Anda di halaman 1dari 91

TUTORIAL II

Disusun Oleh :

Yunita Maharani Burhan


Dias Rahmawati Wijaya
Mutiara Putri Camelia
Fitri Mahari Anindyah Susilo
Neng Angie Rivera
Fanny Destiara
Wildan Baiti Al-Anwari

Dokter Pembimbing :

dr. H. Toton Suryotono, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH


JAKARTA

2018

1
STATUS PASIEN

Identitas pasien

Nama : Tn. IM

No. Rekam Medik : 79.30.xx

Umur : 64 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Agama : Islam

Alamat : Serang, Cianjur

Tgl Pemeriksaan : 21/11/2018

Keluhan Utama

Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang

Pada 2016 pasien masih sehat masih bisa beraktivitas dengan baik seperti memasak pergi ke pasar
pengajian jalan-jalan berbincang dengan tetangga.
Tahun 2017 pasien merasakan baju-bajunya melonggar (penurunan berat badan), suka engap
apabila jalan ke wc, perut suka terasa kembung (beukah), suka terbangun malam karena sesak, tidur
menggunakan 2 bantal dirumah keringat dingin malam hari(+), nafsu makan baik. Sudah mulai
sering di rawat di RS.
Pada tahun 2018 perut makin membesar dan sempat diambil cairan di perut 3x, dan di ambil cairan
di dada 1x. suka merasa sesak namun diabaikan, lemas, mual, muntah (-)
Keluhan saat ini, sesak, sesak disertai batuk berdahak, terdapat bercak darah pada dahak disangkal,
nyeri saat menarik nafas juga disangkal oleh pasien, saat sesak pasien lebih suka tidur miring ke
kanan, nyeri dada saat sesak disangkal, suara mengi saat sesak disangkal. Keluhannya juga disertai
dengan adanya pusing, sulit BAB sudah 1 minggu, BAB hanya 1 kali selama seminggu padahal
asupan makan baik, BAB dempul (-), mules, sulit tidur karena sesak.

2
Riwayat Penyakit Dahulu
Hepatitis B (+)

Hipertensi (-)

Diabetes melitus (-)

TB ? (namun menyangkal adanya pengobatan 6 bulan)

ascites dan dilakukan punksi ascites 3x, pengambilan cairan di dada kanan 1x
Riwayat Penyakit Keluarga

Suami Hepatitis B (+), Hipertensi (-), Jantung (-), Asma (-).


Riwayat Pengobatan

Riwayat Alergi

Pasien mengaku tidak ada alergi terhadap makanan, obat,dan cuaca

Riwayat Psikososial

Pasien suka merokok, merokok setelah makan biasanya satu hari setengah batang, rokok jarum
coklat, namun sudah 2 tahun berhenti merokok karena sesak, lingkungan rumah tidak padat
penduduk, dilingkungan rumah terdapat tetangga ada yang sakit kuning, dimana tetangga tersebut
dekat dengan pasien, menurut pasien tetangganya didiagnosis ada sakit liver oleh dokter.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik didampatkan pasien memakai baju biru dan sarung, terbaring di tempat
tidur dapat diajak berbincang dan sesekali tersenyum untuk menjawab pertanyaan, kulit keriput,
rambut tampak lusuh beruban.

Kesadaran dan Keadaan Umum: Composmentis, Tampak Sakit Sedang

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 100/70 mmHg, sebelumnya saat di igd 160/90 mmhg

3
Nadi : 108 x/menit

Respirasi : 22x/menit

Suhu : 36,8 °C

Kepala Normocephal

Mata Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), reflex cahaya (+/+)

isokor 3 mm

Hidung Normonasi, napas cuping hidung (-), secret (-), darah (-)

Telinga Normotia, sekret (-)

Mulut Sianosis (-) mukosa bibir kering, faring hiperemis (-)

Leher Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), JVP meningkat (-)

Thoraks Normochest

PULMO Inspeksi : Pergerakan dinding dada asimetris, retraksi sela iga (-/-)

Palpasi : Vokal Fremitus kanan menurun

Perkusi: Redup pada lapang paru kanan, pada lapang paru kiri perkusi
sonor

Auskultasi : VBS <</++, rhonki (+/+), wheezing (-/-), rales (-/-)

4
Thorax JANTUNG

Inspeksi : Ictus cordis terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS VI linea midklavikula sinistra

Perkusi : Batas Atas : ICS III Linea Parasternalis Dextra

Batas Kanan : ICS IV Linea Parasternalis Dextra

Batas Kiri : ICS IV, dua jari kearah lateral dari


Linea Midclavicula Sinistra

Auskultasi : BJ I dan II reguler. gallop (-), murmur (-)

Abdomen Inspeksi : Cembung, hernia umbilicalis (+), caput medusa (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Soepel, Shifting dulllness (+), teraba hepar 3 jadi


dibawah arcus costae, permukaan lembut tepi tumpul

Perkusi : Timpani

Ekstremitas Ekstremitas Atas Bawah

Sianosis : -/- -/-

Akral : hangat hangat

Edema : -/- +/+ (Pitting)

RESUME
Anamnesis
Ny. IM usia 64 tahun pasien memakai baju biru dan sarung, terbaring di tempat tidur dapat diajak
berbincang dan sesekali tersenyum untuk menjawab pertanyaan, kulit keriput, rambut tampak lusuh
beruban. Datang ke RSUD sayang cianjur dengan keluhan sesak napas.
Pada 2016 pasien masih sehat masih bisa beraktivitas dengan baik seperti memasak pergi ke pasar
pengajian jalan-jalan berbincang dengan tetangga. Tahun 2017 pasien merasakan baju-bajunya

5
melonggar (penurunan berat badan), suka sesak apabila jalan ke wc, perut suka terasa kembung
(beukah), suka terbangun malam karena sesak, tidur menggunakan 2 bantal dirumah keringat dingin
malam hari(+), nafsu makan baik. Sudah mulai sering di rawat di RS.

Pada tahun 2018 perut makin membesar dan sempat diambil cairan di perut 3x, dan di ambil cairan
di dada 1x. suka merasa sesak namun diabaikan. Keluhan saat ini, sesak, sesak disertai batuk
berdahak, saat sesak pasien lebih suka tidur miring ke kanan. Keluhannya juga disertai dengan
adanya pusing, sulit BAB sudah 1 minggu, BAB hanya 1 kali selama seminggu padahal asupan
makan baik.

Pasien memiliki riwat penyakit hepatitis B, dan Tuberculosis on OAT menggunakan LES. Di
keluarga suami pasien mengidap hepatitis B, tetapi sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Pasien suka
merokok, merokok setelah makan biasanya satu hari setengah batang, rokok jarum coklat, namun
sudah 2 tahun berhenti merokok karena sesak, lingkungan rumah tidak padat penduduk,
dilingkungan rumah terdapat tetangga ada yang sakit kuning, dimana tetangga tersebut dekat
dengan pasien, menurut pasien tetangganya didiagnosis ada sakit liver oleh dokter.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran dan Keadaan Umum: Composmentis, Tampak Sakit Sedang

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg, sebelumnya saat di igd 160/90 mmhg
Nadi : 108 x/menit
Respirasi : 22x/menit
Suhu : 36,8 °C
Mata: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+), reflex cahaya (+/+) isokor 3 mm

Pulmo: Vokal Fremitus kanan menurun, Perkusi Redup pada lapang paru kanan, pada lapang paru
kiri perkusi sonor, Auskultasi VBS <</++, rhonki (+/+)

Abdomen: Tampak cembung, hernia umbilikalis (+), Soepel, Shifting dulllness (+), teraba hepar 3
jadi dibawah arcus costae, permukaan lembut tepi tumpul
Ekstremitas: Akral hangat dan terdapat pitting edema di kedua ekstremitas bawah.

6
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan

Hematologi (16/11/18)

Hemoglobin 5.5 12-16 g/dl

Hematokrit 15.0 37-47 %

Eritrosit 1.50 4.2 – 5.4 10^6/ul

Leukosit 5.7 4.8 – 10.8 10^3/ul

Trombosit 100 150 – 450 10^3/ul

MCV 99.9 80 – 94 fL

MCH 36.7 27–31 pg

MCHC 36.7 33 – 37 %

Differential (16/11/18)

NEU% 75.9 40–70 %

LYM% 15.9 26 – 36 %

MON% 6.8 3.4 – 9.0 %

EOS% 0.9 0–7 %

BAS% 0.5 <1 %

Absolut

NEU # 4.33 1.8 – 7.6 10^3/μL

LYM # 0.91 1.00 – 1.43 10^3/μL

7
MON # 0.39 0.16 – 1.0 10^3/μL

EOS # 0.05 0.0 – 0.8 10^3/μL

BAS # 0.02 0.0 – 0.20 10^3/μL

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan

Hematologi (17/11/18)

Hemoglobin 5.0 12-16 g/dl

Hematokrit 14.6 37-47 %

Eritrosit 4.4 4.2 – 5.4 10^6/ul

Leukosit 1.40 4.8 – 10.8 10^3/ul

Trombosit 40 150 – 450 10^3/ul

MCV 104.7 80 – 94 fL

MCH 36.1 27–31 pg

MCHC 34.5 33 – 37 %

Differential (17/11/18)

NEU% 75.6 40–70 %

LYM% 11.4 26 – 36 %

MON% 7.6 3.4 – 9.0 %

EOS% 1.7 0–7 %

BAS% 0.30 <1 %

LUC% 3.3 0-4 %

8
Absolut

NEU # 3.36 1.8 – 7.6 10^3/μL

LYM # 0.51 1.00 – 1.43 10^3/μL

MON # 0.34 0.16 – 1.0 10^3/μL

EOS # 0.1 0.0 – 0.8 10^3/μL

BAS # 0.01 0.0 – 0.20 10^3/μL

LUC # 0.15 0 0.4 10^3/μL

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan

Hematologi (18/11/18)

Hemoglobin 7.9 (post transfusi) 12-16 g/dl

Hematokrit 21.2 37-47 %

Eritrosit 2.34 4.2 – 5.4 10^6/ul

Leukosit 5.4 4.8 – 10.8 10^3/ul

Trombosit 41 150 – 450 10^3/ul

MCV 90.8 80 – 94 fL

MCH 33.8 27–31 pg

MCHC 37.2 33 – 37 %

9
Differential (18/11/18)

NEU% 9.0 40–70 %

LYM% 5.4 26 – 36 %

MON% 83.8 3.4 – 9.0 %

EOS% 1.2 0–7 %

BAS% 0.6 <1 %

Absolut

NEU # 0.49 1.8 – 7.6 10^3/μL

LYM # 0.30 1.00 – 1.43 10^3/μL

MON # 4.53 0.16 – 1.0 10^3/μL

EOS # 0.06 0.0 – 0.8 10^3/μL

BAS # 0.03 0.0 – 0.20 10^3/μL

HEMATOLOGI
Morfologi Darah Tepi
a. Eritrosit: Normokrom, aniso-poikilositosis (makrositer, fragmentosit). Tidak ditemukan
normoblast
b. Leukosit: Neutrofilia, granula toksik
c. Trombosit: kelompok trombosit kurang
d. Kesan: Anemia (C/penyakit kronik, hipoplasia?, adakah tanda infeksi?
e. Usul: Pemeriksaan Fungsi hati, LED, retikulosit

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan

Hematologi (19/11/18)

Hemoglobin 8.4 (Post Transfusi) 12-16 g/dl

10
Hematokrit 24.7 37-47 %

Eritrosit 2.55 4.2 – 5.4 10^6/ul

Leukosit 4.2 4.8 – 10.8 10^3/ul

Trombosit 27 150 – 450 10^3/ul

MCV 97.0 80 – 94 fL

MCH 32.9 27–31 pg

MCHC 34.0 33 – 37 %

Differential (19/11/18)

NEU% 75.3 40–70 %

LYM% 11.9 26 – 36 %

MON% 11.3 3.4 – 9.0 %

EOS% 1.0 0–7 %

BAS% 0.5 <1 %

Absolut

NEU # 3.18 1.8 – 7.6 10^3/μL

LYM # 0.50 1.00 – 1.43 10^3/μL

MON # 0.47 0.16 – 1.0 10^3/μL

EOS # 0.04 0.0 – 0.8 10^3/μL

BAS # 0.02 0.0 – 0.20 10^3/μL

11
Fungsi Hati (19/11/18)

Bilirubin Total 9.49 <1.1 Mg%

Bilirubin Direk 5.94 0~0.3 Mg%

Bilirubin Indirek 3.55 0.2~0.8 Mg%

AST (SGOT) 60 15-37 U/L

ALT (SGPT) 29 14-58 U/L

Albumin 1.46 3.4 – 5.0 g/dL

Elektrolit

Ureum 45.1 10 – 50 Mg%

Kreatinin 1.7 0.5 – 1.0 Mg%

IMUNOSEROLOGI (13/10/18)
Hepatitis Marker: HbsAG (reactive) sudah diulang dengan 2 reagen berbeda

12
Rontgen Thorax (15/10/18)

Kesan:
Efusi Pleura Kanan (masif)
Infitrat di lapangan tengah sampai bawah paru kiri ec inflamasi

13
Pemeriksaan EKG

14
Kata Kunci

– nyeri

– konjungtiva anemis (+/+)

– sclera iktrerik (+/+)

– VBS dextra menurun

– Rales di kedua lapang paru bagian basal

– Vocal fremitus dextra menurun

– Perkusi paru dextra redup

– Shifting dullness (+)

– Hepatomegaly

– Piting edema minimal di extremitas bawah

– HbsAg reactive

– Hb 5,5 menurun

– Ht 15 menurun

– Eritrosit 1,50 menurun

– MCV 99,9 meningkat

– MCH 36,7 meningkat

– Trombosit 100 menurun

– Bilirubin direct 4, 25 meningkat

– Bilirubin indirect 4,31 meningkat

– SGOT 68 meningkat

15
Daftar Masalah

– Efusi pleura

– TB paru on therapy LES

– Decompensatio cordis

– Hepatitis b

– Trombositopenia

– Anemia makrositik hiperkrome

– Konstipasi

16
PEMBAHASAN

Berdasarkan diagnosis :

 Anamnesis :

- Sesak nafas terutama dalam posisi berbaring

- Batuk berdahak berwarna kuning

- Demam naik turun

- Keringat pada malam hari

- Nafsu makan menurun

- Riwayat di rawat di bangsal Matahari dan dilakukan tindakan pungsi pleura dan didapatkan
hasil peradangan kronis

 Pemeriksaan Fisik :

- Perkusi redup pada hemitoraks kanan

- VBS kanan menurun di ICS 5-6

- Vokal fremitus menurun pada lapang paru kanan

A. Definisi Efusi Pleura


Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan di dalam rongga
pleura.

