Anda di halaman 1dari 57

1

Peningkatan kementrian ATR/BPN

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Pada 25 oktober 2018 yang lalu kementrian agrarian dan tata ruang/

badan pertanahan nasional direktorat jendral hubungan hukum

keagrariaan mengeluarkan pengumuman nomor 15/Peng-400.18/X/2018

tentang penyelenggaraan peningkatan Kualitas PPAT (Pejabat Pembuat

Akta Tanah) Gelombang VII Tahun 2018

Dalam pengumuman itu disebutkan bahwa peserta kegiatan peningkatan

Kualitas PPAT adalah :

a. Calon PPAT yang telah lulus ujian PPAT dan akan mengajukan

permohonan pengangkatan sebagai PPAT

b. PPAT yang telah melaksanakan tugas jabatan lebih dari 10 tahun

atau PPAT yang akan memasuki usia pension dan akan mengajukan

perpanjangan masa jabatan PPAT atau PPAT yang akan

mengajukan permohonan pindah daerah kerja atau PPAT yang

diusulkan menjadi anggota MPPW (Majelis Pembina dan Pengawas

PPAT Wilayah) atau MPPD (Majelis Pembina dan Pengawas PPAT

1
Daerah) oleh pengurus wilayah/ Pengurus Daerah IPPAT (Ikatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah

Menurut pengumuman tersebut, penyelenggaraan kegiatan

peningkatan kualitas PPAT ini adalah untuk meningkatkan kemampuan

dan pengetahuan dibidang pertanahan dan untuk mewujudkan PPAT

yang berkualitas dan professional

Dalam aspek peningkatan kualitas PPAT, kegiatan ini cukup baik dan

patut didukung, namun demikian, patut diragukan apakah kementrian

Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kementrian

ATR/BPN) sudah cukup berkualitas untuk menyelenggarakan kegiatan

peningkatan kualitas bagi PPAT

2
2

Presiden Tidak Harmonis dengan MPR

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Pada tanggal 24 september 2018 yang lalu, presiden republic

Indonesia mengeluarkan peraturan presiden republic Indonesia nomor 86

tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres 86/2018). Pada huruf c

Bagian menimbang Perpres 86/2018 disebutkan: “bahwa berdasarkan

ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001 tentang

pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan UU Nomor 17

tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

Tahun 2005-2025, perlu pengaturan tentang pelaksanaan reforma Agraria

dalam rangka meningkatkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.

Ketidakharmonisan perpres 86/2018 dengan Tap. MPR

IX/MPR/2001 ditemukan dalam aspek terminology dan aspek konsepsi.

Perpres 86/2018 menggunakan terminologi “reforma Agraria”,

sedangkan Tap. MPR/IX/MPR/2001 sama sekali tidak mengenal atau tidak

ada mengatur terminology reforma agrarian. Terminology yang dikenal

3
oleh Tap. MPR/IX/MPR/2001 adalah “pembaruan agraria” dan

“Landreform”

Selanjutnya, selain tidak harmonis dalam aspek terminology,

perpres 86/2018 juga tidak harmonis dengan Tap.MPR/IX/MPR/2001

dalam aspek konsepsi.

Menurut perpres 86/2018 yang dimaksud dengan konsepsi Reforma

Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui

penataan asset dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran

rakyat Indonesia.

Sementara itu menurut TAP.MPR/IX/MPR/2001 konsepsi

pembaruan agrarian adalah mencakup suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agrarian,

dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan

hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia

Supaya harmonis dengan TAP.MPR/IX/MPR/2001, sebaiknya

perpres 86/2018 direvisi, dengan mengubah terminology dan konsepsi

reforma agraria menjadi terminology dan konsepsi landeform yang diatur

oleh Tap.MPR/IX/MPR/2001 atau agar tidak terjadi kebingungan nasional.

4
3

Menteri ATR/Ka.BPN Melanggar Hukum

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU-Medan

Menteri agrarian dan tata ruang/kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia (Menteri ATR/Ka.BPN) kembali melakukan pelanggaran

hukum. Kali ini yang dilanggar dua peraturan perundang undangan di

bidang perpajakan sekaligus, yaitu ketentuan tentang pajak Bea Perolehan

Ha katas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana diatur dalam UU

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan

retribusi daerah (UU 28/2009) dan ketentuan tentang pajak penghasilan

atas Pengalihan Ha katas Tanah dan atau Bangunan sebagaimana diatur

dalam peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 34 tahun 2016

tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari pengalihan ha katas

tanah atau bangunan, dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah atau

bangunan beserta perubahannya (PP 34/2016)

Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh menteri ATR/Ka.BPN

ditemukan dalam peraturan menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

5
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018

tentang pendaftaran Tanah Sistematis lengkap (PMATR/Ka.BPN 6/2018)

Menurut PMATR/Ka.BPN 6/2018, yang dimaksud dengan

pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua

objek pendaftaran tanah diseluruh wilayah republic Indonesia dalam satu

wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu,

yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau

beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.

PMATR/Ka.BPN 6/2018 secara terang terangan melanggar dan

mengabaikan ketentuan pasal 90 ayat 1 huruf I dan j, pasal 90 ayat 2

pasal 91 ayat 3 uu 28/2009 serta pasal 3 ayat 1 dan 5 dan pasal 34/2016

6
4

Kejahatan Stellionnaat atas tanah Eks HGU

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H.,Sp.N, M.Kn

Penulis adalah Notaris/PPAT dan dosen program studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Hak guna usaha (HGU) menurut pasal 28 dan pasal 29 UUPA (UU

No 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok agraria) adalah

hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara,

dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian,

perikanan, atau peternakan. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu

yang lebih lama, dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun

dan dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25tahun

Lebih lanjut ,menurut pasal 12 dan 18 PP 40/1996, apabila HGU

telah hapus, pemegang HGU yang telah hapus berkewajiban untuk :

1. Menyerahkan kembali tanah HGU yang telah hapus tersebut kepada

Negara

2. Menyerahkan sertifikat tanah HGU yang telah hapus tersebut

kepada kepala kantor pertanahan setempat

3. Membongkar bangunan bangunan dan benda benda yang berdiri

diatas HGU yang telah hapus tersebut dan menyerahkan tanaman

7
tanaman yang ada diatas tanah HGU yang telah hapus tersebut

kepada Negara.

