BUKU LIPI Ekologigunungslamet - AA PDF
BUKU LIPI Ekologigunungslamet - AA PDF
Editor
Ibnu Maryanto
Mas Noerdjito
Tukirin Partomihardjo
2012
Ekologi Gunung Slamet
ISBN 978-979-799-700-7
1. Gunung 2. Geologi
3. Klimatologi 4. Keanekaragaman
551
Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350
Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Faks. (021) 314 4591
E-mail: bmrlipi@centrin.net.id
lipipress@centrin.net.id
press@mail.lipi.go.id
ii
Ekologi Gunung Slamet
KATA SAMBUTAN
KEPALA PUSAT PENELITIAN BIOLOGI
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
Untuk kesekian kalinya Puslit Biologi – LIPI meluncurkan buku yang perlu
menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola wilayah. Dalam buku ini terlihat
bahwa konservasi ekosistem bukan hanya bermanfaat untuk melestarikan
keanekaragaman spesies atau pun variasi genetika tetapi secara langsung dapat
mendukung kehidupan manusia, antara lain untuk mendukung program ketahanan
pangan nasional.
Buku ini tersusun atas kerjasama antara Puslit Biologi – LIPI dengan Fak
Biologi – Unsoed. Kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Fak Biologi Unsoed
atas kesediaannya untuk bekerjasama. Ucapan terimakasih kami ucapkan juga
kepada para pemakalah serta para editor yang telah bekerja dengan baik sehingga
dapat diterbitkannya buku ini.
iii
Ekologi Gunung Slamet
KATA SAMBUTAN
Dekan Fakultas Biologi-Universitas Jenderal Soedirman
Pengetahuan komprehensif mengenai ekologi Gunung Slamet sangat diperlukan
oleh berbagai kalangan terutama pemerintah daerah dan masyarakat di kawasan
sekitarnya yang meliputi wilayah Kabupaten Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang,
Banyumas dan Purbalingga. Sementara itu bagi Universitas Jenderal Soedirman
(UNSOED), khususnya Fakultas Biologi, Pengetahuan tentang ekologi Gunung Slamet
merupakan landasan keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah
daerah tersebut diatas untuk mengambil segala kebijakan yang terkait dengan
penanganan dan pengetahuan ekosistem Gunung Slamet. Hal ini karena di kawasan
tersebut Fakultas Biologi UNSOED adalah institusi ilmiah yang anatara lain mempunyai
aktivitas di bidang pengkajian biologi lingkungan
Saya sangat menyambut baik terbitnya buku Ekologi Gunung Slamet, terlebih
setelah melihat matericakupannya yang cukup lengkap, mulai dari aspek sejarah
pergunung apian, geologi batuan dasar, pola klimatologi, kekayaan flora dan fauna dan
dinamika sosialnya. Bukti kekayaan ekosistem Gunung Slamet yang tertuang dalam
buku ini memberikan petunjuk bahwa secara biogeografi kawasan ini sangat spesifik
menjadi pola peralihan antara Pulau Jawa bagian Barat dan Timur. Hal ini ditunjukkan
oleh banyaknya jenis endemik level anak jenis yang hanya ditemukan di kawasan
Gunung Slamet.
Apresiasi yang tinggi saya sampaikan atas kemitraan yang terjalin dengan
baik antara Fakultas Biologi UNSOED dan Pusat Penelitian Biologi-LIPI hingga buku
ini dapat terwujud. Selanjutnya, kepada para penyumbang makalah artikel pada buku
ini saya ucapkan sebesar-besarnya atas kesediaan untuk menulis hasil karya
penelitiannya. Tidak lupa ucapkan terimakasih juga saya sampaikan kepada penyunting
buku ini sehingga dihasilkan kompilasi yang serasi, baik dari sisi bahasa maupun gaya
penulisannya.
Demikian sambutan saya, semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya oleh berbagai pihak yang membutuhkan.
iv
Ekologi Gunung Slamet
KATA PENGANTAR
Buku ini ditulis untuk menunjukkan betapa pentingnya kelestarian ekosistem hutan
hujan pegunungan dalam mengendalikan distribusi air untuk daerah perbukitan dan
dataran rendah, bahkan juga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Dipilihnya
gunung Slamet karena kawasannya bercurah hujan paling tinggi di Indonesia dan
merupakan penyambung ketersediaan air untuk produksi pangan pada saat Kabupaten
Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas sedang mengalami neraca air
negatif.
Fungsi sebagai penangkap, penyimpan dan pembagi air dapat berlangsung dengan
baik jika ekositem dalam keadaan utuh yang digambarkan oleh tingginya
keanekaragaman serta fungsi hayati penyusunnya. Secara bio-geografis ternyata
gunung Slamet memiliki berbagai keunikan, antara lain karena dihuni oleh berbagai
spesies endemik dataran tinggi pulau Jawa serta merupakan batas paling timur sebaran
berbagai spesies Jawa bagian barat. Secara rinci, bentang alam serta iklim yang
menjadi unsur pengarah dan pengendali bentuk ekosistem serta susunan spesies anggota
ekosistem gunung Slamet disajikan oleh 26 pakar dari Puslit Biologi – LIPI, Fak Biologi
UNSOED, Badan Litbang Kementerian ESDM, BMKG serta beberapa LSM.
Akhir kata kami mengucapkan banyak terimakasih kepada para penyumbang
naskah dan juga kepada Pusat Penelitian Biologi – LIPI yang telah memberikan
sebagian dana anggaran DIPA 2012 untuk penerbitan buku ini.
Editor
Ibnu Maryanto
Mas Noerdjito
Tukirin Partomihardjo
v
Ekologi Gunung Slamet
vi
Ekologi Gunung Slamet
RINGKASAN
Gunung Slamet merupakan gunung api yang memiliki karakter letusan eksplosif
lemah (vulcanian) dan juga efusif (strombolian) yang dicirikan oleh letusan-
letusan abu, dengan atau tanpa leleran/ kubah lava. Oleh karena itu gunung
Slamet merupakan gunungapi yang letusannya relatif kurang berbahaya bagi
kawasan pertanian dan pemukiman yang ada di lerengnya. Kegiatan gunung
Slamet mulai tercatat dalam sejarah sejak letusan tanggal 11-12 Agustus 1772.
Berdasarkan catatan, dalam kurun waktu 240 tahun terakhir ini, setidaknya gunung
Slamet telah melakukan erupsi lebih dari 30 kali. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau lereng gunung Slamet menjadi kawasan yang subur.
Gunung Slamet memiliki potensi pariwisata geologi.
Di lereng timur gunung Slamet, di wilayah kabupaten Purbalingga, terdapat
goa berbentuk lorong tempat bersarangnya kelelawar sehingga disebut dengan
goa Lawa. Lorong lava terbentuk dari aliran lava basal yang relatif encer (low-
viscosity). Pada saat bagian permukaan lava telah membeku, bagian dalamnya
masih cair dan tetap mengalir meninggalkan bagian yang telah membeku dalam
bentuk lorong. Goa yang terbentuk oleh leleran lava adalah sangat jarang terdapat
di Indonesia.
·Pada lereng timur gunung Slamet (muda) dijumpai 35 buah kerucut sinder
dengan diameter dasar kerucut berkisar antara 130 – 750 m dan tingginya mencapai
250 m. Kerucut-kerucut sinder ini merupakan kelompok gunungapi monogenesis,
yang mempunyai umur berkisar 0,042 ± 0,020 Ma, dan ditafsirkan sebagai parasit
dari gunung Slamet (menengah – muda).
·Di lereng selatan gunung Slamet, dalam Kawasan Wisata Baturaden, terdapat
7 mata air panas berjajar sehingga disebut dengan pancuran Tujuh. Mata air
panas adalah suatu gejala kenampakan panasbumi (geothermal) di permukaan
bumi. Kemunculan mata air panas dikontrol oleh struktur sesar atau sistem
rekahan yang memencar (radial fractures) dari gunung Slamet. Persentuhan
dari sirkulasi air bawah tanah dengan batuan panas yang diakibatkan oleh
kebocoran sistem panas bumi di kawasan ini, mengakibatkan terbentuknya aliran
air panas ke permukaan bumi.
·Pada tahun 1920-an, di Dukuh Satir sekitar kali Glagah di bagian barat gunung
Slamet ditemukan berbagai fosil vertebrata, antara lain kura-kura raksasa
(Geochelone atlas) dan gajah purba (Sinomastodon bumiajuensis). Selain itu
juga ditemukan fosil Bovid secara in-situ pada lapisan konglomerat yang terdapat
di Kali Weruh. Fosil gading gajah purba (Stegodon) ditemukan di dalam endapan
teras (undak sungai) di tepi Kali Larang, Dukuh Karangasem, Desa Galuh Timur,
vii
Ekologi Gunung Slamet
viii
Ekologi Gunung Slamet
ix
Ekologi Gunung Slamet
Satwa-satwa ini dapat berperan sebagai kunci utama untuk menjaga dan memulihkan
kondisi vegetasi kawasan G Slamet. Dengan demikian mereka mempunyai fungsi
penting alamiah yaitu ikut mempertahankan keanekaragaman tumbuhan hutan dan
sebagai agen dalam regenerasi hutan.
Di kawasan ini juga terdapat berbagai spesies satwa pemakan serangga, antara
lain kelelawar pemakan serangga/Microchiroptera (Arielulus circumdatus,
Hipposideros ater, Miniopterus pusillus, M. schreibersi dan Myotis muricola),
tupai (Tupaia javanica) dan cecurut (Crocidura brunnea, C. monticola dan C.
orientalis). Semuanya mempunyai fungsi alamiah sebagai pengendali populasi
serangga di alam, termasuk serangga hama. Mamalia kecil pemakan serangga ini
memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia yang secara ekologis
berperan penting dalam rantai makanan. Dengan memakan serangga, mereka dapat
membantu mengatur keseimbangan ekosistem dalam pengendalian populasi serangga
termasuk serangga hama yang sangat merugikan.
Berbagai spesies karnivora kecil yang hidup di Gunung Slamet berperan sebagai
predator dalam suatu ekosistem untuk pengendali mamalia kecil lainnya. Dengan
demikian karnivora kecil memainkan peranan yang penting dalam menjaga
keseimbangan ekologi hutan. Karnivora yang tercatat keberadaannya di gunung
Slamet yang berperan sebagai predator yaitu garangan Jawa (Herpestes javanicus),
biul (Melogale orientalis), teledu sigung (Mydaus javanensis), musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus) dan kucing kuwuk Prionailurus bengalensis).
Kelima spesies karnivora ini memiliki peran sebagai penyeimbang ekosistem terutama
sebagai predator satwa yang berukuran kecil seperti tikus, bajing dan cecurut.
Karnivora kecil ini dapat diandalkan sebagai spesies kunci yang mampu mencegah
meledaknya populasi tikus dan berbagai satwa vertebrata kecil lainnya. Selain itu,
berbagai spesies tikus, kelelawar dan cecurut merupakan pakan bagi ular dan burung
pemangsa. Selanjutnya untuk mamalia besar terdata ada 15 jenis. Di kawaan ini
masih cukup banyak dijumpai mamalia pemegang kendali lingkungan yaitu Panthera
pardus.
Di kawasan gunung Slamet ditemukan 21 spesies reptilia dan 14 spesies amfibia.
Dua di antaranya adalah kadal jawa Sphenomorphus puncticentralisdan katak
pohon jawa Rhacophorus margaritifer yang merupakan spesies endemik pulau
Jawa. Di DAS Serayu ditemukan 28 spesies ikan. Sungai Soso memiliki tingkat
keanekaragaman ikan paling tinggi yang diikuti oleh Sungai Klawing. Secara
keseluruhan di kawasan ini terdapat dua spesies ikan indikator lingkungan yang
positif, yaitu ikan brek (Barbonymus balleroides) dan tambra (Tor spp.); dua spesies
ikan introduksi, yaitu Poeciliia reticulata dan Xiphophorus helleri. Oleh karena
tergalinya potensinya maka upaya pembudidayaan dan penangkaran ikan-ikan lokal
x
Ekologi Gunung Slamet
antara lain dilakukan pada ikan brek (Puntius orphoides) dan dan ikan lukas (Puntius
bramoides).
Keutuhan ekosistem Gunung Slamet tergambarkan oleh dari tingginya
keanekaragaman keong daratnya. Di dalam hutan (baik primer maupun sekunder)
tercatat 55 spesies (88,71%); di daerah non hutan (hutan industri dan semak-semak)
tercatat 34 spesies (56,45%) sedangkan 27 spesies (43,55%) terdapat di kedua habitat
tersebut. Hal ini terjadi karena keong darat merupakan satwa yang amat sensitif
terhadap perubahan lingkungan; terkait dengan struktur tubuh keong yang berkulit
tipis dan lembut yang membutuhkan lingkungan yang amat spesifik terutama
kelembaban yang tinggi dan suhu yang relatif rendah. Tempat yang memiliki
kelembaban tinggi dengan suhu yang relatif rendah adalah hutan yang memiliki
vegetasi padat bertajuk rapat sehingga mampu menahan penguapan dan menyimpan
air di dalamnya. Hutan demikian memiliki potensi menyimpan air yang cukup banyak.
Satwa perombak merupakan satwa yang sangat penting dalam mendaur-
ulangkan sampah biologi. Di kawasan ini diperoleh Cerambycidae (37 spesies) ,
Scarabaeidae (3 spesies), Dynastinae (2 spesies), Cetoninae (2 spesies), Lucanidae
(6 spesies), Passalidae (3 spesies), dan Tenebrionidae (3 spesies). Berdasarkan
keragaman spesies kumbang sungut panjang yang ditemukan, 37 spesies yang
teridentifikasi terdapat spesies yang mampu beradaptasi hidup di berbagai tipe hutan
dan ketinggian. Hutan yang terdapat di lokasi pada ketinggian di bawah 1000 m.dpl.
baik di hutan primer maupun sekunder dihuni oleh spesies-spesies yang tidak
ditemukan di habitat yang lebih tinggi misalnya Batocera spp. dan Acalolepta dispar.
Di kawasan ini juga ditemukan 8 spesies kumbang lembing herbivora
(Henosepilachna dieke, H. vigintioctopunctata, H. enneasticta, Epilachna
orthofasciata, E. decipiens, Epilachna sp. F., E. alternans, dan E. gedeensis),
yang hidup pada 15 jenis tumbuhan inang. Temuan yang menarik adalah distribusi
kumbang lembing Henosepilachna dieke, H. vigintioctopunctata yang mengikuti
distribusi tumbuhan invasif (host plant) Mikania micranta. Kedua kumbang
tersebut dapat ditemukan mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Untuk
Kumbang lembing genus Epilachna di gunung Slamet memiliki spesialisasi
terdistribusi dan memakan daun inang tumbuhan liar khas dataran tinggi pegunungan,
sebaliknya kumbang genus Henosepilachna berpotensi menjadi hama tanaman
pertanian. Dengan adanya perubahan iklim, nampaknya kumbang-kumbang lembing
tersebut ada kecenderungan lebih berpindah ke daerah lebih tinggi atau lebih dingin.
Editor
Ibnu Maryanto
Mas Noerdjito
Tukirin Partomihardjo
xi
Ekologi Gunung Slamet
xii
Ekologi Gunung Slamet
DAFTAR ISI
Halaman
xiii
Ekologi Gunung Slamet
Halaman
Budidaya Induk dan Benih Ikan Tangkapan Sungai Serayu Banyumas
Rawan Punah, Brek (Barbonymus balleroides) dan Lukas (P.
bramoides) Produk Predomestikasi pada Kolam Alami serta 181
Pemetaan Karakter Reproduksinya
Priyo Susatyo & Sugiharto
Keanekaragaman Keong Darat di Dua Macam Habitat Makro di Gunung
Slamet Jawa Tengah 193
Heryanto
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk di Gunung Slamet
205
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili Epilachninae
(Coleoptera: Coccinellidae) Dengan Tumbuhan Inangnya di
231
Gunung Slamet, Provinsi Jawa Tengah
Sih Kahono
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan Kawasan
Agrowisata Melalui Diversifikasi Mata Pencaharian Berbasis
247
Sumberdaya Loka
Imam Santosa
xiv
Ekologi Gunung Slamet
1)
Museum Geologi – PSG, Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122
Email: indyopratomo@gmail.com)
2)
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57,
Bandung 40122
ABSTRACT
The Eruption Characteristic of Slamet Mountain-Central Jawa. Slamet volcano (+3432 m),
located on 7o14’30 “ S and 109o12’30" E, is an active volcano type A (erupted since 1600).
More than 30 eruptions (vulcanian and strombolian types) have been reported since 1772. The
increase of volcanic activity occurred since mid-April 2009 and ended with a series of
Strombolian-type eruption between April 23th - May 6th 2009. Currently, the volcano is in the
normal condition.
1
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
Gambar 1. Panorama G.. Slamet pada bulan Maret 1990, dilihat dari udara (koleksi: Pratomo,
1990) dan Afd. Militaire Luchtvaart, tahun 1940-50 (koleksi: Leo Haks, Amsterdam),
memperlihatkan situasi puncak dan kawah G. Slamet.
Gambar 2. Peta geologi gunung api Slamet (kiri) dan korelasi satuan peta (kanan), menurut
Sutawidjaja dkk. (1985), memperlihatkan sebaran batuan dan endapan produk erupsi
gunung api Slamet dan hubungannya satu sama lain.
2
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
Tabel 1. Hasil pengukuran kimia gas dan kondensat di kawah G. Slamet pada 21 Mei 1996
(Sumarti dkk. 1996; Sulistiyo dkk. 2009; Sutaningsih dkk. 2009). *
3
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
Gambar 3. Tafsir evolusi tubuh gunung api (volcanic edifice) G. Slamet, Jawa Tengah,
berdasarkan analisis citra landsat (Bronto & Pratomo 2010).
Gambar 4. Keadaan kawah aktif G. Slamet dengan sebaran solfatara dan fumarola (kiri) dan
kubah lava yang membentuk dinding Kawah IV (kanan). (Foto: Sutawidjaja).
Gambar 5. Peta situasi kawah G. Slamet pada tahun 1996, memperlihatkan konfigurasi Kawah I,
II, III dan IV, serta sebaran titik-titik solfatara dan fumarola di sekitar kawah tersebut
(Sumarti dkk 1996).
4
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
5
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
Tabel 2. Catatan kegiatan G. Slamet sejak dua abad yang lalu (Kusumadinata 1979; Abdurachman
dkk. 2007 ).
Tahun Tanggal-Bulan Keterangan
6
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
7
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
Mei 2009 adalah cukup nyata. Hal ini KARAKTERISTIK ERUPSI DAN
mengindikasikan adanya peningkatan POTENSI ANCAMAN
temperatur yang signifikan, sebagai
akibat emisi gas-gas vulkanik yang Jenis Erupsi dan Potensi Ancaman
mencerminkan pergerakan magma ke Bahayanya
permukaan bumi. Berdasarkan catatan kegiatan
Status siaga (Level III) dinyatakan vulkanik G. Slamet sejak tahun 1772,
pada tanggal 23 April 2009 pukul 18.00 karakter erupsi gunung api ini cenderung
WIB, pada saat tersebut aktivitas bersifat eksplosif lemah (tipe Vulkano)
kegempaan G. Slamet terus meningkat, dan juga efusif, yaitu leleran lava yang
tinggi kolom letusan mencapai ± 1000 m disertai letusan abu dan scoria (tipe
(Gambar 9), dan pada malam hari terlihat Stromboli). Istilah letusan tipe Vulkano
lontaran lava pijar. Hingga 1 Mei 2009 (Vulcanian) pertama kali diperkenalkan
gempa letusan yang terekam mencapai oleh Giuseppe Mercalli, seorang saksi
682 kejadian (Gambar 8). mata erupsi G. Vulcano, Italia, dalam
tahun 1888-1890. Erupsi ini dicirikan oleh
700
RSAM Kumulatif dan Jumlah Gempa Letusan
1.40E+009
600
1.20E+009
500
1.00E+009
27 April 2009
0.00E+000
16 April 2009 25 April 2009
0
Gambar 6. Grafik hubungan antara energi kumulatif (RSAM, garis merah) dan jumlah
gempa yang dihasilkan
Gambar 7. Grafik fluks SO2 hasil pengukuran tahun 2009, dibandingkan dengan pengukuran
tahun 1991 dan 1996.
8
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
700
Gempa Letusan
600
500
400
300
200
100
0
5
Vulkanik Dangkal (VB)
4
3 Siaga
23 April 2009
2
1
0
5 Waspada
Vulkanik Dalam(VA)
4 21 April 2009
3
2
1
0
Gambar 8. Grafik rekaman kegempaan G. Slamet 1 April – 5 Mei 2009, yang didominasi oleh
jenis gempa letusan/hembusan.
Gambar 9. Rekaman tinggi kolom asap letusan sejak 24 April - 10 Mei 2009, diamati dari Pos
Pengamatan Gunungapi Slamet, di Desa Gambuhan. (sumber: PVMBG)
Gambar 10. Erupsi abu yang disertai lontaran batu pijar (tipe Stromboli) terjadi pada tanggal
25 April 2009 pukul 20.30 WIB (kiri) dan hembusan asap putih yang mengandung uap
(kanan) pada tanggal 1 Mei 2009 pukul 06.31 WIB (foto: PVMBG).
9
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
tiang asap letusan yang pekat, berisi tetumbuhan, terutama pada tumbuhan
campuran material vulkanik berukuran yang mempunyai daun relatif lebar,
abu dan gas vulkanik, disertai lontaran sehingga batang pohon tidak mampu
material vulkanik berukuran abu hingga menahan beban, di samping menghambat
bongkah dan suara-suara dentuman. terjadinya proses foto sintesa yang
Material lontaran tersebut umumnya sangat diperlukan oleh tetumbuhan.
merupakan material non-juvenil (> 50%), Gangguan lain yang juga ditimbulkan oleh
yang berasal dari bagian-bagian dari endapan abu letusan gunung api adalah
sumbat lava dan material yang berasal terjadinya pencemaran secara fisik dan
dari sekitar kawah dan kepundan gunung kimiawi terhadap sumber-sumber air
api ini. Tipe letusan ini dicirikan oleh (mata-air, sumur dan kolam), kesehatan
suara-suara dentuman, sebagai manifes- manusia (iritasi dan gangguan saluran
tasi pelepasan gas, merupakan fitur yang pernafasan), dan gangguan lalu-lintas
khas dari tipe letusan ini. Letusan tipe baik di darat,laut dan di udara
Vulkano adalah relatif berbahaya dalam (penerbangan).
radius hingga 3 km dari pusat erupsi,
karena biasanya melontarkan material Leleran dan Kubah Lava
pijar yang berukuran hingga bongkah Leleran lava basal masih dapat
(volcanic bomb). mengalir dalam kondisi sangat panas (600
– 1000O C), dalam kekentalan (viscosity)
Lontaran (Balistik) Material Letusan yang relatif rendah, hingga berhenti dan
Letusan tipe Stromboli (Stromboli membeku berbentuk batuan beku di
volcano, Italia), adalah letusan magmatis permukaan. Karena sifat fisiknya lava
dengan pelepasan energi yang relatif mengalir relatif lambat, tergatung pada
rendah, yang dicirikan oleh lontaran lava kekentalannya dan kemiringan lelereng
pijar berukuran abu vulkanik hingga (gravitasi), sehingga pada saat
bongkah (volcanic bomb), bertekstur membeku akan membentuk bongkah-
scoria, dengan ketinggian kolom letusan bongkah dengan tepian yang relatif terjal.
hinggga ratusan meter di atas bibir Kubah lava yang terbentuk pada
kawah. Letusan tipe Stromboli biasanya fase akhir dari sebuah erupsi, menutupi
diikuti oleh leleran lava. lubang kepundan (kawah), sebagai akhir
dari proses pencapaian kesetimbangan
Hujan Abu Lebat termodinamis di dalam dan di luar pipa
Erupsi G. Slamet umumnya kepundan.
menghasilkan abu letusan, yang tersebar
mengikuti arah angin dominan pada saat Banjir Lahar
letusan terjadi. Endapan abu vulkanik Lahar terjadi akibat dipicu oleh
biasanya menjadi semakin berat bila intensitas hujan yang terjadi di kawasan
basah apabila terjadi hujan pada saat puncak dalam volume tertentu, yang
erupsi terjadi. Hujan abu lebat dapat mengalir dan menghanyutkan tumpukan
menimbulkan kerusakan pada material atau rempah hasil erupsi, menuju
10
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
Gambar 11. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Slamet (Abdurachman dkk. 2007) yang
diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi,
Kementerian ESDM.
11
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
api yang berisikan, definisi, informasi, diwaspadai adalah lontaran material pijar
rekomendasi, dan langkah tindak dalam dan hujan abu lebat. Ancaman bahaya
mengantisipasi setiap tingkat ancaman lontaran batu pijar (bom vulkanik) yang
bahaya letusan gunung api tersebut. umumnya mengancam kawasan dalam
Peta kawasan Rawan Bencana radius + 3 km dari pusat erupsi, di mana
Letusan G. Slamet diterbitkan oleh Pusat di kawasan G. Slamet adalah tidak
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana berpenghuni. Sepanjang tidak terjadi
Geologi (PVMBG) adalah kawasan perubahan karakter erupsi dari gunung
yang pernah terlanda atau teridentifikasi api ini,
berpotensi terancam bahaya letusan. Sebaran abu letusan sangat
Peta ini juga menjelaskan tentang jenis dipengaruhi oleh arah angin dominan
dan sifat bahaya ancaman letusan, daerah pada saat erupsi terjadi. Karakteristik abu
rawan bencana, jalur penyelamatan diri, vukanik dari erupsi magma bersusunan
lokasi pengungsian dll. Ancaman bahaya basalan, umumnya lebih kaya akan unsur
yang ditimbulkan oleh erupsi G. Slamet magnesium (Mg) sehingga berpotensi
adalah lontaran material magmatik, aliran menyuburkan tanah di sekitar gunung api
awan panas letusan, leleran dan guguran ini. Hal ini dapat dilihat dari ketebalan
lava pijar (KRB-III), lontaran material hutan dan kesuburan lahan pertanian di
vulkanik berukuran kerikil dan hujan abu sekeliling G. Slamet.
lebat, leleran lava, awan panas dan lahar,
terutama pada lembah-lembah sungai KESIMPULAN DAN SARAN
yang berhulu di kawasan puncak (KRB-
II); dan aliran lahar (KRB-I) yang G. Slamet adalah gunung api aktif
umumnya berpotensi mengancam hampir tipe A bersusunan basalan dengan
seluruh kawasan lereng dan kaki gunung karakteristik letusan eksplosif lemah
api ini, terutama bagian utara, timur, (vulcanian) dan juga efusif
tenggara, selatan barat daya dan barat (strombolian) yang dicirikan oleh
(Gambar. 11). letusan-letusan abu, dengan atau tanpa
leleran/kubah lava.
Karakteristik Erupsi dan Ancaman- Potensi ancaman bahaya letusan
nya Terhadap Lingkungan gunung api ini terbatas pada lontaran
Karakteristik geologi-gunung api material pijar dalam radius kurang dari
yang terekam di kawasan komplek tiga km dari pusat erupsi, hujan abu lebat
vulkanik G. Slamet dan sejarah kegiatan yang tersebar menurut arah angin
G. Slamet sejak tahun 1772, mencirikan dominan pada saat erupsi dan banjir lahar
letusan tipe Vulkano dan Stromboli sering di sepanjang aliran sungai yang berhulu
terjadi, baik dengan atau tanpa disertai di kawasan puncak G. Slamet. Hal ini
oleh leleran atau kubah lava. berlaku sepanjang tidak terjadi perubahan
Karakter letusan tipe Vulkano dan karakter erupsi seperti tersebut di atas.
Stromboli, ancaman bahaya yang harus
12
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
13
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
14
Ekologi Gunung Slamet
Indyo Pratomo
Museum Geologi – PSG, Badan Geologi, Jln. Diponegoro 57, Bandung 40122
Email: indyopratomo@gmail.com
ABSTRACT
Slamet volcanic Central Jawa Complex Geodiversity. Slamet volcanic complex (7o14’30 “ S
and 109o12’30" E) is developed on the Quaternary volcanic terrain where their volcanic activities
take place since the Tertiary era. The dynamic of the earth, as reflected by tectonic and volcanic
activity, influences the evolution of paleo-geography, creates landscapes and variety of rocks
and minerals and also regulates flora and fauna life in this region. The Slamet complex has
excellent environmental carrying capacity since millions years ago as indicated by the fertility
of this region, fossils and artifact found around the volcano. The Complex is also very potential
to be developed as a Geoparks because of its geological diversity (geo-diversity), archeological
and cultural heritages, and a good environmental conditions.
Key words: Slamet volcanic complex, geodiversity, archeology, cultural heritages, geoparks
15
Indyo Pratomo
16
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
Gambar 1. Peta geologi G. Slamet dan sekitarnya, bagian dari peta geologi Lembar Purwokerto
dan Tegal, Jawa Tengah, sekala 1:100.000 (Djuri 1975).
17
Indyo Pratomo
Gambar 2. Tafsir evolusi tubuh gunung api (volcanic edifice) G. Slamet, Jawa Tengah,
berdasarkan analisis citra landsat (Bronto dan Pratomo, 2010), memperlihatkan
karakteristik bentang alam dari G. Slamet Tua (S1), G. Slamet Menengah (S2), G. Slamet
Muda (S3), dan sebaran kerucut sinder.
18
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
Mingkrik, lelerannya tersingkap terbatas cones) yang tersebar pada lereng timur.
di bagian barat kawah G. Slamet, satuan Bentang alam tersebut ditafsirkan
batuan ini adalah pembentukan tubuh terbentuk bersamaan dengan
Slamet tua (Gunung Cowet), satuan pembangunan tubuh gunung api,
batuan ini ditindih oleh produk Slamet terutama yang berkaitan dengan erupsi
muda yang diwakili oleh leleran lava yang menghasilkan lava basal dalam
andesit piroksin. jumlah besar. Kerucut sinder ini
Sektor barat laut telah mengalami umumnya tersusun oleh endapan scoria
deformasi vulkano-tektonik dan ubahan berukuran bongkah hingga pasir, dan abu
hidrotermal, yang membentuk depresi vulkanik hasil letusan tipe Stromboli.
(graben) Guci pada lereng barat laut
(Sutawidjaja 1985). Batuan vulkanik Leleran Lava Baturaden dan Gua
Slamet Menengah menyebar ke Lava Purbalingga
tenggara, sedangkan batuan Slamet muda Kegiatan vulkanik G. Slamet
melampar ke timur-timur laut-utara dan menegah (S2) umumnya dicirikan oleh
sebagian kecil ke barat laut. Antara terbentuknya leleran lava basal dalam
batuan vulkanik Slamet muda dengan jumlah besar, yang mengalir ke bagian
Slamet tua di bagian utara dan Slamet timur dan selatan tubuh gunung api ini.
menengah di bagian selatan dibatasi oleh Leleran lava yang terdapat di kawasan
sistem sesar yang membuka ke arah wisata Baturaden memperlihatkan
timur disebabkan oleh struktur berarah struktur aliran yang dinamis, yaitu
barat daya-timur laut (Gambar 2). dicirikan dengan terbentuknya kekar-
Pada bagian kaki timur G. Slamet kekar kolom yang cukup unik (Gambar
muda dijumpai 35 buah kerucut sinder 4). Struktur kekar atau rekahan pada
dengan diameter dasar kerucut berkisar batuan beku mencirikan proses
antara 130 – 750 m dan tingginya pembekuan atau pembentukan batuan
mencapai 250 m. Kerucut-kerucut sinder tersebut, di mana pola rekahan tersebut
ini merupakan kelompok gunung api selalu tegak lurus dengan bidang
monogenesis yang mempunyai umur pendinginan.
berkisar 0,042 ± 0,020 Ma, dan Gua Lawa yang dikenal masyarakat
ditafsirkan sebagai parasit dari G. Slamet setempat sebagai gua tempat
menengah – muda (Sutawijaya & bersarangnya kelelawar (lawa), tersusun
Sukhyar 2009). oleh batuan lava (batuan beku vulkanik)
yang berasal dari G. Slamet Menengah–
KEANEKARAGAMAN Muda. Gua yang terbentuk oleh leleran
GEOLOGI (GEODIVERSTY) G. lava sangat jarang terdapat di Indonesia
SLAMET DAN SEKITARNYA karena karakteristik magma disini (zona
subduksi) tidak sama dengan daerah
Bentang Alam Kerucut Sinder pemekaran (rifting) yang umumnya
Di kawasan G.Slamet terdapat menghasilkan jenis lava yang lebih encer
bentang alam kerucut sinder (cinder (primitive basalt). Dinamika aliran lava
19
Indyo Pratomo
basal berstruktur bongkah (a’a lava) Lorong lava terbentuk pada aliran
dalam jumlah besar dengan kondisi lava basal yang relatif encer (low-
tertentu dapat membentuk lava tube atau viscosity), dan pada bagian
lorong lava (Pratomo 2010). permukaannya telah mengerak atau
Gambar 3. Peta sebaran kerucut sinder G. Slamet (atas), panorama bentang alam kerucut sinder
dan tubuh vulkanik G. Slamet (tengah) dan gambar ilustrasi dan tafsiran bentang alamnya
(Sutawidjaja & Sukhyar 2009).
20
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
Gambar 4. Leleran lava basalt di kawasan wisata Baturaden, memperlihatkan struktur kekar
kolom (columnar joint) yang mencerminkan dinamika proses pembekuan batuan tersebut.
21
Indyo Pratomo
Gambar 5. Lorong lava di Gua Lawa, Purbalingga (Jawa Tengah), memperlihatkan ornamen
gua berbentuk dada kelelawar (lawa), kawasan ini sudah dijadikan tujuan wisata daerah
Purwokerto dan sekitarnya (atas). Salah satu cabang dari lorong lava, dengan diameter
hingga mencapai 4 m (bawah kiri), ornament gua lava, berupa ‘stalaktit’ lava (lavacycle)
dengan beberapa sarang burung Seriti dan kelelawar (bawah kanan).
Gambar 6. Mata air panas pancuran Tujuh, merupakan gejala kenampakan panasbumi yang
terdapat di kawasan wisata Baturaden (kiri). Endapan sinter karbonat yang membentuk
gua beserta ornamennya seperti flowstone, stalaktit dan stalagmit, terdapat bagian air
terjun (cascade) yang bersumber dari mata air panas Pancuran Tujuh (kanan).
22
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
pelarutan dan pengendapan yang dinamis kapur. Pada kedua tempat tersebut dapat
membentuk endapan sinter karbonat, membentuk flowstone, stalaktit,
baik berupa travertine (endapan air stalagmit, dan speleothem lainnya
panas) dan tufa (endapkan air dingin), (Gambar 7).
seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Travertine adalah batuan sedimen ‘Fauna Koningswald’ di sekitar G.
yang dibentuk oleh pengendapan mineral Slamet
karbonat dari larutan dalam air tanah dan Keberadaan fosil-fosil vertebrata di
permukaan, yang dipanaskan oleh mata daerah sekitar G. Slamet sudah dikenal
air panas. Travertine yang terbentuk sejak lama, diperkenalkan oleh para
pada lingkungan jenuh alkali yang peneliti terdahulu seperti Van Der Maarel
terpanaskan, dengan proses pelarutan dan Koningswald pada tahun 1920-an,
yang melarutkan gas CO 2 , sehingga lebih dikenal dengan nama
mengakibatkan peningkatan pH. Sejak ‘fauna Koningswald’. Di kawasan
menurunnya kelarutan karbonat dengan sebelah barat dari G. Slamet, di sekitar
kenaikan pH maka terjadi presipitasi yang Kali Glagah, sebelah utara Bumiayu,
membentuk mineral-mineral karbonat, dikenal sebagai salah satu tempat dimana
seperti kalsit dan aragonit. banyak ditemukan fosil-fosil binatang
Endapan travertin umumnya bertulang belakang (vertebrata) dari
tersusun oleh mineral Aragonit dan Kalsit berbagai jenis (Martadiradja 2007). Pada
yang memiliki penampilan berserat atau tahun 1920-an, ditemukan fosil-fosil
konsentris dan berwarna putih, cokelat vertebrata seperti kura-kura raksasa
dan krem akibat pengotoran, hal ini (Geochelone atlas), gajah purba
dibentuk oleh suatu proses pengendapan (Sinomastodon bumiajuensis) dll, di
kalsium karbonat (CaCO3), yang terjadi sekitar Dukuh Satir.
di mulut sumber air panas atau di gua
Gambar 7. Bagian dari stalaktit endapan sinter karbonat yang memperlihatkan struktur
pertumbuhan stalaktit (kiri), dan endapan flowstone sinter karbonat berwarna-warni
sebagai efek dari oksidasi (kanan). Endapan sinter tersebut tersusun oleh mineral aragonit
(CaCO3).
23
Indyo Pratomo
Gambar 8. Fosil gigi Bovid yang tertanam dalam batuan konglomerat di Kali Cijurang (kiri
atas), dan lokasi penemuan fosil lainnya di Kali Glagah (kanan atas). (foto : koleksi
Museum Geologi). Gading gajah purba (kiri bawah) dan lokasi penemuan fosil gading
gajah purba di Kali Larang, Dukuh Karangasem, Desa Galuh Timur, Bumiayu, Jawa
Tengah (kanan bawah).
24
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
Gambar 9. Fosil gigi gajah jenis Stegodon yang ditemukan di Desa Onje, Purbalingga (Arif,
2010)
25
Indyo Pratomo
26
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
Gambar 10. Jasper (panca warna) Klawing yang selain memperlihatkan warna yang kontras
dan beragam seperti hijau, orange, putih, merah,dan kuning, memperlihatkan juga tekstur
breksi (kiri atas), konglomerat (kanan atas), berlapis tipis (kiri bawah), dan berongga
(kanan bawah). (foto: koleksi Sudjatmiko)
Gambar 11. Artefak Paleolitik berupa kapak perimbas dan kapak penetak (kiri), Artefak Neolitik
berupa pisau, inti gelang batu, tatal batu dan beliung persegi (kanan). (foto : koleksi
Simanjuntak)
27
Indyo Pratomo
28
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik
29
Indyo Pratomo
30
Ekologi Gunung Slamet
Dodo Gunawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta
Email : dodo.gunawan@bmkg.go.id
ABSTRACT
31
Dodo Gunawan
·1. Pola yang benar-benar mengikuti Hal ini berkaitan dengan posisi daerah
sirkulasi monsun, yakni musim kemarau tersebut yang bersebelahan menyebelah
mengikuti monsun Australia dan musim dengan garis edar matahari melintasi
hujan mengikuti monsun Asia. ekuator.
Karakterisitik dari pola monsun adalah Makalah ini mengutarakan keadaan
adanya perbedaan yang tegas antara hidro-klimatologi kawasan G. Slamet dan
musim kemarau dengan musim hujan. sekitarnya yang meliputi Kabupaten
Untuk keperluan membuat prakiraan Tegal, Pemalang, Purbalingga,
batasan musim hujan dengan musim Wonosobo, Banjarnegara dan
kemarau, BMKG juga memakai nilai Banyumas. Kajian hidro-klimatologi
curah hujan bulanan 150 mm (BMKG, kawasan ini dimaksudkan untuk
2010). Dengan menggunakan patokan mengetahui potensi iklim dan hidrologi
ini, daerah-daerah yang berpola monsun yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
akan lebih terlihat lagi batas waktu antara kegiatan pembangunan.
musim hujan musim kemaraunya. Di lain
sisi, dengan patokan tersebut, maka BAHAN DAN METODE
belum tentu daerah yang berpola monsun
termasuk dalam daerah atau Zona Musim Bahan untuk menganalisis curah
(ZOM) BMKG. Sebagai contoh daerah hujan dalam rangka menentukan neraca
Bogor; walaupun secara pola hujannya air kawasan G. Slamet terdiri atas (1) data
adalah monsun namun dari segi jumlah meteorologi wilayah, (2) data
curah hujan bulanan daerah ini tidak pemanfaatan kebutuhan air, serta (3)
masuk kategori daerah bermusim karena data curah hujan. Data curah hujan yang
curah hujan bulanan sepanjang tahun digunakan untuk menentukan nilai rata-
selalu lebih tinggi dari 150 mm. rata adalah periode 1980 – 2005.
2. Pola monsun namun waktunya Metode menghitung neraca air
berbeda dengan pola pertama karena kawasan untuk melihat keseimbangan air
mengikuti sirkulasi udara yang berbeda. sepanjang tahun dilakukan dengan
Pola ini antara lain terjadi di Maluku Utara menghitung selisih dari curah hujan
dan Sulawesi Tengah bagian timur. Saat bulanan dengan evapotranspirasi. Hasil
sirkulasi monsun Australia, daerah ini perhitungan ini kemudian digambarkan
mengalami musim hujan dan sebaliknya pada peta untuk melihat sebaran neraca
saat sirkulasi monsun Asia, daerah ini air secara spasial.
mengalami musim kemarau. Untuk pola Curah hujan rata-rata bulanan
sejenis ini, BMKG menamakan pola dihitung sebagai berikut:
lokal untuk membedakan hanya dari segi
waktu kejadiannya dengan pola monsun. Curah hujan bulan yang sama/
·3. Pola yang berbeda dari keduanya jumlah tahun:
adalah daerah-daerah yang berada di
sekitar ekuator. Pola hujan di derah ini Jumlah curah hujan setahun rata-
memiliki dua musim hujan dalam setahun. rata selama periode pengamatan
32
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet
Tabel 1. Nilai koefisien tanaman (kc) kebutuhan air tiap penggunaan lahan
No Landuse Kc rerata
1 Hutan 0.93
2 Tanah Kosong 0.38
3 Kebun 0.70
4 Sawah 1.25
5 Tegalan 0.68
6 Permukiman 0.70
33
Dodo Gunawan
Koefisien (Kc): Hutan (0,93), tanah kosong (0,38), kebun
Peta Penggunaan
(0,70), sawah (1,25), tegalan (0,68), permukiman (0,70),
lahan kawasan
tubuh air (1) Sumber : FAO (1996)
Menghitung kebutuhan air :
Edit hutan, tanah kosong, Kebutuhan air
kebun, sawah, tegalan, vegetasi
( Kc1 × A1 ) + ( Kc 2 × A2 ) + ... + ( Kcn × An )
permukiman Kc = Eo
A1 + A2 + ... + An
Evaporasi panci (Eo)
dan Pemalang. Komponen terbesar Pada bulan Agustus luas surplus di tiga
neraca air adalah penguapan dari kabupaten tersebut yang berada pada
permukaan termasuk penguapan dari kisaran 100 - 200 mm semakin menyempit
vegetasi (evapotranspirasi). Hasil sementara kabupaten yang lain di wilayah
perhitungan neraca air bulanan di wilayah G. Slamet nilai surplus berada pada
G. Slamet disajikan pada Gambar 3a - 3c kisaran 0 - 100 mm.
dengan uraian sebagai berikut: Pada bulan September seluruh
Pada bulan Januari - Maret, neraca wilayah di Jawa Tengah mengalami sur-
air di kabupaten-kabupaten sekitar plus hanya pada kisaan 0 - 100 mm.
kawasan G. Slamet dalam kondisi surplus Sebaran wilayah menunjukkan
yang berkisar antara 100 - 400 mm. Pada kabupaten yang berada di wilayah G.
bulan April neraca air masih surplus Slamet masih berada pada kondisi sur-
namun kisarannya sebagian besar pada plus dengan beberapa spot defisit
100 - 300 mm, sedangkan di wilayah menyebar di beberapa kabupaten. Mulai
G.Slamet kisaran surplus adalah 300 - 400 bulan Oktober kondisi neraca air sudah
mm. Mulai bulan April wilayah Jawa mulai surplus dan nilai surplus tertinggi
Tengah bagian timur dan pantura sudah berkisar 300 - 400 mm berada di
mulai mengalami defisit air. Pada bulan kabupaten-kabupaten di kawasan G.
Mei defisit semakin meluas ke arah Slamet. Pada bulan November kondisi
pantura bagian barat dari Jawa Tengah. surplus sudah semakin merata termasuk
Kondisi defisit terus meluas dan kondisi nilai kisarannya yang seragam pada 100
surplus hanya tersisa di kawasan G. - 200 mm. Pada bulan Desember terjadi
Slamet. Pada bulan Juli kondisi surplus variabilitas curah hujan yang besar di
hanya terdapat di beberapa bagian dari setiap kabupaten termasuk di kawasan
kabupaten yang berada di kawasan G. G. Slamet. Pada bulan ini terlihat bahwa
Slamet yaitu di sebagian Kabupaten surplus yang tinggi juga berada di wilayah
Banyumas, Purbalingga dan Wonosobo. G. Slamet yang berkisar antara 300 - 400
mm.
34
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet
Gambar 3a. Neraca air bulanan Provinsi Jawa Tengah bulan Januari - April
35
Dodo Gunawan
Gambar 3b. Neraca air bulanan Provinsi Jawa Tengah bulan Mei - Agustus
Gambar 3c. Neraca air bulanan Provinsi Jawa Tengah bulan September - Desember
36
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet
Gambar 4a. Rata-rata curah hujan (1979 - 2002) periode Desember-Januari-Februari (mm/hari)
dari model RegCM3 yang menggambarkan Pulau Jawa pada lebar 106.5o - 108.5o BT.
Grafik balok menunjukkan ketinggian permukaan arah utara - selatan selebar bujur tersebut,
grafik garis penuh adalah simulasi dengan pegunungan, dan grafik garis putus adalah
simulasi curah hujan tanpa gunung (Qian et al. 2010).
37
Dodo Gunawan
Gambar 4b. Simulasi curah hujan bulan Juni 2003 dan Desember 2003 (mm/bulan) dari model
MM5 yang menggambarkan irisan melintang pada 1.0o LS di Sulawesi Tengah. Grafik
balok menunjukkan ketinggian permukaan arah barat-timur sepanjang 119.0o BT-120.8 o
BT (Gunawan 2006).
surplus; hal ini sesuai dengan periode selatan pulau Jawa (Samudra Hindia)
musim hujan. Dari variabilitas neraca air maupun dari sebelah utara (Laut Jawa)
bulanan secara spasial tampak bahwa sirkulasinya mengarah ke darat dan
kondisi surplus lebih banyak di bertemu (konvergensi) di bagian tengah
pegunungan dibandingkan dengan dataran yang secara kebetulan berupa
rendah. Hal ini disebabkan curah hujan pegunungan (Gambar 5). Hal yang sama
yang lebih banyak jatuh di kawasan (Gunawan 2006) berlaku juga di lembah
pegunungan. Tentang konsentrasi hujan Palu, Sulawesi Tengah. Lembah tersebut
yang lebih tinggi di daerah pegunungan, secara garis lurus menghadap ke teluk
Qian et al. (2010) telah mengkaji secara Palu yang berada di sebelah utaranya,
khusus di Pulau Jawa. Sementara sehingga pola sirkulasi udara darat-laut
Gunawan (2006) meninjau hal yang sama mengikuti lorong angin arah utara-selatan
untuk daerah Sulawesi Tengah. Dari yang ditunjukkan oleh arah angin dominan
kedua penelitian tersebut ditunjukkan sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
bahwa faktor topografi (Gambar 4) Ditinjau dari aspek hidro-klimatologi dan
memegang peranan penting dalam proses siklus air, wilayah G.Slamet merupakan
pembentukan hujan. Demikian pula faktor daerah penangkap dan penyerap air hujan
sirkulasi udara lokal darat dan laut. serta sebagai sumber air dari beberapa
Menurut Qian et al. (2010) baik dari DAS yang mengalir di sekitarnya.
38
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet
Gambar 5. Siklus harian pukul 19.00 - 22.00 waktu setempat dari sirkulasi angin dan curah
hujan (mm/hari) selama periode Desember - Januari - Februari di Pulau Jawa. Warna
menunjukkan perbedaan curah saat tahun-tahun El Nino dengan klimatologinya (Qian,
et al. 2010).
Gambar 6. Siklus harian pola sirkulasi angin darat dan laut di Sulawesi Tengah (Gunawan
2006)
39
Dodo Gunawan
40
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
The Condition of Nature Forest Area of Slamet Mountain, Central Java. The Condition of
Nature Forest Area of Slamet in this research at height of >1.000 m asl, was obtained from
available map. Ground check was conducted by collection of plant at height of 1.000-3.000 m
asl on east angle of pitch. It is discovered that forest, mixture garden, and dry agricultural field
is the main land use system at this area. It is also found 119 species of plant (159 specimens)
comprise of 84 generas from 56 family. Nature forest area Slamet Mt. is regarded as the last
habitat of real mountain plant type in Java. Research and improvement of this forest area is
needed to ensure the existence of this area in the future.
Key Words: Forest area, nature forest, Slamet Mountain, Central Java.
41
Soemarno & Girmansyah
penelaahan peta yang tersedia, meliputi: ketinggian sekitar 1.000 m dpl. dibagi
Peta Citra Landsat tahun 2003 skala menjadi enam strata ketinggian, dengan
1:155.135 (KNLH 2011); Peta rentang ketinggian 1.142 - 3.375 m dpl..
Penggunaan Tanah Kabupaten Pada peta hasil analisis citra landsat
Banyumas skala 1:50.000 (Kantor tahun 2003 (Gambar 2), bentuk tutupan
Pertanahan Kab. Banyumas 1994); lahan kawasan G. Slamet pada ketinggian
Daftar Peta Tematik TM-3 o skala sekitar 1.000 m dpl. dapat dipilah menjadi
1:100.000 (Kantor Pertanahan Kab. tujuh peruntukan, yaitu hutan primer,
Banyumas 2008); Peta Penggunaan kebun campuran, tegalan, sawah,
Tanah Kab. Purbalingga skala 1:50.000 permukiman, sungai/tubuh air, dan lahan
(Kantor Pertanahan Kab. Purbalingga, terbuka. Luas masing-masing bentuk
1994); Peta Penggunaan Tanah Kab. tutupan lahan pada setiap wilayah
Pemalang skala 1:200.000 (Kantor kabupaten disajikan pada Lampiran 1.
Pertanahan Kab. Pemalang 2008); Peta Sementara itu tiga bentuk tutupan lahan
Penggunaan Tanah Kab. Brebes skala utama di atas ketinggian 1.000 m dpl.
1:50.000 (Kantor Pertanahan Kab. yang meliputi 95% luas lahan pada
Brebes 1994); dan Peta Penggunaan ketinggian tersebut adalah hutan primer,
Tanah Kab. Tegal skala 1:62.500 kebun campuran, dan tegalan (Tabel 1).
(BAPPEDA dan Kantor Pertanahan Pada ketinggian sekitar1.000 m dpl.
Kab. Tegal 1991.). Telaah peta dibatasi terlihat bahwa bentuk tutupan lahan
pada ketinggian 1.000 m dpl. ke atas. berkurang mengikuti ketinggian tempat
Gambaran kekayaan flora diperoleh (Tabel 1 dan Lampiran 1). Luas lahan
dari koleksi jenis tumbuhan pada jalur pada ketinggian ini tercatat 27.296 ha.,
pendakian timur Bambangan, yang secara kewilayahan Kabupaten.
Purbalingga (1.000-3.000 m dpl.), pada Banyumas mempuyai wilayah terluas
bulan Maret 2005. Jenis-jenis yang 8.261 ha., diikuti Kab. Tegal, Brebes,
dikoleksi merupakan jenis tumbuhan yang Pemalang, dan Purbalingga. Dari bentuk
pada saat dilakukan survei lapang sedang tutupan lahan utama, hutan primer
dalam kondisi berbunga dan berbuah. mempunyai tutupan terluas 20.242 ha.
Setiap tumbuhan terkoleksi diambil dengan proporsi 74,2%, diikuti tegalan
contoh daun, bunga, dan buah untuk 3.809 ha dan kebun campuran 1.973 ha,
kepentingan identifikasi. Identifikasi dengan proporsi masing-masing 14,0%
dilakukan dengan cara membandingkan dan 7,2%. Untuk masing-masing wilayah
spesimen bukti dengan koleksi herbarium kabupaten, proporsi tutupan hutan terluas
di Herbarium Bogoriense, Bogor. dijumpai di Kab. Banyumas mencapai
95,5 %, diikuti Kab. Tegal 79,9%, Kab.
HASIL Brebes 73,5%, Purbalingga 66,2%, dan
Pemalang 35,7%. Untuk peruntukan
Pola Tutupan Lahan permukiman dijumpai sampai ketinggian
Pada peta ketinggian kawasan G. sekitar 1.500 m dpl. meliputi 421.5 ha.,
Slamet (Gambar 1), kawasan dengan tersebar pada lima wilayah kabupaten,
42
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
Gambar 2. Peta Tutupan Lahan Tahun 2003 Kawasan Gunung Slamet Jawa Tengah
Sumber: Analisis Citra Landsat 2003 (KNLH 2011).
43
Soemarno & Girmansyah
Tabel 1. Pola tupan lahan (hekatar) kawasan G.. Slamet pada ketinggian >1000 m dpl .untuk
setiapwilayah.
Ketinggian
Tutupan Lahan Banyumas Brebes Pemalang Purbalingga Tegal
(m dpl.)
Hutan Primer 3,682.72 1387.31 139.37 931.50 1,705.31
1.142-1.513 Kebun Campuran - - 1,261.72 142.71 -
Tegalan 10.21 976.12 1,228.45 663.25 700.21
Hutan Primer 2,484.02 1143.83 561.97 494.65 1,496.43
1.514-1.885 Kebun Campuran - 22.16 399.82 65.86 66.59
Tegalan 16.55 207.7 1.62 4.77 -
Hutan Primer 1,514.49 978.37 555.01 275.62 880.74
1.886-2.257
Kebun Campuran - - - - 14.02
2.258-2.630 Hutan Primer 452.06 212.74 347.06 186.11 370.14
2.630-3.002 Hutan Primer 101.37 5.07 153.82 100.07 75.66
3.003-3.375 Hutan Primer - - 3.86 - 2.44
8,261.42 4,933.30 4,652.70 2,864.54 5,311.54
Sumber: Hasil Analisis Citra Landat Tahun 2003 (KNLH 2011).
disusun oleh dua kelompok tegakan, yaitu tutupan hutan seluas 1.761 ha. terdiri
hutan alam dan hutan produksi. Di atas hutan lebat puspa Schima wallichii
wilayah Kab. Banyumas, tutupan hutan dan meranti, serta hutan sejenis pinus
seluas 8.235 ha terdiri atas hutan lebat/ Pinus merkusii (Kantor Pertanahan
lindung dan hutan produksi sejenis damar Kab. Pemalang 2008).
Agathis dammara dan pinus Pinus Dari analisis citra landsat tahun
merkusii (Kantor Pertanahan Kab. 2003 (Gambar 2) dijumpai dua bentuk
Banyumas 1994 dan 2008). Di wilayah tutupan lahan utama lain disamping
Kab. Tegal, tutupan hutan seluas 4.531 tutupan hutan, yaitu tegalan dan kebun
ha. terdiri atas hutan lindung puspa campuran. Tutupan tegalan atau ladang
Schima wallichii dan mahoni Swietenia pada ketinggian ± 1.000 m dpl. di
macrophylla, serta hutan sejenis pinus kawasan G. Slamet tersebar sampai
Pinus merkusii (BAPPEDA dan ketinggian ±1.800 m dpl., tutupan tegalan
Kantor Pertanahan Kab. Tegal 1991). Di mencapai proporsi 14% dengan luas
wilayah Kab. Brebes, tutupan hutan 3.809 ha.. Tutupan tegalan terluas
seluas 3.727 ha. terdiri atas hutan sejenis dijumpai di Kab. Pemalang 1.230 ha.,
pinus Pinus merkusii dan kebun teh diikuti Kab. Brebes 1.184 ha., Kab. Tegal
Camellia sisnensis (Kantor Pertanahan 700 ha., Kab. Purbalingga 668 ha., dan
Kab. Brebes 1994). Di wilayah Kab. Kab. Banyumas 27 ha.. Tutupan kebun
Purbalingga, tutupan hutan seluas 1.988 campuran pada kawasan ini dijumpai
ha. terdiri atas hutan lebat cemara, melur, tersebar sampai ketingggian ±2.250 m
dan puspa Schima wallichii, serta hutan dpl., tutupan kebun campuran ini
sejenis damar Agathis dammara mencapai proporsi 7,2% dengan luas
(Kantor Pertanahan Kab. Purbalingga, 1.973 ha.. Tutupan kebun campuran
1994). Di wilayah Kab. Pemalang, hanya dijumpai pada empat wilayah
44
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
45
Soemarno & Girmansyah
46
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
47
Soemarno & Girmansyah
2,5
1,5
0,5
0
1982‐1990 1990‐1997 1997‐2000 2000‐2006
48
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
49
Soemarno & Girmansyah
50
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
51
Soemarno & Girmansyah
52
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
53
Soemarno & Girmansyah
Lampiran 1. Bentuk tutupan lahan (ha) kawasan G. Slamet pada ketinggian > 1.000 m dpl.
pada lima wilayah kabupaten.
54
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
Lampiran 2. Jenis-jenis tumbuhan di Gunung Slamet yang dikoleksi pada jalur pendakian
timur (Bambangan-Purbalingga).
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
1. Acanthace ae
1 Staurogyne elongata H 1300 Hutan alam
2 Strobilanthes bibracteata S 1350 Hutan alam
3 Strobilanthes cemua S 1300 Hutan alam
4 Strobilanthes sp. S 1450 Hutan produksi damar
2. Actinidace ae
5 Saurauia microphylla S-Pk 1900, 2500 Hutan alam
6 Saurauia nudiflora S-Pk 1400 Hutan produksi damar
7 Saurauia pendula Pk 1500 Hutan produksi damar
3. Apiace ae
8 Hydrocotyle javanica H 1100 Hutan produksi damar
9 Pimpinella pruatjan H 1700 Hutan alam
4. Aquifoliace ae
10 Ilex cymosa S 1500, 2700 Hutan produksi alam, damar
5. Arace ae
11 Aglaonema sp. H 1200 Hutan produksi damar
12 Arisaema filiforme H 1300 Hutan produksi damar
6. Araliace ae
13 Schefflera rugosa S 1650 Hutan alam
14 Schefflera aromatica S 2000 Hutan alam
7. Asple nium gr
15 Asplenium sp. F 1500 Hutan produksi damar
16 Asplenium sp. F 1600 Hutan alam
17 Asplenium laserpitiifolium F 2800 Hutan alam
8. Aste race ae
18 Anaphalis viscida S 3000 Hutan alam
19 Blumea balsamifera S 2700 Hutan alam
20 Dichrocephala latifolia S 2700 Hutan alam
21 Gynura aurantiaca H-S 2200 Hutan alam
55
Soemarno & Girmansyah
Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
9. Balsaminace ae
22 Impatiens javensis H 1500 Hutan produksi damar
23 Impatiens platypetala H 1100 Hutan alam
10. Be goniace ae
24 Begonia areolata H 1300 Hutan alam
25 Begonia cf. isoptera H 1400 Hutan alam
11. Borraginace ae
26 Cyanoglossum javanicum S 2950 Hutan alam
12. Capparidace ae
27 Capparis lanceolaris S 1350 Hutan alam
13. Caprifoliace ae
28 Lonicera acuminata S-L 2700, 2800 Hutan alam
29 Virbunum coriaceum S 2800 Hutan alam
30 Virbunum lutescens S 2500 Hutan alam
14. Costace ae
31 Costus speciosus H 1200 Hutan alam
15. Cucurbitace ae
T idak teridentifikasi H 1700 Hutan alam
16. Cype race ae
32 Carex baccans H 2700 Hutan alam
33 Carex filicina H 2500 Hutan alam
34 Carex verticillata H 1600 Hutan alam
35 Scleria purpurescens H 1350 Hutan alam
17. Elae agnace ae
36 Elaeagnus latifolius Pk 1700 Hutan alam
18. Equise tace ae
37 Equisetum debile F 2500 Hutan alam
19. Ericace ae
38 Vaccinium laurifolium S 2500, 2900 Hutan alam
56
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
20. Euphorbiace ae
39 Phyllanthus gracillipes 1300 Hutan alam
21. Fabace ae
40 Albizia lophantha Pk 1600 Hutan alam
22. Fagace ae
41 Lithocarpus spicatus P 2600 Hutan alam
23. Ge sne riace ae
42 Cyrtandra sp. H 1000 Hutan produksi damar
43 Cyrtandra arborescens H 1100 Hutan produksi damar
44 Cyrtandra coccinea H 1300 Hutan produksi damar
45 Cyrtandra picta H 1300 Hutan produksi damar
46 Cyrtandra sandei H 1100 Hutan produksi damar
47 Cyrtandra sulcata H 1400 Hutan produksi damar
24. Gramitidace ae
48 Gramitis sp. 2600 Hutan alam
25. Hammame lidace ae
49 Distylum sp. P 2900 Hutan alam
26. Hyme nophyllace ae
50 Trichomanes maxima F 1500 Hutan alam
27. Hype ricace ae
51 Hypericum leschenaulhi S 2700 Hutan alam
28. Lamiace ae
52 Gomphostemma S 1350 Hutan alam
53 Melissa axillaris S 200 Hutan alam
54 Paraphlomis oblongifolia S 1300 Hutan produksi damar
55 Plectranthus galeatus S 1400 Hutan produksi damar
56 Scutellaria javanica S 1100 Hutan produksi damar
29. Liliace ae
57 Disporum cantoniense H 1350 Hutan alam
57
Soemarno & Girmansyah
Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
30. Loranthace ae
58 Scurulla sp. S 2600 Hutan alam
31. Me lastomatace ae
59 Astronia spectabilis P 1700 Hutan alam
60 Dissochaeta gracillis L 1300 Hutan alam
61 Medinilla alpestris S 1350 Hutan alam
62 Medinilla laurifolia S 1200 Hutan produksi damar
32. Morace ae
63 Ficus deltoidea S 1500 Hutan produksi damar
33. Myrsinace ae
64 Ardisia javanica S 2500 Hutan alam
65 Rapanea affinis Pk 2800, 2900 Hutan alam
66 Rapanea hasseltii Pk 2700 Hutan alam
34. O le ace ae
67 Ligustrum glomeratum S 2700 Hutan alam
35. O rchidace ae
68 Corymborchis veratrifolia H 1350 Hutan alam
36. Pandanace ae
69 Freycinetia sp. H 1000 Hutan produksi damar
37. Pipe race ae
70 Peperomia sp. H 1300 Hutan produksi damar
71 Peperomia laevifolia H 1700, 1900 Hutan alam
72 Peperomia tommentosa H-S 1900, 2200 Hutan alam
73 Piper caninum L 2100, 2700 Hutan alam
38. Plantaginace ae
77 Plantago major H 3000 Hutan alam
39. Poace ae
78 Agrostis sp. H 3000 Hutan alam
58
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
40. Polygalace ae
79 Polygala venenosa S 1260 Hutan produksi damar
41. Polygonace ae
80 Polygonum chinense H 1200, 2950 Hutan produksi damar
42. Polypodiace ae
81 Belvisia revoluta H 2700, 2800 Hutan alam
82 Phymatodes nigrescens H 1900 Hutan alam
83 Pyrrosia sp. H 2700 Hutan alam
84 Pyrrosia stenophylla H 2800 Hutan alam
43. Ranunculace ae
86 Ranunculus blumei H 2800, 2950 Hutan alam
87 Thalictrum javanicum H 2500 Hutan alam
44. Rosace ae
88 Rubus lineatus S 2700 Hutan alam
89 Rubus moluccanum S 2700 Hutan alam
90 Photinia notoniana S 2900 Hutan alam
45. Rubiace ae
Argostemma montanum H 1350 Hutan alam
91 Argostemma uniflorum H 1500 Hutan produksi damar
92 Lasianthus sp. Pk 1260 Hutan produksi damar
93 Lasianthus sp. Pk 2500 Hutan alam
94 Mussaenda frondosa S 1300 Hutan alam
95 Nertera granadense H 1600 Hutan alam
96 Ophiorrhiza sp. S 1350 Hutan alam
46. Rutace ae
97 Lavanga sp. L 1000 Hutan produksi damar
47. Rutace ae
98 Todallia asiatica L 2600 Hutan alam
48. Saxifragace ae
99 Dichroa febrifuga S 2200, 2800 Hutan alam
59
Soemarno & Girmansyah
Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
100 Hydrangea aspera S 2800 Hutan alam
49. Smillace ae
101 Smilax odoratissima S 1900, 2000 Hutan produksi alam, damar
102 Smilax zeylanica S 1900 Hutan alam
50. Solanace ae
103 Solanum sp. S 2500 Hutan alam
104 Solanum leve S 1400 Hutan produksi damar
105 Solanum nigrum S 2950 Hutan alam
51. Symplocace ae
106 Symplocos cochinchinensis P 2600 Hutan alam
107 Symplocos sp. 2700 Hutan alam
52. Urticace ae
108 Debregeasia longifolia S 2800, 2900 Hutan alam
109 Elatostemma sp. H 1200 Hutan produksi damar
110 Elatostemma strigosum H 2200, 2950 Hutan alam
111 Pilea melastomoides H 1650, 2800 Hutan produksi alam,damar
112 Pilea undulata H 2000 Hutan alam
113 Pipturus argenteus H 2900 Hutan alam
114 Procris frutescens H (E) 1400 Hutan produksi damar
115 Urtica bullata H 2100 Hutan alam
53. Vale riace ae
116 Valeriana hardwickii H 2700 Hutan alam
54. Ve rbe nace ae
117 Geunsia sp. 1300 Hutan produksi damar
55. Violace ae
T idak teridentifikasi 2700 Hutan alam
56. Vittariace ae
118 Antrophyum reticulatum F 2000 Hutan alam
119 Vittaria sp. F 2800 Hutan alam
60
Lampiran 3. Perjumpaan marga dan kesesuaian beberapa jenis tumbuhan (m dpl) yang dikoleksi pada jalur pendakian timur kawasan
Gunung Slamet dengan jenis tumbuhan yang dijumpai di gunung-gunung Jawa oleh Steenis.