B. Epidemiologi

Estimasi prevalensi efusi pleura ada;ah 320 kasus per 100.000 orang di negara-negara
industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya.
Secara umum, kejadian efusi pleura sama antara laki-laki dan perempuan. Namun,
penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks.Sekitar dua per tiga efusi pleura ganas
terjadi pada perempuan.Efusi pleura ganas berhubungan secara signifikan dengan
keganasan payudara dan ginekologi.Efusi pleura yang terkait dengan lupus eritematosus
sistemik juga lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.

17
C. Etiologi dan Faktor Resiko
 Gagal jantung kongestif
 Sirosis hati
 Sindrom nefrotik
 Dialisis peritoneum
 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
 Perikarditis konstriktiva
 Keganasan
 Atelektasis paru
 Pneumotoraks
 TB paru

D. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan antara cairan dan
protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk secara lambat
sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi ini terjadi karena perbedaan
tekanan osmotik plasma dan jaringan interstitial submesotelial, kemudian melalui sel
mesotelial masuk kedalam rongga pleura. Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh
limfe sekitar paru. Efusi pleura dapat berupa transudat atau eksudat.
Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses radang oleh
kuman piogenik akan terbentuk pus / nanah, sehingga terjadi empiema / piotoraks. Bila
proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemotoraks. Efusi
cairan yang berupa transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler
hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu
sisi pleura akan melebihi reabsorpi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada :
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intrapleura

18
Penyebabnynya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung
kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum, hipoalbuminemia oleh
berbagai keadaan, perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan pneumotoraks.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal
sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa. Sebab lain seperti parapneumonia, parasit, jamur,
pneumonia atipik, keganasan paru, proses imunologik seperti pleuritis lupus, pleuritis
reumatoid, sarkoidosis, radang sebab lain seperti pankreatitis, asbestosis, pleuritis uremia
dan akibat radiasi.6

E. Klasifikasi

1. Transudat

– Filtrasi plasma yang mengalir menembus dinding kapiler yang utuh terjadi jika
faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan reabsorpsi cairan pleural
terganggu  ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau onkotik.

– Biasanya hal ini terdapat pada:

• Meningkatnya tekanan kapiler sistemik

• Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal

• Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura

• Menurunnya tekanan intra pleura

• Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:

– Gagal jantung kiri (terbanyak) Sindrom nefrotik

– Obstruksi vena cava superior

– Asites pada sirosis hati

2. Eksudat

19
– Merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler yang
permeable abnormal dan berisi protein transudat  akibat inflamasi oleh produk
bakteri atautumor yang mengenai permukaan pleural.

– Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:

– infeksi (tuberkulosis, pneumonia) tumor pada pleura,infark paru, karsinoma


bronkogenik radiasi, penyakit dan jaringan ikat/kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).

3. Hidrotoraks dan pleuritis eksudativa terjadi karena infeksi

4. Rongga pleura berisi darah  hemotoraks

5. Rongga pleura berisi cairan limfe  kilotoraks

6. Rongga pleura berisi pus/nanah  empiema/piotoraks

7. Rongga pleura berisi udara  pneumotoraks

F. Manifestasi klinis
Gejala
 Sesak napas
 Batuk
 Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit pleura
Tanda
 Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
 Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)

G. Diagnosis
Anamnesis
 Sesak napas
 Batuk
 Nyeri dada, nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi jika penyakit pleura

Perlu ditanyakan faktor resiko dan gejala dari etiologi penyakit, seperti gejala-gejala pada :

 Gagal jantung kongestif

20
 Sirosis hati
 Sindrom nefrotik
 Dialisis peritoneum
 Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan
 Perikarditis konstriktiva
 Keganasan
 Atelektasis paru
 Pneumotoraks
 TB paru

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik paru, dapat didapatkan :
 Inspeksi : pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang
terkena. Ruang interkostal menonjol (efusi pleura berat)
 Palpasi : fremitus vocal dan raba berkurang pada bagian yang terkena.
 Perkusi : perkusi meredup di atas efusi pleura
 Auskultasi : suara napas berkurang di atas efusi pleura

Pemeriksaan Penunjang
Foto Thoraks (X-Ray)
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan
seperti kurva dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila
permukaannya horizontal dari lateral ke medial pasti terdapat udara dalam rongga tersebut
yang dapat berasal dari luar atau dalam paru-paru sendiri.
Terkadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura dengan
adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan dalam pleura juga dapat
tidak membentuk kurva karena terperangkap atau terlokalisasi. Keadaan ini sering terdapat
pada daerah bawah paru yang berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini
dinamakan efusi subpulmonik.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru (biasanya
lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus, dapat
juga mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat dalam foto sebagai fisura
interlobaris, bisa juga terdapat secara parallel dengan sisi jantung sehingga terlihat sebagai
kardiomegali.
Cairan seperti empiema dapat juga terlokalisasi, gambaran seperti bayangan dengan
densitas keras di atas diafragma, keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. Hal lain
yang dapat terlihat dari foto dada pada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada

21
sisi yang berlawanan dengan cairan. Disamping itu, gambaran foto dada dapat juga
menerangkan asal mula terjadinya efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar,
adanya massa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau
abses paru.

22
23
Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi duduk.
Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan
memakai jarum abbocath nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak
melebihi 1000- 1500 cc pada sekali aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus
yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat
terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum
diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intrapleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.

Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:


- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
- Emboli udara (jarang terjadi)
- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan cepat. Bila
laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena
pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara. Untuk mencegah emboli ini terjadi emboli
pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi kiri dibagian bawah, posisi
kepala lebih rendah daripada leher, sehingga udara tersebut dapat terperangkap diatrium
kanan.

Berikut ini adalah aspek-aspek yang dinilai dalam menegakkan diagnosis cairan pleura:

Warna cairan . biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuningan ( serous-


santokrom). Bila agak kemerah-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru, keganasan dan
adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning kehijauan agak purulen, ini menunjukkan
adanya empiema. Bila merah kecoklatan, ini menunjukkan adanya abses karena amuba.

Biokimia. Secara biokimia, efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat.

Transudat Eksudat

Kadar protein dalam efusi (g/dl) <3 >3

Kadar protein dalam efusi <0.5 >0.5

24
Kadar protein dalam serum

Kadar LDH dalam efusi (I.U) <200 >200

Kadar LDH dalam efusi <0.6 >0.6

Kadar LDH dalam serum

Berat jenis cairan efusi <1.016 >1.016

Rivalta Negatif positif

Sitologi . pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura sangat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel tertentu.

- Sel neutrofil : menunjukkan adanya infeksi akut


- Sel limfosit : menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis tuberkulosa atau
limfoma maligna
- Sel mesotel : bila jumlahnya meningkat , ini menunjukkan adanya infark paru.
Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit
- Sel mesotel maligna : pada mesotelioma
- Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid
- Sel L.E : pada lupus eritematosus sistemik
- Sel maligna : pada tumor paru / metastasis

Bakteriologi. Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung


mikroorganisme, apalagi bilacairannya purulen (menunjukkan empiema). Efusi yang
purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau anaerob.

Biopsi pleura. Pemeriksaan histopatologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50 – 75 % diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Bila ternyata hasil biopsi pertama tidak memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi
ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hematotoraks, penyebaran infeksi atau
tumor pada dinding dada.

25
H. Tatalaksana
Tatalaksana pada efusi leura bertujuan untuk menghilangkan gejala nyeri dan sesak yang
dirasakan pasien, mengobati penyakit dasar, mencegah fibrosis pleura, dan mencegah
kekambuhan.8

a) Aspirasi cairan pleura


Aspirasi cairan pleura (torakosintesis) berguna sebagai sarana untuk diagnostik
maupun terapeutik. Berikut ini cara melakukan torakosentesis :
 Pasien dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan di
atas bantal. Jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan dalam posisi tidur
terlentang.
 Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas
suara sonor dan redup.
 Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
ukuran besar, misalnya nomor 18.
 Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000- 1500 cc pada sekali
aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang daripada satu kali aspirasi
sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru
akut. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.

Komplikasi torakosintesis adalah sebagai berikut:


- Pneumotoraks (paling sering udara masuk melalui jarum).
- Hemotoraks (karena trauma pada pembuluh darah interkostalis)
- Emboli udara (jarang terjadi)
- Laserasi pleura viseralis, tapi biasanya dapat sembuh sendiri dengan cepat. Bila
laserasinya cukup dalam, dapat menyebabkan udara dari alveoli masuk ke vena
pulmonalis, sehingga terjadi emboli udara.Untuk mencegah emboli ini terjadi
emboli pulmoner atau emboli sistemik, pasien dibaringkan pada sisi kiri dibagian
bawah, posisi kepala lebih rendah daripada leher, sehingga udara tersebut dapat
terperangkap diatrium kanan.

26
Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi berulang atau dengan
pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage
(WSD).Cairan yang dikeluarkan pada setiap pengambilan sebaiknya tidak lebih dari
1000 ml untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara
mendadak. Selain itu, pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara tiba-tiba dapat
menimbulkan refleks vagal, berupa batuk-batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan
hipotensi.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat namun aman dan
sempurna. Pemasangan WSD dapat dilakukan sebagai berikut:
 Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya diruang sela iga 7, 8 atau 9 linea
aksilaris media atauruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikularis
 Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis
 Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang
 Jaringan subkutis dibebaskan dengan klem sampai menemukan pleura parietalis
 Selang dan trokar dimasukkan kedalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik
 Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks
 Setelah posisi benar, selang dijepit dengan klem dan luka kulit dijahit dengan serta
dibebat dengan kassa dan plester
 Selang dihubungkan dengan dengan botol penampung cairan pleura
 Ujung selang sebaiknya diletakkan dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm,
agar udara dari luar tidak dapat masuk kedalam rongga pleura

WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
maka cairan mungkin sudah habis dan jaringan paru sudah mengembang.Untuk
memastikan hal ini, dapat dilakukan pembuatan foto toraks.Selang toraks dapat
dicabut jika prosuksi cairan kurang dari 100 ml dan jaringan paru telah mengembang,
ditandai dengan terdengarnya kembali suara napas dan terlihat pengembangan paru
pada foto toraks. Selang dicabut pada waktu ekspirasi maksimum.

27
Indikasi pemasangan WSD:
- Hemotoraks, efusi pleura
- Pneumotoraks > 25 %
- Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
- Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontraindikasi pemasangan WSD:


- Infeksi pada tempat pemasangan
- Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol

b) Pleurodesis
Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseral dengan pleura
parietalis, dengan jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke dalam rongga
pleura sehingga terjadi keadaan pleuritis obliteratif.Pleurodesis merupakan
penanganan terpilih pada efusi keganasan.Bahan kimia yang lazim digunakan adalah
sitostatika seperti kedtiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adriamisin
dan doksorubisin.Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat
sitostatika (misalnya tiotepa 45 mg) diberikan dengan selang waktu 710 hari;
pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil,
akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan didalam rongga tersebut. Obat lain yang murah
dan mudah didapatkan adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini, WSD harus
dipasang dan paru sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan
kedalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan kedalam rongga pleura
melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal, kemudian ditambah
dengan larutan garam faal 1030 ml untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2%
untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan oleh obat ini. Analgesik narkotik yang
diberikan 11.5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna juga untuk
mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam dan posisi
penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata diseluruh bagian rongga
pleura. Apabila dalam waktu 24-48 jam cairan tidak keluar lagi, selang toraks dapat
dicabut.

28
c) Pembedahan
Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena efusi
pleura keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan
pembedahan menimbulkan resiko yang besar. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi
duktus toraksikus dan pintas pleuroperitonium, kedua pembedahan ini terutama
dilakukan pada efusi pleura keganasan akibat limfoma atau keganasan lain pada
kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dimana cairan pleura tetap terbentuk setelah
dilakukan pleurodesis.

TUBERCULOSIS
Definsi
Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis (MTB). Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, merupakan
organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran
pernafasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB
menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil
tuberkel dari seseorang yang terinfeksi.

Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit menular didunia yang paling mematikan.
Pada tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang mengembangkan TB dan 1,5 juta meninggal
karena disertai penyakit lain, dimana 360.000 diantaranya adalah HIV-Positif. TB secara
perlahan menurun setiap tahun dan diperkirakan bahwa 37 juta kehidupan diselamatkan antara
tahun 2000 dan 2013 melalui efekti diagnosis dan pengobatan.
Menurut data dari WHO 2015 kawasan asia tenggara merupakan kawasan yang paling tinggi
dalam kasus tuberkulosis yaitu mencapai 2.656.560 kasus dibandingakan dengan kawasan yang
lainnya.
Di indonesia sendiri pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910
kasus, dimana jumlah kasus itu lebih itnggi dari tahun sebelumnya yaitu sebsar 324.539 kasus.
Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan kepadatan penduduk yang

29
tinggi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang mencapai 38% dari jumlah kasus
baru di Indonesia.

Etiologi
TB disebabkan oleh M tuberculosis, aerob obligat yang tumbuh lambat dan parasit
intraseluler fakultatif. Organisme tumbuh dalam kelompok paralel yang disebut tali (seperti yang
terlihat pada gambar di bawah). Ini mempertahankan banyak noda setelah dekolorasi dengan asam-
alkohol, yang merupakan dasar dari noda asam-cepat yang digunakan untuk identifikasi patologis.

Mycobacteria, seperti M tuberculosis, adalah aerobik, non-spora-pembentuk, nonmotile,


fakultatif, batang intraseluler melengkung berukuran 0,2-0,5 μm oleh 2-4 μm. Dinding sel mereka
mengandung mycolic, asam-kaya, glikolipid rantai panjang dan fosfolipoglikan (mycocides) yang
melindungi mycobacteria dari serangan sel lisosom dan juga mempertahankan warna dasar fuchsin
merah setelah pembilasan asam (acid-fast stain).

KLASIFIKASI
TUBERKULOSIS PARU
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif

30
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
2. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya1,5,6
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa
tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian)

b. Kasus kambuh (relaps)


Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan
positif.
Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik sehingga
dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh

c. Kasus Lalai Berobat


Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2
minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut
kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif

d. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

31
 Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran
radiologik ulang hasilnya perburukan
e. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

3. Berdasarkan hasil pemeriksaan kepekaan obat


a. Mono resistan (TB MR) : resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja
b. Poli resistan (TB PR) : resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampicin (R) secara bersamaan
c. Multi Drug resistan (TB MDR) : resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampicin (R) secara bersamaan
d. Extensive drug resistan (TB XDR) : adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, amikasin, kapreomisin)
e. Resistan rifampisin (TB RR) : resistan terhadap Rifampicin (R) dengan atau
tanpa resistan terhadap OAT lain

TUBERKULOSIS EKSTRA PARU


Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau
bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan
oleh klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :
1. TB di luar paru ringan
Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
2. TB diluar paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral,
TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin.

32
Standar Tatalaksana Tuberkulosis menurut ISTC
1. Setiap praktisi yang mengobati pasien TB mengembang tanggung jawab kesehatan
masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak wajib
meresepkan rejimen pengobatan yang tepat, memantau kepatuhan terhadap rejimen dan,
faktor yang menyebabkan gangguan atau penghentian pengobatan dan memerlukan
koordinasi dengan pelayanan kesehatan masyarakat lokal dan / atau lembaga lainnya.

2. Semua pasien yang belum pernah diobati sebelumnya dan tidak memiliki faktor risiko lain
untuk resistensi obat harus menerima paduan obat lini pertama yang disepakati secara
internasional (WHO) sesuai obat yang bioavailabilitinya telah diketahui. Tahap awal harus
terdiri dari dua bulan isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan terdiri
dari isoniazid dan rifampicin diberikan selama 4 bulan. Dosis obat antituberkulosis yang
digunakan harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Kombinasi dosis tetap obat dapat
memberikan kenyamanan pemberian obat.

Obat yang digunakan:


a. Jenis obat utama (lini 1)
Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol
b. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
o Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
o Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg dan pirazinamid. 400 mg
c. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin, Kuinolon, Derivat
rifampisin dan INH

3. Untuk membina dan menilai kepatuhan


pengobatan, suatu pendekatan
pemberian obat yang berpihak kepada
pasien, berdasarkan kebutuhan pasien,
dan rasa saling menghormati antara

33
pasien dan penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. dalam
rangka untuk mempromosikan kepatuhan, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi
penderitaan.

4. Respon terhadap pengobatan pada pasien dengan TB paru (termasuk orang-orang dengan
TB yang didiagnoi dengan rapid molecular tes) harus dipantau dengan tindak lanjut sputum
BTA mikroskop pada saat stahap awal pengobatan selesai (dua bulan). Jika sputum BTA
positif pada penyelesaian tahap awal, pemeriksaan dahak mikroskopik harus dilakukan lagi
pada bulan ke 3 dan, jika positif, pemerikaan kepekaan obat (tes pemeriksaan line atau
Xpert MTB / RIF) harus dilakukan. Pada pasien dengan TB ekstra paru dan pada anak-anak,
respon pengobatan terbaik dinilai secara klinis.

a. Pemantauan pasien dan pengawasan pengobatan merupakan dua fungsi yang


terpisah. pemantauan pasien diperlukan untuk mengevaluasi respon dari penyakit
sedangkan pemantauan pengobatan untuk mengidentifikasi efek samping obat.
Untuk menilai respon pengobatan tuberkulosis paru, metode yang paling cepat
adalah sputum BTA mikroskopis.
b. Radiografi dada mungkin merupakan tambahan yang berguna dalam menilai respon
terhadap pengobatan, tetapi bukan pengganti untuk evaluasi mikrobiologis.
Demikian pula, penilaian klinis dapat diandalkan dan menyesatkan dalam
pemantauan pasien dengan TB paru terutama di hadapan kondisi komorbid yang
dapat mengacaukan penilaian klinis.

5. Penilaian kemungkinan resistensi obat dilakukan berdasarkan riwayat pengobatan OAT


terdahulu, paparan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi
obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien.

a. Pemerikaan kerentanan terhadap obat harus dilakukan pada awal terapi untuk semua
pasien pada risiko resistensi obat. Pasien yang sputum BTA nya tetap positif pada
akhir pengobatan 3 bulan, pasien yang pengobatannya gagal, dan pasien yang tidak
menindaklanjuti atau kambuh mengikuti satu atau lebih program pengobatan harus
selalu dinilai untuk resistensi obat. Untuk pasien resistensi obat disarankan
melakukan suatu pemeriksaan Xpert MTB / RIF untuk diagnostik awal. Jika

34
resistance rifampisin terdeteksi, kultur dan pengujian untuk kerentanan terhadap
isoniazid, fluoroquinolones, dan obat suntik lini kedua harus dilakukan segera.
konseling dan edukasi pasien, serta pengobatan dengan rejimen empiris lini kedua,
harus dimulai segera untuk meminimalkan potensi untuk transmisi. langkah-langkah
pengendalian infeksi sesuai dengan pengaturan harus diterapkan.
b. Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :
o Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
o Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
o Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan
o Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan
Amikasin)
o Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes
cepat) atau metode fenotip (konvensional).

6. Pasien TB yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR) seharusnya diobati
dengan paduan obat khusus yang mengandung OAT lini kedua. Dosis obat antituberkulosis
harus sesuai dengan rekomendasi WHO. Rejimen yang dipilih dapat dibakukan atau
berdasarkan kecurigaani atau dikonfirmasi pola kerentanan terhadap obat. Setidaknya lima
obat, pirazinamid dan empat obat yang organismenya diketahui atau diduga rentan,
termasuk agen injeksi harus digunakan dalam fase intensif 6-8 bulan dan setidaknya 3 obat
yang organisme diketahui atau diduga rentan, harus digunakan dalam fase lanjutan.
Pengobatan harus diberikan untuk setidaknya 18-24 bulan di luar konversi kultur. tindakan
berpusat pada pasien, termasuk observasi pengobatan, diperlukan untuk memastikan
kepatuhan.

35
7. Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Pengobatan pada pasien Tb dengan gangguan fungsi hati

a. Pasien TB dengan Hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan.
b. Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang biasa
digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
- Pembawa virus hepatitis
- Riwayat penyakit hepatitis akut
- Saat ini masih sebagai pecandu alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya
terjadi pada pasien dengan kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
c. Hepatitis Kronis Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis,
pemeriksaan fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini
dapat dipertimbangkan:
- 2 obat yang hepatotoksik: 2 HRSE / 6 HR atau 9 HRE
- 1 obat yang hepatotoksik: 2 HES / 10 HE
- Tanpa obat yang hepatotoksik: 18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon
(ciprofloxasin tidak direkomendasikan karena potensimya sangat lemah).

Semua obat anti tuberkulosis dapat menyebabkan hepatotoksisitas. pyrazinamide adalah


yang paling hepatotoksisitas dan isoniazid yang kedua tetapi pada tingkat yang jauh lebih
rendah. Beberapa kombinasi, seperti rifampisin-pirazinamid mempotensiasi efek
hepatotoksik masing-masing obat.Aspek klinis mirip dengan virus hepatitis: anoreksia,
mual, muntah, sakit kuning, dll. Jika tersedia, pemeriksaan laboratorium dari fungsi hati
berguna dalam diagnosis untuk meilihat Kadar serum aspartat aminotransferase (AST) dan
alanine aminotransferase (ALT) meningkat pada toksisitas hati.

36
AST atau serum bilirubin ALT> 3 kali batas atas normal dengan gejala atau > 5 kali
batas normal tanpa gejala dianggap meningkat. AST atau ALT atau serum bilirubin <5 kali
batas normal mendefinisikan toksisitas ringan; 5 sampai 10 kali batas normal
mendefinisikan toksisitas sedang dan> dari 10 kali batas normal menentukan toksisitas
berat.
ketika gejala-gejala tersebut terjadi atau jika enzim-enzim hati meningkat secara moderat
atau berat, semua obat anti-TB harus dihentikan sambil menunggu resolusi tanda-tanda.
pengobatan dengan obat yang sama mungkin, sebagian besar waktu, dapat dilanjutkan tanpa
insiden. Tujuannya adalah untuk melanjutkan pengobatan dengan rejimen awal atau dengan
yang lain, dan secepat mungkin. Ketika status klinis pasien tidak memungkinkan interupsi
pengobatan tb, obat-obatan yang paling tidak beracun, streptomisin, dan etambutol, dapat
digunakan sambil menunggu resolusi klinis hepatitis

Jika gejala muncul kembali, mungkin lebih bijaksana untuk memperkenalkan kembali
obat satu per satu dan menambahkan obat terakhir yang diperkenalkan kembali jika gejala
kambuh atau tes hati menjadi tidak normal. Beberapa penulis merekomendasikan memulai
dengan rifampisin (dan etambutol) dan memperkenalkan kembali isoniazid 3 hingga 7 hari
kemudian. jika rifampisin, etambutol dan isoniazid telah diperkenalkan dan kelainan
biokimia belum tersembuhkan, jangan memperkenalkan pirazinamid karena kemungkinan
besar adalah agen penyebab.

Regimen alternatif tergantung dari obat yang menyebabkan toxic hepatitis, regimen ini
serupa dengan yang direkomendasikan dalam kasus resistnsi obat tuberkulosis:

- Pyrazinamide terlibat: 2S (HR)/7 (HR) atau 2 (HR)E/7 (HR)


- Isoniazid terlibat: 9 RZE
- Rifampicin terlibat: 3 S-Lfx-HZE/ 12Lfx-HZE atau 3 Km-Lfx-HZE/ 12 Lfx-HZIE
- Pyrazinamide dan Rifampicin terlibat: 3 S-Lfx-HE/12 Lfx-HZIE atau 3 Km-Lfx-HE/ 12
Lfx-HE
Dalam kejadian langka rifampicin dan isoniazid yang terlibat regimen pengobatan
adalah sebagai regimen MDR.