Dengan demikian, menurut PP 40/1996, tanah HGU yang telah

hapus tersebut (eks HGU) kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh

Negara yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak.

Kejahatan stellionnaat ini juga dapat dikenakan kepada pihak pihak

lain diluar mantan pemegang hak atas tanah eks HGU yang melakukan

perbuatan hukum (mengalihkan/menyewakan/mengagunkan) terhadap

tanah eks HGU

Lebih jauh lagi, stellionnaat inipun dapat dikenakan kepada pihak

pihak yang melakukan perbuatan hukum (mengalihkan/menyewakan/

mengagunkan) terhadap HGU yang belum hapus atau belum berakhir

(HGU aktif)

Perpres 17/2015 menentukan tugas kementrian ATR adalah

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang agrarian/pertanahan

dan tata ruang untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan

pemerintahan Negara.

8
5

Teori Norma Salib

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan dosen program studi magister

Kenotariatan USU Medan

Disharmoni norma secara vertical, contohnya terjadi antara undang

undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok

agrarian, yang dapat disebut juga dengan undang undang pokok agrarian

atau disingkat UUPA dengan pasal 33 ayat 3 undang undang dasar Negara

republic Indonesia tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945).

Sedangkan disharmoni norma secara horizontal, contohnya terjadi

antara UUPA dan sejumlah undang undang sektoral dibidang pengelolaan

sumber daya alam ( UU sektoral PSDA) di Indonesia (yang dimaksud

dengan UU sektora PSDA, antara lain, adalah undang undang kehutanan,

undang undang pertambangan mineral dan batubara, undang undang

minyak dan gas bumi, undang undang sumber daya air, undang undang

perikanan, undang undang penataan ruang, undang undang lingkungan

hidup, dan lain lain.

Salah satu cara untuk mengatasi persoalan disharmoni norma di

Indonesia adalah dengan menerapkan teori norma salib.

9
Teori norma salib adalah teori pembentukan norma yang

mengutamakan keserasian dan keselarasan atau keharmonisan norma,

baik secara vertical maupun horizontal.

Dengan teori norma salib suatu norma yang secara hierarki (tata

urutan) atau jenjang berada dibawah, secara vertical harus harmonis

dengan norma yang berada diatasnya dan sebaliknya pula suatu norma

yang secara hierarki berada diatas secara vertical harus menjadi panutan

atau pedoman bagi norma yang berada dibawahnya.

Selanjutnya suatu norma yang secara hierarki berada atau memiliki

kedudukan yang sejajar atau setara, secara horizontal harus harmonis

dengan norma yang sejajar atau setara yang materi muatannya memiliki

hubungan atau keterkaitan.

10
6

Daluwarsa Prematur

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N M.Kn.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan dosen program studi magister

kenotariatan USU Medan

Pasal 32 PP 24/1997 ini mengatur tentang lewatnya waktu

(daluwarsa) untuk menggugat sertifikat tanah yang telah diterbitkan oleh

kantor pertanahan dan sekaligus pula melegitimasi dasar perolehan ha

katas tanah bagi pemegang sertifikat dengan cara daluwarsa. Jangka

waktu daluwarsa ditetapkan oleh pasal ini adalah 5 tahun

Secara normative, daluwarsa 5 tahun untuk memperoleh ha katas

tanah yang diatur oleh pasal 32 PP 24/1997 ini adalah premature (belum

waktunya). Paling tidak ada 3 norma yang dapat dipergunakan untuk

melihat daluwarsa premature ini, yaitu :

1. Pasal 24 PP 24/1997

2. Pasal 1963 kitab undang undang hukum perdata (Burgerlijk

Wetboek)

3. Putusan mahkamah agung republic Indonesia, tanggal 10

januari 1957, Nomor 210/K/Sip/1955

11
7

Bubarkan kementrian ATR atau BPN?

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N M.Kn.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan dosen program studi magister

kenotariatan USU Medan

Indonesia saat ini ada dualism kelembagaan yang mengurusi soal

tanah atau pertanahan. Kedua lembaga itu, yakni:

a. Pertama, kementrian agrarian dan tata ruang (kementrian ATR)

sebagaimana diatur dalam peraturan presiden nomor 17 tahun

2015 (Perpres 17/2015) tentang kementrian agrarian dan tata

ruang

b. Kedua, badan pertanahan nasional (BPN) yang diatur oleh

peraturan presiden nomor 20 tahun 2015 (Perpres 20/2015)

tentang badan pertanahan nasional

Tugas kementrian ATR menurut perpres 17/2015 adalah

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang agrarian/pertanahan

dan tata ruang untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan

pemerintahan Negara

12
Tugas BPN menurut perpres 20/2015 adalah melaksanakan tugas

pemerintahan dibidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang undangan

1. Opsi pertama, jika UUPA tetap dipertahankan

Jika UUPA tetap dipertahankan atau tidak dicabut dan RUU

pertanahan belum atau tidak disetujui menjadi undang undang,

untuk menghindari dualisme kelembagaan sebaiknya BPN

dibubarkan dan selanjutnya supaya sinkron dengan pengertian dan

ruang lingkup agrarian menurut UUPA, kementrian ATR seharusnya

diubah menjadi kementrian agrarian

2. Opsi kedua, jika UUPA dicabut

Jika UUPA dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi

(pencabutannya tentu melalui RUU pertanahan yang sedang

dibahas di DPR RI), sebaiknya kementrian ATR yang pantas untuk

dibubarkan dan selanjutnya supaya sinkron dengan RUU

pertanahan maka BPN harus diubah menjadi kementrian

pertanahan karena apabila RUU pertanahan disahkan menjadi

undang undang, tugas dan fungsi pemerintahan di sector

pertanahan idealnya dijalankan oleh kementrian pertanahan bukan

BPN.

13
8

Perpres 17/2015 Rancu

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N M.Kn.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan dosen program studi magister

kenotariatan USU Medan

Satu lagi regulasi yang rancu terjadi di republic ini, peraturan

presiden nomor 17 tahun 2015 tentang kementrian agrarian dan tata

ruang (Perpres 17/2015) menambah deretan regulasi yang rancu di

Indonesia

Kerancuan paling tidak terletak dalam dua hal, yaitu :

1. Kerancuan dasar hukum pembentukan perpres 17/2015

2. Kerancuan tugas dan fungsi kementrian agrarian dan tata ruang

(Kementrian ATR), yang menimbulkan dualism kelembagaan dan

tumpang tindih dengan BPN.

