Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Delirium adalah gangguan kognitif dan kesadaran dengan onset akut. Kata
delirium berasal dari bahasa Latin “de lira” yang berarti “keluar dari parit” atau
keluar dari jalurnya. Dalam karyanya (2), Engel dan Romano menyebut delirium
sebagai “suatu sindrom insufisiensi serebral”. Keduanya menganggap delirium
bsebagai sindrom terkait dengan insufisiensi organ lain : Ginjal, jantung, hepar
dan paru-paru. Sebagai perbandingan, Lipowsky dalam “Delirium : Acute Brain
Failure In Man”, mengemukakan bahwa berkurangnya kewaspadaan terhadap
lingkungan dapat diasosiasikan dengan gangguan memori, disorientasi, gangguan
bahasa dan gangguan kognitif tipe lainnya. Beragam pasien mempunyai
pengalaman disorientasi yang berbeda seperti salah identifikasi, ilusi, halusinasi,
dan waham. Dengan onset yang mendadak dan durasi yang pendek, delirium
terjadi dari jam sampai hari dan berfluktiatif. Kebiasaan pasien menunjukkan
variasi dengan adanya agitasi yang menonjol pada beberapa individu,
dan hipoaktif pada pasien lainnya, dan pada individu yang sama pun akan
menunjukkan variasi berbeda dari waktu ke waktu. Delirium harus dibedakan dari
demensia, kondisi kronis kemerosotan fungsi kognitif yang merupakan faktor
risiko terjadinya delirium.
Diagnostic Statisitical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) mendefinisikan
delirium sebagai gangguan kesadaran dan perubahan kognitif yang terjai secara
cepat dalam waktu yang singkat (APA, 1994). Gejala awal delirium biasanya
muncul tiba-tiba dan durasinya singkat (misal 1 minggu, jarang lebih dari 1
bulan). Gangguan ini hilang sama sekali jika pasien pulih dari determinan
penyebab. Bila kondisi yang menyebabkan delirium menetap, delirium berubah
perlahan menjadi sindrom demensia atau berkembang menjadi koma. Kemudian
individu penderita mengalami pemulihan, menjadi vegetative kronis, atau
meninggal.

1
2.2 Etiologi
2.2.1 Penyebab intrakranial
1. Epilepsi dan keadaan pasca iktal
2. Trauma otak
3. Infeksi ( Meningitis, Ensefalitis )
4. Neoplasma
5. Gangguan Vaskular
2.2.2 Penyebab ekstrakranial
1. Obat dan Racun
a. Sedativa ( termasuk alkohol ) dan hipnotika
b. Obat penenang
c. Obat lain :
1) Antikolinergika
2) Antikonvulsiva
3) Antihipertensiva
4) Antiparkinsonia
5) Glikosida kardiak
6) Simetidin
7) Disulfiram
8) Insulin
9) Opioida
10) Fensiklidin
11) Salisilat
12) Steroida
d. Racun
1) Karbon monoksida
2) Logam berat dan limbah Industri lain
2. Disfungsi endokrin ( hipo- atau hiperfungsi )
a. Hipofisis
b. Pankreas
c. Suprarenal

2
d. Paratiroid
e. Tiroid
3. Penyakit alat nonendokrin
a. Hati
1) Ensefalohepatik
b. Ginjal dan saluran kemih
1) Ensefalopati uremikum
c. Paru-paru
1) Narkosis karbon monoksida
2) Hipoksia
d. Sistem Kardiovaskular
1) Gagal jantung
2) Aritmia
3) Hipotensi
e. Penyakit Defisiensi
1) Defisiensi tiamin
4. Infeksi sistemik dengan demam dan sepsis
5. Ketidakseimbangan elektrolit oleh aneka penyebab
6. Keadaan pasca bedah

Delirium mempunyai berbagai macam penyebab. Penyebabnya bisa berasal


dari penyakit susunan saraf pusat, penyakit sistemik, intoksikasi akut (reaksi putus
obat) dan zat toksik. Penyebab delirium terbanyak terletak diluar sistem saraf
pusat, misalnya gagal ginjal dan hati.

2.3 Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) Delirium


Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) adalah pendekatan konseling yang menitik
beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat
kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan
konseling yang dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental.
Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan

3
bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa, pengambil keputusan,
bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan, pendekatan pada aspek
behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan.
Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa
individu pada permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi, trauma,
dan gangguan kecemasan. Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya
diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang disfungsional. Oleh sebab itu dalam
konseling, pikiran dan perilaku yang disfungsional harus direkonstruksi sehingga
dapat kembali berfungsi secara normal.
CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang
sangat mempengaruhi emosi. Melalui CBT, konseli terlibat aktivitas dan
berpartisipasi dalam training untuk diri dengan cara membuat keputusan,
penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation
CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak dengan
menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak,
dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya,
konseli diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif.
Tujuan dari CBT yaitu mengajak individu untuk belajar mengubah perilaku,
menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas
dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya dengan
CBT diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa
dan bertindak.

2.4 Peran Perawat Dalam Pelaksanaan Terapi


Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan
menjadi optimal. Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara
holistik dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik. Fungsi perawat kesehatan
jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara langsung dan asuhan

4
keperawatan secara tiak langsung. Fungsi ini dapat dicapai dengan aktifitas
perawat kesehatan jiwa yaitu :
a. Memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian
rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik, mental
dan social sehingga dapat membentu penyembuhan pasien.
b. Bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam
membantu mengatasi segera dan tiak itunda sehingga tidak terjai
penumpukan masalah.
c. Sebagai model peran yaitu paerawat dalam memberikan bantuan kepada
pasien menggunakan dir sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang
ditampilkan oleh perawat.
d. Memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal
yang penting. dalam hal ini perawat perlu memasukkan pengkajian biologis
secara menyeluruh dalam mengevaluasi pasien kelainan jiwa untuk
meneteksi adanya penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat diatasi
dengan cara yang tepat.
e. Memberi pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada pasien, keluarga dan
komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, cirri-
ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, cirri-ciri gangguan jiwa, fungsi dan
ugas keluarga, dan upaya perawatan pasien gangguan jiwa.Sebagai perantara
social yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihakpasien, keluarga dan
masyarakat alam memfasilitasi pemecahan masalah pasien.
f. Kolaborasi dengan tim lain. Perawat dalam membantu pasien mengadakan
kolaborasi dengan petugas lain yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan
masyarakat (perawat komunitas), pekerja social, psikolog, dan lain-lain.
g. Memimpin dan membantu tenaga perawatan dalam pelaksanaan pemberian
asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada management keperawatan
kesehatan jiwa. Sebagai pemimpin diharapkan dapat mengelola asuhan
keperawatan jiwa an membantu perawat yang menjadi bawahannya.
h. Menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan mental.
Hal ini penting untuk diketahui perawat bahwa sumber-sumber di

5
masyarakat perlu iidentifikasi untuk digunakan sebagai factor penukung
dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai