Anda di halaman 1dari 49

TERJADINYA BATU SALURAN KENCING

Batu saluran kencing merupakan penyakit yang sering terjadi, yang menimbulkan rasa sakit hebat dan
dapat berakibat kegagalan fungsi ginjal apabila tidak mendapat penanganan secara cepat dan tuntas.
Di Amerika Serikat insiden batu saluran kencing sekitar 36 setiap 100.000 penduduk pertahun. Di Indonesia
batu saluran kencing merupakan penyakit penyebab gagal ginjal nomer 2 bersama sama infeksi saluran
kencing.
Patogenesis batu saluran kencing masih belum jelas, banyak faktor yang berperan , namun penelitian
terhadap batu ini tidak banyak dilakukan oleh para ahli.
Pada awalnya ahli bedah berpendapat tindakan bedah sudah memecahkan masalah, tetapi pada akhirnya
tindakan bedah yang diikuti dengan penanganan secara konservatif hasilnya lebih memuaskan.
Untuk penanganan batu saluran kencing secara konservatif harus diketahui patogenesis, jenis batu dan
ketepatan diagnosa. Analisa laboratorium diperlukan untuk mengetahui jenis, sifat dan komposisi batu.

II. PATOGENESIS

Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti terjadinya batu saluran kencing. Diduga akibat interaksi
antara faktor genetik dengan beberapa faktor biologik, serta faktor lain.
Faktor genetik yang diduga berpengaruh adalah :
- septiuria,
- hiperkalsiuria primer,
- dan hiperoksaliuria primer.
Adapun faktor biologiknya adalah :
- supersaturasi urin,
- kekurangan faktor proteksi,
- perubahan pH urin
- nucleasi serta faktor yang dapat melekatkan kristal tubulus renalis.
Sedangkan faktor lain yang menunjang terjadinya batu adalah :
- jenis kelamin : pria : wanita = 3:1
- ras : lebih sering ditemukan di Asia dan Afrika,
- faktor keturunan
- kebiasaan minum: banyak minum meningkatkan diuresis mencegah terjadinya batu
- mobilitas: orang yang banyak bergerak mempunyai resiko lebih kecil dibanding orang yang kurang
bergerak (banyak duduk)
- sosial ekonomi: batu saluran kencing bagian atas lebih banyak diderita oleh masyarakat dengan sosial
ekonomi tinggi (lebih banyak mengkonsumsi protein hewani dan karbohidrat), dan sebaliknya penderita dari
tingkat sosial ekonomi rendah (vegetarian) lebih banyak menderita batu saluran kencing bagian bawah.
- Geografis : penduduk di daerah dengan suhu panas (tropika) diduga kuat mempunyai resiko lebih tinggi,
karena produksi keringat yang lebih banyak sehingga mengurangi produksi urin.
- Infeksi: belum jelas apakah infeksi menyebabkan terjadinya batu atau sebaliknya.

Supersaturasi merupakan penyebab terpenting dalam proses terjadinya batu saluran kencing. Supersaturasi
adalah terdapatnya bahan tertentu di dalam urin yang melebihi batas kemampuan cairan urin untuk
melarutkannya.
Bahan-bahan tersebut adalah garam-garam dari oksalat, asam urat, sistein dan xantin. Garam tersebut
apabila dalam konsentrasi yang tinggi disertai dengan pengurangan volume urin akan mengakibatkan
terjadinya kristalisasi.

Faktor biologis lain yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya batu saluran kencing adalah :

1. Faktor Proteksi :

Di dalam urin normal terdapat faktor proteksi seperti : magnesium, sitrat, pirofosfat dan berbagai protein
enzim seperti glikopeptida zinc, ribonuceleid acid dan khondroitin sulfat, neprocalcim A, uropontin dan
glicosanminoglycan.
Ketiga yang terakhir merupakan proteksi batu kalsium. Bahan ini dapat menghambat pembentukan batu
dengan berbagai cara, seperti: memecah kristal yang sudah terbentuk, membungkus kristal sehimgga tidak
melekat dan memebuat garam-garam urin guna menghambat pembentukan kristal.
Pada orang yang cenderung menderita batu saluran kencing, kadar zat proteksi di atas rendah, sementara
infeksi akan mengurangi kadar dan aktivitas bahan proteksi dalam urin.

2. PH Urin :

PH urin dalam sehari kadarnya bervariasi, tetapi pH rata-rata batas toleransi adalah antara 5,6 – 6,5.
Perubahan pH urin ke arah lebih asam atau lebih basa akan mendorong terbentuknya kristal garam.
Urin dengan pH asam memudahkan terbentuknya batu asam urat, sedangkan urin dengan pH basa akan
memudahkan terbentuknya batu kalsium dan batu struvit.

3. Nucleasi

Adanya partikel debris, ireguler di dinding saluran kencing. Kristal yang terbentuk dapat merupakan inti
kristal untuk terbentuknya batu.
Debris sendiri terjadi karena adanya benda asing, stagnasi aliran urin, obstruksi, kelainan congenital ginjal
(ginjal kistik, divertikel kolitis, medulla sponge kidney) dan infeksi.

Beberapa Sifat Batu Saluran Kencing :

1. Batu Kalsium

Penyebab adanya batu kalsium tidak diketahui dengan pasti, sehingga adanya batu ini di saluran kencing
disebut Nephrolithiasis Idiopatic.
Diduga terjadinya batu ini karena adanya ketidakseimbangan antara faktor pemicu dan penghambat
pembentuk batu berupa hiperkalsiuri, hiperkalsemi, hiperoksaloria dan rendahnya kadar sitrat.
Faktor genetik diperkirakan berperan kurang lebih 45 % dari batu kalsium ini.

Patogenesis terjadinya hiperkalsiuri:

a. Absorbsi kalsium yang berlebih di dalam intestinum, didukung faktor genetik (diduga ada defek gen yang
mengetur regulasi kalsitriol, hormon yang berperan dalam meningkatkan absorbsi kalsium).
b. Kelebihan klorid (ion negatif) : Kalsium dalah ion positif yang mampu bergabung satu dengan yang lain,
artinya kelebihan klorid akan setara dengan kelebihan kalsium.
c. Kebocoran kalsium pada ginjal (renal kalsium leak) merupakan kegagalan filtrasi kalsium pada
glomerulus sehingga terjad hiperkalsiuri.
d. Kelebihan Sodium : Absorbsi kalsium di tubuli ginjal diikuti absorbsi sodium dan air. Kadar sodium pada
urin yang tinggi akan menunjukkan kadar kalsium yang tinggi pula.
Adanya defek system tubuli ginjal mengakibatkan ketidak seimbangan anatara sodium dan fosfat yang
menyebabkan peningkatan kadar kalsium dalam urin.
Asupan garam yang berlebihan juga mengakibatkan hal yang sama.
e. Beberapa jenis kanker dan sarcoidosis dapat mengakibatkan hiperkalsiuri.
f. Beberapa obat (hormone tyroid, diuretica) dapat menimbulkan hiperkalsiuri.

Patogenesis terjadinya hiperkalsemi:

Terjadi bila ada pemecahan di dalam tulang yang mengakibatkan lepasnya ion kalsium ke dalam darah, hal
ini terjadi pada keadaan :
a. Hiperparatiroidisme, + 5 % kasus batu kalsium.
b. Renal tubuler asidosis, hal ini dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa, keadaan ini
tidak hanya mengakibatkan kadar kalsium di dalam darah meningkat, tetapi juga dapat mengurangi kadar
sitrat dalam urin.

Patogenesis terjadinya hiperoksaloria:

Oksalat biasanya disebut sebagai asam oksalat yang berkombinasi dengan kalsium membentuk batu
kalsium oksalat, yang merupakan batu komposisi terbanyak.
Hiperoksaloria terjadi pada 30% batu kalsium, dan merupakan penyebab tersering dibanding dngan
hiperkalsiuri. Namun demikian banyak batu oksalat tidak selalu mengeluarkan oksalat lebih banyak di urin
dibanding pada orang normal.
Tubuh manusia tidak dapat memetabolisme oksalat, olah karenanya ekskresi melalui ginjal merupakan satu
cara untuk mengeliminasi. Apa bila terjadi gagal ginjal maka akan terjadi deposit oksalat pada organ tubuh,
seperti: system konduksi jantung, parenchim ginjal, ruang sendi, dinding pembuluh darah, tulang dsb. Pada
hiperoksaloria dapat berakibat batu kalsium oksalat berulang dan gagal ginjal.

Patogenesis rendahnya kadar sitrat (Hipositraturia) :

Walaupun penyebab rendahnya kadar sitrat belum diketahui dengan pasti, beberapa factor diduga sebagai
pencetusnya yaitu : Renal tubulus asidosis, defisiensi potassium, atau magnesium, ISK dan diare kronik.

Beberapa ahli membedakan Batu Kalsium menjadi :

1. Primer / Idiopatik (80-90% kasus) disebabkan beberapa kelainan metabolisme berupa : hiperabsorbsi,
atau penurunan reabsorbsi di ginjal.
2. Sekunder, dimungkinkan akibat hiperparatiroid, hiperoksaloria primer, asidosis renal tubuler. metabolisme
berupa : hiperabsorbsi, penurunan reabsorbsi di ginjal.

2. Batu Asam Urat


Terjadi karena konsentrasi kristal asam urat yang sangat tinggi di urin, alaupun tanpa hiperurikemi dan
tanpa hiperurikosuri.
Kristal tersebut berasal dari purin, sebuah hasil akhir metabolisme protein.
Pembentukan batu tidak selalu berhubungan dengan keasaman urin, walaupun pada sebagian besar batu
asam urat terjadi pada keasaman urin persisten (80-90%), tetapi dapat pula terjadi pada urin normal atau
basa.

Beberapa factor yang berperan dalam terjadinya hiperurikosuri adalah :


a. factor genetic
b. diet tinggi protein hewani
c. penyakit Gout
d. obat-obatan: khemoterapi, diuretic, salisilat
e. keracunan logam timbal
f. penyakit darah (leukemia, mieloma multiple, limfoma)
g. diare kronik.

Hiperurikosuri juga memegang peranan dalam pembentukan dalam pembentukan batu kalsium oksalat,
dalam hal ini urat berperan sebagai inti (nidus) dari batu, kemudian diselaputi oleh kristal oksalat.

3. Batu Infeksi

Terjadi akibat infeksi saluran kencing oleh kuman Proteus dan beberapa strain E.Coli yang dapat merubah
urea menjadi amonia dan CO2.
Batu infeksi mengandung magnesium ammonium fosfat dengan kombinasi yang bervariasi dengan kalsium
fosfat.
Batu jenis ini di ginjal biasanya tumbuh menjadi besar yang memenuhi pelvis ginjal (stag horn calculi) yang
lama kelamaan bisa merusak ginjal.

Faktor yang berpengaruh terhadap terbentuknya batu infeksi adalah :


a. pH urin yang tinggi (alkalis)
b. konsentrasi ammonium yang tinggi
c. kenaikan jumlah nucleoprotein akibat proses peradangan
d. penurunan jumlah sitrat dan pirofosfat akibat degenerasi kuman.

Batu jenis ini biasanya didapatkan pada penderita yang sebelumnya mengalami penyempitan akibat
kelainan congenital, prostate hipertrofi dan penyempitan ureter.

III. GEJALA KLINIK

1. Anamnesa

Abdominal pain atau nyeri perut, spesikasi keluhan berdasarkan letak batu.

LOKASI BATU KELUHAN


GINJAL Nyeri pinggang ringan, hematuria
URETER PROXIMAL Colic ginjal, nyeri pinggang, nyeri abdomen atas
URETER TENGAH Colic ginjal, nyeri pinggang, nyeri abdomen depan
URETER DISTAL Colic ginjal, nyeri pinggang, nyeri abdomen depan, disuria, urinaria frekwency

2. Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri ketuk pinggang atas.
b. Pada hidronephrosis atau ginjal polikistik, teraba masa kistik
c. Pada obstruksi saluran kemih bawah teraba kandung kemih
d. Obstruksi akut sering menyebabkan kenaikan tekanan darah (karena gangguan ekskresi Natrium, retensi
air dan aktivitas sistem renin angiotensin).
e. Hipotensi dapat terjadi pada keadaan obstruksi partial dengan poliuri.

3. Laboratorium

a. Analisa:
- hematuria
- piuria
- bakteriuri
- deposit kristal
- proteinuria ringan

b. Pemeriksaan Darah :
- polisitemia
- ureum creatinin meningkat
- asidosis hipocloramik

IV. DIAGNOSA

1. Keluhan / Gejala

Nyeri abdominal / colic pinggang menyebar ke daerah selangka dan gonad, mual, muntah atau tak
bergejala.

2. Laboratorium :
a. Urin lengkap : hematuria, piuria, kristaluria
b. Darah lengkap : polisitemia, kenaikan ureum – creatinin
c. Analisa batu : batu jenis kalsium, kalsium oksalat, asam urat, sistein, xantin atau batu infeksi.

3. Pemeriksaan Penunjang :
a. USG : untuk batu kecil sulit dilihat, begitu pula bila produksi urin berkurang sulit untuk melihat adanya
sumbatan.
b. Rongent foto polos abdomen : terutama untuk batu radio opak (dapat dilihat ukuran, bentuk dan
lokasinya)
c. IVP (Pyelografi intravena) : tidak dianjurkan pada ginjal yang sudah mengalami penurunan fungsi.
d. CT Scan tanpa kontras dan MRI : cepat, akurat, dapat mengenali semua tipe batu di berbagai lokasi,
jenis batu dengan densitasnya, dan dapat menyingkirkan nyeri abdomen yang bukan batu saluran kencing
seperti : aneurisma aorta, cholelithiasis.

V. DIAGNOSA BANDING

Beberapa Faktor penyebab nyeri/colic abdomen adalah :

1. Faktor Intrinsik

a. Intraluminal berupa :
- deposit kristal intra tubuler (obat-obatan, asam jengkol)
- bekuan darah karena trauma ginjal, jaringan nekrose (papila, kista atau tumor ginjal)

b. Intramural berupa :
- fungsional: disfungsi ureteropelvik, vesico-uretero junction.
- Autonom : tumor, granuloma, infeksi.

2. Faktor Ekstrinsik

a. Berasal dari organ reproduksi


- carcinoma cervik, kehamilan extrauteri, myoma, prolap uteri, endometriosis, infeksi, kista ovarii, abses
- prostat hipertrofi, carcinoma prostate

b. Berasal dari Vaskular


- aneurisma aorta / arteri iliaca
- arteri aberan pada ureteropelvik

c. Berasal dari gastrointestinal


- pembesaran kelenjar limfe
- fibrosis oleh karena obat (beta bloker)
- tumor, hematom.

VI. PENDEKATAN DIAGNOSA


VII. PENGELOLAAN

Pengelolaan setelah terdeteksi batu dengan melalui 2 cara :

1. Mengeluarkan batu

a. Tindakan : Bedah, Litotripsi, ESWL.


Indikasi batu harus dikeluarkan dengan tindakan, bila:
- Sumbatan total / subtotal lebih dari 6 minggu tanpa ada penurunan
- Infeksi di atas batu
- Ukuran batu > 0,5 cm dan tidak ada penurunan
- Nyeri hebat yang tidak teratasi dengan analgetik kuat
- Sumbatan satu ginjal yang menyebabkan uremia
- Gagal Ginjal Kronis.

b. Konservatif
Dikerjakan bila tidak memenuhi kriteria tindakan.

2. Mencegah kekambuhan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Andersen, D.A. 1962. The nutritional significance of primary bladder stones. Br J.Urol. 34 : 160-177.
2. Aronson, M.D., Rose B.D. 2003. Diagnosis and Acute Management of Suspect Nephrolithiasis. Uptodate.
12.1.
3. Budi Raharjo dan Suwito, A. 1986. Batu Saluran Kencing di Rumah Sakit Dr.Kariadi Semarang.
Simposium Batu Kandung Kencing di Semarang, 11 Agustus, pp 38-51.
4. Pyrah, L.N., 1979. Renal Calculus, 1 st ed. Springer, New York.
5. Reilly, R.F. 2000. The Patient with Renal Stones in Schrier, R.W., (eds). Manual of Nephrology. 5 th ed.,
Lippincolt, William and Willkins, Philadelphia, pp : 81-90.
6. Sja’bani, M.2001. Pencegahan Kekambuhan Batu Ginjal Kalsium Idiopatik dalam Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah ke III Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UGM. Yogyakarta; hal 46-64.

Fraktur Coles

Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang biasa terjadi pada pergelangan tangan.
Umumnya terjadi karena jatuh dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-anak dan
lanjut usia. Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur, tangan akan tiba-tiba menjadi kaku, dan
kemudian menyebabkan tangan memutar dan menekan lengan bawah. Jenis luka yang terjadi akibat
keadaan ini tergantung usia penderita. Pada anak-anak dan lanjut usia, akan menyebabkan fraktur tulang
radius.

Fraktur radius distal merupakan 15 % dari seluruh kejadian fraktur pada dewasa. Abraham Colles adalah
orang yang pertama kali mendeskripsikan fraktur radius distalis pada tahun 1814 dan sekarang dikenal
dengan nama fraktur Colles. (Armis, 2000). Ini adalah fraktur yang paling sering ditemukan pada manula,
insidensinya yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause. Karena itu
pasien biasanya wanita yang memiliki riwayat jatuh pada tangan yang terentang. (Apley & Solomon, 1995)
Biasanya penderita jatuh terpeleset sedang tangan berusaha menahan badan dalam posisi terbuka dan
pronasi. Gaya akan diteruskan ke daerah metafisis radius distal yang akan menyebabkan patah radius 1/3
distal di mana garis patah berjarak 2 cm dari permukaan persendian pergelangan tangan. Fragmen bagian
distal radius terjadi dislokasi ke arah dorsal, radial dan supinasi. Gerakan ke arah radial sering
menyebabkan fraktur avulsi dari prosesus styloideus ulna, sedangkan dislokasi bagian distal ke dorsal dan
gerakan ke arah radial menyebabkan subluksasi sendi radioulnar distal (Reksoprodjo, 1995)
Momok cedera tungkai atas adalah kekakuan, terutama bahu tetapi kadang-kadang siku atau tangan. Dua
hal yang harus terus menerus diingat : (1) pada pasien manula, terbaik untuk tidak mempedulikan fraktur
tetapi berkonsentrasi pada pengembalian gerakan; (2) apapun jenis cedera itu, dan bagaimanapun cara
terapinya, jari harus mendapatkan latihan sejak awal. (Apley & Solomon, 1995)
Melihat masih cukup tingginya angka kejadian fraktur Colles maka perlu diketahui insidensi fraktur Colles di
RSUD Saras Husada Purworejo, agar dapat dilakukan perawatan dan penanganan secara intensif pada
tiap-tiap kasusnya.

A. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998). Cedera yang digambarkan oleh
Abraham Colles pada tahun 1814 adalah fraktur melintang pada radius tepat di atas pergelangan tangan,
dengan pergeseran dorsal fragmen distal. (Apley & Solomon, 1995)

B. Anatomi dan Kinesiologi


Radius bagian distal bersendi dengan tulang karpus yaitu tulang lunatum dan navikulare ke arah distal, dan
dengan tulang ulna bagian distal ke arah medial. Bagian distal sendi radiokarpal diperkuat dengan simpai di
sebelah volar dan dorsal, dan ligament radiokarpal kolateral ulnar dan radial. Antara radius dan ulna selain
terdapat ligament dan simpai yang memperkuat hubungan tersebut, terdapat pula diskus artikularis, yang
melekat dengan semacam meniskus yang berbentuk segitiga, yang melekat pada ligamen kolateral ulna.
Ligamen kolateral ulna bersama dengan meniskus homolognya dan diskus artikularis bersama ligament
radioulnar dorsal dan volar, yang kesemuanya menghubungkan radius dan ulna, disebut kompleks rawan
fibroid triangularis (TFCC = triangular fibro cartilage complex) (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)
Gerakan sendi radiokarpal adalah fleksi dan ekstensi pergelangan tangan serta gerakan deviasi radius dan
ulna. Gerakan fleksi dan ekstensi dapat mencapai 90 derajat oleh karena adanya dua sendi yang bergerak
yaitu sendi radiolunatum dan sendi lunatum-kapitatum dan sendi lain di korpus. Gerakan pada sendi
radioulnar distal adalah gerak rotasi. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)

Gambar 1a. Sudut normal sendi radiokarpal di bagian ventral (tampak lateral)

Gambar 1b. Sudut normal yang dibentuk oleh ulna terhadap sendi radiokarpal

Sendi radiokarpal normalnya memiliki sudut 1 - 23 derajat pada bagian palmar (ventral) seperti diperlihatkan
pada gambar 1a. Fraktur yang melibatkan angulasi ventral umumnya berhasil baik dalam fungsi, tidak
seperti fraktur yang melibatkan angulasi dorsal sendi radiokarpal yang pemulihan fungsinya tidak begitu baik
bila reduksinya tidak sempurna. Gambar 1b memperlihatkan sudut normal yang dibentuk tulang ulna
terhadap sendi radiokarpal, yaitu 15 - 30 derajat. Evaluasi terhadap angulasi penting dalam perawatan
fraktur lengan bawah bagian distal, karena kegagalan atau reduksi inkomplit yang tidak memperhitungkan
angulasi akan menyebabkan hambatan pada gerakan tangan oleh ulna. (Simon & Koenigsknecht, 1987)

C. Patofisiologi
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan biasanya merupakan trauma langsung,
yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada permukaan tangan sebelah volar
menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk
lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping menyerupai garpu. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)
Benturan mengena di sepanjang lengan bawah dengan posisi pergelangan tangan berekstensi. Tulang
mengalami fraktur pada sambungan kortikokanselosa dan fragmen distal remuk ke dalam ekstensi dan
pergeseran dorsal. (Apley & Solomon, 1995) Garis fraktur berada kira-kira 3 cm proksimal prosesus
styloideus radii. Posisi fragmen distal miring ke dorsal, overlapping dan bergeser ke radial, sehingga secara
klasik digambarkan seperti garpu terbalik (dinner fork deformity). (Armis, 2000)

D. Klasifikasi
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan pada fraktur ekstensi dari radius distal. Namun yang paling
sering digunakan adalah sistem klasifikasi oleh Frykman. Berdasarkan sistem ini maka fraktur Colles
dibedakan menjadi 4 tipe berikut : (Simon & Koenigsknecht, 1987)
Tipe IA : Fraktur radius ekstra artikuler
Tipe IB : Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
Tipe IIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal
Tipe IIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal
Tipe IIIA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radioulnar
Tipe IIIB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radioulnar
Tipe IVA : Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal dan sendi
radioulnar
Tipe IVB : Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi radiokarpal dan
sendi radioulnar
E. Trauma/Kelainan yang Berhubungan
Fraktur ekstensi radius distal sering terjadi berbarengan dengan trauma atau luka yang berhubungan,
antara lain : (Simon & Koenigsknecht, 1987)
1. Fraktur prosesus styloideus (60 %)
2. Fraktur collum ulna
3. Fraktur carpal
4. Subluksasi radioulnar distal
5. Ruptur tendon fleksor
6. Ruptur nervus medianus dan ulnaris

F. Manifestasi Klinis
Kita dapat mengenali fraktur ini (seperti halnya Colles jauh sebelum radiografi diciptakan) dengan sebutan
deformitas garpu makan malam, dengan penonjolan punggung pergelangan tangan dan depresi di depan.
Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan
tangan digerakkan. (Apley & Solomon, 1995) Selain itu juga didapatkan kekakuan, gerakan yang bebas
terbatas, dan pembengkakan di daerah yang terkena.
Gambar 3. Dinner fork deformity

G. Diagnosis
Diagnosis fraktur dengan fragmen terdislokasi tidak menimbulkan kesulitan. Secara klinis dengan mudah
dapat dibuat diagnosis patah tulang Colles. Bila fraktur terjadi tanpa dislokasi fragmen patahannya,
diagnosis klinis dibuat berdasarkan tanda klinis patah tulang. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998)
Pemeriksaan radiologik juga diperlukan untuk mengetahui derajat remuknya fraktur kominutif dan
mengetahui letak persis patahannya (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998). Pada gambaran radiologis dapat
diklasifikasikan stabil dan instabil. Stabil bila hanya terjadi satu garis patahan, sedangkan instabil bila
patahnya kominutif. Pada keadaan tipe tersebut periosteum bagian dorsal dari radius 1/3 distal tetap utuh.
(Reksoprodjo, 1995). Terdapat fraktur radius melintang pada sambungan kortikokanselosa, dan prosesus
stiloideus ulnar sering putus. Fragmen radius (1) bergeser dan miring ke belakang, (2) bergeser dan miring
ke radial, dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami peremukan dan kominutif yang
hebat (Apley & Solomon, 1995)

Gambar 4. (a) deformitas garpu makan malam, (b) fraktur tidak masuk dalam sendi pergelangan tangan, (c)
Pergeseran ke belakang dan ke radial

Proyeksi AP dan lateral biasanya sudah cukup untuk memperlihatkan fragmen fraktur. Dalam evaluasi
fraktur, beberapa pertanyaan berikut perlu dijawab:
1. Adakah fraktur ini juga menyebabkan fraktur pada prosesus styloideus ulna atau pada collum ulna ?
2. Apakah melibatkan sendi radioulnar ?
3. Apakah melibatkan sendi radiokarpal ?
Proyeksi lateral perlu dievaluasi untuk konfirmasi adanya subluksasi radioulnar distal. Selain itu, evaluasi
sudut radiokarpal dan sudut radioulnar juga diperlukan untuk memastikan perbaikan fungsi telah lengkap.
(Simon & Koenigsknecht, 1987)

H. Penatalaksanaan
- Fraktur tak bergeser (atau hanya sedikit sekali bergeser), fraktur dibebat dalam slab gips yang dibalutkan
sekitar dorsum lengan bawah dan pergelangan tangan dan dibalut kuat dalam posisinya.
- Fraktur yang bergeser harus direduksi di bawah anestesi. Tangan dipegang dengan erat dan traksi
diterapkan di sepanjang tulang itu (kadang-kadang dengan ekstensi pergelangan tangan untuk melepaskan
fragmen; fragmen distal kemudian didorong ke tempatnya dengan menekan kuat-kuat pada dorsum sambil
memanipulasi pergelangan tangan ke dalam fleksi, deviasi ulnar dan pronasi. Posisi kemudian diperiksa
dengan sinar X. Kalau posisi memuaskan, dipasang slab gips dorsal, membentang dari tepat di bawah siku
sampai leher metakarpal dan 2/3 keliling dari pergelangan tangan itu. Slab ini dipertahankan pada posisinya
dengan pembalut kain krep. Posisi deviasi ulnar yang ekstrim harus dihindari; cukup 20 derajat saja pada
tiap arah.