A. Kerancuan dasar hukum pembentukan perpres 17/2015

Perpres 17/2015 tidak mencantumkan sama sekali undang undang

nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok agrarian

(undang undang pokok agrarian atau UUPA) sebagai dasar hukum

pembentukannya. Hal ini menimbulkan kerancuan dan sekaligus

14
membingungkan, mengapa perpres 17/2015 tidak mencantumkan

UUPA sebagai dasar hukum pembentukannya? Padahal, yang

diaturnya adalah pelaksanaan dari UUPA.

B. Kerancuan tugas dan fungsi kementrian agrarian dan tata ruang

(Kementrian ATR), yang menimbulkan dualism kelembagaan dan

tumpang tindih dengan BPN.

Perpres 17/2015 menentukan tugas kementrian ATR adalah

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang

agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu presiden

dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara

Selanjutnya menurut perpres 17/2015, salah satu fungsi

kementrian ATR adalah menyelenggarakan perumusan, penetapan,

dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata ruang, infrastruktur

keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan

hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataan

agrarian/pertanahan pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan

ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan masalah

agrarian/pertanahan, pemanfaatan ruang dan tanah.

Sementara itu menurut perpres 20/2015, tugas BPN adalah

melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

15
9

Hak milik yang melanggar konstitusi

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N M.Kn.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan dosen program studi magister

kenotariatan USU Medan

Tanah ini milik pemerintah/Negara, demikian kalimat yang tertulis

pada plang atau papan nama pengumuman, yang ditancap atau didirikan

didepan gedung gedung atau diatas tanah tanah instansi atau lembaga

lembaga pemerintah/Negara.

Di Indonesia konsepsi Negara/pemerintah sebagai pemilik tanah

juga pernah diterapkan pada zaman colonial belanda. Dalam system

kepemilikan tanah pemerintah colonial belanda memberlakukan ketentuan

atau prinsip atau asas domein (hak milik Negara atas tanah) yang

memosisikan Negara atau pemerintah sebagai pemilik tanah.

Asas domain ini tercantum dalam pasal 1 agrarisch besluit,

staatsblad 1870 No. 118 yang antara lain, menyatakan bahwa tanah yang

tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah domein (milik) Negara

(domein verklaring)

Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan

“dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti dimiliki, melainkan adalah

16
pengertian yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi

kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

tersebut

b. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara

orang orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa

c. Menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara

orang orang dan perbuatan perbuatan hukum yang mengenai

bumi, air dan ruang angkasa.

Hak menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat

1 UUPA meliputi semua bumi, air, dan ruang angkasa. Hak menguasai

Negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seorang

atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Hak menguasai Negara

(bukan hak memiliki Negara) yang dipegang oleh Negara/pemerintah

berdasarkan UUPA adalah seperangkat wewenangm tidak lebih dari itu.

17
10

Segera Revisi PMATR/Ka.BPN 2/2018!

Oleh : Dr.Henry Sinaga, S.H., Sp.N M.Kn.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan dosen program studi magister

kenotariatan USU Medan

PMATR/Ka.BPN 2/2018 ini adalah pelaksanaan dari pasal 33

peraturan pemerintah republic Indonesia nomor 37 tahun 1998 tentang

peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah (PP 37/1998)

Sebagaimana telah diubah oleh peraturan pemerintah Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan pemerintah

nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta

tanah (PP 24/2016)

Menurut PMATR/Ka.BPN 2/2018 pembinaan PPAT adalah usaha,

tindakan, dan kegiatan yang dilakukan oleh menteri ATR/Ka.BPN terhadap

PPAT secara efektif dan efisien untuk mencapai kualitas PPAT yang lebih

baik.

Maksud diterbitkannya PMATR/Ka.BPN 2/2018 ialah sebagai

pedoman pelaksanaan pembinaan dan pengawasan serta penegakan

aturan hukum melalui pemberian sanksi terhadap PPAT yang dilakukan

oleh menteri ATR/Ka.BPN.

18
Adapun tujuan pembentukan PMATR/Ka.BPN 2/2018 adalah untuk

mewujudkan PPAT yang professional, berintegritas, dan melaksanakan

jabatan PPAT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan

Sedangkan ruang lingkup PMATR/Ka.BPN 2/2018 meliputi

pembinaan dan pengawasan PPAT, pembentukan majelis pembina dan

pengawasan PPAT, tata kerja pemeriksaan dugaan pelanggaran PPAT, dan

bantuan hukum terhadap PPAT.

PMATR/Ka.BPN 2/2018 ini kelihatannya mirip dengan peraturan

menteri hukum dan HAM RI yang mengatur mengenai peminaan dan

pengawasan notaris.

Namun dalam aspek perlindungan terhadap pejabat penyimpan

rahasia kelihatannya PMATR/Ka.BPN 2/2018 tidak sama dengan

permenkumham tentang pembinaan dan pengawasan notaris karena

PMATR/Ka.BPN 2/2018 ini tidak mengatur dan tidak memberikan

perlindungan bagi PPAT selaku pejabat penyimpan rahasia sebagaimana

halnya dengan notaris

19
11

Pengkhianatan terhadap Negara

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Ada tiga landasan hukum utama dalam rangka pengelolaan sumber daya

alam atau sumber daya agrarian di Indonesia, yaitu :

1. Pasal 33 ayat (3) undang undang dasar Negara republic Indonesia

tahun 1945 (pasal 33 ayat (3) UUDNRI tahun 1945)

2. Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat republic indonesia

nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan agrarian dan pengelolaan

sumber daya alam (Tap. MPR/IX/2001)

3. Undang undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar

pokok pokok agrarian atau dapat disebut juga undang undang

pokok agrarian (UUPA)

Pengertian dan ruang lingkup sumber daya alam atau sumber daya

agrarian menurut ketiga landasan hukum utama bagi pengelolaan

sumber daya alam atau sumber daya agraria di Indonesia (pasal 33

ayat (3) UUDNRI tahun 1945, Tap. MPR IX/2001, dan UUPA) ialah

meliputi bumi, air, ruang angkasa.

20
Berikutnya, menurut ketiga landasan hukum utama bagi

pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya agrarian di

Indonesia (pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945, Tap. MPR IX/2001

dan UUPA) bahwa tujuan utama pengelolaan sumber daya alam atau

sumber daya agraria di Indonesia adalah untuk kemakmuran rakyat

Indonesia, bukan atau tidak untuk kemakmuran rakyat asing.