T. Tempat
Perjumpaan Marga Kesesuaian Perjumpaan (ketinggian m dpl) Jenis Dengan Steenis (diterbitkan pertamakali 1972, edisi Indonesia 2010)
(m dpl.)
Aglaonema, Albizia, Antrophyum, Albizia lopantha, di Jawa dari G. Gede sampai G. Ijen 1800‐3100, jarang ke 1100 untuk gunung dengan ketingggian 2500, dominan membentuk
Argostemma, Arisaema, Astronia, cincin di bawah puncak aktif di G. Ciremai, G. Slamet, G. Ijen, dan G. Merapi. Argostemma montanum, seluruh Jawa dan Sumatera (400‐) 1000‐2000
Begonia, Capparis, Corymborchis, (‐2400). Argostemma uniflorum, di Jawa bagian barat sampai Pegunungan Priangan 900‐2000, dijumpai juga di Sumatera. Arisaema filiforme, di
Jawa, di Nirmala Jawa Barat dan G. Sindoro Jawa Tengah 900‐2200, jarang turun ke 450. Astronia spectabilis, seluruh Jawa, dominan lokal di G.
Costus, Cyrtandra, Disporum,
Ciremai, G. Slamet, dan G. Abang‐Bali 1300‐2500. Begonia isoptera, terutama di Jawa Barat, G. Telomoyo Jawa Tengah, dan G. Ijen Jawa Timur
Dissochaeta, Elaeagnus, Ficus, 150‐2400, ditemukan di Malaya, Sumatera, Flores, dan Sulawesi. Cyrtandra picta, di Jawa terutama bagian barat, Ujung Kulon ke timur terbatas di
Freycinetia, Geunsia, Gomphostemma, gunung berapi tinggi G. Lawu, G. Dorowati, G. Tengger, G. Semeru bagian Tenggara 1000‐2400, diiumpai juga di Sumatera. Ficus deltoidea, di Jawa
1000‐2000 Hydrocotyle, Impatiens, Lavanga, G. Pulasari sampai Peg. Priangan 800‐2400, jarang turun hingga 400 seperti di Ujung Kulon. Impatiens platypetala, di Jawa 2500,, turun hingga 300
Medinilla, Mussaenda, Nertera, di Malesia. Medinilla alpestris, umum di Jawa terutama Jawa Barat terpencar ke bagian timur seperti G. Tarub Lamongan, G. Tengger, G. Iyang 600‐
Ophiorrhiza, Paraphlomis, Phyllanthus 2500, dijumpai juga di Sumatera dan Bali. Medinilla laurifolia, terutama di Jawa Barat, terpencar sampai G. Merapi 800‐2400, dijumpai juga di
Phymatodes, Pilea, Pimpinella, Sumatera dan Sulawesi Selatan. Mussaenda frondosa, seluruh Jawa, hutan pamah sampai ±1700, dijumpai di Nusantara. Nertera granadense, di
Jawa dari G. Halimun sampai G. Ijen 1300‐3000, dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera dan Malaya ke timur seluruh Nusantara (1000‐3300), dijumpai
Plectranthus, Polygala, Polygonum,
juga di Madagaskar, Australia, Pasific, dan Amerika. Paraphlomis oblongifolia, di Jawa bagian barat, mungkin sampai lereng selatan G. Slamet 900‐
Procris, Scleria, Scutellaria, Staurogyne 1800, dijumpai di Sumatera dan Sulawesi Utara. Pilea melastomoides, seluruh Jawa 600‐2700, dijumpai di Asia Tenggara, tersebar luas di
Strobilanthes, Trichomanes. Nusantara. Strobilanthes cemua, di Jawa Barat tumbuh dalam koloni besar 750‐2100, terdapat juga di Sumatera bagian tengah.
Asplenium, Carex, Dichroa, Carex baccans, seluruh Jawa 1000‐3300, dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera, Malaya, Filiphina, Sulawesi, Bali, Lombok, Nugini, tidak pernah
Elatostemma, Ilex, Lasianthus, dijumpai di Borneo. Dichroa febrifuga, seluruh Jawa 700‐2000, dijumpai di Asia Tenggara, juga hampir seluruh Nusantara, di Borneo 450.
Elatostemma strigosum, di Jawa banyak di bagian timur G. Salak, G. Salak, di timur G. Dorowati 1300‐1700. Ranunculus blumei, seluruh Jawa dari
1000‐3000 Peperomia, Ranunculus, Rapanea,
G. Gede ke timur 1100‐300, jarang turun hingga 600‐700, dijumpai juga di Sumatera, Bali, Lombok, dan Sulawesi bagian tenggara. Scefflera rugosa,
Saurauia, Scefflera, Smilax,
seluruh Jawa, sesekali ditemukan dominan di G. Slamet tegakan murni dibawah tegakan Albizzia 1800‐3100, dijumpai juga di Sumatera. Vaccinium
Solanum, Vaccinium. laurifolium, seluruh Jawa 800‐3000, dijumpai juga di Sumatera, Bali, Nusa Tenggara (Lombok dan Sumbawa).
Ardisia javanica, seluruh Jawa 900‐2300, dijumpai juga di Sumatera, Borneo, Nusa Tenggara, dan Flores. Debregeasia longifolia, seluruh Jawa 500‐
Ardisia, Belvisia, Blumea, 2600, dijumpai di Asia Tenggara, Malaya, Sumatera, Borneo, Filiphina, dan Nusa Tenggara. Gynura aurantiaca, di Jawa dari G. Gede sampai G. Wilis
Cyanoglossum, Debregeasia, 700‐2400, dijumpai juga di Sumatera, Sulawesi, dan Filiphina. Hydrangea aspera, di Jawa dari G. Salak sampai G. Iyang 1200‐2200, dari Himalaya
timur sampai China dan Formosa, dijumpai juga di Sumatera. Hypericum leschenaulhi, di Jawa dari G. Salak sampai G. Ijen 1500‐3500, dijumpai
Dichrocephala, Distylum,
juga di Sumatera, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, dan Sulawesi barat daya. Lonicera acuminata, di Jawa dari G. Gede sampai G. Ijen 1600‐3300,
Equisetum, Gramitis, Gynura, dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Filiphina. Melissa axillaris, di Jawa G. Patuha sampai G. Papandayan, ke timur sampai G.
Hydrangea, Hypericum, Ligustrum, Lawu 1500‐2700, dijumpai di India sampai Jepang dan China, di Sumatera (tanah tinggi Gayo dan G. Kerinci). Polygonum chinense, Seluruh Jawa
2000‐3000 Lithocarpus, Lonicera, Melissa, 250‐3350, dijumpai di Asia Tenggara dan Timur, dan seluruh Malesia. Rubus lineatus, di seluruh Jawa, setidaknya dari G. Gede sampai G. Ijen 1650‐
Photinia, Pilea, Piper, Pipturus, 3200, dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sabah (G. Kinabalu). Thalictrum javanicum, di Jawa Barat hanya
Polygonum, Pyrrosia, Rubus, di G. Pangrango dan G. Papandayan, dari G. Ciremai ke timur di semua gunung tinggi 1800‐3300, dijumpai di Srilangka, India, Himalaya sampai
Scurulla, Symplocos, Thalictrum, Yunan, Sumatera (Tanah Gayo dan G. Kerinci), dan Bali (G. Agung). Todallia asiatica, seluruh Jawa 1000‐2600, dijumpai dari Afrika hingga Asia
tenggara, pulau‐pulau Malesia, belum dijumpai di Maluku dan Nugini. Urtica bullata, di Jawa dari G. Dieng sampai G. Ijen 1250‐2600, dijumpai di G.
Todallia, Urtica, Valeriana,
Kerinci Sumatera, G Rinjani Lombok, dan Filiphinan (Luzon dan Mindanao). Valeriana hardwickii, di Jawa dari G. Gede sampai G. Ijen 1700‐3200,
Virbunum, Vittaria. dijumpai di Asia Tenggara, juga di G. , dijumpai di Asia Tenggara, juga di G.Kerinci Sumatera. Virbunum coriaceum, seluruh Jawa di puncak gunung
sebagai pionir lahar, dijumpai di Asia, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Filiphina.
Anaphalis viscida, di Jawa ha nya pegunungan beriklim muson, di G. Ciremai ke timur sampai G. Ijen‐Merapi, dijumpai juga di G. Rinjasi Lombok
3000‐ Agrostis, Anaphalis, Plantago. 1650‐3250. Plantago major, kosmopolit, di seluruh Jawa dari dataran rendah sampai 3300, banyak di atas 700, melimpah di Sumatera, belum
dijumpai di Borneo dan Nugini.
61
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
Soemarno & Girmansyah
62
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
Plant Diversity at Telagaranjeng Natural Reserve, Slamet Mountain, Brebes Central Java.
This research was conducted in Telagaranjeng natural reserve to discover the tree diversity of
the reserve. It is found that Telagaranjeng Natural Reserve kept 98 plant species of 33 families.
Based on the important value index, Lithocarpus sundaicus was the most dominant species at
all stands.ris)
PENDAHULUAN
penyakit, dan atau faktor lainnya. Oleh
Kawasan cagar alam mempunyai karena itu diperlukan suatu pemahaman
arti penting bagi perlindungan sumber prinsip-prinsip ekologi dalam menganalisis
daya alam. Keberadaan kawasan ini proses dinamika dalam pengelolaan
sangat diperlukan agar dapat menjamin kawasan cagar alam.
terjaganya keanekaragaman biologi dan Kerusakan suatu kawasan hutan
fisik, serta tetap lestarinya plasma karena pemanfaatan sumber daya alam
nutfah. Kawasan cagar alam juga hayati yang tidak terkendali, selain
berfungsi dalam memelihara stabilitas menyebabkan hilangnya tegakan pohon
lingkungan wilayah sekitarnya sehingga juga akan mengakibatkan terganggunya
mengurangi intensitas banjir, kekeringan, tatanan lingkungan di kawasan hutan.
dan melindungi tanah dari erosi serta Selanjutnya, keanekaragaman hayati
mengurangi iklim ekstrim setempat yang ada di kawasan hutan tidak saja
(McKinnon & McKinnon 1990). penting bagi tatanan lingkungan, tetapi
Pengelolaan kawasan alami yang juga penting bagi kelangsungan hidup
dilindungi meliputi pengelolaan seluruh bangsa Indonesia (Salim 1989;
proses yang berlangsung dalam Purwaningsih & Razali 2008).
ekosistem tersebut. Semua kawasan Cagar Alam Telaga Ranjeng ditunjuk
secara alami akan terus berubah secara sebagai kawasan cagar alam
dinamis oleh kehadiran spesies baru berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
yang dipencarkan oleh angin, binatang, Jenderal Hindia Belanda Nomor 25
atau agen-agen lainnya. Di sisi lain tanggal 11 Januari 1925, seluas 48,5 ha.
spesies yang menghilang sebagai bentuk Alasan penunjukan ini antara lain dari
kepunahan setempat, dapat akibat dari segi (1) botani, terdapat pohon pasang
63
Herawati dkk.
64
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam
65
Herawati dkk.
Tabel 1a. . Sepuluh jenis pohon utama (>10 cm) berdasarkan Nilai Penting.
Tabel 1b. Sepuluh jenis belta (diameter <10 cm) berdasarkan Nilai Penting tertinggi.
66
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam
Gambar 1. Toal luas bidang dasar/basal area (cm2) masing-masing jenis dari seluruh petak
cuplikan.
akan tetap bertahan karena memiliki anak pohon tercatat dengan INP tinggi.
strategi regenerasi yang baik, tercermin Tiga spesies anak pohon lainnya yaitu
dari sebaran ukuran kelas diameter yakni Harmsiopanax acuelatus, Ardhiden-
jumlah terbanyak dicapai pada diameter dron clypearia,dan Hellicia serrata
< 3 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat memperlihatkan pola regenerasi yang
Hartshon (1980) dalam Purwaningsih & berbeda karena merupakan spesies yang
Razali (2008) yang menyebutkan bahwa dominan pada tingkat anak pohon saja
pola penyebaran dengan nilai paling besar ,Engelhardia spicata yang mempunyai
dicapai oleh kelas diameter batang Nilai penting 11 % pada tingkat pohon,
terkecil menunjukkan keadaan hutan yang ternyata hanya dijumpai pada ukuran
baik untuk regenerasi. Spesies yang diameter kecil dengan nilai penting
mempunyai permudaan cukup baik sebesar 1,2 %. Sebaliknya banyak
antara lain Lithocarpus sundaicus, spesies pohon yang tidak pernah tumbuh
Schefflera aromatica, Astronia menjadi besar, atau dengan kata lain
spectabilis, dan Litsea cubeba. Di lain hanya sebagai penyusun lapisan bawah
pihak Glochidion arborescens, G. kanopi hutan misalnya Eupathorium
rubrum, S. regusa, Podocarpus inulifolium merupakan tumbuhan yang
imbricatus tidak mempunyai permudaan banyak ditemukan di lahan kosong atau
yang baik karena hanya mempunyai INP area terbuka dan mempunyai efisiensi
kurang dari 10% pada tingkat pohon dan tinggi dalam hal pemencaran biji.
tingkat belta jarang ditemukan. Ditinjau Ditempat dengan kuantitas cahaya yang
dari regenerasi jenis yang diduga akan tinggi akan semakin merangsang
menggantikan tegakan pohon yang mati kecepatan tumbuhnya bibit, sedangkan
seperti L. sundaicus, S. aromatica, A. variasi struktur dan komposisi tumbuhan
spectabilis merupakan spesies yang dalam satu komunitas dipengaruhi antara
dapat menggantikan karena pada tingkat lain oleh fenologi tumbuhan, pemencaran
67
Herawati dkk.
dan natalitas yang berbeda setiap spesies merupakan spesies yang paling berkuasa
sehingga terdapat perbedaan struktur dan dalam komunitas hutan daerah penelitian.
komposisi pada masing-masing lokasi Pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah
hutan. spesies terbanyak dengan indeks
Berdasarkan basal area seluruh kekayaan spesies serta diversitas
spesies pohon terlihat bahwa tertinggi, terdapat di tegakan 1,
L.sundaicus mempunyai basal area sedangkan individu terbanyak pada
paling besar sehingga bisa dikatakan tegakan 7 . Junlah spesies tumbuhan yang
bahwa spesies tersebut merupakan paling kecil terdapat pada tegakan 18
spesies dominan di CA Telaga Ranjeng. dengan indeks diversitas juga paling
Hal ini sesuai dengan pendapat Barbour rendah. Akan tetapi secara keseluruhan
et al. (1987), bahwa spesies tumbuhan semua tegakan di CA. Telaga Ranjeng
dominan adalah spesies tumbuhan yang mempunyai kekayaan spesies yang tinggi
memiliki lapisan tajuk atau basal area dikarenakan seluruh tegakan mempunyai
terbesar pada suatu komunitas dibanding indeks E > 0,6 (Magurran 1988) Adapun
spesies tumbuhan overstory lainnya. keragamannya tergolong sedang karena
Dengan demikian L. sundaicus yang hanya sebesar 1,55 -3,10. Hasil analisa
mendominasi cagar alam tersebut cluster dengan indek kesamaan Jaccard,
serta rekonstruksi dendogram
menunjukan adanya 3 pengelompokkan
Tabel 3.Data masing-masing tegakan
68
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam
Gambar 2. Dendogram vegetasi plot cuplikan dihitung dengan indeks Jaccard, menunjukan
3 pengelompokan pada tinggkat kesamaan ± 35%.
69
Herawati dkk.
70
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
Epiphytic Ferns Diversity in the Baturraden Botanical Garden, South Slope of Mount Slamet.
A study on the diversity of epiphytic ferns in the Baturraden Botanical Garden, on South Slope
of Mount Slamet was done from December 2007 to February 2008 to find out the diversity and
the type of epiphytic ferns in Mt. Slamet southern slope. The method used in this research was
survey by collecting the samples randomly. The data were analyzed descriptively for the
characters of each epiphytic fern obtained in research location. This research showed that
there were four families of 12 species of epiphytic ferns namely Aglaomorpha heraclea,
Asplenium nidus, Belvisia revoluta, Phymatopteris triloba, Goniophlebium percussum,
Nephrolepis falcata, N. acuminata, Davallia triphylla, Lindsaea macraeana, Dryopteris
sparsa, Lycopodium phlegmaria, and L. squarosum. The most dominant family was
Denstaedtiaceae which includes N. falcata, followed by N. acuminata. While the least is
Lycopodium including L. squarosum, and Goniophlebium percussum. Distribution related
with character of each species was discussed.
71
Budiana & Sukarsa
72
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan paku epifit yang ditemukan di Kebun Raya Baturaden.
Suku Jenis
Dennsteadtiaceae Nephrolepis falcata (Cap.) C. Chr
Nephrolepis acuminata (Houtt.) Kuhn.
Davallia triphylla Hk.
Lindsaea macraeana (Hk. & Walk. Arn.) Copel.
Dryopteris sparsa (Don.) O. Ktze
Polypodiaceae Belvisia revoluta (Blume) Copel.
Phymatopteris triloba (Houtt.) Pic.Serm
Goniophlebium percussum (Cav.) Wagner &
Grether.
Aglaomorpha heraclea (Kunze) Copel.
Lycopodiaceae Lycopodium phlegmaria L.
Lycopodium squarosum L.
Aspleniaceae Asplenium nidus L.
73
Budiana & Sukarsa
tumbuhan paku epifit dan 12 spesies paku ini adalah pantropis, namun beberapa di
terestial. Banyaknya spesies paku epifit antaranya tersebar hingga daerah
di Kebun Raya Baturraden didukung beriklim sedang dan menjadi tumbuhan
faktor lingkungan pada hutan damar dominan di lantai hutan, seperti
khususnya Kebun Raya Baturraden yang Pteridium aquilinum (Anonimus 2008)
sangat mendukung terhadap perkem- Di alam, tumbuhan paku epifit hidup
bangan tumbuhan paku epifit dengan secara liar dan menggantungkan
intensitas cahaya berkisar antara 248 – hidupnya pada pohon inangnya, meskipun
726 lux dan kelembaban udara 70% - tidak menyerap makanan dari tumbuhan
88% . Hal ini disebabkan karena pohon yang ditumpanginya (Chin 2000).
damar yang ditanam di kawasan Kebun Tumbuhan paku epifit lebih menyukai
Raya Baturraden ditanam secara teratur inang dengan karakteristik tertentu, misal
dengan percabangan tidak begitu rapat lebih menyukai inang yang mempunyai
sehingga membentuk tajuk yang kanopi tidak begitu rapat, permukaan
memungkinkan cahaya matahari masuk batang kasar dan lembab. Sistem
ke bagian tajuk. Hal ini mengakibatkan perakaran tumbuhan paku epifit
di kawasan hutan damar memiliki memungkinkan tumbuhan tersebut lebih
kelembaban cukup tinggi tetapi masih bisa dapat bertahan hidup pada kondisi
dilalui cahaya sehingga banyak ditumbuhi tumbuhan inang yang memiliki tekstur
tumbuhan paku epifit. Spesies pohon yang permukaan batang kasar dan dapat
paling banyak ditemukan adalah pohon menyerap air dengan baik.
Damar (Agathis lorantifolia), hal ini Banyaknya tumbuhan paku epifit
karena Kebun Raya Baturraden yang terdapat pada suatu pohon,
merupakan kawasan yang termasuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
dalam hutan produksi damar milik PT lain faktor fisik lingkungan seperti suhu,
Perhutani. Selain itu, ada pohon Puspa intensitas cahaya, kelembaban, fisik
(Schima wallichi), Rasamala (Altingia tumbuhan inang seperti tekstur batang
excelsa), Mahoni (Switenia macro- dan kulit batang, serta kerapatan tegakan.
phylla), dan Kaliandra (Callyandra Jumlah spesies dan banyaknya individu
calothyrsus). Jenis-jenis pohon tersebut tiap spesies yang ditemukan pada suatu
merupakan habitat bagi tumbuhan paku pohon menunjukkan bahwa pohon
epifit yang tumbuh di kawasan Kebun tersebut merupakan tempat yang cocok
Raya Baturraden. sebagai inang (Simbolon 2007).
Jumlah spesies tumbuhan paku epifit Di daerah kajian, tumbuhan paku
yang paling banyak ditemukan di Kebun epifit banyak ditemukan menempel pada
Raya Baturraden adalah dari Suku tumbuhan inang, terutama pada pohon
Dennstaedtiaceae. Suku Dennstaed- puspa dan damar. Pohon puspa
tiaceae merupakan salah satu suku mempunyai percabangan batang yang
anggota tumbuhan paku yang tergolong banyak dan lebar, sehingga pohon ini
sebagai kelompok paku sejati yang mempunyai tajuk lebih rindang dibanding
terbesar. Kebanyakan anggota suku spesies pohon lain. Hampir seluruh
74
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden
bagian batang puspa menjadi tempat yang beberapa spesies tumbuhan paku epifit.
cocok untuk berkembangnya tumbuhan Pohon damar juga mengandung getah
paku epifit. Hal ini karena pohon puspa yang bersifat allelopathy terhadap
mempunyai kulit batang yang lembab dan pertumbuhan epifit, namun ada beberapa
tidak mengelupas (Sastrapradja dkk. spesies tumbuhan paku epifit yang
1980). Dari semua tumbuhan paku epifit mampu beradapatasi dengan keadaan
yang ditemukan di Kebun Raya tersebut sehingga dapat bertahan hidup,
Baturraden, hampir semuanya dijumpai misalnya Aspleniun nidus., Aglaomor-
tumbuh di pohon puspa. Ini menunjukkan pha heraclea. dan marga Nephrolepis.
bahwa pohon puspa paling cocok sebagai Nephrolepis falcata, dan
inang tumbuhan paku epifit di daerah Nephrolepis acuminata, spesies dari
kajian. Suku Dennstaedtiaceae ditemukan
Pohon damar mempunyai kulit luar dengan jumlah individu banyak yaitu 278
batang yang tidak kasar, dengan bentuk dan 158 individu dengan sebaran hampir
percabangan monopodial. kondisi merata di 3 blok kawasan Kebun Raya
demikian kurang menguntungkan bagi Baturraden (Tabel.2). Hal ini karena
Tabel 2. Jumlah individu dan frekuensi jenis tumbuhan paku epifit yang ditemukan di Kebun
Raya Baturaden.
Blok Jumlah
Suku Jenis Frek.
1 2 3 individu
Dennsteadtiaceae Nephrolepis falcata 87 75 56 278 3
(Cap.) C. Chr
Nephrolepis acuminata 68 41 49 158 3
(Houtt.) Kuhn.
Davallia triphylla Hk. 4 - - 4 1
Lindsaea macraeana (Hk. 32 - 38 70 2
Walk. Arn.) Copel.
Dryopteris sparsa - 6 12 18 2
(Don.) O. Ktze
Polypodiaceae Belvisia revoluta 87 - 47 134 2
(Blume) Copel.
Phymatopteris triloba 7 3 - 10 2
(Houtt.) Pic.Serm
Goniophlebium
percussum (Cav.) 3 - - 3 1
Wagner & Grether.
Aglaomorpha heraclea 28 24 33 85 3
(Kunze) Copel.
Lycopodiaceae Lycopodium phlegmaria - 7 - 7 1
L.
Lycopodium squarosum 3 - - 3 1
L.
Aspleniaceae Asplenium nidus L. 39 31 35 105 3
75
Budiana & Sukarsa
76
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden
77
Budiana & Sukarsa
journal/ item/6. Di unduh tanggal 20 Sastrapradja, S., & JJ. Afriastini. 1985.
Juni 2008. Kerabat Paku. Lembaga Biologi
Poole, R. W. 1974. An Introduction to Nasional-LIPI. Bogor.
Quantitative Ecology. Mc Graw- Simbolon, H. 2007. Epifit dan Liana Pada
Hill, Kogakushe Ltd. Tokyo. Pohon di Hutan Pamah Primer dan
Sastrapradja, S., Johar, JA., Darnadey D., Bekas Terbakar Kalimantan Timur,
& EA. Widjaja. 1979. Jenis Paku Indonesia. Pusat Penelitian
Indonesia. Lembaga Biologi Biologi-LIPI, Bogor. Berita Biologi
Nasional-LIPI, Balai Pustaka. 8 (4), 249-257.
Bogor. Steenis, Van CGGJ. 1981. Flora Untuk
Sekolah di Indonesia. PT Pradnya
Paramita. Jakarta
78
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden
Nephrolepis acuminata (Houtt.) . Lindsaea macraeana (Hk. & Dryoteris sparsa (Don.) O.K
Walk. Arn.) Copel
79
Budiana & Sukarsa
80
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
Study on The distribution of Dennstaedtiaceae Fern in Slamet Mountain Forest at Baturraden
Hiking Track. There are 22 species of Dennstaedtiaceae fern consisting of 13 species
terrestrial and 9 epiphytic ferns, belonging to 10 sub Families. Distribution of Dennstaedtiaceae
in the study area varied with the frequency of 10 – 50% The least distribute species are
Hypolepis brooksiae, Egenolfia appendiculata and Woodwardia areolata.
81
Sungkono dkk.
82
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae
petak cuplikan dicatat, baik yang tumbuh spesies tumbuhan paku dari Familia
di tanah (terestrial) maupun epifit, diamati Dennstaedtiaceae meliputi 13 spesies
sifat morfologinya, diidentifikasi dangan paku terestrial dan 9 spesies paku epifit.
pustaka yaitu Holttum (1968), dan Chen Spesies tersebut dapat dikelompokkan
(2000) serta membandingkan dengan dalam 10 subfamili yaitu Asplenioideae
spesimen herbarium yang ada. Data jenis terdiri atas 4 spesies; Lindsayoideae dan
tumbuhan paku Dennstaedtiaceae yang Oleandroideae masing-masing 3 spesies;
terdapat pada petak cuplikan dicatat untuk Athyrioideae, Blechnoideae, Dryopteri-
mengetahui frekuensi dan persebarannya doideae, Pteridioideae dan Lomariopsi-
pada berbagai ketinggian. doideae masing-masing 2 spesies;
sedangkan Dennstaedtioideae dan
HASIL Tectarioideae masing-masing hanya
ditemukan satu spesies (Tabel 1).
Keanekaragaman Jenis Perbandingan jumlah jenis tumbuhan
Hasil eksplorasi di hutan G. Slamet paku Dennstaedtiaceae di hutan G.
jalur pendakian Baturraden diperoleh 22 Slamet jalur pendakian Baturraden
83
Sungkono dkk.
Keterangan:
I= ketinggian 800 m dpl, II= ketinggian 1100 m dpl III= ketinggian 1600 m dpl. IV= ketinggian
2000 m dpl, V= ketinggian 2400 m dpl
84
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae
Tabel 2. Persebaran Jenis dan Frekuensi Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae yang Terdapat
pada 5 Lokasi Ketinggian ( m dpl) Jalur Pendakian Baturraden.
800 1.100 1.600 2.000 2.400 Frek
Jenis
kr kn kr kn kr kn kr kn kr kn (% )
Asplenium belangeri (Bory) Kze √ √ 20
Asplenium nidus L. √ √ √ √ √ 50
Asplenium pellucidum Lam. √ √ 20
Asplenium perakense Matt. & Chr. √ √ √ √ 40
Athyrium bantamense (Bl.) Milde √ √ √ 30
Athyrium subserratum (Bl.) Milde √ √ √ 30
Blechnum orientale L. √ √ 20
Dryopteris sparsa (Don) O. Ktze √ √ √ √ √ 50
Elaphoglossum callifolium (Bl.) Moore √ √ 20
Egenolfia appendiculata (Wild.) J. Sm. √ 10
Histiopteris incisa (Thbg) J.Sm. √ √ √ 30
Hypolepis brooksiae v.A.v.R. √ 10
Lindsaya macraeana (Hk. & Walk. Am.) Copel √ √ √ 30
Lindsaya napaea v.A.v.R. √ √ 20
Lindsaya rigida J. Sm. √ √ √ √ 40
Nephrolepis acuminata (Houtt.) Kuhn √ √ √ √ 40
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. √ √ √ 30
Oleandra pistillaris (Sw.) C. Chr. √ √ √ 30
Polystichopsis hasseltii (Bl.) Holtt. √ √ 20
Pteris vittata L. √ √ 20
Tectaria meingayi (Bak.) C. Chr. √ √ 20
Woodwardia areolata (L.) Moore √ 10
Keterangan: kr= petak contoh sebelah kiri, kn= petak contoh sebelah kanan
Davallioideae. Hal ini karena spesies dari hayati dan banyak wilayah merupakan
anak suku Davallioideae umumnya epifit pusat asal usul atau pusat endemisme.
dan banyak tumbuh pada batuan, cadas Beberapa spesies paku seperti
atau karang di tepi sungai (LBN 1979). Nephrolepis falcata, Blechnum
Suryana dkk. (2009) melaporkan bahwa orientale, dan Asplenium sp. dll.,
di sekitar kawah Gunung Tangkuban berpotensi sebagai tanaman hias
Perahu, Jawa Barat ditemukan 26 (Sukarsa dkk. 2008). Oleh karena itu,
spesies paku dari 12 suku yang terdiri spesies tersebut banyak diburu untuk
atas 24 spesies paku terestrial dan 2 diperdagangkan sebagai tanaman hias
spesies paku epifit. Salah satu spesies atau pelengkap karangan bunga.
paku epifit terdapat juga di jalur pendakian Kemerosotan dan punahnya keaneka-
Baturraden pada ketinggian 1.600 dan ragaman hayati adalah suatu peristiwa
2.000 m dpl yaitu Elaphoglossum alami, namun proses ini seringkali
callifolium. Keanekaragaman ini perlu dipercepat oleh adanya pemanfaatan
dilestarikan, karena menurut berlebih yang dilakukan oleh manusia.
BAPPENAS (2003) kawasan tropis Ancaman utama adalah kerusakan dan
penting bagi konservasi keanekaragaman fragmentasi habitat, pemanfaatan
85
Sungkono dkk.
berlebih dan introduksi spesies asing yang ketinggian 2.000 m dpl menurun hingga
invasif (Sutamihardja & Mulyani 2010). mencapai 8 spesies. Di lokasi ini berupa
Pada lokasi dengan ketinggian 800 hutan heterogen berumur tua dengan
m dpl. hanya diperoleh 6 spesies paku pohon berdiameter lebih dari 50 cm dan
terestrial dari Dennstaedtiaceae dan berlumut, jarak antar pohon agak jarang.
tidak diperoleh paku epifit. Hal ini karena Pada siang hari, rata-rata intensitas
lokasi tersebut memiliki topografi datar cahaya 15.400 lux meter, temperatur
berupa hutan homogen pohon Agathis 160C, dan kelembaban 99%. Tumbuhan
dammara atau damar dengan jarak paku epifit lebih banyak yaitu 6 spesies
tanam teratur (± 5 m). Pada batang dan paku terestrial hanya 2 spesies.
pohon damar tidak terdapat tumbuhan Sebaran spesies tumbuhan paku makin
paku, karena permukaan batang licin. berkurang pada ketinggian 2.400 m dpl,
Dari 6 spesies paku tersebut, 3 di hanya terdapat 2 spesies yaitu Asplenium
antaranya hanya terdapat pada lokasi perakense (epifit) dan Dryopteris
kajian dengan frekuensi kemunculan 10 sparsa (terestrial). Lokasi ini berupa
– 20% yaitu Hypolepis brooksiae, hutan heterogen, pepohonan tua dengan
Lindsaya napaea dan Polystichopsis diameter lebih dari 50 cm, jarak tanam
hasseltii. Spesies tersebut hanya dijumpai jarang, serta banyak ditemukan tempat
beberapa rumpun saja di tempat yang terbuka bekas penebangan pohon. Pada
terbuka dengan sedikit naungan pohon siang hari rata-rata intensitas cahaya
(pada siang hari, rata-rata intensitas 18.100 lux meter, temperatur 160C dan
cahaya 27.900 lux meter, kelembaban kelembaban 95%.
72% dan temperatur 260C). Hal ini sesuai
dengan pendapat Holttum (1968) bahwa KESIMPULAN
spesies tersebut menyukai daerah
terbuka, dibanding dengan daerah Keanekaragaman spesies tumbuhan
naungan. paku Dennstaedtiaceae di hutan Gunung
Pada ketinggian 1.100 dan 1.600 m Slamet jalur pendakian Baturraden cukup
dpl. terdapat keanekaragaman spesies tinggi. Sedikitnya terdapat 22 spesies
paku terbanyak, yaitu 12 dan 11 spesies. yang dapat dikelompokkan dalam 10 anak
Hal ini karena lokasi tersebut merupakan suku dari 11 anak suku yang terdapat di
hutan heterogen dengan pohon kawasan Malaya, Persebaran tumbuhan
berdiameter kurang dari 50 cm. Pada paku Dennstaedtiaceae di hutan Gunung
siang hari intensitas cahaya berkisar Slamet jalur pendakian Baturraden
13.300 – 16.500 lux meter, temperatur bervariasi dengan frekuensi kemunculan
20 -210C dengan kelembaban 85-90%, berkisar 10 – 50% . Spesies yang
oleh karena itu sangat sesuai bagi memiliki sebaran sempit (10%) adalah
pertumbuhan paku epifit maupun Hypolepis brooksiae, Egenolfia
terestrial. Beberapa spesies paku hanya appendiculata dan Woodwardia
terdapat pada satu lokasi kajian (Tabel areolata.
2.). Keanekaragaman spesies paku pada
86
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae
87
Sungkono dkk.
88
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
Araceae at south slope of Slamet Mountain. Mount Slamet is the largest mount in Central Java
with a relatively diverse Araceae (Arum family). A survey has been conducted on the south
slope of Mt. Slamet to know the diversity of the Araceae. This study recorded at least 12
species of Araceae included in nine genera and five subfamilies from this area. Some of the
species are potentially important for carbohydrate source such as Colocasia esculenta and
Xanthosoma spp., the others are for fish food Alocasia, and for ornamental plants such as
Alocasia alba, Amorphophallus variabilis, Apoballis rupestris.
89
Widodo & Wibowo
90
Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet
91
Widodo & Wibowo
untuk disarikan umbinya sebagai pembuat Araceae merambat yang berdaun indah.
bahan bakar (Sastrapradja 1977). Di Pothos roxburghii merupakan tumbuhan
beberapa tempat, varitas unggul dari memanjat dengan batang yang relatif
spesies ini juga banyak dibudidayakan kuat sehingga sulit dipatahkan. Salah satu
untuk diambil umbinya sebagai bahan spesies Pothos telah dilaporkan dari
makanan yang dieksport ke Jepang. sekitar Purwokerto, yaitu di G. Binangun,
Beberapa spesies Araceae berikut, Joss 101 (BO) (Boyce & Hay 2001).
berpotensi sebagai tanaman hias yaitu Berdasarkan perjumpaannya, secara
Arisaema dracontium yang merupakan umum spesies Araceae di daerah kajian
tumbuhan liar dengan satu tangkai daun dapat dikatakan reltif jarang. Hanya
yang muncul dari dalam tanah, memiliki beberpa spesies yang memiliki tingkat
daun majemuk bangun kaki. Apoballis regenerasi cukup tinggi dan cepat
rupestris cukup banyak ditemukan di tumbuh, seperti A. macrorhiza dan
lereng selatan G. Slamet terutama di tepi- Colocasia esculenta kedapatan cukup
tepi jalan. Tumbuhan ini sangat sering dijumpai di beberapa tempat.
berpotensi sebagai tanaman hias karena Namun berdasarkan kriteria kelangkaan
bentuknya yang indah. Schismatoglottis IUCN (2007) seluruh spesies Araceae
calyptrata sangat banyak, tumbuh di yang dijumpai di kaerah kajian
berbagai lokasi baik di sekitar Kebun dikelompokan dalam kategori jarang
Raya Baturraden maupun di tempat lain. (LC).
Tumbuhan ini juga berpotensi sebagai
tanaman hias. Rhaphidophora
korthalsii merupakan spesies anggota
Tabel 1. Potensi, agen pemencar, dan status kelangkaan Araceae di lereng selatan G. Slamet
92
Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet
93
Widodo & Wibowo
94
Ekologi Gunung Slamet
Maharadatunkamsi
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 46
Cibinong, Bogor 16911. Email: datun_mzb@yahoo.com
ABSTRACT
Small Mammals for Supporting Function Slamet Mountain Protection. The study of small
mammal communities in the region Mount Slamet is conducted in order to complete biodiversity
data base of Mount Slamet. This survey had documented 31 species of small mammals, some
of them are protected, due to endemic and / or have international conservation status. Some of
them can be used as an indicator species of ecosystem quality since the group functions and
occupy a certain position in the ecosystem, seed spreader, pollinator, predator and prey. The
biological information is an essential factor in the consideration of Mount Slamet management
to implement a good natural resource conservation system.
95
Maharadatunkamsi
96
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
tegak setinggi 40-50 cm dengan panjang (Ratufa bicolor), dan bajing hitam
20 m melewati tengah-tengah ember. (Callosciurus nigrovittatus).
Selain menggunakan perangkap, Konvensi Perdagangan Internasional
informasi keberadaan mamalia kecil Tumbuhan dan Satwa Liar untuk spesies
dilakukan dengan penjelajahan lapangan. terancam (CITES) mengklasifikasikan
spesies masuk dalam Appendix 2 apabila
HASIL DAN PEMBAHASAN spesies pada saat ini tidak termasuk ke
dalam kategori terancam punah namun
Biodiversitas Mamalia Kecil memiliki kemungkinan untuk terancam
Sebanyak 31 spesies mamalia kecil punah jika perdagangannya tidak diatur.
berhasil dicatat dalam penelitian yang IUCN memasukkan spesies dalam
dilakukan mulai tahun 2009 sampai kategori rawan (vulnerable) apabila
dengan 2010. Jumlah spesies yang paling menghadapi risiko tinggi kepunahan di
banyak adalah kelompok Chiroptera/ habitat alamnya di masa depan.
kelelawar yang terdiri atas 12 spesies, Sedangkan nyaris terancam (near
kemudian diikuti oleh Rodensia/ pengerat threatened) adalah spesies yang populasi
dengan 10 spesies, Insektivora/ pemakan di habitat alamnya mendekati kategori
serangga tiga spesies, serta Scandentia/ vulnerable. Kategori resiko rendah
tupai satu spesies. Dari jumlah tersebut (least concern) diberikan untuk spesies
terdapat tiga spesies yang masuk dalam yang tidak menghadapi ancaman
daftar yang dilindungi, yaitu teledu sigung langsung bagi kelestarian jenisnya namun
(Mydaus javanensis), kucing kuwuk populasi spesies tersebut telah dievaluasi.
(Prionailurus bengalensis), jelarang ( Data informasi kurang (deficient)
Ratufa bicolor); empat spesies endemik dikategorikan untuk spesies yang aspek
Jawa yaitu biul (Melogale orientalis), biologinya telah diketahui namun data
lesoq lati jawa (Maxomys bartelsii), persebaran dan populasinya belum
cucurut ekor gundul (Crocidura lengkap.
orientalis), timpaus jawa (Niviventer Secara rinci, berbagai keterangan
lepturus); tiga spesies masuk ke dalam tentang spesies mamalia kecil yang
CITES Appendix 2, yaitu kucing kuwuk terdokumentasi dalam penelitian ini
(Prionailurus bengalensis), jelarang disajikan dalam uraian di bawah ini.
(Ratufa bicolor), dan tupai kekes Uraian meliputi diskripsi, ekologi, habitat,
(Tupaia javanica); dua spesies masuk reproduksi dan peran di alam dari masing-
dalam kategori vulnerable/rawan IUCN, masing spesies serta status
yaitu timpaus gayat (Niventer konservasinya.
cremoriventer) dan cucurut ekor gundul
(Crocidura orientalis); dan tiga spesies KARNIVORA
termasuk near threatened/nyaris 1. Herpestes javanicus (Geoffroy
terancam IUCN, yaitu tomosu biasa Saint-Hilaire, 1818)
(Miniopterus schreibersi), jelarang
97
Maharadatunkamsi
98
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
99
Maharadatunkamsi
100
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
berkisar antara 1-4 ekor, namun buahan lunak dari tumbuhan hutan.
kebanyakan 2-3 ekor. Anaknya Tepung sari juga merupakan salah satu
mencapai tingkat dewasa pada umur 8 pakan pentingnya.
bulan. Peran di alam:
Peran di alam: Pemencar biji, penyerbuk bunga.
Pemangsa tikus. Status konservasi:
Status konservasi: RI: tidak dilindungi.
RI: dilindungi. IUCN:least concern/ resiko rendah.
IUCN:least concern/resiko rendah.
CITES: Appendix 2. 2. Chironax melanocephalus
(Temminck, 1825)
CHIROPTERA Nama Indonesia:
1. Aethalops alecto (Thomas, 1923) Codot kepala hitam.
Nama Indonesia: Sebaran di Indonesia:
codot bukit. Kalimantan, Sumatera, Nias, Jawa,
Sebaran di Indonesia: Sulawesi.
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Lombok. Kalipagu, Pancuran Tujuh,
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Kaliwadas.
Kalipagu, Pancuran Tujuh, Ciri pengenal:
Bambangan, Kaliwadas. Codot ini mempunyai bentuk tubuh,
Ciri pengenal: ukuran maupun warna yang menyerupai
Ukuran tubuhnya kecil dan tidak codot bukit (Aethalops alecto). Rambut
mempunyai ekor. Panjang kepala dan punggung berwarna abu-abu gelap atau
badannya berkisar antara 65-80 mm, coklat tua, bagian kepala berwarna lebih
mempunyai berat badan 15-25 gr. gelap sampai hitam. Bagian perut
Moncongnya pendek dan meruncing ditumbuhi rambut berwarna abu-abu
dengan panjang daun telinga 10-15 mm. terang kecoklatan. Codot dewasa
Mempunyai satu pasang gigi seri bawah. umumnya mempunyai rambut berwarna
Panjang lengan bawah 42-53 mm dan kuning pada sisi kiri dan kanan lehernya.
betis 16 - 22 mm. Rambutnya lebat dan Moncongnya pendek, daun telinga 10-13
panjang, sebagian besar berwarna abu- mm. Mempunyai 2 pasang gigi seri
abu gelap, sedangkan bagian perutnya bawah. Panjang kepala dan badannya
abu-abu terang. 55-70 mm, berat badan antara 12-19
Ekologi: gram. Panjang lengan bawah 42-47 mm
Codot bukit merupakan kelelawar dan panjang betis 15-17 mm. Tidak
pemakan buah yang hidup di dataran mempunyai ekor.
berketinggian 900-2.700 m dpl. Dijumpai Ekologi:
di hutan primer dan hutan sekunder. Codot kepala hitam umumnya hidup
Hidup soliter atau membentuk koloni kecil di hutan primer dan hutan sekunder pada
2-3 ekor. Pakan utamanya diduga buah- ketinggian 900-1.800 m dpl, tetapi
101
Maharadatunkamsi
102
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
hutan sekunder, kebun pinus dan kebun pepaya, pisang, mangga dan lain-lain.
buah-buahan. Kadang-kadang dijumpai Mencari makan sendirian atau
di hutan primer. Bersarang di mulut goa, berkelompok sampai 8 ekor. Pada siang
celah bebatuan, hutan bakau dan hari umumnya beristirahat di ranting atau
berbagai pepohonan termasuk palem. dahan pohon yang rindang pada
Aktif di malam hari. Makanan utamanya ketinggian 5 - 20 meter, atau
berupa buah-buahan, namun juga makan menggantung di bawah atap rumah.
dedaunan dan bunga. Dalam kurun waktu setahun umumnya
Peran di alam: beranak 1 sampai 2 kali dengan lama
pemencar biji, penyerbuk bunga. bunting antara 115 - 125 hari. Jumlah
Status konservasi: anak pada setiap kelahiran 1 ekor.
RI: tidak dilindungi. Jumlah induk yang beranak akan
IUCN:least concern/resiko rendah. meningkat pada musim hujan seiring
dengan meningkatnya ketersediaan
5. Cynopterus sphinx (Vahl, 1797) buah-buahan.
Nama Indonesia: Peran di alam:
Codot barong. Pemencar biji, penyerbuk bunga.
Sebaran di Indonesia: Status konservasi:
Sumatera, Jawa, Sangeang (NTB), RI: tidak dilindungi.
Selayar. IUCN:least concern/resiko rendah.
Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Kalipagu. 6. Cynopterus titthaecheilus
Ciri pengenal: (Temminck, 1825)
Codot barong memiliki ukuran tubuh Nama Indonesia:
sebesar kepalan tangan orang dewasa. Codot besar.
Sebagian besar warna rambutnya coklat Sebaran di Indonesia:
gelap kehitam-hitaman, tubuh bagian Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara.
punggung berwarna lebih gelap dari Lokasi ditemukan di G. Slamet:
bagian perut sedangkan di bawah dan Kalipagu, Bambangan.
belakang telinga kemerah-merahan, tepi Ciri pengenal:
daun telinga berwarna putih seperti Warna rambut codot besar hampir
tulang rawan. Panjang lengan bawah 59 sama dengan codot krawar, coklat
- 75 mm dan panjang betis 20 - 28 mm. sampai coklat gelap. Terdapat warna
Berat badan dewasa antara 50 - 65 gram. putih di tepi daun telinga dan tulang-tulang
Ekologi: sayap. Moncongnya pendek dan kokoh.
Codot barong biasanya hidup di Perbedaan dari codot krawar adalah
berbagai habitat seperti hutan primer, tubuhnya jauh lebih besar. Panjang
hutan sekunder, hutan terganggu dan lengan bawah 78 - 83 mm dan panjang
perkebunan pada ketinggian kurang dari betis 34 - 36 mm. Panjang ekor 20 - 22
1.500 m dpl. Codot ini dikenal sebagai mm. Bobot tubuh dewasa 75 - 100 gr.
pemakan buah-buahan berdaging seperti
103
Maharadatunkamsi
Ekologi: Ekologi:
Mencari makan pada malam hari Codot ini hidup di berbagai habitat
berupa jambu air, pepaya, kenari, ficus, mulai dari dataran rendah sampai
nectar dan sebagainya. Codot besar pegunungan (1.800 m dpl). Hidup dalam
dijumpai di berbagai habitat, antara lain koloni kecil 5 - 10 ekor, kadang soliter.
hutan sekunder, perkebunan, pemukiman, Dijumpai di pemukiman, perkebunan dan
hutan bakau dan goa, mulai dari daerah hutan sekunder, namun jarang tercatat di
pantai sampai pegunungan pada hutan mangrove atau pun goa. Daerah
ketinggian 1.500 m dpl. Berkembang biak sebarannya diketahui berasosiasi dengan
sepanjang tahun dengan jumlah anak satu keberadaan pohon pisang. Bersarang di
ekor setiap beranak. Lama masa bunting bawah atap rumah, cabang pohon dan
diperkirakan sekitar 125 hari. lipatan daun pisang kering. Pakannya
Peran di alam: nektar sehingga mampu membantu
Pemencar biji, penyerbuk bunga. proses penyerbukan berbagai spesies
Status konservasi: tumbuhan baik liar maupun budi-daya.
RI:tidak dilindungi. Masa kebuntingan diperkirakan 5 bulan
IUCN: least concern/resiko dengan jumlah anak per kelahiran satu
rendah. ekor.
Peran di alam:
7. Macroglossus sobrinus K. Penyerbuk bunga.
Andersen, 1911 Status konservasi:
Nama Indonesia: RI: tidak dilindungi.
Codot cecadu pisang besar. IUCN:least concern/resiko rendah.
Sebaran di Indonesia:
Sumatera, Sipora, Siberut, 8. Arielulus circumdatus (Temminck,
Mentawai, Jawa, Bali. 1840)
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Nama Indonesia:
Kalipagu, Pancuran Tujuh, Kelelawar nighi sepuhan.
Bambangan. Sebaran di Indonesia:
Ciri pengenal: Jawa, juga dijumpai di Nepal, Cina,
Rambut di bagian punggungnya Thailand, Kamboja dan Malaysia.
berwarna coklat, sedangkan dada dan Lokasi ditemukan di G. Slamet:
perut lebih terang. Ekornya pendek Kalipagu.
bahkan sering tidak nampak. Ciri pengenal:
Moncongnya panjang dan runcing, gigi Hampir di seluruh tubuhnya tumbuh
kecil dan tajam, lidahnya sangat panjang. rambut berwarna hitam keabu-abuan,
Tubuhnya kecil, mempunyai panjang pada bagian ujung rambutnya kadang
kepala dan badan 53-75 mm, panjang dijumpai warna perak. Rambut di bagian
lengan bawah sayap 41-49 mm dan betis perut berwarna lebih terang. Bentuk
13-20 mm. Bobot badan dewasa antara telinga agak bundar, telinga pendek (11 -
16-25 gr. 12 mm). Daun telinga kanan dan kiri
104
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
105
Maharadatunkamsi
106
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
utamanya terdiri dari ngengat kecil, oleh selaput antar paha yang berkembang
kadang-kadang juga memangsa lalat dengan baik.
kecil. Membentuk koloni di sarangnya, Ekologi:
terdiri dari beberapa ekor sampai ribuan Spesies ini dijumpai di berbagai tipe
ekor. Spesies ini terbang sangat cepat, habitat antara lain hutan primer, hutan
diperkirakan mampu mencapai sekunder, hutan belukar dan perkebunan.
kecepatan 50 km per jam. Masa bunting Hidup mulai dari dataran rendah sampai
sekitar 5 (lima) bulan dengan jumlah anak ketinggian 1.700 m dpl, namun lebih
satu ekor setiap kelahiran. Merupakan banyak dijumpai di dataran tinggi.
spesies migran yang sering berpindah Bersarang pada gulungan daun pisang,
sarang mengikuti ketersediaan celah bebatuan, lubang pohon dan goa.
mangsanya. Bersarang dalam koloni kecil terdiri dari
Peran di alam: beberapa individu. Terbang rendah di
Pemangsa serangga, termasuk atas permukaan tanah dan dekat
serangga hama. permukaan air, lebih menyukai terbang
Status konservasi: di tempat yang terbuka dan bagian hutan
RI: tidak dilindungi. yang tidak rapat vegetasinya. Keluar
IUCN:near threatened/nyaris dari sarangnya lebih awal dibanding
terancam. dengan spesies kelelawar lainnya. Aktif
mencari mangsanya terutama pada dua
12. Myotis muricola (Gray, 1864) jam pertama sesudah senja dan
Nama Indonesia: menjelang matahari terbit. Mampu
Kelelawar lasiwen biasa. terbang dengan cepat, memburu
Sebaran di Indonesia: mangsanya yaitu berbagai serangga kecil.
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Masa buntingnya 50-60 hari, bahkan
Tenggara, Sulawesi dan Maluku. kadang mencapai 70 hari. Jumlah anak
Lokasi ditemukan di G. Slamet: per kelahiran satu ekor.
Kalipagu, Kaliwadas. Peran di alam:
Ciri pengenal: Pemangsa serangga, termasuk
Spesies ini berukuran kecil, berat serangga hama.
badan dewasa 5-8 gr. Rambutnya tebal Status konservasi:
dan halus; rambut di kepala dan RI: tidak dilindungi.
punggung berwarna abu-abu kecoklatan IUCN:least concern/resiko rendah.
gelap, pada bagian perutnya abu-abu
terang. Panjang kepala dan badan 36- RODENSIA
42 mm, panjang lengan bawah sayap 36 1. Leopoldamys sabanus (Thomas,
- 39 mm dan betis 16-19 mm. Telinganya 1887)
agak menghadap ke depan, panjang 9- Nama Indonesia:
12 mm, ujung telinga runcing. Panjang Tikus mondok sabanus.
ekor 39-45 mm, seluruhnya dibungkus Sebaran di Indonesia:
Sumatera, Kalimantan, Jawa.
107
Maharadatunkamsi
108
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
109
Maharadatunkamsi
110
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
111
Maharadatunkamsi
112
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
113
Maharadatunkamsi
berukuran besar, mempunyai ekor lebih terang. Panjang kepala dan badan
gemuk. Warna rambut seluruh tubuh 48,41-55,57 mm dengan kaki belakang
abu-abu gelap. Panjang kepala dan 8,31-10,34 mm. Panjang ekor 40,54-
badan 70-85 mm. Panjang ekor 50-60 57,12, bagian pangkalnya ditumbuhi
mm (80-85% dari panjang kepala dan rambut putih panjang dan jarang,
badan), pada bagian ujungnya ditumbuhi sedangkan ke arah ujung ekor rambutnya
rambut berwarna putih panjang dan semakin jarang.
jarang. Panjang kaki belakang 14-17 Ekologi:
mm. Belum banyak diketahui mengenai
Ekologi: perilaku dan aspek biologinya. Spesies
Belum banyak diketahui mengenai ini tersebar di hutan pegunungan. Belum
perilaku dan aspek biologinya. Informasi diketahui apakah spesies ini dapat hidup
sebarannya lebih banyak didasarkan pada di luar kawasan hutan pegunungan.
informasi spesimen koleksi museum. Populasinya dapat terancam akibat
Catatan lokasi sebaran spesies ini pembukaan hutan untuk perluasan
kebanyakan berasal dari hutan primer dan perkebunan termasuk kelapa sawit.
sekunder pegunungan. Belum diketahui Seperti kerabat cucurut lainnya, diduga
apakah cucurut ekor tebal ini mampu spesies ini juga memakan serangga.
beradaptasi dengan lingkungan tergang- Peran di alam:
gu. Berkurangnya luasan hutan dikhawa- Belum diketahui.
tirkan dapat mengancam populasi spesies Status konservasi:
ini. Pakannya antara lain serangga. RI: tidak dilindungi.
Peran di alam: IUCN:least concern/resiko rendah.
Pemangsa serangga, termasuk
serangga hama. 3. Crocidura orientalis Jentink, 1890
Status konservasi: Nama Indonesia:
RI: tidak dilindungi. Cucurut ekor gundul.
IUCN:least concern/resiko rendah. Sebaran di Indonesia:
Endemik Jawa
2. Crocidura monticola Peters, 1870 Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Nama Indonesia: Kaliwadas, Bambangan.
Cucurut kecil. Ciri pengenal:
Sebaran di Indonesia: Cucurut ini mempunyai moncong
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa panjang. Warna tubuh bagian atas coklat
Tenggara, Maluku. abu-abu, sedangkan bagian perutnya
Lokasi ditemukan di G. Slamet: berambut abu-abu gelap. Ekornya
Kaliwadas. panjang dan tidak berambut. C.
Ciri pengenal: orientalis merupakan satu-satunya
Ukuran tubuhnya kecil, moncongnya cucurut yang ekornya tanpa rambut.
panjang. Rambut tubuhnya berwarna Panjang kepala dan badan 65,12–95,02
coklat keabu-abuan, ekornya berwarna mm, ekor 55,32 - 61,27 mm.
114
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
115
Maharadatunkamsi
sebagai pemencar biji dan penyerbuk setelah dikeringkan biji aren akan
bunga. Di wilayah G. Slamet tercatat berkecambah setahun kemudian.
enaam spesies kelelawar pemakan buah Satwa pemakan serangga, antara
(Aethalops alecto, Chironax melanoce- lain kelelawar pemakan serangga dari
phalus, Cynopterus brachyotis, C. kelompok Microchiroptera (Arielulus
horsfieldi, C. sphinx dan C. circumdatus, Hipposideros ater,
tittahecheilus) dan satu kelelawar Miniopterus pusillus, M. schreibersi
pemakan nektar (Macroglossus dan Myotis muricola), tupai (Tupaia
sobrinus). Sistem pencernaannya yang javanica) dan cecurut (Crocidura
unik dan berlangsung cepat menyebabkan brunnea, C. monticola dan C.
biji yang keluar bersama kotorannya orientalis) mempunyai fungsi alami
menjadi lebih cepat berkecambah. Di sebagai pengendali populasi serangga di
samping itu kemampuan terbangnya alam, termasuk serangga hama. Mamalia
yang cukup jauh menjadikan kelelawar kecil pemakan serangga ini memiliki
sebagai satwa yang efektif dalam berbagai peranan penting bagi kehidupan
pemencaran biji. manusia yaitu secara ekologi berperan
Tidak berbeda dari kelelawar penting dalam rantai makanan, dengan
pemakan buah, berbagai jenis tikus, bajing memakan serangga, mereka dapat
dan jelarang yang hidup di G. Slamet membantu mengatur keseimbangan
berperan juga sebagai pemencar biji. ekosistem dalam pengendalian populasi
Satwa-satwa ini dapat berperan sebagai serangga termasuk serangga hama yang
kunci utama untuk menjaga dan sangat merugikan (Healy 1994).
memulihkan kondisi vegetasi kawasan G. Berbagai spesies karnivora kecil
Slamet. Dengan demikian, mereka yang hidup di G. Slamet berperan sebagai
mempunyai fungsi penting alami yaitu ikut predator dalam suatu ekosistem untuk
mempertahankan keanekaragaman pengendali mamalia kecil lainnya.
tumbuhan hutan dan sebagai agen dalam Dengan demikian karnivora kecil
regenerasi hutan (Kitchener et al. 1990 memainkan peranan yang penting dalam
dan Utzurrum 1995). menjaga keseimbangan Ekologi hutan.
Musang luwak (Paradoxurus Karnivora yang tercatat keberadaannya
hermaphroditus) mempunyai peran di G. Slamet dan berperan sebagai
sebagai pemencar biji tumbuhan, antara predator yaitu garangan Jawa (Herpestes
lain aren, kopi dan lain-lain. Selain itu, javanicus), biul (Melogale orientalis),
peranan musang luwak dalam teledu sigung (Mydaus javanensis),
perkecambahan biji aren sangat penting. musang luwak (Paradoxurus
Menurut penduduk setempat, biji aren hermaphroditus) dan kucing kuwuk
yang keluar bersama kotoran musang, Prionailurus bengalensis). Kelima
setelah dikeringkan akan berkecambah spesies karnivora ini memiliki peran
dalam waktu sebulan. Sedangkan tanpa sebagai penyeimbang ekosistem
melalui saluran pencernaan musang, terutama sebagai predator satwa yang
berukuran kecil seperti tikus, bajing dan
116
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
117
Maharadatunkamsi
kelestariannya. Hal ini ditunjukkan oleh Oleh karena itu kehadirannya dalam
adanya spesies-spesies mamalia kecil populasi yang cukup sangat diperlukan
komensal yaitu tikus rumah (Rattus bagi keseimbangan dan kelestarian
tanezumi) dan tikus polinesia (Rattus ekosistem.
exulans) yang hidup di dalam hutan Adanya spesies yang endemik Jawa,
primer dan sekunder G. Slamet. Hal ini dilindungi perundang-undangan, khas
dapat terjadi seiring dengan meningkatnya pegunungan dan mempunyai Status
kerusakan hutan dan semakin maraknya konservasi internasional serta
sistem agroforestri dan usaha pertanian mempunyai peran di alam penting,
di sekitar G. Slamet, serta kebakaran mengisyaratkan bahwa berbagai spesies
hutan di kawasan G. Slamet. Mengingat tersebut rawan punah.
pentingnya kawasan hutan di G. Slamet Dinilai perlu dilakukan koordinasi
sebagai penunjang kehidupan manusia antar pemangku kepentingan yang lebih
maka berbagai tipe ekosistem di kawasan baik dalam hal mengelola ekosistem G.
tersebut harus dilestarikan; sedangkan Slamet dan menetapkan luas hutan alam
kelestarian ekosistem yang ada antara sesuai dengan fungsi yang diembannya.
lain sangat tergantung pada keutuhan dan
komposisi spesies mamalia kecil yang UCAPAN TERIMA KASIH
ada sehingga mamalia kecil di kawasan
ini juga harus dilestarikan. Penulis menyampaikan terima kasih
kepada Kepala Puslit Biologi-LIPI dan
KESIMPULAN Kepala Bidang Zoologi yang telah
memberikan dukungan dan kepercayaan
G. Slamet sangat berperan dalam untuk pelaksanaan penelitian ini. Terima
menyimpan air hujan sehingga tidak kasih kami ucapkan kepada Kementerian
menimbulkan banjir, dan Riset dan Teknologi yang telah
mendistribusikan sampai akhir musim menyalurkan Dana Insentif RISTEK
kemarau. Fungsi ini hanya dapat berjalan bagi peneliti dan perekayasa 2010. Kami
dengan baik jika ekosistem hutannya menyampaikan terima kasih kepada
dalam keadaan utuh; disamping luas Kepala Perum Perhutani Banyumas
daerah tangkapan air yang mencukupi Timur yang memberikan ijin untuk
luasnya. melakukan penelitian di kawasan G.
Hasil penelitian khusus tentang Slamet. Terima kasih kami sampaikan
mamalia kecil menunjukkan bahwa di G. kepada Nanang Supriatna, Yuli Sulistia
Slamet terdapat 31 spesies mamalia kecil. Fitriana dan Tatag Bagus atas
Beberapa spesies memiliki fungsi ekologi kerjasamanya dalam persiapan dan
membantu penyerbukan berbagai spesies pelaksanaan tugas di lapangan. Sdr.
tumbuhan, spesies-spesies lainnya Anwar, Agus, Sutar, Timan, Tulus dan
berfungsi sebagai pemencar biji, dan Sariman membantu untuk kelancaran
spesies lainnya lagi berpotensi sebagai pekerjaan di lapangan.
pengendali ledakan populasi serangga.
118
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung
120
Ekologi Gunung Slamet
Eko Sulistyadi
Lab. Ekologi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta
Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: eko_bio33@yahoo.co.id
ABSTRACT
121
Eko Sulistyadi
122
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
yang ditemukan, koordinat tempat ordo dan delapan familia. Mamalia yang
penemuan, jumlah individu dan waktu. tercatat sebagian besar termasuk ordo
Untuk menentukan spesies primata karnivora dan primata, selain itu
kadang-kadang perlu dilakukan dengan ditemukan pula anggota ordo
menggunakan alat bantu binokuler 8 X Artiodactyla dan rodentia. Terdapat
30. Koordinat dan ketinggian tempat sembilan spesies mamalia yang berhasil
temuan diukur dengan GPS. Sedangkan diidentifikasi berdasarkan pertemuan
identifikasi spesies mamalia merujuk langsung yang sebagian besar merupakan
pada Payne dkk. (2000), Maryanto dkk. kelompok primata. Kelompok karnivora
(2008) dan Suyanto (2003). Informasi dan artiodactyla lebih banyak
pelengkap didapatkan dari wawancara diidentifikasi berdasarkan temuan jejak
dengan penduduk yang biasa melakukan kaki, kotoran, jejak bekas makan dan
kegiatan di dalam hutan. suara. Dari seluruhn spesies mamalia
yang tercatat, sebanyak 6 spesies aktif
HASIL DAN PEMBAHASAN di siang hari (diurnal), 4 spesies aktif di
malam hari (nokturnal), dan 3 spesies
Pengamatan di lereng selatan G aktif pada siang dan malam hari (Tabel
Slamet berhasil mengidentifikasi adanya 1).
8 famili mamalia yang terdiri atas 13 Berdasarkan tipe habitat dan
spesies; sedangkan hasil pengamatan di ketinggian tempat ditemukannya, terlihat
lereng timur berhasil mengidentifikasi 5 bahwa mamalia besar di G Slamet
famili yang terdiri atas 7 spesies. Nama cenderung lebih menyukai habitat hutan
pesies dan jumlah individu yang alami (primer dan sekunder) dengan
ditemukan di lereng selatan G Slamet ketinggian yang sangat terkait dengan
(Gambar 1). kondisi vegetasi dan kelerengan.
Pengamatan di jalur Baturraden Distribusi mamalia besar berdasarkan
kawasan lereng selatan G Slamet tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 2.
mencatat 13 spesies mamalia dari empat
140 130
120
100 87
Jumlah
80 jml indv
60 jml jenis
38
40
11 12
20 4
0
1 2 3
Habitat
Gambar 1. Perbandingan jumlah individu dan jumlah spesies mamalia di lereng selatan G
Slamet; (1) hutan primer, (2) hutan sekunder, (3) HPT
123
Eko Sulistyadi
Felidae
Panthera pardus SK Mentan No 421/Kpts/Um /8
Macan tutul Macan tutul D/ N Apendix I LC
(Linnaeus, 1758) /1970 dan PP No. 7 tahun 1999
Felis bengalensi s (Kerr, SK Mentan N0.66/Kpts/Um/2/
Kucing elek Kucing hutan N Apendix II LC
1792) 1973 dan PP No. 7 tahun 1999
Viverridae
Paradoxurus
Luwak Musang luwak N - - -
hermaphroditus (Pallas,
Canidae
SK Mentan No. 247/Kpts/
Ajag Anjing hutan Cuon alpinus (Pallas 1811) D/N EN
Um/4/1979
Herpestidae
Herpestes javanicus (É.
Garangan Musang D/N LC -
Geoffroy, 1818)
Mustelidae
Mydaus javanensis SK Mentan
Sigung Sigung N - LR
(Desmarest, 1820) N0.247/Kpts/Um/4/1979
Melogale everetti (Thomas,
Biyul Biyul N - - -
1895)
Cercophitecidae
Presbytis comata freedricae SK Mentan No. 247/Kpts/Um/
Rekrekan Rekrekan / Surili D Apendix II EN
(Desmarest, 1822) 4/1979 dan PP No. 2 tahun 1999
Trachypithecus auratu s É. SK Menhutbun No. 733/Kpts-
Lutung Lutung budeng D Apendix II EN
Geoffroy, 1812 II/1999
Macaca fascicularis
Kethek Kera ekor panjang D - - -
(Raffles, 1821)
Hylobatidae
Hylobates moloch Perlindungan Binatang Liar 1931
Uwa-uwa Owa jawa D Apendix I EN
(Audebert, 1798) dan PP No.7 tahun 1999
Cervidae
Muntiacus muntjak Perlindungan Binatang Liar 1931
Kidang Kijang muncak D/ N - NT
Zimmermann, 1780 dan PP No.7 tahun 1999
Suidae
Sciuridae
Callosciurus notatus
Bajing Bajing kelapa D - - -
(Boddaert, 1785)
Ratufa bicolor (Sparrman, SK Mentan N0.66/Kpts/Um/2/
Jelarang Jelarang D Apendix II NT
1778) 1973 dan PP No. 7 tahun 1999
Keterangan: *) D = diurnal; N = nokturnal. Sumber dari buku Mamalia Dilindungi Perundang-
undangan Indonesia (2008, Ibnu Maryanto dkk). Keterangan status IUCN: EN: Endangered, CR:
Critically Endangered, LC: Least Concern, LR: Lower Risk/Near Threatened, VU: Vulnerable,
EX: Extinct, EW: Extinct in the Wild, DD: Data Deficient, NE: Not Evaluated.
124
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
distribusi spesies mamalia berdasarkan dengan nilai indeks Shannon (H: 2,870);
ketinggian tempat di lereng selatan dan hal ini disebabkan karena spesies yang
lereng timur G Slamet dapat dilihat pada ditemukan di habitat ini cukup banyak
Tabel 3. dengan populasi yang merata.
Keanekaragaman spesies mamalia Heterogenitas sumber daya yang tinggi
besar di G Slamet dihitung dengan pada hutan primer memberikan dukungan
menggunakan indeks Shannon, kehidupan yang cukup bagi banyak
sedangkan kemerataan spesies dihitung spesies fauna sehingga keanekaragaman
dengan menggunakan indeks kemerataan spesies faunanya cenderung lebih tinggi.
Shimpson, sedangkan kekayaan spesies Kekayaan jenis mamalia besar di
dihitung dengan menggunakan indeks lereng selatan G Slamet didominasi oleh
kekayaan spesies Margalef. Diketahui kelompok karnivora (7 spesies, 46,7%)
bahwa habitat hutan primer memiliki nilai yaitu Panthera pardus, Felis
indeks keanekaragaman dan kemerataan bengalensis, Mydaus javanensis,
kekayaan spesies yang lebih tinggi Paradoxurus hermaphro-ditus dan
dibandingkan dengan habitat lainnya. Melogale everetti, diikuti oleh kelompok
Nilai indeks tersebut dapat dilihat pada primata (4 spesies, 26,7%) yaitu
Tabel 4. Presbytis fredericae, Trachypithecus
Keanekaragaman spesies mamalia auratus, Macaca fascicularis dan
di hutan primer diketahui paling tinggi Hylobates moloch, kelompok
125
Table 3. Distribusi spesies mamalia berdasarkan ketinggian tempat di G Slamet.
126
LERENG SELATAN LERENG TIMUR
SPESIES
600-699 700-799 800-899 900-999 1000-1099 1500-1599 1600 - 1699 1700 -1799 1800 - 1899 1900-1999 2000-2099 2100 - 2199 2200 - 2299 >2300
Hylobates m oloch - ? ? ? - - - - - - - - - -
Eko Sulistyadi
Macaca fascicularis ? ? ? ? - - - - - - - - - -
Muntiacus m untjak - - ? - - - - - - - - - - *
Panthera pardus - ? ? - - - - - - * - - - *
Presbytis comata freedricae ? ? ? ? - - - - - - * * - -
Sus scrofa ? ? ? ? ? - - * ? *? *? ? ? -
Trachypithecus auratus - ? ? ? ? - - - - * *? ? * -
Callosciurus notatus - - ? ? - - - - - - - ? - -
Cuon alpinus - - - - - - - - - * - - - *
Felis bengalensis ? ? - - - * - - - * - - - -
Herpestes javanicus - - - - - * - - - - - - - -
Melogale everetti - ? - - - - - * ? * * - -
Mydaus javanensis - ? ? ? ? - - * - - ? *? - -
Paradoxurus herm aphroditus - ? ? ? - - - - - *? - - - -
Ratufa bicolor - ? ? - - - - ? - - - - - -
Keterangan:
√ :petemuan langsung dan tidaklangsung
*: Informasi/wawancara/data sekunder
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
127
Eko Sulistyadi
128
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
129
Eko Sulistyadi
hanya bisa hidup pada habitat spesifik. komunitas mamalia besar, hanya jejak
Dengan demikian tekanan akibat aktivitas babi hutan yang mendominasi sebagian
manusia seperti pengalihfungsian hutan besar kawasan. Babi hutan bisa
menjadi hutan produksi, perkebunan atau ditemukan mulai dari hutan alami sampai
pun ladang sangat mengancam dengan kawasan pinus dan damar pada
kelestarian spesies mamalia. ketinggian 1.700 – 2.200 m. Menurut
Keanekaragaman spesies mamalia Payne (2000) babi hutan termasuk
di lokasi penelitian termasuk kategori spesies omnivore sehingga memiliki
sedang, hal ini ditunjukkan oleh nilai rentang pakan yang luas akibatnya
indeks Shannon sebesar 2,845. persebarannya cenderung merata dan
Maharadatunkamsi & Maryati (2008) luas. Hanya satu spesies primata yang
menyebutkan bahwa keanekaragaman berhasil diidentifikasi yaitu lutung budeng
spesies disebut tinggi jika mempunyai yang ditemukan di hutan alami pada
indeks Shannon lebih dari 3,5. ketinggian 2.000 – 2.200 m.
Interpretasi terhadap suatu indeks Terdapat dua spesies mamalia yang
keanekaragaman spesies sangat tercatat ditemukan sampai pada area
tergantung pada rentang nilai indeks pemukiman yaitu kucing hutan dan
tersebut. Pada indeks Shannon diketahui garangan. Spesies mamalia lain yang
bahwa nilai maksimal tidak terbatas tercatat antara lain jelarang, biyul, sigung,
sehingga interpretasi sangat tergantung musang luwak dan bajing. Lutung
pada nilai prediksi maksimal jumlah budeng hanya tercatat sekali selama
spesies yang dapat ditemukan. pengamatan. Spesies primata lainnya
Keanekaragaman spesies mamalia di tidak tercatat selama pengamatan.
hutan primer diketahui paling tinggi Macan tutul dan kijang muncak tidak
dengan nilai indeks Shannon (H: 2,870) dapat dijumpai secara langsung dan
disebabkan karena spesies yang hanya diperoleh dari keterangan
ditemukan di habitat ini cukup banyak penduduk yang biasa melewati jalur
dengan populasi yang merata. pendakian tersebut. Di Malang yang
Heterogenitas sumber daya yang tinggi letaknya di sebelah selatan dari
pada hutan primer memberikan suplai Bambangan, observasi menunjukkan
yang cukup bagi berbagai spesies fauna fakta yang tidak jauh berbeda. Kondisi
sehingga keanekaragaman spesies kawasan yang hampir sama menjadikan
faunanya cenderung lebih tinggi. komunitas mamalia besar yang menghuni
Vegetasi hutan primer atas dan hutan Malang hampir sama dengan lokasi awal
sekunder memiliki daya dukung yang di Slamet. Spesies primata tidak berhasil
lebih baik untuk mamalia sebagai tempat tercatat di lokasi ini, hanya spesies babi
mencari makan, tidur, perlindungan dari hutan yang dapat ditemui dari jejak-
pemangsa dan berkembangbiak jejaknya (Tabel 3).
Maharadatunkamsi 2008). Sebagai komponen biotik dalam
Hasil pengamatan menunjukkan ekosistem, mamalia memiliki fungsi yang
bahwa lereng timur G Slamet miskin penting dalam menjaga keseimbangan
130
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
131
Eko Sulistyadi
bagian barat sampai di G Slamet sebagai bentang alam (Smiet, 1992 dan Fischer,
batas paling timur. Hingga saat ini masih 2007) juga menggambarkan adanya
terjadi perdebatan di antara primatolog peningkatan kebutuhan lahan untuk
dan ahli taxonom mengenai perbedaan aktivitas manusia. Kondisi ini memerlu-
species dan subspesies antara rekrekan kan perhatian yang serius dari berbagai
yang ada di Jawa Tengah, surili yang ada pihak yang terkait dalam upaya menjaga
di Jawa Barat. Beberapa pendapat dan keletarian ekosistem G Slamet secara
penilaian sebelumnya menyatakan keseluruhan dengan tetap memperhatikan
bahwa Colobine yang terdapat di Jawa aspek kesejahteraan masyarakat sekitar.
Tengah adalah species tersendiri atau Upaya pemberdayaan masyarakat
dipisahkan dari Presbytis comata secara aktif sebagai salah satu bagian
(Brandon-Jones 1995). Di lain pihak dari upaya konservasi ekosistem hutan
Nijman (1997; 2001) dalam Setiawan dkk G Slamet hendaknya segera disosialisasi-
(2007) mengungkapkan bahwa beberapa kan dan dilaksanakan. Potensi
perbedaan tersebut merupakan variasi keanakaragaman hayati yang tinggi
intraspesifik yang sangat alami. Spesies sedapat mungkin dikembangkan sehingga
yang hidup pada daerah peralihan pada manfaatnya dapat dirasakan oleh
umumnya memiliki karakteristik khas masyarakat.
terkait aspek biologi dan ekologinya Dari hasil pengamatan dan
dengan demikian akan sangat penting wawancara, diperoleh informasi adanya
untuk menjaga kondisi khas hutan G kegiatan pemanfaatan sumber kekayaan
Slamet demi kelestarian spesies-spesies hayati yang bernilai ekonomis oleh
flora dan fauna yang ada. Sebagai salah penduduk baik itu tumbuhan maupun
satu upaya dalam menjaga kelestarian G hewan. Beberapa spesies tumbuhan
Slamet dan ekosistemnya maka ditebang dan dimanfaatkan untuk bahan
penetapan dan pengelolaan G Slamet bangunan dan furniture, beberapa spesies
sebagai sebuah kawasan konservasi hewan juga ditangkap untuk diperdagang-
adalah sebuah pilihan yang tepat dan lebih kan. Di beberapa tempat yang dilalui
berdasar dari aspek hukum. selama observasi ditemukan rumpun
Faktor aktivitas manusia baik dalam bambu, hal ini menunjukkan telah terjadi
bentuk penggunaan lahan untuk gangguan terhadap ekosistem. Untuk itu
pertanian/ perkebunan, perburuan satwa perlu dilakukan upaya perlindungan dan
liar, pencurian kayu dan lain-lain pelestarian sumber daya hayati yang ada
memberikan kontribusi terhadap disertai pengelolaan dan pemanfaatan
terganggunya habitat satwa liar. secara lestari. Penegakan hukum secara
Beberapa kajian sosial ekonomi dan lebih tegas dan juga pengawasan yang
atraksi wisata di G Slamet seperti yang lebih ketat sangat penting untuk dilakukan
dilakukan oleh Leo (2008) menunjukkan demi meminimalisir gangguan ekosistem
adanya keterkaitan yang erat antara akibat aktivitas menusia. Hal ini akan
aktivitas manusia dengan kondisi alam. lebih efektif jika melibatkan peran serta
Kajian tataguna lahan dan konservasi dari masyarakat.
132
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
133
Eko Sulistyadi
134
Ekologi Gunung Slamet
Wahyu Widodo
Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Jl Raya Jakarta-Bogor KM46 Cibinong16911
ABSTRACT
Bird Diversity at Slamet Mountain Forest, Central Java. The researches were done on May
2009, March 2010 and March 2011. The research used “Point Count” method. The results
showed that of 103 birds species observed in the southern slope of Mt. Slamet, 66 species
were found on nature forest and 48 species were discovrtrd on restricted product forest. From
74 species of birds observed in the eastern slopes of Mt. Slamet: 36 species were found in
nature forest and 14 species of birds were found in the restricted product forest. There is no
2
significant preference habitat of the birds (X =2.4, df =1, p>0.05). However, most of them
prefered to occur on nature forest for foraging and breeding. From vertical distibution point of
view, 105 spesies were significantly distribute on 0.1-5 m high of vegetation in the nature forest
2 2
in southern slope (X = 162.69, df = 6, p<0.01), 45 species were on 30.1-35 m or top canopies (X
= 19.08, df= 6, p<0.05), 49 species were found more frequently on 701-800 m high, and 36
2
species were on 2001-2100 m high significantly (X = 82.03, df=11, p<0.05).The high value of
Shannon and Simpson diversity index, evenness and species richness were found in the
southern slope on the nature forests, while its low value found in the eastern slope on the
restricted product forests. Ninety two species of birds found in this study survey are insect
feeder (insectivore), therefore the extinction of those birds species from Mt. Slamet forests
may inflict explotion of pest insects. There are 26 restricted-range birds’ species which actually
to establish in Mt. Slamet IBA’s, factually only 17 species were heard and seen directly.
However, Mt.Slamet forest is important to be conserved as one of 8’s Important Bird Area in
central Java Province.
Key words: Slamet mountain, species diversity, restricted-range bird, mountain forest,
habitat, important bird area (IBA).
135
Wahyu Widodo
136
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
137
Wahyu Widodo
103 jenis. Hasil ini menunjukkan jumlah tertinggi, yaitu 10,4. Sedangkan nilai
lebih banyak dibandingkan dengan di kekayaan jenis tergolong sedang terdapat
wilayah Bambangan, Purbalingga yang di hutan produksi Baturaden dan hutan
tercatat 74 jenis burung. Pada Tabel 1 alam Bambangan, yaitu masing-masing
terlihat secara rinci jumlah jenis burung R=7,76 dan R=6,19. Nilai kekayaan jenis
pada masing-masing habitat di lokasi burung terendah adalah R=2,72 pada
penelitian. Pada habitat hutan alam di habitat hutan produksi terbatas
lereng selatan G.Slamet terdapat 66 jenis Bambangan.
burung dan 48 jenis burung pada habitat Burung-burung di lokasi penelitian
hutan produksi terbatas. Selanjutnya, sebagian besar terlihat menyebar lebih
pada habitat hutan alam di lereng timur merata di habitat hutan alam daripada di
G.. Slamet tercatat 36 jenis burung dan hutan produksi terbatas. Hal ini terlihat
14 jenis burung pada habitat hutan dari nilai indeks kemerataan Shannon (J)
produksi terbatas. Hasil persamaan jenis di dua habitat tersebut. Di hutan alam
burung di dua tempat penelitian, Baturaden dan Bambangan ternyata nilai
menunjukkan bahwa nilai indeks J masing-masing adalah 0,87 dan 0,84,
kesamaan jenis burung (IS) di lereng hasil ini relatif lebih besar dibandingkan
selatan dan timur G. Slamet adalah dengan nilai kemerataan di hutan
55,3%. Selain itu, pada Tabel 1 produksi, yaitu 0,78 dan 0,79.
disampaikan nilai indeks keragaman
Shannon (H) tertinggi adalah 3,65 Pemilihan Tipe Habitat
terdapat pada habitat hutan alam Jumlah kehadiran jenis burung pada
Baturaden. Selanjutnya diikuti 3,09 dan masing-masing tipe habitat di lokasi
3,02, masing-masing di hutan alam penelitian (Tabel 2).
Bambangan dan hutan produksi Uji Chi-kuadrat menunjukkan bahwa
Baturaden. Nilai H terendah, yaitu 2,09 perbedaan jumlah jenis burung di habitat
terdapat pada habitat hutan produksi hutan alam dan di hutan tanaman
terbatas Bambangan. Dengan produksi terbatas tampak tidak signifikan
menggunakan indeks keragaman (X2=2,4, db=1, p>0,05). Walaupun, dari
Simpson (D), keragaman tertinggi juga Tabel 2 mengindikasikan bahwa sebagian
terdapat di hutan alam Baturaden, yaitu besar burung-burung di hutan G. Slamet
D=23,59. Selanjutnya berturut-turut nilai lereng selatan maupun lereng timur
D masing-masing 13,51 dan 12,19 di cenderung lebih banyak yang memilih
habitat hutan produksi Baturaden dan habitat hutan alam.
hutan alam Bambangan, dan nilai D Ditinjau dari pemanfaatan tipe
terendah di hutan produksi terbatas habitat di G. Slamet, 56-62% jenis burung
Bambangan, yaitu 6,52. dapat dijumpai menempati hutan alam,
Selain keragaman jenis burung di baik sebagai tempat untuk mencari pakan
hutan alam Baturaden tinggi, hasil maupun bersarang dan tempat istirahat.
penelitian menunjukkan bahwa nilai Di antara kelompok pemangsa, terlihat
kekayaan jenis burung (R) juga tergolong elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang
138
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
Tabel 1. Nilai indeks keragaman, kemerataan dan kekayaan jenis burung di lokasi penelitian
LERENG S ELATAN LERENG TIMUR
Parameter yang
(Baturaden) (Bambangan)
dihitung
HA HPT HA HPT
N 505 428 286 118
S 66 48 36 14
D 23,59 13,51 12,19 6,52
H 3,65 3,02 3,09 2,09
J 0,87 0,78 0,84 0,79
R 10,4 7,76 6,19 2,72
Keterangan: N=total individu, S=total jenis, D=indeks keragaman Simpson, H=indeks keragaman
Shannon, J=indeks kemerataan Shannon, R=indeks kekayaan jenis Margalef. HA=hutan alam,
HPT=hutan produksi terbatas.
Tabel 2. Jumlah kehadiran jenis burung pada masing-masing tipe habitat di dua lokasi
penelitian
Jenis habitat
Lokasi Jumlah
Hutan Hutan
Baturaden 66 48 114
Bambangan 36 14 50
Jumlah 112 62 164
139
Wahyu Widodo
tanaman area Kebun Raya Baturaden. produksi pinus, puspa, kasia dan suren
Jenis lain yang termasuk jarang adalah ternyata tidak menunjukkan perbedaan
gaok (Corvus macrorhynchos). yang nyata (X 2=4,76, db=6, p>0.05),
Berdasarkan jenis burung sebaran Tampaknya, burung-burung di hutan
terbatas di hutan tanaman produksi tanaman produksi terbatas lereng timur
terbatas hanya ditemukan beberapa jenis, G.Slamet menyebar pada beberapa strata
seperti elang jawa dan ayam hutan hijau perjumpaan karena komoditi kayu yang
(Gallus varius). ditanam di lahan hutan produksi terbatas
relatif masih muda.
Stratifikasi Perjumpaan Kondisi di atas berbeda dengan di
Stratifikasi perjumpaan burung pada lereng selatan G. Slamet. Di hutan
tiap tingkatan tempat hinggap di pohon tanaman produksi lereng selatan G.
atau lantai hutan, yaitu dari 0-5 m hingga Slamet lebih dominan ditanami dengan
30,1-35 m atau lebih disajikan pada Tabel tanaman damar yang di tanam sejak
3. tahun 1970-an. Uji Chi-Kuadrat
Berdasarkan uji statistik dengan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
Chi-Kuadrat menunjukkan adanya signifikan pada 7 strata perjumpaan jenis
kecenderungan yang sangat signifikan burung di HPT lereng selatan G. Slamet/
(X2=57,93, db=6, p<0,01) di antara jenis jalur Baturaden (X 2 =19,08, db=6,
burung yang teramati pada tiap strata p<0,05). Perbedaan semakin terlihat di
perjumpaan di habitat hutan alam lereng habitat hutan alam lereng selatan gunung
timur G.Slamet/jalur Bambangan (Tabel yang dihitung dan diuji berdasarkan 7
3). Jumlah jenis burung di hutan alam G. strata perjumpaan mulai dari lantai hutan
Slamet lereng timur tersebut terbanyak hingga puncak kanopi (X2=162,69, db=6,
menempati strata I atau 0-5 m, yaitu 43 p<0,01). Kondisi hutan alam lereng
jenis dan di strata VII 30 jenis, 1-35 m selatan G.Slamet memang relatif masih
sebesar 42 jenis. Namun, frekuensi jenis lebat dibandingkan dengan kondisi hutan
burung yang dijumpai pada tiap strata di alam G. Slamet lereng timur. Frekuensi
lereng timur G. Slamet pada habitat hutan perjumpaan jenis burung di lereng selatan
Tabel 3. Stratifikasi frekuensi perjumpaan burung pada tiap tingkatan tempat hinggap di
pohon atau lantai hutan yang dijumpai di tiap lokasi penelitian
140
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
G. Slamet terbanyak dijumpai pada strata aktif mengikutinya. Selain itu juga aktif
bawah (I) atau 0-5 m, yaitu 105 jenis dan diikuti dengan sriang-sriang (Lophozos-
terbanyak kedua adalah pada strata II terops javanicus). Pada strata VII yaitu
atau 5,1-10 m, yaitu 45 jenis. Hal ini bagian atas atau top kanopi (30,1-35 m
mengindikasikan bahwa burung-burung atau lebih) ditempati oleh burung-burung
di lereng selatan G. Slamet cenderung kelompok Pycnonotidae, Dicaeidae,
memilih lapisan hutan bagian bawah. Cuculidae dan Nectariniidae; di antaranya
Burung-burung yang umum dijumpai adalah Ixos virescens, Dicaeum
di lereng selatan G. Slamet dalam trigonostigma, Dicaeum sanguinolen-
kategori strata bawah (I) adalah tum, Aethopyga mystacalis, Cuculus
kelompok Timaliidae, Turdidae dan saturatus, Cuculus merulinus,
Sylviidae. Di antaranya adalah Pteruthius flaviscapis, dan Aethopyga
Napothera epilepidota, Pnoeypyga singalensis. Burung-burung yang berada
pusila, Stachyris thoraica, Stachyris pada strata top kanopi lainnya, yang
melanothorax, Alcippe pyrrhoptera, hanya terdengar dari suaranya secara
Brachypteryx leucophrys, Cochoa keras dan terus menerus adalah jenis dari
azurea dan Orthotomus cucullatus. kelompok suku Capitonidae, yaitu
Selain itu juga dijumpai Criniger bres Megalaima armillaris dan Megalaima
(suku Pycnonotidae) dan Arachnothera corvina.
longirostra (suku Nectariniidae).
Burung-burung pada strata bawah dikenal Sebaran Berdasarkan Ketinggian
memiliki suara kicauan yang bagus dan Tempat
merupakan habitat utama sebagian besar Hasil pengamatan sebaran jenis
jenis burung-burung sebaran terbatas dan burung ditinjau berdasarkan ketinggian
terancam punah di pegunungan Slamet. tempat di lokasi penelitian secara rinci
Burung pada strata tengah, yaitu dari disajikan pada Tabel 4. Terlihat adanya
5,1 hingga 15 atau 20 meter, terlihat dalam perbedaan sangat nyata perjumpaan jenis
observasi terdiri atas beberapa flok burung ditinjau berdasarkan interval
campuran, yang mencari pakan bersama- ketinggian tempat . Di lereng selatan G.
sama. Di antaranya adalah kelompok Slamet (Baturaden) sebanyak 49 jenis
Siitidae, Muscicapidae dan Zosteropidae. burung cenderung memilih menempati
Dalam kategori ini, jenis burung sebaran ketinggian 701-800 m dan di lereng timur
terbatas di hutan alam teramati lebih G. Slamet (Bambangan) sebanyak 36
sering saling berasosiasi dengan jenis lain. jenis burung cenderung memilih
Kelompok Sittidae (Sitta azurea) menempati ketinggian 2001-2100 m. dpl.
mencari pakan serangga pada sepanjang (X2=82,03, db=11, p<0,01)
permukaan batang pohon, kemudian
serangga-serangga yang lolos dan Jenis Burung Sebaran Terbatas
terbang ditangkap oleh jenis burung Jenis burung sebaran terbatas di
sebaran terbatas dari kelompok burung lereng selatan dan lereng timur hutan
kipas (Rhipidura phoenicura) yang pegunungan Slamet disajikan pada Tabel
141
Wahyu Widodo
5. Hasil pengamatan di lereng selatan G. Slamet relatif lebih lebat dan terdiri atas
Slamet (Baturaden, Banyumas), dijumpai semak-semak dan pepohonan yang
17 jenis burung sebaran terbatas. Di tingginya bervariasi dari 0 hingga 35 m
lereng timur G.Slamet (Bambangan, atau lebih.
Purbalingga) hanya ditemukan 8 jenis Namun, di lereng selatan G. Slamet
burung sebaran terbatas. semakin naik ketinggian tempat
Nilai keragaman jenis burung di cenderung jumlah jenis burung semakin
lokasi penelitian menunjukkan berkurang (Tabel 4). Pada ketinggian
keragaman di hutan alam G.Slamet lereng 701-800 m dpl merupakan tempat
selatan termasuk lebih tinggi terbanyak dijumpai burung, yaitu 49 jenis.
dibandingkan dengan di lereng timur. Sedangkan di lereng timur G.Slamet
Hutan alam G. Slamet lereng selatan terlihat justru burung-burung lebih banyak
memiliki total jenis (S), indeks keragaman menyebar di lokasi hutan alam yang lebih
(H), dan indeks kekayaan jenis burung tinggi (2001-2100 m). Whitten et. al.
(R) relatif lebih tinggi, yaitu S=66, (1999) mengklasifikasikan ekosistem
H=3,65, dan R=10,4. Sementara itu, hutan pegunungan ke dalam empat
hutan alam G. Slamet lereng timur macam, yaitu: hutan dataran rendah (0-
memiliki nilai S=36, H=3,09 dan R=6,19. 1200 m. dpl), hutan pegunungan bawah
Jumlah jenis burung di kawasan lereng (1200-1800 m. dpl), hutan pegunungan
timur peg. Slamet tampak lebih sedikit, atas (1800-3000 m.dpl) dan hutan
ini kemungkinan disebabkan bentuk subalpin (>3000 m. dpl). Tingginya jumlah
stratifikasi tumbuhan yang kurang jenis burung di lereng selatan pada
beragam. Struktur dan stratifikasi ketinggian 701-800 m.dpl. dan di lereng
vegetasi lebih penting bagi burung timur pada ketinggian 2000-2100 m. dpl.
daripada komposisi jenis tumbuhan ada kemungkinan berkaitan dengan
(Krebs 1972). Berdasarkan pengamatan ketersediaan vegetasi/tumbuhan yang
kawasan hutan di lereng selatan G. mendukung sebagai tempat mencari
Tabel 4. Sebaran jenis burung ditinjau berdasarkan ketinggian tempat di lokasi penelitian
Ketinggian tempat Frek. perjumpaan
Lokasi
(m dpl.) jenis burung
Baturaden 601-700 36
701-800 49
801-900 32
901-1000 33
1001-1100 11
1101-1200 20
Bambangan 1501-1600 10
1601-1700 7
1701-1800 14
1801-1900 13
1901-2000 24
2001-2100 36
142
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
Baturaden/ Bambangan/
No. Nama Suku Nama Jenis
Lereng selatan Lereng
1 Accipitridae Spizaetus bartelsi + -
2 Capitonidae Megalaima corvina + -
3 Capitonidae Megalaima + -
4 Pycnonotidae Pycnonotus + +
5 Pycnonotidae Ixos virescens + +
6 Turdidae Enicurus velatus + -
7 Turdidae Cochoa azurea + -
8 Timaliidae Stachyris thoracica + -
9 Timaliidae Stachyris + +
10 Timaliidae Alcippe phyrroptera + +
11 Timaliidae Crocia albonotatus + -
12 Sylviidae Tesia superciliaris + +
13 Muscicapidae Rhipidura + +
14 Muscicapidae Rhipidura euryura + -
15 Aegithalidae Psaltria exilis + -
16 Nectariniidae Aethopyga eximia + +
17 Zosteropidae Lophozosterops + +
Keterangan: +=dijumpai; -=tidak dijumpai
pakan atau bersarang. Bagi burung, langka dan hanya pernah diketahui
ketersediaan makanan merupakan faktor beberapa ekor dari pegunungan. tertinggi
pembatas penyebaran yang lebih besar seperti Pangrango, Tengger, dan Yang
pengaruhnya daripada suhu, meskipun (MacKinnon 1990). Jenis burung sebaran
beberapa jenis dapat menempuh terbatas lainnya, seperti poksai kuda
perjalanan melalui habitat yang (Garrulax rufrifrons) juga tidak
tampaknya tidak ramah untuk mencapai terpantau langsung dalam penelitian. G.
tempat yang cocok (Whitten et.al. 1999). rufrifrons merupakan jenis burung
Di antara jenis burung sebaran berkicau yang bagus suaranya. Diduga
terbatas yang ditemukan di G. Slamet, populasinya memang sudah sangat sedikit
hanya 17 dari 26 jenis yang seharusnya atau terbatas karena frekuensi
menyebar di G. Slamet (Tabel 5). Tidak penangkapannya juga tinggi. Selain
dapat terpantaunya jenis burung sebaran endemik, G. rufrifrons hanya terdapat
terbatas yang lain mungkin disebabkan di pegunungan Jawa bagian barat dan G.
daerah jelajahnya amat spesifik yang Slamet merupakan daerah sebaran paling
pada saat penelitian tidak dapat timur (MacKinnon et.al. 1998), sehingga
terjangkau, seperti puyuh gonggong tidak ditemukan sampai ke daerah
(Arborophila javanica) dan kenari pegunungan di Jawa Timur. Sementara
melayu (Serinus estherae). Di Jawa, itu jenis burung sebaran terbatas lain yang
kenari melayu telah dikategorikan sangat juga tidak teramati langsung adalah
143
Wahyu Widodo
144
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
semakin sedikitnya kehadiran burung- yang kecil berbentuk runcing bila sudah
burung pemakan serangga. Jenis burung kering sulit dihancurkan oleh perombak,
sebaran terbatas yang datang ke habitat sehingga serangga yang hidup di antara
hutan produksi pun hanya tercatat dua tegakan pinus kurang. Selain itu, tanaman
jenis, yaitu Stachyris melanothorax dan pinus dalam proses menangkap
Stachyris thoracica. Hal ini disebabkan kelembaban memerangi jenis tumbuhan
jenis tumbuhan yang di tanam di HPT didekatnya dengan meluruhkan daun-
bukan sepenuhnya merupakan tanaman daun atau buah yang meracuni tanah bagi
yang menghasilkan bunga, buah, dan biji jenis lain (Mulyanto 2007).
yang dapat dijadikan sebagai sumber Penanaman jenis tanaman di hutan
pakan bagi burung. Jenis tumbuhan pada produksi seharusnya memberikan
hutan produksi terbatas adalah damar, kesempatan lebih besar kepada burung
pinus, puspa, kasia, dan suren relatif untuk datang, mencari pakan, bercumbu,
kurang mendukung untuk kehidupan jenis atau bersarang. Tanaman yang berbunga,
burung. Hal ini disebabkan jenis burung berbuah dan berbiji akan mengundang
sebaran terbatas memerlukan lapisan serangga dan hal itu akan menjadi sumber
bawah hutan yang relatif rapat, pakan bagi berbagai jenis burung.
sedangkan lapisan bawah hutan produksi Pemilihan jenis tanaman seperti sengon
umumnya lebih terbuka, sehingga kurang merupakan tumbuhan berbunga, tetapi hal
mendukung perlindungan, tempat itu kurang medukung keragaman jenis
bersarang maupun sumber pakan. burung lainnya. Bahkan, hasil penelitian
Keragaman jenis burung di hutan menunjukkan bahwa sebagian batang
produksi terbatas dengan tanaman utama pohon sengon di lereng timur G. Slamet
pinus relatif rendah, seperti yang terjadi (sekitar DAS Tungtunggunung-Klawing)
di lereng timur G. Slamet tercatat dihamai oleh serangga (kumbang) yang
sebanyak 14 jenis burung. Keragaman disebut bektor sengon atau Xystrocera
jenis burung yang rendah juga terjadi festiva (Husaeni 2010). Kerugian
pada habitat hutan pinus di luar daerah finansial akibat serangan bektor sengon
G. Slamet, yaitu di Enclave Arban Taman menurut Husaeni mencapai 3,8-10,6%
Nasional Gunung Ciremai, yang pada tanaman sengon yang berumur 4-8
bervariasi antara 14-17 jenis (Noerdjito tahun. Lebih lanjut Husaeni menyatakan
2009). bahwa kurangnya musuh alami pemakan
Noerdjito menegaskan bahwa kebun telur, larva, pupa, dan kumbang bektor
pinus tidak dapat mendukung sengon merupakan faktor penyebab
keanekaragaman jenis satwa sebaik serangan hama bektor sengon pada hutan
hutan alam sehingga kebun pinus di sengon. Menurut Husaeni (2010), salah
kawasan konservasi sebaiknya diubah satu musuh alami bektor sengon adalah
kembali menjadi hutan alam. Rendahnya semut merah. Berdasarkan hasil
jenis burung di hutan pinus mungkin penelitian penulis salah satu jenis burung
berkaitan dengan sifat batang kayu pohon predator telur, larva, dan pupa bektor
pinus yang keras, begitu pula daun pinus sengon yang menggerek batang sengon
145
Wahyu Widodo
146
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
hutan alami dengan strata paling atas pendekatan yang bersifat komprehensif,
terdiri atas pepohonan besar dan tinggi menyeluruh, dan terpadu (Mitchell dkk.
seperti pohon antap (Sterculia 2007).
subpeltata), sumban (Sterculia sp.) dan
klengsar (Pamotia pinnata). Elang jawa KESIMPULAN
juga tercatat mencari mangsa di hutan
damar tua di sekitar Pancuran Tujuh. Secara statistik keragaman jenis
Kehadiran elang jawa di Pancuran Tujuh burung di habitat hutan alam dan hutan
sudah terjadi sejak 1990 hingga 1998. produksi terbatas G. Slamet tidak
Diduga elang jawa berkembang biak menunjukkan perbedaan yang signifikan,
dengan baik karena terlihat adanya namun burung-burung tampak cenderung
pasangan dan juvenil di G. Slamet (van lebih memilih habitat hutan alam sebagai
Balen 1999). tempat mencari pakan dan berkembang
Jumlah jenis burung sebaran biak.
terbatas di kawasan hutan pegunungan Nilai indeks keragaman Shannon
Slamet adalah tertinggi (26 jenis) untuk (H), keragaman Simpson (D) dan
wilayah Provinsi. Jawa Tengah, kekayaan jenis (R) tertinggi terdapat pada
walaupun teramati 17 jenis atau 65,45%. habitat hutan alam Baturaden, yaitu 3,65,
Di antaranya adalah jenis-jenis burung 23,59 dan 10,4. Nilai indeks keragaman
yang hidupnya secara terestrial dan Shannon (H), keragaman Simpson (D)
cenderung menempati strata lantai hutan. dan kekayaan jenis (R) terendah terdapat
Jenis-jenis tersebut adalah Cochoa pada habitat hutan produksi Bambangan,
azurea, Stachyris thoracica, Stachyris yaitu 2,09, 6,52, dan 2,72.
melanothorax, Alcippe pyrrhoptera, Burung-burung sebagian besar
Crocia albonotatus, dan Tesia menyebar pada ketinggian 700-800 m. dpl
superciliaris. Burung-burung sebaran di lereng selatan dan di lereng timur pada
terbatas secara keseluruhan tercatat ketinggian 2000-2100 m. dpl. dengan
sebagai pemakan serangga yang terdapat menempati strata bawah (0-5 m) dan
pada beberapa jenis tumbuhan asli di bagian tajuk pepohonan (30,1-35 m).
habitat hutan alam dan tidak ditemukan Tidak seluruh jenis burung sebaran
di hutan tanaman produksi, seperti damar terbatas ditemukan dalam penelitian, yaitu
dan sengon. Oleh sebab itu, pendekatan hanya 17 dari 26 jenis. Hal ini
ekosistem merupakan upaya terpadu menunjukkan bahwa pentingnya G.
untuk melindungi jenis-jenis burung Slamet untuk dikonservasi secara bijak
sebaran terbatas maupun burung sebagai salah satu daerah penting
pengendali serangga tersebut. Hal ini terbesar bagi burung sebaran terbatas di
perlu mendapat respon positif dari Jawa Tengah.
berbagai pihak, khususnya pemerintah
dan masyarakat setempat. Dalam
pengelolaan lingkungan, kepentingan
pendekatan ekosistem adalah pada
147
Wahyu Widodo
148
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,
149
Wahyu Widodo
150
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
Herpetofauna Community at East Slope Slamet Mountain, Central Java. Mount Slamet with
an altitude of 3432 m above sea level is a water catchment area (water catchment area) and one
of the upstream watersheds to Serayu River (DAS). The study on herpetofaunal community in
different habitat types at water catchment area and upstream of DAS Serayu has been
conducted. The study was conducted on 2 until 9 March 2010 in water catchment area and
upstream on Bambangan, and 3 until 10 March 2011 on Tuntung Gunung upstream. As the
result, at least 35 species of herpetofauna have been recorded. The result of similarity
communities based on Sorensen index showed the highest degree of similarity was occurred
between water catchment area and upstream1 (52%). Based on habitat occupancy, two species
was recorded only in natural forest, e.i. Sphenomorphus cf temminckii and unidentified snake.
Based on Jackard index the 35 species of herpetofauna was clustered into 10 groups on point
0.7.
Key words: Serayu upstream watershed, water catchment area, herpetofaunal, community.
151
Riyanto & Trilaksono
hutan. Hal ini disebabkan karena dalam sehingga kanopi hutan relatif terbuka,
setiap ekosistem herpetofauna sinar matahari dapat langsung menyentuh
menempati posisi penting dalam rantai lantai hutan yang ditumbuhi rerumputan.
makanan, baik sebagai pemangsa Pengumpulan data dimulai dari titik
maupun mangsa (Howell 2002). 109O15’25.4" BT 07O13’36.1" LS pada
Sejalan dengan hal tersebut maka ketinggian 1.636 m dpl sampai titik
dipandang perlu untuk melakukan 109o14’51.0" BT 07o13’36.7" LS pada
penelitian herpetofauna di lereng timur ketinggian 1.962 m dpl, dan (3) lahan
G. Slamet. pertanian sayur, di lahan tidak terdapat
pepohonan sehingga juga tidak terdapat
BAHAN DAN CARA KERJA tajuk yang menghalangi sinar matahari
menggapai permukaan tanah. Sayur
Pengumpulan data dilakukan di tiga utama yang sedang ditanam adalah kol,
lokasi di Kab. Purbalingga, yaitu: (1) wortel, kentang, sawi, cabe dan buncis.
daerah jalur pendakian Bambangan, Penelitian dilakukan dari titik
Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, 109o15’52.0" BT 07o13’33.8” LS pada
Kec. Karangreja, dilakukan pada tanggal ketinggian 1.496 m sampai titik
2-5 Maret 2010; (2) daerah hulu S. 109o14’51.0" BT 07o13’36.7” LS pada
Serang, Desa Serang, Kec. Karangreja, ketinggian 1.636 m dpl.
dilakukan pada tanggal 6-9 Maret 2010; Daerah hulu S. Serang berupa
dan (3) daerah S. Tuntunggunung, desa ekosistem sungai permanen, di tempat ini
Linggasari, Kec.Bobotsari, dilakukan air mengalir sepanjang tahun meskipun
pada tanggal 3-10 Maret 2011. saat kemarau debitnya sangat rendah.
Di jalur pendakian Bambangan Dasar sungai berupa batu dan pasir,
terdapat tiga tipe ekosistem, yaitu (1) dengan tepian sungai ditumbuhi semak
hutan alam, berupa hutan primer belukar. Sungai ini diapit oleh hutan
pegunungan. Di daerah ini tajuk pohon produksi terbatas dengan tanaman utama
saling bertaut sampai di batas lahan damar. Penelitian dilakukan di sekitar titik
penghijauan. Di tempat penelitian ini tidak 109o17’17.8 BT 07o14’41.2 LS pada
terdapat sungai permanen (sungai hanya ketinggian sekitar 1.122 m dpl.
berair pada waktu-waktu tertentu). Daerah hulu S. Tuntunggunung
Pengumpulan data di tempat ini dimulai berupa lahan persawahan, tegalan dan
dari titik 109o14’51.0" bujur timur (BT) semak belukar dengan sungai beralaskan
07o13’36.7" lintang selatan (LS) pada bebatuan dan pasir. Penelitian dilakukan
ketinggian 1.962 m dpl. sampai titik di sekitar titik 109 o 22’36.0" BT
109o14’33.9" BT 07o13’45.9"LS pada 07o15’00.3" LS .
ketinggian 2.199 m dpl; (2) hutan Pengumpulan data primer dilakukan
tanaman; lahan ini dipenuhi tanaman dengan teknik pencarian aktif
damar dan pinus yang relatif masih muda (opportunistic search) pada setiap tipe
dengan ketinggian berkisar antara 5 habitat diulang dua kali. Pencarian aktif
sampai 7 m. Tajuk pohon belum bertaut dilakukan siang hari dari pukul 08.00
152
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet
hingga 15.00 WIB, dan malam hari dari Tuntunggunung dan jalur Bambangan
pukul 19.00 hingga 24.00 WIB. karena tipe habitat pada kedua lokasi
Pencarian aktif dilakukan oleh dua orang tersebut lebih bervariasi dari pada tipe
yang menjelajah setiap tipe habitat. habitat di lokasi hulu S. Serang. Hasil ini
Identifikasi dan taksonomi kelompok bertentangan dengan yang ditemukan
amfibia mengikuti Kampen (1923), Riyanto (2010) pada sisi selatan G.
Manthey & Grossmann (1997), Iskandar Slamet, yang menunjukkan penurunan
(1998), dan Frost et al. (2006); kekayaan jenis seiring dengan makin
sedangkan kelompok reptilia mengacu terbukanya kanopi dan homogennya
pada de Rooij (1915, 1917), Muster vegetasi penyusun tipe habitat.
(1983), Iskandar (1994), Manthey & Perbedaan temuan ini mungkin lebih
Grossmann (1997), Iskandar & Kolijn disebabkan kawasan hutan alam dalam
(2001), dan Mausfeld et al. (2002). kajian ini (hutan alam jalur pendakian
Penentuan kekerabatan antar tipe Bambangan) sangat miskin air (mata air
habitat didasarkan pada data kehadiran terletak di wilayah bawah /kaki gunung),
dan data ketidakhadiran di setiap tipe sedangkan air justru melimpah pada
habitat, dan dihitung dengan indeks daerah hulu. Pada lokasi kajian Riyanto
kesamaan Jackard. (2010) yang dilakukan di wilayah
Ketenger-Baturaden kondisi air sangat
HASIL DAN PEMBAHASAN berlimpah baik di kawasan hutan alam
maupun habitat buatan (hutan tanaman
Hasil penelitian ditemukan 10 famili, industri terbatas dan sawah). Faktor
terdiri atas 35 spesies herpetofauna yang abiotik yang berupa air ini menyebabkan
terdiri dari 14 spesies amfibia dan 21 kondisi lingkungan menjadi lembab
spesies reptilia (Tabel 1). Dari 35 sehingga menguntungkan kebanyakan
spesies yang ditemukan terdapat 2 (dua) jenis herpetofauna di samping juga bagi
spesies endemik P. Jawa, yaitu kadal jenis yang berasosiasi langsung dengan
jawa Sphenomorphus puncticentralis air, seperti kelompok katak.
dan katak pohon jawa Rhacophorus Kelompok katak sangat membutuh-
margaritifer. Gambar beberapa spesies kan keberadaan air segar, hal ini
herpetofauna yang ditemukan disajikan disebabkan karena kelompok katak
pada Lampiran 1. mempunyai kulit yang sangat sensitif
Berdasarkan jumlah spesies yang terhadap air sehingga dengan mudah
ditemukan, daerah hulu S. Tuntung kehilangan cairan tubuh (Inger 2005).
gunung mempunyai kekayaan paling Selain itu, umumnya pembuahan
tinggi, sebanyak 20 spesies (57,1 %); dilakukan di luar tubuh dan betina tidak
diikuti oleh daerah jalur Bambangan dapat menyimpan sperma, sehingga
sebanyak 19 spesies (54,3 %), dan keberadaan air sangat dibutuhkan r untuk
terakhir daerah hulu S. Serang sebanyak terjadinya pembuahan. Oleh karena itu,
12 spesies (34,3 %). Tingginya sebagian besar spesies katak
kekayaan spesies di daerah hulu S. membutuhkan air untuk perkembangan
153
Riyanto & Trilaksono
1. Bufonidae
1 Phrynoidis aspera (Gravenhorst, 0 0 0 0 √ 0 0 √
1829)
2 Duttaphrynus melanostictus 0 0 √ 0 0 √ 0 0
(Schneider, 1799)
2. Microhylidae
3 Microhyla achatina Tschudi, 1838 0 √ √ √ √ √ √ √
4 Microhyla palmipes Boulenger, 0 0 √ 0 0 √ 0 0
1897
3. Ranidae
5 Hylarana rufipes (Inger, Stuart and 0 0 0 0 √ 0 0 √
Iskandar, 2009)
6 Hylarana chalconota (Schlegel, 0 0 √ 0 √ √ 0 √
1837)
7 Rana hosii Boulenger, 1891 0 0 0 √ √ 0 √ √
4. Dicroglossidae
8 Limnonectes kuhlii (Tschudi, 1838) 0 0 0 √ √ 0 √ √
9 Fejervarya limnocharis 0 0 0 0 √ 0 0 √
(Gravenhorst, 1829)
10 Occidozyga sp. 0 0 0 0 √ 0 0 √
5. Rhacophoridae
11 Philautus aurifasciatus (Schlegel, √ √ √ √ 0 √ √ 0
1837)
12 Polypedates leucomystax 0 0 √ 0 0 √ 0 0
(Gravenhorst, 1829)
13 Rhacophorus margaritifer 0 √ √ √ 0 √ √ 0
(Schlegel, 1837)
14 Rhacophorus reinwardtii (Schlegel, 0 0 √ √ 0 √ √ 0
1840)
Reptilia
6. Agamidae
15 Bronchocela jubata Duméril & 0 0 √ √ √ √ √ √
Bibron, 1837
16 Draco volansLinnaeus, 1758 0 0 0 0 √ 0 0 √
17 Draco fimbriatusKuhl, 1820 0 0 0 0 √ 0 0 √
18 Draco haematopogon Boulenger, 0 0 0 √ 0 0 √ 0
1893
19 Gonocephalus kuhlii (Schlegel, 0 0 0 √ 0 √ √ 0
1848)
20 Pseudocalotes tympanistriga (Gray, 0 0 √ √ 0 √ √ 0
1831
7. Gekkonidae
21 Cyrtodactylus sp. 0 0 √ 0 √ √ 0 √
22 Gekko gecko (Linnaeus, 1758) 0 0 0 0 √ 0 0 √
154
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet
Tabel 1. Lanjutan
Tipe habitat Lokasi pengamatan
Keterangan: 0=tidak dijumpai, dijumpai, HA=hutan alam, HP=hutan pinus muda (penghutanan
kembali), AG=agrikultur (palawija), HD=hutan tanaman damar, CAM=campuran persawahan,
tegalan dan belukar, dan DTA=daerah tangkapan air.
pendakian Bambangan, yaitu dendrogram tersebut, dengan mengacu
Sphenomorphus cf temminckii serta angka 0,70 sebagai patokan, maka jenis
satu spesies ular yang belum amfibia dan reptilia yang terungkap
teridentifikasi; dengan demikian dari 35 dalam penelitian ini terpisah menjadi 10
jenis herpetofauna yang terungkap dalam kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa
kajian ini, 33 jenis bersifat toleran dari 35 jenis herpetofauna yang
terhadap perubahan ekosistem akibat terungkap dari tiga tipe ekosistem
gangguan manusia. Berdasarkan data tersebut terkelompok berdasarkan
tersebut kemungkinan besar 33 jenis kesamaan faktor lingkungan yang ada
herpetofauna tersebut tidak akan baik biotik maupun abiotik.
terganggu kelestariannya apabila Untuk mengetahui tingkat kesamaan
ekosistem alaminya mendapat gangguan, antar dua komunitas dilakukan analisis
asalkan pakan serta tempat berdasarkan indeks Sorensen. Hasilnya
perlindungannya masih ada. menunjukkan bahwa kesamaan
Dendrogram pengelompokan komunitas tertinggi terjadi antara
spesies terhadap tipe ekosistem komunitas di Bambangan hulu S. Serang,
berdasarkan indeks kesamaan Jackard yaitu sebesar 52 %. Sedangkan antara
disajikan pada Gambar 1. Pada Bambangan dengan hulu S.
155
Riyanto & Trilaksono
156
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet
157
Riyanto & Trilaksono
158
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet
Lampiran 1. Beberapa profil herpetofauna yang dijumpai di daerah tangkapan air hulu S
Serayu yang berasal dari sisi timur G Slamet.
159
Riyanto & Trilaksono
160
Ekologi Gunung Slamet
Haryono
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi - LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta
Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: ikharyono@yahoo.com
ABSTRACT
The species richness of fish in Indonesia is very high, with a variety of potential spread across
a wide range of habitats; one of them is in the region of Slamet Mountain. This study aims to
determine species diversity, potential, and other aspects related to fish in the region of Slamet
Mountain, especially in the watershed of Serayu, Purbalingga. This study has been found 11
fish families comprising 16 species. Cyprinidae is the most dominant family with four members
of the species. Based on its potentiality it is recorded 9 species (56.25%) as an ornamental fish,
6 species (37.5%) as a food and a species (6.25%) could potentially double. Benter fish
(Puntius binotatus) is the most abundant and widespread. The results of this study can be
utilized as a basis for the development and management.
161
Haryono
162
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
163
Haryono
164
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
165
Haryono
166
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
8
7
6
5
4
3
2
1
0
167
Haryono
bagian hulu tingkat keanekaragaman mas, braskap, lele dumbo, bawal, nila dan
spesiesnya rendah dan semakin ke hilir mujair. Keenamnya merupakan ikan
akan semakin meningkat karena tipe introduksi yang didatangkan dari luar
habitat dan substratnya semakin negeri yang dapat bersifat invasif
bervariasi. Selanjutnya, Rachmatika terhadap spesies asli (native species).
(2003) melaporkan keanekaragaman Padahal tiga spesies ikan asli (tambra,
ikan pada beberapa hulu sungai di baceman dan brek) sangat prospektif
kawasan Taman Nasional Gunung dikembangkan sebagai ikan budidaya
Halimun berkisar antara 2-18 spesies, karena ukuran tubuhnya bisa besar dan
dengan demikian dapat dikatakan bahwa dagingnya tebal. Oleh karena itu perlu
komunitas ikan di lokasi penelitian masih dilakukan kajian lebih lanjut terutama yang
dalam kondisi yang normal. mengarah pada upaya domestikasi
Hasil wawancara dengan penduduk sehingga ketiga spesies tersebut dapat
menunjukkan bahwa masih terdapat dibudidayakan oleh masyarakat luas
sekitar 12 spesies ikan yang belum Di daerah ini diinformasikan terdapat
berhasil ditangkap (Tabel 2). Jika spesies 3 spesies tambra. Di duga spesies-
yang belum tertangkap juga ditambahkan spesies tersebut adalah Tor tambroides,
ke dalam daftar maka jumlah spesies T. soro, dan T. douronensis yang
yang terdapat di wilayah tersebut didasarkan pada ada tidaknya cuping pada
sebanyak 28 spesies. Enam spesies di bibir bawah, bentuk, dan warna tubuh.
antaranya merupakan ikan yang sudah Dilaporkan bahwa ketiganya dapat
umum dibudidayakan oleh penduduk, yaitu mencapai berat 8 kg, dan masih sering
Tabel 4. Kisaran beberapa parameter fisik-kimia pada perairan di kawasan Gunung Slamet
Parameter Kisaran
Suhu(oC) 19-29
pH 5-7
Oksigen terlarut (ppm) 5,2 -7,8
Kecepatan arus (detik/3 m) 5 - 10
Dasar perairan batuan
Substrat Kerikil dan pasir
Warna air jernih
Tabel 5. Hasil analisa indeks keanekaragaman spesies (H), indeks kekayaan spesies (d) dan
indeks kemerataan (E)
STASIUN
Indeks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jumlah 7 0 0 3 7 0 5 6 3 3 4 8 7
spesies
H 1.484 0 0 0.908 1.689 0 1.353 1.669 0.943 0.892 1.029 1.888 1.813
d 1.842 0 0 0.834 2.038 0 1.214 1.406 0.869 0.758 1.137 2.175 1.914
E 0.763 0 0 0.826 0.868 0 0.841 0.932 0.859 0.812 0.742 0.908 0.932
168
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
169
Haryono
paling tinggi jumlah spesiesnya adalah beradaptasi dan berkembang biak dengan
St.12 dengan delapan spesies. Tingginya baik pada habitat sungai di lokasi
jumlah spesies ikan pada St.12 (S. Soso) penelitian. Hal ini sejalan dengan
diduga karena stasiun tersebut letaknya Hadisusanto dkk. (2000) yang
sudah termasuk bagian hilir pada melaporkan bahwa terdapat dua spesies
ketinggian 178 m dan tipe habitatnya lebih ikan yang predominan di hulu sungai
bervariasi. Dengan demikian mempunyai Serayu, satu di antaranya adalah benter.
daya dukung yang lebih tinggi bagi Berdasarkan statusnya, spesies-
kehidupan ikan (Gambar 6). spesies ikan yang ada di perairan
Sebaliknya, tidak adanya fauna ikan kawasan G. Slamet adalah spesies umum
di ketiga stasiun tersebut diduga karena (common species) karena mempunyai
kondisi habitatnya yang sangat ekstrim, sebaran geografi yang cukup luas. Di
di antaranya ketinggian tempat dari antara spesies-spesies ikan yang berhasil
permukaan laut masing-masing 1.107 m, ditangkap terdapat dua spesies introduksi
1.043 m, dan 419 m. Selain itu, suhu air dari luar perairan Indonesia, yaitu
di ketiga stasiun tersebut berkisar antara Poecillia reticulata dan Xiphophorus
19-22oC. Padahal, suhu yang optimal helleri (Gambar 7). Kottelat et al.
untuk mendukung kehidupan ikan (1993) menyebutkan bahwa kedua
umumnya antara 25–30 o C (KPPL spesies tersebut berasal dari Amerika
1992). Namun, faktor yang diduga paling Selatan dan terintroduksi sebagai ikan
berpengaruh terhadap ketidakberadaan hias.
ikan di ketiga stasiun tersebut adalah Dua spesies ikan yang terdapat di
ketersediaan air yang hanya ada ketika kawasan tersebut dan merupakan ikan
hujan dengan tingkat siltasi/endapan budi daya, yaitu braskap dan mas
yang tinggi. memiliki sebaran asli geografi dari Cina
Hasil analisis tentang kelimpahan dan telah lama didatangkan untuk
dan sebaran lokal spesies-spesies ikan kepentingan budidaya. Tiga spesies
yang terdapat di DAS Serayu kawasan lainnya juga merupakan ikan budi daya
G. Slamet sangat bervariasi. Kelimpahan yang berasal dari perairan Afrika (lele
ikan berkisar antara 1 – 6,75 ind/St. dan dumbo, nila, dan mujair). Sedangkan
sebaran lokal antara 7,69 – 61,54% bawal air tawar yang berasal dari
(Tabel 1). Benter dan uceng merupakan perairan Amerika Selatan saat ini sudah
spesies predominan dengan kelimpahan banyak dibudidayakan oleh masyarakat.
yang tinggi dan sekaligus memiliki Spesies bawal ini sebenarnya cukup
sebaran lokal yang luas karena dijumpai berbahaya karena masih satu famili
pada setiap stasiun yang ada ikannya. dengan ikan piranha (Serrasalmidae)
Sebaliknya, ikan gabus memiliki sebaran yang telah dikenal sebagai ikan pemangsa
yang luas (61,54%) namun tingkat yang ganas.
kelimpahannya relatif rendah, yaitu hanya Berdasarkan potensinya, sebagian
3,88 ind./St. Melimpahnya ikan benter besar spesies yang tertangkap sangat
diduga karena spesies ini dapat potensial untuk dikembangkan menjadi
170
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
Gambar 5. Kolam dan ikan brek yang dipelihara oleh penduduk setempat
Gambar 7. Dua spesies ikan introduksi (Poecillia reticulata dan Xiphophorus helleri)
171
Haryono
daan airnya. Secara umum sungai dapat ketinggian tempat dengan tingkat
dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) sungai keanekaragaman spesies ikan yang ada
permanen merupakan sungai yang selalu di dalamnya. Berdasarkan indeks
berair sepanjang tahun; (2) sungai keanekaragaman spesies, St.12 juga
intermiten (intermittent) merupakan paling tinggi sebesar 1,888; diikuti St.13
sungai yang berair di musim hujan dan sebesar 1,813; sedangkan yang paling
mengering di musim kemarau; (3) rendah adalah St. 2, St. 3, dan St.6
sungai episodik (episodic) merupakan sebesar 0,000 karena memang sama
sungai yang hanya berair sewaktu hujan sekali tidak ditemukan spesies ikan
saja. Dengan demikian ketiga sungai yang (Tabel 5).
tidak ada ikannya karena hanya ada air Dari hasil analisis indeks kesamaan
ketika hujan, yaitu S. Serang (St. 2), S. dapat diketahui bahwa pada St.10 dan
Rejasa (St. 3), dan S. Tingen (St. 6) St.11 mempunyai jumlah spesies yang
termasuk ke dalam kelompok sungai relatif sedikit (empat spesies) namun tiga
episodik. spesies di antaranya terdapat di kedua
Pada Tabel 1 tampak bahwa stasiun stasiun sehingga mempunyai indeks
yang paling tinggi jumlah spesiesnya kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan
adalah St. 12 (S. Soso hilir) sebanyak 8 stasiun lainnya. Sebaliknya terdapat tiga
spesies, diikuti St.1 (S. Lembarang hilir), stasiun yang sama sekali tidak dihuni
St. 5 (S. Wangi), dan St.13 (S. Klawing oleh ikan sehinggga indeks kesamaan
hilir) masing-masing 7 spesies. Hal ini spesiesnya adalah 0 (St.2, St.3 dan St.6)
disebabkan karena St. 12 merupakan (Tabel 5). Kondisi habitat ikan di perairan
bagian hilir dari S. Soso yang letaknya DAS Serayu kawasan G Slamet dapat
pada ketinggian 140 m dengan tipe habitat dikategorikan sebagai sungai pegunungan
yang lebih beragam. Begitu pula dengan yang ditandai oleh arus yang deras, dasar
tiga stasiun berikutnya letaknya juga perairan batuan berdiameter besar, suhu
pada kisaran 140-255 m. Dengan rendah, substrat kerikil dan pasir,
demikian tampak adanya korelasi antara kandungan oksigen terlarut yang tinggi,
172
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
serta umumnya memiliki warna air yang sumberdaya ikan di perairan umum dan
jernih. Kisaran kualitas air di lokasi menunjang kegiatan perikanan tangkap
penelitian secara umum masih layak bagi oleh masyarakat, Dinas Perikanan
kehidupan ikan baik untuk pertumbuhan setempat telah melakukan penebaran
maupun perkembangbiakan. bibit ke sungai-sungai tertentu. Salah satu
Kegiatan perikanan yang telah sungai yang telah dilakukan penebaran
dilakukan oleh masyarakat di DAS adalah S. Klawing bagian hulu. Spesies
Serayu kawasan G. Slamet mencakup ikan yang ditebar adalah melem
perikanan budi daya dan tangkap. Untuk (Osteochilus hasselti) yang jumlahnya
perikanan budi daya umumnya dilakukan sekitar 40 ribu ekor. Untuk menjaga agar
pada kolam-kolam di pekarangan. benih yang ditebar dapat tumbuh dan
Spesies ikan yang dibudidayakan pada berkembang biak dengan baik telah
kolam di atas antara lain ikan gurami dibentuk Kelompok Masyarakat
(Osphronemus gouramy), mas Pengawas (= Pokmaswas). Hasil
(Cyprinus carpio), nila (Oreochromis pengamatan secara visual tampak bahwa
niloticus), bawal air tawar (Collosoma ikan melem banyak terdapat di S.
macropomum), dan lele dumbo (Clarias Klawing yang mengindikasikan
gariepinus). Kegiatan budi daya keberhasilan dari program tersebut. Oleh
tersebut umumnya dilakukan secara semi karena itu, keberadaan Pokmaswas ini
intensif karena masih menggantungkan perlu terus dibina dalam rangka
pakan alami. Hasil wawancara dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya
masyarakat diinformasikan bahwa Dinas ikan di kawasan tersebut.
Perikanan setempat juga telah Keberadaan ikan di DAS Serayu
memberikan bantuan pengembangan budi khususnya S. Klawing diinformasikan
daya ikan dengan membangun kolam telah mengalami keterancaman
beserta penyediaan benih ikannya. berdasarkan penelitian yang dilakukan
Selain perikanan budi daya, di sekitar sejak tahun 2000. Salah satu spesies ikan
G. Slamet juga banyak dilakukan kegiatan tersebut adalah sili (Mastacembelus sp.)
perikanan tangkap di perairan umum bahwa dalam satu stasiun hanya
khususnya sungai. Alat tangkap yang ditemukan tidak lebih dari 10 ekor
digunakan dan diijinkan hanya yang (http:sain.kompas.com, 2010). Namun,
tradisional, yaitu pancing, jala, dan bubu. dari hasil pengamatan pada bulan Maret
Salah satu lokasi yang menjadi tempat 2011, ikan sili di sungai Klawing relatif
tujuan mencari ikan oleh masyarakat melimpah di St.2 dan St.3 Desa
setempat adalah Sungai Klawing hilir. Banjarsari yang ditandai oleh banyaknya
Spesies-spesies ikan yang sering individu yang tertangkap. Dalam waktu
tertangkap adalah melem (Osteochilus kurang dari 30 menit pada panjang sungai
hasselti), brek (Barbonymus sekitar 100 m diperoleh lebih dari 15 ekor
balleroides), baceman (Hemibagrus menggunakan elektrofishing dengan accu
nemurus), dan gabus (Channa striata). 12 volt 10 amper. Selanjutnya
Untuk meningkatkan ketersediaan Suryaningsih & Hadisusanto (2009)
173
Haryono
174
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
yang merusak berupa setrum, racun, konsumsi 37.5%, dan 6,25% berpotensi
dan bahan peledak/bom; ganda baik sebagai ikan konsumsi
6. Restoking benih ikan ke habitat aslinya maupun ikan hias. Ikan benter (Puntius
dari hasil pembenihan (panti benih); binotatus) paling melimpah dengan
7.Perbaikan habitat ikan untuk jumlah 6,75 ind./st dan tersebar luas
mendukung berlangsungnya proses sebanyak 61,54%.
pertumbuhan dan perkembangbiakan Sumberdaya ikan pada DAS Serayu
ikan. kawasan G Slamet banyak yang
Satu hal yang tidak kalah pentingnya berpotensi sebagai ikan hias namun masih
agar program pengelolaan/ konservasi diperlukan kajian lebih lanjut sebagai
sumber daya ikan dapat berhasil dengan dasar pengembangannya. Selain itu,
baik adalah kerjasama dan saling keberadaan pokmaswas yang sudah
pengertian di antara para pemangku berperan dalam upaya pelestarian ikan
kepentingan (Dinas Perikanan, di DAS Serayu kawasan G. Slamet
masyarakat, dan LSM). Dalam masih perlu dibekali pengetahuan baik
pelaksanaannya, di DAS Serayu dapat mengenai potensi sumber daya ikan
dimulai dengan pengawasan dan maupun peraturan terkait.
penegakan aturan terhadap penggunaan Dalam merumuskan strategi
alat tangkap yang merusak, pengaturan pengelolaan sumber daya ikan G. Slamet
ukuran mata jaring, dan upaya secara menyeluruh perlu dilengkapi
domestikasi ikan asli untuk penyediaan informasi dari DAS lain yang terdapat di
benih (budi daya dan restoking). kawasan tersebut. Oleh karena itu,
semua stakeholder (Pemda, pemerintah
KESIMPULAN DAN SARAN pusat, LSM) perlu duduk bersama dalam
rangka menghimpun semua informasi dan
Di DAS Serayu kawasan G Slamet menyepakati program yang akan
terdapat 16 spesies ikan dari 11 famili. dikerjakan.
Cyprinidae merupakan famili yang paling
dominan dengan anggota 4 spesies; DAFTAR PUSTAKA
secara keseluruhan di lokasi penelitian
tercatat 28 spesies. Stasiun 12 (S. Soso) Allen, GR. 1991. Field Guide of the
memiliki tingkat keanekaragaman ikan Freshwater Fishes of New
paling tinggi yang diikuti oleh St.13 (S. Guinea. Christensen Research
Klawing). Terdapat dua spesies indikator Institute, Madang, PNG. 268
lingkungan yang positif, yaitu ikan brek Axelrod, HR., Burges, WE. Ammens,
(Barbonymus balleroides) dan tambra C.W. & Hunziker. 1993. 7 th
(Tor spp.); dua spesies ikan introduksi, Edition. Atlas of Freswater
yaitu Poeciliia reticulata dan Aquarium Fishes. Mini edition.