37
Peningkatan transaminase ringan sementara dapat diamati pada bulan-bulan pertama
terapi dan biasanya tetap asimtomatik. Namun, hepatitis yang signifikan biasanya
bergejala dan diagnosis dikonfirmasi oleh peningkatan transaminase serum yang
signifikan. Jika pasien memiliki gejala hepatitis, periksa fungsi hati:
a. jika enzim hati meningkat tetapi kurang dari 5 kali normal, lanjutkan terapi anti-TB
tetapi ikuti fungsi hati setiap minggu.
b. jika enzim hati lebih besar dari 5 kali batas normal, hentikan semua obat anti-TB dan
kontrol fungsi hati setiap minggu. jika enzim hati terus meningkat, maka obat yang
diinduksi progresif hepatitis atau penyebab yang tidak terkait harus dicurigai.
c. jika enzim hati yang tinggi kembali ke normal dan gejala hilang, memulai kembali
obat anti-TB, dimulai dengan agen yang paling tidak mungkin hepatotoksik dan
kemudian agen berikut dapat dilanjutkan satu per satu selama periode satu minggu,
sambil memeriksa hati enzim pada akhir setiap minggu: PAS-Eto / Pto-RZ dan H.
agen yang menyerang secara umum dapat diidentifikasi dengan cara ini dan tidak
melanjutkan atau mengganti. banyak penyedia menambahkan kemungkinan obat
bius yang paling tidak penting maka pertimbangkan untuk tidak memperkenalkan
kembali.

DECOMPENSATIO CORDIS

Definisi

Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran
darah sesuai dengan kebutuhan tubuh. Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi
penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung.
Gagal Jantung adalah sindrom klinis yang kompleks yang dihasilkan dari setiap gangguan
struktural atau fungsional pengisian ventrikel atau ejeksi darah. Manifestasi utama dari HF adalah
dyspnea dan kelelahan saat istirahat atau saat aktifitas yang disebabkan oleh kelainan struktur /
fungsi jantung, disertai tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan kaki).
Epidemiologi

38
20 per 1000 individu berusia 65-69 tahun, > 80 per 1000 individu di antara mereka yang berusia
≥85 tahun. Sekitar 5,1 juta orang di Amerika Serikat memiliki gejala gagal jantung. Prevalensi
gagal jantung meningkat menjadi 90-121 per 1.000 pada tahun 1994-2003. Kulit hitam memiliki
risiko tertinggi untuk gagal jantung. Dalam ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) studi,
tingkat kejadian per 1.000 orang-tahun adalah terendah di antara perempuan berkulit putih dan
tertinggi pada laki-laki hitam dengan tingkat mortalitas 5 tahun lebih besar.

Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada Survei Kesehatan
Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakan penyebab kematian utama di
Indonesia (26,4%) dan pada Profil Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung
berada di urutan ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit
di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke tidak berdarahah
atau infark menduduki urutan penyebab kematian utama, yaitu sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) ,
dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang
terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005.

Etiologi

Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang terjadi pada
infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun, pada kondisi tertentu, bahkan miokard
dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik ke seluruh tubuh
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya masalah mekanik
seperti regurgitasi katup berat, dan lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi tiamin (beri-beri), dan
anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat menyebabkan gagal jantung,
tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung pada orang-orang dengan penyakit
jantung dasar.

Penyebab reversible dari gagal jantung antara lain: aritmia (misalnya: atrial fibrillation), emboli
paru-paru (pulmonary embolism), hipertensi maligna atau accelerated, penyakit tiroid
(hipotiroidisme atau hipertiroidisme), valvular heart disease, unstable angina, high output failure,
gagal ginjal, permasalahan yang ditimbulkan oleh pengobatan (medication-induced problems),
intake (asupan) garam yang tinggi, dan anemia berat.

39
Menurut penyebabnya gagal jantung dibagi berdasarkan :
1. Myocardial damage
a. Ischemic Heart Disease (IHD) difus atau regional
b. Miokarditis
Viral, demam rematik, bakterial, fungal.
c. Kardiomiopati
Kardiomiopati iskemik, kardiomiopati diabetik, kardiomiopati periapartal, kardiomiopati
hipertensi (HHD), idiopathic hypertrophic subortic stenosis.
2. Beban ventrikel yang bertambah
a. Beban Tekanan / Pressure Overload
- Hipertensi Sistemik
- Koarktasio Aorta
- Aorta Stenosis
- Pulmonal Stenosis
- Hipertensi pulmonal pada ppok atau hipertensi pulmonal primer
b. Beban Volume / Volume Overload
- Mitral Regurgitasi
- Aorta Regurgitasi
- Ventricular Septal Defect (VSD)
- Atrial Septal Defect (ASD)
- Patent Ductus Arteriosus (PDA)
c. Restriksi dan Obstruksi Pengisian Ventrikel
- Mitral Stenosis
- Triskupid Stenosis
- Tamponade Jantung
- Atrial Miksoma
- Kardiomiopati Restriktif
- Perikarditis Kontriktif
d. Kor pulmonal
e. Kelainan Metabolik
- Beri-beri

40
- Anemia Kronik
- Penyakit Tiroid
f. Kardiomiopati Toksik
- Alkohol
- Vincristin
- Bir, kokain
g. Trauma
- Miokardial Fibrosis
- Perikardial Kontriktif
h. Kegananasan
- Limfoma
- Rabdomiosarkoma
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
 Faktor Predisposisi
Yang merupakan faktor predisposisi gagal jantung antara lain: hipertensi, penyakit arteri
koroner, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, penyakit jantung kongenital, stenosis
mitral, dan penyakit perikardial.
 Faktor Pencetus
Yang merupakan faktor pencetus gagal jantung antara lain: meningkatnya asupan (intake)
garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infak miokard akut,
hipertensi, aritmia akut, infeksi, demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan
endokarditis infektif.
Klasifikasi
Kapasitas Klasifikasi New York Heart Association Penilaian Objektif
Fungsional

Class I Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada


aktivitas fisik. Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan,
palpitasi, sesak, atau nyeri anginal

41
Kapasitas Klasifikasi New York Heart Association Penilaian Objektif
Fungsional

Class II Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan


aktivitas fisik ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat.
Aktivitas fisik biasa mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau
nyeri anginal.

Class III Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan


bermakna pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu
istirahat. Aktivitas fisik yang lebih ringan dari biasanya
menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan nyeri anginal..

Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan


ketidakmampuan untuk menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa
tidak nyaman. Gejala gagal jantung atau sindroma angina dapat
dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas fisik dilakukan,
maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.

Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels: Nomenclature and
Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown

42
Disadur dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008

 Berdasarkan New York Heart Association (NYHA) diklasifikasikan menjadi 4 kelas


fungsional

1. Kelas I

Pasien dengan penyakit jantung tetapi tidak mempunyai batasan aktivitas fisik.

2. Kelas II

Pasien dengan penyakit jantung tetapi mempunyai sedikit batasan aktivitas fisik.

3. Kelas III

Pasien dengan penyakit jantung yang mempunyai batasan yang harus diperhatikan dalam aktivitas
fisik.

4. Kelas IV

Pasien dengan penyakit jantung yang tidak dapat melakukan berbagai aktivitas fisik yang
disebabkan dyspnea.

Berdasarkan American College of Cardiology and the American Heart Association, gagal jantung
telah diklasifikasikan menjadi beberapa tahap dan juga terapi yang diberikan yaitu antara lain :

43
1. Tahap A

Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi tidak menunjukkan struktur

abnormal dari jantung .

2. Tahap B

Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak bergejala.

3. Tahap C

Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.

4. Tahap D

Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan pengobatan standar.

Patofisiologi

Jantung kanan yang telah lemah, tidak kuat lagi memindahkan darah yang cukup banyak dari
susunan pembuluh darah venosa (vena kava, atrium, dan ventrikel kanan) ke susunan pembuluh
darah arteriosa (arteri pulmonalis). Oleh karena itu, darah akan tertimbun di dalam ventrikel kanan,
atrium kanan, dan di dalam vena kava sehingga desakan darah dalam atrium kanan dan vena
tersebut meninggi. Makin tinggi desakan darah dalam vena, vena makin mengembang (dilatasi).

Dalam praktik, desakan venosa yang meninggi ini dapat dilihat pada vena jugularis eksterna.
Penimbunan darah venosa sistemik akan menyebabkan pembengkakan hepar atau hepatomegali.
Pada gagal jantung yang sangat, pinggir bawah hati dapat mencapai umbilikus. Hati yang
membengkak ini konsistensinya keras, permukaannya licin, dan sering sakit tekan terutama pada
linea mediana. Hepatomegali merupakan suatu gejala yang penting sekali pada gagal jantung
kanan. Timbunan darah venosa pada vena-vena di bagian bawah badan akan menyebabkan
terjadinya udem. Mula-mula udem timbul pada tempat mata kaki (pada anak yang sudah berdiri),
jadi pada tempat terendah, karena meningginya tekanan hidrostatis merupakan suatu faktor bagi
timbulnya udem. Mula-mula, udem timbul hanya pada malam hari, waktu tidur, dan paginya udem
menghilang.

44
Pada stadium yang lebih lanjut, udem tetap ada pada waktu siang hari, dan udem tidak timbul pada
mata kaki saja, tetapi dapat juga terjadi pada punggung kaki, paha, kulit perut, dan akhirnya pada
lengan dan muka. Akibat selanjutnya dari timbunan darah ini adalah asites, dan asites ini sangat
sering dijumpai pada anak yang menderita gagal jantung. Dapat juga terjadi hidrotoraks, meskipun
pada anak agak jarang dijumpai. Bila hidrotoraks, terlalu banyak akan memperberat keadaan
dispnea penderita.

Adanya kelemahan jantung kanan mula-mula dikompensasi dengan dilatasi dinding jantung kanan,
terutama dinding ventrikel kanan. Adanya dilatasi dinding ventrikel akan menambah keregangan
miokardium sehingga akan memperkuat sistole yang berakibat penambahan curah jantung. Adanya
dilatasi dan juga sedikit hipertrofi jantung akan menyebabkan pembesaran jantung atau disebut
kardiomegali.

Upaya penambahan curah jantung karena kelemahan juga dilakukan dengan menaikkan frekuensi
jantung (takikardi). Pada akhirnya kelemahan jantung kanan ini tidak dapat dikompensasi lagi,
sehingga darah yang masuk ke dalam paru akan berkurang dan ini tentunya akan merangsang paru
untuk bernapas lebih cepat guna mengimbangi kebutuhan oksigen, akibatnya terjadi takipnea.

 Gagal Jantung Kiri


Jika darah dari atrium kiri untuk masuk ke ventrikel kiri pada waktu diastole mengalami hambatan
akan menyebabkan tekanan pada atrium meninggi sehingga atrium kiri mengalami sedikit dilatasi.
Makin lama dilatasi ini semakin berat sehingga atrium kiri, disamping dilatasi juga mengalami
hipertrofi karena otot atrium ini terus menerus harus mendorong darah yang lebih banyak dengan
hambatan yang makin besar. Oleh karena dinding atrium tipis, dalam waktu yang relatif singkat
otot atrium kiri tidak lagi dapat memenuhi kewajibannya untuk mengosongkan atrium kiri. Menurut
pengukuran, tekanan ini mencapai 24-34 mmHg, padahal tekanan normal hanya 6 mmHg atau
ketika ventrikel kiri tidak mampu memompa darah ke aorta (karena kelemahan ventrikel kiri),
darah tertumpuk di ventrikel kiri, akibatnya darah dari atrium kiri tidak tertampung di ventrikel kiri,
kemudian makin lama makin memenuhi vena pulmonalis dan akhirnya terjadi udem pulmonum.
Pengosongan atrium kiri yang tidak sempurna ini ditambah meningginya tekanan didalamnya,
menyebabkan aliran di dalamnya, menyebabkan aliran darah dari paru ke dalam atrium kiri
terganggu atau terbendung. Akibatnya tekanan dalam vena pulmonales meninggi, dan ini juga akan

45
menjalar ke dalam kapiler di dalam paru, ke dalam arteri pulmonalis dan akhirnya ke dalam
ventrikel kanan.
Akhirnya atrium kiri makin tidak mampu mengosongkan darah, bendungan dalam paru semakin
berat, terjadilah kongesti paru. Akibatnya, ruangan di dalam paru yang disediakan untuk udara,
berkurang dan terjadilahsuatu gejala sesak napas pada waktu bekerja (dyspnoe d’effort). Disini,
ventrikel kanan masih kuat sehingga dorongan darah dari ventrikel kanan tetap besar,sedangkan
atrium kiri tetap tidak mampu menyalurkan darah, akibatnya bendungan paru semakin berat
sehingga akan terjadi sesak napas meskipun dalam keadaan istirahat (orthopnea). Pada umumnya,
adanya kongesti paru ini akan memudahkan terjadinya bronkitis sehingga anak sering batuk-batuk.
Darah yang banyak tertimbun dalam ventrikel kanan menyebabkan ventrikel kanan dilatasi,
kemudian diikuti dengan hipertrofi, yang akibatnya akan terjadi kardiomegali. Dalam rangka
memperbesar curah jantung, selain jantung memperkuat sistol karena adanya keregangan otot
berlebihan, jantung juga bekerja lebih cepat, artinya frekuensi naik. Dengan demikian, terjadi
takikardi. Oleh karena yang lemah adalah atrium kiri dan atau ventrikel kiri maka disebut gagal
jantung kiri.
Gejala Klinis

Disadur
dari ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008

Gagal Jantung Kiri

46
Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami kegagalan secara terpisah. Gagal jantung kiri terjadi
karena ventrikel gagal untuk memompa darah secara adekuat sehingga menyebabkan kongesti
pulmonal, hipertensi dan kelainan pada katub aorta/mitral. Gagal ventrikel kiri paling sering
mendahului gagal ventriel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut.
Karena curah ventrikel berpasangan atau sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel dapat
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.

Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa
darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan
terdorong ke jaringan paru. Dispnu dapat terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang
mengganggu pertukaran gas. Mudah lelah dapat terjadi akibat curah jantung yang kurang
menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil
katabolisme, juga terjadi akibat meningkatnya energi yang digunakan untuk bernapas dan insomnia
yang terjadi akibat distress pernapasan dan batuk.

Tabel 2. Gambaran klinis gagal jantung kiri

Gejala Tanda

- Penurunan kapasitas aktivitas - Kulit lembab

- Dispnea (mengi, orthopnea, PND) - Tekanan darah (tinggi, rendah atau


normal)
- Batuk (hemoptisis)
- Denyut nadi (volume normal atau
- Letargi dan kelelahan
rendah) (alternans/takikardia/aritmia)
- Penurunan nafsu makan dan berat badan
- Pergeseran apeks

- Regurgitasi mitral fungsional

- Krepitasi paru

- (± efusi pleura)

47
Gagal Jantung Kanan

Gagal jantung kanan disebabkan peningkatan tekanan pulmo akibat gagal jantung kiri yang
berlangsung cukup lama sehingga cairan yang terbendung akan berakumulasi secara sistemik di
kaki, asites, hepatomegali, efusi pleura, dll. Bila ventrikel kanan gagal, yang menonjol adalah
kongesti viscera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu
mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasikan semua
darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak dapat
meliputi edema ekstremitas bawah, peningkatan berat badan, hepatomegali, distensi vena leher,
asites, anoreksia, mual dan nokturia.

Tabel 3. Gambaran klinis gagal jantung kanan

Gejala Tanda

- Pembengkakan pergelangan kaki - Denyut nadi (aritmia takikardia)

- Dispnea (namun bukan orthopnea atau - Peningkatan JVP


PND)
- Edema
- Penurunan kapasitas aktivitas
- Hepatomegali dan ascites
- Nyeri dada
- Gerakan bergelombang parasternal

- S3 atau S4 RV

- Efusi pleura

Manifestasi Klinis

Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi rendah.Uji
diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal.
Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi disfungsi
sistolik dan diastolic.

48
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, yang hingga
kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar
harus dikuasai, sehingga riwayat gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail.
Anamnesa
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah. Keluhan lelah
secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya kardiak output pada gagal jantung,
abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula
memberikan kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien
beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang
semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan
besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh
akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang
menjadi karakteristik cardiac dypnea.

49
Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance
paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia.
Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan
regurgitasi trikuspid.
Orthopnu Dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar, dan biasanya
merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak saat aktivitas. Gejala ortopnu
biasanya menjadi lebih ringan dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu
diakibatkan oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam
sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-
batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan seringkali terlewatkan sebagai
gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung,
keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada
pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan batuk yang umumnya
terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam
setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh
meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai
edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan
orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung,
pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak
menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut.
Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale) berhubungan erat
dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder akibat
bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing
lainnya.
Edema Pulmoner Akut
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat meningkatnya
tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat menurunnya fungsi jantung atau
meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang
progresif. Edema paru pada gagal jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat

50
disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat
mematikan.
Respirasi Cheyne Stokes
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada gagal jantung yang
berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang rendah. Respirasi cheyne-stokes
disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase
apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini
menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang
diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau
keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas sesaat.
Gejala Lainnya
Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal. Anorexia, nausea,
dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri abdominal dan kembung adalah gejala
yang sering ditemukan, dan bisa jadi berhubungan dengan edema dari dinding usus dan/atau
kongesti hati. Kongesti dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada
kuadran kanan atas. Gejela serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan emosi
dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut usia dengan
arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi serebral. Nocturia juga umum ditemukan dan
dapat memperberat keluhan insomnia.
Manisfestasi tanda dan gejala klinis gagal jantung yang diutarakan diatas sangatlah bervariasi.
Sedikit yang spesifik untuk gagal jantung, sensitivitasnya rendah dan semakin berkurang dengan
pengobatan jantung, menunjukkan sensitivitas dan spesifitas berbagai tanda dan gejala tersebut.
Walau orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspeu relatif spesifik untuk gagal jantung, gejala
tersebut tidak sensitif untuk diagnosis gagal jantung. Banyak orang dengan gagal jantung tidak
memiliki gejala ini pada anamnesa. Tidak jauh berbeda, tekanan vena jugular yang meningkat
sangat spesifik, tapi tidak sensitif dan membutuhkan keahlian klinis untuk deteksi tepat.

51
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan gagal
jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan apa penyebab gagal jantung dan
juga untuk mengevaluasi beratnya sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan
mengenai profil hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah
tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik.
Keadaan Umum Dan Tanda Vital
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki keluhan, kecuali merasa
tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa menit. Pada pasien dengan gagal
jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk
menyelesaikan kata-kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada
umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan
nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa
meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang
diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer mengakibatkan
ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan ujung jari juga diakibatkan oleh
aktivitas simpatis yang berlebihan.
Pemeriksaan Vena Jugularis Dan Leher
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan, dan secara tidak
langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena jugularis dinilai terbaik saat pasien
tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan
sentimeter H2O (normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena
jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun).
Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara
abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular
positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.
Pemeriksaan Paru
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan dari rongga
intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki dapat didengar pada kedua
lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada
pasien tanpa penyakit paru, ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan

52
bahwa ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika
pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien sudah beradaptasi
dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah meningkat.
Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah
transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik
dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular
failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura
kanan lebih sering daripada yang kiri.
Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan informasi yang berguna
mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis)
biasanya tergeser kebawah intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea
midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba
lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi
beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar dan
teraba pada apex.
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi dapat memiliki
impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal kiri (right ventricular
heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada pasien dengan volume overload yang
mengalami tachycardia dan tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang
berat. Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada pasien
dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan pada
pasien dengan gagal jantung yang lanjut.
Pemeriksaan Abdomen Dan Ekstrimitas
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan gagal jantung. Jika
memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika
terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya
tekanan pada vena hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar
bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan terganggunya fungsi
hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.

53
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau demikian tidaklah spesifik
dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien
gagal jantung biasanya simetris, beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling
sering terjadi sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema yang
berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang bertambah.
Kakeksia Kardiak
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat badan dan
kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti, kemungkinan besar faktor
penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya adalah meningkatnya basal metabolik
rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan
rasa penuh di abdomen, meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan
terganggunya absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia
maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk.
Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (EKG)

Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya
merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam
mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan ECG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal
jantung

Radiologi (foto thorax)

Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya
ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada
tampilan postanterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi
siltolik karena ukuran bias terlihat normal.

Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali. Namun kardiomegali bukan selalu berarti adanya
gagal jantung. Selain itu juga dapat menunjukkan adanya edema paru, atelektasis regional, dan
kemungkinan adanya penyakit penyerta seperti gambaran pneumonia.

54
Terdapat hubungan lemah antara ukuran jantung pada foto toraks dengan fungsi ventrikel kiri. Pada
gagal jantung akut sering tidak terdapat kardiomegali. Kardiomegali mendukung diagnosis gagal
jantung khususnya bila terdapat dilatasi vena lobus atas. Foto rontgen adalah indicator penting
untuk menentukan ukuran jantung dan mendeteksi pembesaran. Yang paling umum digunakan
adalah CTR (cardiothoracic Ratio). Selain itu juga digunakan diameter tranversal jantung. CTR
adalah perbandingan diameter transversal jantung dengan diameter transversal rongga thoraks.
Rasio normalnya 50% (55% untuk orang Asia dan Negro). Rasio ini meningkat pada orang tua dan
pada neonates kadang mencapai 60%. Metode ini tidak bisa dipakai pada orang yang letak
jantungnya mendatar (horizontal) atau vertical dan orang dengan pericardium penuh lemak.
 Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kanan
Beberapa tanda khas gagal jantung kanan adalah:
1. Vena cava superior melebar, terlihat sebagai pelebaran di suprahiler kanan sampai ke atas.
2. Vena azygos membesar sampai mencapai lebih dari 2 mm.
3. Efusi pleura, biasanya terdapat di sisi kanan atau terjadi bilateral.
4. Interlobar effusion atau fissural effusion. Sering terjadi pada fissure minor, bentuknya oval
atau elips. Setelah gagal jantung dapat diatasi, maka efusi tersebut menghilang, sehingga
dinamakan vanishing lung tumor sebab bentuknya mirip tumor paru.
5. Kadang-kadang disertai dengan efusi pericardial.

 Gambaran Radiologis Gagal Jantung Kiri


1. Pada foto thoraks gagal jantung terlihat perubahan corakan vaskuler paru
2. Distensi vena di obus superior, bentuknya menyerupai huruf Y dengan cabang lurus
mendatar ke lateral
3. Batas hilus pulmo terlihat kabur
4. Menunjukkan adanya edema pulmonum keadaan awal.
5. Terdapat tanda-tanda edema pulmonum meliputi edema paru interstitial dan alveolar.
EKG
Elektrokardiografi dapat membantu menentukan tipe defek, adanya sinur takikardia, pembesaran
atrium dan hipertrofi ventrikel, tetapi tidak untuk menentukan apakah terdapat gagal jantung atau
tidak.

55
Echocardiography

Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini membantu
menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi. Kelemahan echocardiography adalah relative
mahal, hanya ada di rumah sakit dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk
hipertensi pada praktek umum. Ekokardiografi dapat secara nyata menggambarkan stuktur jantung,
data tekanan, dan status fungsional jantung sehingga dapat mengetahui pembesaran ruang jantung
dan etiologi.

Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu pemeriksaan
laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT-pro BNP (N Terminal protein BNP.
Kegunaan pemeriksaan BNP adalah untuk skrining penyakit jantung, stratifikasi pasien dengan
gagal jantung, deteksi left ventricular systolic dan atau diastolic dysfunction serta untuk
membedakan dengan dispnea. Berbagai studi menunjukkan kosentrasi BPN lebih akurat
mendignosis gagal jantung.

Penatalaksanaan

56
Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut

Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Vasodilators

Nitroglycerin 20 µg/menit 40–400 µg/menit

Nitroprusside 10 µg/menit 30–350 µg/menit

Nesiritide Bolus 2 µg/kg 0.01–0.03 µg/kg per menita

Inotropes

Dobutamine 1–2 µg/kg per menit 2–10 µg/kg per menitb

Milrinone Bolus 50 µg/kg 0.1–0.75 µg/kg per menitb

57
Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Dopamine 1–2 µg/kg per menit 2–4 µg/kg per menitb

Levosimendan Bolus 12 µg/kg 0.1–0.2 µg/kg per menitc

Vasoconstrictors

Dopamine for hypotension 5 µg/kg per menit 5–15 µg/kg per menit

Epinephrine 0.5 µg/kg per menit 50 µg/kg per menit

Phenylephrine 0.3 µg/kg per menit 3 µg/kg per menit

Vasopression 0.05 units/menit 0.1–0.4 units/ menit

Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)

Dosis Awal Dosis Maksimal

Diuretics

Furosemide 20–40 mg qd or bid 400 mg/da

Torsemide 10–20 mg qd bid 200 mg/da

Bumetanide 0.5–1.0 mg qd or bid 10 mg/da

Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da

Metolazone 2.5–5.0 mg qd or bid 20 mg/da

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors

58
Dosis Awal Dosis Maksimal

Captopril 6.25 mg tid 50 mg tid

Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid

Lisinopril 2.5–5.0 mg qd 20–35 mg qd

Ramipril 1.25–2.5 mg bid 2.5–5 mg bid

Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd

Angiotensin Receptor Blockers

Valsartan 40 mg bid 160 mg bid

Candesartan 4 mg qd 32 mg qd

Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb

Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd

β Receptor Blockers

Carvedilol 3.125 mg bid 25–50 mg bid

Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd

Metoprolol succinate CR 12.5–25 mg qd Target dose 200 mg qd

Additional Therapies

Spironolactone 12.5–25 mg qd 25–50 mg qd

Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd

Kombinasi 10–25 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid


hydralazine/isosorbide
dinitrate

Dosis tetap 37.5 mg/20 mg (one tablet) tid 75 mg/40 mg (two tablets) tid
hydralazine/isosorbide
dinitrate

Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db

59
Non medikamentosa

Dalam pengobatan non medikamentosa yang ditekankan adalah istirahat, dimana kerja jantung
dalam keadaan dekompensasi harus dikurangi benar – benar dengan tirah baring ( bed rest )
mengingat konsumsi oksigen yang relatif meningkat.