Penegasan tujuan utama pengelolaan sumber daya alam atau

sumber daya agraria di Indonesia adalah untuk kemakmuran rakyat

Indonesia bukan atau tidak untuk kemakmuran rakyat asing.

21
12

Sertifikat tanah PTSL bermasalah

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Kementrian agraria dan tata ruang / BPN republic Indonesia saat ini

sedang menyelenggarakan penyertifikatan tanah secara massal (besar

besaran) melalui kegiatan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL)

diseluruh wilayah republic Indonesia

Menurut PMATR/Ka.BPN 35/2016, pendaftaran tanah sistematis

lengkap adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran tanah

yang belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama

lainnya yang setingkat dengan itu.

Menurut pasal 7 undang undang nomor 12 tahun 2011 (UU

12/2011) tentang pembentukan peraturan perundang undangan bahwa

hierarki (tata urutan) peraturan perundang undangan di Indonesia adalah

sebagai berikut :

1. Undang undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945

2. Ketetapan majelis permusyawaratan rakyat

22
3. Undang undang/peraturan pemerintah pengganti UU

4. Peraturan pemerintah

5. Peraturan presiden

6. Peraturan daerah provinsi

7. Peraturan daerah kabupaten/kota

System ini memberikan peluang kepada setiap norma yang lebih rendah

untuk dapat berjalan terus sebelum diuji dan dibatalkan walau nyata nyata

telah bertentangan dengan norma yang lebih tinggi. Namun demikian,

sebaiknya pembentukan peraturan perundang undangan di Indonesia

(termasuk pembentukan PMATR/Ka.BPN 35/2016) harus dengan sungguh

sungguh memperhatikan UU 12/2011 untuk menghindari kemungkinan

lahirnya permohonan pengujian dan pembatal suatu peraturan perundang

undangan.

23
13

Pertikaian UP dengan UU sektoral PSDA

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Pertikaian antara UUP dan UU sektoral PSDA itu terjadi paling tidak

dalam tiga hal, yaitu orientasi (konservasi dan eksploitasi), keberpihakan

(pro rakyat dan pro capital), dan pengakuan/penghormatan terhadap

masyarakat hukum adat.

UUPA lebih berorientasi pada konservasi (pemeliharaan), lebih

berpihak pada rakyat, dan mengakui serta menghormati keberadaan

masyarakat hukum adat di Indonesia. Sedangkan UU sektoral PSDA lebih

berorientasi pada eksploitasi (pemanfaatan), lebih berpihak kepada capital

(pemodal/investor), dan kurang menghormati dan mengakui eksistensi

masyarakat hukum adat di Indonesia.

Pertikaian antara UUPA dan UU sektoral PSDA disadari atau tidak

telah menimbulkan dampak terhadap rasa keadilan, kepastian, dan

kemanfaatan hukum masyarakat. Factor penyebab terjadinya pertikaian

tersebut adalah karena UUPA dan UU sektoral PSDA tidak memiliki prinsip

yang sama, perbedaan prinsip terjadi karena UUPA dalam kedudukannya

24
sebagai individu bagi UU sektoral PSDA tidak dijadikan sebagai dasar

dalam pembentukan penyusunan UU sektoral PSDA (UUPA mengklaim

bahwa dirinya adalah dasar bagi penyusunan UU sektoral PSDA di

Indonesia

Ada empat factor penyebab UUPA tidak dijadikan sebagai dasar

dalam pembentukan/penyusunan UU sektoral PSDA.keempat factor

tersebut adalah :

- Factor politis

- Factor yuridis

- Factor sosiologis

- Factor ekonomi

25
14

Dua menko berebut koordinasi

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Perpres 8/2015 tersebut juga mengatur salah satu fungsi deputi

pada menko perekonomian (deputi bidang koordinasi pengelolaan energy,

sumber daya alam, dan lingkungan hidup), yaitu koordinasi dan

sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan serta

pengendalian pelaksanaan kebijakan kementrian/lembaga yang terkait

dengan bidang pengelolaan energy, sumber daya alam, dan lingkungan

hidup.

Kementrian coordinator bidang kemaritiman (menko kemaritiman),

yang menempatkan kementrian energid an sumber daya mineral,

kementrian kelautan dan perikanan, kementrian pariwisata dibawah

koordinasi dari menko kemaritiman.

Selanjutnya, perpres 10/2015 tersebut juga mengatur salah satu

fungsi deputi pada menko kemaritiman (deputi bidang koordinasi sumber

daya alam dan jasa), yaitu koordinasi dan sinkronisasi perumusan,

penetapan dan pelaksanaan kebijakan, serta pengendalian pelaksanaan

26
kebijakan kementrian/lembaga yang terkait dengan sumber daya alam,

sumber daya hayati, sumber daya mineral dan energy, industry

pariwisata, dan pengelolaan lingkungan.

UUPA juga menentukan bahwa UUPA adalah dasar bagi

penyusunan atau pembentukan seluruh peraturan perundang undangan

dalam sector sumber daya agraria atau sumber daya alam di Indonesia.

27
15

Hak ulayat versus hak guna usaha

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Belakangan ini persoalan hak guna usaha di atas tanah yang

diklaim sebagai hak ulayat, kembali merebak, dan tampaknya akan terus

merebak, sebelum semua pihak sadar apa dan bagaimana sebenarnya

kedudukan hak ulayat di Indonesia. Tulisan ini mudah mudah dapat

memberikan sedikit pencerahan kepada semua pihak tentang keberadaan

hak ulayat.

Hak ulayat adalah hak bersama para anggota masyarakat hukum

adat atas tanah

Menurut pakar hukum agraria Indonesia prof. boedi harsono,

hak ulayat diakui oleh undang undang nomor 5 tahun 1960 tentang

peraturan dasar pokok pokok agraria, yang dapat disebut juga dengan

undang undang pokok agraria atau disingkat UUPA. Namun, pengakuan

itu disertai dua syarat, yaitu :

1. Mengenai keberadaannya

2. Mengenai pelaksanaannya

28
Menurut UUPA, hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan

tanah yang dikuasai langsung oleh Negara guna perusahaan pertanian,

perikanan atau peternakan.

Hak ulayat menurut pengertian UUPA adalah termasuk golongan

tanah Negara, dalam hal ini termasuk golongan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara.

Ulayat adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap Negara dan

perlawanan terhadap undang undang (UUPA)

Jadi, kesimpulannya ketika hak ulayat berhadapan dengan hakg

una usaha (HGU), yang mana harus mengalah? Yang harus mengalah

adalah hak ulayat.

29
16

Ganti menko kemaritiman

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Maritime atau kemaritiman menurut undang undang nomor 5 tahun

1960 tentang peraturan dasar pokok agraria atau dapat disebut juga

undang undang pokok agraria disingkat UUPA adalah bagian dari

pengertian dan ruang lingkup agraria.

Pengertian dan ruang lingkup agraria menurut UUPA adalah

meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya.

Selain itu, UUPA pun menentukan bahwa UUPA adalah dasar bagi

penyusunan atau pembentukan seluruh peraturan perundang undangan

dalam sector sumber daya agraria atau sumber daya alam di Indonesia.

Menurut perpes 10/2015, disebutkan bahwa menko kemaritiman

bertugas untuk mengoordinasi kementerian energy dan sumber daya

mineral, kementrian perhubungan, kementerian kelautan dan perikanan,

dan kementrian pariwisata

30
Mendudukkan menko kemaritiman sebagai coordinator yang

bertugas dan berfungsi mengoordinasi kementrian/lembaga yang terkait

dengan sector sumber daya alam, sector sumber daya hayati, sector

sumber daya mineral dan energy, sector industri pariwisata, sector

pengelolaan lingkungan dan sector kelautan dan perikanan adalah bukti

kurangnya pemahaman terhadap UUPA dan Tap. MPR IX/2001 dan

sekaligus juga menunjukkan pembangkangan dan pengingkaran terhadap

UUPA dan Tap. MPR IX/2001

Seharusnya menko agraria atau menko sumber daya alam yang

bertugas mengoordinasi kementrian kementrian sektoral agraria atau

sumber daya alam, antara lain, kementerian kehutanan, kementrian

pertanian, kementrian energy dan sumber daya mineral, kementrian

kelautan dan perikanan (termasuk kemaritiman), kementrian pariwisata,

kementrian lingkungan hidup, dan kementrian tata ruang, “bukan

dikoordinasi oleh menko kemaritiman” karena itu sebaiknya menko

kemaritiman diganti menjadi menko agraria atau menko sumber daya

alam.

31
17

Prinsip Tap. MPR IX/2001 Gantikan Prinsip UUPA

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

MPR RI pada tanggal 9 november 2001 yang lalu mengeluarkan

ketetapan MPR RI nomor IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan

pengelolaan sumber daya alam, yang didalamnya tertuang 12 prinsip

dalam rangka pengelolaan sumber daya alam/sumber daya agraria di

Indonesia (12 Prinsip Tap.MPR/IX/2001)

Ke 12 prinsnip Tap. MPR IX/2001 dalam rangka pengelolaan

sumber daya alam/sumber daya agraria di Indonesia, sebagai berikut :

1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara kesatuan

republic Indonesia

2. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia

3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum

4. Menyejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas

sumber daya manusia Indonesia

32
5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparasi, dan

optimalisasi partisipasi rakyat

6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam

penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan

pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam

7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang

optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi

mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tamping dan daya

dukung lingkungan

8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai

dengan kondisi sosial budaya setempat

9. Meningkatan keterpaduan dan koordinasi antarsektor

pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaharuan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam

10. Mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum

adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya

agraria/sumber daya alam

11. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara,

pemerintahan (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa

atau yang setingkat) masyarakat dan individu

12. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan

ditingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa.

33
18

Kritik untuk RUU Pertanahan

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Rancangan Undang Undang (RUU) pertanahan yang diusulkan oleh

pemerintah dan telah diserahkan kepada DPR RI untuk dibahas bersama,

kelihatannya layak untuk dikritisi.

Kritik diberikan sedikitnya dalam dua hal, yaitu landasan yuridis

pembentukan RUU Pertanahan dan nomenklatur (terminology atau istilah)

dan konsepsi reforma agraria yang diatur oleh RUU Pertanahan.

1. Landasan Yuridis Pembentukan RUU Pertanahan.

RUU Pertanahan masih tetap menggunakan Undang Undang

nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok agraria

(dapat disebut juga Undang Undang pokok agraria atau disingkat

UUPA) sebagai dasar pembentukan RUU pertanahan.

Mempertahankan UUPA untuk eksis adalah tindakan irasional

dan inkonstitusional karena sama halnya dengan mempertahankan

huru hara norma hukum di Indonesia dan melakukan pembiaran

terhadap pelanggaran konstitusi.

34
2. Nomenklatur dan Konsepsi Reforma AGraria yang diatur oleh RUU

Pertanahan

Kritik juga diberikan kepada nomenklatur dan konsepsi

reforma agraria yang diatur oleh RUU Pertanahan yang

bertentangan (tidak sinkron) dengan ketetapan MPR RI Nomor

IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber

daya alam.

Jika memang maksud dan tujuan RUU Pertanahan dalam

konsepsi, reforma agrarianya adalah untuk melakukan penataan

struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

tanah, sebaiknya tidak menggunakan nomenklatur reforma agraria,

tetapi menggunakan nomenklatur landreform karena nomenklatur

reforma agraria (jika menggunakan acuan MPR RI) itu bermakna

pembaruan sumber daya alam bukan pembaruan pertanahan.

35
19

Cabut UUPA !

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Lahirnya RUUR pertanahan adalah bukti bahwa undang undang

nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok agraria (dapat

disebut juga undang undang pokok agraria atau disingkat UUPA) tidak

diperlukan lagi di Indonesia karena materi RUU pertanahan adalah

penyempurnaan dari materi UUPA dalam sector pertanahan.

Idealnya melalui RUU Pertanahan, UUPA harus dicabut dan

dinyatakan tidak berlaku lagi. Disamping karena RUU pertanahan adalah

penyempurnaan UUPA disektor pertanahan, fakta hukum juga

membuktikan bahwa UUPA sudah tidak layak pakai lagi.

36
20

UU Sektoral PSDA Indonesia Terancam Batal

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Dalam kedudukannya sebagai UU induk atau UU (umbrella act)

bagi seluruh UU sektoral PSDA di Indonesia, seharusnya UUPA dijadikan

sebagai dasar pembentukan bagi seluruh UU sektoral PSDA di Indonesia

(dan seharusnya juga menteri agraria menjadi menteri coordinator bidang

agraria/sumber daya alam yang mengoordinasi menteri kehutanan, mentri

kelautan/maritime/perikanan, menteri lingkungan hidup, menteri energy

dan sumber daya mineral, dan lain lain)

Ihwal tidak dijadikannya UUPA sebagai dasar pembentukan UU

sektoral PSDA di Indonesia dapat dicermati dalam bagian mengingat pada

konsiderans UU Sektoral PSDA di Indonesia, yang sama sekali tidak

mencantumkan UUPA sebagai dasar pembentukan UU Sektoral PSDA di

Indonesia.

Tidak dijadikannya UUPA sebagai dasar pembentukan UU Sektoral

PSDA Di Indonesia adalah bentuk pembangkangan dan pengingkaran

terhadap UUPA secara terang terangan.

37
Kondisi inilah yang mendorong MPR melalui ketetapan MPR No.

IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam menginstruksikan kepada presiden dan DPR agar melakukan

pengkajian ulang terhadap seluruh UU sektoral PSDA di Indonesia

(termasuk UUPA) dalam rangka sinkronisasi antarsektor dan apabila

dipandang perlu, mencabut, mengubah, dan atau mengganti semua UU

sektoral PSDA di Indonesia (termasuk UUPA) yang tidak sejalan dengan

ketetapan MPR.

Mengatasi persoalan tersebut sesuai dengan amanat MPR RI ada

tiga opsi yang ditawarkan. Opsi pertama, mencabut/mengubah/mengganti

UUPA untuk disinkronkan dengan UU Sektoral PSDA di Indonesia. Opsi

kedua, mencabut/mengubah/mengganti seluruh UU sektoral PSDA di

Indonesia untuk disinkronkan dengan UUPA. Opsi ketiga,

mencabut/mengubah/mengganti UUPA dan seluruh UU sektoral PSDA di

Indonesia secara bersama sama untuk saling disinkronkan

38
21

UUPA gagal sebagai UU pokok

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Disisi lain, UUPA sebagai undang undang pokok yang semula

diharapkan menjadi paying (umbrella act) bagi UU sektoral PSDA ternyata

mengalami kegagalan. Salah satu penyebab utama kegagalan UUPA

sebagai undang undang pokok atau undang undang paying (umbrella act)

adalah karena materi UUPA kurang lengkap, UUPA lebih tepat disebut

sebagai undang undang pertanahan, daripada undang undang yang

mengatur secara komprehensif dan proporsional tentang agraria (menurut

UUPA pengertian agraria meliputi bumi (tanah adalah bagian permukaan

bumi, air, dan ruang angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya).

Kekuranglengkapan UUPA itu tidak segera dibenahi. Akibatnya,

lahirlah berbagai undang undang sektoral, misalnya Undang Undang

Nomor 5 Tahun 1967 tentang kehutanan, Undang Undang Nomor 11

tahun 1967 tentang Pertambangan, Undang Undang Nomor 11 tahun

1974 tentang pengairan, dan berbagai undang undang lain yang terbit

39
kemudian yang dalam kenyataannya tidak satupun dari undang undang

sektoral tersebut merujuk pada UUPA. Namun, masing masing undang

undang sektoral tersebut langsung merujuk pada pasal 33 ayat 3 UUD RI

Tahun 1945

Sejak terbitnya berbagai undang undang sektoral itu, kedudukan

UUPA sebagai induk regulasi pengelolaan sumber daya alam didegradasi

menjadi undang undang sektoral yang mengatur tentang pertanahan.

40
22

Tap. MPR/IX/2001 Tidak Mujarab

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Dalam rangka simkronisasi kebijakan antarsektor demi

terwujudnya peraturan perundang undangan yang didasarkan pada

prinsip prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam

yang ditetapkan oleh MPR RI ada 12 prinsip, yaitu:

1. Memelihara dan mempertahankan keutuhan NKRI

2. Menghormati dan menjunjung tinggi HAM

3. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum

4. Menyejahterahkan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas

sumber daya manusia Indonesia.

5. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi, dan

optimalisasi partisipasi rakyat.

6. Mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam

penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan

pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam

41
7. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang

optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang

dengan tetap memperhatikan daya tamping dan daya dukung

lingkungan

8. Melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologis sesuai

dengan kondisi sosial budaya setempat.

9. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor

pembangunan dan antardaerah dalam pelaksanaan pembaharuan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam

10. Mengakui, menghormati, dan melindungi masyarakat hukum adat

dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber

daya alam

11. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan

ditingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten kota, dan desa atau

yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber

daya agraria/sumber daya alam

12. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban Negara,

pemerintahan dan keragaman budaya dan bangsa atas sumber

daya agraria/sumber daya alam

42
23

Benarkah UUPA Produk PKI ?

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Golongan pertama berpendapat bahwa salah satu factor penyebab

tidak dipergunakannya UUPA sebagai dasar dalam

pembentukan/penyusunan Undang Undang Sektoral dibidang pengelolaan

SDA atau disingkat UU Sektoral PSDA (yang dimaksud dengan UU Sektoral

PSDA, antara lain, UU Kehutanan, UU Pertambangan mineral, dan batu

bara, UU Minyak gas dan bumi, UU Sumber daya air, UU Perikanan, UU

Penataan Ruang, UU Lingkungan Hidup, Dan lain lain)

Menurut golongan pertama bahwa pada kurun waktu antara tahun

1957 sampai 1962 pemerintah (eksekutif) dan DPR RI (legislative) selaku

lembaga pembentuk undang undang di Indonesia menetapkan banyak

sekali peraturan perundang undangan untuk memenuhi tuntutan yang

diajukan oleh PKI dan organisasi massanya, salah satu diantaranya adalah

UUPA. Kuatnya pengaruh PKI di kalangan pemerintah dan DPR RI pada

waktu itu, pemerintah dibawah pimpinan presiden soekarno, sangat

dipengaruhi oleh pemikiran pemikiran PKI dan tokoh tokoh PKI tidak

43
sedikit yang menduduki posisi penting dalam pemerintahan presiden

soekarno.

Selanjutnya menurut golongan pertama ini, UUPA dianggap sebagai

gagasan dari PKI karena ketentuan program landreform yang diatur

didalam UUPA.