Xiphophorus helleri. Berdasarkan TFH Publications, INC. 1115 hal.
potensinya sebagian besar merupakan ADB. 2002. Policy on fisheries: the issue:
ikan hias sebanyak yaitu 56,25%, ikan challenges and opportunities. http:/
175
Haryono
/www.adb.org. Diakses 6 Juni Inger, RF. & CP. Kong 1962. The fresh
2010 water fishes of North Borneo.
Caddy, JF. & KL.Cochrane. 2001. A Fieldiana Zoology (45). Chicago
review of fisheries management Natural History Museum, Chicago.
past and present and some future 312 hal.
perspectives for the third KPPL. 1992. Booklet masalah
millennium. Ocean & Coastal perkotaan dan lingkungan.
Management 44: 653–682 Kantor Pengkajian Perkotaan dan
DKP [Departemen Kelautan dan Lingkungan (KPPL) DKI Jakarta.
Perikanan]. 2009. Kebijakan dan 62 hal.
strategi konservasi sumberdaya Kottelat, M., AJ. Whitten, SN.
ikan dan lingkungannya di Kartikasari & S. Wirjoatmodjo.
perairan daratan Ditjen 1993. Freshwater Fishes of
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Western Indonesia and
Kecil, DKP. Jakarta. 216 hal. Sulawesi. Periplus Editions
Eschmeyer, WN. 1998. Catalog of Limited. 291 + 84 plates.
Fishes Vol. 1-3. California Kompas.com. 2010. Ikan sili nyaris
Academy of Sciences, San punah. http://sains.kompas.com/.
Fransisco. Hlm. 2905 hal. Diakses tanggal 8 Maret 2011.
Frid, C., O. Paramor & C. Scott. 2005. Mohsin, AKM. & MA. Ambak. 1983.
Ecosystem-based fisheries Freshwater fishes of Peninsular
management:progress in the NE Malaysia. Penerbit Universiti
Atlantic. Marine Policy. 29: 461– Pertanian Malaysia. (xvii + 284)
469. hal.
Hadisusanto, S., I. Tussanti & Trijoko. Nelson, JS. 1994. Fishes of the World.
2000. Komunitas ikan di Sungai 3rd edition. John Wiley & Sons,
Serayu Hulu Wonosobo Jawa Inc., New York. 600 hal.
Tengah. Prosiding Seminar Odum, EP. 1971. Dasar-dasar ekologi.
Nasional Keanekaragaman (Terjemahan). Gajah Mada
Hayati Ikan I, Bogor 6 Juni 2000: University Press, Yogyakarta. 677
35-36. hal.
Haryono 2002. Keanekaragaman jenis Rachmatika , I. 2003. Fish fauna of the
ikan dan aspek terkait di perairan Gunung Halimun National Park,
TN. Kayan Mentarang Kalimantan West Java. BCP-JICA, Bogor. 126
Timur. Seminar Ikan II dan hal.
Kongres MII Pertama, Bogor 22- Roberts, TR.1989. The Freshwater
23 Oktober 2002. Fishes of Western Borneo
Haryono & AH. Tjakrawidjaja 2010. (Kalimantan Barat, Indonesia).
Komunitas ikan di perairan tawar California Academy of Science
Jawa Timur. Laporan perjalanan Memoirs Number 14. 210 hal.
Puslit Biologi-LIPI, Bogor. 22 hal.
176
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
177
Haryono
178
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan
Xiphophorus helleri
Syciopterus cyanocephalus
179
Haryono
180
Ekologi Gunung Slamet
ABSTRACT
181
Susatyo & Sugiharto
182
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu
Sampel darah untuk pengukuran dengan dua minggu ke-6 atau 12 minggu
kadar hormon diambil dari linea lateralis pasca mijah, sepasang induk lukas dan
bagian posterior (dekat pangkal ekor). brek dikorbankan) difiksasi dengan
Sebanyak 500 ml darah diambil larutan 4% paraformaldehida dalam PBS
menggunakan tabung hematokrit yang selama 24 jam pada suhu 4°C.
telah dibasahi dengan EDTA. Ujung Selanjutnya dipreparasi dengan metode
tabung ditutup dengan dental wax, parafin. Guna mengamati tahapan
kemudian sampel disimpan di dalam oogenesis dan spermatogenesis, ovari dan
refrigerator hingga pengukuran kadar testes yang telah diblok dalam paraplast
hormon. diiris secara melintang dan pada interval
Pengukuran kadar hormon dalam tertentu, irisan jaringan ditempelkan pada
darah dilakukan menggunakan metode gelas objek berlapis 1% gelatin dan
EIA/ELISA, dengan kit’s catalog EIA- diwarnai dengan Harris haematoxylin-
estradiol kit (untuk estradiol), EIA-FSH eosin. Oosit dikelompokkan ke dalam
kit untuk progesteron dan EIA- enam tahapan yaitu post ovulatory
testosteron kit untuk testosteron. stage, chromatin nucleolar stage,
Sebelum dilakukan pengukuran kadar perinucleolar stage, cortical alveolar
hormon, dilakukan kalibrasi menurut stage, vitellogenic (yolk) stage dan
prosedur yang telah ditentukan petunjuk mature / ripe stage. Ukuran diameter
kit. Assay dilakukan secara otomatis oosit pada setiap tahapan perkembangan
menggunakan mesin Microplate dalam masing-masing ovarium diamati
Reader-LB-6200 Labotron. untuk mengidentifikasi jenis tahapan
Pembuatan sediaan histologi tersebut. (Çakici & Üçüncü 2007).
ovarium dan testis ikan uji pasca mijah, Jumlah oosit pada setiap tahapan
penghitungan Indeks Kematangan perkembangan dalam masing-masing
Gonad (IKG). Tiga pasang induk brek ovarium dihitung untuk mengetahui
dan lukas pasca mijah dikorbankan tiap proporsinya. Penghitungan jumlah oosit
dua minggu sekali sampai dengan dua pada masing-masing tahapan
minggu ke enam (dua belas minggu pasca perkembangan dilakukan menggunakan
mijah). Ovarium dan testis diangkat dari Cavalieri principle (Gunderson & Jensen
rongga abdomen melalui pembedahan 1987). Tipe sel dari testis dalam urutan
setelah induk dianestesi menggunakan pemasakan sesuai dengan pengesahan
MS 222 (Sigma) dengan konsentrasi dari uji screening untuk substansi aktif
100ml/l air (Moskoni et al. 2001). Ovari endokrin pada ikan, OECD (2004) dalam
dan testes masing-masing ditimbang Brito & Bazzoli (2003) dijadikan sebagai
menggunakan timbangan analitik. acuan deskripsi gonad jantan, yakni: (1)
Morfologi lainnya yang perlu diukur Spermatogonium: tipe sel terbesar dan
adalah bobot ikan sebelum dibedah, terdiri atas nukleus vesikuler dengan
panjang tubuh dan lebar/tinggi tubuh. membran nukleus yang tegas dan
Ovari dan testes dari masing-masing nukleoli; (2) Spermatocyte: spermatosit
induk (setiap 2 minggu sekali sampai primer lebih besar dari spermatosit
183
Susatyo & Sugiharto
sekunder; (3) Spermatid: tipe sel terkecil satu tetes air media akuarium. Diamati
dengan inti padat dan lingkaran sempit stadium embriogenesis (cleavage 2 sel,
pada sitoplasma yang asidofilik; (4) 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel,
Spermatozoa: sel matang dengan morulla, blastula, gastrula, blasto-
nucleus bulat beraspek gelap dan porus, neurulasi, pembentukan kepala-
berflagella. ekor, vesicula optica, pembentukan
Telur terbuahi hasil stripping induk somit 10 buah, dicatat waktu yang
dalam masing-masing akuarium diamati dicapai masing-masing.
± 24 jam setelah dibuahi sperma induk Uji kelangsungan benih dilakukan
jantan. Dicatat jumlah telur yang berhasil untuk mengetahui kemampuan
menetas. melangsungkan hidup benih/larva hasil
perkawinan/pemijahan induk brek dan
lukas. Disiapkan 10 akuarium ukuran 60
x 45 x 45 cm3. masing-masing diisi air
Derajat Mortalitas. Pengamatan jumlah setinggi setengah permukaannya, dan
larva akhir, sampai kuning telur larva dilengkapi dengan aerasi. Tiap akuarium
habis (± 2 hari), dengan menggunakan diisi 50 ekor larva hasil penetasan telur
rumus : yang terbuahi dari pemijahan induk. Setiap
hari diamati dan dicatat jumlah larva/
benih yang mati selama 30 hari.
Selanjutnya larva lainnya secara
bersamaan diuji kelangsungan hidup di
bak penampungan. Larva selanjutnya
ditebar dalam kolam pemeliharaan benih
Disiapkan masing-masing 4 ekor ukuran 10 x 10 m yang dipetak menjadi
induk Brek dan Lukas yang matang 4 petak bersekat bambu dan masing-
kelamin. Kedua pasang induk tersebut masing sekat dilengkapi dengan happa.
untuk selanjutnya diinduksi Ovaprim 0.5 Dua petak masing-masing diisi dengan
cc/kg BB. Setelah terlihat tanda-tanda larva lukas usia 30 hari. Dua petak
akan memijah, kedua pasang induk Brek lainnya masing-masing diisi dengan larva
dan Lukas tersebut di ambil dari bak brek usia 30 hari.
pemijahan, dilakukan striping/pengurutan Analisis fisika dan kimia air kolam
pada daerah kloakanya untuk kemudian percobaan (APHA 1985) meliputi
telur yang keluar diletakkan pada temperatur, nilai pH, kandungan O2
mangkuk plastik diameter 10 cm terlarut dan CO2 bebas.
selanjutnya milt berisi spermatozoa Metode Analisis. Gambaran
dicampurkan dengan telur tersebut. histologis perkembangan oogenesis dan
Diaduk dengan hati-hati menggunakan spermatogenesis dilakukan secara
bulu ayam steril. Selanjutnya diambil 1 deskriptif.
butir telur yang sudah terbuahi tersebut IKG dihitung dengan rumus =
dan diletakkan pada cavity slide dengan berat gonad : (berat tubuh utuh) x 100%.
184
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu
Data IKG, serta data lainnya berupa asalnya yakni Sungai Serayu yang
kadar masing-masing hormon steroid, menyebabkan induk brek tidak mampu
jumlah oosit, proporsi oosit, proporsi memijah setelah kondisi predomestikasi
spermatogenesis, derajat penetasan, cukup lama di kolam alami (Susatyo dkk.
derajat kelangsungan hidup larva 2009).
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik Sejak kegiatan predomestikasi, ikan
batang. brek telah berhasil memijah satu kali
yakni pada bulanNovember 2009. atau
HASIL DAN PEMBAHASAN memijahnya induk brek pada bulan ke
sepuluh predomestikasi. Kondisi ini
Deskripsi umum hasil penelitian, diduga disebabkan karena induk-induk
dapat disampaikan bahwa jenis ikan lukas brek pada saat itu berada pada status
(Puntius bramoides) telah berhasil repoduksi yang telah dibawanya dari
diungkap beberapa aspek reproduksi tempat hidup asalnya (Sungai Serayu).
pasca uji budidaya awalnya di kolam Berdasarkan hasil pengamatan
alami. Terbukti, induk-induk ikan lukas (Gambar 1),pada kelompok DM-4 (8
produk predomestikasi (Susatyo et al. minggu pasca mijah), gonad betina/
2009) yang sejak awal upaya ovariumnya sudah mengkerut, diduga
predomestikai sampai dengan akhir induk lukas telah melaksanakan mijah
penelitian Stranas ini yang telah dipelihara dengan hampir seluruh telur di dalam
di kolam alami selama ± 22 bulan telah gonadnya telah dikeluarkan, sehingga
berhasil memijah rata-rata setiap 3 (tiga) data IKG nya adalah 0.
bulan sekali. Gambar 1(A) memperlihatkan
Pada periode penelitian Juli- progress pertumbuhan lukas jantan dan
November 2010, induk-induk lukas telah betina sejak DM0 (dua minggu ke-0)
berhasil memijah sebanyak 2 (dua) sampai dengan DM6 (dua minggu ke
kali;Berbeda dengan induk-induk brek (P. enam), dilihat dari pertambahan panjang
orphoides) yang sejak awal kegiatan dan lebar tubuhnya menunjukkan
predomestikasi di kolam alami (Januari pertumbuhan yang baik. Gambar 1(B)
2009, Susatyo dkk. 2009) hanya berhasil memperlihatkan Indeks Kematangan
memijah satu kali, yakni pada akhir bulan Gonad (IKG) sampai dengan dua minggu
ke sepuluh periode predomestikasi ke enam (DM 6) nilai IKG relative
(November 2009). Setelah periode meningkat, sesuai dengan perubahan
tersebut (3 bulan berikutnya, Februari berat gonad dan berat tubuhnya.
2010) ternyata belum berhasil memijah; Derajat penetasan telur ikan lukas
pada bulan Mei 2010 juga belum berhasil. terbuahi (6,24±3,456) waktu yang
Pada awal bulan Juli hingga dibutuhkan oleh telur fertil lukas
November 2010, indukan ikan brek belum menyelesaikan tahap embryonalnya
berhasil memijah, Terdapat dugaan, telah sampai dengan menetas adalah 21-23 jam
terjadinya kondisi stres reproduktif sejak telur terbuahi (Tabel 1). Menurut
terhadap lingkungan baru dari tempat Susatyo et al. (1997) yang meneliti
185
Susatyo & Sugiharto
A B
Keterangan : DM0,….DM6 = periode dua minggu ke-0 pasca mijah, sampai dengan periode dua
minggu ke-6 pasca mijah, IKG = Indeks Kematangan Gonad (%)
Gambar 1. Data vital rata-rata sampel ikan lukas (Puntius bramoides) betina dan jantan
pasca mijah selama pengujian. (A) data panjang dan lebar tubuh Lukas jantan dan
betina,(B) data bobot gonad vs bobot tubuh dan data indeks kematangan gonad
(IKG)
Tabel 1. Waktu kumulatif yang dicapai masing-masing stadium perkembangan embrio ikan
lukas (Puntius bramoides)
Waktu kumulatif
No. Tahapan perkembangan embrio Keterangan
jam menit
1 2 (dua) sel 0 20
2 4 (empat ) sel 0 36 Keterangan :
3 8 (delapan) sel 0 42 Pemijahan
4 16 (enam belas) sel 0 56 dilaksanakan 19 Juli
5 32 (tiga puluh dua) sel 1 05 2010 pk. 17.00 WIB
6 Morula 1 19 Tanda awal memijah
7 Blastula 1 29 20 Juli 2010 pk. 05.00
8 Gastrula 2 19 WIB.
9 Neurula 5 49 Telur pertama kali
10 Head stage 6 39 menetas 21 Juli 2010
11 Vesicula optica 6 02 pk. 07.00 WIB
12 Somit-10 6 45
13 Menetas 22– 23 jam
186
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu
187
Susatyo & Sugiharto
perkembangan oosit, yakni tahap post telah berhasil memijah sebanyak lima kali
ovulatory, chromatin nucleolar (cns), (29 Nov 2009 mijah pertama kali; 12
perinucleolar (ps), cortical alveolar Februari 2010 mijah kedua; 21 Mei 2010
formation (cas), vitellogenic (vs) dan mijah ketiga; 2 Agustus 2010 mijah
mature / ripe (ms); sedangkan pada induk keempat; 8 November 2010 mijah
jantan terlihat lima stadium spermato- kelima).
genesis yakni: spermatogonium, Bila dikonfirmasi antara data IKG
spermatosit primer; spermatosit induk lukas (Gambar 1) dengan data
sekunder; spermatid dan spermatozoa. proporsi stadium oogenesis (Gambar 2)
Dilihat dari pengamatan histologis dan dengan data profil hormonal sampai
terhadap ovarium/gonad betina dan dengan 12 minggu periode pasca mijah
testisnya, maka ikan lukas sebagaimana (Tabel 2), maka terlihat bahwa pada
kelompok Cyprinidae lainnya yang kelompok DM-6 (minggu ke-12 atau 3
sejenis dapat dikelompokkan ke dalam bulan pasca mijah) induk lukas betina
kelompok multiple spawners (multiple- sudah mencapai IKG 17,6% dengan
batch group- asynchronous spawner) proporsi oosit mencapai tahap dewasa
(Mylonaz & Zohar 2007), dengan (ms) senilai 29,8%. Adapun profil ketiga
karakteristik dijumpainya berbagai atau hormon reproduksi estradiol, progesteron
semua tahapan perkembangan oogenik dan testosteron pada minggu ke-12 (DM-
pada gonad betina dan spermatogenik 6) berturut-turut 745,86 ± 19,45 pg/ml;
pada testis. Melihat karakteristik 0,59 ± 0,05 ng/ml dan 8,98 ± 0,34 ng/ml.
pemijahan ikan lukas, diduga tipe Ketiga data reproduksi tersebut telah
pemijahannya dapat digolongkan sebagai mampu mendukung terjadinya proses
tipe total spawner. pemijahan pada pasangan induk lukas
Induk lukas telah diketahui mampu setelah 3 bulan pasca mijah terhitung dari
melakukan pemijahan yang berulang pemijahan yang sebelumnya.
dengan jarak antara pemijahan pertama Profil estradiol menunjukkan
dan berikutnya dalam waktu yang pendek kecenderungan fluktuatif. Data hormonal
diduga bertipe multi spawner. Selama estradiol relatif tinggi pada minggu saat
periode penelitian predomestikasi, akan terjadi pemijahan yakni sebesar
Susatyo dkk. (2009) sampai dengan 753,28 ± 24,34 pg/ml. Selanjutnya
penelitian sekarang ini induk-induk Lukas cenderung menurun pada dua minggu ke
188
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu
Gambar 2. Grafik proporsi oosit (masing-masing stadium oogenesis) ikan lukas selama periode
pasca mijah
Keterangan : pos= post ovulatory stage; ps= perinucleolar stage; cns= chromatin nucleolar stage; cas
=cortical alveolar formation stage; vs= vitellogenic stage; ms = mature/ripe stage
Gambar 3. Grafik proporsi spermatogenesis ikan lukas pada periode pasca mijah
Keterangan : spg= spermatogonium, spp= sprematosit primer, sps= spermatosit sekunder, spt=
spermatid, spz= spermatozoa
nol setelah pemijahan, sampai dua minggu selanjutnya cenderung menurun pada
ke-1 setelah pemijahan dan meningkat minggu pertama hingga minggu kedua
kembali pada dua minggu ke-2 dan setelah pemijahan dan meningkat
sampai dengan menjelang periode kembali pada minggu ke-4 yakni
pemijahan berikutnya (DM-5/dua minggu menjelang pemijahan berikutnya.
ke-5 dan DM-6/dua minggu ke-6) Merupakan suatu simpanan
berturut-turut yakni 279,39 ± 9,36; 329,74 pertanyaan yang perlu dijawab pada
± 18,27; 435,35 ± 24,99; 533,14 ± 9,48; penelitian yang akan datang terhadap
657,85 ± 55,55; 698,82 ± 48,30 dan 745,86 profil hormonal dan status gameto-
± 19,45 pg/ml (Tabel 6). Hal ini sesuai genesis/pematangan gonad induk lukas
dengan pola hormonal periode pemijahan tersebut sampai diperoleh data yang stabil
dan pasca mijah dari gurami (Wijayanti dari profil hormonal pada periode
et al. 2007) bahwa kadar estradiol-17 â persiapan pematangan gonadnya dalam
relatif tinggi pada minggu pemijahan, mempersiapkan masa mijah berikutnya.
189
Susatyo & Sugiharto
190
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu
Tabel 3. Data Keberhasilan pemijahan induk Ikan Brek dan Lukas yang dicoba dengan
bantuan induksi Ovaprim selama penelitian
191
Susatyo & Sugiharto
192
Ekologi Gunung Slamet
Heryanto
Lab. Moluska, Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI. Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya
Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: herlipiyanto@yahoo.com
ABSTRACT
193
Heryanto
194
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro
alkohol 70% dan dibawa ke laboratorium bagi keong darat untuk bersembunyi, baik
di Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI dengan menempel pada batang, ranting,
untuk diamati, diidentifikasi, dianalisis dan maupun di bagian belakang daun.
disimpan di dalam almari khusus untuk Vegetasi juga membuat penyamaran
keong mengikuti Jutting et al. (1948, keong darat menjadi lebih baik karena
1950, dan 1952). warna dan corak tubuh dan cangkang
keong bercampur dan menyatu dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN lingkungan di sekelilingnya. Vegetasi yang
lebat menahan dan menyerap sinar
Dari dua kali pengamatan keong matahari agar tidak langsung masuk ke
darat di G. Slamet ditemukan 12 famili dalam hutan sehingga hutan tetap dingin
keong darat yang terdiri atas 62 spesies dan lembab, suatu persyaratan mutlak
(Tabel 1). Dibandingan dengan jumlah bagi kehidupan keong darat. Keberadaan
keong darat yang ditemukan di G. tumbuhan di hutan juga akan
Ciremai (15 famili yang terdiri atas 48 menghalangi angin kencang yang dapat
spesies) dan di G. Halimun (12 famili meniup keong darat terlepas dari
terdiri atas 42 spesies) maka jumlah tempatnya berlindung. Makanan di hutan
spesies keong darat di G. Slamet jauh juga tersedia melimpah bagi keong darat,
lebih banyak. Kemungkinan besar hal baik berupa jaringan tubuh tumbuhan atau
ini disebabkan oleh ekosistem G. Slamet biota lain yang menempel pada tumbuhan
yang mempunyai sub ekosistem lebih seperti jamur dan bakteri.
lengkap sehingga mampu mengakomo- Vegetasi di hutan akan menghasil-
dasi lebih banyak spesies. kan serasah yang berserak di bagian
Berdasarkan habitat, keong darat di lantai hutan. Serasah tersebut menjadi
G. Slamet dapat dibagi dalam tiga habitat sebagian besar keong yang
kelompok besar. Sejumlah 55 spesies berada di bawahnya. Serasah menjadi
(88,71%) terdapat di dalam hutan (baik pelindung bagi keong yang hidup di
primer maupun sekunder), 34 spesies baliknya karena tersembunyi dari
(56,45%) terdapat di daerah non hutan pemangsa. Serasah juga menjadi
(hutan industri dan semak-semak), penangkap dan penyimpan air hujan yang
sebanyak 27 spesies (43,55%) terdapat menjatuhinya. Pada susunan tertentu
di kedua habitat tersebut. Terlihat bahwa serasah dapat menyimpan kelembaban-
hutan alam menyimpan lebih banyak nya sampai musim penghujan berikutnya
spesies keong darat daripada non hutan. datang. Tempat yang lembab dan basah
Hal ini berkaitan dengan kondisi hutan tersebut sangat sesuai untuk kehidupan
itu sendiri. Pada hutan yang masih keong sehingga tempat tersebut banyak
tertutup rapat dengan pepohonan lebat ditemukan keong. Hal tersebut telah
perlindungan bagi keong darat dari dikemukakan oleh Pielou (1975) bahwa
ancaman pemangsa masih diperoleh distribusi dan kepadatan binatang
secara penuh. Lebatnya pepohonan dan dipengaruhi oleh sumber daya, sebagai
vegetasi hutan lainnya menjadi tempat contoh air. Semakin dekat dari sumber
195
Heryanto
196
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro
Tabel 1.Lanjutan
197
Heryanto
Secara umum dapat dikatakan bahwa hutan alam karena mempunyai ukuran
pembukaan hutan, hilangnya habitat, dan yang lebih besar. Keong yang berukuran
perubahan fungsi hutan menjadi besar biasanya identik dengan cangkang
perkebunan serta hadirnya keong yang tebal sehingga cangkangnya sukar
pendatang (alien) menjadi penyebab untuk dipecahkan oleh pemangsa.
utama kepunahan keong darat secara Cangkang yang tebal juga menjadi
besar-besaran (Mace 1993, Lydeard et pelindung keong dari suhu dingin. Keong-
al. 2004 in Oke et al. 2008, Naggs & keong darat yang berukuran lebih kecil
Raheem 2005). seperti H. perfragilis, M. gratilla,
Sebaran ukuran keong darat di G. Coneuplecta sp, dan L. grandipilum
Slamet sangat bervariasi. Keong-keong mampu bertahan karena mempunyai
yang berukuran mikro (tinggi maksimum kemampuan bergerak lebih cepat untuk
2 mm) seperti dari famili Diplommatinidae menghindari pemangsanya.
(D. auriculata, D. cyclostoma, D. Membandingkan hutan dan non
duplicilabra, dan D. sulcicollis) lebih hutan di kedua tempat penelitian akan
banyak berada di habitat hutan daripada mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil
di non-hutan. Di habitat hutan tersebut, kajian di lokasi penelitian menunjukkan
keong-keong yang berukuran mikro bahwa, jumlah spesies keong yang
banyak terdapat di dalam serasah; ditemukan di kedua habitat (hutan dan
kejadian ini terjadi karena di luar hutan non-hutan) cukup banyak (43,55%). Hal
serasah sangat sedikit. Sementara itu, tersebut dimungkinkan karena kedua
keong darat berukuran sedikit lebih besar habitat saling berdekatan atau
seperti P. tjibodasensis, P. boettgeri, bersambungan sehingga tepi kedua
dan P. javana berada di kedua habitat, habitat tersebut sedikit-banyak
menempel pada daun dan ranting mempunyai kesamaan penghuni. Oleh
tumbuhan perdu. karena itu, banyak spesies keong yang
Keong yang berukuran sedang dan berbagi habitat dengan keong lainnya.
besar berada pula di kedua habitat. Mereka dapat mentolerir hidup di kedua
Keong D. clypeus dan E. bataviana habitat pada suatu waktu atau berpindah
yang berukuran besar hanya ditemukan dari satu habitat ke habitat lainnya.
di habitat non-hutan di G. Slamet, padahal Gambar 1 di bawah ini memperlihat-
di tempat lain keong-keong itu terbiasa kan bahwa di dalam habitat hutan di
juga hidup di dalam hutan. Hal ini Kalipagu dan di Bambangan ditemukan
menunjukkan bahwa hutan adalah habitat 63,6% (35 spesies keong) dan 50,9% (28
yang baik bagi kehidupan semua keong spesies keong) jumlah spesies dari
dari berbagai ukuran. Sebaliknya, habitat seluruh spesies yang ditemukan di G.
non-hutan yang lebih terbuka hanya dapat Slamet. Sementara itu di habitat non-
mengakomodasikan keong-keong jenis hutan di Kalipagu dan di Bambangan
tertentu yang mempunyai kemampuan jumlah spesies keong yang ditemukan
“ekstrim”. Sebagai contoh, E. patens masing-masing 48,5% (16 spesies keong)
mampu bertahan hidup di habitat non- dan 60,6% (29 spesies keong). Dari
198
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro
12,7%
Bambangan
Kalipagu
9,1%
Gambar 1. Perbandingan jumlah spesies antara Kali Pagu dan Bambangan untuk habitat
hutan dan non-hutan
H. perfragilis
M. gratilla
Coneuplecta sp.
L. grandipilum
H. patens
D. auriculata
Helicarion sp
H. albellus
T. bicolor L. viridula
Gambar 2. Lima tertinggi dari spesies yang mempunyai individu terbanyak di habitat hutan
dan non-hutan
199
Heryanto
200
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro
201
Heryanto
202
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro
Coneuplecta bandongensis Cyclophorus rafflesi rafflesi
Dyakia rumphii Pupina junghuhni
203
Heryanto
204
Ekologi Gunung Slamet
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta-
Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Bogor. Email: woronoerdjito@yahoo.com
ABSTRACT
The Major Group of Bark Beetles in Slamet Mountain. Bark beetles are a group of insects
that part or all of their lives depend on decaying wood. The larvae of this beetle plays an
important role in nutrient recycling process while some of the adult beetles functioning as
pollinators. Among the various species of bark beetles found in the region G. Slamet, long-horn
beetle (Cerambycidae) is the largest (37 species) followed by stag beetles (Lucanidae; 6 species),
scarab (Scarabaeidae: 3 species Dynastinae and 2 species Cetoninae), betsi (Passalidae; 3
species) and tenebrionid (Tenebrionidae, 3 species). Of the 37 species of long-horn beetle
found, some species are known to live in a variety of forest types and height, whereas in the
forest below 1,000 m asl , primary and secondary forest, inhabited only by species not found
in the higher habitats such as Batocera spp. and Acalolepta dispar. The higher habitats are
only found on the South side of the mountain Slamet which serves as the buffer for Ketenger
reservoir and Curug Tujuh. Therefore, these habitats should not be disturbed by various
human activities, including bamboo logging or firewood picking. Changes of habitat or
conversion of forests to plantations, agriculture or settlement (including tourist areas
Baturraden) and the utilization of dead or fallen wood resulted the disappearance of species
stag beetles (Lucanidae) which had been collected in the mountain region Slamet. Currently,
only five species were collected of 23 species of stag beetle ever found.
205
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
Gambar 1. Bentuk tubuh kumbang (Prosopocoilus Zebra); sayap depan keras dan melipat rapi
membentuk garis lurus di punggung saat istirahat.
206
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
dalam proses siklus unsur hara, termasuk perkebunan, tempat peristirahatan serta
serangga. Untuk dapat melestarikan pemukiman. Pada tahun 1949 di
serangga perombak perlu mengetahui berbagai tempat yang lebih tinggi dari
spesies-spesiesnya, termasuk hubungan 1.000 m dpl, juga dilakukan alih-fungsi
antara perilaku dan keadaan kayu serta hutan alam menjadi hutan tanaman damar
variasi iklim dan faktor-faktor lain yang serta pinus. Dengan pengalih fungsian
berpengaruh. Pengetahuan mengenai tersebut dapat dipastikan telah terjadi
segi-segi ini akan banyak digunakan perubahan daya dukung kawasan bagi
dalam mempelajari efisiensi perombakan kehidupan berbagai ragam fauna
kayu dan pemanfaatannya. kumbang terutama spesies-spesies yang
Mengingat tingkat pengetahuan kehidupan larvanya sangat tergantung
terutama keragaman spesies-spesies pada adanya kayu lapuk, misalnya
kumbang penghuni kayu lapuk masih Scarabaeidae, Lucanidae dan
terbatas serta belum dilakukan Cerambycidae. Sampai saat ini, setelah
inventarisasi yang memadai maka dinilai lebih dari 60 tahun, belum pernah
perlu dilakukan penelitian terkait dengan dilakukan penelitian terkait dengan
spesies kumbang yang tingkat larvanya perubahan termasuk dampak positif
di temukan dalam kayu lapuk. Kumbang maupun negatif yang timbul. Oleh karena
dewasa yang larvanya hidup pada kayu itu sangat diperlukan. pengungkapan
lapuk umumnya hidup sebagai pemakan kembali keberadaan spesies kumbang
kulit kayu, daun, pucuk, dan bunga. perombak kayu lapuk terutama famili
Kumbang dewasa yang hidup dari bunga Lucanidae dan Cerambycidae yang
tersebut secara tidak langsung dapat pernah terkoleksi sekitar tahun 1925-
berperan sebagai penyerbuk bunga. 1940-an . Selain dimanfaatkan untuk
Larva dari berbagai spesies mengetahui dampak alih fungsi lahan
kumbang kayu lapuk tubuhnya terhadap kelestarian kumbang Lucanidae
mengandung protein yang tinggi. Salah dan Cerambycidae, hasil penelitian ini
satu spesies kumbang kayu lapuk yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para
saat ini dikembang biakan adalah ulat peneliti muda yang berminat untuk
hongkong (Tenebrio molitor) sebagai melakukan penelitian lebih mendalam
pakan satwa piaraan, seperti burung, tentang fungsi dan manfaat kelompok ini
amphibi, reptil dan ikan (www.eol.org/ di masa mendatang.
pages/1041700). Selain sebagai pakan
satwa piaraan, larva kumbang kayu yang BAHAN DAN CARA KERJA
dikenal dengan nama uter (larva
Xystrocera festiva (Cerambycidae) juga Penelitian kumbang Scarabaeidae,
sering dipakai sebagai umpan Lucanidae dan Cerambycidae dilakukan
memancing. di lereng utara, selatan dan timur G.