Gambar 5. Reduksi : (a) pelepasan impaksi, (b) pronasi dan pergeseran ke depan, (c) deviasi ulnar
Pembebatan : (d) penggunaan sarung tangan, (b) slab gips yang basah, (f) slab yang dibalutkan dan
reduksi dipertahankan hingga gips mengeras
Lengan tetap ditinggikan selama satu atau dua hari lagi; latihan bahu dan jari segera dimulai setelah pasien
sadar. Kalau jari-jari membengkak, mengalami sianosis atau nyeri, harus tidak ada keragu-raguan untuk
membuka pembalut.
Setelah 7-10 hari dilakukan pengambilan sinar X yang baru; pergeseran ulang sering terjadi dan biasanya
diterapi dengan reduksi ulang; sayangnya, sekalipun manipulasi berhasil, pergeseran ulang sering terjadi
lagi.
Fraktur menyatu dalam 6 minggu dan, sekalipun tak ada bukti penyatuan secara radiologi, slab dapat
dilepas dengan aman dan diganti dengan pembalut kain krep sementara.

Gambar 6. (a) Film pasca reduksi, (b) gerakan-gerakan yang perlu dipraktekkan oleh pasien secara teratur

- Fraktur kominutif berat dan tak stabil tidak mungkin dipertahankan dengan gips; untuk keadaan ini
sebaiknya dilakukan fiksasi luar, dengan pen proksimal yang mentransfiksi radius dan pen distal, sebaiknya
mentransfiksi dasar-dasar metakarpal kedua dan sepertiga. (Apley & Solomon, 1995)
Fraktur Colles, meskipun telah dirawat dengan baik, seringnya tetap menyebabkan komplikasi jangka
panjang. Karena itulah hanya fraktur Colles tipe IA atau IB dan tipe IIA yang boleh ditangani oleh dokter
IGD. Selebihnya harus dirujuk sebagai kasus darurat dan diserahkan pada ahli orthopedik. Dalam
perawatannya, ada 3 hal prinsip yang perlu diketahui, sebagai berikut :
• Tangan bagian ekstensor memiliki tendensi untuk menyebabkan tarikan dorsal sehingga mengakibatkan
terjadinya pergeseran fragmen
• Angulasi normal sendi radiokarpal bervariasi mulai dari 1 sampai 23 derajat di sebelah palmar, sedangkan
angulasi dorsal tidak
• Angulasi normal sendi radioulnar adalah 15 sampai 30 derajat. Sudut ini dapat dengan mudah dicapai, tapi
sulit dipertahankan untuk waktu yang lama sampai terjadi proses penyembuhan kecuali difiksasi
Bila kondisi ini tidak dapat segera dihadapkan pada ahli orthopedik, maka beberapa hal berikut dapat
dilakukan :
1. Lakukan tindakan di bawah anestesi regional
2. Reduksi dengan traksi manipulasi. Jari-jari ditempatkan pada Chinese finger traps dan siku dielevasi
sebanyak 90 derajat dalam keadaan fleksi. Beban seberat 8-10 pon digantungkan pada siku selama 5-10
menit atau sampai fragmen disimpaksi.
3. Kemudian lakukan penekanan fragmen distal pada sisi volar dengan menggunakan ibu jari, dan sisi
dorsal tekanan pada segmen proksimal menggunakan jari-jari lainnya. Bila posisi yang benar telah
didapatkan, maka beban dapat diturunkan.
4. Lengan bawah sebaiknya diimobilisasi dalam posisi supinasi atau midposisi terhadap pergelangan tangan
sebanyak 15 derajat fleksi dan 20 derajat deviasi ulna.
5. Lengan bawah sebaiknya dibalut dengan selapis Webril diikuti dengan pemasangan anteroposterior long
arms splint
6. Lakukan pemeriksaan radiologik pasca reduksi untuk memastikan bahwa telah tercapai posisi yang
benar, dan juga pemeriksaan pada saraf medianusnya
7. Setelah reduksi, tangan harus tetap dalam keadaan terangkat selama 72 jam untuk mengurangi bengkak.
Latihan gerak pada jari-jari dan bahu sebaiknya dilakukan sedini mungkin dan pemeriksaan radiologik pada
hari ketiga dan dua minggu pasca trauma. Immobilisasi fraktur yang tak bergeser selama 4-6 minggu,
sedangkan untuk fraktur yang bergeser membutuhkan waktu 6-12 minggu.

Gambar 7. Reduksi pada fraktur Colles

I. Komplikasi
Dini
Sirkulasi darah pada jari harus diperiksa; pembalut yang menahan slab perlu dibuka atau dilonggarkan
Cedera saraf jarang terjadi, dan yang mengherankan tekanan saraf medianus pada saluran karpal pun
jarang terjadi. Kalau hal ini terjadi, ligament karpal yang melintang harus dibelah sehingga tekanan saluran
dalam karpal berkurang.
Distrofi refleks simpatetik mungkin amat sering ditemukan, tetapi untungnya ini jarang berkembang lengkap
menjadi keadaan atrofi Sudeck. Mungkin terdapat pembengkakan dan nyeri tekan pada sendi-sendi jari,
waspadalah jangan sampai melalaikan latihan setiap hari. Pada sekitar 5 % kasus, pada saat gips dilepas
tangan akan kaku dan nyeri serta terdapat tanda-tanda ketidakstabilan vasomotor. Sinar X memperlihatkan
osteoporosis dan terdapat peningkatan aktivitas pada scan tulang
Lanjut
Malunion sering ditemukan, baik karena reduksi tidak lengkap atau karena pergeseran dalam gips yang
terlewatkan. Penampilannya buruk, kelemahan dan hilangnya rotasi dapat bersifat menetap. Pada
umumnya terapi tidak diperlukan. Bila ketidakmampuan hebat dan pasiennya relatif lebih muda, 2,5 cm
bagian bawah ulna dapat dieksisi untuk memulihkan rotasi, dan deformitas radius dikoreksi dengan
osteotomi.
Penyatuan lambat dan non-union pada radius tidak terjadi, tetapi prosesus styloideus ulnar sering hanya
diikat dengan jaringan fibrosa saja dan tetap mengalami nyeri dan nyeri tekan selama beberapa bulan.
Kekakuan pada bahu, karena kelalaian, adalah komplikasi yang sering ditemukan. Kekakuan pergelangan
tangan dapat terjadi akibat pembebatan yang lama.
Atrofi Sudeck , kalau tidak diatasi, dapat mengakibatkan kekakuan dan pengecilan tangan dengan
perubahan trofik yang berat.
Ruptur tendon (pada ekstensor polisis longus) biasanya terjadi beberapa minggu setelah terjadi fraktur
radius bagian bawah yang tampaknya sepele dan tidak bergeser. Pasien harus diperingatkan akan
kemungkinan itu dan diberitahu bahwa terapi operasi dapat dilakukan. (Apley & Solomon, 1995)

TRAUMA THORAX

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu
dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah
sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan
kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari
trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi
dengan tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus
penyelamatan kasus trauma thorax.

II. DEFINISI.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan
pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul
dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

III. ETIOLOGI.
1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul
dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

IV. ANATOMI.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12
vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang
melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh
berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura
di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk.
Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus
latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus
posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris
posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada.
Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang
menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat
pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi
paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan
pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada
setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra
lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus
frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi
putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.

V. PATOFISIOLOGI.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan
akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan
darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan
perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ).
Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax
atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).

VI. INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.


1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan
airway, breathing, dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan
untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana
mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau
melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma
– trauma yang bersifat khusus.
VII. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX .
A. Trauma dinding thorax dan paru.
- Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma, perlukaan
pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara
keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat
mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya
penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung,
trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling sering
mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ).
- Flail Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan
dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan
dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan
pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan
kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail
Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan
dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini
sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama
disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya.
Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan
pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan
pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosisi. Dengan foto
toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi
costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan
pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian
ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka
pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan.
Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan
ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan
benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi
yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma,
dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang
terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan,
tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu
untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
- Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury.
Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah
kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring
harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan
hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan
intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang
berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk
melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat
ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse
oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan
diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka
harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
- Pneumotoraks dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal.
Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru
merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga
toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan
permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan
kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak
mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada
sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan
diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4
atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja,
maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan
atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru.
Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan
pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif
yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life
thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan
posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.
- Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka yang besar plada dinding dada yang
terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara
akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.
Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa
pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka
untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus
berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam
rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang.
Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga
penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.
- Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara
yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat
keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi,
maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi
berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan
paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi penggunaan ventilasi
mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral.
Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada
pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding
dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut
dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme flap-valve. Tension
pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran
(displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax
ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya
suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada
awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada
tension pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi
segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga
dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension
pneumothorax menjadi plneumothoraks sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang
bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan
pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan
midaxilaris.
- Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah
interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi
fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti
spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat
pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan
mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga
pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.
Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita
hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama.
Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila
darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah
terus menerus, eksplorasi bedah herus dipertimbangkan.
- Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal
ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada
hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena
leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena
leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di
intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher.
Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi
pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian
volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan
kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik
secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French
dipasang setinggi puting susu, anteriordari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya.
Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya
sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa
penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung.
Ini juga mamebutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus
menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih
diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah
selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau
vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka
tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari
skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan
melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat
latihan.
- Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna,
hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical dalam atau
pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa
endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi
darah, pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.

B. TRAUMA JANTUNG DAN AORTA.


- Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat
menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh
darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit
darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian
jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui
perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak mudah.
Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan
tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang
gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia
dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana
terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10
mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak
selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat
tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda
Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena
yang sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada
hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP
dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain.
Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian
perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %.
Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat
resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi diagnostik spesifik pada trauma tumpul). Evakuasi cepat
darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon
pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak
boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk
mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya
tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha rsusitasi, merupakan
indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain,
adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah.
Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun
kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat
meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan
persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-
sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan
yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat
menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis
menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.
- Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung
dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari ptekie epikardial
superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan
Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan
perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan berupa suportif.
- Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel, ataupun
kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat
primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium.
Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut
juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya
dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada
miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak
normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang
menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi
yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering
adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral
yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio
jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan adanya
serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang
abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah
interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.

DAFTAR PUSTAKA.

1. IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke – 6, tahun 1997.


2. Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun
1995.

