Anda di halaman 1dari 2

Matahari dengan perlahan beranjak naik, suhu udara pun mengikuti.

Suara klakson kendaraan


bersahutan seakan saling memaki dan jangan lupakan gas sisa pembakaran yang mulai mencemari. Aku
menghela nafas. Walaupun hidung dan mulutku tertutupi oleh masker tapi aku tetap saja merasa sesak
karena polusi yang tidak ada habisnya ini.

Aku meluruskan kaki lalu menunduk menatap ujung-ujung sepatu. Aku tahu keputusanku untuk kembali
ke kota ini terkesan nekat, tapi aku tidak punya pilihan lain. Terlebih ketika Ayah jatuh sakit. Aku tidak
bisa membiarkan Ibu mengurus Ayah sendirian dan adikku sedang berada di masa-masa labil dan rawan
terjerumus ke hal-hal buruk.

Seoul tidaklah buruk. Gajiku selama bekerja di sana pun terhitung besar dan cukup untuk menafkahi
keluargaku di Jakarta, tapi adikku lebih membutuhkan kehadiranku dibanding uangku.

“Bokap lo sakit, nyokap lo lagi sibuk ngurus bokap dan perusahaan, dan adek lo butuh bimbingan.
Mending lo balik ke sini dan urus adek lo, gue takutnya dia salah pergaulan.” Kata Jay, sahabatku,
beberapa bulan yang lalu melalui sambungan telepon.

“Gue pengen balik, Jay. Tapi, gue takut ketemu. . . dia.” Cicitku. Bayangan menakutkan itu kembali
menghantuiku.

Aku bisa mendengar helaan napas Jay, “Ran, mau sampai kapan lo terus menghindari dia? Oke, gue
ngerti kalau lo trauma tapi nggak seharusnya lo terus-terusan kabur. Gimana pun dia tetap—“

Tiba-tiba saja lamunanku buyar karena kakiku terinjak. Aku menengadah dan melihat sosok anak kecil
berusia lima tahun menatapku dengan raut wajah bersalah, perempuan tua di sebelahnya ikut
menatapku dengana tatapan tidak enak.

“Eh Nino, ayo minta maaf sama mbaknya.” Ujar perempuan itu, tangannya mendorong pelan bahu anak
kecil bernama Nino itu.

“Nino minta maaf.” Ucap sang bocah dengan wajah bersalah.

Mau tak mau, aku menurunkan masker dan berjongkok di depan Nino, “Hehe, dimaafkan. Lain kali hati-
hati, ya.” Balasku diakhiri dengan tepukan kecil di kepalanya.

AKu lalu berdiri dan menatap perempuan tua yang berdiri di belakang Nino. Perempuan ini kira-kira
sudah memasuki kepala lima namun masih terlihat enerjik. Ia mengenakan celana kulot panjang dan
kaus yang dilapisi cardigan.

“Mbak, maaf ya.” Ucapnya dengan nada tidak enak.

Aku tertawa pelan, “Nggak apa-apa. Ini cucunya, Bu?” tanyaku berbasa-basi. Mumpung bus belum juga
menunjukan kehadirannya.

“Bukan cucu kandung sih, tapi sudah saya anggap cucu sendiri. Saya yang rawat dia sejak bayi.”

“Oh begitu ya.” Sahutku sambil menganggukan kepala.


Kemudian suara operator terdengar, memberitahukan bahwa bus jurusan tempatku bekerja akan segera
tiba. Aku segera mengecek barang-barangku dan bersiap untuk pergi, “Bu, bus saya sudah sampai. Saya
duluan, ya.” Pamitku.

Si ibu tadi mengangguk pelan, senyuman ramahnya merekah. Aku segera berbalik dan berjalan
memasuki bus. Sekilas aku menoleh

Anda mungkin juga menyukai