Sering tampak gejala – gejala jantung jauh berkurang hanya dengan istirahat saja. Diet umumnya
berupa makanan lunak dengan rendah garam. Jumlah kalori sesuai dengan kebutuhan. Penderita
dengan gizi kurang diberi makanan tinggi kalori dan tinggi protein. Cairan diberikan sebanyak 80 –
100 ml/kgbb/hari dengan maksimal 1500 ml/hari.

Intervensi Mekanik dan Operasi

Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter maka intervensi
mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi yang lebih efektif. Terapi ini termasuk
intraaortic balloon counter pulsation, alat bantuan LV, dan transplantasi jantung.

Prognosis

Pada bayi dan anak lebih baik daripada orang dewasa bila ditolong dengan segera. Hal ini
disebabkan oleh karena belum terjadi perburukan pada miokardium.

Ada beberapa faktor yang menentukan prognosa, yaitu :


 Timbul serangan akut atau menahun.
 Derajat beratnya gagal jantung.
 Keadaan paru.
 Cepatnya pertolongan pertama.
 Respons dan lamanya pemberian digitalisasi.
 Seringnya gagal jantung kambuh.

60
Hepatitis B Chronic is The presence of HBsAg for at least 6 months establishes the chronicity of
infection.
Pada pasien terdapat Hbsag (+) dan ALT normal tetapi belum bisa ditentukan kriteria diagnosa nya
dikarenakan belum dilakukan liver biopsy, Hbv,HBeAg.

61
62
Etiologi
Human HBV belongs to the Hepadnaviridae family of small, enveloped,
primarily hepatotropic DNA viruses.
Virus hepatitis B termasuk kelompok hepadnavirus, bersifat hepatotropik dari grup DNA
virus. Berukuran diameter 42 nm berbentuk seperti bola. Virus hepatitis B terdiri dari partikel
genom (DNA) berlapis ganda dengan selubung bagian luar dan nukleokapsid di bagian dalam.
Nukleokapsid berukuran 27 nm dan mengandung genom (DNA) VHB yang secara kuantitatif
sangat bermanfaat untuk memperkirakan respon penyakit terhadap terapi.

HBeAg positive HBeAg negative

Phase 1 Phase 2 Phase 3 Phase 4 Phase 5

Chronic HBV Chronic hepatitis Chronic HBV Chronic hepatitis Resolved HBV
infection B infection B infection

High/
HBsAg High Low Intermediate Negative
intermediate

HBeAg Positive Positive Negative Negative Negative

HBV DNA >107 IU/mL 104–107 IU/mL <2,000 IU/mL* >2,000 IU/mL <10 IU/mL‡

ALT Normal Elevated Normal Elevated† Normal

Moderate/ Moderate/
Liver disease None/minimal None None§
severe severe

63
HBsAg negative
Old Immune reactive HBeAg negative
Immune tolerant Inactive carrier /anti-HBc
terminology HBeAg positive chronic hepatitis
positive

Anti-HBe

64
Pada pasien belum dilakukan pemberian antiviral therapy

65
66
67
DIAGNOSA AND TREATMENT ASITES

68
Trombositopenia
Definisi Trombositopenia
Trombositopenia adalah suatu kekurangan trombosit, yang merupakan bagian dari
pembekuan darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika
jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun biasanya
gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL1.

Etiologi Trombositopenia
Penyebab terjadinya trombositopenia adalah sebagai berikut:
a. Jumlah trombosit yang rendah ini dapat merupakan akibat berkurangnya produksi atau
meningkatnya penghancuran trombosit. Namun, umumnya tidak ada manifestasi klinis hingga
jumlahnya kurang dari 100.000 / mm3 dan lebih lanjut dipengaruhi oleh keadaan-keadaan lain
yang mendasariatau yang menyertai, seperti leukimia atau penyakit hati. Jika jumlahtrombosit
dalam darah perifer turun sampai dibawah batas tertentu, penderita mulai mengalami perdarahan
spontan, yang berarti bahwatrauma akibat gerakan normal dapat mengakibatkan perdarahan yang
luas.
b. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanyadisebabkan oleh
penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan. Segalakondisi yang menyebabkan splenomegali
(lien yang jelas membesar) dapatdisertai trombositopenia, meliputi keadaan seperti sirosis hati,
limfoma,dan penyakit-penyakit mieloproliferatif. Lien secara normal menyimpansepertiga
trombosit yang dihasilkan tetapi dengan splenomegali, sumber ini dapat meningkat hingga 80%,
dan mengurangi sumber yang tersedia.
c. Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksi oleh obat, seperti
yang ditemukan pada qunidin atau oleh autoantibodi (antibodi yang bekerja melawan jaringannya
sendiri). Antibodi-antibodi ini dapat ditemukan pada penyakit-penyakit seperti lupus eritematosus,
leukimia limfositis kronis, limfoma tertentu, dan purpura trombositopenik idiopatik (ITP). ITP,
terutama ditemukan pada perempuan muda, bermanifestasi sebagai trombositopenia
yangmengancam jiwa dengan jumlah trombosit yang sering kurang dari100.000 / mm3. Mekanisme
trombositopenia pada ITP adalahditemukannya antibodi IgG pada membran trombosit,
sehinggamenyebabkan gangguan agregasi trombosit dan meningkatnya pembuangan dan
penghancuran trombosit oleh sistem makrofag.

69
d. Trombositopenia dapat timbul akibat perusakan atau penekanan pada sumsum tulang,
(misalnya, karena keganasan atau beberapa macam obat) yang berakibat kegagalan pembentukan
trombosit.
e. Trombositopenia juga bisa disebabkan oleh kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap
sumsum tulang, sehingga produksi trombosit mengalami penurunan2.
Penyebab lain trombositopenia:
1. Sumsum tulang menghasilkan sedikit trombosit
 Leukemia
 Anemia aplastik
 Hemoglobinuria nokturnal paroksismal
 Pemakaian alkohol yang berlebihan
 Anemia megaloblastik
 Kelainan sumsum tulang
2. Trombosit terperangkap di dalam limpa yang membesar
 Sirosis disertai splenomegali kongestif
 Mielofibrosis
 Penyakit Gaucher
3. Trombosit menjadi terlarut
 Penggantian darah yang masif atau transfusi ganti (karena platelet tidak dapat bertahan
di dalam darah yang ditransfusikan)
 Pembedahan bypass kardiopulmoner
4. Meningkatnya penggunaan atau penghancuran trombosit
 Purpura trombositopenik idiopatik (ITP)
 Infeksi HIV
 Purpura setelah transfusi darah
 Obat-obatan, misalnya heparin, kuinidin, kuinin, antibiotik yang mengandung sulfa,
beberapa obat diabetes per-oral, garam emas, rifampin
 Leukemia kronik pada bayi baru lahir
 Limfoma
 Lupus eritematosus sistemik

70
 Keadaan-keadaan yang melibatkan pembekuan dalam pembuluh darah, misalnya
komplikasi kebidanan, kanker, keracunan darah (septikemia) akibat bakteri gram
negatif, kerusakan otak traumatik
 Purpura trombositopenik trombotik
 Sindroma hemolitik-uremik
 Sindroma gawat pernafasan dewasa
 Infeksi berat disertai septikemia1.
Gejala Trombositopenia
Perdarahan kulit bisa merupakan pertanda awal dari jumlah trombosit yang kurang.
Bintik-bintik keunguan seringkali muncul di tungkai bawah dan cedera ringan bisa
menyebabkan memar yang menyebar. Bisa terjadi perdarahan gusi dan darah juga bisa
ditemukan pada tinja atau air kemih3.
Pada penderita wanita, darah menstruasinya sangat banyak. Perdarahan mungkin sukar
berhenti sehingga pembedahan dan kecelakaan bisa berakibat fatal. Jika jumlah trombosit
semakin menurun, maka perdarahan akan semakin memburuk1.
Jumlah trombosit kurang dari 5.000-10.000/mL bisa menyebabkan hilangnya sejumlah
besar darah melalui saluran pencernaan atau terjadi perdarahan otak (meskipun otaknya sendiri
tidak mengalami cedera) yang bisa berakibat fatal3.

Hubungan Trombositopenia dengan Penyakit Hati KronIk


Penyakit hati kronik adalah suatu penyakit nekroinflamasi hati yang berlanjut dan tanpa
perbaikan paling sedikit selama 6 bulan. Penyakit hati kronik dapat asimtomatik atau disertai
gejala-gejala seperti mudah lelah, malaise dan nafsu makan berkurang. Serum aminotransferase
dapat meningkat secara sementara atau menetap. Ikterus sering tidak ditemukan, kecuali pada
kasus - kasus stadium lanjut. Keadaan ini dapat disertai splenomegali, limfadenopati,
berkurangnya berat badan, dan demam ( Akbar, 2007 ).
Fibrosis hati adalah suatu respon penyembuhan luka yang ditutupi oleh matriks ekstraselluler
atau parut. Fibrosis hati merupakan keadaan lanjutan dari hepatitis kronis yang berlanjut menjadi
sirosis. Fibrosis hati juga sebagai akibat dari kerusakan hati kronik oleh karena beberapa penyebab
termasuk hepatitis B dan C, minum alkohol yang berlebihan, steatohepatitis-non alkoholik (NASH)

71
dan kelebihan besi. Kerusakan hati menyebabkan sel stellata hati menjadi hiperaktif dan memicu
peningkatan sintesis matriks ektrasellular.(Sembiring, 2009), (Tsukada, 2006).
Hepatitis kronik B dan C sering menyebabkan terjadinya fibrosis hati. Dengan meningkatnya
pengetahuan terhadap mekanisme terjadinya fibrosis hati bersama-sama dengan strategi pengobatan
yang efektif, maka membuka peluang untuk upaya mengevaluasi progresivitas dari fibrogenesis
penyakit hati kronik. (Wolber, 2002).

Metode Invasif
Biopsi hati merupakan salah satu baku emas dalam menegakkan diagnosis fibosis hati.
Dimana biopsi hati dapat menilai, mendeteksi dan memonitoring fibrosis hati. Karena begitu
banyak hambatan-hambatan yang dialami dengan metode invasif ini, banyak penelitian yang
mencoba mendiagnosis derajat fibrosis dengan metode noninvasif. Banyak studi yang kuat
menunjukkan bahwa akibat keterbatasan dan risiko dari biopsi, biomarker noninvasif telah
memberikan kemajuan dalam diagnosis. Biopsi hati tidak boleh lebih lama lagi dianggap sebagai
lini pertama penilaian fibrosis pada sebagian besar penyakit hati kronik (Poynard, 2008).
Grading aktivitas penyakit hati dapat dievaluasi dari gejala klinis, serologi serum
aminotransferase dan histopatologi biopsi hati. Secara histologis, patolog dapat melihat :
inflamasi, kerusakan interlobular dan nekrosis. Dalam praktek sehari-hari, laporan yang adekuat
mencakup estimasi yang akurat berupa lesi minimal, mild, moderate atau severe. Namun untuk
perbandingan biopsi pre dan post-treatment dan untuk mengevaluasi trial terapeutik, maka
digunakan scoring systems. Berbagai jenis sistem skoring telah dipakai untuk menilai staging
fibrosis hati seperti skor METAVIR oleh Poynard dkk, Knodell dkk, skor Ishak, dan analisis biopsi
dengan morfometri komputer menggunakan pewarnaan jaringan. Salah satu klasifikasi histologik
untuk menilai aktivitas peradangan yang terkenal adalah Histological Activity Index (HAI), yang
ditemukan oleh Knodell pada tahun 1981.