Penanganan Peritonitis

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul
mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang
sering berupa tindakan bedah, misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau
strangulasi jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1,2

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus
gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus
abdomen. 3,4
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil-kecilan.
Kontaminasi yang terus menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau
enzim pencerna aktif, merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya peritonitis. 5
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena setiap keterlambatan akan
menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Ketepatan diagnosis dan
penanggulangannya tergantung dari kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. 2

II.1. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus visera dalam rongga perut.
6,7
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar fibroelastik. Terbagi menjadi
bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium; dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen
dan berhubungan dengan fasia muskularis. 8
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem saraf autonom dan tidak peka
terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan
tanpa dirasakan oleh pasien. Akan tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi
yang berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang seperti apendisitis,
maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat
letak nyeri sehingga biasanya ia menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang
nyeri. 9
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul karena adanya rangsang yang
berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan
pasien dapat menunjukkan dengan tepat lokasi nyeri. 9
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten dengan suatu membran semi
permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak kedua arah. 8
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica fellea, lien, ileum, jejenum,
kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix (intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon
ascenden & descenden, ginjal dan ureter (retroperitoneum). 10,11

II.2. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks. Dibagian belakang struktur ini
melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding
perut ini terdiri dari berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis,
lemak sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus
abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan akhirnya lapis
preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian
depan tengah terdiri dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan
oleh linea alba. 12
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm
merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang
merupakan dinding enteron. Enteron didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal
dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium. 13
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu: 13
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis kanan kiri saling menempel dan
membentuk suatu lembar rangkap yang disebut duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal
usus terdapat suatu duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding
dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut mesenterium.
Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale
yang terdapat pada sebelah kaudal pars superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan
mesenterium ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi ventrikulus
disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu perkembangan dan pertumbuhan,
ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan
umbilicus dan saccus vitellinus. Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus. 13
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus
akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica
superior masing-masing pada dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus
menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale mendekati peritonium parietale.
Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah oral (kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian
disebelah anal (kaudal) berpindah ke kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale. 13
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale mendekati peritoneum dorsale, terjadi
perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus
yang tidak mempunyai alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium
sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam
rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga
tersebut disebut cavum peritonei.. dengan demikian: 13
• Duodenum terletak retroperitoneal;
• Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
• Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
• Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung disebut mesocolon
transversum;
• Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung mesosigmoideum; cecum terletak
intraperitoneal;
• Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada peritoneum parietale tidak
sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan
peritoneum parietale atau diantara mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan.
Lipatan-lipatan dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di flexura
duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus duodenalis superior dan plica
duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis inferior.13
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum terdapat recessus
intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan mesosigmoideum. 13
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris. Peritoneum yang menutupi colon
melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae. 13
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin karena peritoneum mengeluiarkan
sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat disamakan dengan stratum synoviale di persendian.
Peritoneum yang licin ini memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain.
Kadang-kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain. Akibatnya alat-alat
yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs
inversus. 13

II.3. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa inflamasi dan penyulitnya misalnya
perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan
oleh karena perforasi organ berongga karena trauma abdomen. 6

II.4. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong
nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. 4
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit
cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi
awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. 8
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem
disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan
didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem
dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. 14
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. 8
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat
timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan
mengakibatkan obstruksi usus. 4

5. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 3, 5, 8,15
a. Peritonitis bakterial primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli,
Streptococus atau Pneumococus. Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.

b. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)


Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal atau tractus urinarius.
Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel
organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides,
dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu peritonitis.

c. Peritonitis non bakterial akut


Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya empedu, getah lambung,
getah pankreas, dan urine.
d. Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau tractus urinarius.

e. Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)


Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan granuloma, dan sering
menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate)
atau tepung yang terdapat disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan
mengurangi masalah ini.

MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda – tanda rangsangan
peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan defans muskular, pekak hati bisa
menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat
kelumpuhan sementara usus. 4
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia, hipotensi dan
penderita tampak letargik dan syok. 4
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan
peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau
mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya. 4,11
DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis, pemeriksaan laboratorium dan
X-Ray.
a. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis organisme yang
bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada
peritonitis bakterial primer yaitu adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang
menurun atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder yaitu adanya
nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada penderita perforasi (misal perforasi ulkus),
nyerinya menjadi menyebar keseluruh bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya
mula-mula dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari fokus infeksi.
Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik,
septik, dan neurogenik), demam, distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus
atau umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis untuk peritonitis non
bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial. 4, 5
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya keringat malam, kelemahan,
penurunan berat badan, dan distensi abdominal; sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran
klinis nyeri abdomen yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2 minggu
pasca bedah. 5
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang meningkat dan asidosis
metabolik.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan
banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat. 5

c. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus besar berdilatasi. Udara
bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi. 5
III.2. GAMBARAN RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam memperkirakan
pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : (rasad)
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan pada cavum abdomen,
preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
7,15

7. TERAPI
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena,
pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan
intestinal, pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin
mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri. 4,16
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian volume intravaskular memperbaiki
perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena
sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi. 8,17
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas
diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi. 8,17
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang
dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah
dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi
yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan
menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi. 17
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid
(saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan
antibiotika ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan
bakteria menyebar ketempat lain. 3,5
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain itu dengan segera akan
terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi. 3,5
8. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis, gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis,
kehamilan ektopik terganggu, dll. 9

9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana komplikasi tersebut dapat dibagi
menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu : (chushieri)
a. Komplikasi dini
• Septikemia dan syok septik
• Syok hipovolemik
• Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi sistem
• Abses residual intraperitoneal
• Portal Pyemia (misal abses hepar)
b. Komplikasi lanjut
• Adhesi
• Obstruksi intestinal rekuren

10. PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada peritonitis umum prognosisnya
mematikan akibat organisme virulen. 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3;
Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius FKUI, Jakarta.
2. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-239, EGC,
Jakarta.
3. Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, 7th Ed., Maruzen, USA.

4. Wilson. L. M., Lester. L .B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
5. Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus
Lukmanto, EGC, Jakarta.

6. Kumpulan catatan kuliah, 1997, Radiologi abdomen, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta, yogyakarta.
7. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya
Baru, jakarta.
8. Schwartz. S. J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2000, Peritonitis dan Abces Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Ed.6, alih bahasa dr. Laniyati, EGC, Jakarta.

9. Dahlan. M., Jusi. D., Sjamsuhidajat. R., 2000, Gawat Abdomen dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi,
EGC, Jakarta
10. Putz.R., Pabst.R., 1997, Sobotta, Atlas Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
11. Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 1988, Abdominal Injuries in Essential Surgical Practice, 2nd Ed, John
Wright, Bristol.
12. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta.
13. Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
14. Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta

[+/-] Selengkapnya...

Browse > Home / Artikel Kedokteran / Bedah / Invaginasi

Invaginasi
0 komentar 17:17:00 Diposting oleh Admin
Label: Artikel Kedokteran, Bedah

Invaginasi merupakan suatu keadaan dimana bagian usus masuk ke bagian usus (www. Pediatric .com,
2003).
Invaginasi merupakan suatu kegawat daruratan medis. Jika tidak diatasi secepatnya. Bisa menyebabkan
komplikasi yang berat seperti infeksi bahkan kematian (familydoctor.org, 1999)
Kebanyakan pasien bisa pulih jika dirawat sebelum 24 jam. Kematian dengan terapi sekitar 1-3 %. Jika
tanpa terapi, 2-5 hari akan berakibat fatal (emedicine.com.inc, 2003).
Keluarga khususnya orang tua. Selaku pihak pertama yang mengetahui adanya kelainan pada anak dan tim
medis serta paramedis, sebaiknya mengetahui lebih banyak tentang invaginasi dan gejala-gejala yang
tampak, serta apa saja yang menyebabkan invaginasi. Sehingga baik orang tua maupun tim medis,
paramedis, dapat menentukan tindakan yang harus diambil secara cepat dan tepat. Pengambilan tindakan
yang cepat dan tepat dapat meningkatkan kemungkinan keberhasilan terapi dan mengurangi kemungkinan
komplikasi dan efek fatal yang lain.

II.1. Definisi
Intususepsi atau invaginasi adalah suatu keadaan masuknya segmen usus ke segmen bagian distalnya
yang umumnya akan berakhir dengan obstruksi usus strangulasi (Mansjoer. R. 2000)
Saat invaginasi terjadi, akan terbentuk obstruksi pada usus besar dimana dinding usus akan menekan
bagian lainnya (kidshealth. org, 2001)

II.2. Insidensi
Intutusepsi kebanyakan terjadi pada bayi, dengan mayoritas kasus terjadi pada anak antara 5 bulan sampai
1 tahun.
Intususepsi terjadi pada 1-4 bayi dari 1000 bayi kelahiran hidup.
Intususepsi juga menyebabkan kegawat daruratan pada abdomen, kebanyakan terjadi pada anak usia
dibawah 2 tahun. (kidshealth. org, 2001).
Intususepsi lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Mansjoer. R. 2000). Angka kejadian pada
anak laki-laki 3 kali lebih besar bila dibandingkan anak perempuan (kidshealth. org, 2001). Seiring dengan
pertambahan umur, perbedaan kelamin menjadi bermakna. Pada anak usia lebih dari 4 tahun, rasio
insidensi anak laki-laki dengan anak perempuan adalah 8 : 1. (emedicine, 2001)

II.3. Etiologi
Penyebab pasti intususepsi belum diketahui. Ini mungkin berhubungan dengan infeksi pada anak, pengaruh
dari pweubahan diet, pemberian makanan padat (www.gosh, 2002)
Infeksi virus pada anak-anak menyebebkan pembesaran kelenjar cerna, yang pada akhirnya menyebabkan
intususepsi (www.pediatrik.com, 2003). Inveksi virus bisa menimbulkan perlawanan jaringan limphe
terhadap infeksi sehingga mukosa usus tidak rata. Ini membuka peluang usus untuk memasuki bagian usus
itu sendiri selama proses mencerna. (kidshealth.org, 2001).
Pemberian makanan selain susu ketika umur kurang dari 4 bulan akan berakibat buruk terhadap bayi,
karena sistem pencernaan bayi pada usia ini belum tumbuh kembang sempurna. Pemberian makanan pada
usia itu berpeluang terjadinya invaginasi usus halus. (groups.yahoo.com, 2003).
Pada bayi lebih dari 3 tahun, bisa disebabkan faktor mekanik, seperti :
- Meckel diverticulum
- Polip pada untestinum
- Lymposarcoma intestinum
- Trauma tumpul pada abdominal dengan hematom
- Hemangioma (emedicine.com, 2003).
Baru-baru ini diduga ada hubungan antara rotavirus dan intususepsi, walaupun laporan kasus terjadinya
intususepsi selama bayi difaksin sangat kecil. (emedicine.com, 2003).
Rotavirus merupakan penyebab gastroenteritis berat pada bayi dan anak usia di bawah 5 tahun di USA.
Selama 1 September 1998 sampai 7 Juli 1999, dilaporkan ke VAERS (Vaccine Adverse Event Reporting
System) 15 kasus intususepsi pada bayi yang menerima vaksin Rotavirus.
Pada studi Prelisensi, 5 kasus intususepsi terjadi pada 10.054 penerima vaksin dan 1 kasus pada 4.633
kontrol. Secara statistik perbedaannya tidak signifikan. 3 dari 5 kasus pada anak dengan vaksinasi terjadi
selama 6-7 hari setelah divaksinasi Rotavirus (www.cdc.gov, 1999)

II.4. Gejala Klinis


Gejala yang tampak adalah nyeri perut yang hebat, mendadak dan hilang timbul dalam waktu beberapa
detik hingga menit dengan interval waktu 5-15 menit. Diluar serangan, anak tampak sehat.
(www.pediatrik.com, 2003). Bayi dengan intususepsi akan mengalami nyeri abdomen yang sangat
mendadak sehingga mereka menangis dengan sangat kesakitan dan keras. Bayi tersebut akan menarik
lututnya ke dada. (kidshealth.org, 2001)
Anak sering muntah dan dalam feses sering ditemukan darah dan lendir. Secara bertahap anak akan pucat
dan lemas, bisa menjadi dehidrasi, merasa demam, dan perut mengembung. (www.gosh, 2002).
Selain itu, ada gejala-gejala seperi anak menjadi cepat marah, nafas dangkal, mendengkur, konstipasi
(kidshealth.org, 2001).

II.5. Diagnosis
Anamnesa dengan keluarga dapat diketahui gejala-gejala yang timbul dari riwayat pasien sebelum
timbulnya gejala, misalnya sebelum sakit, anak ada riwayat dipijat, diberi makanan padat padahal umur
anak dibawah 4 bulan. (kidshealth.org, 2001).
Pemeriksaan fisik, pada palipasi diperoleh abdomen yang mengencang, massa seperti sosis
(kidshealth.org, 2001).
Pemeriksaan penunjang dilakukan X-ray abdomen untuk melihat obstruksi (kidshealth.org.2001).
Pemeriksaan ultrasound bisa melihat kondisi secara umum dengan menggunakan gelombang untuk melihat
gambaran usus di layar monitor (www.gosh, 2002).

II.6. Penatalaksanaan
Pertama kali dibawa ke runak sakit, bayi kemungkinan mengalami dehidrasi dan memerlukan terapi cairan
intravena secepatnya. NGT bisa digunakan pada bayi dengan perut yang kosong (www.gosh, 2002).
Reduksi invaginasi dilakukan dengan barium enema yang menggunakan prinsip hidrostatik. Reduksi
dengan barium enema hanya dilakukan bila tidak ada distensi yang hebat, tanda peritonitis, dan demam
tinggi. Akan tampak gambaran cupping dan coiled spring yang menghilang bersamaan dengan terisinya
ileum oleh barium. Reduksi dengan barium enema dikatakan berhasil bila barium cukup jauh mengisi ileum
atau tampak jendela kolon. (Mansjoer. R, 2000).
Selain barium enema, terdapat metode udara enema, cara kerja kedua metode ini sama. (kidshealth,org,
2001)
Jika metode ini berhasil, bayi sudah bisa minum dan bisa pulang dalam beberapa hari (www.gosh, 2002).
Jika metode ini tidak berhasil perlu dilakukan operasi (www.gosh, 2001). Invaginasi cenderung menyumbat
usus dan menghentikan aliran darah ke usus, sehingga perlu dilakukan pembedahan darurat
(www.medicastore.com, 2003)
Kebanyakan anak yang dirawat sebelum dari 24 jam sembuh dari intususepsi tanpa komplikasi
(kidshealth.org, 2001)
Dalam 48 jam setelah operasi anak akan dimonitor, anak akan menggunakan mesinuntuk memonitor
temperatur, denyut jantung dan respirasi.
Setidaknya selama 48 jam pertama, anak tidak bisa makan atau minum agar ususnya istirahat. Anak akan
mendapatkan terapi cairan untuk mencegah dehidrasi.
Anak juga akan mendapat NGT untuk mengambil cairan di dalam perut. Saat cairan dari NGT bersih dan
jumlah cairan berkurang, anak bisa mulai makan sesuatu (www.gosh, 2002).

