraian di Indonesia
pada tahun 2016 adalah 365.654 kasus perceraian. Sementara jumlah
seluruh kasus perceraian di Indonesia pada tahun 2015 adalah 353.843

56
kasus perceraian. Lebih lanjut, jika dibuat perhitungan presentase laju
kenaikan kasus perceraian di Indonesia setiap tahunnya, maka didapatkan
bahwa terjadi kenaikan sebesar 11.811 kasus perceraian atau 3,33% dari
tahun 2015 ke tahun 2016. Sementara kenaikan pada tahun 2016 ke tahun
2017 adalah sebesar 8.862 kasus perceraian atau 2,42%. Data yang
dimiliki oleh BPS tersebut, khususnya pada data tahun 2017, tampak
sesuai dengan jumlah cerai talak dan cerai gugat pada data milik
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag) Mahkamah
Agung pada tahun yang sama. Data Perceraian per Projymk-vinsi di
Indonesia Jumlah perceraian di Indonesia setiap provinsi bervariasi.
Berdasarkan data yang dilansir oleh BPS dalam ‘Statistik Indonesia 2018’,
maka Provinsi Jawa Timur (87.475 kasus), Provinsi Jawa Barat (79.047
kasus), dan Provinsi Jawa Tengah (69.857 kasus) menempati urutan
pertama, kedua, dan ketiga dalam hal jumlah kasus perceraian terbanyak di
Indonesia pada tahun 2017. Jawa Timur secara konsisten menempati
urutan pertama jumlah kasus perceraian di Indonesia selama tiga tahun
terakhir, dengan jumlah kasus perceraian sebanyak: 87.475 kasus (tahun
2015); 86.491 kasus (tahun 2016); dan 84.839 kasus (tahun 2017).
Sementara Jawa Barat dan Jawa Tengah saling berganti urutan antara
kedua dan ketiga dalam jumlah kasus perceraian terbanyak di Indonesia
selama tiga tahun terakhir. Jawa Barat memiliki jumlah kasus perceraian
sebanyak: 70.293 kasus (tahun 2015); 75.001 kasus (tahun 2016); dan
79.047 kasus (tahun 2017). Sementara Jawa Tengah memiliki jumlah
kasus perceraian sebanyak: 71.901 kasus (tahun 2015); 71373 kasus (tahun
2016); dan 69.857 kasus (tahun 2017). Berikut adalah tabel perceraian di
seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2015-2017.
Sumber: Tiga Provinsi dengan Jumlah Perceraian Tertinggi

57
GRAFIK

Gafik Sisa Perkara 2017


1400
1171
1200 1115
1009 1052 1041 998
Jumlah Sisa Perkara

948 965 950 973


1000 844
750
800
600 Kota Tegal

400 Kab. Brebes


150 152 140 172 165 141 137 136
200 110 127 125 141
0

Grafik Perkara Masuk 2017


900
800 762
Jumlah Perkara Masuk

700
572
600
500 465 450
430 423
389
400 336 352 335
275 Kota Tegal
300
200 135 Kab. Brebes
61 48 80 57 48
100 39 43 42 23 32 38 36
0

Bulan

58
Grafik Putusan Gugatan 2017
700 627
600
Jumlah Putusan Perkara

486
500 464 441 466
405 404 407
400 341 365
329
300 229 Kota Tegal

200 Kab. Brebes

100 44 41 40 48 64 56 52 38
32 34 35 36
0
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agus Sep Okt Nov Des
Bulan

Grafik Minutasi Gugatan 2017


450
387 386
400 365
343 349 345 340
350 311 293
Jumlah Minutasi

300 271 253


250
200
150 105 Kota Tegal
100 47 44
41 30 30 27 27 28 37 38 39 33 Kab. Brebes
50
0

Bulan

59
Grafik Sisa Perkara 2018
1141 11151114
1200 1070 1037
962 982
1000 908 866 908 840
Jumlah Sisa Perkara

748
800

600
Kota Tegal
400 Kab. Brebes
188 200 218 189
200 139 135 133 137 131 121 114 106

Grafik Perkara Masuk 2018


772
800
700 602
Jumlah Perkara Masuk

600 486 490 497


500 395 376 415 421
328 357
400 285
300
Kota Tegal
200 116
63 41 49 68 75 60 57 43 Kab. Brebes
100 37 36 18
0

Bulan

60
Grafik Putusan Gugatan 2018
590
600 553
503 498
472
Jumlah Putusan Gugatan

500 440 445 421 412


373 373
400
300 236
200 Kota Tegal
67 56 57 72 74 80
100 42 45 42 46 25 42 Kab. Brebes

Bulan

Gafik Minutasi Gugatan 2018


942
1000
900
800
Jumlah Minutasi

700
600 527 532
474
421
500 366 400 331 356 373
400 297 338
300 Kota Tegal
200 55 57 68 74 80 Kab. Brebes
29 40 33 38 13 37 46
100
0

Bulan

61
Daftar Pustaka

http://www.persuratan.com/2017/09/surat-permohonan-gugat-cerai.html

https://docs.google.com/document/d/15aiZ0MPhnUI-QEQz-
ppniAzca4v0drX9g3yOONXyecc/edit

https://smartlegal.id/smarticle/layanan/2018/12/20/tiga-provinsi-dengan-jumlah-
perceraian-tertinggi/

https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/893

https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/2739/2797

(jurnal Efek Perceraian Orangtua pada Komitmen Perkawinan dan


Kepercayaan Sarah W. Whitton Universitas Boston Galena K. Rhoades, Scott M.
Stanley, dan Howard J. Markman Universitas Denver)
https://media.neliti.com/media/publications/57675-ID-analisis-perceraian-dalam-
kompilasi-huku.pdf
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://urj.ucf.edu/doc
s/mohi.pdf&ved=2ahUKEwjEiZy3_NLlAhUIWCsKHcezCgAQFjACegQIARAB
&usg=AOvVaw2h35wB8x_j44-4Iy5Fk39b
http://journal.konselor.or.id/index.php/counsedu/article/viewFile/72/pdf
Sumber : http://www.pa-tegal.go.id/

https://www.children-and-divorce.com/child-psychology-divorce.html

https://perspectivesoftroy.com/divorce-prevention/

62

Anda mungkin juga menyukai