Anda di halaman 1dari 277

EKOLOGI GUNUNG SLAMET

Geologi, Klimatologi, Biodiversitas dan Dinamika sosial

Editor
Ibnu Maryanto
Mas Noerdjito
Tukirin Partomihardjo

Pusat Penelitian Biologi-LIPI


bekerjasama dengan
Universitas Jenderal Sudirman

2012
Ekologi Gunung Slamet

© 2012 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)


Pusat Penelitian Biologi

Katalog dalam Terbitan

Ekologi Gunung Slamet: Geologi, Klimatologi, Biodiversitas dan dinamika sosial


Hayati/Indyo Pratomo, Mohamad Hendrasto, Dodo Gunawan, Suprayoga
soemarno, Deden Girmansyah, Wiwik Herawati, Yayu Widiawati, Hexa Apriliana
Hidayah, Agus Budiana, Sukarsa, Jojo Sungkono, Titi Chasanah, Pudji Widodo,
Dwi Nugroho Wibowo, Maharadatunkamsi, Eko Sulistyadi, Wahyu Widodo, Awal
Riyanto, Wahyu Trilaksono, Haryono, Priyo Susatyo, Sugiharto, Heryanto, Woro.
A.Noerdjito, Sih Kahono dan Imam Santosa – Jakarta: LIPI Press, 2012.
xiv + 261 hlm.; 14,8 x 21 cm

ISBN 978-979-799-700-7

1. Gunung 2. Geologi
3. Klimatologi 4. Keanekaragaman

551

Editor : Ibnu Maryanto, Mas Noerdjito, dan Tukirin Partomihardjo


Kopieditor : Setya Iswanti
Penata Isi : Ibnu Maryanto
Desainer Sampul : Eko Harsono

Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Jln. Gondangdia Lama 39, Menteng, Jakarta 10350
Telp. (021) 314 0228, 314 6942. Faks. (021) 314 4591
E-mail: bmrlipi@centrin.net.id
lipipress@centrin.net.id
press@mail.lipi.go.id

ii
Ekologi Gunung Slamet

KATA SAMBUTAN
KEPALA PUSAT PENELITIAN BIOLOGI
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Untuk kesekian kalinya Puslit Biologi – LIPI meluncurkan buku yang perlu
menjadi bahan pertimbangan dalam mengelola wilayah. Dalam buku ini terlihat
bahwa konservasi ekosistem bukan hanya bermanfaat untuk melestarikan
keanekaragaman spesies atau pun variasi genetika tetapi secara langsung dapat
mendukung kehidupan manusia, antara lain untuk mendukung program ketahanan
pangan nasional.
Buku ini tersusun atas kerjasama antara Puslit Biologi – LIPI dengan Fak
Biologi – Unsoed. Kami ucapkan terimakasih atas kesediaan Fak Biologi Unsoed
atas kesediaannya untuk bekerjasama. Ucapan terimakasih kami ucapkan juga
kepada para pemakalah serta para editor yang telah bekerja dengan baik sehingga
dapat diterbitkannya buku ini.

Bogor, September 2012

Dr Siti Nuramaliati Priyono

iii
Ekologi Gunung Slamet

KATA SAMBUTAN
Dekan Fakultas Biologi-Universitas Jenderal Soedirman
Pengetahuan komprehensif mengenai ekologi Gunung Slamet sangat diperlukan
oleh berbagai kalangan terutama pemerintah daerah dan masyarakat di kawasan
sekitarnya yang meliputi wilayah Kabupaten Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang,
Banyumas dan Purbalingga. Sementara itu bagi Universitas Jenderal Soedirman
(UNSOED), khususnya Fakultas Biologi, Pengetahuan tentang ekologi Gunung Slamet
merupakan landasan keilmuan dalam memberikan rekomendasi kepada pemerintah
daerah tersebut diatas untuk mengambil segala kebijakan yang terkait dengan
penanganan dan pengetahuan ekosistem Gunung Slamet. Hal ini karena di kawasan
tersebut Fakultas Biologi UNSOED adalah institusi ilmiah yang anatara lain mempunyai
aktivitas di bidang pengkajian biologi lingkungan
Saya sangat menyambut baik terbitnya buku Ekologi Gunung Slamet, terlebih
setelah melihat matericakupannya yang cukup lengkap, mulai dari aspek sejarah
pergunung apian, geologi batuan dasar, pola klimatologi, kekayaan flora dan fauna dan
dinamika sosialnya. Bukti kekayaan ekosistem Gunung Slamet yang tertuang dalam
buku ini memberikan petunjuk bahwa secara biogeografi kawasan ini sangat spesifik
menjadi pola peralihan antara Pulau Jawa bagian Barat dan Timur. Hal ini ditunjukkan
oleh banyaknya jenis endemik level anak jenis yang hanya ditemukan di kawasan
Gunung Slamet.
Apresiasi yang tinggi saya sampaikan atas kemitraan yang terjalin dengan
baik antara Fakultas Biologi UNSOED dan Pusat Penelitian Biologi-LIPI hingga buku
ini dapat terwujud. Selanjutnya, kepada para penyumbang makalah artikel pada buku
ini saya ucapkan sebesar-besarnya atas kesediaan untuk menulis hasil karya
penelitiannya. Tidak lupa ucapkan terimakasih juga saya sampaikan kepada penyunting
buku ini sehingga dihasilkan kompilasi yang serasi, baik dari sisi bahasa maupun gaya
penulisannya.
Demikian sambutan saya, semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-
baiknya oleh berbagai pihak yang membutuhkan.

Purwokerto September 2012

Dra. Purnomowati, S.U.

iv
Ekologi Gunung Slamet

KATA PENGANTAR

Buku ini ditulis untuk menunjukkan betapa pentingnya kelestarian ekosistem hutan
hujan pegunungan dalam mengendalikan distribusi air untuk daerah perbukitan dan
dataran rendah, bahkan juga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Dipilihnya
gunung Slamet karena kawasannya bercurah hujan paling tinggi di Indonesia dan
merupakan penyambung ketersediaan air untuk produksi pangan pada saat Kabupaten
Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas sedang mengalami neraca air
negatif.
Fungsi sebagai penangkap, penyimpan dan pembagi air dapat berlangsung dengan
baik jika ekositem dalam keadaan utuh yang digambarkan oleh tingginya
keanekaragaman serta fungsi hayati penyusunnya. Secara bio-geografis ternyata
gunung Slamet memiliki berbagai keunikan, antara lain karena dihuni oleh berbagai
spesies endemik dataran tinggi pulau Jawa serta merupakan batas paling timur sebaran
berbagai spesies Jawa bagian barat. Secara rinci, bentang alam serta iklim yang
menjadi unsur pengarah dan pengendali bentuk ekosistem serta susunan spesies anggota
ekosistem gunung Slamet disajikan oleh 26 pakar dari Puslit Biologi – LIPI, Fak Biologi
UNSOED, Badan Litbang Kementerian ESDM, BMKG serta beberapa LSM.
Akhir kata kami mengucapkan banyak terimakasih kepada para penyumbang
naskah dan juga kepada Pusat Penelitian Biologi – LIPI yang telah memberikan
sebagian dana anggaran DIPA 2012 untuk penerbitan buku ini.

Editor
Ibnu Maryanto
Mas Noerdjito
Tukirin Partomihardjo

v
Ekologi Gunung Slamet

vi
Ekologi Gunung Slamet

RINGKASAN
Gunung Slamet merupakan gunung api yang memiliki karakter letusan eksplosif
lemah (vulcanian) dan juga efusif (strombolian) yang dicirikan oleh letusan-
letusan abu, dengan atau tanpa leleran/ kubah lava. Oleh karena itu gunung
Slamet merupakan gunungapi yang letusannya relatif kurang berbahaya bagi
kawasan pertanian dan pemukiman yang ada di lerengnya. Kegiatan gunung
Slamet mulai tercatat dalam sejarah sejak letusan tanggal 11-12 Agustus 1772.
Berdasarkan catatan, dalam kurun waktu 240 tahun terakhir ini, setidaknya gunung
Slamet telah melakukan erupsi lebih dari 30 kali. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan kalau lereng gunung Slamet menjadi kawasan yang subur.
Gunung Slamet memiliki potensi pariwisata geologi.
Di lereng timur gunung Slamet, di wilayah kabupaten Purbalingga, terdapat
goa berbentuk lorong tempat bersarangnya kelelawar sehingga disebut dengan
goa Lawa. Lorong lava terbentuk dari aliran lava basal yang relatif encer (low-
viscosity). Pada saat bagian permukaan lava telah membeku, bagian dalamnya
masih cair dan tetap mengalir meninggalkan bagian yang telah membeku dalam
bentuk lorong. Goa yang terbentuk oleh leleran lava adalah sangat jarang terdapat
di Indonesia.
·Pada lereng timur gunung Slamet (muda) dijumpai 35 buah kerucut sinder
dengan diameter dasar kerucut berkisar antara 130 – 750 m dan tingginya mencapai
250 m. Kerucut-kerucut sinder ini merupakan kelompok gunungapi monogenesis,
yang mempunyai umur berkisar 0,042 ± 0,020 Ma, dan ditafsirkan sebagai parasit
dari gunung Slamet (menengah – muda).
·Di lereng selatan gunung Slamet, dalam Kawasan Wisata Baturaden, terdapat
7 mata air panas berjajar sehingga disebut dengan pancuran Tujuh. Mata air
panas adalah suatu gejala kenampakan panasbumi (geothermal) di permukaan
bumi. Kemunculan mata air panas dikontrol oleh struktur sesar atau sistem
rekahan yang memencar (radial fractures) dari gunung Slamet. Persentuhan
dari sirkulasi air bawah tanah dengan batuan panas yang diakibatkan oleh
kebocoran sistem panas bumi di kawasan ini, mengakibatkan terbentuknya aliran
air panas ke permukaan bumi.
·Pada tahun 1920-an, di Dukuh Satir sekitar kali Glagah di bagian barat gunung
Slamet ditemukan berbagai fosil vertebrata, antara lain kura-kura raksasa
(Geochelone atlas) dan gajah purba (Sinomastodon bumiajuensis). Selain itu
juga ditemukan fosil Bovid secara in-situ pada lapisan konglomerat yang terdapat
di Kali Weruh. Fosil gading gajah purba (Stegodon) ditemukan di dalam endapan
teras (undak sungai) di tepi Kali Larang, Dukuh Karangasem, Desa Galuh Timur,

vii
Ekologi Gunung Slamet

Kab. Bumiayu. Kawasan tempat ditemukannya fosil-fosil tersebut kemudian dikenal


sebagai kawasan Fauna Koningswald.
Baik goa Lawa, pancuran tujuh dan mata air Guci telah dikembangkan sebagai
tujuan wisata; sedangkan kawasan kerucut sinder dan kawasan Fauna Kongswald
dapat dikembangkan juga menjadi tujuan wisata.
Kegiatan magmatis baik berupa terobosan Diorit maupun kegiatan gunungapi
telah berlangsung sejak jaman Miosen Tengah (formasi Kumbang) sehingga gunung
Slamet dapat dianggap sebagai sumber panasbumi. Pembangkit listrik panas bumi
memerlukan ketersediaan air yang berkelanjutan. Keberlanjutan ini sangat tergantung
pada keutuhan hutan yang dapat berlangsung jika hutan di G Slamet terutama pada
bulan Juli – September, pada saat neraca air di kawasan ini negatif.
Ketinggian dari atas permukaan laut serta posisi gunung Slamet terhadap arah
datangnya angin monsoon menyebabkan kawasan ini memiliki curah hujan serta
hari hujan yang sangat tinggi; bahkan Krangan yang terletak di lereng barat
merupakan kawasan yang memiliki cuah hujan paling tinggi di Indonesia. Kondisi
neraca air serta surplus-defisit air di kawasan gunung Slamet mencerminkan
variabilitas curah hujan sebagai unsur masukan dalam sistem hidro-klimatologi dan
keseimbangan (neraca) air. Kondisi defisit secara umum mengikuti pola distribusi
hujan monsoon. Di kawasan Jawa Tengah defisit dimulai pada bulan April, diawali
dari sebagian pantai utura (pantura); pada bulan Mei diikuti oleh kawasan di bagian
timur provinsi dan bulan Juni di kawasan bagian barat. Sedangkan di kawasan
gunung Slamet, defisit hanya terjadi pada spot-spot kecil yang tersebar. Kawasan
yang tidak mengalami defisit masih tetap surplus dengan kisaran nilai 0 – 100 mm.
Dengan demikian, sepanjang tahun gunung Slamet tetap mampu memberi air kepada
kawasan bawahnya yang telah mengalami defisit pada bulan April. Dengan posisi
di puncak wilayah kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga dan Banyumas
Gunung Slamet berfungsi sebagai pengisi air pada saat kelima kabupaten tersebut
sedang mengalami neraca air negatif sehingga Gunung Slamet juga berperan penting
dalam hal ketahanan pangan.
Keberlanjutan ketahanan pangan di kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang,
Purbalingga dan Banyumas, keberhasilan eksplorasi panas bumi serta keberlanjutan
berbagai wisata air di kaki gunung Slamet sangat tergantung pada kelangsungan
berfungsinya kawasan gunung Slamet sebagai daerah penangkap serta penyimpan
air. Fungsi tata-air ini sangat bergantung dari keutuhan hutan di kawasan ini.
Dengan ketinggian + 3.432 m Gunung Slamet tentunya memiliki berbagai zona
sebaran vertikal spesies-spesies tumbuhan, mulai dari tipe ekosistem dataran tingi
sampai sub-alpen. Pendataan kekayaan spesies tumbuhan mulai dari ketinggian +

viii
Ekologi Gunung Slamet

1.000 m. Pada ketinggian + 1.000-2.000 m dpl. tercatat 39 genera terdiri atas 51


spesies ; ketinggian + 2.000-3.000 m tercatat 31 genera terdiri atas 35 spesies , dan
ketinggian >3.000 m dpl. tercatat 3 genera terdiri atas 3 spesies. Kawasan ini
dianggap merupakan tempat tinggal terakhir spesies tumbuhan pegunungan sejati
di pulau Jawa. Di kawasan ini dijumpai dua spesies tumbuhan langka pada ketinggian
>1.000 m dpl. yaitu Pimpinella pruatjan dan Scutellaria javanica.
Hasil penjelajahan di lereng selatan gunung Slamet ditemukan 12 spesies anggota
Araceae liar yang meliputi 9 genus. Kesembilan genus tersebut meliputi: Alocasia,
Amorphophallus, Apoballis, Arisaema, Colocasia, Pothos, Rhaphidophora,
Schismatoglottis dan Xanthosoma; Pothos dan Rhaphidophora merupakan
tumbuhan pemanjat pada berbagai spesies pepohonan. Di hutan produksi Damar
tercatat 12 spesies paku-pakuan; 5 spesies dari suku Dennstaedtiaceae; 4 spesies
dari Polypodiaceae; 2 spesies dari Lycopodiaceae; dan 1 spesies dari Aspleniaceae.
Selain itu diperoleh ada 22 spesies tumbuhan paku dari familia Dennstaedtiaceae
meliputi 13 spesies paku terestrial dan 9 spesies paku epifit. Spesies tersebut dapat
dikelompokkan dalam 10 subfamili yaitu Asplenioideae terdiri atas 4 spesies;
Lindsayoideae dan Oleandroideae masing-masing 3 spesies; Athyrioideae,
Blechnoideae, Dryopteridoideae, Pteridioideae dan Lomariopsidoideae masing-
masing 2 spesies; sedangkan Dennstaedtioideae dan Tectarioideae masing-masing
hanya ditemukan satu spesies.
Tingginya diversitas tumbuhan tidak terlepas berdampak pada fauna yang ada
di kawasan tersebut. Mamalia kecil di G. Slamet terdapat 31 spesies mamalia kecil,
jumlah tersebut akan terus bertambah karena kelelawar pemakan serangga pada
saat survei pengambilan sampel masih belum optimal. Dari sejumlah mamalia kecil
yang terdata beberapa spesies memiliki fungsi ekologi yang membantu penyerbukan
berbagai spesies tumbuhan, pemencar biji, dan spesies lainnya lagi berpotensi sebagai
pengendali ledakan populasi serangga. Di kawasan gunung Slamet tercatat 7 spesies
kelelawar pemakan buah dan nektar (Aethalops alecto, Chironax melanocephalus,
Cynopterus brachyotis, C. horsfieldi, C. sphinx, C. tittahecheilus dan
Macroglossus sobrinus). Sistem pencernaannya yang unik dan berlangsung cepat
menyebabkan biji yang keluar bersama kotorannya menjadi lebih cepat berkecambah.
Di samping itu kemampuan terbangnya yang cukup jauh menjadikan kelelawar
sebagai satwa yang efektif dalam menyebarkan biji. Tidak berbeda dari kelelawar
pemakan buah, berbagai jenis tikus (Leopoldamys sabanus, Maxomys bartelsii,
Niviventer cremoriventer, Niviventer fulvescens, Niviventer lepturus, Rattus
exulans dan Rattus tanezumi), bajing (Callosciurus nigrovittatus dan
Callosciurus notatus), jelarang (Ratufa bicolor) dan musang luwak (Paradoxurus
hermaphroditus) yang hidup di Gunung Slamet berperan sebagai pemencar biji.

ix
Ekologi Gunung Slamet

Satwa-satwa ini dapat berperan sebagai kunci utama untuk menjaga dan memulihkan
kondisi vegetasi kawasan G Slamet. Dengan demikian mereka mempunyai fungsi
penting alamiah yaitu ikut mempertahankan keanekaragaman tumbuhan hutan dan
sebagai agen dalam regenerasi hutan.
Di kawasan ini juga terdapat berbagai spesies satwa pemakan serangga, antara
lain kelelawar pemakan serangga/Microchiroptera (Arielulus circumdatus,
Hipposideros ater, Miniopterus pusillus, M. schreibersi dan Myotis muricola),
tupai (Tupaia javanica) dan cecurut (Crocidura brunnea, C. monticola dan C.
orientalis). Semuanya mempunyai fungsi alamiah sebagai pengendali populasi
serangga di alam, termasuk serangga hama. Mamalia kecil pemakan serangga ini
memiliki berbagai peranan penting bagi kehidupan manusia yang secara ekologis
berperan penting dalam rantai makanan. Dengan memakan serangga, mereka dapat
membantu mengatur keseimbangan ekosistem dalam pengendalian populasi serangga
termasuk serangga hama yang sangat merugikan.
Berbagai spesies karnivora kecil yang hidup di Gunung Slamet berperan sebagai
predator dalam suatu ekosistem untuk pengendali mamalia kecil lainnya. Dengan
demikian karnivora kecil memainkan peranan yang penting dalam menjaga
keseimbangan ekologi hutan. Karnivora yang tercatat keberadaannya di gunung
Slamet yang berperan sebagai predator yaitu garangan Jawa (Herpestes javanicus),
biul (Melogale orientalis), teledu sigung (Mydaus javanensis), musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus) dan kucing kuwuk Prionailurus bengalensis).
Kelima spesies karnivora ini memiliki peran sebagai penyeimbang ekosistem terutama
sebagai predator satwa yang berukuran kecil seperti tikus, bajing dan cecurut.
Karnivora kecil ini dapat diandalkan sebagai spesies kunci yang mampu mencegah
meledaknya populasi tikus dan berbagai satwa vertebrata kecil lainnya. Selain itu,
berbagai spesies tikus, kelelawar dan cecurut merupakan pakan bagi ular dan burung
pemangsa. Selanjutnya untuk mamalia besar terdata ada 15 jenis. Di kawaan ini
masih cukup banyak dijumpai mamalia pemegang kendali lingkungan yaitu Panthera
pardus.
Di kawasan gunung Slamet ditemukan 21 spesies reptilia dan 14 spesies amfibia.
Dua di antaranya adalah kadal jawa Sphenomorphus puncticentralisdan katak
pohon jawa Rhacophorus margaritifer yang merupakan spesies endemik pulau
Jawa. Di DAS Serayu ditemukan 28 spesies ikan. Sungai Soso memiliki tingkat
keanekaragaman ikan paling tinggi yang diikuti oleh Sungai Klawing. Secara
keseluruhan di kawasan ini terdapat dua spesies ikan indikator lingkungan yang
positif, yaitu ikan brek (Barbonymus balleroides) dan tambra (Tor spp.); dua spesies
ikan introduksi, yaitu Poeciliia reticulata dan Xiphophorus helleri. Oleh karena
tergalinya potensinya maka upaya pembudidayaan dan penangkaran ikan-ikan lokal

x
Ekologi Gunung Slamet

antara lain dilakukan pada ikan brek (Puntius orphoides) dan dan ikan lukas (Puntius
bramoides).
Keutuhan ekosistem Gunung Slamet tergambarkan oleh dari tingginya
keanekaragaman keong daratnya. Di dalam hutan (baik primer maupun sekunder)
tercatat 55 spesies (88,71%); di daerah non hutan (hutan industri dan semak-semak)
tercatat 34 spesies (56,45%) sedangkan 27 spesies (43,55%) terdapat di kedua habitat
tersebut. Hal ini terjadi karena keong darat merupakan satwa yang amat sensitif
terhadap perubahan lingkungan; terkait dengan struktur tubuh keong yang berkulit
tipis dan lembut yang membutuhkan lingkungan yang amat spesifik terutama
kelembaban yang tinggi dan suhu yang relatif rendah. Tempat yang memiliki
kelembaban tinggi dengan suhu yang relatif rendah adalah hutan yang memiliki
vegetasi padat bertajuk rapat sehingga mampu menahan penguapan dan menyimpan
air di dalamnya. Hutan demikian memiliki potensi menyimpan air yang cukup banyak.
Satwa perombak merupakan satwa yang sangat penting dalam mendaur-
ulangkan sampah biologi. Di kawasan ini diperoleh Cerambycidae (37 spesies) ,
Scarabaeidae (3 spesies), Dynastinae (2 spesies), Cetoninae (2 spesies), Lucanidae
(6 spesies), Passalidae (3 spesies), dan Tenebrionidae (3 spesies). Berdasarkan
keragaman spesies kumbang sungut panjang yang ditemukan, 37 spesies yang
teridentifikasi terdapat spesies yang mampu beradaptasi hidup di berbagai tipe hutan
dan ketinggian. Hutan yang terdapat di lokasi pada ketinggian di bawah 1000 m.dpl.
baik di hutan primer maupun sekunder dihuni oleh spesies-spesies yang tidak
ditemukan di habitat yang lebih tinggi misalnya Batocera spp. dan Acalolepta dispar.
Di kawasan ini juga ditemukan 8 spesies kumbang lembing herbivora
(Henosepilachna dieke, H. vigintioctopunctata, H. enneasticta, Epilachna
orthofasciata, E. decipiens, Epilachna sp. F., E. alternans, dan E. gedeensis),
yang hidup pada 15 jenis tumbuhan inang. Temuan yang menarik adalah distribusi
kumbang lembing Henosepilachna dieke, H. vigintioctopunctata yang mengikuti
distribusi tumbuhan invasif (host plant) Mikania micranta. Kedua kumbang
tersebut dapat ditemukan mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Untuk
Kumbang lembing genus Epilachna di gunung Slamet memiliki spesialisasi
terdistribusi dan memakan daun inang tumbuhan liar khas dataran tinggi pegunungan,
sebaliknya kumbang genus Henosepilachna berpotensi menjadi hama tanaman
pertanian. Dengan adanya perubahan iklim, nampaknya kumbang-kumbang lembing
tersebut ada kecenderungan lebih berpindah ke daerah lebih tinggi atau lebih dingin.

Editor
Ibnu Maryanto
Mas Noerdjito
Tukirin Partomihardjo

xi
Ekologi Gunung Slamet

xii
Ekologi Gunung Slamet

DAFTAR ISI

Halaman

KATA SAMBUTAN iii


KATA PENGANTAR v
RINGKASAN vii
DAFTAR ISI xiii
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah
1
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto
Keanekaragaman Geologi Kompleks Vulkanik G. Slamet Jawa Tengah
15
Indyo Pratomo
Kajian Hidro Klimatologi Wilayah Gunung Slamet Jawa Tengah
31
Dodo Gunawan
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah
41
Suprayogo Soemarno & Deden Girmansyah
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam Telagaranjeng,
Lereng Gunung Slamet ,Kabupaten BrebesJawaTengah
63
Wiwik Herawati , Yayu Widiawati, & Hexa Apriliana
Hidayah
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden Lereng
Selatan G. Slamet 71
Agus Budiana & Sukarsa
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae di Hutan Gunung
Slamet Jalur Pendakian Baturraden 81
Joko Sungkono, Yayu Widiawati &Titi Chasanah
Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet
89
Pudji Widodo & Dwi Nugroho Wibowo
Potensi Mamalia Kecil dalam Mendukung Fungsi Lindung Gunung
Slamet 95
Maharadatunkamsi
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet
121
Eko Sulistyadi
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet, Jawa Tengah
135
Wahyu Widodo
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet, Jawa Tengah
151
Awal Riyanto & Wahyu Trilaksono
Sumber Daya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan Gunung Slamet
Serta Pengelolaannya 161
Haryono

xiii
Ekologi Gunung Slamet

Halaman
Budidaya Induk dan Benih Ikan Tangkapan Sungai Serayu Banyumas
Rawan Punah, Brek (Barbonymus balleroides) dan Lukas (P.
bramoides) Produk Predomestikasi pada Kolam Alami serta 181
Pemetaan Karakter Reproduksinya
Priyo Susatyo & Sugiharto
Keanekaragaman Keong Darat di Dua Macam Habitat Makro di Gunung
Slamet Jawa Tengah 193
Heryanto
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk di Gunung Slamet
205
Woro Anggraitoningsih Noerdjito
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili Epilachninae
(Coleoptera: Coccinellidae) Dengan Tumbuhan Inangnya di
231
Gunung Slamet, Provinsi Jawa Tengah
Sih Kahono
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan Kawasan
Agrowisata Melalui Diversifikasi Mata Pencaharian Berbasis
247
Sumberdaya Loka
Imam Santosa

xiv
Ekologi Gunung Slamet

Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

Indyo Pratomo1) & Mohamad Hendrasto2)

1)
Museum Geologi – PSG, Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122
Email: indyopratomo@gmail.com)
2)
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi - Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57,
Bandung 40122

ABSTRACT

The Eruption Characteristic of Slamet Mountain-Central Jawa. Slamet volcano (+3432 m),
located on 7o14’30 “ S and 109o12’30" E, is an active volcano type A (erupted since 1600).
More than 30 eruptions (vulcanian and strombolian types) have been reported since 1772. The
increase of volcanic activity occurred since mid-April 2009 and ended with a series of
Strombolian-type eruption between April 23th - May 6th 2009. Currently, the volcano is in the
normal condition.