II.7. Komplikasi
Jika invaginasi terlambat atau tidak diterapi, bisa timbul beberapa komplikasi berat, seperti kematian
jaringan usus, perforasi usus, infeksi dan kematian (kidshealth.org, 2001).

II.8. Diagnosis
Invaginasi dengan terapi sedini mungkin memiliki prognosis yang baik. Terdapat resiko untuk kambuh lagi
(familidoctor.org, 2003)

II.9. Differensial Diagnosis


- Trauma Abdomen
- Appendisitis Akut
- Hernia
- Gastroenteritis
- Torsi testis
- Perlengketan jaringan
- Volvulus
- Meckel diverticulum
- Perdarahan G 1
- Proses-proses yang menumbuhkan nyeri abdomen (emedicine.com, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

(1) Anonim, 2003, Intutusepsi,


http : // www.pediatrik.com / kanal tips / intususepsi.htm.
(2) American Academy Of Family Physician, 1999,
http : // familydoctor.org / III-xml.
(3) –
 http : // www.emidicine.com
(4) Mansjoer.R, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III,
Cet 2, Media Aesculapius, Jakarta.
(5) –
http : // kidshealth.org / parent / system / surgical / intususception.
(6) –
http : www.gosh.nhs.uk / med / index.html
(7) –
http : // groups.yahoo.com / group / halal-baik.enak / message
(8) –
http : // www.cdc.gov / epo / mmwr / preview / mnwrhtml / mm 4827 al.htm.

[+/-] Selengkapnya...

Browse > Home / Artikel Kedokteran / Bedah / Bedah Vaskular / Aneurisma Aorta

Aneurisma Aorta

0 komentar 5:28:00 Diposting oleh Admin


Label: Artikel Kedokteran, Bedah, Bedah Vaskular

Pengertian aneurisma yang sesungguhnya adalah dilatasi abnormal dari arteri. Hal ini harus dibedakan dari
“false” aneurisma, dimana terjadi pengumpulan darah disekitar dinding pembuluh darah akibat trauma.
Aneurisma dapat berbentuk fusiformis ataupun berbentuk kantong contohnya aneurisma berry di circle of
willis. Beberapa tempat yang paling sering terjadi aneurisma antara lain: aorta, arteri iliaka, arteri femoralis
dan arteri popliteal.
Aneurisma sering terbentuk secara perlahan selama bertahun-tahun dan sering juga tanpa gejala tetapi jika
telah terjadi ruptur maka ini adalah kegawatdaruratan bedah yang dapat mengancam nyawa pasien.

Anatomi Aorta
Aorta adalah pembuluh darah besar (main trunk) dari segenap pembuluh darah cabangnya yang berfungsi
membawa darah teroksigenasi ke berbagai jaringan di tubuh untuk kebutuhan nutrisinya. Aorta berada
sebagai bagian atas dari vebtrikel, dimana diameternya sekitar 3 cm, dan setelah naik (ascending) untuk
jarak yang pendek, ia melengkung (arch) kebelakang dank e sisi kiri, tepat pada pangkal paru kiri, kemudian
turun (descending) dalam thorax pada sisi kiri kolumna vertebralis, masuk rongga abdomen lewat hiatus
diafragmatikus, dan berakhir, dimana diameternya mulai berkurang (1,75 cm), setingkat dengan vertebra
lumbalis ke IV, ia bercabang menjadi arteri iliaca comunis dekstra dan sinistra. Dari uraian diatas maka
aorta dapat dipisahkan menjadi beberapa bagian: aorta ascenden, arcus aorta, dan aorta descenden yang
dibagi lagi menjadi aorta thoracica dan aorta abdominalis.
Aorta Ascendens (gb. 1)—panjangnya sekitar 5 cm, menyusun bagian atas dari basis ventrikel kiri, setinggi
batas bawah kartilago kosta ke III dibelakang kiri pertengahan sternum; ia melintas keatas secara oblik,
kedepan, dan kekanan, searah aksis jantung, setinggi batas atas dari kartilago kosta ke II. Pada pangkal
asalnya, berlawanan dengan segmen valvula aortikus, terdapat tiga dilatasi kecil disebut sinus aortikus.
Saat pertemuan aorta ascenden dengan arcus aorta caliber pembuluh darah meingkat, karena bulging
dinding kanannya. Segmen dilatasi ini disebut bulbus aortikus, dan pada potongan transversal menunjukkan
bentuk yang oval. Aorta ascenden terdapat dalam pericardium.
Batas-batas—aorta ascenden dilindungi oleh trunkus arteria pulmonalis dan aurikula dekstra, dan, lebih
tinggi lagi, terpisah dari sternum oleh pericardium, pleura kanan, margo anterior dari pulmo dekstra, jaringan
ikat longgar, dan sisa dari jaringan timus; di posterior ia bersandar pada atrium sinistra dan arteri pulmonary
dekstra. Pada sisi kanan, ia berdekatan dengan vena cava superior dan atrium dekstra; pada sisi kiri
dengan arteri pulmonary.

Gambar 1: Arcus aorta dan cabang-cabangnya


Gambar 2: Skema cabang-cabang arcus aorta

Cabang-cabang—satu-satunya cabang dari aorta ascenden adalah arteria coronaria yang mensuplai
jantung; muncul dekat commencement aorta tepat diatas pangkal valvula semilunaris.
Arcus Aorta (gb. 1)—dimulai setinggi batas atas artikulasi sternokostalis ke II pada sisi kanannya, dan
berjalan keatas, kebelakang, dank e kiri di depan trachea; kemudian mengarah ke belakang pada sisi kiri
trachea dan akhirnya turun lewat sisi kiri tubuh pada setinggi vertebra thoracic ke IV, pada batas bawahnya
dan kemudian berlanjut menjadi aorta descenden. Sehingga terbentuk dua kurvatura: satu dimana ia
melengkung keatas, yang kedua dimana ia melengkung kedepan dan kekiri. Batas atasnya kira-kira 2,5 cm
dibawah batas superior manubrium sterni.
Batas-batas—arcus aorta dilindungi oleh pleura di anterior dan margo anterior dari pulmo; dan dengan sisa
dari timus. Saat pembuluh melinta ke belakang sisi kirinya bersentuhan dengan pulmo sinistra dan pleura.
Melintas ke bawah pada sisi kiri bagian tersebut pada arcus terdapat 4 nervus: nervus phrenicus sinistra,
cardiacus superior cabang nervus vagus sinistra, cabang nervus cardiacus superior dari trunkus simpatikus
sinistra, dan trunkus vagus sinistra. Saat nervus terakhir tadi melintasi arcus ia memberikan cabang
recurrent, yang melingkar dibawah pembuluh dan melintas keatas pada sisi kanan. Vena intercostalis
melintas oblik keatas dan kedepan pada sisi kiri arcus, diantara nervus phrenicus dan vagus. Pada sisi
kanan terdapat plexus cardiacus profunda, nervus recurrent sinistra, esophagus, dan ductus thoracicus;
trachea berada dibelakang kanan dari pembuluh. Diatas adalah arteri innominata, carotis comunis sinistra,
dan arteri subclavia sinistra, yang mncul dari lengkungan arcus dan bersilangan berdekatan di pangkalnya
dengan vena innominata sinistra. Dibawah adalah bifurkasio arteri pulmonalis, bronchus sinistra,
ligamentum arteriosum, bagian superfisial dari pleksus cardiacus, dan nervus recurrent sinistra. Ligamentum
arteriosum menghubungkan arteri pulmonary sinistra dengan arcus aorta.
Diantara awal arteri subclavia dan perlekatan ductus arteriosus, lumen aorta bayi sedikit menyempit,
membentuk bangunan yang disebut sebagai isthmus aorticus, yang pada saat diatas ductus arteriosus
pembuluh membentuk dilatasi yang disebut aortic spindle.
Cabang-cabang (gb. 2)—arcus aorta mempercabangkan 3 buah pembuluh darah: arteri innominata, carotis
comunis sinistra, dan subclavia sinistra.
Aorta desenden—dibagi menjadi dua bagian, thoracica dan abdominalis, saat melewati dua rongga besar
tubuh.
Aorta thoracalis (gb. 3)—terdapat dalam cavum mediatinum posterior. Dimulai pada batas bawah dari
vertebra thoracic ke IV dimana ia merupakan lanjutan dari arcus aorta, dan berakhir di depan batas bawah
dari vertebra thoracic ke XII pada hiatus aorticus diafragma. Dalam perjalanannya ia terdapat di sisi kiri
kolumna vertebralis; ia mendekati garis tengah saat turun; dan, saat terminasinya berada tepat didepan
kolumna vertebralis.

Gambar 3: Aorta thoracalis, dilihat dari sisi kiri

Batas-batas—anterior, dari atas kebawah, berbatasan dengan pangkal pulmo sinistra, pericardium,
esophagus, dan diafragma; posterior, dengan kolumna vertebralis dan vena hemiazigos; sisi kanan, dengan
vena azigos dan ductus thoracicus; sisi kiri, dengan pleurae dan pulmo sinistra.
Cabang-cabang—aorta thoracalis mempercabangkan antara lain:

Visceral
Pericardial.

Parietal
Intercostal.
Bronchial.

Subcostal.
Esophageal.

Superior Phrenic.
Mediastinal.

Cabang pericardial (rami pericardiaci)—terdiri dari beberapa pembuluh kecil yang terdistribusi pada
permukaan posterior pericardium.
Arteri brochialis (aa. bronchiales)—bervariasi jumlah, ukuran, dan asalnya. Terdapat aturan baku bahwa
hanya satu arteri bronchialis dekstra yang berasal dari aorta intercostalis pertama, atau dari arteri
bronchialis sinistra superior. Arteri bronchialis sinistra terdapat dua buah, dan berasal dari aorta thoracalis.
Bagian superior arteri bronchialis sinistra muncul berlawanan dengan vertebra thoracic ke V, bagian inferior
terdapat tepat dibawah bronchus sinistra. Tiap-tiap pembuluh berjalan di bagian belakang masing-masing
bronchus, bercabang disepanjang tube bronchus, memvaskularisasinya. Juga pada jaringan jaringan
longgar pulmo, limfonodi bronchialis, dan esophagus.
Arteri esophageal (aa. æsophageæ)—terdapat empat atau lima jumlahnya, berasal dari bagian depan aorta,
dan turun oblik kebawah menuju esophagus, membentuk rantai anastomosis disepanjang tube,
beranastomosis juga dibagian atas dengan cabang esophageal dari arteri thyroidea inferior dan dibagian
bawah dengan arteri phrenica inferior sinistra dan arteri gastrica inferior.
Cabang mediastinal (rami mediastinales)—adalah sejumlah pembuluh kecil yang mensuplai kelenjar limfe
dan jaringan ikat longgar pada mediatinumk posterior.
Arteri intercostalis (aa. intercostales)—terdapat sembilan pasang arteri intercostalis aorta. Mereka berasal
dari bagian belakang aorta, arteri intercostalis dekstra lebih panjang dibanding yang sinistra sesuai dengan
posisi aorta yang disebelah kiri vertebra. Tiap arteri dibagi menjadi ramus anterior dan posterior.
Ramus anterior—tiap pembuluhnya ditemani dengan vena dan nervus, yang pertama terdapat diatas dan
yang terakhir terdapat di bawah arteri. Kecuali pada bagian atas dimana nervus terdapat diatas arteri. Arteri
intercostalis aorta yang pertama beranastomosis dengan cabang intercostal dari truncus costocervicalis.
Dua arteri intercostalis bagian bawah berlanjut ke anterior dari spatium intercostalis ke dinding abdomen,
serta beranastomosis dengan arteri subcostalis, epigastrica superior, dan lumbalis.

Cabang-cabang—ramus anterior memberi cabang antara lain:

Collateral Intercostal.

Lateral Cutaneous.
Muscular.

Mammary.