Sejak sebelum Indonesia merdeka, Slamet.
hampir seluruh lereng G. Slamet dialih- Penelitian di lereng utara dilakukan
fungsikan menjadi berbagai lahan di 3 (tiga) jalur pendakian. Jalur (1),
207
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
208
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
dua kali seminggu, kumbang yang berada metode “beating” (Noerdjito et.al. 2003,
di perangkap tersebut dikumpulkan 2005, 2008) (Gambar 4).
dengan cara memukul-pukul lemah ikatan Koleksi larva kumbang kayu lapuk
ranting nangka, kumbang yang jatuh dilakukan dengan membelah kayu lapuk
ditampung dengan kain putih yang yang ditemukan.
dibentangkan di bawahnya. Cara
penangkapan ini dikenal dengan sebutan
Gambar 2. Perangkap lampu, menggunakan bola lampu mercuri 80 watt dan 2 buah neon
mercuri 20 watt yang dipasang berdampingan, mulai pk. 18.00-24.00
Gambar 3. Perangkap cabang nangka yang mulai layu, Insert: kumbang yang
hadir
209
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
210
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
kepala yang dilengkapi tanduk yang sebaran yang khas dan sangat erat
indah, masing-masing spesies memiliki hubungannya dengan keadaan habitat,
variasi jumlah dan bentuk yang berbeda. susunan vegetasi dan ketinggiannya.
Ada kumbang yang memiliki tanduk
tunggal dengan ranting di ujungnya, dan a.Chalcosoma caucasus (Fabricius,
ada pula yang bertanduk tiga. Kumbang 1801). Kumbang ini besarnya dapat
tanduk betina bertubuh lebih kecil dan mencapai 15 cm, sehingga dikenal
selalu tidak bertanduk. Baik jantan sebagai kumbang badak. Kumbang
maupun betina memiliki antena dengan jantan mempunyai “tanduk” tiga,
ruas ketiga sampai ketujuh yang sedangkan kumbang betina tidak
berbentuk lamela, dan merupakan cuatan bertanduk dengan elitra yang agak kasar
tipis berbentuk lempeng seperti piring atau (Gambar 5). Selama penelitian di G.
daun (Soemartono dkk. 2010). Telur Slamet, kumbang dewasa, baik jantan
menetas menjadi larva berwarna putih maupun betina, dapat terkoleksi di hutan
yang disebut uret; tubuh uret sering primer antara Pancuran Tujuh dengan
tampak melengkung, berbentuk huruf C. Kalipagu, pada ketinggian sekitar 750 m.
Makanan utama larva kumbang tanduk dpl. Larva ditemukan pada kayu yang
adalah bahan-bahan organik yang sangat lapuk dengan kondisi telah
membusuk, termasuk kayu yang sedang menyerupai tanah di kawasan hutan di
melapuk. Tubuh larva dilengkapi dengan dekat puncak G. Penjara. Kumbang ini
tiga pasang kaki, dilengkapi dengan diketahui mampu hidup sampai ketinggian
spirakel atau lubang pernapasan 1.500 m. dpl. (Tabel 1)
berwarna hitam dengan rambut-rambut
di sekitarnya. Larva kemudian berubah b.Oryctes rhinoceros (Linnaeus, 1758).
menjadi kepompong (pupa). Proses Kumbang ini memiliki panjang 35-50 mm.
terbentuknya kepompong (pupasi) terjadi Spesies ini tersebar luas di Asia Tenggara
di dalam tanah atau di dalam bahan- dan kepulauan Pasifik bagian barat daya.
bahan yang sedang melapuk. Kumbang Kumbang ini ditemukan di dua tempat,
dewasa umumnya hidup pada tumbuhan (1) di pinggir hutan di Kalipagu, pada
hidup, beberapa spesies dapat ditemukan ketinggian sekitar 700 m. dpl. dan (2) di
pada pohon palem, aren atau kelapa. pinggir sungai dekat perkampungan di
Selama penelitian di G. Slamet Bambangan, pada ketinggian sekitar
ditemukan tiga spesies kumbang 1.500 m. Kumbang dewanya aktif di
Dynastinae yang dewasanya, tertangkap malam hari dan tertarik dengan cahaya
dengan perangkap lampu. Spesies- lampu. Oleh karena itu di kawasan G.
spesies tersebut adalah Chalcosoma Slamet, kumbang ini sering ditemukan
caucasus, Oryctes rhinoceros, dan di perkampungan pinggir hutan. Larva
Xylotrupes gideon. Ketiganya kumbang ini diketahui tidak hanya hidup
umumnya terdapat di hutan-hutan di pada kayu yang sedang melapuk namun
seluruh P. Jawa. Di G. Slamet, setiap juga dapat hidup pada bahan organik atau
spesies yang ditemukan menunjukkan sisa-sisa tumbuhan yang sedang
211
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
212
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
213
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
(Gambar 10), kedua spesies tersebut berukuran 30-0 mm, lunak, dan berkaki
mempunyai panjang tubuh sekitar 15 mm. tiga pasang namun tubuhnya tidak terlalu
melengkung (Gambar 12).
Kumbang Stag (Lucanidae) Di Indonesia, diketahui sekitar 120
Kumbang Lucanidae jantan, spesies kumbang stag. Kumbang
mempunyai rahang (mandibula) yang dewasa hidup sebagai pengisap cairan
besar (Gambar 11), beberapa spesies, embun madu kutu daun dan cairan
panjang rahang lebih panjang dari panjang tumbuhan, baik batang atau daun. Oleh
badannya, misalnya pada spesies-spesies karena itu beberapa spesies dapat
Cyclommatus spp. Pada spesies ini, ditemukan sedang memakan cairan yang
rahang berukuran panjang dan beranting meleleh dari bekas luka pada suatu
mirip tanduk rusa. Rahang kumbang batang pohon. Larvanya hidup pada
Lucanidae jantan yang sangat panjang kayu-kayu lapuk, tunggul kayu untuk
sangat kuat sehingga sanggup memegang makan cairan yang keluar dari kayu
pasangannya pada saat perkawinan. lapuk. Di Museum Zoologi Bogor
Rahang kumbang betina berukuran (MZB)tersimpan 22 spesies Lucanidae
seimbang dengan ukuran tubuhnya, hasil tangkapan antara tahun 1925 sampai
namun terlihat sangat pendek jika dengan tahun 1939 dari kawasan
dibandingkan kumbang jantan. Baturaden dan sekitarnya (termasuk
Kumbang jantan dan betina, Nusa Kambangan dan Banyumas)
mempunyai torak, bagian tubuh di dengan jumlah paling banyak ditemukan
belakang kepala yang mendukung adalah Prosopocoelus passaloides (32
tungkai-tungkai dan sayap, biasanya spesimen) (Tabel 2). Selama penelitian
permukaan licin mengkilap, berbentuk di tahun 2009 & 2010 di tiga sisi G. Slamet
segi empat, berwarna coklat atau kuning; keseluruhan terkoleksi 45 spesimen
atau dengan noktah hitam. Beberapa teridentifikasi delapan spesies. Pada
spesies kumbang stag dewasa aktif pada tanggal 29 Januari sampai 7 Februari
siang hari dan tampak mengunjungi bunga 2009, koleksi dilakukan di puncak utama
dan pucuk daun muda seperti kumbang Slamet; sedang koleksi di puncak G.
Cyclommatus sp dan Prosopocoilus sp Penjara dan G. Semar dilakukan pada,
Beberapa spesies aktif terbang di malam tanggal 7-17 April 2009. Penelitian di
hari dan tertarik pada sinar lampu, lereng selatan dilakukan pada tanggal
misalnya spesies Dorsus sp. Larva 13–24 Mei 2009 di jalur pendakian
kumbang stag hidup di dalam kayu lapuk, Kalipagu,Baturraden. Sejak meletusnya
makan cairan-cairan kayu yang sedang G. Slamet 19 April 2009 nampaknya
melapuk. Kepala larva dilengkapi dengan menyebabkan kumbang stag yang
mandibula kuat, hitam, dan sangat dikoleksi di sisi Selatan sangat sedikit (5
berguna dalam mengebor atau spesimen, 2 spesies). Kedua spesies
merombak kayu. Torak coklat dengan 3 kumbang tersebut diketahui tersebar luas
pasang kaki yang kuat. Tubuh larva di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan
umumnya berwarna putih kekuningan Sulawesi.
214
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
Gambar 10. Perangkap buah 2. Merolaba antigua, 3. Glyphana swainson dan 4. Taeniodera
scenica
215
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
Tabel 2. Kumbang stag (Lucanidae) yang terkoleksi di kawasan G Slamet dan sekitarnya s/d
tahun 1939 dan koleksi di gunung Slamet sisi utara & Selatan (2009) dan sisi timur
(2010).
Neolucanus laticollis diketahui kan koleksi lama (Tabel 2), kumbang ini
merupakan kumbang stag endemik Jawa pernah terkoleksi di Baturraden.
(Gambar 11). Selama penelitian ini Selain perubahan habitat selama 70
Neolucanus laticollis hanya terkoleksi tahun ini, hujan terjadi hampir setiap hari
di G. Slamet, lereng utara (Tabel 1), selama penelitian, baik selama penelitian
dengan jumlah spesimen yang tinggi (10 di sisi utara jalur menuju puncak utama
spesimen dari 15 spesimen kumbang stag Slamet (29 Januari–7 Februari 2009) , di
yang terkoleksi). Namun, spesies ini tidak puncak Penjara dan puncak G. Semar (7-
terkoleksi pada saat penelitian di sisi 17 April 2009) serta di kawasan
Selkatan (Baturaden) padahal berdasar- Kalipagu-Baturraden (13 – 24 Mei 2009),
216
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
217
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
Gambar 13. Anhamus daleni (kiri). Rhaphipodus suturalis (tengah) Batocera tigris (kanan)
218
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
219
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
220
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
221
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
222
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
Dua spesies terakhir yaitu Egesina spesies ini juga merupakan spesies baru,
javana dan Gnoma thomsoni diketahui karena juga belum ditemukan di kawasan
hanya tersebar di Jawa (endemik Jawa). lain di Jawa, antara lain di G. Halimun
Di jalur pendakian menuju G. Penjara, (Makihara dkk. 2002) dan G. Ciremai
pada ketinggian 1.500–1.600 m, juga (Noerdjito 2008). Di hutan primer di jalur
ditemukan dua spesies yang tidak Bambangan, pada ketinggian 2.000–
ditemukan di hutan primer lainnya di G. 2.400 m ditemukan 1 spesies kumbang
Slamet, yaitu Sybra sp. dan Trachystola sungut panjang, yaitu Macrotoma
scabripennis. Sybra sp. mungkin sericollis, yang tidak ditemukan di lokasi
merupakan spesies baru atau catatan hutan primer lain.
baru untuk Jawa yang belum pernah
ditemukan di kawasan lain seperti Hutan sekunder
Halimun (Makihara dkk. 2002) dan Inventarisasi kumbang sungut
gunun G. Ciremai (Noerdjito 2008, 2009, panjang di kawasan hutan sekunder yang
2010). Di hutan primer G. Slamet lereng dilakukan di lereng selatan, di atas waduk
utara, pada ketinggian 1.900–2.500 m, Ketenger, pada ketinggian 750–1.000
hanya ditemukan satu spesies yang tidak m.dpl. diperoleh 15 spesies sedangkan di
ditemukan di hutan primer lokasi lain, hutan sekunder yang terletak di lereng
yaitu Glenea sp. Kemungkinan besar, utara pada jalur menuju puncak utama
Gambar 15. Jumlah spesimen dan spesies kumbang sungut panjang di lokasi hutan primer
pada berbagai ketinggian di kawasan G. Slamet
Gambar 16. Jumlah spesimen dan spesies kumbang sungut panjang yang ditemukan di lokasi
hutan tanaman industri di kawasan G. Slamet.
223
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
224
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
yang tinggi baik di hutan primer maupun kedua atau tungkai tengah (Schuster
tanaman industri (Tabel 1). Sybra 2002).
fuscotriangularis diketahui hanya di P Kumbang betsi, Passalidae,
Jawa (endemik Jawa). Ukurannya yang (Gambar 17) biasanya mempunyai tubuh
kecil, sekitar 4 mm, memungkinkan berwarna hitam, dengan sisi elitra sejajar
spesies ini hidup dan berlindung di ranting yang permukaannya beralur tebal
atau ranting-ranting mati yang kecil dari memanjang. Spesies yang berukuran
tumbuhan semak yang ada di antara besar dapat mencapai 3–4 cm. Antena
tanaman pinus sehingga tekanan dengan ujung tidak menyatu (Gambar
terhadap keselamatannya menjadi kecil. 13). Kepala pendek, dibandingkan
Walaupun hanya ditemukan dua dengan pronotumnya (bagian atas toraks
spesies kumbang sungut panjang tetapi depan) yang berbentuk hampir persegi
di hutan tanaman industri pada ketinggian empat, dan beralur median yang
1.200–1.600 m.dpl., ditemukan Rucentra memanjang. Antara pronotum dan elitra
sp. yang diduga merupakan spesies baru terdapat gap (celah). Tarsal formula 5-
yang belum pernah ditemukan di G. 5-5.
Slamet maupun kawasan lain. Selama penelitian di G. Slamet,
Kumbang passalid, sering dikenal keseluruhan terkoleksi tiga spesies
sebagai kumbang betsi (Gambar 17). kumbang betsi (Passalidae) yang
Kumbang ini diketahui bersifat semuanya hanya ditemukan di hutan
“eusosial” atau subsosial, hidup primer yang berada di kayu lapuk di
bergerombol, dalam suatu gelondongan hutan primer, dua spesies kumbang betsi
kayu yang sedang melapuk, dihuni oleh yaitu Leptaulax humerosus dan
larva, pupa dan dewasa. Kumbang Acerarius grandis (Gambar18) pada
dewasa merawat larva dengan kayu lapuk yang ditemukan di hutan
menyiapkan makanan dan membantu primer menuju G. Penjara pada ketinggian
larva membangun kokon untuk berpupa. sekitar 1.500 m. dpl. dan hutan primer di
Baik kumbang dewasa maupun larva puncak Slamet dari arah Bambangan pada
biasanya mengkonsumsi kotoran ketinggian sekitar 1.970 m. dpl.
kumbang dewasa yang telah dicerna oleh Pelopides tridens terkoleksi dengan
mikroflora. Kumbang ini mampu perangkap lampu di kawasan hutan
menghasilkan empat belas sinyal akustik, primer di atas Pancuran Tujuh, Kalipagu,
lebih banyak dari yang dihasilkan oleh Baturraden. Secara sepintas memang
vertebrata. Kumbang dewasa mengha- ketiga spesies kumbang betsi ini sangat
silkan suara dengan menggosok mirip. Kumbang Leptaulax sp, pada
permukaan atas perut dengan sayap umumnya berukuran kecil sekitar, 15-20
belakang. Larva menghasilkan suara mm, Acerarius grandis sekitar 40-45
dengan menggosokan kaki belakang mm dan Pelopides tridens merupakan
terhadap area bergerigi (striated ) pada spesies kumbang passalid yang terbesar
koksa, ruas pangkal tungkai, dari tungai yang ditemukan yaitu berukuran sekitar
60 mm. Di G. Slamet sisi selatan tidak
225
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
Gambar 17. Larva dan dewasa kumbang betsi (Passalidae) yang bersifat “eusosial”
Gambar 18. Leptaulax humerosus (kiri), Acerarius grandis (tengah) dan Pelopides tridens
(kanan)
226
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
Gambar 19. Kumbang tenebrionid dewasa dan larva, sering disebut sebagai ulat kawat
227
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
228
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk
229
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
230
Ekologi Gunung Slamet
Sih Kahono
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta-
Bogor Km. 46, Cibinong 16911.E-mail: gegremetan@gmail.com
ABSTRACT
231
Sih Kahono
232
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
233
Sih Kahono
234
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
Tabel 1. Daftar jenis kumbang lembing herbivora yang ditemukan dan tumbuhan inangnya
pada setiap daerah sebaran vertikalnya, status kumbang, dan tipe lingkungannya di
kawasan Gunung Slamet.
Jenis Alt. (m) S tatus Inang Fam. Alt. (m) Tipe
Henosepilachna dieke 900 Hb, Ho Mikania micranta Ast. 900-1.157 R
Brugmansia suaveolens
900-1.220 Hb, Ho Sol. 900-1.500 SR, R
(Humb. & Bonpl. Ex Willd)
Keterangan: Ast. = Asteraceae; Sol. = Solanaceae; Cuc. = Cucurbitaceae; Vit. = Vitaceae; Urt. = Urticaceae;
Hb = herbivora; Ho = pakan dari insektivora dan inang dari parasitoid; Hm = hama; N = hutan
alam; SR = semi rural; dan R = rural.
235
Sih Kahono
236
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
Slamet. Faktor lingkungan abiotik (suhu inang yang ditemukan merupakan tipe asli
dingin dan rentang pendek pencahayaan dataran tinggi atau pegunungan di Jawa
matahari) dan faktor biotik (natalitas, (Steenis 1972). Empat jenis inang lainnya
survival, dan mortalitas) perlu dipelajari yang memiliki daerah sebaran lebih
secara lebih lanjut pengeruhnya terhadap dominan di dataran rendah adalah B.
rendahnya populasi kumbang lembing suaveolens, S. pseudocapsicum, S.
herbivora di dataran tinggi pegunungan torvum, dan S. americanum (Backer &
ini. Brink 1963a, 1963b, 1965).
Kawasan Gunung Slamet yang Walaupun dua jenis kumbang
diteliti dari ketinggian 900 - 3.000 m dpl., lembing H. vigintioctopunctata dan H.
enam jenis kumbang lembing (75%) jenis enneasticta tidak pernah dijumpai hidup
kumbang lembing herbivora dan 11 jenis pada satu individu inang yang sama,
(73,3%) dari total 15 jenis tumbuhan namun dapat dikatakan bahwa ada
Tabel 2 Frekuensi ditemukannya kumbang lembing herbivora pada setiap individu jenis
tumbuhan inangnya di Gunung Slamet
Jenis kumbang dan inangnya Jml. Positif % Positif Jml. Negatif % Negatif Total
1 pada M. micranta 6 15,8 32 84,2 38
2 pada B. suaveolens 5 23,8 16 76,2 21
2 pada S. pseudocapsicum 2 22,2 7 77,8 9
2 pada S. torvum 2 25 6 75 8
2 pada S. melongena 1 9,1 10 90,9 11
2 pada S. erianthum 1 11,1 8 88,9 9
2 pada S. americanum 2 15,4 11 84,6 13
3 pada B. suaveolens 2 10 18 90 20
3 pada S. pseudocapsicum 1 7,7 12 92,3 13
3 pada S. torvum 1 5,3 18 94,7 19
3 pada S. americanum 2 9,5 19 90,5 21
4 pada Tetrastigma sp. 3 20 12 80 15
5 pada C. lechenaultiana 2 25 6 75 8
5 pada C. smailacifolia 1 25 3 75 4
5 pada C. dioica 1 20 4 80 5
6 pada G. pentaphyllum 3 20 12 80 15
7 pada M. mucronata 2 14,3 12 85,7 14
8 pada Urtica sp. 1 7,7 12 92,3 13
8 pada E. acuminatum 1 10 9 90 10
TOTAL 39 14,66 227 85,34 266
Keterangan: angka 1 = H. dieke, 2 = H. vigintioctopunctata, 3 = H. enneasticta, 4 = E. orthofasciata,
5 = E. decipiens, 6 = Epilachna sp. F., 7 = E. alternans, 8 = E. gedeensis
237
Sih Kahono
238
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
239
Sih Kahono
Gambar 1. Jumlah (atas) dan persentase (bawah) setiap jenis tumbuhan inang yang dijumpai
(positip) dan tidak dijumpai (negatip) jenis-jenis kumbang lembing hebivora subfamily
Epilachninae di Gunung Slamet, Jawa Tengah.
Keterangan: angka 1 = H. dieke, 2 = H. vigintioctopunctata, 3 = H. enneasticta, 4 = E. orthofasciata,
5 = E. decipiens, 6 = E. sp. F., 7 = E. alternans, 8 = E. gedeensis
240
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
241
Sih Kahono
242
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
243
Sih Kahono
244
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili
245
Sih Kahono
246
Ekologi Gunung Slamet
Imam Santosa
ABSTRACT
Key Words: Empowering model, poor community, agro tourism, livelihood diversification and
local resources.
247
Imam Santosa
diantara mereka ada yang hadir namun 2.Bagaimana potret ragam bentuk
perannya pasif dan berjumlah sedikit. mekanisme diversifikasi mata
Permasalahan kemiskinan yang pencaharian berbasis sumberdaya
menimpa masyarakat desa semakin lokal yang strategis untuk
kompleks ketika terjadi kecenderungan memberdayakan masyarakat miskin
lahan-lahan pertanian garapan yang di pedesaan kawasan agrowisata?
subur mengalami alih fungsi ke 3.Bagaimana rumusan model
penggunaan non pertanian misal pemberdayaan masyarakat miskin di
dikembangkan menjadi kawasan industri, pedesaan kawasan agrowisata
pemukiman baru dan kawasan wisata. melalui diversifikasi mata pencaharian
Berdasarkan hasil penelitian berbasis sumberdaya lokal?
Santoso,dkk., (2008) terungkap bahwa Tujuan pokok penelitian ialah
di salah satu desa yang menjadi kawasan mengkaji, merumuskan dan memperoleh:
agrowisata, masyarakat miskin kian 1.Potret karakteristik sosial ekonomi
mengalami tekanan ekonomi yang makin masyarakat miskin di pedesaan
berat karena alih fungsi lahan dari kawasan agrowisata.
pertanian ke agrowisata menyebabkan 2.Potret ragam bentuk mekanisme
mereka kehilangan pola nafkah utama. diversifikasi mata pencaharian
Sementara, pola nafkah pengganti yang berbasis sumberdaya lokal yang
bersifat produktif sulit didapatkan. strategis dilakukan untuk
Dengan kemampuan diversifikasi mata memberdayakan masyarakat miskin
pencaharian yang lemah masyarakat di pedesaan kawasan agrowisata.
miskin mudah terjebak dalam belenggu 3.Model pemberdayaan masyarakat
ketunakaryaan. Realitas inijelas miskin di pedesaan kawasan
kontradiktif dengan tujuan pengemba- agrowisata melalui diversifikasi mata
ngan potensi pedesaan sebagai kawasan pencaharian berbasis sumberdaya
agrowisata, yang ingin mendukung upaya lokal.
peningkatan kesejahteraan masyarakat Hasil penelitian diharapkan dapat
sekitar. Permasalahan di atas memberikan manfaat baik secara teoritis
memotivasi penentuan tema penelitian maupun praktis seperti yang dijelaskan
ini,. yakni mengkaji dan memperoleh dalam uraian berikut:
model pemberdayaan masyarakat miskin 1.Model pemberdayaan yang
di pedesaan kawasan agrowisata melalui dirumuskan dalam penelitian ini
diversifikasi mata pencahrian berbasis memusatkan perhatian pada
sumberdaya lokal. pemanfaatan praktis yakni untuk
Adapun cakupan masalah yang perubahan berencana melalui
dipersoalkan dalam pelaksanaan diversifikasi mata pencaharian sebagai
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: bentuk optimalisasi pengembangan
1.Bagaimana potret karakteristik sosial perilaku survival anggota masyarakat
ekonomi masyarakat miskin di miskin di pedesaan kawasan
pedesaan kawasan agrowisata? agrowisata, yang berbasis
248
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
249
Imam Santosa
250
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
251
Imam Santosa
252
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
meminta atau meminjam ke keluarga luas semusim. Upah yang diterima setiap
yang berdekatan rumah. Pada posisi minggu dari pola nafkah buruh tani
seperti ini, rumah tangga informan bervariasi antara Rp 15.000-Rp 20.000
menemukan katup pengaman yang setiap hari. Besarnya upah bergantung
terbentuk dengan sendirinya dalam pada jenis kerja yang dilakukan. Misal,
lingkaran ikatan kekeluargaan. untuk kegiatan pengolahan lahan,
Akibat dari beban ekonomi yang memupuk dan memanen tanaman cabai
berat dan harus ditanggung, mendorong dari pukul 07.00 sampai 16.00, buruh tani
sebagian besar dari warga miskin siap di Baturaden menerima upah sejumlah
bekerja keras untuk menghasilkanuang. Rp 20.000 per hari. Hal ini disebabkan
Sebelum terjadi pengembangan pekerjaan memupuk membutuhkan
agrowisata di desanya, para informan keseriusan dan ketelatenan. Namun,
mengungkapkan bahwa pola nafkah untuk kegiatan penyiangan dengan
utama yang ditekuni adalah sebagai jangka waktusama, diberi upah Rp
petani baik sebagai buruh tani maupun 15.000. Di kawasan agrowisata
petani penggarap. Akan tetapi setelah Karangreja, upah yang diterima buruh
pengembangan agrowisata, banyak tani yang bekerja di kebun stroberi
diantaramereka mengalihkan pola nafkah bergantung juga dari jenis kegiatan, tapi
utama ke non pertanian. Kalangan upah berkisar antara Rp 10.000-Rp
masyarakat miskin di pedesaan kawasan 15.000 untuk per hari kerja. Tidak
agrowisata ternyata mengalami kesulitan berbeda dengan yang ditemukan di
mencari jenis pekerjaan utama yang Baturaden, upah tertinggi diperoleh saat
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mengerjakan pengolahan lahan,
dan sekaligus memberikan pendapatan pemupukan dan pemanenan. Untuk
layak. Jarang diantara mereka mampu kegiatan penyiangan dan pengemasan,
melakukan pengembangan pola nafkah upah yang diterima biasanya sebesar Rp
dengan memanfaatkan mekanisme 10.000 per hari. Hanya saja, pekerjaan
diversifikasi mata pencaharian. Padahal sebagai buruh tani tidak setiap hari
disadari bahwa diversifikasi mata dilakukan sebab pada masa paceklik atau
pencaharian atau penganekaragaman antara masa penyiangan sampai panen
pola nafkah produktif potensial yang tiba cenderung tidak ada kegiatan yang
mereka lakukan diharapkan mampu dikerjakan. Pada saat ini buruh tani
meningkatkan kinerja, produksi dan mengalami keterdesakan ekonomi
produktivitas masyarakat miskin di terutama bagi mereka yang tidak memiliki
pedesaan kawasan agrowisata. kemampuan pengembangan bentuk
Beberapa informan dari kawasan mekanismediversifikasi mata
agrowisata Baturaden, Cilongok, pencaharian.
Pangadegan dan Karangreja memilih Tidak hanya bekerja sebagai buruh
untuk tetap konsisten bekerja di desa tani, sebagian dari warga miskin di
mereka. Sebagian setia menjadi buruh pedesaan kawasan agrowisata menekuni
tani untuk mengurusi budidaya tanaman pola nafkah utama sebagai pedagang,
253
Imam Santosa
buruh bangunan/usaha ternak ayam/ baku seirit mungkin dan biasanya berasal
penggergajian kayu, pelayan warung dari lingkungan sekitar misal, sayuran
makan, petugas kebersihan di lokawisata/ untuk pecal dipetik dari kebun sendiri.
, karyawan rendahan pada losmen/hotel/ Dalam menyiasati keterdesakan
penginapan dan pengrajinindustri rumah ekonomi yang dialami, beberapa warga
tangga. Dengan pola nafkah tunggal, miskin terutama yang tinggal di pedesaan
pendapatan yang diperoleh setiap bulan kawasan agrowisata Baturaden,
berkisar antara Rp 500.000-Rp 800.000. Pangadegan dan Karangreja telah
Bagi informan yang berpola nafkah mempunyai pola nafkah sampingan.
sebagai pedagang, modal yang diputar Mereka mulai mengembangkan bentuk
setiap hari relatif kecil yakni sekitar Rp mekanisme diversifikasi mata
50.000-Rp 150.000. Barang dagangan pencaharian sesuai kemampuan dan
biasanya hanya sejenis dan merupakan kesempatan kerja yang tersedia.
produk yang diolah sendiri misal: makanan Umumnya pola nafkah sampingan yang
siap saji antara lain soto, bakso, batagor, dilakukan termasuk jenis pekerjaan yang
somay, sate, pecel, pecak lele, mie bersifat serabutan atau jenis pekerjaan
goreng/rebus, jagung bakar, nasi uduk/ tidak menentu sesuai permintaan pihak
rames/kuning. Untuk minuman yang menawarkan pekerjaan.
mencakup: es aneka rasa, skoteng, jahe Pekerjaan serabutan yang sering
susu, kopi susu, teh manis, cendol, dawet jalani antara lain: buruh angkut barang
ayu, aneka juice dan ragam minuman hasil pertanian seperti sayuran yang
botol. Pedagang minuman juga hanya hendak diangkut ke pasar, tukang pijat,
mampu menjual satu sampai tiga jenis loper koran/majalah, makelar tenaga
minuman. Beberapa diantaramereka kerja, tukang kebun tanaman hias dan
memilih berdagang sayuran dan buah- tukang cuci di hotel/losmen. Jenis
buahan seperti ditemukan di kawasan pekerjaan sampingan berikutnya meliputi:
agrowisata Karangreja. Sayuran dan petugas penjaga keamanan losmen /
buah-buahan yang dijajakan antara lain: penginapan penjaga malam, pemandu
wortel, cabai, seledri, muncang, wisata, tukang ojek, petugas kebersihan
mentimun, stroberi, bengkuang, tomat, di kawasan agrowisata, penyabit rumput,
melon, semangka dan lainnya. Sebagian tukang parkir, penjaja tanaman hias
dari mereka menawarkan barang keliling kawasan agrowisata, penjaja
dagangan dengan cara berkeliling desa, makanan kecil dan sebagainya. Bagi
ada juga yang mangkal di sekitar tempat warga miskin yang sudah mulai
parkir kendaraan pengunjung. Harga melaksanakan diversifikasi mata
dari barang yang dijajakan diatur pencaharian, memiliki penghasilan
sedemikian rupa dan terkesan murah tambahan sehingga lebih mampu
dibanding yang ditawarkan di warung/ menyiasati masa paceklik dalam
rumah makan yang menetap. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
menyesuaikan harga dengan biaya rumahtangga. Meskipun demikian,
produksi, pedagang menghemat bahan pendapatan yang diterima itu belum juga
254
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
255
Imam Santosa
256
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
257
Imam Santosa
258
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
259
Imam Santosa
3. Modal finansial: modal produksi dalam bentuk uang kontan sangat terbatas bahkan tidak
punya sama sekali, tabungan tidak ada, akses terhadap pelayanan sumber dana bantuan sangat
lemah.
4. Modal sumber daya alam: hak terhadap penguasaan lahan pertanian tinggi, hak kebolehan
pemanfaatan air kurang baik dan potensi alam di kawasan ini cocok untuk usaha pertanian: tanaman
pangan dan perkebunan, usaha ternak besar dan kecil.
5. Modal Sosial: paguyupan masyarakat desa tinggi, modal sosial relatif terjaga baik, jaringan
kerja yang bersifat produktif lemah, akses kerja pada kawasan agrowisata lemah karena jaraknya
jauh dari pemukiman dan belum pernah mengadakan interaksi sosial dengan pengelola agrowisata.
Mekanisme diversifikasi mata pencaharian berbasis sumberdaya lokal yang strategis
Masyarakat miskin di kawasan ini diberi kesadaran, dorongan semangat dan motivasi untuk bersedia
mengembangkan berbagai pola nafkah yang produktif. Pola nafkah yang ditawarkan berbasis sumberdaya
lokal dan perlu disesuaikan dengan kemampuan, kapabilitas dan minat sendiri para warga. Pemerintah
daerah bersama pengelola agrowisata perlu menetapkan sentra kawasan wana wisata dan desa wisata
yang melibatkan partisipasi warga lokal. Pendampingan dari fasilitator dibutuhkan sampai muncul
kemandirian dalam melakukan penganekaragaman kerja tersebut. Peran fasilitator lebih condong pada
mitra yang membantumengatasi masalah. Fasilitator juga berfungsi untuk menjadi jembatan dengan
sumber penyedia dana tambahan modal, jaringan pemasaran, pihak pengelola agrowisata dan pihak
yang menjadi sumber informasi teknologi pertanian. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkenaan
dengan pembangunan perlu diperkenalkan. Beberapa jenis pekerjaan yang strategis dilakukan dalam
memenuhi diversifikasi mata pencaharian antara lai : petani pangan dan perkebunan serta peternak
ayam, itik, kambing dan burung puyuh. Selain itu, sebagai pengrajin scendera mata, jasapemandu.
Usaha perdagangan dan pelayanan jasa belum sesuai untuk dikembangkan karena jumlah wisatawan
yang berkunjung setiap hari masih relatifsedikit
260
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan
juga berfungsi untuk menjadi jembatan dengan sumber penyedia dana tambahan modal, jaringan pemasaran,
pihak pengelola agrowisata dan pihak yang menjadi sumber informasi teknologi. Beberapa kebijakan
pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan perlu diperkenalkan. Beberapa jenis pekerjaan yang
strategis dilakukan dalam memenuhi diversifikasi mata pencaharian antara lain: petani pangan dan
sayuran organik, petani/pedagang sayuran, petambak ikan air tawar, peternak ayam, itik, kambing dan
burung puyuh. Selain itu, bisa sebagai pengrajincendera mata, pengusaha aneka makanan dan minuman
herbal untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan atau dikirim ke daerah lain.
261
.