Key words: Slamet volcano, eruption, strombolian type

PENDAHULUAN Muda melampar ke timur-timur laut-utara


dan sebagian kecil ke barat laut (Djuri
dkk. 1975; Supriatman dkk. 1985; Bronto
Di Pulau Jawa Gunung Slamet (+ & Pratomo 2010). Di kaki timur G. Slamet
3432 m) merupakan salah satu gunung Muda dijumpai 35 buah kerucut silinder
api aktif tipe A (pernah meletus sejak yang berumur sekitar 0,042 ± 0,020 Ma
tahun 1600). Gunung ini terletak pada (Sutawidjaja & Sukhyar 2009). Secara
posisi 7o14’30" LS dan 109o12’30" BT, keseluruhan G. Slamet masih memiliki
dengan wilayah administrasi masuk ke kegiatan kawah pusat, aktivitasnya masih
dalam lima wilayah yaitu Kabupaten berlangsung yaitu berupa hembusan
Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas dan solfatara, pembentukan kubah lava, serta
Purbalingga. letusan abu.
Evolusi tubuh vulkanik dan
karakteristik bentang alam, G. Slamet Karakteristik Geologi Gunung Api
dapat dibagi menjadi tiga periode Slamet
kegiatan, yaitu G. Slamet Tua, G. Slamet G. Slamet letusannya mulai tercatat
Menengah, dan G. Slamet Muda. Pada dalam sejarah sejak tahun 1772
kompleks G. Slamet Tua terdapat
(Kusumadinata 1979). Berdasarkan
beberapa bekas kawah dan sumbat lava
karakteristik bentang alamnya, tubuh
G. Beser (+ 925 m). Batuan vulkanik
Slamet Menengah menyebar ke vulkanik G. Slamet terdiri atas G. Slamet
tenggara, sedangkan batuan Slamet Tua, G. Slamet Muda yang terletak di

1
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

sebelah timurnya dan G. Slamet diwakili oleh lava Mingkrik, lelerannya


Menengah (Gambar 3). Kelompok tersingkap terbatas di bagian barat
endapan vulkanik produk erupsi G. kawah G. Slamet, satuan batuan ini
Slamet Tua terdiri atas leleran lava adalah pembentukan tubuh Slamet Tua
andesit dan endapan piroklastik yang (Gunung Cowet), ditindih oleh produk
telah mengalami ubahan hidrotermal, dan Slamet Muda yang diwakili oleh leleran
kelompok endapan G. Slamet Muda, lava andesit piroksin (Gambar 2).
Sektor barat laut dari tubuh gunung
yang terdiri atas leleran lava basaltik dan
api ini telah mengalami deformasi
piroklastik jatuhan yang tidak terubah
vulkano-tektonik dan ubahan hidrotermal,
(Haar 1935; Harloff 1933; Djuri 1975 yang membentuk depresi (graben) Guci
dan Sutawidjaja dkk. 1985; Pardyanto pada lereng barat laut (Sutawidjaja
1971; 1990). Kelompok Slamet Tua 1985).

Gambar 1. Panorama G.. Slamet pada bulan Maret 1990, dilihat dari udara (koleksi: Pratomo,
1990) dan Afd. Militaire Luchtvaart, tahun 1940-50 (koleksi: Leo Haks, Amsterdam),
memperlihatkan situasi puncak dan kawah G. Slamet.

Gambar 2. Peta geologi gunung api Slamet (kiri) dan korelasi satuan peta (kanan), menurut
Sutawidjaja dkk. (1985), memperlihatkan sebaran batuan dan endapan produk erupsi
gunung api Slamet dan hubungannya satu sama lain.

2
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

Antara batuan vulkanik Slamet 1. Kawah I, merupakan kawah yang


Muda dengan Slamet Tua di bagian utara terbentuk mula-mula berukuran 900 x
dan Slamet Menengah di bagian selatan 700 m2.
dibatasi oleh sistem sesar yang membuka 2. Kawah II, terletak di dalam Kawah
ke arah timur, yang disebabkan oleh I, mempunyai ukuran 650 x550 m2.
adanya struktur berarah barat daya-timur 3. Kawah III, terletak di dalam Kawah
laut (Gambar 3). Terdapat 35 buah II, berdiameter 450 m.
kerucut sinder dengan diameter dasar 4. Kawah IV, terletak di dalam Kawah
kerucut berkisar antara 130–750 m III, berdiameter 185 m.
dengan tinggi hingga 250 m. Kerucut- Kawah IV adalah kawah aktif saat
kerucut sinder ini merupakan kelompok ini, terbentuk oleh erupsi gunung api ini
gunung api monogenesis yang terbentuk antara 1859 – 1910, di mana dalam
pada 0,042 ± 0,020 Ma (Sutawijaya & jangka waktu tersebut telah terjadi
Sukhyar 2009). setidaknya enam kali erupsi. Pada kawah
ini terdapat dua pusat kegiatan yaitu pada
Keadaan Kawah G. Slamet dan lubang kawah utama yang terletak di
Aktivitasnya sebelah barat, dan kubah lava yang
Kawah G. Slamet terletak di bagian terdapat di sebelah timurnya. Fumarola
puncak gunung api yang berbentuk
dan solfatara terdapat hampir pada
kerucut. Komplek kawah ini mempunyai
seluruh permukaan kawah G. Slamet.
luas + 12,5 ha, terdiri atas 4 kawah yang
berorientasi arah timur laut – barat daya Berdasarkan beberapa kali pengukuran
(Gambar 5), yaitu: suhu pada dinding Kawah IV yang
dilakukan pada tahun 1996, (Tabel 1)

Tabel 1. Hasil pengukuran kimia gas dan kondensat di kawah G. Slamet pada 21 Mei 1996
(Sumarti dkk. 1996; Sulistiyo dkk. 2009; Sutaningsih dkk. 2009). *

* Analisis dilakukan di Laboratorium Kimia, Seksi Penyelidikan G. Merapi, Yogyakarta.

3
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

Gambar 3. Tafsir evolusi tubuh gunung api (volcanic edifice) G. Slamet, Jawa Tengah,
berdasarkan analisis citra landsat (Bronto & Pratomo 2010).

Gambar 4. Keadaan kawah aktif G. Slamet dengan sebaran solfatara dan fumarola (kiri) dan
kubah lava yang membentuk dinding Kawah IV (kanan). (Foto: Sutawidjaja).

Gambar 5. Peta situasi kawah G. Slamet pada tahun 1996, memperlihatkan konfigurasi Kawah I,
II, III dan IV, serta sebaran titik-titik solfatara dan fumarola di sekitar kawah tersebut
(Sumarti dkk 1996).

4
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

diperoleh suhu tertinggi g berkisar antara amplitude maksimum 0.5–1 mm.


263o–270o C (Sumarti dkk. 1996). Kegempaan berlanjut hingga 21 April
2009, di mana amplituda membesar
Sejarah Erupsi G. Slamet hingga 10 mm, dan pada pukul 06.15–
Berdasarkan catatan kegiatan 09.25 WIB secara visual terlihat asap
vulkanik G. Slamet sejak dua abad yang tebal putih kecoklatan dengan tinggi ±
lalu, tercatat setidaknya lebih dari 30 kali 50–300 m. Terlihatnya asap tebal putih
erupsi, baik berupa letusan abu maupun kecoklatan secara viasual ini
yang menghasilkan leleran lava. menandakan terjadinya erupsi, kemudian
Berdasarkan catatan kegiatan vulkanik pengamatan secara visual terkendala
G. Slamet sejak tahun 1772, karakter akibat puncak G. Slamet tertutup kabut.
erupsi gunung api ini cenderung bersifat Berdasarkan rekaman data RSAM
eksplosif lemah (tipe Vulkano) dan juga (Real Time Seismic Amplitude
efusif, yaitu leleran lava yang disertai Measurement) yang berasosiasi dengan
letusan abu dan scoria (tipe Stromboli) energi gempa letusan, mengindikasikan
(Pratomo 2006; 2010). Letusan-letusan bahwa tingginya nilai RSAM tidak selalu
tersebut di atas umumnya berlangsung berasosiasi dengan tingginya jumlah
dalam beberapa hari hingga beberapa gempa letusan yang terjadi (Gambar 6).
minggu (Tabel 2) (Sulistyo dkk. 2009). Nilai RSAM tertinggi terjadi pada 1 Mei
2009 dengan jumlah gempa letusan 682
Erupsi 23 April 2009 kejadian, kemudian secara berfluktuatif
Aktivitas G. Slamet dipantau secara mengalami penurunan, seperti pada 9 Mei
visual, kegempaan, dan pemantauan 2009, meski jumlah gempa letusan
geokimia (kimia air dan gas) di sekitar mencapai 677 kejadian, namun nilai
sumber air panas dan fumarola, serta RSAM tidak sebesar sebelumnya.
pengukuran gas SO2 dengan metode
DOAS (Differential Optical Absorption Kolom Asap dan Emisi Gas SO2
Spectroscopy). Pemantauan kegiatan G. Slamet
secara visual dilengkapi dengan
Karakteristik Kegempaan pada pemantauan emisi gas SO 2 dengan
erupsi April 2009 metode Differential Optical
Gejala peningkatan aktivitas G. Absorption Spectroscopy (DOAS),
Slamet terjadi sejak pertengahan April yang merupakan generasi baru dari
2009, ditandai dengan terekamnya gempa Ultraviolet Correlation Spectrometer
vulkanik dalam (VA) dan vulkanik (COSPEC) telah dikembangkan oleh
dangkal (VB) pada 18 April 2009 Barringer Research (Canada) sejak
(Gambar 6). Pada 20 April 2009 terekam tahun 1960an untuk memonito polusi
97 kali kejadian Gempa permukaan/ udara dari asap buangan pabrik atau
hembusan dengan amplitude maksimum industri (Sumarti 1996). Dalam
3–10 mm yang diikuti munculnya gempa pengembangannya, alat ini mulai
tremor vulkanik tidak menerus dengan dimanfaatkan untuk studi dan memonitor

5
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

Tabel 2. Catatan kegiatan G. Slamet sejak dua abad yang lalu (Kusumadinata 1979; Abdurachman
dkk. 2007 ).
Tahun Tanggal-Bulan Keterangan

1772 11-12 Agustus Letusan abu dan leleran/kubah lava


1825 Oktober Letusan abu
1935 September Letusan abu
1849 1 Desember Letusan abu
1860 19 Maret dan 11 April Letusan abu
1875 Mei, Juni, Nov., Desember Letusan abu
1885 21-30 Maret Letusan abu
1904 14 Juli-9 Agustus Letusan abu dan leleran/kubah lava
1923 Juni Letusan abu dan leleran/kubah lava
1926 November Letusan abu dan leleran/kubah lava
1927 27 Februari Letusan abu dan leleran/kubah lava
1928 20-29 Maret dan 8-12 Mei Letusan abu dan leleran/kubah lava
1929 6,7 dan 15 Juni Letusan abu dan leleran/kubah lava
1930 2-13 April Letusan abu dan leleran/kubah lava
1932 1 Juli dan 20 September Letusan abu dan leleran/kubah lava
1939 18 Maret,April, 6 Mei, Letusan abu
15 Juli, 4 Desember
1940 15-20 Maret dan 15 April Letusan abu
1953 Juli, Agustus, Oktober Letusan abu dan leleran/kubah lava
1955 12-13 November, Letusan abu dan leleran/kubah lava
6-16 Desember
1957 8 Februari Letusan abu
1958 17 April, 4-6 Mei, Letusan abu dan leleran/kubah lava
13 Oktober, Desember
1960 Desember Letusan abu
1961 Januari Letusan abu
1966 ? Letusan abu
1969 Juni, Juli, Agustus Letusan abu
1973 Agustus Letusan abu dan leleran/kubah lava
1988 12-13 Juli Letusan abu dan leleran/kubah lava
2009 23 April – 6 Mei Letusan abu dan lontaran lava pijar (tipe Stromboli)

6
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

gunung api (Sutawidjaja & Sukhyar DOAS merupakan satu perangkat


2009). monitoring yang terdiri atas rangkaian
Prinsip kerja dari alat ini adalah yang terintegrasi antara Spektrometer
menganalisis puncak-puncak absorpsi ultraviolet tipe S4000, standar sel kalibrasi
gas SO2 yang diukur oleh spektrometer gas SO2, lensa, telescope, A/D Converter
pada panjang gelombang 304-320 nm tipe USB 4000 dan GPS reveiver dan
yang berada di sepanjang “optical path” komputer dengan software
(jejak optik). Data-data yang diterima pengoperasian alat dan pengolahan data.
kemudian dikonversi ke dalam satuan Pemantauan visual dilakukan dari
konsentrasi pathlengths (jejak optik, pos PGA di Desa Gambuhan yang
dalam ppm meter) Hasil pengukuran berjarak 9 km di sebelah timur puncak
diatas dikalikan dengan lebar kolom asap gunung api ini. Sepanjang masa krisis
(plume) dalam meter dan kecepatan erupsi 2009 gunung api ini sering tertutup
plume (meter/detik), maka hasilnya kabut terutama pada siang hingga sore
merupakan fluks gas SO 2 dalam hari. Pada saat cuaca cerah, teramati
ppm.m3/detik atau gram/detik, yang biasa hembusan asap dari kawah gunung api
dikonversikan dalam ton/hari. ini, berwarna putih hingga pekat dengan
Dengan dasar perhitungan sebagai tekanan lemah hingga sedang, dengan
berikut : tinggi ± 50–700 m. Pada malam hari
terlihat sinar api dan lontaran material
Fluks SO2 ton/day = C x L x W x V pijar, terkadang mencapai tinggi ± 300 m
x 2.86 x 10-3 x 10-6 x 24 x 3600 (Gambar 8, 9 dan 10). Terjadi hujan abu
di bagian barat–barat laut gunung api ini.
di mana: Pemantauan fluks SO2 dari kolom
asap letusan G. Slamet dilakukan pada
C = konsentrasi (ppm); tanggal 1 dan 2 Mei 2009 (Gambar 7),
L = panjang “optical path” (meter); sebagai perbandingan adalah hasil
W = lebar “plume” (meter); pengukuran yang telah dilakukan pada
V = kecepatan plume (meter/detik); tahun 1991 dan tahun 1996. Sebagai
2,86 x 10-3 = kerapatan gas pada T pembanding adalah saat terjadi
dan P standar ( g/cm3) peningkatan aktivitas G. Slamet pada
10-6= angka pengubah dari gram ke tanggal 1-17 Juli 1991, yang dicirikan oleh
ton munculnya gempa tremor yang menerus,
24 x 3600 = angka pengubah dari disertai dengan peningkatan fluks SO2
detik ke hari antara 44-154 ton/hari (rata-rata 87 ton
Faktor-faktor yang memengaruhi per hari), sedangkan pada kondisi normal
perekaman emisi gas SO2, diantaranya (18-30 Juli 1991) adalah antara 21-51
adalah keadaan cuaca, kecepatan ton/hari, atau rata-rata 35 ton/hari
hembusan kolom erupsi, dan arah angin, (Sumarti 1996).
serta akurasi pengukuran. Peningkatan fluks SO2 pada tanggal
2 Mei 2009 jika dibandingkan tanggal 1

7
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

Mei 2009 adalah cukup nyata. Hal ini KARAKTERISTIK ERUPSI DAN
mengindikasikan adanya peningkatan POTENSI ANCAMAN
temperatur yang signifikan, sebagai
akibat emisi gas-gas vulkanik yang Jenis Erupsi dan Potensi Ancaman
mencerminkan pergerakan magma ke Bahayanya
permukaan bumi. Berdasarkan catatan kegiatan
Status siaga (Level III) dinyatakan vulkanik G. Slamet sejak tahun 1772,
pada tanggal 23 April 2009 pukul 18.00 karakter erupsi gunung api ini cenderung
WIB, pada saat tersebut aktivitas bersifat eksplosif lemah (tipe Vulkano)
kegempaan G. Slamet terus meningkat, dan juga efusif, yaitu leleran lava yang
tinggi kolom letusan mencapai ± 1000 m disertai letusan abu dan scoria (tipe
(Gambar 9), dan pada malam hari terlihat Stromboli). Istilah letusan tipe Vulkano
lontaran lava pijar. Hingga 1 Mei 2009 (Vulcanian) pertama kali diperkenalkan
gempa letusan yang terekam mencapai oleh Giuseppe Mercalli, seorang saksi
682 kejadian (Gambar 8). mata erupsi G. Vulcano, Italia, dalam
tahun 1888-1890. Erupsi ini dicirikan oleh

700
RSAM Kumulatif dan Jumlah Gempa Letusan
1.40E+009

600
1.20E+009

500
1.00E+009

400 Siaga 8.00E+008


23 April 2009
10 Mei 2009
Waspada
300 6.00E+008
21 April 2009
7 Mei 2009
4.00E+008
200
5 Mei 2009
2.00E+008
100 1 Mei 2009

27 April 2009
0.00E+000
16 April 2009 25 April 2009
0

Gambar 6. Grafik hubungan antara energi kumulatif (RSAM, garis merah) dan jumlah
gempa yang dihasilkan

Gambar 7. Grafik fluks SO2 hasil pengukuran tahun 2009, dibandingkan dengan pengukuran
tahun 1991 dan 1996.

8
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

700
Gempa Letusan
600
500
400
300
200
100
0
5
Vulkanik Dangkal (VB)
4
3 Siaga
23 April 2009
2
1
0
5 Waspada
Vulkanik Dalam(VA)
4 21 April 2009

3
2
1
0

Gambar 8. Grafik rekaman kegempaan G. Slamet 1 April – 5 Mei 2009, yang didominasi oleh
jenis gempa letusan/hembusan.

Gambar 9. Rekaman tinggi kolom asap letusan sejak 24 April - 10 Mei 2009, diamati dari Pos
Pengamatan Gunungapi Slamet, di Desa Gambuhan. (sumber: PVMBG)

Gambar 10. Erupsi abu yang disertai lontaran batu pijar (tipe Stromboli) terjadi pada tanggal
25 April 2009 pukul 20.30 WIB (kiri) dan hembusan asap putih yang mengandung uap
(kanan) pada tanggal 1 Mei 2009 pukul 06.31 WIB (foto: PVMBG).

9
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

tiang asap letusan yang pekat, berisi tetumbuhan, terutama pada tumbuhan
campuran material vulkanik berukuran yang mempunyai daun relatif lebar,
abu dan gas vulkanik, disertai lontaran sehingga batang pohon tidak mampu
material vulkanik berukuran abu hingga menahan beban, di samping menghambat
bongkah dan suara-suara dentuman. terjadinya proses foto sintesa yang
Material lontaran tersebut umumnya sangat diperlukan oleh tetumbuhan.
merupakan material non-juvenil (> 50%), Gangguan lain yang juga ditimbulkan oleh
yang berasal dari bagian-bagian dari endapan abu letusan gunung api adalah
sumbat lava dan material yang berasal terjadinya pencemaran secara fisik dan
dari sekitar kawah dan kepundan gunung kimiawi terhadap sumber-sumber air
api ini. Tipe letusan ini dicirikan oleh (mata-air, sumur dan kolam), kesehatan
suara-suara dentuman, sebagai manifes- manusia (iritasi dan gangguan saluran
tasi pelepasan gas, merupakan fitur yang pernafasan), dan gangguan lalu-lintas
khas dari tipe letusan ini. Letusan tipe baik di darat,laut dan di udara
Vulkano adalah relatif berbahaya dalam (penerbangan).
radius hingga 3 km dari pusat erupsi,
karena biasanya melontarkan material Leleran dan Kubah Lava
pijar yang berukuran hingga bongkah Leleran lava basal masih dapat
(volcanic bomb). mengalir dalam kondisi sangat panas (600
– 1000O C), dalam kekentalan (viscosity)
Lontaran (Balistik) Material Letusan yang relatif rendah, hingga berhenti dan
Letusan tipe Stromboli (Stromboli membeku berbentuk batuan beku di
volcano, Italia), adalah letusan magmatis permukaan. Karena sifat fisiknya lava
dengan pelepasan energi yang relatif mengalir relatif lambat, tergatung pada
rendah, yang dicirikan oleh lontaran lava kekentalannya dan kemiringan lelereng
pijar berukuran abu vulkanik hingga (gravitasi), sehingga pada saat
bongkah (volcanic bomb), bertekstur membeku akan membentuk bongkah-
scoria, dengan ketinggian kolom letusan bongkah dengan tepian yang relatif terjal.
hinggga ratusan meter di atas bibir Kubah lava yang terbentuk pada
kawah. Letusan tipe Stromboli biasanya fase akhir dari sebuah erupsi, menutupi
diikuti oleh leleran lava. lubang kepundan (kawah), sebagai akhir
dari proses pencapaian kesetimbangan
Hujan Abu Lebat termodinamis di dalam dan di luar pipa
Erupsi G. Slamet umumnya kepundan.
menghasilkan abu letusan, yang tersebar
mengikuti arah angin dominan pada saat Banjir Lahar
letusan terjadi. Endapan abu vulkanik Lahar terjadi akibat dipicu oleh
biasanya menjadi semakin berat bila intensitas hujan yang terjadi di kawasan
basah apabila terjadi hujan pada saat puncak dalam volume tertentu, yang
erupsi terjadi. Hujan abu lebat dapat mengalir dan menghanyutkan tumpukan
menimbulkan kerusakan pada material atau rempah hasil erupsi, menuju

10
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

tempat yang lebih rendah melalui meluncur (gravitasional). Dengan


lembah-lembah sungai yang terdapat di komposisi seperti tersebut di atas, aliran
puncak dan lereng gunung api tersebut. lahar akan mampu mengerosi dan
Viskositas masa lahar ini ditentukan oleh membawa bongkah-bongkah lava
susunan material endapan yang terdiri berukuran besar karena densitas dari
dari bongkah lava hingga abu halus, di masa lahar tersebut menjadi sangat
mana material dengan butiran yang relatif besar.
lebih halus dan juga air hujan pada Seluruh aspek tersebut di atas
proporsi tertentu berfungsi sebagai beserta keterangannya tertuang dalam
pelincir, sehingga masa lahar dapat mulai Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung

Gambar 11. Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Slamet (Abdurachman dkk. 2007) yang
diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi,
Kementerian ESDM.

11
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

api yang berisikan, definisi, informasi, diwaspadai adalah lontaran material pijar
rekomendasi, dan langkah tindak dalam dan hujan abu lebat. Ancaman bahaya
mengantisipasi setiap tingkat ancaman lontaran batu pijar (bom vulkanik) yang
bahaya letusan gunung api tersebut. umumnya mengancam kawasan dalam
Peta kawasan Rawan Bencana radius + 3 km dari pusat erupsi, di mana
Letusan G. Slamet diterbitkan oleh Pusat di kawasan G. Slamet adalah tidak
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana berpenghuni. Sepanjang tidak terjadi
Geologi (PVMBG) adalah kawasan perubahan karakter erupsi dari gunung
yang pernah terlanda atau teridentifikasi api ini,
berpotensi terancam bahaya letusan. Sebaran abu letusan sangat
Peta ini juga menjelaskan tentang jenis dipengaruhi oleh arah angin dominan
dan sifat bahaya ancaman letusan, daerah pada saat erupsi terjadi. Karakteristik abu
rawan bencana, jalur penyelamatan diri, vukanik dari erupsi magma bersusunan
lokasi pengungsian dll. Ancaman bahaya basalan, umumnya lebih kaya akan unsur
yang ditimbulkan oleh erupsi G. Slamet magnesium (Mg) sehingga berpotensi
adalah lontaran material magmatik, aliran menyuburkan tanah di sekitar gunung api
awan panas letusan, leleran dan guguran ini. Hal ini dapat dilihat dari ketebalan
lava pijar (KRB-III), lontaran material hutan dan kesuburan lahan pertanian di
vulkanik berukuran kerikil dan hujan abu sekeliling G. Slamet.
lebat, leleran lava, awan panas dan lahar,
terutama pada lembah-lembah sungai KESIMPULAN DAN SARAN
yang berhulu di kawasan puncak (KRB-
II); dan aliran lahar (KRB-I) yang G. Slamet adalah gunung api aktif
umumnya berpotensi mengancam hampir tipe A bersusunan basalan dengan
seluruh kawasan lereng dan kaki gunung karakteristik letusan eksplosif lemah
api ini, terutama bagian utara, timur, (vulcanian) dan juga efusif
tenggara, selatan barat daya dan barat (strombolian) yang dicirikan oleh
(Gambar. 11). letusan-letusan abu, dengan atau tanpa
leleran/kubah lava.
Karakteristik Erupsi dan Ancaman- Potensi ancaman bahaya letusan
nya Terhadap Lingkungan gunung api ini terbatas pada lontaran
Karakteristik geologi-gunung api material pijar dalam radius kurang dari
yang terekam di kawasan komplek tiga km dari pusat erupsi, hujan abu lebat
vulkanik G. Slamet dan sejarah kegiatan yang tersebar menurut arah angin
G. Slamet sejak tahun 1772, mencirikan dominan pada saat erupsi dan banjir lahar
letusan tipe Vulkano dan Stromboli sering di sepanjang aliran sungai yang berhulu
terjadi, baik dengan atau tanpa disertai di kawasan puncak G. Slamet. Hal ini
oleh leleran atau kubah lava. berlaku sepanjang tidak terjadi perubahan
Karakter letusan tipe Vulkano dan karakter erupsi seperti tersebut di atas.
Stromboli, ancaman bahaya yang harus

12
Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah

DAFTAR PUSTAKA Pardyanto, L. 1990.G. Slamet. Berita


Berkala Vulkanologi. Edisi
Abdurachman EK., RD. Hadisantono , Khusus No. 122. Direktorat
AD. Sumpena, P. Warsito & E Vulkanologi.
Kadarsatya. 2006. Peta Kawasan Pratomo, I. 2006. Klasifikasi Gunung api
Rawan Bencana Gunun Api Aktif Indonesia, studi kasus dari
Slamet, Jawa Tengah. Sekala 1: beberapa letusan gunung api dalam
50.000, Pusat Vulkanologi dan sejarah. Jurnal Geologi
Mitigasi Bencana Geologi. Indonesia, .1 (4): 209-227
Bronto, S. & I Pratomo. 2010. Sebaran Pratomo, I. 2010. Lorong Lava Gunung
Formasi Kumbang (Tmpk) di Jawa Batur, Bali. Laboratorium Gunung
Tengah; Karakteristik dan api Pertama di Indonesia. Warta
implikasimya. Dalam Rahardjo & Geologi 5(3): 10-15.
Sudjatmiko (editor). Misteri Batu Sulistiyo, Y. S. Hartiyatun, E. Sartini, &
Klawing”, Jejak-jejak Perada- Suryatmaji. 2009. Kondisi Gunung
ban di Purbalingga. , Kelompok Slamet, Jawa Tengah, Sebelum
Riset Cekungan Bandung. 11-20. Krisis April 2009. Tinjauan dari
Djuri, M. 1975. Geologic map of the aspek kimia. Buletin Berkala
Purwokerto and Tegal quadrangles, Merapi, 06-01: 10-14
Java, Quadrangles: lOXXN-C & Sumarti, S., 1996. Penyelidikan Geokimai
10/XIII-F. Geological Survey of dan Emisi Gas SO2 di G. Slamet,
Indonesia. Jawa Tengah. Direktorat
Haar, C., 1935, Geologische kaart van Vulkanologi. 26 h. tidak diterbitkan
Java. Toelichting bij blad 58 Sutawidjaja, IS., D. Aswin & K. Sitorus,
(Bumiajoe). Schaal 1: 100,000. 1985, Geologic Map of Slamet
Dienst van den Mijnbouw in volcano, Central Java. Scale 1:
Nederlandsch-Indie. 50,000. Volcanological Survey of
Harloff, Ch. EA.1933, Geologische kaart Indonesia.
van Java, Toelichting bij blad 67 Sutawidjaja, IS., 1983, Geology puncak
(Banj arnegara). Schaal 1: G. Slamet (Geology of Mount
100,000. Dienst van den Slamet summit), 22p. Direktorat
Mijnbouw in Ned-Indie. Vulkanologi, tidak diterbitkan.
Kusumadinata, K. 1979. Data dasar Sutawidjaja, IS. & R. Sukhyar. 2009.
gunung api Indonesia. Direktorat Cinder cones of Mount Slamet,
Vulkanologi Central Java, Indonesia, Jurnal
Pardyanto, L. 1971. Peta Geologi Daerah Geologi Indonesia, 4 (1): 57-75.
Gunung Slamet dan sekitarnya – van Bemmelen, RW. 1949, The geology
penafsiran potret udara. Skala 1: of Indonesia and adjacent
100,000. Direktorat Vulkanologi, archipelago. The Hague:
tidak diterbitkan. Goverment Printing Office.