Cabang intercostalis collaterale—berasal dari arteri intercostalis dengan sudut costae, dan turun ke batas
atas costae dibawahnya. Ia juga beranastomosis dengan cabang intercostal dari arteri mammaria interna.
Cabang muscularis—memvaskularisasi m. Intercostalis, Pectoralis, dan Serratus anterior.
Cabang cutaneus lateralis—menemani cabang cutaneus lateralis dari nervus thoracicus.
Ramus posterior—berjalan kebelakang pada ruangan yang dibatasi bagian atas dan bawah oleh leher dan
costae, medial oleh corpus vertebrae, lateral oleh ligtamentum costotransversalis anterior. Ia memberi
cabang spinalis yang ,masuk kedalam canalis vertebralis lewat foramen intervertebralis dan mensuplai
medulla spinalis beserta membrannya dan vertebra. Kemudian perjalanannya berlanjut melewati processus
transversus bersama dengan divisi posterior nervus thoracicus mensuplai otot punggung dan cabang
cutaneus mensuplai kulit punggung.
Arteri subcostalis—diberi nama demikian karena ia berada dibawah costae terakhir. Menyusun pasangan
terbawah cabang yang berasal dari aorta thoracica serta susunan terakhir dari arteri intercostalis. Masing-
masingnya melintasi batas bawah dari costae ke XII dibelakang ginjal dan didepan m. Quadratus lumborum,
ditemani dengan nervus thoracicus ke XII, kemudian bergabung dengan aponeurosis posterior dari m.
Transversus abdominis, dan melintas didepan otot tersebut dan m. Obliquus internus, beranastomosis
dengan arteri epigastrica superior, intercostalis inferior, dan lumbalis. Tiap arteri subcostalis memberi
cabang posterior yang mirip distribusinya dengan ramus posterior arteri intercostalis.
Cabang phrenicus superior—merupakan pembuluh kecil yang berasal dari bagian bawah aorta thoracica;
terdistribusi ke bagian posterior dari permukaan atas diafragma, dan beranastomosis dengan arteri
musculophrenicus dan pericardiophrenicus.
Aorta abdominalis (gb. 4)—dimulai pada hiatus aortikus diafragma, didepan batas bawah dari korpus
vertebrae thoracic terakhir, dan, turun didepan kolumna vertebralis, berakhir pada korpus vertebra lumbalis
ke IV, sedikit kekiri dari garis tengah tubuh, kemudian terbagi menjadi dua arteri iliaca comunis. Aorta
semakin berkurang ukurannya dengan semakin banyak ia mempercabangkan pembuluh darah.

Gambar 4: Aorta abdominalis dan cabang-cabangnya

Batas-batas—aorta abdominalis dibatasi, anterior, oleh omentum minus dan gaster, dibelakang cabang dari
arteri celiaca dan plexus celiaca; dibawah vena lienalis, pankreas, vena ranalis sinistra, bagian inferior dari
duodenum, pleksus mesenterium dan pleksus aortikus. Posterior, dipisahkan dari vertebrae lumbalis dan
fibrokartilago intervertebrae oleh ligamentum longitudinalis anterior dan vena lumbalis sinistra. Pada sisi
kanan terdapat vena azygos, cisterna chyli, ductus thoraksikus, crus dekstra diafragma yang memisahkan
aorta dari bagian atas vena cava inferior dan dari ganglion celiaca dekstra; vena cava inferior bersentuhan
dengan aorta dibawahnya. Pada sisi kiri adalah crus sinistra diafragma, ganglion celiaca sinistra,bagian
ascending dari duodenumdan sedikit bagian intestinum.

Cabang-cabang—dapat dibagi menjadi tiga kelompok: viseral, parietal, dan terminal.

Visceral Branches.
Parietal Branches.
Celiac.
Inferior Phrenics.
Superior Mesenteric.
Lumbars.
Inferior Mesenteric.
Middle Sacral.
Middle Suprarenals.
Renals.

Internal Spermatics.
Terminal Branches.
Ovarian (in the female).
Common Iliacs.

Dari cabang viseral, arteri celiaca dan arteri mesenterika superior dan inferior tidak berpasangan, sementara
arteri suprarenalis, renalis, spermatica interna, dan ovarian adalah berpasangan. Dari cabang parietal, arteri
phrenica inferior dan lumbalis adalah berpasangan; arteri sacralis media tidak berpasangan. Cabang
terminal berpasangan.
Arteri celiaca (a. cæliaca; celiac axis) (gb. 5)—mempercabangkan tiga cabang besar, arteri gastrica sinistra,
hepatica, dan splenica, juga terkadang arteri phrenica inferior.

Gambar 5: Arteri celiaca dan cabang-cabangnya


Arteri mesenterika superior (gb. 6)—mempercabangkan arteri pancreaticoduodenalis inferior, intestinalis,
ileocolica, colica dekstra.

Gambar 6: Arteri mesenterika superior dan cabang-cabangnya

Arteri mesenterika inferior (gb. 7)—mempercabangkan arteri colica sinistra, sigmoidea, dan hemorrhoidalis
superior.

Gambar 7: Arteri mesenterika inferior dan cabang-cabangnya

Arteri suprarenalis media (aa. suprarenales media; middle capsular arteries; suprarenal arteries)—adalah
dua pembuluh darah kecil yang muncul dari kedua sisi aorta, berlawanan dengan arteri mesenterika
superior. Melewati bagian lateral dan sedikit keatas, melintasi crura diafragmatika, ke glandula suprarenalis,
dimana kemudian beranastomosis dengan cabang suprarenal dari arteri phrenica inferior dan arteri renalis.
Arteri renalis (aa. renales) (gb. 4)—adalah dua pembuluh besar, yang muncul dari tiap sisi aorta, tepat
dibawah arteri mesenterika superior. Tiap-tiapnya melintasi crus diafragma, sehinga membentuk sudut
hampir tegak lurus dengan aorta. Sisi kanan lebih panjang daripada sisi kiri; sisi kiri lebih tinggi daripada sisi
kanan. Sebelum mencapai hilus renalis, tiap arteri bercabang menjadi empat atau lima cabang kecil. Tiap
arteri juga mempercabangkan suprarenalis superior.
Arteri spermatica internus (aa. Spermaticæ internæ; spermatic arteries) (gb. 4)—terdistribusi ke testis.
Adalah dua arteri yang panjang berasal dari aorta bagian depan sedikit dibawah arteri renalis. Tiap-tiapnya
melintas turun oblik dan lateral dibelakang peritoneum, bersandar pada m. Psoas major. Tiap-tiapnya
menyilang oblik diatas ureter dan bagian bawah arteri iliaca eksternus untuk mencapai anulus inguinalis,
kemudian melewatinya dan merupakan salah satu penyusun corda spermatica disepanjang canalis
inguinalis menuju skrotum. Ia memvaskularisasi ductus deferens, epididimys, bagian belakang tunica
albuginea, testis, ureter, dan m. Cremaster.
Arteri ovaria (aa. Ovaricæ)—adalah arteri pada wanita yang serupa dengan arteri spermatica internus pada
pria, memvaskularisasi ovarium. Asal dan jalurnya sama dengan arteri spermatica interna.
Arteri phrenica inferior (aa. Phrenicæ inferiores) (gb. 4)—adalah dua pembuluh darah kecil yang
memvaskularisasi diafragma. Ia dapat berasal terpisah dari bagian depan aorta, terkadang salah satunya
berasal dari aorta dan yang lain dari arteri renalis; tetapi jarang muncul terpisah dari aorta. Mendekati
bagian belakang tendo central diafragma tiap pembuluh terbagi menjadi cabang medial dan lateral. Cabang
medial melintas kedepan dan beranastomosis dengan sesamanya disisi yang berlawanan, dan dengan
arteri musculophrenicus dan pericardiophrenicus. Cabang lateral melintas pada sisi thorax, dan
beranastomosis dengan arteri intercostalis bawah, dan dengan arteri musculophrenicus, ia juga memberi
cabang ke vena cava inferior dan esophagus. Tiap-tiap pembuluh subcostal memberi cabang suprarenalis
superior menuju kelenjar suprarenal. Spleen dan liver juga menerima beberapa cabangnya.
Arteri lumbalis (aa. Lumbales)—merupakan satu seri denga arteri intercostalsi. Mereka biasanya berjumlah
empat pada tiap sisi, dan berasaldari bagian belakang aorta, berlawanan dengan vertebra lumbalis ke IV.
Kadang juga terdapa tpasangan ke V yang berukuran kecil yang berasal dari arteri sacralis media. Mereka
beranastomosis dengan arteri intercostalis inferior, subcostalis, iliolumbalis, iliaca circumflexi profunda, dan
epigastrica inferior.
Cabang-cabang—pada sela antara processus transversus tiap arteri lumbalis mepercabangkan ramus
posterior yang terdistribusi ke otot dan kulit punggung, ia kemudian menjadi cabang spinal yang memasuki
canalis vertebralis dan terdistribusi sama dengan cabang spinal ramus posterior arteri intercostalis. Cabang
muscular dibentuk dari tiap arteri lumbalis dan dari ramus posterior dari otot tetangganya.
Arteri sacralis media (a. Sacralis media) (gb. 8)—adalah pembuluh kecil, yang muncul dari belakang aorta,
sedikit diatas bifurcatio. Ia turun pada garis tengah didepan vertebra lumbalis ke IV dan V, sacrum dan
coccyx, dan berakhir pada glomus coccygeum (coccygeal gland). Dari situ ia melintas ke permukaan
belakang rectum.

Gambar 8: Arteri pada pelvis


Definisi
Aneurisma: Kata aneurisma berasal dari bahasa yunani “aneurysma” berarti pelebaran. Aneurisma adalah
keadaan dimana pembuluh darah menjadi membesar secara abnormal atau mengembang (over-inflated)
seperti balon yang menonjol keluar. Pelebaran yang terjadi adalah lokal dan lebih dari 50% diameter
pembuluh darah. Aneurisma sering terjadi pada arteri di basis otak (circulus Willisi) dan di aorta. Aneurisma
adalah keadaan yang berbahaya karena dapat ruptur dan menyebabkan kematian kapan saja.
Lapisan arteri yang kontak langsung dengan darah adalah tunica intima, sering disebut intima. Lapisan ini
dibentuk terutama oleh sel endothelial. Berdekatan dengan lapisan ini adalah tunica media, disebut juga
lapisan media terutama dibentuk oleh sel otot polos dan and jaringan elastik. Lapisan paling luar disebut
tunica adventitia atau adventitia, tersusun oleh jaringan ikat (gb. 9).

Gambar 9: Histologi aorta (kanan: perbesaran lemah; kiri: perbesaran kuat)

Aneurisma aorta: adalah aneurisma yang melibatkan aorta. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa aorta
adalah pembuluh darah besar utama yang berasal dari jantung yang mensuplai darah ke abdomen, pelvis,
dan tungkai bawah. Aorta disebut sebagai aorta thoracica saat ia meninggalkan jantung, ascenden,
melengkung (arcus), dan descenden lewat rongga thorak hingga mencapai diafragma (pemisah antara
rongga thorak dan abdomen), aorta mulai disebut sebagai aorta abdominalis setelah ia melewati diafragma
dam berlanjut turun ke abdomen yang terpisah menjadi dua arteri iliaca yang turun ke tungkai bawah. Aorta
dapat mengalami aneurisma, dan biasanya terjadi pada abdomen dibawah ginjal (abdominal aneurysm),
tetapi dapat juga terjadi di rongga thorak (thoracic aneurysm). Hal tersebut dapat terjadi jika dinding aorta
menjadi lemah karena deposit lemak (plak) pada atherosclerosis. Aneurisma juga dapat terjadi sebagai
penyakit yang diturunkan seperti Marfan syndrome.
Beberapa lokasi yang sering terjadi aneurisma antara lain:
Aorta (abdominal aortic aneurysm dan thoracic aortic aneurysm) (gb. 10)
Otak (cerebral aneurysm) (gb. 10)
Tungkai bawah (popliteal artery aneurysm)
Usus (mesenteric artery aneurysm)
Splenic artery aneurysm

Gambar 10: Aneurisma aorta abdominalis dan Berry aneurisma pada sirkulus Willisi

Klasifikasi
Aneurisma dapat digolongkan berdasarkan bentuknya: sakular atau fusiform (gb. 11). Sakular aneurisma
menyerupai kantong (sack) kecil; fusiform aneurisma menyerupai kumparan.
Aneurisma juga dapat digolongkan kedalam dua kelompok true aneurysms dan false aneurysms. True
aneurysm melibatkan pelebaran semua 3 lapis dinding pembuluh darah, intima, media, dan adventitia. True
aneurysms dapat karena malformasi kongenital, infeksi, atau hypertension. False aneurysm, juga disebut
sebagai pseudoaneurysm, melibatkan pelebaran hanya adventitia saja. Pseudoaneurysms dapat karena
trauma melibatkan intima pembuluh darah dan sebagai komplikasi prosedur arteri percutaneous.

Gambar 11: Aneurisma sakular dan fusiform

Etiologi
Aneurisma dapat terjadi sebagai kelainan kongenital atau akuisita. Penyebab pasti penyakit ini belum
diketahui, defek pada beberapa komponen dari dinding arteri dapat bertanggung jawab terdapat faktor risiko
untuk terjadinya aneurisma aorta meliputi tekanan darah yang tinggi, kadar kolesterol yang tinggi, diabetes,
perokok tembakau, alkoholism, dan insomnia. dan obesitas. Penyebab yang paling banyak dari aneurisma
aorta adalah pengerasan dari arteri disebut arteriosclerosis. Sekitar 80% dari aneurisma aorta adalah dari
arteriosclerosis. Arteriosclerosis dapat melemahkan dinding aorta dan tekanan darah yang dipompakan
melewati aorta menyebabkan ekspansi pada area yang lemah. Kehamilan sering dihubungkan dengan
pembentukan dan rupture dari aneurisma arteri splenica.

Faktor risiko aneurisma aorta antara lain:


Perokok sigaret – tidak hanya meningkatkan risiko pembentukan aneurisma aorta abdominalis, risiko
terjadinya rupture aneurisma juga sering terjadi pada perokok aktif.
Tekanan darah tinggi
Kadar kolesterol serum yang tinggi
Diabetes mellitus
Genetik – adanya tendensi familial dalam terjadinya aneurisma. Cenderung menderita aneurisma pada usia
muda dan punya tendensi yang besar untuk menderita rupture aneurisma daripada individu tanpa riwayat
keluarga. Terdapat juga keadaan penyakit genetic dari jaringan ikat yang jarang terjadi seperti Ehlers-
Danlos syndrome dan Marfan's syndrome.
Post-traumatik: setelah trauma fisik pada aorta.
Arteritis: seperti pada Takayasu disease, giant cell arteritis, and relapsing polychondritis.
Infeksi mycotic (fungal) yang dapat berasosiasi dengan immunodeficiency, penggunaan obat IV, operasi
katub jantung.

Rupture dan jendalan darah adalah risiko yang dapat terjadi dengan aneurisma. Rupture dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah, takikardi, dan sakit kepala. Risiko kematian adalah tinggi kecuali
rupture yang terjadi di ekstremitas. Jendalan darah dari aneurisma arteri popliteal dapat terbawa ikut aliran
darah dan menggangu jaringan. Jendalan dari aneurisma vena popliteal lebih serius karena dapat
menyebabkan emboli dan terbawa sampai jantung, atau dari jantung ke paru (emboli pulmonal).
Aneurisma aorta abdominalis dapat terjadi pada siapa saja, tetapi lebih sering terlihat pada individu lebih
dari 50 tahun dengan satu atau lebih faktor risiko. Semakin besar ukuran aneurisma semakin mudah untuk
rupture.
Aneurisma aorta thoracica dapat terjadi pada aorta ascenden (25%), arcus aorta (25%), atau aorta
descenden (50%).

Lokasi (gb. 12)


Aneurisma dapat terjadi dimana saja terdapat pembuluh darah, meskipun paling sering terjadi pada arteri
tetapi dapat juga pada vena (misal: aneurisma vena popliteal). Sebagian besar aneurisma non intracranial
(95%) muncul pada distal arteri renalis di aorta abdominalis infrarenal. Aorta thoracica juga dapat terkena.
Salah satu yang paling sering dari aneurisma aorta thoracica meliputi pelebaran aorta proksimal dan
pangkal aorta, yang dapat menyebabkan insufisiensi aorta. Aneurisma dapat terjadi pada tungkai, terutama
pembuluh darah dalam (vasa popliteal pada lutut). Kebanyakan aneurisma muncul terisolasi, aneurisma
berry pada anterior communicating artery dari circulus Willisi berasosiasi dengan autosomal dominant
polycystic kidney disease (ADPKD). Tahap ketiga dari syphilis juga bermanifestasi aneurisma aorta, dimana
terjadi kehilangan vasa vasorum di tunica adventitia.

Gambar 12: Beberapa lokasi aneurisma

Patogenesis (gb. 13)


Aorta manusia adalah sirkuit yang relatif rendah tahanan untuk peredaran darah. Ekstremitas bawah
memiliki tahanan arteri yang terbesar, dan trauma yang berulang sebagai cerminan gelombang arterial pada
distal aorta dapat mencederai dinding aorta dan menyebabkan degenerasi aneurisma. Hipertensi sistemik
juga dapat mencederai, dan mempercepat ekspansi aneurisma.
Secara hemodinamik, keadaan dilatasi aneurisma dan peningkatan stress dinding sesuai dengan hukum
Laplace. Spesifiknya, hukum Laplace menyatakan bahwa tekanan dinding proporsional terhadap tekanan
dikali radius dari arterial (T = P x R). Peningkatan diameter, diikuti dengan peningkatan tekanan dinding,
sebagai respon terhadap peningkatan diameter. Meningkatnya tekanan, maka meningkat pula risiko ruptur.
Peningkatan tekanan (hipertensi sistemik) dan meningkatnya ukuran aneurisma memicu tekanan pada
dinding dan lebih lanjut meningkatkan risiko ruptur.
Patogenesis dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis belum dimengerti secara baik. Aneurisma
aorta abdominalis dikarakteristikkan dengan destruksi elastin dan kolagen pada tunica media dan adventitia,
ilangnya sel otot polos tunica media dengan penipisan dinding pembuluh, dan infiltrat limfosit dan makrofag
transmural. Atherosclerosis adalah gambaran utama yang mendasari aneurisma. Bagaimanapun juga
kurang disetujui jika menyebutkan atherosclerosis menyebabkan aneurisma sebagai penyakit primer pada
intima sementara pementukan aneurisma terutama melibatkan tunica media dan adventitia. National Heart,
Lung, and Blood Institute Request for Applications (HL-99-007) mengajukan judul "Pathogenesis of
Abdominal Aortic Aneurysms" dan diidentifikasi 4 mekanisme yang relevan dengan pembentukan aneurisma
aorta abdominalis 1) degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta, 2) inflamasi dan respon imun, 3)
stress biokimia pada dinding, dan 4) molecular genetics.
Degradasi proteolitik dari dinding jaringan ikat aorta—pembentukan aneurisma melibatkan proses komplek
dari destruksi tunica media aorta dan jaringan penyokongnya lewat degradasi elastin dan kolagen. Pada
model in vivo dari pembentukan aneurisma aorta abdominalis, meliputi aplikasi calcium chloride dan perfusi
elastase intraluminal, telah digunakan untuk meningkatkan peran berbagai protease selama pembentukan
aneurisma. Model tersebut, sebaik yang telah dipelajari juga pada jaringan aorta manusia, menunjukkan
bahwa berbagai matrix metalloproteinase proteinases (MMPs), berasal dari makrofag dan sel otot polos
aorta, memainkan peran terintegrasi dalam pembentukan aneurisma. Disolusi kolagen intersisial mengikuti
ekspresi dari collagenase MMP-1 dan MMP-13 pada aneurisma aorta abdominalis manusia. Elastase MMP-
2 (gelatinase A), MMP-7 (matrilysin), MMP-9 (gelatinase B), dan MMP-12 (elastase makrofag) juga
meningkat pada jaringan aneurisma aorta. MMP-12, diekspresikan tinggi pada aneurisma aorta abdominalis
manusia dan dapat berperan penting dalam inisiasi aneurisma. Sebagai tambahan, tingginya kadar MMP-2,
ditemukan pada aneurisma aorta yang kecil, menunjukkan peran MMP-2 pada pembentukan awal aorta.
Terakhir elastase MMP-9 yang dapat diinduksi meningkat pada jaringan aorta, juga pada serum pasien
aneurisma. Selama pembentukan aneurisma, keseimbangan remodeling dinding pembuluh antara MMPs
dan inhibitornya yaitu Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIMPs), menentukan degradasi elastin dan
kolagen. Lebih lanjut mekanisme biologis yang menginisiasi proteolitik enzim pada aorta belum diketahui.
Inflamasi dan respon imán—gambaran histologi yang menonjol dari aneurisma aorta abdominalis adalah
infiltrasi transmural oleh makrofag dan limfosit. Dihipotesiskan bahwa sel ini secara simultan melepaskan
kaskade sitokin yang menghasilkan aktivasi berbagai protease. Pemicu untuk influk dan migrasi leukosit
belum diketahui, tetapi paparan produk degradasi elastin pada dinding aorta dapat berperan sebagai
primary chemotactic attractant untuk infiltrasi makrofag. Konsep bahwa pembentukan aneurisma adalah
respon autoimun didukung oleh infiltrat ekstensif dari limfosit dan monosit, juga deposisi imunogobulin G
yang reaktif terhadap matriks protein ekstraselular pada dinding aorta. Tunica adventicia tampaknya adalah
area utama yag menjadi tempat infiltrasi leukosit dan aktivasi inisial MMP. Sitokin dari makrofag dan limfosit
meningkat pada dinding aneurisma aorta, meliputi IL-1ß, TFN-a, IL-6, IL-8, MCP-1, IFN-g, dan GM-CSF.
Sitokin inflamatori ini, bersama dengan plasminogen aktivator, menginduksi ekspresi dan aktivasi dari MMPs
dan TIMPs.
Stress biokimia pada dinding—letak terbanyak infrarenal untuk pembentukan aneurisma aorta abdominalis
menunjukkan perbedaan potensial pada struktur aorta, biologi dan stress disepanjang aorta. Peningkatan
shear dan tension pada dinding aorta menghasilkan remodeling kolagen. Lebih lanjut, penurunan rasio
elastin terhadap kolagen dari proksimal ke distal aorta dapat relevan secara klinis semenjak penurunan
elastin berhubungan dengan dilatasi aorta, sementara degradasi kolagen adalah predisposisi untuk ruptur.
Saat aneurisma terbentuk, maka peningkatan stress dinding adalah penting dalam percepatan dilatasi dan
peningkatan risiko ruptur. ß-blockers berperan untuk mengurangi stress dinding dan telah diperkirakan
berperan protektif untuk dilatasi aneurisma dan ruptur pada model binatang.
Molekular genetik—familial cluster dan subtype HLA menunjukkan baik peran genetik dan imunologis dalam
patogénesis aneurisma. Yang terbaru, tidak ada polimorfisme gen tunggal atau defek yang dapat
diidentifikasi sebagai denominator yang paling sering untuk aneurisma aorta abdominalis. Beberapa fenotip
telah ditemukan berhubungan dengan pembentukan aneurisma aorta abdominalis. Sebagai contoh, Hp-2-1
fenotip haptoglobin dan defisiensi a1-antitrypsin berasosiasi dengan pembentukan aneurisma. Sebagai
tambahan, adanya penurunan frekuensi aneurisma pada pasien dengan Rh-negative blood group dan
penngkatan frekuensi pada pasien dengan MN atau Kell-positive blood groups.
Mekanisme gabungan—kombinasi dari faktor multipel meliputi stress hemodinamik lokal, fragmentasi tunica
media, dan presdiposisi genetik, lewat mekanisme imunologi yang tidak diketahui sepertinya menstimulasi
sel-sel inflamasi kedalam dinding aorta. Sel inflamasi kemudian melepaskan chemokine dan sitokin
menghasilkan influk lebih lanjut dari leukosit dengan ekspresi dan aktivasi protease, terutama MMPs.
Protease ini menghasilkan degradasi tunica media dan dilatasi aneurisma. Peningkatan stress dinding
kemudian melanjutkan proses proteolisis dan progresifitas dilatasi aneurisma dengan ruptur aorta jika tidak
ditangani dengan tepat.

Gambar 13: Skema patogenesis aneurisma aorta

Gejala dan Tanda


Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering tanpa gejala. Jika aneurisma
mengembang secara cepat, maka terjadi robekan (ruptur aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang
dinding pembuluh darah ( aortic dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba.

Aneurisma aorta abdominalis


Aneurisma asimptomatik—aneurisma ini biasanya ditemukan saat pemeriksaan fisik rutin dengan
dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma asimptomatik ditemukan sebagai
penemuan insidental saat pemeriksaan USG abdomen atau CT scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi
penyakit arteri oklusif pada renal atau ekstremitas bawah sering ditemukan pada 25% kasus. Aneurisma
arteri popliteal terdapat pada 15% kasus pasien dengan aneurisma aorta abdominalis.
Aneurisma simptomatik—nyeri midabdominal atau punggung bawah atau keduanya dan adanya pulsasi
aorta prominen dapat mengindikasikan pertumbuhan aneurisma yang cepat, ruptur, atau aneurisma aorta
inflamatorik. Aneurisma inflamatorik terhitung kurang dari 5% dari aneurisma aorta dan dikarakteristikkan
dengan inflamasi ekstensif periaortic dan retroperitoneal dengan sebab yang belum diketahui. Pada pasien
ini terdapat demam ringan, peningkatan laju endap darah, dan riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang
baru saja; pasien sering sebagai perokok aktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan oleh emboli septik
atau kolonisasi bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat jarang terjadi tetapi harus diperkirakan
pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma yang bersamaan dengan fever of unknown origin.
Ruptur aneurisma—pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung, abdomen, dan flank serta
hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur
anterior ke rongga peritoneum. 90% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya kesempatan
untuk menolong adalah perbaikan bedah emergensi.

Gejala ruptur antara lain:


Sensasi pulsasi di abdomen
Nyeri abdomen yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan. Nyeri dapat menjalar ke selangkangan,
pantat, atau tungkai bawah.
Abdominal rigidity
Nyeri pada punggung bawah yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan, dapat menjalar ke
selangkangan, pantat, atau tungkai bawah
Anxietas
Nausea dan vomiting
Kulit pucat
Shock
Massa abdomen

Aneurisma aorta thoracica


Manifestasi klinisnya tergantung dari besarnya ukuran, posisi aneurisma, dan kecepatan tumbuhnya.
Sebagian besar adalah asimptomatik dan ditemukan dalam prosedur diagnostik untuk keadaan lain.
Beberapa pasien mengeluh nyeri substernal, punggung, atau leher. Yang lainnya menderita dispneu, stridor,
atau batuk akibat penekanan pada trakhea, disphagia akibat penekanan pada esophagus, hoarseness
akibat penekanan pada nervus laryngeus recurrent sinistra, atau edema leher dan lengan akibat penekanan
pada vena cava superior. Regurgitasi aorta karena distorsi anulus valvula aortikus dapat terjadi dengan
aneurisma aorta ascenden.