72
Staging ini berguna dalam memperkirakan waktu progresifitas hepatitis. Dapat dilakukan
dengan melihat luasnya fibrosis dan perkembangan sirosis, oleh karena itu dibutuhkan connective
tissue stains.
Serum marker dapat digunakan untuk fibrosis hati.Serum marker untuk fibrosis hati dibagi
atas 2 kelompok yaitu petanda langsung dan tidak langsung.
A. Petanda tidak langsung
Studi studi sebelumnya telah mengevaluasi petanda non invasive untuk memprediksi
keberadaan fibrosis atau sirosis pada penderita hepatitis kronis, seperti :
1. Rasio AST/ALT ( indeks AAR: Rasio AST/ALT lebih besar dari 1 dengan kuat menyarankan
sirosis dengan sensitivitas 78% dan spesifisitas 97%
2. Skor PGA: Kombinasi pengukuran indeks protombin, GGT dan apolipoprotein A1 (PGA).
3. Fibrotest, pemeriksaan melibatkan alfa-2 makroglobulin, alfa2 globulin, gamma globulin,
apolipoprotein A1, gamma GT, dan bilirubin total.
4. Acti Test, pemeriksaan memodifikasi Fibrotest dengan menyertakan ALT

73
5. Skor Forns ( indeks Forns), berdasarkan 4 variabel umum dijumpai di kloinik meliputi
jumlah trombosit, umur, level kolesterol, dan GGT.
6. Rasio AST/trombosit (indeks APRI), model ini konsisten dan objektif pada laboratorium
rutin pasien pasien dengan hati kronis.
7. Fibroindex menggunakan variable trombosit, AST dan YGlobulin.
8. Kombinasi AST,INR, trombosit( indeks GUCI)

B. Penanda langsung (direct marker)


Penanda langsung seperti : Collagen type IV, Hyaluronic acid, Procollagen III
peptide, Platelet. Skor APRI merupakan petanda fibrosis hati non invasive, pertama kali
dikemukakan oleh Wai dkk, dengan menggunakan variable AST dan jumlah trombosit. Rumus
untuk menghitung skor adalah

Trombositopenia pada penyakit Hepatitis


Trombositopenia adalah kondisi dimana trombosit berada pada level yang rendah (
<100.000 mm3). Penyebabnya terbagi atas penyakit autoimun, infeksi, efek samping obat,
kanker, dan defisiensi zat. Virus Hepatitis C (VHC) adalah salah satu penyebab penyakit hati
kronik terbesar di dunia. Beberapa penelitian menghubungkan antara infeksi VHC dengan
kejadian trombositopenia. Hal ini disebabkan karena hepar atau hati adalah salah satu sumber
trombopoetin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah di sumsum tulang. Fibrosis
hepar, sirosis, atau kerusakan hati lainnya dapat mengurangi produksi trombopoetin ini dan
berujung pada gangguan pembentukan sel darah. Selain itu, penyakit hati kronik dapat
meningkatkan platelet turn-over atau penghancuran platelet berkaitan dengan hipersplenisme
atau pembesaran dari limpa sebagai tempat penghancuran sel darah. Patofisiologi
trombositopenia di dalam infeksi Hepatitis C memang sangat kompleks.
Namun perlu diwaspadai bahwa trombositopenia pada hepatitis C berjalan seiringan
dengan keganasan penyakit, kejadian sirosis hati, dan fibrosis hati. Penelitian membuktikan

74
bahwa prevalensi trombositopenia meningkat sebanyak 9 kali pada mereka dengan penyakit
hati kronik. Penelitian yang berjudul Implications from a Survey of a Community with
Hyperendemic HCV Infection dan dipublikasikan oleh Clinical Infectious Diseasestahun 2004
menyebutkan bahwa orang yang berusia > 65 tahun dan memiliki penyakit hari kronik
berpotensi 4 kali lipat untuk mengalami trombositopenia dibandingkan mereka yang berusia
lebih muda.
Trombositopenia merupakan suatu gangguan hematologi yang paling sering terjadi pada
pasien-pasien dengan penyakit hati kronik. Mekanisme patogenesis yang menyebabkan
gangguan ini masih belum sempurna diketahui. Berdasarkan beberapa literatur, hal ini
dihubungkan dengan sekuestrasi dan penghancuran trombosit dalam limpa yang terjadi
akibat ketidakmampuan sumsum tulang mengompensasi peningkatan produksi trombosit.
Hipersplenisme terjadi pada pasien-pasien penyakit hati lanjut dengan suatu gambaran yang
bervariasi dan merupakan komplikasi yang umum dari hipertensi portal. Pembelokan aliran
darah portal ke limpa menyebabkan suatu keadaan perpindahan yang berlebihan (hyper-
inflow) yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi trombosit limpa (
Kajihara, 2003 ), ( Sembiring, 2009 )
Perpindahan trombosit dari sirkulasi perifer ke limpa tersebut dapat menyebabkan
trombositopenia meskipun masa hidup trombosit normal, total massa tubuh normal, dan
produksi trombosit tidak terganggu. Usaha untuk melakukan koreksi trombosit yang rendah
dengan pintasan portosistemik dan splenektomi belum memberikan hasil yang baik. Demikian
juga prosedur dekompresi portal telah gagal memperbaiki jumlah trombosit secara konsisten
dalam jangka waktu yang lama meskipun tekanan portal berkurang. Hipotesis lain
menyebutkan, bahwa peningkatan trombosit yang dihubungkan dengan immuno- globulin
terjadi pada pasien - pasien dengan hepatitis kronik dan kemungkinan mekanisme ini juga
terlibat. Walaupun kadar trombosit dihubungkan dengan immunoglobulin, hubungannya
dengan trombositopenia belum begitu jelas karena peningkatan kadar ini mungkin ditemukan
pada pasien hepatitis kronik dengan jumlah trombosit yang normal. Ada faktor lain di samping
splenomegali dan destruksi mediated immunologically yang mungkin berperan dalam
patogenesis trombositopenia pada penyakit hati kronik, faktor lain itu adalah trombopoietin
(TPO). Pada hepatitis C kronik terjadinya trombositopenia masih belum jelas, diduga karena

75
terjadinya fibrosis hati di daerah sentral. Prevalensi trombositopenia meningkat sembilan kali
lebih tinggi pada infeksi HCV kronik daripada penyakit hati kronik yang lain. Trombositopenia
pada penyakit hati kronik yang disebabkan oleh HCV, diduga terjadi karena gangguan fungsi
hati dan beratnya fibrosis sehingga mempengaruhi pembentukan trombopoietin yang
didominasi oleh sitokin yang mengontrol pembentukan megakariosit dan trombosit. Hal ini
mengidentifikasi trombositopenia pada HCV kronik sangat berhubungan dengan aktifitas
penyakit dan progresivitas jangka panjang ( Kajihara, 2003 ), ( Sembiring, 2009 ).
Olariu dkk menyatakan bahwa hepatitis C kronik dihubungkan dengan trombositopenia
berdasarkan 3 proses patologis seperti yang diperlihatkan pada gambar 2.2 (Olariu, 2010).
Sedangkan Nagamine dkk telah melaporkan pada hepatitis B kronik bahwa trombositopenia
berhubungan dengan PAIgG (Platelet-associated immunoglobulin G) ( Nagamine, 1996 )

Gambar 2.2 Mekanisme trombositopenia pada hepatitis C kronik


AST merupakan prediktor terhadap penyakit hati ringan sampai berat. Peningkatan
AST berhubungan dengan kelainan hati yang meningkatkan pelepasannya dari mitokondria
dan penurunan klirens akibat fibrosis ( Wu, 2010 ).

76
Trombositopenia pada penyakit Sirosis Hepatitis
Trombosit merupakan komponen darah yang mempunyai fungsi homeostasis. Jumlah
trombosit yang ada dalam sirkulasi darah normalnya berada dalam kesetimbangan antara
destruksi, dan produksi dalam sumsum tulang. Trombositopenia merupakan salah satu kelainan
darah yang paling sering ditemukan pada sirosis hati.
Mekanisme terjadinya trombositopenia ini secara klasik diduga akibat adanya pooling
dan percepatan penghancuran trombosit akibat pembesaran dan kongesti limfa yang patologis
yang disebut hipersplenisme. Namun dari pengalaman klinis, banyak pasien sirosis hati dengan
splenomegali memiliki jumlah trombosit normal.
Sebaliknya banyak diantara mereka mengalami trombositopenia tanpa adanya
pembesaran limfa. Sehingga muncul dugaan bahwa ada mekanisme lain dalam pathogenesis
terjadinya trombositopenia pada sirosis hati. (Afhal 2008).
Trombopoesis merupakan proses yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti sitokin
dan trombopoetin. Trombopoetin merupakan hormon glikoprotein yang dihasilkan oleh
hepatosit, sedikit pada ginjal, limfa, paru, sumsum tulang dan otak. Trombopoetin adalah
pengatur utama produksi trombosit. Trombopoetin bekerja dengan cara menstimulasi
megakariopoesis dan maturasi trombosit. Kerusakan hati akan mempengaruhi pembentukan
trombopoetin sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan antara destruksi dan produksi
trombosit dengan akibat trombositipenia. (Afdhal 2008).
Hal ini dibuktikan oleh Goulis dkk yang melakukan penelitian pada 23 pasien dewasa
dengan sirosis hati yang menjalani transplantasi hati dibandingkan dengan 21 pasien normal.
Setelah dilakukan transplantasi hati didapatkan peningkatan jumlah trombopoetin dan jumlah
trombosit yang bermakna dibandingkan saat sebelum transplantasi. (Afdhal 2008)Rasio jumlah
trombosit / diameter spleen. Rasio jumlah trombosit / diameter spleen dianggap sesuai sebagai
parameter splenomegali yang berimplikasi terjadinya trombositopenia pada penderita sirosis
hati, dimana ukuran diameter spleen berbanding terbalik dengan jumlah trombosit.
TPO adalah suatu sitokin yang berperan sebagai regulator utama dalam proses
trombopoiesis, bekerja mestimulasi sumsum tulang sehingga terjadi proliferasi, diferensiasi
dan pematangan sel-sel progenitor megakariosit sampai terbentuk trombosit. Sel hati
merupakan penghasil utama TPO. Hati fetus manusia mengandung 95% mRNA TPO, sedikit
ditemui pada ginjal, limpa, paru, sumsum tulang dan otak. Pada SH terjadi defek sintesis TPO

77
yang disebabkan oleh sel-sel hepatosit telah berubah menjadi jaringan fibrotik.20 Pada
penelitian ini, skor Child yang lebih besar mencerminkan derajat penyakit SH lebih berat,
sehingga defek sintesis TPO semakin berat yang mengakibatkan konsentrasi TPO serum lebih
rendah. Hal ini sejalan dengan temuan Adinolfi LE et al.4 yang meneliti penderita penyakit
hati kronis akibat hepatitis virus C. Mereka mendapatkan korelasi yang bermakna antara
derajat fibrosis hati dengan konsentrasi TPO serum dimana pada penderita dengan derajat
fibrosis hati yang lebih berat didapatkan konsentrasi TPO serum yang lebih rendah (r = - 0,5; p
= 0,0001). Kondisi ini juga didukung oleh beberapa penelitian pada penderita SH yang
menjalani transplantasi hati dimana hati transplan dapat memproduksi TPO sehingga
konsentrasi TPO yang sebelumnya rendah akhirnya menjadi normal.
Hubungan Antara Jumlah Trombosit dengan Konsentrasi TPO Serum pada Sirosis Hati
Pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi positif secara bermakna antara jumlah
trombosit dengan konsentrasi TPO serum (r =0,354; p = 0,027). Ada korelasi linier yang searah
antara jumlah trombosit yang beredar di sistem sirkulasi dengan konsentrasi TPO serum. Selain
karena produksinya, pengaturan konsentrasi TPO diduga berdasarkan ikatan TPO pada
reseptornya di trombosit. Massa trombosit dalam sirkulasi secara langsung menentukan
konsentrasi TPO dalam darah.22,23 Pada kondisinormal, bila jumlah trombosit _ 150.000 / ml
maka sebagian besar TPO akan berikatan dengan trombosit sehingga konsentrasi TPO bebas
dalam plasma menjadi rendah. Sebaliknya, bila jumlah trombosit <150.000/ml
(trombositopenia) maka akan sedikit reseptor yang berikatan dengan TPO sehingga konsentrasi
TPO bebas dalam plasma meningkat. Jadi, terdapat hubungan terbalik antara konsentrasi TPO
serum dengan jumlah trombosit.
Parameter ini di ukur dengan ultrasound, dimana pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan non-invasive dan mudah dilakukan dan merupakan pemeriksaan yang rutin
dilakukan pada penderita sirosis hati. Ada beberapa studi yang mengalisisjumlah trombosit /
diameter spleen sebagai prediktor varises oesofagus. Giannini dkk, dalam studinya menemukan
bahwa nilai negatif predictive value Rasio jumlah trombosit / diameter spleen 909 sebesar
100%. Agha A dkk, bahwa nilai cut off 909 menunjukan nilai negatif predictive value 100%
dan positif predictive value 93,8% dalam mendiagnosa varises oesofagus. Baig dkk, dengan
nilai cut off 1014 menunjukkan positif dan negatif predictive value sebesar 95,4% dan 95,1%.

78
(Sarangapani et al 2009). Nilai rasio jumlah trombosit / diameter spleen <820 merupakan
prediktor independen timbulnya varises oesofagus. (Nashaat et al 2010)
Liver mempunyai peranan sentral dalam mempertahankan proses haemostasis. Liver
sebagai tempat sintesis semua faktor- faktor pembekuan dan yang menghambatnya. Kerusakan
liver pada penyakit hati kronis dapat menyebabkan gangguan koagulasi yang akan merusak
keseimbangan antara pembekuan dan fibrinolisis. Gangguan koagulasi dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan minimal sampai dengan masif atau bahkan terjadinya trombosis.
Pemanjangan protrombin time (PT) sering dihubungkan dengan keparahan gangguan liver
dan ini merupakan salah satu parameter yang sering digunakan sebagai prognostik dari
penyakit hati kronis seperti Child pugh atau MELD score. Pemeriksaan PT di pertimbangkan
oleh karena pemeriksaannya simpel, murah, dan merupakan marker prognostik yang akurat
terhadap gangguan liver dan juga merupakan prediktor perdarahan. Derajat gangguan PT
merupakan cerminan rendahnya sintesis di liver yang dapat memprediksi derajatnya hipertensi
portal dan adanya varises oesofagus (Siddiqui et al 2011).

