Anda di halaman 1dari 3

Sekaten

Festival Sekaten (Hanacaraka: ꦱ


ꦼ ꦏꦺꦠꦤ꧀) adalah
rangkaian kegiatan tahunan sebagai peringatan ulang tahun
Nabi Muhammad yang diadakan oleh keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Rangkaian perayaan secara resmi berlangsung
dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud
penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal
penanggalan Hijriah). Beberapa acara penting perayaan ini
adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid
Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup
Nabi Muhammad dan rangkaian pengajian di serambi Masjid
Agung dan, puncaknya, Garebeg Mulud sebagai bentuk syukur
pihak istana dengan keluarnya sejumlah gunungan untuk
diperebutkan oleh masyarakat. Suasana pasar malam Sekaten

Perayaan ini dimeriahkan pula oleh pasar malam (biasa disebut


"Sekatenan") yang berlangsung selama sekitar 40 hari, dimulai pada awal bulan Sapar (Safar).

Daftar isi
Asal-usul
Istilah
Perayaan
Prosesi
Tradisi
Grebeg Muludan
Numplak Wajik
Lihat pula
Catatan kaki
Referensi
Pranala luar

Asal-usul

Istilah
Kebanyakan pustaka bersepakat bahwa nama "sekaten" adalah adaptasi dari istilah bahasa Arab, syahadatain, yang berarti
"persaksian (syahadat) yang dua". Perluasan makna dari sekaten dapat dikaitkan dengan istilah Sahutain (menghentikan atau
menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan
sifat setan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan
diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk, dan Sekat
(batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan[1]
Perayaan
Menurut Puger (2002), awal mula dan maksud perayaan Sekaten dapat ditarik sejak mulainya kerajaan-kerajaan Islam di tanah
Jawa, yaitu zaman Kesultanan Demak[2]. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya menyiarkan agama Islam. Karena orang
Jawa saat itu menyukai gamelan, pada hari raya Islam yaitu pada hari lahirnya Nabi Muhammad di halaman Masjid Agung
Demak dimainkanlah gamelan, sehingga warga masyarakat berduyun-duyun datang di halaman masjid untuk mendengarkan
gamelan dan sekaligus khutbah-khutbah mengenai keislaman.

Tradisi arak-arakan semacam sekaten, menurut satu cerita rakyat yang digali oleh Saddhono, telah dilakukan pada masa Kerajaan
Majapahit. Kerajaan Demak, sebagai pelanjut dari "wahyu" kerajaan, mencoba meneruskan tradisi tersebut atas saran dari Wali
Sanga[3].

Prosesi
Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan
dua set gamelan Jawa Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid
Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari Masjid Agung,
sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara
bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud, selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini
akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Tradisi

Grebeg Muludan
Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis pada hari ulang
tahun Nabi Muhammad) mulai jam 08.00 hingga 10.00 WIB. Dengan dikawal oleh 10 macam bregada (kompi) prajurit Kraton:
Wirabraja, Dhaheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis. Sebuah
gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan, dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan
melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah didoakan, gunungan yang melambangkan kesejahteraan
kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari gunungan ini akan membawa berkah
bagi mereka. Bagian gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka
menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.

Numplak Wajik
Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Numplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16.00.
Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang (alat untuk menumbuk padi), dan
semacamnya yang menandai awal dari pembuatan gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-
lagu yang dimainkan dalam acara Numplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal
awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.

Lihat pula
Grebeg Besar Demak

Catatan kaki
1. ^ Handipaningrat, KRT. H. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta. Hal. 3.
2. ^ Puger, GPH. 2002. Sekaten. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta
3. ^ Saddhono, K. tanpatahun. Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta: Kajian Alternatif Pengembangan
Bahan Ajar Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan (http://k
undharu.staff.uns.ac.id/dunia-diksastrasia/tradisi-sekaten-surakarta/)

Referensi
Dinas Pariwisata DIY
Kalender Even Surakarta 2011 (http://www.scribd.com/doc/44358326/Cal-event-2011)

Pranala luar
Wikimedia Commons
memiliki media mengenai
Sekaten.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sekaten&oldid=15798221"

Halaman ini terakhir diubah pada 3 Oktober 2019, pukul 13.41.

Teks tersedia di bawah Lisensi Atribusi-BerbagiSerupa Creative Commons; ketentuan tambahan mungkin berlaku.
Lihat Ketentuan Penggunaan untuk lebih jelasnya.

Anda mungkin juga menyukai