Selain nomenklatur/terminology/istilah dan konsepsi landreform,

menurut golongan pertama, stigma politik PKI terhadap UUPA ini juga

diperkuat dengan nomenklatur/terminology/istilah dan konsepsi sosialisme

Indonesia yang tercantum dan dipakai oleh UUPA sebagai asas dalam

hukum agraria nasional Indonesia.

Berikutnya, menurut golongan pertama, bahwa stigma politik yang

dilekatkan pada UUPA setelah peristiwa 1965, membuat UUPA dipeti es

kan dan juga sekaligus dimandulkan.

Lebih lanjutnya lagi menurut golongan pertama, bahwa sejak tahun

1966 berbagai undang undang yang berkaitan dengan kekayaan alam

mulai diundangkan misalnya, undang undang kehutanan, undang undang

pokok pertambangan, dan lain lain, sementara dipihak lain, karena proses

pembekuan dan pemandulan, UUPA dengan sendirinya menjadi

terpinggirkan. Bahkan pada akhirnya, seolah olah UUPA hanya mengatur

soal hak ha katas tanah yang jumlahnya tidak lebih dari 30% luas seluruh

daratan di Indonesia.

44
Berbeda dengan golongan pertama, menurut golongan kedua tidak

benar UUPA adalah produk politik hukum PKI karena UUPA justru dibuat

berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 sebagai

besar dari UUPA dijelaskan dalam penjelasan umum UUPA yang antara

lain, mengatakan bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan

penjelmaan dari ketuhanan yang maha esa, perikemanusiaan,

kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sebagai asas kerohanian

Negara dan cita cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD

1945. Selain itu, menurut golongan kedua UUPA juga didasarkan pada

hukum adat dan bersifat religious.

45
24

Program Reforma Agraria Indonesia Cacat Hukum

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Rembuk nasional kembali menyelenggarakan daerah yang

diselenggarakan bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi negeri

di Indonesia. Hasil rembuk daerah menjadikan masukan dalam rembuk

nasional 2017.

Dalam rembuk nasional 2017 tersebut, penulis menyampaikan

gagasan yang terkait dengan reforma agraria Indonesia yang oleh panitia

gagasan penulis ini telah dimasukkan menjadi rekomendasi yang

disampaikan kepada presiden jokowi

Agraria Indonesia terancam batal demi hukum atau dapat

dibatalkan secara hukum

Ancaman kebatalan/dapat dibatalkan ini terjadi karena regulasi

yang diterbitkan oleh kementrian agraria dan tata ruang (ATR)/ kepala

badan pertanahan nasional (BPN) terkait reforma agraria Indonesia secara

nyata nyata telah bertentangan dengan norma hukum yang menjadi dasar

atau landasan hukum dari reforma agraria di Indonesia tersebut, yaitu

46
TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan agraria dan

pengelolaan sumber daya alam dan keputusan presiden republic Indonesia

No. 34 Tahun 2003 tentang kebijakan nasional dibidang pertanahan

Pertentangan antara MPR RI dan presiden dengan kementrian

ATR/kepala BPN terletak pada dua hal, yaitu pada

nomenklatur/terminology/istilah dan konsepsi

Mpr dan presiden menggunakan nomenklatur/terminolgi/ istilah

pembaruan agraria untuk sumber daya agraria/sumber daya alam (yang

meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung

didalam nya) dan nomenklatur/terminology/istilah “landeform” untuk

tanah yaitu (permukaan bumi).

Selain bertentangan dalam aspek nomenklatur/terminology/istilah,

kementrian ATR/kepala BPN juga bertentangan dalam aspek konsepsi

dengan MPR dan presiden.

Dalam ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang pembaruan

agraria dan pengelolaan sumber daya alam, disebutkan konsepsi

pembaruan agraria ialah penataan kembali, penguasaan, pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria (yang meliputi bumi,

air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya atau

juga disebut daya alam, jadi menurut MPR pembaruan agraria sama

dengan pembaruan sumber daya alam).

47
Ada dua solusi yang penulis tawarkan kepada presiden dalam acara

rembuk nasional 2017 tersebut. Pertama, solusi jangka pendek, yakni

mengembalikan nomenklatur/terminology/istilah dan konsepsi pembaruan

agraria dan landreform yang ditetapkan oleh MPR dan presiden dengan

cara merevisi semua regulasi menteri ATR/kepala BPN dan peraturan yang

terkait yang mengatur reforma agraria Indonesia. Kedua, solusi jangka

panjang, yakni melaksanakan amanat ketetapan MPR. No. IX/MPR/2001

dan keputusan presiden No. 34 Tahun 2003, dengan segala

konseksuensinya

48
25

UUPA Kebablasan

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 berbunyi : “bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”

Sementara itu, pasal 2 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 tentang

peraturan dasar pokok pokok agraria (undang undang pokok agraria atau

UUPA berbunyi: “atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD dan

hal hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada

tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat”

Pencantuman kata “ruang angkasa” oleh pasal 2 ayat 1 UUPA

adalah kebablasan karena pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak

ada mencantumkan kata “ruang angkasa” dalam rumusannya. Tidak

begitu jelas mengapa UUPA mencantumkan kata “ruang angkasa” dalam

ketentuan pasal 2 ayat 1 UUPA. Namum, yang jelas adalah penambahan

49
kata ruang angkasa dalam UUPA adalah bentuk kebablasan UUPA

terhadap UUDNRI Tahun 1945 secara terang terangan

Ruang udara adalah suatu ruang diangkasa yang terdekat pada

bumi di mana ditemukan unsur gas yang disebut udara. Sementara itu,

ruang angkasa merupakan lapisan/ruang yang tidak terdapat lagi unsur

unsur gas yang disebut udara (kosong udara), yang secara yuridis

dinamakkan ruang angkasa. Perbedaan ini membawa dampak pada

pengaturan kedaulatan suatu Negara atas ruang udara dan ruang angkasa

tersebut.

Kebablasan UUPA berikutnya adalah mengenai pengertian

nomenklatur/terminology/istilah agraria dan ruang lingkup agraria yang

diatur oleh UUPA. Menurut UUPA, pengertian

nomenklatur/terminology/istilah agraria dan ruang lingkup agraria meliputi

bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya.