79
ANEMIA

DEFINISI ANEMIA
Secara fungsional, anemia diartikan sebagai penurunan jumlah eritrosit sehingga eritrosit
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan.
Anemia dapat didefinisikan pula sebagai berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel
darah merah, hemoglobin, dan volume hematokrit per 100 ml darah. Namun, kadar normal
hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, ketinggian tempat
tinggal dari permukaan laut, serta keadaan tertentu seperti kehamilan. Anemia bukanlah suatu
diagnosis, melainkan suatu gambaran perubahan patofisiologi yang didapatkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia, jenis kelamin,
tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar
hemoglobin berikut ini :
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Anak 6-59 bulan < 11 g/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 g/dl
Anak 12-14 tahun < 12 g/dl
Laki-laki dewasa < 13 g/dl
Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita hamil < 11 g/dl

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA


Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan :
I. Etiopatogenesis
A. Gangguan pembentukan eritrosit di sumsum tulang
1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a) Anemia defisiensi besi
b) Anemia defisiensi asam folat
c) Anemia defisiensi vitamin B12
2. Gangguan penggunaan besi
a) Anemia akibat penyakit kronik

80
b) Anemia sideroblastik
3. Kerusakan sumsum tulang
a) Anemia aplastik
b) Anemia mieloplastik
c) Anemia pada keganasan hematologi
d) Anemia diseritropoietik
e) Anemia pada sindrom mielodisplastik
B. Anemia hemoragik
1. Anemia pasca perdarahan akut
2. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati)
 Anemia akibat defisiensi G6PD
c) Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
 Thalassemia
 Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll
2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a) Anemia hemolitik autoimun
b) Anemia hemolitik mikroangiopati
c) Lainnya
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang kompleks3

II. Gambaran morfologik (melalui indeks eritrosit atau hapusan darah tepi)
A. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg
B. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
C. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl

81
Penggabungan penggunaan klasifikasi etiopatogenesis dan morfologi akan sangat menolong
dalam mengetahui penyebab anemia. Berikut ini klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan
etiologi :
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik

MANIFESTASI KLINIS ANEMIA


Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simstomatik) apbila kadar hemoglobin telah
turun dibawah 7 g/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : derajat penurunan
hemoglobin, kecepartan penurunan hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru
sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu:
a) Gejala umum anemia

82
Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul
pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( HB<7).
Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang – kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan sispepsia. Pada
pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjunctiva, mukosa mulut,
telapak tangn dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena
dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah
penurunan hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dL).
b) Gejala khas masing-masing anemia
Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
 Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (koilonychia).
 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin
B12.
 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.
 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi.
c) Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut. Contohnya, pada anemia akibat infeksi
cacing tambang dapat ditemukan keluhan sakit perut, pembengkakan parotis dan warna
kuning pada telapak tangan

PENEGAKAN DIAGNOSIS ANEMIA


Penegakan diagnosis anemia dapat ditentukan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemerikksaan penunjang. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda seperti yang
tertera di bagian manifestasi klinis. Sementara untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan
beberapa macam pemeriksaan yang dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Sediaan apus darah tepi
 Ukuran sel
 Anisositosis

83
 Poikilositosis
 Polikromasia
Sediaan apusan darah tepi akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan
atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran
eritrositnya bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit
yang beraneka ragam.
2. Hitung retikulosit
Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya,
retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit
mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24 -36 jam (waktu
hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retijulosit 1 – 2% yang menunjukkan
penggantian harian sekitar 0,8 – 1% dari jumlah sel darah merah isirkulasi.
Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit
akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematrokit pasien berdasarkan usia, gender,
serta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini
disebabkan karena waktu dari retikulosit premature lebih panjang sehingga dapat
menghasilkan nilai retikulosit yang seolah olah tinggi. Faktor koreksi HT 35% : 1,5 HT
25%:2,0 HT 15% : 2,5.
3. Persediaan dan penyimpanan besi
 Kadar Fe serum (N: 9 -27 µmol/liter)
 Total iron binding capacity (N: 54 – 64 µmol/liter)
 Feritin serum (N: perempuan : 30 µmol/liter, laki –laki : 100 µmol/liter)
Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 ( N:
25 – 50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu
variasi diurnal dengan puncaknya pada pukul 09.00 dan pukul 10.00.
Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin jga
merupakan suatu rekatan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis,
kadarnya dapat meningkat.
4. Pemeriksaan sumsung tulang
Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang
misalnya yelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau

84
penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan
dan dihitung jenis sel –sel berarti pada sumsum tulang ( ratio eritroit dan granuloid).
Pemeriksaan sumsung tulang dibagi menjadi 2 cara:
Aspirasi : EG ratio, Morfologi sel, Pewarnaan Fe
Biopsi : Selularitas, Morfologi
5. Pemeriksaan complete blood count (CBC )
Selain dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokrit, indeks eritrosit dapat digunakan untuk
menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sibtesa hemoglobin. Bila MCV < 80, maka
disebut mikrositosis dan bila >100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan
MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia).
Dalam hal yang lebih sederhana, anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disederhanakan dalam tabel dibawah ini:

85
Kriteria diagnosa anemia :
I. Anemia defisiensi besi menurut WHO
 Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
 Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% ( normal 32-35%)
 Kadar Fe serum < 50 µg/dL (normal 80 – 180 µg/dL)
 Saturasi transferin < 15% (normal 20 – 50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit nomor 1,3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk
mengukur cadangan besi tubuh yaitu feritin serum. Bila sarana terbatas, diagnosa dapat
ditegakkan berdasarkan: anemia tanpa perdarahan, tanpa organomegali, gambaran darah
tepi, mikrositik, hipokromik, anisositosis, sel target, respons terhadap pemberian terapi besi.

86
II. Anemia penyakit kronik
Diagnosis untuk anemia akibat penyakit kronik dibuat bila:
 Dijumpai anemia ringan sampai sedang pada setting penyakit dasar yang sesuai (
seperti disebutkan pada tabel 3-4 di depan)
 Anemia hipokromik mikrositer ringan atau normokromik normositer
 Besi serum menurun disertai dengan TIBC menurun dengan cadangan besi sumsum
tulang masih positif
 Dengan menyingkirkan adanya gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan hipotiroid

III. Anemia megaloblastik


Diagnosis anemia megaloblastik dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan klinik dimana terjadi
anemia, makrositer pada sarah tepi yang disertai sel megaloblast dalam sumsum tulang.
Pada defisiensi vitamin B 12 dijumpai gejala neurologik, sedangkan pasa defisiensi asam
folat tidak dijumpai gejala neurologik.

IV. Anemia hemolitik


Penegakan anemia hemolitik dilakukan dalam dua tahap, yaitu menentukan adanya anemia
hemolitik bila terdapat anemia yang disertai dengan tanda-tanda destruksi eritrosit, dan/atau
tanda tanda peningkatan eritropoesis. Sedangkan menurut wintrobe, memberikan petunjuk
praktis anemia hemolitik patut dicurigai bila didapatkan:
 Tanda tanda destruksi eritrosit berlebihan bersamaan dengan tanda-tanda peningkatan
eritropoiesis. Hal ini ditandai oleh anemia, retikulosis dan peningkatan bilirubin
indirek dalam darah. Apabila tidak dijumpai tanda perdarahan ke dalam rongga tubuh
atau jaringan maka didiagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
 Anemia persisten disertai retikulositosis tanpa adanya tanda-tanda perdarahan yang
jelas. Jika perdarahan dan pemulihan anemia defisiensi akibat terapi dapat
disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan.
 Apabila terdapat penurunan hemoglobin >1 g/dL dalam waktu satu minggu serta
perdarahan akut dan hemodelusi dapat disingkirkan maka anemia hemolitik dapat
ditegakkan.
 Aapabila dijumpai hemoglobinuria atau tanda hemolisis intravaskuler lain.

87
Menentukan penyebab spesifik anemia hemolitik dimulai dari anamnesis yang teliti,
pemeriksaan apusan darah, dan tes Coombs. Pasien dapat dikelompokkan menjadi lima
kelompok :
a) Kasus dengan diagnosis yang sudah jelas karena adanya pemaparan terhadap
infeksi, bahan kimia, dan bahan fisik.
b) Kasus dengan tes Coombs direk positif ditetapkan sebagai anemia
imunohemolitik.
c) Kasus dengan anemia sferositik disertai tes Coombs negatif.
d) Kaasus dengan kelainan morfologi eritrosit lain seperti yang menjurun pada
thalasemia.
e) Kasus tanpa kelainan morfologi yang khas dan tes Coombs negatif memerlukan
suatu baterai tes penyaring seperti elektroforesis hemoglobin.
f)
TATALAKSANA ANEMIA
I. Anemia megaloblastik
Terapi subsitusi/supplement
 Penyebab anemia megaloblastik tersering pada anak adalah defisiensi asam folat.
Terapi dapat digunakan dengan pemberian asam folat.
 Asam folat, diberikan 5 mg/hari per oral selama 4 bulan atau parenteral dan vitamin
C 200 mg/hari.
 Vitamin B12 (bila pemberian terapi asam folat gagal) 15-30 µgi, diberikan 3 -5
kali/minggu sampai Hb normal, ppada anak besar dapat diberikan 100 µg. Bila perlu
diteruskan pemberian vitamin B12 tiap bulan.
 Pengobatan penyakit kausal/penyakit primer.
 Transfusi darah bila terdapat indikasi: gagal jantung yang mengancam, menghadapi
tindakan operatif  darah lengkap dosis 10-20 ml/KgBB/hari, PRC pada penderita
tanpa perdarahan, whole blood bila ada kehilangan volume darah, dosis disesuaikan
banyaknya darah yang hilang.
Respons terhadap terapi: retikulosit mulai naik hari 2 -3 dengan puncak pada hari 7 – 8. Hb
harus naik 2 – 3 g/dL tiap minggu.

88
 Terapi definitif yang terdiri atas :
 ATG (anti Thymocyte Globulin)
Dosis 10 – 20 mg /KgBB/hari, diberikan selama 4 – 6 jam dalam larutan NaCl
dengan filter selama 8 – 14 hari. Untuk mencegah serum sickness, diberikkan
Prednison 40mg/m2/hari selama 2 minggu, kemudian dilakukan tappering off.
 Cyclosporin A
Dosis 3 – 7 mg/KgBB/hari dalam 2 dosis, penyesuaian dosis dilakukan setiap
mingggu untuk mempertahankan kadar dalam darah 400-800 mg/ml. pengobatan
diberikan miimal selama 3 bulan, bila ada respon, diteruskan sampai respon
maksimal, kemudian dosis diturunkan dalam beberapa bulan.
 Kombinasi ATG dan Cyclosporin A
 Transplantasi sumsum tulang  terapi yang memberikan harapan kesembuhan,
tetapi biayanya sangat mahal, memerlukan peralatan canggih, serta adanya kesulitan
dalam mencari donor yang kompatibel. Transplantasi sumsum tulang, yaitu:
merupakan pilihan untuk kasus berumur di bawah 40 tahun, diberikan siklosporin A
untuk mengatasi GvHD (graft versus host disease), memberikan kesembuhan jangka
panjang pada 60 – 70% kasus, dengan kesembuhan komplit.
 Transfusi : diberikan PRC jika Hb < 7 g/dL atau ada tanda payah jantung atau anemia
yang sangat simtomatik. Koreksi sampai 9 – 10 g%, tidak perlu sampai Hb normal,
karena akan menekan eritropoesis internal.
 Trombosit  profilaksis untuk penderita dengan trombosit < 10.000–20.000/mm3. Bila
terdapat infeksi, perdarahan, atau demam, maka diperlukan transfusi pada kadar
trombosit yang lebih tinggi.
 Granulosit  tidak bermanfaat sebagai profilaksis. Dapat dipertimbangkan pemberian 1
x 1010 neutrofil selama 4 – 7 hari pada infeksi yang tidak berespon dengan pemberian
antibiotik.

89
DAFTAR PUSTAKA

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI .Jakarta : 2006.
Price, Sylvia A and Wilson, Lorraine M. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6 Volume
1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2006.
Sugeng dan Sitompul. Gagal Jantung. Dalam : Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI. Jakarta : 2003.
ACCF AHA Guideline Management Heart Failure 2013
ESC Heart Failure 2012
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung Ed.1 : Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia
http://www.emedicinehealth.com/thrombocytopenia_low_platelet_count/article_em.htm

http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?idktg=12&iddtl=773
Price, Sylvia Anderson, RN, PHD & Wilson, Lorraine, Mc carty, RN, PHD.Transliterasi Penlit,
Brahm U, dr. dkk. 2005. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Slamet Suyono, Prof. DR. H. SpPD. KE, dkk. 2001. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II edisi
ketiga. Jakarta: EGC
Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene Stephen L.
Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in: Harrison principle of internal
medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2013. Geneva World Health
Organization. 2013
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan TB di Indonesia.
Depkes RI; 2014
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta:InternaPublishing; 2014.
TB Care I. International Standards for Tuberculosis Care, Edition 3. TB CARE I, The Hague;
2014.
Medecins Sans Frantieres and Partners In Health. Tuberculosis: Pratical guide for clinicians, nurses,
laboratory technicans and mediacal auxilaries. 2014 Editions.

90
91

Anda mungkin juga menyukai