Pemeriksaan Penunjang
Ultrasound (gb. 14—adalah pemeriksaan skrining pilihan dan bernilai juga untuk mengikuti perkembangan
aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang kecil (<5 cm). Biasanya aneurisma membesar 10%
diameter per tahunnya; sehingga USG abdomen direkomendasikan untuk aneurisma yang lebih besar 3,5
cm.

Gambar 14: USG abdomen pada aneurisma aorta

CT scan (gb. 15)—tidak hanya tepat dalam menentukan ukuran aneurisma tetrapi juga menentukan
hubungan terhadap arteria renalis.

Gambar 15: CT scan abdomen pada aneurisma aorta

Angiography aorta (aortography) (gb. 16)—diindikasikan sebelum repair aneurisma arterial oclusive disease
pada viseral dan ekstremitas bawah atau saat repair endograft akan dilakukan.

Gambar 16: Aortography aorta abdominalis pada aneurisma aorta

Terapi
Aneurisma aorta abdominalis
Terapi aneurisma secara tradisional adalah intervensi bedah atau observasi (watchful waiting) dengan
kombinasi pengawasan tekanan darah. Sekarang, endovascular atau teknik invasif minimal telah
dikembangkan untuk berbagai tipe aneurisma.
Jika aneurisma berukuran kecil dan tidak ada gejala (misalnya aneurisma yang ditemukan saat pemeriksan
kesehatan rutin), maka direkomendasikan pemeriksaan kesehatan periodik saja, meliputi pemeriksaan
ultrasonik tiap tahunnya, untuk memantau apakah aneurisma menjadi besar.
Aneurisma yang menyebabkan gejala membutuhkan tindakan bedah untuk mencegah komplikasi. Operasi
direkomendasikan untuk pasien dengan aneurisma yang lebih dari 5 cm diameternya dan aneurisma yan
meningkat ukurannya secara cepat. Tujuan tindakan bedah adalah melaksanakan operasi sebelum
komplikasi terjadi.
Ada dua pendekatan tindakan bedah. Secara tradisional adalah membuka abdomen (gb. 18). Pembuluh
darah yang abnormal digantikan oleh graft yang dibuat dari material sintetis, seperti Dacron (gb. 17).
Pendekatan lain disebut endovascular repair (gb. 19). Tube tipis disebut catheters dimasukkan lewat arteri
ke inguinal. Tube ini memungkingkan graft diletakkan tanpa membuat potongan besar di abdomen dan
penyembuhan dapat lebih cepat.

Aneurisma aorta thoracica


Indikasi untuk pembedahan meliputi adanya gejala, ekspansi cepat, atau ukuran yang lebih besar dari 5 cm.
Risiko operasi dari kondisi komorbid harus dipertimbangkan jika merekomendasikan repair aneurisma yang
asimtomatik. Morbiditas dan mortalitas tinggi dibandingkan dengan aneurisma aorta abdominal. Insisi
aneurisma thoracoabdominal berasosiasi dengan risiko tinggi komplikasi pulmonal dan manajemen nyeri
postoperatif yang lebih ekstensif. Adanya nervus laryngeus recurrent, nervus phrenicus, dan arteria
subklavia membuat trauma terhadap bangunan tersebut menjadi mungkin. Arteria radicularis major (artery
of Adamkiewicz) muncul dari arteri intercostalis antara T8 dan L1 dan sebagai arteri medulla spinalis yang
dominan pada 80% pasien, menunjukkan adanya risiko paraplegi selama repair aneurisma thoracica.
Repair endovascular dari aneurisma aorta thoracica mengurangi risiko kardiopulmonal, tetapi lokasi
aneurisma yang sulit dapat menggantikan repair endovascular dengan metode terkini. Penelitian terbaru
mengembangkan branched stent graft untuk perbaikan dari aneurisma arkus dan thorakoabdominal.

Gambar 17: Graft sintetis

Gambar 18: Open surgical repair pada aneurisma aorta abdominalis

Gambar 19: Endovascular graft pada aneurisma aorta abdominalis


Aneurisma perifer
Untuk aneurisma aorta dan aneurisma yang terjadi pada pembuluh darah yang mensuplai darah ke lengan,
kaki, dan kepala (peripheral vessels), pembedahan meliputi penempatan bagian yang melebar dengan tube
artifisial (graft). Kini, metallic stents atau coated metallic stent grafts telah dikembangkan dan dapat
dimasukkan lewat arteri di kaki.

Komplikasi
Aortic rupture
Hypovolemic shock
Arterial embolism
Kidney failure
Heart attack
Stroke
Aortic dissection
Prognosis
outcome biasanya baik jika perbaikan dilakukan oleh ahli bedah yang berpengalaman sebelum ruptur.
Kurang dari 50% dari pasien bertahan dari ruptur aneurisma abdominal. Mortalitas setelah open elective
atau endovascular repair adalah 1-5%. Pada umumnya pasien dengan aneurisma aorta yang lebih besar
dari 5 cm mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk meninggal sebagai konsekuensi dari ruptur
dibandingkan dari reseksi bedah. Survival rate 5 tahun setelah tindakan bedah adalah 60-80%. 5-10%
pasien akan mengalami pembentukan aneurisma lainnya berdekatan dengan graft.

Prevensi
Aktivitas fisik yang cukup, konsumsi yang baik dan cukup, hindari merokok.

DAFTAR PUSTAKA

Beers. M.H., Fletcher. A.J., Jones. T.V., Chapter 35: Aneurysms and Aortic Dissection in The Merck Manual
of Medical Information, 2nd ed. USA, Merck & Co., Inc, 2003. 204-208.
Clason. A., Wilson. RG., Peripheral Vascular Disease in Mc Latchie. GR., Leaper. DJ., Oxford Handbook of
Clinical Surgery, 2nd ed. New Delhi, Oxford University Press, 2002. 308-310.

Messina. L. M., Pak. L. K., Tierney. L. M., Chapter 12: Arterial Aneurysm in Current Medical Diagnosis and
Treatment, 44th ed. USA, The McGraww-Hill Companies, Inc, 2005. 428-431.

Sjamsuhidajat. R., de Jong. W., Bab 22 Jantung, Pembuluh Arteri, Vena, dan Limfe: Aneurisma dalam Buku
Ajar Ilmu Bedah, ed. 1. Jakarta, EGC, 1997.

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001122.htm

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001119.htm

www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000162.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Aneurysm

www.bartleby.com

[+/-] Selengkapnya...

Browse > Home / Bedah / Program dan Ebooks Kedokteran / Essential Surgical Skill (CD ROM)

Essential Surgical Skill (CD ROM)

1 komentar 4:44:00 Diposting oleh Admin


Label: Bedah, Program dan Ebooks Kedokteran
This popular resource delivers a thorough overview of every basic surgical term, concept, and technique.
The essentials of surgery are concisely presented and abundantly illustrated. From tissue injury, local
anesthetics, and surgical instrumentsthrough obtaining hemostasis, skin flaps, scar excision and closureto
postoperative wound care, the 2nd Edition presents everything readers need to know to perform all of the
maneuvers essential to surgical success. Two bonus CD-ROMs complement the text, using full-color
animations and live-action video to demonstrate all of the skills step by step.
Harga Rp. 20.000 (1 CD ROM)

[+/-] Selengkapnya...

Browse > Home / Bedah / Program dan Ebooks Kedokteran / Surgery Of The Liver, Biliary Tract And Pancreas
(Ebooks DVD)

Surgery Of The Liver, Biliary Tract And Pancreas (Ebooks DVD)

1 komentar 6:20:00 Diposting oleh Admin


Label: Bedah, Program dan Ebooks Kedokteran
* Publisher: Saunders
* Number Of Pages: 2008
* Publication Date: 2006-12-18
* Sales Rank: 892765
* ISBN / ASIN: 1416032568
* EAN: 9781416032564
* Binding: Hardcover
* Manufacturer: Saunders
* Studio: Saunders
* Average Rating:
* Total Reviews:
This 2-volume reference, edited by a panel of experts and featuring contributions by many leading
authorities, comprehensively covers the cutting edge of research, teaching, and practice in surgery of the
liver, biliary tract, and pancreas. This resource covers anatomy, pathophysiology, immunology, molecular
biology, genetics, diagnosis, and treatment. Richly illustrated, it is accompanied by a DVD with detailed
video clips of laproscopic procedures, effectively allowing you to use it as an operative atlas.
Harga: Rp. 50.000

[+/-] Selengkapnya...

Posting Lebih Baru Posting Lama Halaman Muka


ENEWS & UPDATES

Sign up to receive breaking news


as well as receive other site updates!
Enter your email a GO

Blogroll
Medis dan Komputer

Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada Anak

4 minggu yang lalu


Search

Kontak Saya

Pemesanan CD/ DVD


Apabila anda tertarik CD/DVD ROM kedokteran atau ebooks kedokteran, anda tinggal hubungi no.hp saya.
Harga per CD 20 ribu, Harga DVD 50 ribu + ongkos kirim. Pembayaran Via BNI atau BCA.
Hp: 085692764965

Komentar
View shoutbox
ShoutMix chat widget

Featured Video

Labels
 Akupuntur (1)
 Anatomi (3)
 Anestesi (17)
 Artikel Kedokteran (95)
 Artikel Linux (6)
 Backtrack (1)
 Bedah (26)
 Bedah Thorax (3)
 Bedah Vaskular (1)
 Dermatologi (7)
 Distro Linux (6)
 Ebook (2)
 Ebooks (68)
 EMR (1)
 Farmakologi (4)
 Fisiologi (1)
 Forensik (1)
 Freespire (1)
 Hematologi (1)
 Kulit kelamin (2)
 Linux Mint (1)
 Mata (1)
 Mikrobiologi (1)
 Neurologi (5)
 Obgin (15)
 Onkologi (3)
 Orthopedi (1)
 PC Linux (1)
 Pediatrik (13)
 Penyakit Dalam (24)
 Program dan Ebooks Kedokteran (30)
 Psikiatri (3)
 Radiologi (1)
 Request (1)
 THT (2)
 Ubuntu ME (1)
 UKDI (1)
 UpToDate (1)

Blog Archive
 ▼ 2009 (137)
o ▼ Maret (15)
 HAND DERMATITIS
 Dyshidrotic eczema
 PEMAKAIAN ASIKLOVIR PADA PENYAKIT KULIT
 Dermatitis Seboroik
 Dermatitis
 Akrodermatitis
 Trauma Thorax
 Terapi Konservatif Crohn Disease
 Penanganan Peritonitis
 PENATALAKSANAAN BENJOLAN TUNGGAL PADA TIROID
 Karsinoma Payudara
 Fraktur Salter Haris
 AMPUTASI DAN PROSTETIK
 Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakaia...
 Arti Klinis Luka Tembak
o ► Februari (117)
 Komplikasi Transfusi Darah dan Pengobatannya
 Terapi Cairan Pasca Bedah
 Syok Neurogenik
 Skabies
 Anestesi Pada Neonatus
 Retinitis
 Perdarahan Post Partum
 KEHAMILAN DENGAN LETAK LINTANG
 Kanker Serviks
 Ketuban Pecah Dini (KPD)
 Karsinoma Nasofaring
 Epistaksis
 SINUSITIS
 Rhinitis Vasomotor
 Otitis Media Akut
 Miastenia Gravis
 Manajemen Nyeri Bahu Pada Pasien Stroke
 PENYAKIT PARKINSON DAN PARKINSONISMUS
 Carpal Tunnel Syndrome
 Pemeriksaan Syaraf
 Konversi Histerik
 Adenokarsinoma Renal
 Artritis Reumatoid
 Leukemia Mieloblastik
 Aneurisma Aorta
 PENGARUH ATRIAL FIBRILASI PADA STROKE
 Tumor Testis
 Ebooks Farmakologi
 Tuberculosis Paru
 Pneumomediastinum
 Perdarahan Antepartum
 Referat Penatalaksanaan Anastesi Pada Pasien Nefre...
 Ebooks Thorax Surgery
 Ebooks Sexual Transmitted Disease
 Ebook Sexual Medicine
o ► Januari (5)

 ► 2008 (64)
o ► Desember (24)
o ► Oktober (2)
o ► Agustus (5)
o ► Juli (17)
o ► Juni (7)
o ► April (1)
o ► Maret (2)
o ► Februari (6)
 ► 2007 (94)
o ► Desember (6)
o ► November (12)
o ► Oktober (5)
o ► September (57)
o ► Agustus (14)

Live Traffic

Pengikut

Advertisement

Anda mungkin juga menyukai