50
26

Mahkamah Pancasila

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Pancasila seharusnya ditempatkan diluar UUDNRI Tahun 1945 dan

Tap. MPR RI secara terpisah karena posisinya lebih tinggi dari UUDNRI

Tahun 1945 dan Tap. MPR RI. Menempatkan pancasila didalam UUD NRI

tahun 1945 dan Tap. MPR RI menjadikan posisi pancasila lebih rendah

atau sama dengan UUD NRI Tahun 1945 atau Tap. MPR RI, sekaligus pula

membahayakan posisi pancasila sebagai dasar Negara terhadap ancaman

penggantian sebagai dasar Negara karena UUDNRI tahun 1945 dan

Tap.MPR RIbisa dicabut oleh MPR RI (bayangkan jika suatu saat MPR RI

Dikuasai oleh para wakil rakyat yang ingin mengganti pancasila)

Pancasila harus ditetapkan langsung oleh rakyat, dan posisinya

harus ditetapkan diatas UUDNRI Tahun 1945 dan Tap. MPR RI dan

dinyatakan tidak dapat dicabut/diubah/diamandemen oleh siapapun

Penegasan pancasila sebagai norma dasar Negara yang terpisah

dari UUD NRI Tahun 1945 dan Tap. MPR RI, idealnya juga dilengkapi

51
dengan uraian atau penjabaran dari nilai nilai dari tiap tiap sila dari

pancasila

Selanjutnya, pancasila dan penjabaran nilai nilai dari tiap tiap sila

tersebut harus ditetapkan sebagai kode etik bagi para penyelenggara

Negara dalam membuat kebijakan dan tindakan dan dijadikan dasar dan

haluan dalam menyusun kebijakan dalam bidang ekonomi politik, dan

pembangunan sumber daya manusia.

Setelah pancasila dan penjabarannya terbentuk dan didudukkan

sesuai dengan posisinya sebagai norma dasar Negara, selanjutnya

dilakukan pembentukan Mahkamah Pancasila, yang berwenang untuk

menguji apakah suatu undang undang dan atau undang undang dasar

atau kebijakan dan tindakan penyelenggara Negara bertentangan dengan

pancasila

Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk menguji apakah

sebuah norma (yang hierarkinya dibawah undang undang) bertentangan

dengan norma yang lebih tinggi, dengan kata lain, mahkamah agung

adalah pengawal undang undang

Mahkamah konstitusi diberi wewenang untuk menguji apakah

sebuah norma (undang undang) bertentangan dengan undang undang

dasar Negara republic Indonesia tahun 1945 (norma yang lebih tinggi),

52
dengan kata lain, mahkamah konstitusi adalah pengawal konstitusi

(pengawal UUD NRI Tahun 1945)

Pembentukan mahkamah pancasila adalah langkah konkret untuk

menjaga konsistensi pancasila dengan konstitusi dan perundang

undangan, koherensi antarsila dan korespondensi dengan realitas sosial.

Ini juga sebuah langkah strategis agar pancasila yang semulanya hanya

melayani kepentingan vertical Negara menjadi pancasila yang melayani

kepentingan horizontal (seluruh) lapisan masyarakat dan sekaligus pula

dapat dijadikan sebagai kritik terhadap kebijakan Negara.

53
27

Perpres 86/2018 Gagal Paham

Oleh : Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn.

Penulis adalah notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister

Kenotariatan USU Medan

Peraturan presiden republic Indonesia nomor 86 tahun 2018

tentang reforma agraira (perpres 86/2018) yang terbit 24 september 2018

yang lalu, kelihatannya tidak memahami (gagal paham) tentang

pengertian agraria dan pengertian tanah atau pertanahan sebagaimana

diatur dan ditentukan oleh UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan

dasar pokok pokok agraria atau dapat disebut juga dengan undang

undang pokok agraria (UUPA)

UUPA adalah salah satu landasan utama atau induk atau dasar bagi

peraturan perundang undangan yang mengatur tentang agraria dan tanah

diindonesia, oleh karena itu, sebelum peraturan perundang undangan di

bidang agraria dan bidang pertanahan dibentuk, sebaiknya dipahami

terlebih dahulu tentang pengertian agraria dan pengertian tanah menurut

UUPA agar tidak terjadi kekacauan atau kerancuan terminology dan

konsepsi yang sering terjadi dan ditemukan dalam sejumlah regulasi

dibidang agraria atau dibidang tanah/pertanahan di Indonesia.

54
Dengan merujuk pada pengertian agraria dan pengertian tanah

menurut UUPA, sangat terlihat jelas bahwa perpres 86/2018 gagal paham

tentang pengertian agraria dan pengertian tanah menurut UUPA. Gagal

paham ini dijumpai dalam sejumlah pasal yang tercantum dalam Perpres

86/2018 yakni :

1. Gagal paham pertama

Terlihat dalam pasal 1 angka 1 Perpres 86/2018 tentang pengertian

reforma agraria yang berbunyi : “reforma agraria adalah penataan

kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan

pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan asset

dan disertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat

Indonesia “

2. Gagal paham kedua

Dijumpai dalam pasal 1 angka 4 perpres 86/2018 tentang objek

reformasi agraria. Perpres 86/2018 menyebutkan bahwa objek

reforma agraria adalah tanah.

3. Gagal paham ketiga

Ditemukan dalam pasal 2 huruf a dan c perpres 86/2018 tentang

tujuan reforma agraria, yaitu :

a. Mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah

dalam rangka menciptakan keadilan

55
b. Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan,

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

4. Gagal paham keempat

Dijumpai dalam pasal 18 perpres 86/2018 tentang kelembagaan

reforma agraria, yang mendudukkan menteri coordinator bidang

perekonomian sebagai ketua tim reforma agraria nasional. Dengan

merujuk pada pengertian agraria, menurut UUPA seharusnya posisi

ketua dijabat oleh menteri agraria, bukan menteri coordinator

bidang perekonomian. Menteri agraria yang seharusnya

mengoordinasi tim reforma agraria nasional.

5. Gagal paham kelima

Terletak pada judul da isi dari perpres 86/2018. Judul perpres

tentang reforma agraria, dengan merujuk pada UUPA seharusnya

isinya adalah reforma mengenai bumi, air, dan ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung didalamnya, namun faktanya tidak

demikian. Isi atau materi perpres 86/2018 melulu mengatur

tentang reforma tanah saja, sama sekali tidak mengatur tentang

reforma air, reforma ruang angkasa, dan kekayaan alam yang

terkandung didalamnya.

56
57

Anda mungkin juga menyukai