13
Indyo Pratomo & Mohamad Hendrasto

14
Ekologi Gunung Slamet

Keanekaragaman Geologi Kompleks Vulkanik G. Slamet Jawa Tengah

Indyo Pratomo
Museum Geologi – PSG, Badan Geologi, Jln. Diponegoro 57, Bandung 40122
Email: indyopratomo@gmail.com

ABSTRACT

Slamet volcanic Central Jawa Complex Geodiversity. Slamet volcanic complex (7o14’30 “ S
and 109o12’30" E) is developed on the Quaternary volcanic terrain where their volcanic activities
take place since the Tertiary era. The dynamic of the earth, as reflected by tectonic and volcanic
activity, influences the evolution of paleo-geography, creates landscapes and variety of rocks
and minerals and also regulates flora and fauna life in this region. The Slamet complex has
excellent environmental carrying capacity since millions years ago as indicated by the fertility
of this region, fossils and artifact found around the volcano. The Complex is also very potential
to be developed as a Geoparks because of its geological diversity (geo-diversity), archeological
and cultural heritages, and a good environmental conditions.

Key words: Slamet volcanic complex, geodiversity, archeology, cultural heritages, geoparks

PENDAHULUAN pantai mencerminkan rantai panjang


perjalanan dan perilaku air, sejak jatuh
Dinamika bumi yang dicerminkan sebagai air hujan dan interaksinya dengan
oleh kegiatan tektonik dan gunung api bebatuan dan bentang alam sepanjang
(endogen) berinteraksi dengan kegiatan perjalanannya hingga bermuara ke laut
atmosferik (exogen) menghasilkan menyebabkan terjadinya proses erosi dan
karakteristik geologi suatu daerah sedimentasi. Mata air panas, geyser,
(bentang alam, variasi batuan, dan fumarola, kolam lumpur (mud-pool),
mineral) dan aspek geografi-purba (fosil) gunung lumpur (mud-volcano) dan lain-
dalam ruang dan waktu. Proses kegiatan lain adalah manisfestasi dari aspek panas
tektonik dengan segala aspek dan bumi (geothermal). Keterdapatan fosil
implikasinya membentuk rekahan- dan situs geo-arkeologi sebagai jejak-jejak
rekahan dan struktur-dalam (deep- kehidupan masa lalu yang berhubungan
stuctures) sehingga mempermudah dengan ruang dan waktu serta fenomena
proses keluarnya magma ke permukaan lingkungannya menggambarkan evolusi
bumi dalam bentuk kegiatan gunung api. perubahan lingkungan hidup dan keadaan
Terbentuknya kawasan karst dan gua- paleogeografinya (geografi-purba).
gua hasil pelarutan batu gamping G. Slamet (+ 3432 m) adalah gunung
(karstifikasi) adalah bagian dari interaksi api aktif tipe A (pernah meletus sejak
batu gamping dengan air (atmosferik). tahun 1600), terletak pada 7O14’30" LS
Selanjutnya, sungai, air terjun, danau, dan dan 109 O12’30" BT, dalam wilayah

15
Indyo Pratomo

administrasi Kabupaten Pemalang, oleh Neumann van Padang (1934), van


Brebes, Tegal, Banyumas, dan Bemmelen (1949), Pardyanto (1971),
Purbalingga. Berdasarkan evolusi tubuh Djuri (1975), Sutawidjaja (1985),
vulkanik dan karakteristik bentang Sutawidjaja & Sukhyar (2009), dan
alamnya, G. Slamet dapat dibagi menjadi Bronto & Pratomo (2010). Berdasarkan
tiga periode kegiatan, yaitu G. Slamet Tua, kajian hasil penelitian tersebut maka
G. Slamet menengah, dan G. Slamet berikut diuraikan hasil kajian analisis
muda. Pada komplek G. Slamet Tua geologi gunung vulkanik G. Slamet dan
terdapat beberapa bekas kawah dan sekitarnya.
sumbat lava G. Beser (+ 925 m) (Djuri
dkk. 1996). Kegiatan vulkanik di HASIL DAN PEMBAHASAN
kawasan ini berlangsung sejak Miosen
Atas yang ditandai dengan keberadaan Geologi komplek Sekitar G. Slamet
satuan batuan formasi Kumbang yang Formasi Kumbang menjemari
terdiri dari batuan vulkanik baik di dengan formasi Halang yang tersusun
lingkungan darat maupun laut, yang oleh batupasir andesit, konglomerat tufan
menempati bagian tengah dari pulau Jawa dan napal (Djuri dkk. 1996). Dari uraian
Tengah. tersebut di atas, diperkirakan sebagian
Komplek vulkanik G. Slamet sangat besar batuan penyusun formasi Halang
menarik untuk diungkapkan karena adalah bahan rombakan asal gunung api
merupakan reaktivasi kegiaatan vulkanik dankemungkinan berasal dari G. Cupu.
yang berkembang menjadi sebagai dan lokasi kawasan ini selanjutnya dikenal
gunung api aktif hingga saat ini. Proses sebagai bagian dari formasi Kumbang.
dinamika bumi dan kegiatan vulkanik Kedua formasi batuan asal gunung api
yang menerus sejak jutaan tahun yang tersebut menumpang di atas batuan
lalu tersebut pelan dan pasti berinteraksi sedimen lunak formasi Rambatan (Tmr)
dengan satuan batuan di sekitarnya yang yang berumur Miosen Tengah. Formasi
berakibat pada pembentukan bentang Rambatan terdiri dari serpih, napal dan
alam, struktur geologi dan keaneka batu pasir gampingan. Formasi Kumbang
ragaman batuan dan evolusi geografi- dan formasi Halang ditutupi oleh formasi
purba. Kondisi yang demikian dapat Tapak (Tptb) yang berumur Pliosen dan
dilihat dengan mudah dengan pencirian tersusun oleh batu pasir, konglomerat, dan
oleh penemuan jejak-jejak flora, fauna setempat breksi andesit. Kelompok
dan tinggalan budaya manusia-purba batuan ini diduga juga merupakan bahan
(artefaktual). rombakan sebagai kelanjutan dari
pembentukan formasi Halang. Seluruh
BAHAN DAN CARA KERJA batuan berumur Tersier itu kemudian
ditutupi oleh lava G. Slamet dan endapan
Kajian penelitian geologi-gunung api aluvium (Gambar 1).
daerah G. Slamet dan sekitarnya G. Slamet terletak di bagian barat
menggunakan data yang telah dilakukan North Serayu Range dan termasuk Zona

16
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

Gambar 1. Peta geologi G. Slamet dan sekitarnya, bagian dari peta geologi Lembar Purwokerto
dan Tegal, Jawa Tengah, sekala 1:100.000 (Djuri 1975).

Bogor (Bemmelen 1949). Pardyanto vulkanik formasi Kumbang yang berumur


(1971) menyatakan bahwa Gunung Miosen Akhir, dan batu pasir kasar
Cowet (Old Slamet Volcano) dibangun berwarna kehijauan dan konglomerat dari
di tengah satuan endapan Kuarter. formasi Tapak yang berumur Pliosen
Hamilton (1979) menyatakan bahwa (Haar 1935; Djuri 1975). Satuan batuan
gunung api Kenozoikum umumnya tertua yang tersingkap di daerah ini
berkembang di atas satuan endapan laut adalah batuan formasi Rambatan yang
Neogen. Tubuh gunung api Slamet adalah terdiri dari serpih dan batu pasir napalan
gunung api komposit yang berdimensi dengan ketebalan 300 m. Satuan batuan
besar (diameter 50-60 km), menutupi ini ditindih oleh formasi Halang, yang
satuan batuan Tersier yang terdapat di terdiri dari batu pasir berselang-seling
sekitar daerah ini. dengan konglomerat tufaan dan napal.
Kedua satuan batuan ini diterobos oleh
Stratigrafi Satuan Batuan Tersier Diorit pada akhir Miosen Tengah (Djuri
Batuan dasar yang mengalasi 1975). Semua satuan batuan tersebut di
kompleks vulkanik G. Slamet adalah atas ditutupi secara tidak selaras oleh
satuan batuan Tersier yang terdiri dari satuan batuan formasi Kumbang, yang
endapan sedimen laut berumur Miosen terdiri dari breksi, konglomerat tufan, dan
(Formasi Rambatan dan formasi Halang), lava andesit dengan ketebalan berkisar
secara tidak selaras ditindih oleh endapan 200 sampai 2000 m.

17
Indyo Pratomo

Satuan Endapan Kuarter dalam sejarah sejak tahun 1772


Endapan kuarter di daerah ini (Kusumadinata 1979). Berdasarkan
umumnya didominasi oleh endapan karakteristik bentang alamnya, tubuh
vulkanik produk erupsi G. Slamet, yang vulkanik G. Slamet terdiri dari G. Slamet
terdiri dari rempah vulkanik hasil erupsi Tua, G. Slamet Muda yang terletak di
eksplosif berupa jatuhan piroklastik (air- sebelah timurnya dan G. Slamet
fall deposits), baik berupa endapan Menengah (Gambar 2). Kelompok
lepas maupun yang sudah membatu, dan endapan vulkanik produk erupsi G. Slamet
leleran lava basal yang tersebar cukup Tua terdiri dari leleran lava andesit dan
luas, mencapai jarak hingga 15 km endapan piroklastik yang telah
terutama ke lereng timur-laut dari pusat mengalami ubahan hidrotermal, dan
erupsinya. kelompok endapan G. Slamet muda, yang
terdiri dari leleran lava basaltik dan
Kompleks Vulkanik G. Slamet piroklastik jatuhan yang tidak terubah
G. Slamet (3432 m) adalah gunung (Djuri 1975 dan Sutawidjaja dkk. 1985).
api aktif yang letusannya mulai tercatat Kelompok Slamet Tua diwakili oleh lava

Gambar 2. Tafsir evolusi tubuh gunung api (volcanic edifice) G. Slamet, Jawa Tengah,
berdasarkan analisis citra landsat (Bronto dan Pratomo, 2010), memperlihatkan
karakteristik bentang alam dari G. Slamet Tua (S1), G. Slamet Menengah (S2), G. Slamet
Muda (S3), dan sebaran kerucut sinder.

18
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

Mingkrik, lelerannya tersingkap terbatas cones) yang tersebar pada lereng timur.
di bagian barat kawah G. Slamet, satuan Bentang alam tersebut ditafsirkan
batuan ini adalah pembentukan tubuh terbentuk bersamaan dengan
Slamet tua (Gunung Cowet), satuan pembangunan tubuh gunung api,
batuan ini ditindih oleh produk Slamet terutama yang berkaitan dengan erupsi
muda yang diwakili oleh leleran lava yang menghasilkan lava basal dalam
andesit piroksin. jumlah besar. Kerucut sinder ini
Sektor barat laut telah mengalami umumnya tersusun oleh endapan scoria
deformasi vulkano-tektonik dan ubahan berukuran bongkah hingga pasir, dan abu
hidrotermal, yang membentuk depresi vulkanik hasil letusan tipe Stromboli.
(graben) Guci pada lereng barat laut
(Sutawidjaja 1985). Batuan vulkanik Leleran Lava Baturaden dan Gua
Slamet Menengah menyebar ke Lava Purbalingga
tenggara, sedangkan batuan Slamet muda Kegiatan vulkanik G. Slamet
melampar ke timur-timur laut-utara dan menegah (S2) umumnya dicirikan oleh
sebagian kecil ke barat laut. Antara terbentuknya leleran lava basal dalam
batuan vulkanik Slamet muda dengan jumlah besar, yang mengalir ke bagian
Slamet tua di bagian utara dan Slamet timur dan selatan tubuh gunung api ini.
menengah di bagian selatan dibatasi oleh Leleran lava yang terdapat di kawasan
sistem sesar yang membuka ke arah wisata Baturaden memperlihatkan
timur disebabkan oleh struktur berarah struktur aliran yang dinamis, yaitu
barat daya-timur laut (Gambar 2). dicirikan dengan terbentuknya kekar-
Pada bagian kaki timur G. Slamet kekar kolom yang cukup unik (Gambar
muda dijumpai 35 buah kerucut sinder 4). Struktur kekar atau rekahan pada
dengan diameter dasar kerucut berkisar batuan beku mencirikan proses
antara 130 – 750 m dan tingginya pembekuan atau pembentukan batuan
mencapai 250 m. Kerucut-kerucut sinder tersebut, di mana pola rekahan tersebut
ini merupakan kelompok gunung api selalu tegak lurus dengan bidang
monogenesis yang mempunyai umur pendinginan.
berkisar 0,042 ± 0,020 Ma, dan Gua Lawa yang dikenal masyarakat
ditafsirkan sebagai parasit dari G. Slamet setempat sebagai gua tempat
menengah – muda (Sutawijaya & bersarangnya kelelawar (lawa), tersusun
Sukhyar 2009). oleh batuan lava (batuan beku vulkanik)
yang berasal dari G. Slamet Menengah–
KEANEKARAGAMAN Muda. Gua yang terbentuk oleh leleran
GEOLOGI (GEODIVERSTY) G. lava sangat jarang terdapat di Indonesia
SLAMET DAN SEKITARNYA karena karakteristik magma disini (zona
subduksi) tidak sama dengan daerah
Bentang Alam Kerucut Sinder pemekaran (rifting) yang umumnya
Di kawasan G.Slamet terdapat menghasilkan jenis lava yang lebih encer
bentang alam kerucut sinder (cinder (primitive basalt). Dinamika aliran lava

19
Indyo Pratomo

basal berstruktur bongkah (a’a lava) Lorong lava terbentuk pada aliran
dalam jumlah besar dengan kondisi lava basal yang relatif encer (low-
tertentu dapat membentuk lava tube atau viscosity), dan pada bagian
lorong lava (Pratomo 2010). permukaannya telah mengerak atau

Gambar 3. Peta sebaran kerucut sinder G. Slamet (atas), panorama bentang alam kerucut sinder
dan tubuh vulkanik G. Slamet (tengah) dan gambar ilustrasi dan tafsiran bentang alamnya
(Sutawidjaja & Sukhyar 2009).

20
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

Gambar 4. Leleran lava basalt di kawasan wisata Baturaden, memperlihatkan struktur kekar
kolom (columnar joint) yang mencerminkan dinamika proses pembekuan batuan tersebut.

membeku, sedangkan pada bagian menghasilkan leleran lava basal dalam


dalamnya masih cair dan panas (> 1100o jumlah besar, mengalir hingga mencapai
C), dan tetap mengalir, sehingga pada Danau Batur (Pratomo 2010). Dinamika
akhirnya menyisakan bentuk ruang aliran lava tersebut membentuk bentang
berbentuk lorong atau tabung (tube). alam yang khas, sehingga menyisakan
Lorong lava (lava tube) umumnya mozaik yang unik, memiliki keindahan
terbentuk pada aliran lava Pahoehoe tersendiri dan langka di kawasan gunung
(Mauna Loa, Hawaii) yang sangat encer api Indonesia pada umumnya.
dan juga lava bongkah (A’a) yang relatif
lebih kental dengan ketebalan tertentu Mata Air Panas Pancuran Tujuh dan
(Mt. Etna, Italia). Endapan Travertin, Baturaden
Lorong lava G. Slamet yang terdapat Pancuran Tujuh adalah mata air
di daerah Purbalingga, adalah bagian dari panas yang terletak di lereng selatan G.
kegiatan G. Slamet menengah (S2) yang Slamet, dalam Kawasan Wisata
umumnya terdiri dari leleran lava yang Baturaden, Purwokerto (Gambar 6).
membentuk lereng selatan dan tenggara. Mata air panas adalah suatu gejala
Leleran lava ini mempunyai ketebalan kenampakan panas bumi (geothermal)
hingga 50 m dan membentuk ornamen di permukaan bumi. Kemunculan mata
gua yang mirip seperti stalaktit lava dan air panas di kawasan ini dikontrol oleh
lain-lain. Stalaktit umumnya dikenal struktur sesar atau sistem rekahan
berada di gua-gua batu gamping yang memencar (radial fractures) dari G.
mengalami pelarutan oleh air karstifikasi, Slamet (Gambar 2). Persentuhan
kemudian diteteskan dan diendapkan sirkulasi air bawah tanah dengan batuan
secara vertikal dalam bentuk kerucut panas yang diakibatkan oleh kebocoran
terbalik (stalaktit) kerucut tegak sistem panas bumi di kawasan ini,
(stalagmit). Gua dan lorong lava yang mengakibatkan terbentuknya aliran air
unik seperti ini terdapat juga di kawasan panas ke permukaan bumi. Reaksi antara
G. Batur (Bali), sebagai hasil erupsi efusif aliran air panas tersebut dengan batuan
G. Batur pada tahun 1848, yang samping mengakibatkan terjadinya

21
Indyo Pratomo

Gambar 5. Lorong lava di Gua Lawa, Purbalingga (Jawa Tengah), memperlihatkan ornamen
gua berbentuk dada kelelawar (lawa), kawasan ini sudah dijadikan tujuan wisata daerah
Purwokerto dan sekitarnya (atas). Salah satu cabang dari lorong lava, dengan diameter
hingga mencapai 4 m (bawah kiri), ornament gua lava, berupa ‘stalaktit’ lava (lavacycle)
dengan beberapa sarang burung Seriti dan kelelawar (bawah kanan).

Gambar 6. Mata air panas pancuran Tujuh, merupakan gejala kenampakan panasbumi yang
terdapat di kawasan wisata Baturaden (kiri). Endapan sinter karbonat yang membentuk
gua beserta ornamennya seperti flowstone, stalaktit dan stalagmit, terdapat bagian air
terjun (cascade) yang bersumber dari mata air panas Pancuran Tujuh (kanan).

22
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

pelarutan dan pengendapan yang dinamis kapur. Pada kedua tempat tersebut dapat
membentuk endapan sinter karbonat, membentuk flowstone, stalaktit,
baik berupa travertine (endapan air stalagmit, dan speleothem lainnya
panas) dan tufa (endapkan air dingin), (Gambar 7).
seperti yang terlihat pada Gambar 6.
Travertine adalah batuan sedimen ‘Fauna Koningswald’ di sekitar G.
yang dibentuk oleh pengendapan mineral Slamet
karbonat dari larutan dalam air tanah dan Keberadaan fosil-fosil vertebrata di
permukaan, yang dipanaskan oleh mata daerah sekitar G. Slamet sudah dikenal
air panas. Travertine yang terbentuk sejak lama, diperkenalkan oleh para
pada lingkungan jenuh alkali yang peneliti terdahulu seperti Van Der Maarel
terpanaskan, dengan proses pelarutan dan Koningswald pada tahun 1920-an,
yang melarutkan gas CO 2 , sehingga lebih dikenal dengan nama
mengakibatkan peningkatan pH. Sejak ‘fauna Koningswald’. Di kawasan
menurunnya kelarutan karbonat dengan sebelah barat dari G. Slamet, di sekitar
kenaikan pH maka terjadi presipitasi yang Kali Glagah, sebelah utara Bumiayu,
membentuk mineral-mineral karbonat, dikenal sebagai salah satu tempat dimana
seperti kalsit dan aragonit. banyak ditemukan fosil-fosil binatang
Endapan travertin umumnya bertulang belakang (vertebrata) dari
tersusun oleh mineral Aragonit dan Kalsit berbagai jenis (Martadiradja 2007). Pada
yang memiliki penampilan berserat atau tahun 1920-an, ditemukan fosil-fosil
konsentris dan berwarna putih, cokelat vertebrata seperti kura-kura raksasa
dan krem akibat pengotoran, hal ini (Geochelone atlas), gajah purba
dibentuk oleh suatu proses pengendapan (Sinomastodon bumiajuensis) dll, di
kalsium karbonat (CaCO3), yang terjadi sekitar Dukuh Satir.
di mulut sumber air panas atau di gua

Gambar 7. Bagian dari stalaktit endapan sinter karbonat yang memperlihatkan struktur
pertumbuhan stalaktit (kiri), dan endapan flowstone sinter karbonat berwarna-warni
sebagai efek dari oksidasi (kanan). Endapan sinter tersebut tersusun oleh mineral aragonit
(CaCO3).

23
Indyo Pratomo

Fosil-fosil vertebrata tersebut gajah purba jenis Stegodon (Gambar 8).


sementara ini tersimpan di Museum Fosil gading gajah ini ditemukan pertama
Geologi, Bandung. Fosil vertebrata Bovid kali oleh Abdul Hading dan diidentifikasi
ditemukan insitu pada lapisan oleh Tim Museum Geologi dalam
konglomerat yang terdapat di Kali Weruh peninjauan ke lokasi temuan yang
(?) yang masuk ke Cijurang. Fosil gading dilakukan pada tanggal 6-13 Maret 2007.
berwarna coklat ditemukan dalam Fosil ini disimpan oleh Abdul Hading
endapan teras (undak sungai) di tepi Kali (Martadiradja 2007). Beberapa fosil gigi
Larang, Dukuh Karangasem, Desa gajah purba (Probocidea) jenis Elephas
Galuh Timur, Kab. Bumiayu, Jawa dan Stegodon juga ditemukan oleh
Tengah, pada koordinat 07O198’ 08" S penduduk lokal di Desa Onje, Kecamatan
dan 108O 192’ 80" E. Gading gajah ini Mrebet, Kabupaten Purbalingga
dalam keadaan utuh dan telah mengalami (Gambar 9). Stegodon adalah jenis gajah
fosilisasi sempurna. Berdasarkan (Probocidea) yang hidup di Asia sekitar
bentuknya yang melengkung maka 650-10 ribu tahun yang lalu dan sekarang
diperkirakan gading ini adalah gading telah punah (Arif 2010).

Gambar 8. Fosil gigi Bovid yang tertanam dalam batuan konglomerat di Kali Cijurang (kiri
atas), dan lokasi penemuan fosil lainnya di Kali Glagah (kanan atas). (foto : koleksi
Museum Geologi). Gading gajah purba (kiri bawah) dan lokasi penemuan fosil gading
gajah purba di Kali Larang, Dukuh Karangasem, Desa Galuh Timur, Bumiayu, Jawa
Tengah (kanan bawah).

24
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

Situs Kali Klawing, Banyumas Kali Klawing adalah salah satu


Jasper Klawing sungai besar yang berhulu di kawasan
Jasper adalah sejenis batu mulia perbukitan sebelah timur G. Slamet. G.
(gemstone), dan bersusunan silika Sidingklik (+820 m), G. Plana (+ 889 m),
(SiO2), mempunyai kekerasan berkisar G. Tipis (+1007 m), G. Beser (+1100 m)
antara 6,5 - 7 pada skala Mohs dengan dan G. Tjupu (+1291m) adalah perbukitan
berat jenis 2,60 - 2,91. Jenis batuan ini yang merupakan bagian dari satuan
mempunyai kilap bagus, warna beragam, batuan vulkanik bawah laut yang
dan tahan terhadap larutan asam dikelompokkan dalam formasi Kumbang
(Sudjatmiko 2010). Jasper terbentuk yang berumur Miosen Atas (5 – 10 juta
sebagai hasil proses ubahan hidrotermal tahun yang lalu). Satuan batuan formasi.
terhadap batuan sedimen klastik, Kumbang umumnya terdiri dari batuan
terutama yang berasosiasi dengan batuan sedimen klastik gunung api seperti breksi,
vulkanik bawah laut, atau kegiatan tufa, lava, dan beberapa jenis batuan
gunung api bawah laut. Keaneka korok yang juga merupakan bagian dari
ragaman batuan asal (tekstur, struktur pipa kepundan gunung api tua. Bebatuan
dan jenis batuan) yang mengalami ini umumnya telah mengalami ubahan
ubahan hidrotermal tersebut memberikan hidrotermal yang berkaitan baik dengan
pengayaan dan variasi warna, mozaik dan kegiatan vulkanik atau aliran fluida
karakter fisik lainnya yang dapat pasca-vulkanik pada masa itu, yang
meningkatkan mutu dan nilai tambah menghasilkan bebatuan berwarna-warni,
sebagai batu mulia (gemstone). selaras dengan kondisi awal batuan,

Gambar 9. Fosil gigi gajah jenis Stegodon yang ditemukan di Desa Onje, Purbalingga (Arif,
2010)

25
Indyo Pratomo

kontaminasi (pengotoran) dan intensitas bang (convolute), dan membentuk


kontaknya dengan batuan pembawa rongga dengan kristal-kristal kuarsa yang
panas (vulkanik). Ubahan hidrotermal tumbuh di dalamnya (geode), seperti
tersebut mengakibatkan terbentuknya yang terlihat pada Gambar 10.
batuan jasper yang mempunyai
karakteristik yang khas sebagai batu Artefaktual dan Jasper Klawing
mulia. Aliran Kali Klawing memotong Pemanfaatan Jasper Klawing telah
kawasan ini mengerosi bebatuan dan diketahui sejak zaman pra-sejarah
mengendapkannya di sepanjang aliaran (Paleolitikum - Neolitikum) hingga saat
sungai ini. Di sepanjang Daerah Aliran ini. Setidaknya telah ditemukan tidak
Sungai (DAS) Klawing ditemukan kurang dari 22 situs perbengkelan batu
berbagai jenis batumulia seperti jasper, prasejarah berikut sekitar 42.000
akik (agate), kalsedon (chalcedony), perkakas yang terbuat dari batu di
biduri tawon (silicified corals), dan kawasan ini (Simanjuntak 2010). Artefak
prasem (green chalcedony), yang batuan prasejarah tersebut bentuknya
merupakan hasil rombakan bebatuan F. mulai dari yang sangat sederhana seperti
Kumbang yang dihanyutkan dan kapak perimbas (chopper) dan kapak
diendapkan disepanjang K. Klawing. penetak (chopping tool) dari zaman
Paleolitik, sampai yang canggih seperti
Jasper Panca Warna gelang batu dari zaman Neolitik (Gambar
Jasper panca warna (multi- 11).
coloured jasper) mempunyai 5 warna
atau lebih (hijau tua, hijau muda, hijau Keanekaragaman Geologi dan
kebiruan, merah, kuning, oranye, coklat, Interaksinya dengan Perkembangan
putih, dan lain-lain). Jasper Klawing Budaya.
mempunyai variasi dan warnanya yang Kegiatan tektonik baik lokal maupun
beragam, mozaik yang menarik, dan regional, terutama di daerah vulkanik
mineral pirit yang menambah keindahan aktif, dengan segala aspek dan
batuan tersebut (Sudjatmiko 2010). implikasinya membentuk rekahan-
Dinamika bumi terjadi di daerah ini yang rekahan dalam (deep-stuctures) yang
berlangsung sejak jutaan tahun lalu dimanifestasikan dalam vulkanisasi dan
menghasilkan bebatuan dan membentuk gejala kenampakan panas bumi, seperti
karakteristiknya seperti tekstur (breksi, mata-air panas, geiser, dan fumarola dll.
konglomerat, dll), struktur (perlapisan) Aliran fluida baik berupa sisa larutan
dan urat-urat kuarsa atau kalsit dsb, yang magma, air dan gas yang melalui media
kemudian mengalami ubahan hidrotermal. atau rekahan pada kulit bumi, berinteraksi
Pada beberapa bagian batuan ini masih dengan bebatuan di sekitarnya,
terlihat jejak-jejak bidang perlapisan dan menghasilkan mineral-mineral ubahan
beragam, struktur sedimen seperti baik dalam proses reaksi maupun
perlapisan silang-siur, penggerusan, substitusi unsur-unsur pembentukya.
perlapisan-halus (laminaire), bergelom-

26
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

Gambar 10. Jasper (panca warna) Klawing yang selain memperlihatkan warna yang kontras
dan beragam seperti hijau, orange, putih, merah,dan kuning, memperlihatkan juga tekstur
breksi (kiri atas), konglomerat (kanan atas), berlapis tipis (kiri bawah), dan berongga
(kanan bawah). (foto: koleksi Sudjatmiko)

Gambar 11. Artefak Paleolitik berupa kapak perimbas dan kapak penetak (kiri), Artefak Neolitik
berupa pisau, inti gelang batu, tatal batu dan beliung persegi (kanan). (foto : koleksi
Simanjuntak)

27
Indyo Pratomo

Keterdapatan endapan sinter lingkungannya (Gambar 8, 9 dan 11).


karbonat di Kawasan Wisata Baturaden Pemanfaatan batuan Jasper seperti yang
(Gambar 6 dan 7), mengindikasikan terdapat di sekitar K. Klawing,
bahwa batuan yang mendasari kawasan membuktikan bahwa ‘kearifan lokal’
tersebut mengandung unsur karbonat (local wisdom) dan evolusi geologi pada
(batu gamping) setidaknya telah terjadi suatu daerah mempunyai hubungan yang
asimilasi atau reaksi antara unsur-unsur sangat erat.
pembentuk batuan di kawasan tersebut
dengan fluida (dari sistem magmatis G. KESIMPULAN DAN SARAN
Slamet) yang menerobos atau
melaluinya. Batuan Jasper yang terdapat Keterdapatan fosil-fosil vertebrata
di sekitar Kali Klawing, Purbalingga, dan artefaktual di sekeliling gunung api
mengindikasikan terjadinya proses ini menandakan bahwa sejak jutaan tahun
ubahan hidrotermal dalam dimensi yang yang lalu kawasan ini merupakan
lebih luas dan dalam jangka waktu lama, kawasan yang memiliki daya dukung
di mana sumber panas bumi (magmatis lingkungan hidup yang sangat baik.
atau non magmatis) menginduksi satuan Pemanfaatan batuan Jasper seperti yang
batuan yang terdapat di sekitarnya terdapat di sekitar K. Klawing,
sehingga mengalami pengersikan membuktikan bahwa ‘kearifan lokal’ (lo-
(silisifikasi) yang diantaranya menghasil- cal wisdom) dan evolusi geologi pada
kan batuan Jasper (Gambar 10). suatu daerah mempunyai hubungan yang
Kegiatan magmatis baik berupa sangat erat. Kawasan di sekitar G.
terobosan diorit maupun kegiatan gunung Slamet memiliki keragaman geologi
api yang berlangsung sejak Miosen (geodiversitas) dan budaya (arkeologi),
Tengah (formasi. Kumbang) hingga saat didukung oleh kondisi lingkungan yang
ini (G. Slamet) dapat dianggap sebagai masih relative baik, adalah sangat
sumber panas bumi. berpotensi untuk dikembangkan sebagai
Dinamika erupsi G. Slamet sejak ‘Taman Bumi’ (Geoparks), yaitu sebuah
ratusan ribu tahun yang lalu menghasilkan konsep pengelolaan kawasan secara
bentang alam dan sisa-sisa proses berkesinambungan (sustainable) yang
vulkanisasi yang di anranya menghasil- berbasis keanekaragaman geologi
kan sebaran kerucut sinder yang unik dan (geodiversity), biologi (biodiversity)
mengikuti pola struktur geo-vulkanologi dan budaya (cultural diversity), seperti
di kawasan ini (Gambar 3). Keterdapa- yang diperkenalkan pertama kali di
tan fosil-fosil dan artefaktual (situs daratan Eropa.
arkeologi) yang merupakan jejak-jejak
kehidupan masa lalu mempunyai DAFTAR PUSTAKA
hubungan erat dengan evolusi geografi
purba yang berkaitan dengan lingkungan Arif, J. 2010. Fosil Gigi Stegodon Dari
flora, fauna, dan budaya manusia purba Desa Onje, Purbalingga. Dalam
ruang dan waktu serta fenomena “Misteri Batu Klawing”, Jejak-

28
Keanekaragaman Geologi Komplek Volkanik

jejak Peradaban di Purba- 100,000. Direktorat Vulkanologi,


lingga. Rahardjo, A.T. dan tidak diterbitkan.
Sudjatmiko (editor), Kelompok Pratomo, I. 2010. Lorong Lava Gunung
Riset Cekungan Bandung. 91-96. Batur, Bali. Laboratorium Gunung
Bronto, S. & I. Pratomo. 2010. Sebaran api Pertama di Indonesia. Warta
Formasi Kumbang (Tmpk) di Jawa Geologi 5 (3):10-15.
Tengah; karakteristik dan Rahardjo, AT. 2010. Meneropong
implikasimya. Dalam “Misteri Kehidupan Purba Di Purbalingga.
Batu Klawing”, Jejak-jejak Dalam “Misteri Batu Klawing”,
Peradaban di Purbalingga. Jejak-jejak Peradaban di
Rahardjo, A.T. dan Sudjatmiko (edi- Purbalingga. Rahardjo, A.T. dan
tor). Kelompok Riset Cekungan Sudjatmiko (editor), Kelompok
Bandung. 11-20. Riset Cekungan Bandung. 105-114.
Djuri, M., 1975, Geologic map of the Simanjuntak, HT. 2010. Purbalingga;
Purwokerto and Tegal qudrangles, Masa Lalu untuk Masa Sekarang.
Java, Quadrangles: lOXXN-C & Dalam “Misteri Batu Klawing”,
10/XIII-F. Geological Survey of Jejak-jejak Peradaban di
Indonesia. Purbalingga. Rahardjo, A.T. dan
Haar, C. 1935, Geologische kaart van Sudjatmiko (editor), Kelompok
Java. Toelichting bij blad 58 Riset Cekungan Bandung. 41-64.
(Bumiajoe). Schaal 1: 100,000. Sudjatmiko, 2010. Jasper Klawing,
Dienst van den Mijnbouw in Purbalingga : Pesona, Potensi dan
Nederlandsch-Indie. Prospeknya. Dalam “Misteri Batu
Hamilton, W. 1979. Tectonic of the In- Klawing”, Jejak-jejak Pera-
donesian region. Geol. Surv. Prof. daban di Purbalingga. Rahardjo
Paper. 1078. & Sudjatmiko (editor), Kelompok
Kusumadinata, K. 1979. Data dasar Riset Cekungan Bandung.p. 21-40.
gunung api Indonesia. Direktorat Sutawidjaja, IS., D. Aswin & K. Sitorus,
Vulkanologi 1985, Geologic map of Slamet
Martadiradja, J. 2007. Penemuan Fosil volcano, Central Java. Scale 1:
Gading Gajah Purba di Bumiayu. 50,000. Volcanological Survey of
Museum Geologi, Laporan Internal. Indonesia.
Tidak diterbitkan. Sutawidjaja, IS. & R. Sukhyar. 2009.
Neumann van Padang, M. 1951, Cinder cones of Mount Slamet,
Catalogue of active volcanoes of Central Java, Indonesia, Jurnal
the world including solfatara fields, Geologi Indonesia 4 (1), 57-75.
part 1 Indonesia. Intern.Volcanol. Van Bemmelen, R W. 1949. The geology
Assoc. Italia. Napoli. 271p. of Indonesia and adjacent
Pardyanto, L. 1971, Peta geologi daerah archipelago. The Hague: Gover-
gunung Slamet dan sekitarnya – ment Printing Office.
penafsiran potret udara. Skala 1:

29
Indyo Pratomo

30
Ekologi Gunung Slamet

Kajian Hidro Klimatologi Wilayah Gunung Slamet Jawa Tengah

Dodo Gunawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta
Email : dodo.gunawan@bmkg.go.id

ABSTRACT

Hydro-climatology Study at Slamet Mountain Central Java. Hydro-climatology study has


been conducted by calculated water balance data of rainfall, land use and evapotranspiration
from several districts within Mount Slamet, Central Java Province. The annual water balance
showed the variation between 1000 mm/year in northern shore of the province to 4500 mm/year
in the midle of the province which is the mountain areas. The water balance variation follows
the monsoon rainfall type of this area, where the dry season lies between May – October. The
water balance in this condition exhibits the deficit. Meanwhile, in the wet season which lies in
the the period of November – April, the water balance condition is surplus. The high surplus
is located in the area of Mount Slamet with the values ranges between 300 – 400 mm/month.

Key words: Water balance, Mount Slamet, evapotranspiration, hydro-climatology.

PENDAHULUAN yang dikenal dengan nama ENSO (El


Nino Southertn Oscillation), dan interaksi
Pengetahuan mengenai karakteristik yang terdapat di Samodra Hindia yang
iklim di suatu daerah sangat diperlukan dikenal dengan Dipole Mode. Maden
untuk membantu pengembangan potensi Julian Oscillation (MJO) (Maden & Julian
daerah, baik dari aspek pertanian maupun 1971; 1994) adalah osilasi (udara) di
pemanfaatan sumber daya yang lain. atmosfer yang terjadi setiap 30 sampai
Karakteristik iklim sangat terkait dengan 60 hari sekali, yang bergerak dari
siklus hidrologi pada setiap kawasan. Samodra Hindia ke samodra Pasifik.
Dengan mengetahui karakteristik dan Secara geografis, wilayah Indonesia
siklus hidrologi suatu kawasan maka terletak di antara benua Asia dengan
potensi sumber daya iklim dan air dapat benua Australia. Akibatnya, secara
dimanfaatkan secara optimal untuk umum, iklim di Indonesia berpola monsun
berbagai keperluan manusia. (Ramage 1968). Pola hujan yang terjadi
Iklim pada suatu daerah tidak di sebagian besar wilayah Indonesia
terlepas dari interaksi antar faktor mengikuti pola sirkulasi dari sistim
pengendalinya, baik yang berskala lokal, monsun tersebut. Namun, secara
regional maupun global. Pengaruh iklim keseluruhan di wilayah Indonesia
yang berskala global yang terjadi di terdapat tiga pola hujan (BMKG 2000;
Indonesia adalah interaksi antara daratan Aldrian 2003):
lautan yang terdapat di Samodra Pasifik

31
Dodo Gunawan

·1. Pola yang benar-benar mengikuti Hal ini berkaitan dengan posisi daerah
sirkulasi monsun, yakni musim kemarau tersebut yang bersebelahan menyebelah
mengikuti monsun Australia dan musim dengan garis edar matahari melintasi
hujan mengikuti monsun Asia. ekuator.
Karakterisitik dari pola monsun adalah Makalah ini mengutarakan keadaan
adanya perbedaan yang tegas antara hidro-klimatologi kawasan G. Slamet dan
musim kemarau dengan musim hujan. sekitarnya yang meliputi Kabupaten
Untuk keperluan membuat prakiraan Tegal, Pemalang, Purbalingga,
batasan musim hujan dengan musim Wonosobo, Banjarnegara dan
kemarau, BMKG juga memakai nilai Banyumas. Kajian hidro-klimatologi
curah hujan bulanan 150 mm (BMKG, kawasan ini dimaksudkan untuk
2010). Dengan menggunakan patokan mengetahui potensi iklim dan hidrologi
ini, daerah-daerah yang berpola monsun yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai
akan lebih terlihat lagi batas waktu antara kegiatan pembangunan.
musim hujan musim kemaraunya. Di lain
sisi, dengan patokan tersebut, maka BAHAN DAN METODE
belum tentu daerah yang berpola monsun
termasuk dalam daerah atau Zona Musim Bahan untuk menganalisis curah
(ZOM) BMKG. Sebagai contoh daerah hujan dalam rangka menentukan neraca
Bogor; walaupun secara pola hujannya air kawasan G. Slamet terdiri atas (1) data
adalah monsun namun dari segi jumlah meteorologi wilayah, (2) data
curah hujan bulanan daerah ini tidak pemanfaatan kebutuhan air, serta (3)
masuk kategori daerah bermusim karena data curah hujan. Data curah hujan yang
curah hujan bulanan sepanjang tahun digunakan untuk menentukan nilai rata-
selalu lebih tinggi dari 150 mm. rata adalah periode 1980 – 2005.
2. Pola monsun namun waktunya Metode menghitung neraca air
berbeda dengan pola pertama karena kawasan untuk melihat keseimbangan air
mengikuti sirkulasi udara yang berbeda. sepanjang tahun dilakukan dengan
Pola ini antara lain terjadi di Maluku Utara menghitung selisih dari curah hujan
dan Sulawesi Tengah bagian timur. Saat bulanan dengan evapotranspirasi. Hasil
sirkulasi monsun Australia, daerah ini perhitungan ini kemudian digambarkan
mengalami musim hujan dan sebaliknya pada peta untuk melihat sebaran neraca
saat sirkulasi monsun Asia, daerah ini air secara spasial.
mengalami musim kemarau. Untuk pola Curah hujan rata-rata bulanan
sejenis ini, BMKG menamakan pola dihitung sebagai berikut:
lokal untuk membedakan hanya dari segi
waktu kejadiannya dengan pola monsun. Curah hujan bulan yang sama/
·3. Pola yang berbeda dari keduanya jumlah tahun:
adalah daerah-daerah yang berada di
sekitar ekuator. Pola hujan di derah ini Jumlah curah hujan setahun rata-
memiliki dua musim hujan dalam setahun. rata selama periode pengamatan

32
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet

dihitung sebagai berikut: Secara diagram alur proses perhitungan


Jumlah curah hujan dalam setahun/ kebutuhan air dapat dilihat pada Gambar
Jumlah tahun 1.
Perhitungan kebutuhan air aktual HASIL
vegetasi dilakukan dengan
mempertimbangkan nilai koefisien Di wilayah Provinsi Jawa Tengah,
tanaman (kc) kebutuhan air tiap curah hujan tahunan berkisar dari 1.000
penggunaan lahan. Nilai Kc untuk setiap mm di pantai utara bagian timur dan barat
jenis penggunaan lahan dapat dilihat pada sampai dengan 4.500 mm di bagian
Tabel 1 tengah (Gambar 2). Terkonsentrasinya
curah hujan di bagian tengah disebabkan
Kebutuhan air vegetasi dari Eo oleh faktor topografi. Hal ini terjadi
masing-masing penggunaan lahan dihitung karena bagian tengah Jawa Tengah
dengan rumus berupa pegunungan sehingga curah hujan
ETo = 0,85 . Ep secara konvergensi jatuh di wilayah ini.
Dimana : Keadaan ini sesuai dengan hasil kajian
Eto = Evapotranspirasi rujukan (mm) Qian et. al (2010) yang menunjukkan
Ep = Evaporasi Panci Terbuka (mm) bahwa hasil penelitian menggunakan
model dan data satelit, curah hujan di
Kebutuhan air vegetasi dihitung Pulau Jawa terkonsentrasi di bagian
dengan menggunakan formulasi: tengah. Curah hujan yang tinggi di bagian
  ( Kc1 × A1 ) + ( Kc2 × A2 ) + ... + ( Kcn × An ) tengah Jawa Tengah terutama berada di
Cu = Eo
A1 + A2 + ... + An wilayah G.Slamet. Secara administratif,
sebagian demi sebagian kawasan
Cu = Kebutuhan air tanaman /con-
G.Slamet termasuk ke dalam wilayah
sumptive use (Cu) (mm)
Kabupaten Tegal, Pemalang, Purbalingga,
Kc = Koefisien tanaman /crop fac-
Banjarnegara dan Banyumas. Curah
tor tiap satuan penggunaan lahan
hujan tahunan yang berkisar antara 4.000
An = Luas penggunaan lahan (km2)
- 4.500 sebagian besar berada di wilayah
Eo = Evaporasi (mm)
Banjarnegara, bagian utara Banyumas
dan Purbalingga dan bagian selatan Tegal

Tabel 1. Nilai koefisien tanaman (kc) kebutuhan air tiap penggunaan lahan
No Landuse Kc rerata
1 Hutan 0.93
2 Tanah Kosong 0.38
3 Kebun 0.70
4 Sawah 1.25
5 Tegalan 0.68
6 Permukiman 0.70

 
33
Dodo Gunawan

Koefisien (Kc): Hutan (0,93), tanah kosong (0,38), kebun 
Peta Penggunaan 
(0,70), sawah (1,25), tegalan (0,68), permukiman (0,70), 
lahan  kawasan 
tubuh air (1)  Sumber : FAO (1996) 

Menghitung kebutuhan air : 
Edit hutan, tanah kosong,  Kebutuhan air 
kebun, sawah, tegalan,    vegetasi 
( Kc1 × A1 ) + ( Kc 2 × A2 ) + ... + ( Kcn × An )
permukiman  Kc = Eo
A1 + A2 + ... + An

Evaporasi panci (Eo) 

Gambar 1. Diagram Alir Perhitungan Neraca Air

dan Pemalang. Komponen terbesar Pada bulan Agustus luas surplus di tiga
neraca air adalah penguapan dari kabupaten tersebut yang berada pada
permukaan termasuk penguapan dari kisaran 100 - 200 mm semakin menyempit
vegetasi (evapotranspirasi). Hasil sementara kabupaten yang lain di wilayah
perhitungan neraca air bulanan di wilayah G. Slamet nilai surplus berada pada
G. Slamet disajikan pada Gambar 3a - 3c kisaran 0 - 100 mm.
dengan uraian sebagai berikut: Pada bulan September seluruh
Pada bulan Januari - Maret, neraca wilayah di Jawa Tengah mengalami sur-
air di kabupaten-kabupaten sekitar plus hanya pada kisaan 0 - 100 mm.
kawasan G. Slamet dalam kondisi surplus Sebaran wilayah menunjukkan
yang berkisar antara 100 - 400 mm. Pada kabupaten yang berada di wilayah G.
bulan April neraca air masih surplus Slamet masih berada pada kondisi sur-
namun kisarannya sebagian besar pada plus dengan beberapa spot defisit
100 - 300 mm, sedangkan di wilayah menyebar di beberapa kabupaten. Mulai
G.Slamet kisaran surplus adalah 300 - 400 bulan Oktober kondisi neraca air sudah
mm. Mulai bulan April wilayah Jawa mulai surplus dan nilai surplus tertinggi
Tengah bagian timur dan pantura sudah berkisar 300 - 400 mm berada di
mulai mengalami defisit air. Pada bulan kabupaten-kabupaten di kawasan G.
Mei defisit semakin meluas ke arah Slamet. Pada bulan November kondisi
pantura bagian barat dari Jawa Tengah. surplus sudah semakin merata termasuk
Kondisi defisit terus meluas dan kondisi nilai kisarannya yang seragam pada 100
surplus hanya tersisa di kawasan G. - 200 mm. Pada bulan Desember terjadi
Slamet. Pada bulan Juli kondisi surplus variabilitas curah hujan yang besar di
hanya terdapat di beberapa bagian dari setiap kabupaten termasuk di kawasan
kabupaten yang berada di kawasan G. G. Slamet. Pada bulan ini terlihat bahwa
Slamet yaitu di sebagian Kabupaten surplus yang tinggi juga berada di wilayah
Banyumas, Purbalingga dan Wonosobo. G. Slamet yang berkisar antara 300 - 400
mm.

34
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet

Gambar 2. Curah hujan tahunan di Provinsi Jawa Tengah

Gambar 3a. Neraca air bulanan Provinsi Jawa Tengah bulan Januari - April

35
Dodo Gunawan

Gambar 3b. Neraca air bulanan Provinsi Jawa Tengah bulan Mei - Agustus
 

Gambar 3c. Neraca air bulanan Provinsi Jawa Tengah bulan September - Desember

36
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet

PEMBAHASAN nilai 0 - 100 mm. Ditinjau dari segi


kebutuhan pengairan, terutama padi
Variabilitas kondisi neraca air, sur- sawah, kisaran surplus tersebut tidak
plus-defisit, di kawasan G.Slamet mencukupi sehingga perlu dibantu dengan
mencerminkan variabilitas curah hujan air irigasi. Hal ini disebabkan karena
sebagai unsur masukan dalam sistem kebutuhan minimal tanaman padi tanpa
hidro klimatologi dan keseimbangan bantuan irigasi adalah surplus 200 mm/
(neraca) air. Kondisi defisit secara umum bulan (Oldeman 1982). Oleh karena itu,
mengikuti pola distribusi hujan monsoon. dalam aplikasinya, walaupun nilai neraca
Di kawasan Jawa Tengah defisit dimulai air surplus namun bila hanya berada di
pada bulan April, diawali dari sebagian antara 0 - 100 mm maka kawasan serta
pantai utura (pantura); pada bulan Mei waktu yang berada pada nilai ini perlu
diikuti oleh kawasan di bagian timur dilakukan penambahan air melalui irigasi.
provinsi dan bulan Juni ke pantura bagian Periode defisit ini terus berlangsung
barat (Gambar 3a, 3b). Sementara itu di sampai bulan September dan keadaan ini
kawasan G.Slamet, defisit hanya terjadi sesuai dengan periode bulan musim
dalam spot-spot yang tersebar (Gambar kemarau yang berlangsung dari Mei
3c). Kawasan yang tidak mengalami sampai Oktober. Mulai bulan November
defisit masih tetap surplus dengan kisaran sampai April kondisi neraca air kembali

Gambar 4a. Rata-rata curah hujan (1979 - 2002) periode Desember-Januari-Februari (mm/hari)
dari model RegCM3 yang menggambarkan Pulau Jawa pada lebar 106.5o - 108.5o BT.
Grafik balok menunjukkan ketinggian permukaan arah utara - selatan selebar bujur tersebut,
grafik garis penuh adalah simulasi dengan pegunungan, dan grafik garis putus adalah
simulasi curah hujan tanpa gunung (Qian et al. 2010).

37
Dodo Gunawan

Gambar 4b. Simulasi curah hujan bulan Juni 2003 dan Desember 2003 (mm/bulan) dari model
MM5 yang menggambarkan irisan melintang pada 1.0o LS di Sulawesi Tengah. Grafik
balok menunjukkan ketinggian permukaan arah barat-timur sepanjang 119.0o BT-120.8 o
BT (Gunawan 2006).

surplus; hal ini sesuai dengan periode selatan pulau Jawa (Samudra Hindia)
musim hujan. Dari variabilitas neraca air maupun dari sebelah utara (Laut Jawa)
bulanan secara spasial tampak bahwa sirkulasinya mengarah ke darat dan
kondisi surplus lebih banyak di bertemu (konvergensi) di bagian tengah
pegunungan dibandingkan dengan dataran yang secara kebetulan berupa
rendah. Hal ini disebabkan curah hujan pegunungan (Gambar 5). Hal yang sama
yang lebih banyak jatuh di kawasan (Gunawan 2006) berlaku juga di lembah
pegunungan. Tentang konsentrasi hujan Palu, Sulawesi Tengah. Lembah tersebut
yang lebih tinggi di daerah pegunungan, secara garis lurus menghadap ke teluk
Qian et al. (2010) telah mengkaji secara Palu yang berada di sebelah utaranya,
khusus di Pulau Jawa. Sementara sehingga pola sirkulasi udara darat-laut
Gunawan (2006) meninjau hal yang sama mengikuti lorong angin arah utara-selatan
untuk daerah Sulawesi Tengah. Dari yang ditunjukkan oleh arah angin dominan
kedua penelitian tersebut ditunjukkan sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
bahwa faktor topografi (Gambar 4) Ditinjau dari aspek hidro-klimatologi dan
memegang peranan penting dalam proses siklus air, wilayah G.Slamet merupakan
pembentukan hujan. Demikian pula faktor daerah penangkap dan penyerap air hujan
sirkulasi udara lokal darat dan laut. serta sebagai sumber air dari beberapa
Menurut Qian et al. (2010) baik dari DAS yang mengalir di sekitarnya.

38
Kajian Hidro-klimatologi Wilayah Gunung Slamet

Gambar 5. Siklus harian pukul 19.00 - 22.00 waktu setempat dari sirkulasi angin dan curah
hujan (mm/hari) selama periode Desember - Januari - Februari di Pulau Jawa. Warna
menunjukkan perbedaan curah saat tahun-tahun El Nino dengan klimatologinya (Qian,
et al. 2010).

Gambar 6. Siklus harian pola sirkulasi angin darat dan laut di Sulawesi Tengah (Gunawan
2006)

39
Dodo Gunawan

Perubahan penutupan lahan di daerah Klimatologi dan Geofisika. Jakarta.


hulu akan berpotensi terhadap BMKG. 2010. Prakiraan Musim
pengurangan daya serap air dan Kemarau 2010. Badan
berpotensi untuk menimbulkan erosi Meteorologi Klimatologi dan
maupun banjir. Geofisika. Jakarta.
Gunawan, D. 2006. Atmospheric Variabil-
KESIMPULAN ity in Sulawesi, Indonesia - Regional
Atmospheric Model Results and
Kajian hidro klimatologi Jawa Observations. [PhD Dissertation].
Tengah menunjukkan bahwa nilai neraca Goettingen University, Germany.
air tahuan yang berkisar antara 1.000 Madden, RA. & PR. Julian, 1971. De-
mm/tahun (di daerah dataran rendah tection of a 40 - 50 day oscillation
pantura) sampai 4.500 mm (di wilayah in the zonal wind in the tropical
G. Slamet). Pacific. J. Atmos. Sci. 28: 702-708
Variasi neraca air bulanan berkisar Madden, RA. & PR. Julian, 1994. Ob-
dari defisit hingga surplus mencapai 450 servations of the 40 - 50 day
mm/bulan. Periode defisit dan surplus ini tropical oscillation: a review. Mon.
sejalan dengan periode musim di wilayah Wea. Rev. 122: 814-837.
Jawa Tengah.Periode defisit bersamaan Oldeman, LR. 1982. A study of
dengan saat musim kemarau yaitu Mei - agroclimatology of the humid
Oktober dan periode surplus berlangsung tropic of Southeast Asia. Tech.
bersamaan dengan periode musim hujan Rep. FAO. Rome.
yaitu antara November - April. Qian, JH. A. Robertson & V. Moron
Nilai surplus yang berkisar antara 0 2010. Interactions among ENSO,
- 100 dapat dijadikan sebagai batas spa- the Monsoon, and Diurnal Cycle in
tial dan temporal dalam mengantipasi Rainfall Variability over Java, In-
pemenuhan kebutuhan air, baik untuk donesia. J. Atmos. Sci. 67: 3509 -
sektor pertanian (irigasi) maupun 3524.
kebutuhan air domestik. Ramage, CS. 1968. Role of a Tropical
"Maritime Continent" in the Atmo-
DAFTAR PUSTAKA spheric Circulation, Monthly
Weather Review. 96: 365 - 370.
Aldrian, E. & R D. Susanto 2003. Identi-
fication of three dominant rainfall
regions within Indonesia and their
relationship to sea surface tem-
perature. Int. J. Climatol. 23:
1435-1452.
BMKG. 2000. Prakiraan Musim Hujan
2000. Badan Meteorologi

40
Ekologi Gunung Slamet

Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Suprayogo Soemarno & Deden Girmansyah


Pusat Penelitian Biologi-LIPI.Jl. Raya Cibinong Km 46 Cibinong Bogor

ABSTRACT

The Condition of Nature Forest Area of Slamet Mountain, Central Java. The Condition of
Nature Forest Area of Slamet in this research at height of >1.000 m asl, was obtained from
available map. Ground check was conducted by collection of plant at height of 1.000-3.000 m
asl on east angle of pitch. It is discovered that forest, mixture garden, and dry agricultural field
is the main land use system at this area. It is also found 119 species of plant (159 specimens)
comprise of 84 generas from 56 family. Nature forest area Slamet Mt. is regarded as the last
habitat of real mountain plant type in Java. Research and improvement of this forest area is
needed to ensure the existence of this area in the future.
Key Words: Forest area, nature forest, Slamet Mountain, Central Java.

PENDAHULUAN pada kawasan ini, antara lain alih fungsi


peruntukan lahan berjalan begitu cepat.
Gunung Slamet merupakan salah Kebakaran hutan sebagai akibat aktivitas
satu gunung api aktif, berbentuk strato, manusia beberapa kali terjadi di kawasan
memiliki ketinggian 3.432 m dpl. Gunung ini, seperti dilaporkan pada tahun 1982
ini tercatat sebagai gunung terbesar dan dan 1995, kejadian terakhir merupakan
tertinggi kedua di Jawa setelah G. kebakaran cukup hebat, mencapai batas
Semeru. Secara administratif berada di tutupan edelweis, dekat puncak gunung.
dalam wilayah Kabupaten Banyumas, Sangat sedikit ketersediaan
Purbalingga, Pemalang, Tegal, dan informasi mengenai kondisi kawasan
Brebes. Jenis batuan penyusun utama hutan G. Slamet, terutama informasi
kawasan gunung ini adalah tuff, aluvial kekayaan flora di kawasan hutan
muda, dan basal. Kondisi iklim kawasan alamnya. Informasi mengenai kondisi
ini sangat basah, curah hujan tahunan kawasan hutan ini dikumpulkan melalui
mencapai kisaran 2.750-6.500 mm penelusuran data yang tersedia dan sigi
(KNLH 2011). lapang koleksi jenis-jenis tumbuhan pada
Untuk mencapai puncak dapat jalur pendakian timur.
ditempuh melalui empat jalur pendakian,
yaitu jalur barat-Kaliwadas, Brebes; BAHAN DAN CARA KERJA
jalur selatan-Baturraden, Banyumas;
jalur timur-Bambangan, Purbalingga, dan Untuk memperoleh gambaran
jalur utara-Gambuhan, Pemalang. tentang kondisi tutupan lahan kawasan
Tekanan kegiatan manusia sangat terasa hutan G. Slamet dilakukan melalui

41
Soemarno & Girmansyah

penelaahan peta yang tersedia, meliputi: ketinggian sekitar 1.000 m dpl. dibagi
Peta Citra Landsat tahun 2003 skala menjadi enam strata ketinggian, dengan
1:155.135 (KNLH 2011); Peta rentang ketinggian 1.142 - 3.375 m dpl..
Penggunaan Tanah Kabupaten Pada peta hasil analisis citra landsat
Banyumas skala 1:50.000 (Kantor tahun 2003 (Gambar 2), bentuk tutupan
Pertanahan Kab. Banyumas 1994); lahan kawasan G. Slamet pada ketinggian
Daftar Peta Tematik TM-3 o skala sekitar 1.000 m dpl. dapat dipilah menjadi
1:100.000 (Kantor Pertanahan Kab. tujuh peruntukan, yaitu hutan primer,
Banyumas 2008); Peta Penggunaan kebun campuran, tegalan, sawah,
Tanah Kab. Purbalingga skala 1:50.000 permukiman, sungai/tubuh air, dan lahan
(Kantor Pertanahan Kab. Purbalingga, terbuka. Luas masing-masing bentuk
1994); Peta Penggunaan Tanah Kab. tutupan lahan pada setiap wilayah
Pemalang skala 1:200.000 (Kantor kabupaten disajikan pada Lampiran 1.
Pertanahan Kab. Pemalang 2008); Peta Sementara itu tiga bentuk tutupan lahan
Penggunaan Tanah Kab. Brebes skala utama di atas ketinggian 1.000 m dpl.
1:50.000 (Kantor Pertanahan Kab. yang meliputi 95% luas lahan pada
Brebes 1994); dan Peta Penggunaan ketinggian tersebut adalah hutan primer,
Tanah Kab. Tegal skala 1:62.500 kebun campuran, dan tegalan (Tabel 1).
(BAPPEDA dan Kantor Pertanahan Pada ketinggian sekitar1.000 m dpl.
Kab. Tegal 1991.). Telaah peta dibatasi terlihat bahwa bentuk tutupan lahan
pada ketinggian 1.000 m dpl. ke atas. berkurang mengikuti ketinggian tempat
Gambaran kekayaan flora diperoleh (Tabel 1 dan Lampiran 1). Luas lahan
dari koleksi jenis tumbuhan pada jalur pada ketinggian ini tercatat 27.296 ha.,
pendakian timur Bambangan, yang secara kewilayahan Kabupaten.
Purbalingga (1.000-3.000 m dpl.), pada Banyumas mempuyai wilayah terluas
bulan Maret 2005. Jenis-jenis yang 8.261 ha., diikuti Kab. Tegal, Brebes,
dikoleksi merupakan jenis tumbuhan yang Pemalang, dan Purbalingga. Dari bentuk
pada saat dilakukan survei lapang sedang tutupan lahan utama, hutan primer
dalam kondisi berbunga dan berbuah. mempunyai tutupan terluas 20.242 ha.
Setiap tumbuhan terkoleksi diambil dengan proporsi 74,2%, diikuti tegalan
contoh daun, bunga, dan buah untuk 3.809 ha dan kebun campuran 1.973 ha,
kepentingan identifikasi. Identifikasi dengan proporsi masing-masing 14,0%
dilakukan dengan cara membandingkan dan 7,2%. Untuk masing-masing wilayah
spesimen bukti dengan koleksi herbarium kabupaten, proporsi tutupan hutan terluas
di Herbarium Bogoriense, Bogor. dijumpai di Kab. Banyumas mencapai
95,5 %, diikuti Kab. Tegal 79,9%, Kab.
HASIL Brebes 73,5%, Purbalingga 66,2%, dan
Pemalang 35,7%. Untuk peruntukan
Pola Tutupan Lahan permukiman dijumpai sampai ketinggian
Pada peta ketinggian kawasan G. sekitar 1.500 m dpl. meliputi 421.5 ha.,
Slamet (Gambar 1), kawasan dengan tersebar pada lima wilayah kabupaten,

42
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Gambar 1. Peta ketinggian kawasan Gunung Slamet Jawa Tengah


Sumber: Analisis Citra Landsat 2003 (KNLH 2011).

Gambar 2. Peta Tutupan Lahan Tahun 2003 Kawasan Gunung Slamet Jawa Tengah
Sumber: Analisis Citra Landsat 2003 (KNLH 2011).

dengan wilayah terluas dijumpai di Kab. Apabila disandingkan antara peta


Pemalang 172,7 ha., diikuti Kab. Brebes tutupan lahan kawasan G. Slamet hasil
102,4 ha., Kab. Purbalingga 78,1 ha., analisis citra landsat tahun 2003 di atas
Kab. Tegal 67,0 ha., dan Kab. Banyumas (Gambar 2) peta yang tersedia dari
1,2 ha.. berbagai sumber maka tutupan hutan
primer seperti terlihat pada Gambar 2

43
Soemarno & Girmansyah

Tabel 1. Pola tupan lahan (hekatar) kawasan G.. Slamet pada ketinggian >1000 m dpl .untuk
setiapwilayah.

Ketinggian
Tutupan Lahan Banyumas Brebes Pemalang Purbalingga Tegal
(m dpl.)
Hutan Primer 3,682.72 1387.31 139.37 931.50 1,705.31
1.142-1.513 Kebun Campuran - - 1,261.72 142.71 -
Tegalan 10.21 976.12 1,228.45 663.25 700.21
Hutan Primer 2,484.02 1143.83 561.97 494.65 1,496.43
1.514-1.885 Kebun Campuran - 22.16 399.82 65.86 66.59
Tegalan 16.55 207.7 1.62 4.77 -
Hutan Primer 1,514.49 978.37 555.01 275.62 880.74
1.886-2.257
Kebun Campuran - - - - 14.02
2.258-2.630 Hutan Primer 452.06 212.74 347.06 186.11 370.14
2.630-3.002 Hutan Primer 101.37 5.07 153.82 100.07 75.66
3.003-3.375 Hutan Primer - - 3.86 - 2.44
8,261.42 4,933.30 4,652.70 2,864.54 5,311.54
Sumber: Hasil Analisis Citra Landat Tahun 2003 (KNLH 2011).

disusun oleh dua kelompok tegakan, yaitu tutupan hutan seluas 1.761 ha. terdiri
hutan alam dan hutan produksi. Di atas hutan lebat puspa Schima wallichii
wilayah Kab. Banyumas, tutupan hutan dan meranti, serta hutan sejenis pinus
seluas 8.235 ha terdiri atas hutan lebat/ Pinus merkusii (Kantor Pertanahan
lindung dan hutan produksi sejenis damar Kab. Pemalang 2008).
Agathis dammara dan pinus Pinus Dari analisis citra landsat tahun
merkusii (Kantor Pertanahan Kab. 2003 (Gambar 2) dijumpai dua bentuk
Banyumas 1994 dan 2008). Di wilayah tutupan lahan utama lain disamping
Kab. Tegal, tutupan hutan seluas 4.531 tutupan hutan, yaitu tegalan dan kebun
ha. terdiri atas hutan lindung puspa campuran. Tutupan tegalan atau ladang
Schima wallichii dan mahoni Swietenia pada ketinggian ± 1.000 m dpl. di
macrophylla, serta hutan sejenis pinus kawasan G. Slamet tersebar sampai
Pinus merkusii (BAPPEDA dan ketinggian ±1.800 m dpl., tutupan tegalan
Kantor Pertanahan Kab. Tegal 1991). Di mencapai proporsi 14% dengan luas
wilayah Kab. Brebes, tutupan hutan 3.809 ha.. Tutupan tegalan terluas
seluas 3.727 ha. terdiri atas hutan sejenis dijumpai di Kab. Pemalang 1.230 ha.,
pinus Pinus merkusii dan kebun teh diikuti Kab. Brebes 1.184 ha., Kab. Tegal
Camellia sisnensis (Kantor Pertanahan 700 ha., Kab. Purbalingga 668 ha., dan
Kab. Brebes 1994). Di wilayah Kab. Kab. Banyumas 27 ha.. Tutupan kebun
Purbalingga, tutupan hutan seluas 1.988 campuran pada kawasan ini dijumpai
ha. terdiri atas hutan lebat cemara, melur, tersebar sampai ketingggian ±2.250 m
dan puspa Schima wallichii, serta hutan dpl., tutupan kebun campuran ini
sejenis damar Agathis dammara mencapai proporsi 7,2% dengan luas
(Kantor Pertanahan Kab. Purbalingga, 1.973 ha.. Tutupan kebun campuran
1994). Di wilayah Kab. Pemalang, hanya dijumpai pada empat wilayah

44
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

kabupaten, tutupan terluas dijumpai di alam tercatat 87 jenis, yang termasuk


Kab. Pemalang 1.662 ha., diikuti Kab. dalam 76 marga dan 47 suku, enam jenis
Purbalingga 209 ha., Kab. Tegal 81 ha., di antaranya dijumpai tumbuh di bawah
dan Kab. Brebes 22 ha.. kedua tegakan tersebut, yaitu Asplenium
Dari peta yang tersedia di setiap sp., Ilex cymosa, Lasianthus, Pilea
kabupaten (Kantor Pertanahan Kab. melastomoides, Polygonum chinense,
Banyumas 1994 dan 2008; BAPPEDA dan Smilax odoratissima. Tercatat tiga
dan Kantor Pertanahan Kab. Tegal, 1991; suku dengan anggota terbanyak yang
Kantor Pertanahan Kab. Brebes 1994; tumbuh di bawah tegakan hutan damar,
Kantor Pertanahan Kab. Purbalingga, pada umumnya berperawakan herba
1994; dan Kantor Pertanahan Kab. meliputi Araceae (Aglaonema sp. dan
Pemalang, 2008), pada ketinggian sekitar Arisaema filiforme), Gesneriaceae
1.000 m dpl. peruntukan tegalan dan (Cyrtandra sp., Cyrtandra arbores-
kebun campuran disusun oleh jenis-jenis cens, Cyrtandra sandei, Cyrtandra
budidaya pertanian seperti jagung (Zea coccinea, Cyrtandra picta, dan
mays), singkong (Manihot esculenta), Cyrtandra sulcata), dan Urticaceae
kacang tanah (Arachys hypogaea), (Elatostemma sp., Procris frutescens,
kedelai (Glycine max), teh (Camellia dan Pilea melastomoides). Lima suku
sinensis), cengkih (Syzygium aroma- terkoleksi dengan anggota terbanyak
ticum) dan albisia (Paraserianthes yang tumbuh di bawah tegakan hutan
falcataria). alam meliputi Urticaceae (Pilea
melastomoides, Pilea unglata, Urtica
Kekayaan Flora Kawasan Hutan bullata, Elatostemma strigosum,
Dari inventarisasi tumbuhan yang Debregeasia longifolia, dan Pipturus
dilakukan sepanjang jalur pendakian timur argenteus), Rubiaceae (Argostemma
(Bambangan, Purbalingga) pada montanum, Ophiorrhiza sp., Nertera
ketinggian ±1.000 m dpl. sampai batas granadense, dan Lasianthus sp.),
vegetasi di dekat puncak gunung ±3.000 Asteraceae (Anaphalis viscida, Blumea
m dpl., terkumpul 159 koleksi spesimen, balsamifera, Dichocephala latifolia,
meliputi 119 jenis, yang tergolong dalam dan Gynura aurantiaca), Cyperaceae
84 marga dan 55 suku (Lampiran 2). (Carex baccans, Carex filicina, Carex
Dari koleksi tersebut 41% berperawakan verticillata, dan Scleria purpurescens),
herba, 34% semak, selebihnya berupa dan Caprifoliaceae (Lonicera acumin-
liana, paku-pakuan, pohon kecil, dan ata, Virbunum lutescens, dan Virbunum
pohon. Tegakan hutan di sepanjang jalur coriaceum).
pendakian berupa hutan tanaman damar Pada ketinggian 1.000-2.000 m
sampai ketinggian ±1.500 m dpl. dan dpl. dikoleksi 39 marga yang meliputi 51
selebihnya berupa hutan alam. Di bawah jenis, dua marga dengan anggota
tegakan hutan damar dikoleksi 33 jenis, terbanyak adalah Cyrtandra
yang termasuk dalam 26 marga dan 22 (Cyrtandra sp., C. arborescens, C.
suku, sedangkan di bawah tegakan hutan coccinea, C. picta, C. sandei, dan C.

45
Soemarno & Girmansyah

sulcata) dan Strobilanthes (Strobilant- jenis peruntukan hutan, perkebunan,


hes sp., S. bibracteata, dan S. cemua). tegalan, kebun campuran, semak, sawah,
Pada ketinggian 2.000-3.000 m dpl. dan peruntukan lain. Perbedaan pola
dikoleksi 31 marga yang tersusun atas peruntukan lahan pada masing-masing
35 jenis, beberapa marga dengan jumlah gunung tersebut memperlihatkan
anggota lebih dari satu jenis yaitu Pyrosia perbedaan tekanan aktivitas manusia
(Pyrosia sp. dan P. stenophylla), Rubus masing-masing lokasi. Fenomena
(R. lineatus dan R. moluccanum), tersebut mencerminkan terjadinya
Symplocos (S. cochinchinensis dan S. pergeseran pola peruntukan lahan yang
crassa), Virbunum (V. coriaceum dan cenderung menekan keberadaan
V. lutescens). Pada ketinggian 1.000- kawasan hutan alam. Dari lima wilayah
3.000 m dpl. dikoleksi 14 marga yang kabupaten di kawasan G. Slamet pada
tersusun atas 27 jenis, tiga marga dengan ketinggian >1.000 m dpl., terlihat bahwa
anggota terbanyak meliputi Carex (C. Kab. Pemalang mendapat tekanan
baccans, C. filicina, dan C. verti- aktivitas manusia paling tinggi, luas
cillata), Saurauia (S. microphylla, S. kawasan hutan tersisa 35,7%, kebun
nudiflora, dan S. pendula), dan campur mencapai 33,7%, tegalan 25%,
Solanum (Solanum sp., S. leve, dan S. dan permukiman 3,6%.
nigrum). Pada ketinggian >3.000 m Pengalihgunaan peruntukan lahan
dpl. tercatat tiga marga yang disusun tiga merupakan fenomena yang umum
jenis yaitu Anaphalis viscida, Plantago dijumpai, termasuk dataran tinggi
major, dan Agrostis sp. kawasan pegunungan. Pertimbangan
ekonomi selalu dikedepankan, walaupun
Pola Tutupan Lahan dan Kecende- disadari upaya tersebut hanya
rungan Pengalihgunaan Peruntukan mendatangkan keuntungan sesaat dan
Lahan menimbulkan kerusakan lingkungan luar
biasa hebat. Secara nasional, BPN 2005
Sastrowihardjo (1997) memetakan
(KNLH 2006) mencatat alih fungsi
pola peruntukan lahan di kawasan G.
sawah seluas 563.159 ha. terjadi pada
Salak, G. Gede-Pangrango, dan G.
tahun 1999 sampai tahun 2002. Dalam
Halimun pada ketinggian >1.000 m dpl.,
rentang tiga tahun 2001-2004, peruntukan
luas lahan pada ketinggian ini untuk setiap
lahan DAS Citarum mengalami
gunung adalah 4.633 ha., 15.851 ha., dan
pergeseran mencengangkan, hutan
19.834 ha.. Untuk G. Slamet, luas lahan
berkurang 55%, sawah berkurang 43%,
pada ketinggian ini meliputi 27.296 ha.,
lahan terbuka berkurang 39%, tegalan dan
perbedaan luasan tersebut dimungkinkan
belukar bertambah 79%, kebun dan
oleh perbedaan tinggi dan besar badan
kebun teh bertambah 44%, dan
gunung. Pola tutupan lahan pada
permukiman bertambah 27% (Leksono
ketinggian >1.000 m dpl. di G. Halimun
2006). Di dalam wilayah cakupan tiga
sepenuhnya berupa tutupan hutan lebat,
belas DAS prioritas, selama sembilan
di G. Salak dan G. Gede-Pangrango pola
tahun 2000-2009 (KNLH 2009) terlihat
tutupan lahan yang terbentuk disusun oleh

46
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

kecenderungan pengurangan luas tutupan jaman pra-kemerdekaan. Soemarwoto


hutan, penurunan luas tutupan hutan di dkk. (1992) mencatat bahwa pada tahun
wilayah DAS prioritas di Jawa disajikan 1938, luas perkebunan di Jawa mencapai
pada Tabel 2. Pergeseran luas tutupan 1,1 juta ha., Sumatera 1,3 juta ha.,
hutan dalam rentang 30 tahun terakhir Kalimantan 61,2 ribu ha., Sulawesi 43,0
memperlihatkan kehilangan kawasan ribu ha., dan Maluku 36,5 ribu ha.. Angka-
hutan secara nasional mencapai angka angka tersebut mencerminkan bahwa laju
28 dan 50 juta ha. Dari luasan 122,2 juta kehilangan tutupan hutan besar-besaran
ha. pada tahun 1976, tersisa tinggal 70,8 di Jawa berlangsung lebih awal
juta ha. (KNLH: Landsat 2005) dan 93,9 ketimbang pulau-pulau lain, dan
juta ha. (Dephut: Landsat 2002-2003); menyisakan tutupan hutan di wilayah
selanjutnya, pada rentang waktu yang pegunungan. Dari luas permukaannya,
sama kehilangan hutan di Jawa hanya diperkirakan 92% dari permukaan
mencapai 0,5 juta ha. atau 0,98% dan gunung-gunung di Jawa berada pada
1,78% dari kehilangan hutan Indonesia ketinggian <1.000 m dpl., 7% pada
(Dirjen Kehutanan, Deptan 1976; KLH ketingggian 1.000-2.000 m dpl., dan
2006). Berdasarkan angka tersebut, hanya 0,7% berada >2.000 m dpl.
terlihat rataan laju kehilangan tutupan (Steenis 2010). Dari 40 gunung di Jawa
hutan mencapai 1,05 juta ha. pertahun dalam catatan Steenis, terlihat bahwa
dan 1.77 juta ha. per tahun. Laju delapan gunung berada pada rentang
kehilangan tutupan hutan di Indonesia ketinggian 1.000-2.000 m dpl., 21 gunung
pada rentang tahun 1982-2006 disajikan pada rentang ketinggian 2.000-3.000 m
pada Gambar 3, terlihat angka kehilangan dpl., dan sebelas gunung mempunyai
tertinggi mencapai 2,83 juta ha. terjadi ketinggian >3.000 m dpl. Ke 11 gunung
pada tahun 1997-2000. Euforia tertinggi di Jawa tersebut meliputi Gede-
berlebihan terjadinya reformasi politik Pangrango, Ceremai, Slamet, Sindoro,
dapat menjelaskan terjadinya Sumbing, Merbabu, Lawu, Arjuno-
perambahan hutan di seluruh Indonesia Welirang, Semeru, Iyang -dengan puncak
pada rentang tahun tersebut. Argopuro, dan Raung. Ditengah laju
Laju alih fungsi tutupan hutan kehilangan tutupan hutan seperti
menjadi lahan perkebunan di Jawa dan sekarang, gunung-gunung tertinggi
pulau-pulau lain sudah berlangsung sejak menjadi tempat tinggal terakhir jenis-
Tabel 2.Tutupan lahan pada beberapa DAS di Jawa
DAS Prioritas  Cakupan (Hektar)  Tutupan Hutan (2000)  Tutupan Hutan (2009) 
Hektar  %  Hektar  % 
Bengawan Solo  1.779.069,9  28.982,5  1,6  11.401,5  0,6 
Brantas  1.553.235,3  80.944,0  5,0  42.683,0  3,0 
Ci Liwung  97.151,0  4.716,0  4,9  958,0  1,0 
Ci Sadane  151,283.7  18.519,0  12,2  4.314,0  2,9 
Ci Tanduy  69.554,0  603,0  0,9  162,0  0,2 
Ci Tarum  562.958,0  33.569,0  6,0  2.830,0  0,5 
  Sumber: KLH (2009).

47
Soemarno & Girmansyah

2,5

1,5

0,5

0
1982‐1990 1990‐1997 1997‐2000 2000‐2006

Gambar 3. Laju deforestasi di Indonesia (juta hektar)

jenis tumbuhan pegunungan sejati di hutan Araucaria 1.500-3.000 m dpl..


Jawa. Hutan Fagaceae disusun oleh Altingia
excelsa, Podocarpus, Castanopsis,
Tumbuhan Penyusun Hutan Lithocarpus, dan Engelhardia; hutan
Pegunungan Gymnosforma disusun Gymnosforma
Untuk mempertelakan suatu junghuhniana; hutan Pinus disusun
komunitas hutan umumnya dilakukan Pinus merkusii; hutan Notofagus
dengan mengedepankan jenis pohon disusun Notofagus spp.; hutan Ericaceae
utama penyusun tegakan hutan tersebut. disusun Rhododendron, Vaccinium, dan
Tidak tersedianya informasi yang Leptospermum; dan hutan Araucaria
memadai sangat menyulitkan untuk disusun oleh Araucaria cuninghamii,
mengambarkan secara baik komunitas Dacridium, Podocarpus, dan
penyusun tutupan hutan kawasan G. Phyllocladus.
Slamet ini, baik tutupan hutan utuh Di TN Gunung Halimun-Salak,
maupun terganggu. Steenis (2010) ekosistem hutan pegunungan sub
membuat pengelompokan iklim di Jawa, mintakat bukit disusun oleh Altingia
kawasan G. Slamet pada ketingggian excelsa, Schima wallichii, Castanopsis
1.000 sampai dengan puncak gunung javanica, C.acuminatissima, dan
(3.432 m dpl.) dapat dipilah dalam Quercus gemeliflora; mintakat
mintakat Pegunungan 1.000-2.400 m dpl. pegunungan disusun oleh Acer laurinum,
dan mintakat Subalpin >2.400 m dpl.. Elaeocarpus ganitrus, Eurya
Mengabaikan jenis tanah, Kartawinata acuminatissima, Antidesma bunius,
(1980) memasukkan faktor ketinggian ke Ficus spp., Cinnamomum sp., Saurauia
dalam kawasan hutan hujan pegunungan, pendula, Weinmania blumei,
meliputi mintakat hutan Fagaceae 1.000- Podocarpus blumei, Podocarpus
1.500 m dpl., hutan Gymnosforma 3.000 imbricatus, dan Dacrycarpus
m dpl., hutan Pinus 700-1.000 m dpl., dan imbricatus. Di TN Gunung Gede-
hutan Notofagus 1.000-3.000 m dpl.; Pangrango, ekosistem hutan pegunungan
dan region hutan alpin, meliputi mintakat sub mintakat bukit disusun oleh jenis-jenis
hutan Ericaceae 1.500-2.400 m dpl. dan anggota suku Fagaceae, Lauraceae,

48
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Euphorbiaceae, dan Theaceae; mintakat Alsophyla glauca merupakan penciri


pegunungan didominasi oleh Schima telah terganggunya tegakan hutan, jenis
wallichii dan Castanopsis javanica; ini merupakan pionir di hutan pegunungan.
untuk mintakat subalpin Vaccinium Di lereng selatan Gunung Slamet pada
varingiaefolium, Myrsine affinis, ketinggian 1.300 m dpl., Syakhrie (1988)
Eurya obovata, Leptospermum mengikuti dinamika apabila tegakan hutan
flavescens, Symplocos sessilifolia, mengalami gangguan dengan mengamati
Photinia notoniana, dan Scefflera pertumbuhan bank biji, sampai umur 17
rugosa (Dirjen PHKA-Dephut 2007). Di pekan diperoleh jenis yang beragam
dalam petak contoh seluas 0,7 ha. tegakan perawakannya, 10 jenis utama meliputi
hutan sekunder di TN Gunung Halimun, Calymperes sp., Schismatoglotis
pada ketinggian 1.000-1.200 m dpl. calyptrata, Nephrolepis hirsutula,
(Rahajoe 1996) mencatat suku-suku Lepidagathis sp., Ficus sp., Cissus
pohon penyusun komunitas hutannya sicyoides, Ficus hirta, Marchantia
meliputi Myrsinaceae, Moraceae, sp., dan Melastoma polyanthum.
Fagaceae, Meliaceae, Rutaceae, Melalui jalur pendakian Bambangan,
Lauraceae, Sabiaceae, Sapindaceae, Hoover et al. (2009) mencatat enam
Rubiaceae, Actinidaceae, Euphorbia- jenis liana pada ketinggian 1.935-2.591
ceae, Araliaceae, dan Symplocaceae. Di m dpl., meliputi Embelia pergamacea,
dalam petak contoh seluas 4 ha. pada Toddalia asiatica, Vaccinium
ketinggian 1.500-1.900 m dpl. di Cibodas, laurifolium, Elaeagnus latifolia,
Gunung Gede-Pangrango. Abdulhadi Scefflera lucida, dan Lonicera
dkk. (1998) mencatat pemulihan tegakan javanica.
pasca gangguan alami, tercatat 26 suku, Pada Lampiran 3 diperlihatkan
suku utama penyusun tegakan meliputi penataan hasil inventarisasi di atas
Fagaceae, Theaceae, Euphorbiaceae, berdasarkan kehadiran marga, dilengkapi
Lauraceae, Moraceae, Staphylaceae, dengan kesesuaian perjumpaan jenis
Urticaceae, Hammamelidaceae, yang dijumpai oleh Steenis (2010). Pada
Sauraiaceae, dan Myrtaceae. ketinggian 1.000-2.000 m dpl. dijumpai
Di kawasan Baturraden, Suprayogo 39 marga, 14 marga di antaranya
(1988) mencatat jenis-jenis pohon utama mempunyai kesesuaian jenis dengan
penyusun tegakan sisi-sisi hulu sungai catatan Steenis (2010) di beberapa
Banjaran, meliputi Antidesma gunung di Jawa, meliputi Albizia
tetandrum, Antidesma stipulare, lopantha, Argostemma montanum,
Psychotria malayana, Endiandra sp., Argostemma uniflorum, Arisaema
Blumeodendron tokbrai, Ficus filiforme, Astronia spectabilis, Begonia
sinnuata, Ficus obscura, Macrosolen isoptera, Cyrtandra picta, Ficus
chochichinensis, Nauclea sp., Ostodes deltoidea, Impatiens platypetala,
paniculata, Semecarpus hetero- Medinilla alpestris, Medinilla
phyllus, Dendronycde stimulans, dan laurifolia, Mussaenda frondosa,
Alsophylla glauca. Paku pohon Nertera granadense, Paraphlomis

49
Soemarno & Girmansyah

oblongifolia, Pilea melastomoides, dan Ranunculus blumei, Rapanea affinis,


Strobilanthes cernua. Empatbelas Rapanea hasseltii, Saurauia
marga dijumpai tumbuh pada rentang macrophylla, Saurauia nudiflora,
ketinggian 1.000-3.000 m dpl., enam Saurauia pendula, Scefflera
marga diantaranya mempunyai aromatica, Scefflera rugosa, Smilax
kesesuaian jenis dengan catatan Steenis odoratissima, Smilax zeylanica,
(2010) di beberapa gunung di Jawa, Solanum sp., Solanum leve, Solanum
meliputi Carex baccans, Dichroa nigrum, dan Vaccinium laurifolium.
febrifuga, Elatostemma strigosum, Pada ketinggian >3.000 m dpl. dikoleksi
Ranunculus blumei, Scefflera rugosa, tiga marga meliputi jenis-jenis Agrotis sp.
dan Vaccinium laurifolium. Tiga puluh Anaphalis viscida, dan Plantago major.
satu marga dijumpai tumbuh pada Dari ketiga jenis pengisi puncak gunung
ketinggian 2.000-3.000 m dpl., tigabelas tersebut, Anaphalis viscida tercatat
marga diantaranya mempunyai sebagai jenis tumbuhan pegunungan
kesesuaian jenis dengan catatan Steenis sejati, yang dijumpai pula tumbuh di
di beberapa gunung di Jawa, meliputi Gunung Ceremai, Merapi, Ijen, bahkan
Ardisia javanica, Debregeasia Rinjani (Lampiran 2). Dari 119 jenis
longifolia, Gynura aurantiaca, teridentifikasi hasil inventarisasi jalur
Hydrangea aspera, Hypericum Bambangan ini, dijumpai dua jenis langka
leschenaulii, Lonicera acuminata, (Mogea dkk. 2001) yaitu Pimpinella
Melissa axillaris, Polygonum pruatjan pada ketinggian 1.700 m dpl.
chinense, Rubus lineatus, Thalictrum dan Scutellaria javanica pada
javanicum, Todallia asiatica, Urtica ketingggian 1.100 m dpl..
bullata, Valeriana hardwickii, dan
Viburnum coriaceum. Pada ketinggian Kerangka Dasar Pengelolaan
>3.000 m dpl. tercatat tiga marga, dua Kawasan Gunung Slamet
marga di antaranya mempunyai Dalam pelestarian keanekaraga-
kesesuaian jenis dengan catatan Steenis man hayati, Wilson (1995) mengemuka-
di beberapa gunung di Jawa, yaitu kan bahwa tujuan pelestarian
Anaphalis viscida dan Plantago major. keanekaragaman hayati seharusnya
Seperti disebutkan di atas, empat mendukung pembangunan yang
belas marga dijumpai tumbuh pada berkelanjutan dengan melindungi dan
rentang ketinggian terlebar di G. Slamet memanfaatkan sumberdaya hayati
(1.000-3.000 m dpl.), jenis-jenis penyusun sedemikian rupa sehingga tidak
marga tersebut meliputi Asplenium sp., mengurangi keanekaragaman gen dan
Asplenium laserpitifolium, Carex jenis atau merusak habitat dan ekosistem.
bacans, Carex filicina, Carex Untuk menuju tujuan tersebut diperlukan
verticillata, Dichroa febrifuga, terapan tiga unsur pelestarian
Elatostemma sp., Elatostemma keanekaragaman hayati, meliputi 1)
strigosum, Ilex cymosa, Lasianthus sp., pelestarian, 2) penelitian, dan 3)
Peperomia sp., Peperomia laevifolia, pemanfaatan lestari. Disadari bahwa

50
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

untuk pengelolaan suatu kawasan tidak Slamet sebagai acuan pengelolaaan


bisa dibatasi oleh batas administrasi saja, kawasan ini kedepan.
lingkungan alam mempunyai batasnya Diperlukan penetapan status
sendiri yang harus disikapi dengan kawasan hutan G. Slamet yang lebih kuat
pendekatan rasional. Haeruman (1997) dari status kawasan lindung, dibarengi
menengarai bahwa akan dijumpai empat penerapan manajemen adaptif yang
kekuatan yang membuat batas-batasnya diandang tepat untuk pengelolaan
sendiri dalam pengelolaan suatu kawasan ini.
kawasan, meliputi 1) kekuatan birokrasi,
2) kekuatan ekonomi daerah, 3) kekuatan DAFTAR PUSTAKA
sosial politik, dan iv) kekuatan budaya dan
tatanilai.
Abdulhadi, R., A. Srijanto, & K.
Kartawinata. 1998. Composition,
KESIMPULAN DAN SARAN
Strusctur and Changes in a
Montane Rain Forest at the
Kawasan G. Slamet pada ketinggian
Cibodas Biosphere Reserve, West
>1.000 m dpl. disusun oleh tujuh bentuk
Java, Indonesia. Forest Biodi-
tutupan lahan, dengan tiga tutupan utama
versity Reseach, Monitoring and
yaitu: hutan, kebun campuran, dan
Modelling, Conceptual Back-
tegalan.
ground and Old World Case
Jenis-jenis tumbuhan terkoleksi pada
Studies. Man And Biosphere
jalur pendakian utara –Bambangan-
Series, Vol.20. UNESCO and The
Purbalingga, pada ketinggian 1.000-2.000
Pathernon Publishing Group, Paris.
m dpl. tercatat 39 marga terdiri atas 51
(601-612).
jenis, ketinggian 2.000-3.000 m dpl.
Dirjen Kehutanan, Deptan. 1976.
tercatat 31 marga terdiri atas 35 jenis,
Vademacum Kehutanan Indone-
ketinggian 1.000-3.000 m dpl. tercatat 14
sia. Direktorat Jenderal Kehuta-
marga terdiri atas 27 jenis, dan ketinggian
nan, Departemen Pertanian,
>3.000 m dpl. tercatat 3 marga terdiri atas
Jakarta.
3 jenis.
Dirjen PHKA-Dephut 2007. Buku
Gunung Slamet sebagai salah satu
Informasi 50 Taman Nasional di
gunung tertinggi di Jawa dipandang
Indonesia. Direkrorat Jenderal
sebagai tempat tinggal terakhir jenis
Perlindungan Hutan dan Konser-
tumbuhan pegunungan sejati di Jawa.
vasi Alam, Departemen Kehuta-
Dijumpai dua jenis langka pada
nan; Lestari Hutan Indonesia; dan
kawasan hutan G. Slamet >1.000 m dpl.
Japan International Cooperaton
yaitu Pimpinella pruatjan dan
Agency.
Scutellaria javanica.
Haeruman, H. 1997. Pengelolaan
Diperlukan penelitian mendalam
Kawasan Konservasi Tanpa Batas
tentang kondisi hutan alam kawasan G.
Administratif. Prosiding Diskusi
Panel Manajemen Bioregional

51
Soemarno & Girmansyah

Taman Nasional Gunung Gede- 1:62.500. BAPPEDA dan Kantor


Pangrango, Taman Nasional Pertanahan Kab. Tegal.
Gunung Halimun, dan Gunung Kartawinata, K. 1980. The Classifi-
Salak. Proyek Pusat Sistem cation and Utilization of Forest in
Informasi Keanekaragaman Indonesia. Bio Indonesia 7: 95-
Hayati, Puslitbang Biologi LIPI, 106.
dan Program Studi Biologi Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun
Pascasarjana Universitas Indone- 1990 Tentang Pengelolaan
sia. Depok. (5-12). Kawasan Lindung.
Hoover, WS., D. Girmansyah, H. KNLH. 2011. Peta Analisis Citra
Wiriadinata, & JM. Hunter. 2009. Landsat tahun 2003 skala
Exploration of High Elevation 1:155.135. Kementerian Negara
Liana Colonies on Mt. Slamet, Lingkungan Hidup (Tidak
Central Java, Indonesia. Dipublikasi).
Reinwardtia. 13 (1): 45-67. KNLH. 2009. Status Lingkungan
Kantor Pertanahan Kab. Banyumas. Hidup Indonesia 2009. Kemen-
1994. Peta Penggunaan Tanah terian Negara Lingkungan Hidup
Kabupaten Banyumas skala Republik Indonesia, Jakarta.
1:50.000. Kantor Pertanahan KNLH. 2006. Status Lingkungan
Kab. Banyumas. Hidup Indonesia 2006.
Kantor Pertanahan Kab. Banyumas. Kementerian Negara Lingkungan
2008. Daftar Peta Tematik TM- Hidup Republik Indonesia, Jakarta.
3 o skala 1:100.000. Kantor Leksono, TB. 2006. Status dan
Pertanahan Kab. Banyumas. Dampak Lingkungan Hidup
Kantor Pertanahan Kab. Purbalingga. Indonesia. Makalah disampaikan
1994. Peta Penggunaan Tanah pada Workshop Toyota Eco Youth
Kab. Purbalingga skala 2006-2007 di Puncak 28
1:50.000. Kantor Pertanahan Nopember 2006.
Kab. Purbalingga. Mogea, JP., D. Gandawidjaja, H.
Kantor Pertanahan Kab. Pemalang. Wiriadinata, RE. Nasution, &
2008. Peta Penggunaan Tanah Irawati. 2001. Tumbuhan Langka
Kab. Pemalang. skala Indonesia. Herbarium Bogorien-
1:200.000. Kantor Pertanahan se, Balai Penelitian Botani, Pusat
Kab. Pemalang. Penelitian dan Pengembangan
Kantor Pertanahan Kab. Brebes. 1994. Biologi, LIPI, Bogor.
Peta Penggunaan Tanah Kab. Rahajoe, JS. 1996. Fisiognomi dan
Brebes skala 1:50.000. Kantor Keanekaragaman Jenis Tumbuhan
Pertanahan Kab. Brebes. di Taman Nasional Gunung
BAPPEDA dan Kantor Pertanahan Kab. Halimun. Laporan Teknik
Tegal. 1991. Peta Penggunaan Proyek Penelitian, Pengemba-
Tanah Kab. Tegal skala ngan dan Pendayagunaan Biota

52
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Darat Tahun 1995/1996. Puslit- Pengembangan Pola Tata Guna


bang Biologi, LIPI, Bogor. (1-9). Tanah Sepanjang Aliran Sungai
Sastrowihardjo, M. 1997. Karakter Banjaran, Banyumas. Skripsi
Umum Tata Guna Wilayah Gunung Fakultas Biologi Universitas
Salak, Gunung Gede-Pangrango, Jenderal Soedirman, Purwokerto.
dan Gunung Halimun. Prosiding Syakhrie, NA. 1988. Persediaan Biji Di
Diskusi Panel Manajemen Biore- Hutan Alam Baturraden,
gional Taman Nasional Gunung Banyumas, Jawa Tengah. Skripsi
Gede-Pangrango, Taman Nasio- Fakultas Biologi Universitas
nal Gunung Halimun, dan Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Gunung Salak. Proyek Pusat Steenis, CGJ. Van. 2010. Flora
Sistem Informasi Keane- Pegunungan Jawa. (Terjemahan)
karagaman Hayati, Puslitbang Pusat Penelitian Biologi, LIPI.
Biologi LIPI, dan Program Studi Bogor.
Biologi Pasca-sarjana Universitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Indonesia. Depok. (46-67). tentang Konservasi Sumbersaya
Soemarwoto, O., I. Soemarwoto, & E. Alam hayati dan Ekosistemnya.
Brotoisworo. 1992. Pembangu- Wilson, EO. 1995. Strategi Pelestarian
nan Terlanjutkan Kehutanan, Keanekaragaman Hayati. Strategi
Menjawab Tantangan Gerakan Keanekaragaman hayati Global.
Anti-Kayu Tropik. Departemen Wahana Lingkungan Hidup
Kehutanan, PPSDAL Universitas Indonesia, Deutsche Gessellchaft
Padjadjaran. fur Technische Zusammenarbeit,
Suprayogo. 1988. Pola Komunitas PT. Gramedia Pustaka Utama,
Tumbuhan Sebagai Dasar Jakarta. (21-41).

53
Soemarno & Girmansyah

Lampiran 1. Bentuk tutupan lahan (ha) kawasan G. Slamet pada ketinggian > 1.000 m dpl.
pada lima wilayah kabupaten.

Ketinggian  Tutupan Lahan  Banyumas  Brebes  Pemalang  Purbalingga  Tegal 


(m dpl.) 
1.142‐1.513  Hutan Primer  3.682,72  1.387,31  139,37  931,50  1.705,31 
Kebun Campuran  ‐  ‐  1.261,72  142,71  ‐ 
Tegalan/Ladang  10,21  976,12  1.228,45  663,25  700,21 
Sawah  ‐  ‐  ‐  ‐  0,08 
Permukiman  1,17  102,44  172,74  78,06  67,04 
Sungai/Tubuh Air  ‐  4.47  ‐  ‐  ‐ 
1.514‐1.885  Hutan Primer  2.484,02  1.143,83  561,97  494,65  1.496,43 
Kebun Campuran  ‐  22,16  399,82  65,86  66,59 
Tegalan/Ladang  16,55  207,7  1,62  4,77  ‐ 
Permukiman  1,06  33,09  3,65  0,29  19,33 
1.886‐2.257  Hutan Primer  1.514,49  978,37  555,01  275,62  880,74 
Kebun Campuran  ‐  ‐  ‐  ‐  14,02 
2.258‐2.630  Hutan Primer  452,06  212,74  347,06  186,11  370,14 
Tanah Terbuka  43,72  ‐  ‐  ‐  45,38 
2.630‐3.002  Hutan Primer  101,37  5,07  153,82  100,07  75,66 
Tanah Terbuka  189,12  ‐  14,63  18,04  142,28 
3.003‐3.375  Hutan Primer  ‐  ‐  3,86  ‐  2,44 
Tanah Terbuka  124,25  ‐  84,03  41,82  85,59 
    8.620,74  5.073,30  4.927,75  3.002,75  5.671,24 
 

54
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Lampiran 2. Jenis-jenis tumbuhan di Gunung Slamet yang dikoleksi pada jalur pendakian
timur (Bambangan-Purbalingga).

Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
1. Acanthace ae
1 Staurogyne elongata H 1300 Hutan alam
2 Strobilanthes bibracteata S 1350 Hutan alam
3 Strobilanthes cemua S 1300 Hutan alam
4 Strobilanthes sp. S 1450 Hutan produksi damar
2. Actinidace ae
5 Saurauia microphylla S-Pk 1900, 2500 Hutan alam
6 Saurauia nudiflora S-Pk 1400 Hutan produksi damar
7 Saurauia pendula Pk 1500 Hutan produksi damar
3. Apiace ae
8 Hydrocotyle javanica H 1100 Hutan produksi damar
9 Pimpinella pruatjan H 1700 Hutan alam
4. Aquifoliace ae
10 Ilex cymosa S 1500, 2700 Hutan produksi alam, damar
5. Arace ae
11 Aglaonema sp. H 1200 Hutan produksi damar
12 Arisaema filiforme H 1300 Hutan produksi damar
6. Araliace ae
13 Schefflera rugosa S 1650 Hutan alam
14 Schefflera aromatica S 2000 Hutan alam
7. Asple nium gr
15 Asplenium sp. F 1500 Hutan produksi damar
16 Asplenium sp. F 1600 Hutan alam
17 Asplenium laserpitiifolium F 2800 Hutan alam
8. Aste race ae
18 Anaphalis viscida S 3000 Hutan alam
19 Blumea balsamifera S 2700 Hutan alam
20 Dichrocephala latifolia S 2700 Hutan alam
21 Gynura aurantiaca H-S 2200 Hutan alam

55
Soemarno & Girmansyah

Lampiran 2. Lanjutan

Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
9. Balsaminace ae
22 Impatiens javensis H 1500 Hutan produksi damar
23 Impatiens platypetala H 1100 Hutan alam
10. Be goniace ae
24 Begonia areolata H 1300 Hutan alam
25 Begonia cf. isoptera H 1400 Hutan alam
11. Borraginace ae
26 Cyanoglossum javanicum S 2950 Hutan alam
12. Capparidace ae
27 Capparis lanceolaris S 1350 Hutan alam
13. Caprifoliace ae
28 Lonicera acuminata S-L 2700, 2800 Hutan alam
29 Virbunum coriaceum S 2800 Hutan alam
30 Virbunum lutescens S 2500 Hutan alam
14. Costace ae
31 Costus speciosus H 1200 Hutan alam
15. Cucurbitace ae
T idak teridentifikasi H 1700 Hutan alam
16. Cype race ae
32 Carex baccans H 2700 Hutan alam
33 Carex filicina H 2500 Hutan alam
34 Carex verticillata H 1600 Hutan alam
35 Scleria purpurescens H 1350 Hutan alam
17. Elae agnace ae
36 Elaeagnus latifolius Pk 1700 Hutan alam
18. Equise tace ae
37 Equisetum debile F 2500 Hutan alam
19. Ericace ae
38 Vaccinium laurifolium S 2500, 2900 Hutan alam

56
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Lampiran 2. Lanjutan

Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
20. Euphorbiace ae
39 Phyllanthus gracillipes 1300 Hutan alam
21. Fabace ae
40 Albizia lophantha Pk 1600 Hutan alam
22. Fagace ae
41 Lithocarpus spicatus P 2600 Hutan alam
23. Ge sne riace ae
42 Cyrtandra sp. H 1000 Hutan produksi damar
43 Cyrtandra arborescens H 1100 Hutan produksi damar
44 Cyrtandra coccinea H 1300 Hutan produksi damar
45 Cyrtandra picta H 1300 Hutan produksi damar
46 Cyrtandra sandei H 1100 Hutan produksi damar
47 Cyrtandra sulcata H 1400 Hutan produksi damar
24. Gramitidace ae
48 Gramitis sp. 2600 Hutan alam
25. Hammame lidace ae
49 Distylum sp. P 2900 Hutan alam
26. Hyme nophyllace ae
50 Trichomanes maxima F 1500 Hutan alam
27. Hype ricace ae
51 Hypericum leschenaulhi S 2700 Hutan alam
28. Lamiace ae
52 Gomphostemma S 1350 Hutan alam
53 Melissa axillaris S 200 Hutan alam
54 Paraphlomis oblongifolia S 1300 Hutan produksi damar
55 Plectranthus galeatus S 1400 Hutan produksi damar
56 Scutellaria javanica S 1100 Hutan produksi damar
29. Liliace ae
57 Disporum cantoniense H 1350 Hutan alam

57
Soemarno & Girmansyah

Lampiran 2. Lanjutan

Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
30. Loranthace ae
58 Scurulla sp. S 2600 Hutan alam
31. Me lastomatace ae
59 Astronia spectabilis P 1700 Hutan alam
60 Dissochaeta gracillis L 1300 Hutan alam
61 Medinilla alpestris S 1350 Hutan alam
62 Medinilla laurifolia S 1200 Hutan produksi damar
32. Morace ae
63 Ficus deltoidea S 1500 Hutan produksi damar
33. Myrsinace ae
64 Ardisia javanica S 2500 Hutan alam
65 Rapanea affinis Pk 2800, 2900 Hutan alam
66 Rapanea hasseltii Pk 2700 Hutan alam
34. O le ace ae
67 Ligustrum glomeratum S 2700 Hutan alam
35. O rchidace ae
68 Corymborchis veratrifolia H 1350 Hutan alam
36. Pandanace ae
69 Freycinetia sp. H 1000 Hutan produksi damar
37. Pipe race ae
70 Peperomia sp. H 1300 Hutan produksi damar
71 Peperomia laevifolia H 1700, 1900 Hutan alam
72 Peperomia tommentosa H-S 1900, 2200 Hutan alam
73 Piper caninum L 2100, 2700 Hutan alam
38. Plantaginace ae
77 Plantago major H 3000 Hutan alam
39. Poace ae
78 Agrostis sp. H 3000 Hutan alam

58
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
40. Polygalace ae
79 Polygala venenosa S 1260 Hutan produksi damar
41. Polygonace ae
80 Polygonum chinense H 1200, 2950 Hutan produksi damar
42. Polypodiace ae
81 Belvisia revoluta H 2700, 2800 Hutan alam
82 Phymatodes nigrescens H 1900 Hutan alam
83 Pyrrosia sp. H 2700 Hutan alam
84 Pyrrosia stenophylla H 2800 Hutan alam
43. Ranunculace ae
86 Ranunculus blumei H 2800, 2950 Hutan alam
87 Thalictrum javanicum H 2500 Hutan alam
44. Rosace ae
88 Rubus lineatus S 2700 Hutan alam
89 Rubus moluccanum S 2700 Hutan alam
90 Photinia notoniana S 2900 Hutan alam
45. Rubiace ae
Argostemma montanum H 1350 Hutan alam
91 Argostemma uniflorum H 1500 Hutan produksi damar
92 Lasianthus sp. Pk 1260 Hutan produksi damar
93 Lasianthus sp. Pk 2500 Hutan alam
94 Mussaenda frondosa S 1300 Hutan alam
95 Nertera granadense H 1600 Hutan alam
96 Ophiorrhiza sp. S 1350 Hutan alam
46. Rutace ae
97 Lavanga sp. L 1000 Hutan produksi damar
47. Rutace ae
98 Todallia asiatica L 2600 Hutan alam
48. Saxifragace ae
99 Dichroa febrifuga S 2200, 2800 Hutan alam

59
Soemarno & Girmansyah

Lampiran 2. Lanjutan
Tinggi
No. Suku dan Je nis Pe rawakan Te mpat Habitat
(m dpl.)
100 Hydrangea aspera S 2800 Hutan alam
49. Smillace ae
101 Smilax odoratissima S 1900, 2000 Hutan produksi alam, damar
102 Smilax zeylanica S 1900 Hutan alam
50. Solanace ae
103 Solanum sp. S 2500 Hutan alam
104 Solanum leve S 1400 Hutan produksi damar
105 Solanum nigrum S 2950 Hutan alam
51. Symplocace ae
106 Symplocos cochinchinensis P 2600 Hutan alam
107 Symplocos sp. 2700 Hutan alam
52. Urticace ae
108 Debregeasia longifolia S 2800, 2900 Hutan alam
109 Elatostemma sp. H 1200 Hutan produksi damar
110 Elatostemma strigosum H 2200, 2950 Hutan alam
111 Pilea melastomoides H 1650, 2800 Hutan produksi alam,damar
112 Pilea undulata H 2000 Hutan alam
113 Pipturus argenteus H 2900 Hutan alam
114 Procris frutescens H (E) 1400 Hutan produksi damar
115 Urtica bullata H 2100 Hutan alam
53. Vale riace ae
116 Valeriana hardwickii H 2700 Hutan alam
54. Ve rbe nace ae
117 Geunsia sp. 1300 Hutan produksi damar
55. Violace ae
T idak teridentifikasi 2700 Hutan alam
56. Vittariace ae
118 Antrophyum reticulatum F 2000 Hutan alam
119 Vittaria sp. F 2800 Hutan alam

60
Lampiran 3. Perjumpaan marga dan kesesuaian beberapa jenis tumbuhan (m dpl) yang dikoleksi pada jalur pendakian timur kawasan
Gunung Slamet dengan jenis tumbuhan yang dijumpai di gunung-gunung Jawa oleh Steenis.
T. Tempat 
Perjumpaan Marga  Kesesuaian Perjumpaan (ketinggian m dpl) Jenis Dengan Steenis (diterbitkan pertamakali 1972, edisi Indonesia 2010)  
(m dpl.) 
Aglaonema, Albizia, Antrophyum,  Albizia  lopantha,  di  Jawa  dari  G.  Gede  sampai  G.  Ijen  1800‐3100,  jarang  ke  1100  untuk  gunung  dengan  ketingggian  2500,  dominan  membentuk 
Argostemma, Arisaema,  Astronia,   cincin di bawah puncak aktif di G. Ciremai, G. Slamet, G. Ijen, dan G. Merapi. Argostemma montanum,  seluruh Jawa dan Sumatera (400‐) 1000‐2000 
Begonia,  Capparis, Corymborchis,  (‐2400). Argostemma uniflorum, di Jawa bagian barat  sampai Pegunungan Priangan 900‐2000, dijumpai juga di Sumatera.  Arisaema filiforme, di 
Jawa,  di Nirmala Jawa Barat  dan  G.  Sindoro Jawa Tengah  900‐2200, jarang turun  ke  450.  Astronia  spectabilis,  seluruh  Jawa, dominan  lokal  di G. 
Costus,   Cyrtandra, Disporum, 
Ciremai, G. Slamet, dan G. Abang‐Bali 1300‐2500.   Begonia isoptera, terutama di Jawa Barat, G.  Telomoyo Jawa Tengah, dan G. Ijen Jawa Timur 
Dissochaeta,  Elaeagnus,  Ficus,   150‐2400, ditemukan di Malaya, Sumatera, Flores, dan Sulawesi.  Cyrtandra picta, di Jawa terutama bagian barat, Ujung Kulon ke timur terbatas di 
Freycinetia,  Geunsia, Gomphostemma, gunung berapi tinggi G. Lawu, G. Dorowati, G. Tengger, G. Semeru bagian Tenggara 1000‐2400, diiumpai juga di Sumatera. Ficus deltoidea, di Jawa 
1000‐2000  Hydrocotyle,  Impatiens,  Lavanga,  G. Pulasari sampai Peg. Priangan 800‐2400, jarang turun hingga 400 seperti di Ujung Kulon.   Impatiens platypetala, di Jawa 2500,, turun hingga 300 
Medinilla,  Mussaenda,   Nertera,    di Malesia.  Medinilla alpestris, umum di Jawa terutama Jawa Barat terpencar ke bagian timur seperti G. Tarub Lamongan, G. Tengger, G. Iyang 600‐
Ophiorrhiza, Paraphlomis,  Phyllanthus 2500,  dijumpai  juga  di  Sumatera  dan  Bali.    Medinilla  laurifolia,  terutama  di  Jawa  Barat,  terpencar  sampai  G.  Merapi  800‐2400,  dijumpai  juga  di 
Phymatodes,  Pilea,  Pimpinella,  Sumatera dan Sulawesi Selatan.  Mussaenda frondosa, seluruh Jawa, hutan pamah sampai ±1700, dijumpai di Nusantara.  Nertera granadense, di 
Jawa dari G. Halimun sampai G. Ijen 1300‐3000, dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera dan Malaya ke timur seluruh Nusantara (1000‐3300), dijumpai
Plectranthus, Polygala, Polygonum, 
juga di Madagaskar, Australia, Pasific, dan Amerika. Paraphlomis oblongifolia, di Jawa bagian barat, mungkin sampai lereng selatan G. Slamet 900‐
Procris, Scleria, Scutellaria,  Staurogyne 1800,  dijumpai  di  Sumatera  dan  Sulawesi  Utara.    Pilea  melastomoides,  seluruh  Jawa  600‐2700,  dijumpai  di  Asia  Tenggara,  tersebar  luas  di 
Strobilanthes,  Trichomanes.  Nusantara.   Strobilanthes cemua,  di Jawa Barat tumbuh dalam koloni besar 750‐2100, terdapat juga di Sumatera bagian tengah. 
Asplenium,  Carex,  Dichroa,    Carex  baccans,  seluruh  Jawa  1000‐3300,  dijumpai  di  Asia  Tenggara,  Sumatera,  Malaya,  Filiphina,  Sulawesi,  Bali,  Lombok,  Nugini,  tidak  pernah 
Elatostemma, Ilex,  Lasianthus,  dijumpai  di  Borneo.    Dichroa  febrifuga,    seluruh  Jawa  700‐2000,  dijumpai  di  Asia  Tenggara,  juga  hampir  seluruh  Nusantara,  di  Borneo  450.
Elatostemma strigosum, di Jawa banyak di bagian timur G. Salak, G. Salak, di timur G. Dorowati 1300‐1700.  Ranunculus blumei, seluruh Jawa dari
1000‐3000  Peperomia, Ranunculus, Rapanea,  
G. Gede ke timur 1100‐300, jarang turun hingga 600‐700, dijumpai juga di Sumatera, Bali, Lombok, dan Sulawesi bagian tenggara.  Scefflera rugosa, 
Saurauia,  Scefflera,  Smilax,  
seluruh Jawa, sesekali ditemukan dominan di G. Slamet tegakan murni dibawah tegakan Albizzia 1800‐3100, dijumpai juga di Sumatera.  Vaccinium 
Solanum,  Vaccinium.    laurifolium,  seluruh Jawa 800‐3000, dijumpai juga di Sumatera, Bali, Nusa Tenggara (Lombok dan Sumbawa).    
Ardisia javanica, seluruh Jawa 900‐2300, dijumpai juga di Sumatera, Borneo, Nusa Tenggara, dan Flores.  Debregeasia longifolia, seluruh Jawa 500‐
 Ardisia,  Belvisia,  Blumea,   2600, dijumpai di Asia Tenggara, Malaya, Sumatera, Borneo, Filiphina, dan Nusa Tenggara. Gynura aurantiaca, di Jawa dari G. Gede sampai G. Wilis 
Cyanoglossum,  Debregeasia,   700‐2400, dijumpai juga di Sumatera, Sulawesi, dan Filiphina.  Hydrangea aspera, di Jawa dari G. Salak sampai G. Iyang 1200‐2200, dari Himalaya
timur sampai China dan Formosa,  dijumpai juga di Sumatera.  Hypericum leschenaulhi, di Jawa dari G. Salak sampai G. Ijen 1500‐3500, dijumpai 
Dichrocephala,  Distylum,  
juga di Sumatera, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores,  dan Sulawesi barat daya.  Lonicera acuminata, di Jawa dari G. Gede sampai G. Ijen 1600‐3300, 
Equisetum,  Gramitis,  Gynura,   dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Filiphina.  Melissa axillaris, di Jawa G. Patuha sampai G. Papandayan, ke timur sampai G. 
Hydrangea,  Hypericum,  Ligustrum,   Lawu 1500‐2700, dijumpai di India sampai Jepang dan China, di Sumatera (tanah tinggi Gayo dan G. Kerinci).  Polygonum chinense, Seluruh Jawa 
2000‐3000  Lithocarpus,  Lonicera,  Melissa,   250‐3350, dijumpai di Asia Tenggara dan Timur, dan seluruh Malesia. Rubus lineatus, di seluruh Jawa, setidaknya dari G. Gede sampai G. Ijen  1650‐
Photinia,  Pilea,  Piper,  Pipturus,  3200, dijumpai di Asia Tenggara, Sumatera, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan,  dan Sabah (G. Kinabalu).  Thalictrum javanicum, di Jawa Barat hanya 
Polygonum, Pyrrosia, Rubus,   di  G.  Pangrango  dan  G.  Papandayan,  dari  G.  Ciremai  ke  timur  di  semua  gunung  tinggi  1800‐3300,    dijumpai di  Srilangka,  India,  Himalaya  sampai 
Scurulla, Symplocos, Thalictrum,   Yunan,  Sumatera  (Tanah  Gayo  dan  G.  Kerinci),  dan  Bali  (G.  Agung).    Todallia  asiatica,  seluruh  Jawa  1000‐2600,  dijumpai  dari  Afrika  hingga  Asia 
tenggara, pulau‐pulau Malesia, belum dijumpai di Maluku dan Nugini.  Urtica bullata,  di Jawa dari G. Dieng sampai G. Ijen 1250‐2600, dijumpai di G. 
Todallia, Urtica,  Valeriana,  
Kerinci Sumatera, G Rinjani Lombok, dan Filiphinan (Luzon dan Mindanao).  Valeriana hardwickii, di Jawa dari G. Gede sampai G. Ijen  1700‐3200, 
Virbunum, Vittaria.  dijumpai di Asia Tenggara, juga di G. , dijumpai di Asia Tenggara, juga di G.Kerinci Sumatera.  Virbunum coriaceum, seluruh Jawa di puncak gunung 
sebagai pionir lahar,  dijumpai di Asia, Sumatera, Bali, Sulawesi, dan Filiphina.   
Anaphalis viscida, di Jawa ha nya pegunungan beriklim muson, di G.  Ciremai ke timur sampai G. Ijen‐Merapi, dijumpai juga di G. Rinjasi Lombok 
3000‐  Agrostis,  Anaphalis,  Plantago.  1650‐3250.   Plantago  major,  kosmopolit,  di  seluruh  Jawa  dari  dataran  rendah  sampai  3300,  banyak  di  atas  700,    melimpah  di  Sumatera,  belum 
dijumpai di Borneo dan Nugini. 

61
Kondisi Kawasan Hutan Alam Gunung Slamet, Jawa Tengah

 
Soemarno & Girmansyah

62
Ekologi Gunung Slamet

Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam


Telagaranjeng, Lereng Gunung Slamet ,Kabupaten BrebesJawaTengah

Wiwik Herawati , Yayu Widiawati, & Hexa Apriliana Hidayah


Universitas Jenderal Sudirman,Purwokerto

ABSTRACT

Plant Diversity at Telagaranjeng Natural Reserve, Slamet Mountain, Brebes Central Java.
This research was conducted in Telagaranjeng natural reserve to discover the tree diversity of
the reserve. It is found that Telagaranjeng Natural Reserve kept 98 plant species of 33 families.
Based on the important value index, Lithocarpus sundaicus was the most dominant species at
all stands.ris)

Key words: diversity, plant,Telagaranjeng nature reserve

PENDAHULUAN
penyakit, dan atau faktor lainnya. Oleh
Kawasan cagar alam mempunyai karena itu diperlukan suatu pemahaman
arti penting bagi perlindungan sumber prinsip-prinsip ekologi dalam menganalisis
daya alam. Keberadaan kawasan ini proses dinamika dalam pengelolaan
sangat diperlukan agar dapat menjamin kawasan cagar alam.
terjaganya keanekaragaman biologi dan Kerusakan suatu kawasan hutan
fisik, serta tetap lestarinya plasma karena pemanfaatan sumber daya alam
nutfah. Kawasan cagar alam juga hayati yang tidak terkendali, selain
berfungsi dalam memelihara stabilitas menyebabkan hilangnya tegakan pohon
lingkungan wilayah sekitarnya sehingga juga akan mengakibatkan terganggunya
mengurangi intensitas banjir, kekeringan, tatanan lingkungan di kawasan hutan.
dan melindungi tanah dari erosi serta Selanjutnya, keanekaragaman hayati
mengurangi iklim ekstrim setempat yang ada di kawasan hutan tidak saja
(McKinnon & McKinnon 1990). penting bagi tatanan lingkungan, tetapi
Pengelolaan kawasan alami yang juga penting bagi kelangsungan hidup
dilindungi meliputi pengelolaan seluruh bangsa Indonesia (Salim 1989;
proses yang berlangsung dalam Purwaningsih & Razali 2008).
ekosistem tersebut. Semua kawasan Cagar Alam Telaga Ranjeng ditunjuk
secara alami akan terus berubah secara sebagai kawasan cagar alam
dinamis oleh kehadiran spesies baru berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
yang dipencarkan oleh angin, binatang, Jenderal Hindia Belanda Nomor 25
atau agen-agen lainnya. Di sisi lain tanggal 11 Januari 1925, seluas 48,5 ha.
spesies yang menghilang sebagai bentuk Alasan penunjukan ini antara lain dari
kepunahan setempat, dapat akibat dari segi (1) botani, terdapat pohon pasang

63
Herawati dkk.

(Lithocarpus sundaicus) dan cemara Tengah. Kawasan ini merupakan hutan


gunung (Casuarina junghuhniana) pengunungan di lereng barat G. Slamet.
yang hanya ada di daerah pengunungan; CA. Telaga Ranjeng terletak pada
(2) hidrologis, dapat menjaga kestabilan ketinggian 1600 meter dari permukaan
air telaga dan tata air di sekitarnya; (3) laut dengan topografi berbukit dan
estetika, terdapatnya danau atau telaga bergelombang. Keadaan geologinya
yang terjadi secara alami sehingga terdiri atas batuan tersier dan kuarter
menimbulkan daya tarik wisata (Anonim yang berasal dari gunung berapi dengan
1995). jenis tanah latosol. Temperatur harian
CA Telaga Ranjeng yang terletak di berkisar 10 – 25 ° C, dengan curah hujan
lereng G. Slamet sebelah barat rata-rata berkisar 600 – 1100 mm/tahun.
mempunyai tipe ekosistem hutan tropika Secara geografis, CA Telaga Ranjeng
pegunungan atas dan tipe ekosistem terletak antara 108º 41’38,7’’ BT - 10
perairan berupa telaga. Untuk menjamin 11’28,92’’ BT dan 6º 44’56,50" LS dan
kelestarian ekosistem hutan diperlukan 7º20’51,48" LS. Kawasan C.A.Telaga
sitem pengelolaan yang tepat terhadap Ranjeng dikelilingi oleh kawasan hutan
kawasan tersebut. Salah satu upaya produksi terbatas yang dikelola Perum
untuk membantu pengelolaan secara Perhutani RPH Kalikidang, BKPH
tepat adalah dengan cara mengetahui Kretek, KPH Pekalongan Barat, dan
keanekaragaman spesies tumbuhan berbatasan dengan pinggir jalan desa
penyusun ekosistem hutan kawasan menuju lokasi agrowisata kebun teh milik
tersebut. Keanekaragaman tumbuhan di PTPN IX Kaligua.
wilayah Telaga Ranjeng hingga saat ini Pengumpulan data vegetasi
belum banyak diungkapkan. Informasi dilakukan dengan membuat petak
yang ada hanya berupa telaah singkat cuplikan 20 X 20 m sebanyak 18 titik yang
tentang cagar alam tersebut. Untuk diletakan secara bersistem sepanjang
menambah informasi mengenai CA. Telaga Ranjeng. Untuk pengamatan
tumbuhan yang menyusun vegetasi hutan spesies pohon dan anak pohon,
Cagar Alam Telagarenjeng maka pengamatan secara morfologis di
dilakukan suatu penelitian mengenai lakukan di lapangan dan untuk spesimen
keanekaragaman tumbuhan guna yang belum diketahui spesiesnya dibuat
melengkapi data dan informasi herbarium untuk kepentingan identifikasi.
keanekaragaman flora hutan Identifikasi dilakukan dengan
pengunungan yang ada. menggunakan buku Flora of Java I, II
dan III (Backer & Bakhuizen 1963, 1965,
BAHAN DAN CARA KERJA dan 1968) dan Flora Pegunungan Jawa
(Steenis 2006). Analisis vegetasi
Secara adminsitrasi pemerintahan, dilakukan dengan menghitung nilai
CA. Telaga Ranjeng terletak di Desa penting (INP), indeks diversitas, indeks
Pandansari, Kecamatan Paguyangan, kemerataan dan indeks kekayaan
Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa masing-masing spesies di setiap tegakan.

64
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam

Untuk mengetahui pola model Selain itu, keberadaan vegetasi di sekitar


pengelompokan tiap tegakan digunakan telaga juga diduga dapat mengurangi
analisis multivariat yaitu cluster analisys penguapan. Dengan demikian, fungsi
dan ordinansi non metric Multi vegetasi sangat mutlak diperlukan untuk
Dimensional Scaling (MDS). Analisis melindungi stabilitas tanah. Hilangnya
multivariat diawali dengan cara vegetasi akan dapat mempercepat
menghitung tingkat kesamaan antar 2 terjadinya aliran air pemukaan yang
tegakan dan dilakukan untuk semua dapat meningkatkan sedimentasi atau
tegakan yang hasilnya berupa matrik pendangkalan telaga.
kesamaan antar seluruh tegakan. Indeks
kesamaan antar tegakan dihitung Keanekaragaman Spesies
menggunakan cara Jaccard ( Clarke & Hasil inventarisasi pada 18 plot
Warwick 2001) dengan luas total 0,72 Ha, didapatkan
594 individu yang terdiri atas pohon
HASIL DAN PEMBAHASAN dengan diameter > 10 cm sebanyak 98
individu tergolong kedalam 19 suku dan
Keadaan umum CA. Telaga Ranjeng 27 spesies, belta (anak pohon) diameter
Cagar alam Telaga Ranjeng seluas < 10 cm sebanyak 496 individu tergolong
48,5 ha di dalamnya terdapat telaga air ke dalam 33 suku dan 49 spesies.
tawar dengan luas 18,5 ha. Telaga yang Kekayaam spesies dilokasi penelitian
terdapat di Cagar alam tersebut memiliki secara keseluruhan tergolong tinggi bila
sumber air sendiri yang abadi karena tidak dibandingkan dengan yang terdapat di
mempunyai aliran masuk (inlet) maupun kawasan hutan Taman Nasional Gunung
aliran keluar (outlet). Keberadaan hutan Ciremai dengan luas cuplikan 1,2 ha
yang ada di sekeliling telaga hanya ditemukan 40 spesies yang
menyebabkan kestabilan air telaga tergolong dalam 27 suku untuk pohon,
terjamin. Oleh karena itu walaupun sedangkan anak pohon ditemukan 43
musim kemarau sangat panjang air telaga spesies tergolong dalam 26 suku
tidak pernah kering dan pada musim (Purwaningsih & Yusuf 2008). Akan
penghujan air telaga tidak pernah meluap. tetapi kekayaan jenis Telaga Ranjeng
Masyarakat setempat menganggap tergolong rendah bila dibandingkan
Telaga Ranjeng sebagai daerah yang dengan hutan pengunungan Taman
keramat, terbukti hingga saat ini tidak ada Nasional Gunung Halimun yaitu sebanyak
yang berani mengambil ikan lele yang ada 275 spesies terdiri atas 82 suku maupun
di telaga tersebut (Anomim 1995). CA. kawasan Gunung Kelud, yang mencapai
Telaga Ranjeng mempunyai tipe 125 spesies tergolong dalam 49 suku
ekosistem hutan tropika pegunungan atas (Larasati 2004).
dan tipe ekosistim perairan berupa telaga. Menurut Sundarapandian &Swamy
Kondisi vegetasi relatif baik dengan (2000), indeks nilai penting (INP)
daerah tangkapan air stabil sehingga air merupakan salah satu parameter yang
yang mengalir ke telaga sangat stabil. dapat memberikan gambaran tentang

65
Herawati dkk.

Tabel 1a. . Sepuluh jenis pohon utama (>10 cm) berdasarkan Nilai Penting.

Spesies Famili Nilai


Lithocarpus sundaicus Fagaceae 60
Litsea cubeba Lauraceae 35
Schefflera aromatica Araliaceae 34
Schefflera regusa Araliaceae 13
Glochidium arborecens Euphorbiaceae 24
Astronia spectabilis Melostomaceae 17
Glochidium rubrum Euphorbiaceae 16
Podocarpus rimosa Podocarpaceae 15
Engelhardia spicata Juglandaceae 11
Podocarpus neliifolius Podocarpaceae 10

Tabel 1b. Sepuluh jenis belta (diameter <10 cm) berdasarkan Nilai Penting tertinggi.

peranan jenis bersangkutan dalam beradaptasi dengan lingkungan setempat.


komunitasnya atau pada lokasi Oleh karena itu, spesies yang
penelitian. Nilai INP tertinggi dicapai mendominasi suatu area dapat dikatakan
spesies Lithocarpus sundaicus sebesar sebagai spesies yang memiliki
60 % tingkat pohon dan 33,62 % untuk kemampuan beradaptasi dan toleransi
tingkat belta, diikuti oleh Litsea cubeba yang lebar terhadap kondisi lingkungan.
dengan INP sebesar 35 % untuk pohon, Lithocarpus sundaicus merupakan
sedangkan untuk belta hanya 14,67 % spesies yang ditemukan hampir pada
(Tabel 1.a, b). Lithocarpus sundaicus setiap lokasi cuplikan (15 lokasi). Di sisi
dan Litsea cubeba merupakan dua lain, Schefflera aromatica ditemukan
spesies yang mendominasi hutan CA. pada 12 lokasi, dan Litsea cubeba
Telaga Ranjeng. Kehadiran suatu jenis ditemukan pada 11 lokasi. Spesies umum
pohon pada daerah tertentu menunjukkan penyusun komunitas dengan NP (nilai
kemampuan pohon tersebut dalam penting) yang cukup tinggi diperkirakan

66
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam

Gambar 1. Toal luas bidang dasar/basal area (cm2) masing-masing jenis dari seluruh petak
cuplikan.

akan tetap bertahan karena memiliki anak pohon tercatat dengan INP tinggi.
strategi regenerasi yang baik, tercermin Tiga spesies anak pohon lainnya yaitu
dari sebaran ukuran kelas diameter yakni Harmsiopanax acuelatus, Ardhiden-
jumlah terbanyak dicapai pada diameter dron clypearia,dan Hellicia serrata
< 3 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat memperlihatkan pola regenerasi yang
Hartshon (1980) dalam Purwaningsih & berbeda karena merupakan spesies yang
Razali (2008) yang menyebutkan bahwa dominan pada tingkat anak pohon saja
pola penyebaran dengan nilai paling besar ,Engelhardia spicata yang mempunyai
dicapai oleh kelas diameter batang Nilai penting 11 % pada tingkat pohon,
terkecil menunjukkan keadaan hutan yang ternyata hanya dijumpai pada ukuran
baik untuk regenerasi. Spesies yang diameter kecil dengan nilai penting
mempunyai permudaan cukup baik sebesar 1,2 %. Sebaliknya banyak
antara lain Lithocarpus sundaicus, spesies pohon yang tidak pernah tumbuh
Schefflera aromatica, Astronia menjadi besar, atau dengan kata lain
spectabilis, dan Litsea cubeba. Di lain hanya sebagai penyusun lapisan bawah
pihak Glochidion arborescens, G. kanopi hutan misalnya Eupathorium
rubrum, S. regusa, Podocarpus inulifolium merupakan tumbuhan yang
imbricatus tidak mempunyai permudaan banyak ditemukan di lahan kosong atau
yang baik karena hanya mempunyai INP area terbuka dan mempunyai efisiensi
kurang dari 10% pada tingkat pohon dan tinggi dalam hal pemencaran biji.
tingkat belta jarang ditemukan. Ditinjau Ditempat dengan kuantitas cahaya yang
dari regenerasi jenis yang diduga akan tinggi akan semakin merangsang
menggantikan tegakan pohon yang mati kecepatan tumbuhnya bibit, sedangkan
seperti L. sundaicus, S. aromatica, A. variasi struktur dan komposisi tumbuhan
spectabilis merupakan spesies yang dalam satu komunitas dipengaruhi antara
dapat menggantikan karena pada tingkat lain oleh fenologi tumbuhan, pemencaran

67
Herawati dkk.

dan natalitas yang berbeda setiap spesies merupakan spesies yang paling berkuasa
sehingga terdapat perbedaan struktur dan dalam komunitas hutan daerah penelitian.
komposisi pada masing-masing lokasi Pada Tabel 3 terlihat bahwa jumlah
hutan. spesies terbanyak dengan indeks
Berdasarkan basal area seluruh kekayaan spesies serta diversitas
spesies pohon terlihat bahwa tertinggi, terdapat di tegakan 1,
L.sundaicus mempunyai basal area sedangkan individu terbanyak pada
paling besar sehingga bisa dikatakan tegakan 7 . Junlah spesies tumbuhan yang
bahwa spesies tersebut merupakan paling kecil terdapat pada tegakan 18
spesies dominan di CA Telaga Ranjeng. dengan indeks diversitas juga paling
Hal ini sesuai dengan pendapat Barbour rendah. Akan tetapi secara keseluruhan
et al. (1987), bahwa spesies tumbuhan semua tegakan di CA. Telaga Ranjeng
dominan adalah spesies tumbuhan yang mempunyai kekayaan spesies yang tinggi
memiliki lapisan tajuk atau basal area dikarenakan seluruh tegakan mempunyai
terbesar pada suatu komunitas dibanding indeks E > 0,6 (Magurran 1988) Adapun
spesies tumbuhan overstory lainnya. keragamannya tergolong sedang karena
Dengan demikian L. sundaicus yang hanya sebesar 1,55 -3,10. Hasil analisa
mendominasi cagar alam tersebut cluster dengan indek kesamaan Jaccard,
serta rekonstruksi dendogram
menunjukan adanya 3 pengelompokkan
Tabel 3.Data masing-masing tegakan

S (Jumlah N (Jumlah d (Margalef’s J' (Pielou’s H' (S hannon-


Tegakan
S pecies) Individu) S pecies Richness) Evenness) Wiener)
1 32 102 6.70 0.90 3.10
2 29 84 6.32 0.83 2.78
3 27 67 6.18 0.92 3.03
4 26 114 5.28 0.85 2.78
5 25 91 5.32 0.88 2.82
6 24 71 5.40 0.91 2.91
7 24 116 4.84 0.87 2.78
8 23 66 5.25 0.83 2.60
9 22 81 4.78 0.88 2.72
10 20 72 4.44 0.89 2.66
11 19 49 4.63 0.83 2.45
12 18 67 4.04 0.90 2.59
13 18 73 3.96 0.88 2.55
14 17 78 3.67 0.85 2.41
15 15 45 3.68 0.84 2.27
16 14 45 3.42 0.87 2.30
17 14 31 3.79 0.90 2.39
18 12 61 2.68 0.62 1.55

68
Keanekaragaman Tumbuhan Hutan di Cagar Alam

berdasarkan komposisi spesies dan 5) ditemukan spesies yang sama seperti


jumlah individu pada setiap cuplikan L. sundaicus, G. rubrum, Litsea
tegakan (Gambar 2). Ketiga cubeba dan Astronia spectabilis. Pada
pengelompokkan tersebut terbentuk pada kelompok kedua (6 dan 8) terdapat
tingkat kesamaan 35% yang berarti spesies Engelhardia spicata sedangkan
bahwa antar tegakan mempunyai pada kelompok tiga (plot 7, 9, 10, 11, 12,
kesamaan spesies 35 %. Dilihat dari 13,14, 15, 16, 17 dan 18) terdapat
kondisi alamiahnya kelompok pertama kesamaaan adanya spesies Schefflera
(tegakan 1, 2, 3, 4, 5) merupakan area aromatica. Indeks kesamaan pada
cuplikan dengan kondisi lingkungan yamg seluruh tegakan di CA. Telaga Ranjeng
berbatasan dengan area pertanian hanya mencapai 30 % dan tidak
kentang dan terletak di sebelah barat mencapai 50 %, sehingga dapat dikatakan
telaga. Kelompok kedua (plot 6 dan 8) bahwa nilai kesamaan spesies seluruh
adalah area cuplikan dengan kondisi tegakan relatif rendah. Menurut Larasati
lingkungan terletak di sebelah barat (2004) bahwa semakin rendah nilai
telaga, sedangkan kelompok ketiga (plot indeks kesamaannya, maka semakin
7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18) rendah tingkat kemiripan antara satu
adalah cuplikan dengan kondisi tegakan dengan yang lain. Hal ini diduga
lingkungan yang berbatasan dengan karena adanya variasi tanggap yang
pabrik jamur dan terletak di sebelah timur berbeda dari setiap spesies terhadap
telaga kecuali plot 9 dan 10 yang terletak kondisi lingkungan. Selain itu, pada plot
di sebelah utara telaga dengan kondisi 1 yang merupakan kawasan sering
karena mengalami perambahan hutan dirambah tampak berpengaruh terhadap
karena disini tidak ditemukan pohon. spesies tumbuhannya. Sedangkan pada
Kelompok pertama (plot 1, 2, 3, 4, dan plot 16, 17, dan 18 spesies tumbuhannya

Gambar 2. Dendogram vegetasi plot cuplikan dihitung dengan indeks Jaccard, menunjukan
3 pengelompokan pada tinggkat kesamaan ± 35%.

69
Herawati dkk.

juga terpengaruh pabrik jamur, sehingga edition. Primer-E Limited:


menyebabkan perbedaan komposisi Plymouth.
tumbuhan. Oleh karena itu, hanya Larasati, I. 2004. Keanekaragaman
tumbuhan yang mempunyai toleransi Tumbuhan dan Populasinya di
besar bisa ditemukan hampir di setiap Gunung Kelud, Jawa Timur.
tegakan. Biodiversitas. 5(2): 71–76.
MacKinnon, K & J.Mc. Kinnon. 1990.
KESIMPULAN Pengelolaan Kawasan Yang
Dilindungi di Daerah Tropika.
Berdasarkan pengamatan lapangan Gadjah Mada university Press.
dapat dikatakan bahwa secara Jogyakarta.
keseluruhan kondisi hutan di kawasan Purwaningsih & R. Yusuf. 2008.Analisa
CA. Telaga Ranjeng masih relatif baik. vegetasi Hutan Pegunungan di
Meskipun demikian hutan ini juga banyak Taman Nasional Gunung Cermai,
terganggu oleh aktivitas penduduk sekitar Majalengka Jawa Barat. Jurnal
terutama di beberapa tempat (petak 9 dan Biologi Indonesia.4 (5): 385-
10) terjadi pembalakan hingga mejadi 399.
kawasan gundul yang didominasi oleh
Salim, E. 1989. Membangun Negeri
Eupatorium inulifolium,sehingga diduga
Dengan Keanekaan Hayati. Kata
banyak spesies yang hilang. Namun,
terdapat beberapa spesies seperti Sambutan. Dalam Buku
L.sundaicus, S.aromatica, dan Astronia Keanekaragaman hayati untuk
spectabilis mampu beradaptasi dengan Kelangsungan Hidup Bangsa.
baik, sehingga dapat menjadi spesies Sundarapandian, SM. & PS. Swamy.
pilihan untuk upaya penghutanan kembali 2000. Forest ecosystem structure
pada areal yang mengalami kerusakan and composition along an
altitudinal gradient in the Western
DAFTAR PUSTAKA Ghats, South India. Journal of
Tropical Forest Science 12 (1):
Anonim.1995. Buku Informasi
104 – 123.
Kawasan Konservasi. Balai
Van Steenis, C.G.G.J. 2006. Flora
KSDA Jawa Tengah.
Backer, CA. & RC. Bakhuizen. v.d. Pegunungan Jawa. Pusat
Brink, l963. Flora of Java. Vol I, Penelitian Biologi – LIPI Bogor
II dan III. NVP Noordhoff. (Terjemahan)
Groningen.
Clarke, K. R & R. M. Warwick. 2001.
Change in Marine Communities:
an approach to statistical
analysis and interpretation, 2nd

70
Ekologi Gunung Slamet

Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden Lereng


Selatan G. Slamet

Agus Budiana & Sukarsa


Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Email: esakarsa@yahoo.co.id

ABSTRACT

Epiphytic Ferns Diversity in the Baturraden Botanical Garden, South Slope of Mount Slamet.
A study on the diversity of epiphytic ferns in the Baturraden Botanical Garden, on South Slope
of Mount Slamet was done from December 2007 to February 2008 to find out the diversity and
the type of epiphytic ferns in Mt. Slamet southern slope. The method used in this research was
survey by collecting the samples randomly. The data were analyzed descriptively for the
characters of each epiphytic fern obtained in research location. This research showed that
there were four families of 12 species of epiphytic ferns namely Aglaomorpha heraclea,
Asplenium nidus, Belvisia revoluta, Phymatopteris triloba, Goniophlebium percussum,
Nephrolepis falcata, N. acuminata, Davallia triphylla, Lindsaea macraeana, Dryopteris
sparsa, Lycopodium phlegmaria, and L. squarosum. The most dominant family was
Denstaedtiaceae which includes N. falcata, followed by N. acuminata. While the least is
Lycopodium including L. squarosum, and Goniophlebium percussum. Distribution related
with character of each species was discussed.

Keyword: diversity, epiphytic ferns, Baturraden Botanical Garden

PENDAHULUAN atau divisi Pteridophyta. Pteridophyta


termasuk kelompok tumbuhan yang
Diversitas adalah sifat komunitas mempunyai banyak jenis. Di Indonesia,
yang memperlihatkan tingkat keragaman kelompok tumbuhan paku diperkirakan
jenis organisme yang ada di dalamnya. mencapai 1.300 jenis atau 13% dari
Keragaman ditentukan oleh dua sifat semua jenis tumbuhan paku yang telah
komunitas yaitu kekayaan jenis diketahui (± 10.000 jenis) (Sastrapradja
(banyaknya jenis) dan kemerataan dari dkk. 1979).
kelimpahan individu atau populasi dari Ciri utama tumbuhan paku adalah
setiap jenis yang tidak bergantung satu setiap kuncup daun muda yang baru
sama lain (Poole 1974). Keragaman tumbuh menggulung atau melingkar
hayati paling tinggi terdapat di negara- seperti satu gelungan tali. Ciri lain
negara yang berada di wilayah tropik. kelompok tumbuhan paku ialah
Indonesia merupakan salah satu pusat menghasilkan spora yang terbentuk di
keragaman hayati tertinggi di dunia. dalam kantong spora (sporangium).
Salah satu keragaman hayati yang tinggi Kumpulan sporangium ini yang disebut
adalah dari kelompok tumbuhan paku sebagai sorus. Letak sporangium

71
Budiana & Sukarsa

berbeda-beda, ada yang berada pada Kebun Raya Baturaden memiliki


ujung daun, permukaan bawah daun, flora yang beragam, sesuai fungsinya
diantara tepi dan tulang daun, pada sebagai kawasan konservasi ex-situ
pertulangan daun ataupun tepi daun. berbagai jenis tumbuhan. Jenis-jenis
(Luvly 2008). tumbuhan yang terdapat di kawasan
Di alam penyebaran tumbuhan paku Kebun Raya Baturaden antara lain:
sangat luas, dari daerah rendah hingga damar (Agathis lorantifolia), puspa
daerah tinggi, ada yang tumbuh di tanah, (Schima wallichii), rasamala (Altingia
di air, dan ada pula yang menempel pada excelsa), mahoni (Switenia
tumbuhan lain sebagai epifit. Tumbuhan macrophylla.), kaliandra (Callyandra
paku umumnya hidup dengan baik pada calothyrsus), paku-pakuan, kantong
lingkungan yang lembab dan tempat- semar dan spesies anggrek. Di antara
tempat terlindung, tetapi dapat pula hidup jenis tersebut, kelompok tumbuhan paku-
di tempat terbuka. Tumbuhan paku ada pakuan masih banyak yang belum
yang hidup saprofit dan ada pula sebagai diidentifikasi dan diketahui potensinya
epifit dan terrestrial (Anonim 2007a). (Dinas Kehutanan Jateng 2003b).
Epifit adalah semua tumbuhan yang Penelitian ini bertujuan untuk
tumbuh menempel pada tumbuhan lain, mengetahui keragaman tumbuhan paku
tetapi tidak parasit pada inangnya epifit yang terdapat di Kebun Raya
(Steenis 1981). Kelompok ini sangat Baturaden, Lereng Selatan Gunung
bervariasi meliputi tumbuhan tingkat Slamet. Hasil penelitian diharapkan dapat
rendah (lumut, lichen, ganggang), hingga menambah informasi mengenai
tumbuhan paku-pakuan bahkan keragaman spesies dan potensi tumbuhan
kelompok tumbuhan berbunga terutama paku epifit yang terdapat di Kebun Raya
suku angrek-angrekan. Tumbuhan paku Baturaden.
yang hidup sebagai epifit antara lain dari
marga Asplenium, Davallia, BAHAN DAN CARA KERJA
Hymenolepis, Drynaria, Platycerium,
Cyclophorus, dan Drymoglossum Penelitian dilakukan di Kebun Raya
(Steenis 1981). Baturaden kawasan Resor Pemangku
Kebun Raya Baturaden yang berada Hutan (RPH) Baturraden, termasuk
di kawasan Resor Pemangkuan Hutan dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan
(RPH) Baturaden, termasuk dalam (KPH) Banyumas Timur, meliputi tiga
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) blok dengan kondisi tegakan yang
Banyumas Timur. Kebun Raya berbeda. Blok pertama merupakan hutan
Baturraden mempunyai topografi landai damar dengan tumbuhan bawah relatif
sampai berbukit dengan kemiringan 20% jarang karena telah dilakukan
hingga 70%. Ketinggian tempat berkisar pemeliharaan dalam program
antara 600-750 m dpl. Suhu udara pengembangan kebun raya. Blok ke dua
berkisar antara 20-30 0 C (Dinas merupakan hutan damar yang tidak
Kehutanan-Jateng 2003a).

72
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden

dilakukan pemeliharaan sehngga Fern of the Tropics (Chin 2000) dan


tumbuhan bawah relatif padat, blok ke Spesies Paku Indonesia (Sastrapradja
tiga merupakan hutan campuran dengan 1979). Data yang diperoleh dianalisis
berbagai spesies pohon. secara deskriptif, berdasarkan karakter
Pengumpulan data lapangan masing-masing spesies tumbuhan paku
dilakukan dari bulan Desember 2007 epifit yang diperoleh di lokasi penelitian.
hingga Februari 2008. Dihitung frekuensi kemunculan tiap
Penelitian dilakukan dengan metode spesies tumbuhan paku pada masing-
survei, didahului dengan penjelajahan masing blok.
seluruh kawasan guna mendapatkan
gambaran umum kondisi tumbuhan paku HASIL DAN PEMBAHASAN
epifit secara keseluruhan. Pengumpulan
data dilakukan dengan penyisiran di tiga Berdasarkan hasil survei dan
blok yang ada di lokasi Kebun Raya identifikasi jenis-jenis tumbuhan paku
Baturraden. Pencatatan data meliputi epifit yang ditemukan di Kebun Raya
kehadiran masing-masing spesies pada Baturraden mencapai 12 spesies terdiri
setiap pohon inang dan penghitungan atas 5 spesies dari suku Dennstaedtia-
jumlah individu. Sampel tumbuhan paku ceae; 4 spesies dari Polypodiaceae; 2
epifit yang ditemukan diambil, kemudian spesies dari Lycopodiaceae; dan 1
dicatat dan diamati ciri morfologinya. spesies dari Aspleniaceae (Tabel 1).
Dihitung jumlah individu dan frekuensi Diversitas spesies tumbuhan paku
kemunculan tiap spesies tumbuhan paku epifit yang terdapat di Kebun Raya
pada masing-masing blok. Baturaden lebih banyak dibandingkan
Sampel tumbuhan paku diidentifikasi dengan hasil penelitian Heriawan (2004),
dengan pustaka Flora of Malaya, vol yang melaporkan bahwa pada vegetasi
II. Fern of Malaya (Holttum 1968), hutan damar hanya terdapat 7 spesies

Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan paku epifit yang ditemukan di Kebun Raya Baturaden.

Suku Jenis
Dennsteadtiaceae Nephrolepis falcata (Cap.) C. Chr
Nephrolepis acuminata (Houtt.) Kuhn.
Davallia triphylla Hk.
Lindsaea macraeana (Hk. & Walk. Arn.) Copel.
Dryopteris sparsa (Don.) O. Ktze
Polypodiaceae Belvisia revoluta (Blume) Copel.
Phymatopteris triloba (Houtt.) Pic.Serm
Goniophlebium percussum (Cav.) Wagner &
Grether.
Aglaomorpha heraclea (Kunze) Copel.
Lycopodiaceae Lycopodium phlegmaria L.
Lycopodium squarosum L.
Aspleniaceae Asplenium nidus L.

73
Budiana & Sukarsa

tumbuhan paku epifit dan 12 spesies paku ini adalah pantropis, namun beberapa di
terestial. Banyaknya spesies paku epifit antaranya tersebar hingga daerah
di Kebun Raya Baturraden didukung beriklim sedang dan menjadi tumbuhan
faktor lingkungan pada hutan damar dominan di lantai hutan, seperti
khususnya Kebun Raya Baturraden yang Pteridium aquilinum (Anonimus 2008)
sangat mendukung terhadap perkem- Di alam, tumbuhan paku epifit hidup
bangan tumbuhan paku epifit dengan secara liar dan menggantungkan
intensitas cahaya berkisar antara 248 – hidupnya pada pohon inangnya, meskipun
726 lux dan kelembaban udara 70% - tidak menyerap makanan dari tumbuhan
88% . Hal ini disebabkan karena pohon yang ditumpanginya (Chin 2000).
damar yang ditanam di kawasan Kebun Tumbuhan paku epifit lebih menyukai
Raya Baturraden ditanam secara teratur inang dengan karakteristik tertentu, misal
dengan percabangan tidak begitu rapat lebih menyukai inang yang mempunyai
sehingga membentuk tajuk yang kanopi tidak begitu rapat, permukaan
memungkinkan cahaya matahari masuk batang kasar dan lembab. Sistem
ke bagian tajuk. Hal ini mengakibatkan perakaran tumbuhan paku epifit
di kawasan hutan damar memiliki memungkinkan tumbuhan tersebut lebih
kelembaban cukup tinggi tetapi masih bisa dapat bertahan hidup pada kondisi
dilalui cahaya sehingga banyak ditumbuhi tumbuhan inang yang memiliki tekstur
tumbuhan paku epifit. Spesies pohon yang permukaan batang kasar dan dapat
paling banyak ditemukan adalah pohon menyerap air dengan baik.
Damar (Agathis lorantifolia), hal ini Banyaknya tumbuhan paku epifit
karena Kebun Raya Baturraden yang terdapat pada suatu pohon,
merupakan kawasan yang termasuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
dalam hutan produksi damar milik PT lain faktor fisik lingkungan seperti suhu,
Perhutani. Selain itu, ada pohon Puspa intensitas cahaya, kelembaban, fisik
(Schima wallichi), Rasamala (Altingia tumbuhan inang seperti tekstur batang
excelsa), Mahoni (Switenia macro- dan kulit batang, serta kerapatan tegakan.
phylla), dan Kaliandra (Callyandra Jumlah spesies dan banyaknya individu
calothyrsus). Jenis-jenis pohon tersebut tiap spesies yang ditemukan pada suatu
merupakan habitat bagi tumbuhan paku pohon menunjukkan bahwa pohon
epifit yang tumbuh di kawasan Kebun tersebut merupakan tempat yang cocok
Raya Baturraden. sebagai inang (Simbolon 2007).
Jumlah spesies tumbuhan paku epifit Di daerah kajian, tumbuhan paku
yang paling banyak ditemukan di Kebun epifit banyak ditemukan menempel pada
Raya Baturraden adalah dari Suku tumbuhan inang, terutama pada pohon
Dennstaedtiaceae. Suku Dennstaed- puspa dan damar. Pohon puspa
tiaceae merupakan salah satu suku mempunyai percabangan batang yang
anggota tumbuhan paku yang tergolong banyak dan lebar, sehingga pohon ini
sebagai kelompok paku sejati yang mempunyai tajuk lebih rindang dibanding
terbesar. Kebanyakan anggota suku spesies pohon lain. Hampir seluruh

74
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden

bagian batang puspa menjadi tempat yang beberapa spesies tumbuhan paku epifit.
cocok untuk berkembangnya tumbuhan Pohon damar juga mengandung getah
paku epifit. Hal ini karena pohon puspa yang bersifat allelopathy terhadap
mempunyai kulit batang yang lembab dan pertumbuhan epifit, namun ada beberapa
tidak mengelupas (Sastrapradja dkk. spesies tumbuhan paku epifit yang
1980). Dari semua tumbuhan paku epifit mampu beradapatasi dengan keadaan
yang ditemukan di Kebun Raya tersebut sehingga dapat bertahan hidup,
Baturraden, hampir semuanya dijumpai misalnya Aspleniun nidus., Aglaomor-
tumbuh di pohon puspa. Ini menunjukkan pha heraclea. dan marga Nephrolepis.
bahwa pohon puspa paling cocok sebagai Nephrolepis falcata, dan
inang tumbuhan paku epifit di daerah Nephrolepis acuminata, spesies dari
kajian. Suku Dennstaedtiaceae ditemukan
Pohon damar mempunyai kulit luar dengan jumlah individu banyak yaitu 278
batang yang tidak kasar, dengan bentuk dan 158 individu dengan sebaran hampir
percabangan monopodial. kondisi merata di 3 blok kawasan Kebun Raya
demikian kurang menguntungkan bagi Baturraden (Tabel.2). Hal ini karena
Tabel 2. Jumlah individu dan frekuensi jenis tumbuhan paku epifit yang ditemukan di Kebun
Raya Baturaden.
Blok Jumlah
Suku Jenis Frek.
1 2 3 individu
Dennsteadtiaceae Nephrolepis falcata 87 75 56 278 3
(Cap.) C. Chr
Nephrolepis acuminata 68 41 49 158 3
(Houtt.) Kuhn.
Davallia triphylla Hk. 4 - - 4 1
Lindsaea macraeana (Hk. 32 - 38 70 2
Walk. Arn.) Copel.
Dryopteris sparsa - 6 12 18 2
(Don.) O. Ktze
Polypodiaceae Belvisia revoluta 87 - 47 134 2
(Blume) Copel.
Phymatopteris triloba 7 3 - 10 2
(Houtt.) Pic.Serm
Goniophlebium
percussum (Cav.) 3 - - 3 1
Wagner & Grether.
Aglaomorpha heraclea 28 24 33 85 3
(Kunze) Copel.
Lycopodiaceae Lycopodium phlegmaria - 7 - 7 1
L.
Lycopodium squarosum 3 - - 3 1
L.
Aspleniaceae Asplenium nidus L. 39 31 35 105 3

75
Budiana & Sukarsa

kedua spesies paku tersebut memiliki Lycopodium squarosum. Masing–


perakaran yang kuat dan rimpang yang masing spesies hanya ditemukan tiga
cukup panjang sehingga mampu hidup individu dengan sebaran terbatas pada
sebagai epifit dalam berbagai kondisi, baik Blok1. Wilayah Blok 1 merupakan
kondisi inang mapun lingkungan. Holttum kawasan yang ditumbuhi hutan damar
(1968) menyatakan bahwa marga secara merata sehingga kondisi
Nephrolepis mampu beradaptasi lebih lingkungan seperti cahaya dan
luas terhadap kondisi lingkungan, seperti kelembaban relatif homogen.
cahaya, kelembapan, air, dan hara di Davallia triphylla ditemukan
banding marga lain. jumlahnya sedikit karena daerah sebaran
Keanekaragaman tegakan pohon tumbuhan paku ini terbatas pada
sebagai inang bagi tumbuhan paku epifit ketinggian di atas 1000 m dpl (Holttum,
berpengaruh terhadap keragaman 1968). D. triphylla hanya ditemukan
maupun kelimpahan tumbuhan epifit yang pada pohon puspa yang mempunyai
berkembang. Pada tegakan yang batang atau ranting cocok untuk
homogen popolasi epifit relatif rendah. perkembangannya. Sistem perakaran D.
Hal ini berkaitan dengan kondisi triphylla seperti serabut, sehingga
lingkungan yang terbatas untuk mendukung pertumbuhan paku epifit ini
tumbuhnya keragaman spesies epifit. pada pohon inang yang lembab dan
Hanya jenis-jenis tumbuhan epifit tertentu berlumut.
yang mampu tumbuh pada kondisi seperti Lycopodium squarosum ditemu-
itu. Jenis-jenis tersebut antara lain kan di tempat yang lembab dan pohon
Nephrolepis falcata, N. acuminata, inang yang berlumut sebagai tempat
Lindsaea macraeana dan Asplenium menempelnya serabut-serabut akar
nidus. Jenis jenis tersebut memiliki untuk menyerap air dan hara. Tumbuhan
kemampuan beradaptasi terhadap paku epifit dari marga Lycopodium ini
cahaya maupun penyerapan sersah tumbuh menggantung di celah dahan yang
sebagai unsur hara yang cukup baik. Pada besar, lembab dan kaya dengan humus,
tegakan pohon yang heterogen diperoleh rimpang menjalar di kulit kayu pohon lain
populasi tumbuhan epifit yang lebih tinggi. yang berhumus terutama di celah cabang.
Hal tersebut berkaitan dengan kondisi Penyebaran tumbuhan paku epifit,
lingkungan yang beragam terbentuk oleh umumnya ditemukan pada pohon damar
keragaman spesies pohon, baik keadaan dan pohon puspa yang terdapat di
kulit kayu pohon inang yang bervariasi, kawasan Kebun Raya Baturraden
maupun lingkungan mikro sehingga berada pada ketinggian 600-750 m dpl.
memungkinkan banyak spesies Menurut Holttum (1968) bahwa
tumbuhan epifit untuk hidup dalam kondisi tumbuhan paku dapat ditemukan mulai
yang beragam. dari ketinggian 0-3200 m dpl. Tumbuhan
Tumbuhan paku epifit yang paku epifit yang paling banyak ditemukan
ditemukan paling sedikit jumlahnya pada pohon damar dan puspa adalah
adalah Goniophlebium percussum dan Aglaomorpha heraclea, Asplenium

76
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden

nidus, Belvisia revoluta, Nephrolepis id&ct=clnk&cd=21&gl=id&l


falcata, dan Nephrolepis acuminata. r=lang_id. Di unduh tanggal 08
Beberapa spesies tumbuhan paku September 2007.
yang ditemukan di Kebun Raya Anonim.2007a. http://bebas.vlsm.org/
Baturraden memiliki potensi untuk v12/sponsor/SponsorPendamping/
dikembangkan sebagai tanaman hias, P r a w e d a / B i o l o g i /
kerena mempunyai bentuk yang menarik 0014%20Bio%201-3c. Di unduh
seperti Asplenium nidus, Aglaomorpha tanggal 08 September 2007.
heraclea dan Lycopodium phlegmaria. Anonim. 2007b. Ferns: Pengenalan
Pengamatan di lapangan menunjukkan Tumbuhan Paku-Pakis. http://
spesies tersebut sudah mulai jarang. Hal fernarise.blogspot.com/
ini diduga disebabkan adanya kegiatan 2007_10_01_archive.html. Di
pengambilan oleh masyarakat untuk unduh tanggal 20 Juni 2008.
dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Anonim. 2008. Tumbuhan Paku. http://
id.wikipedia.org/wiki/
KESIMPULAN Dennstaedtiaceae. Di unduh
tanggal 20 Juni 2008.
Diversitas tumbuhan paku epifit di Chin, WY. 2000. Ferns of the Tropics.
daerah kajian masih cukup tinggi. Singapore Science. Singapore.
Beberapa spesies yang ditemukan Dinas Kehutanan. 2003a. Kebun Raya
berpotensi untuk dikembangkan sebagai Baturaden; kondisi umum. Dinas
tanaman hias. Oleh karena itu, upaya Kehutanan Propinsi Jawa Tangah.
perlindungan perlu dilakukan terhadap www.dinashut-jateng.go.id. Di
jenis-jenis tersebut. Dari hasil kajian di unduh tanggal 04 September 2007.
tiga habitat yang berbeda memperli- Dinas Kehutanan. 2003b. Kebun Raya
hatkan bahwa keragaman tumbuhan Baturaden; potensi flora. Dinas
inang mempengaruhi sebaran maupun Kehutanan Propinsi Jawa Tangah.
kelimpahan individu dari masing-masing www.dinashut-jateng.go.id. Di
jenis. Untuk mempertahankan unduh tanggal 04 September 2007.
keanakaraga-man tumbuhan paku epifit Heriawan, AW. 2004. Studi Struktur dan
disarankan pembangunan kawasan hutan Komposisi Tumbuhan Paku di
memper-hatikan karagaman jenis-jenis Beberapa Tipe Vegetasi Hutan
pohon yang ditanam. Lereng Selatan Gunung Slamet.
Skripsi (tidak dipublikasikan).
DAFTAR PUSTAKA Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Anonimous. 2000. Paku (Pteridophyta). Holttum, RE. 1968. Flora of Malaya.
http://72.14.235.104/ search?q Gaverment Printing Office,
=cache:Sm6y V58r7M4J:www. Singapore.
flowsonline.net/data/Flows8_ Luvly, N. 2008. Pteridophyta. Multiply,
Indo.pdf+tumbuhan+ paku&hl= Inc. http://noenk89.multiply.com/

77
Budiana & Sukarsa

journal/ item/6. Di unduh tanggal 20 Sastrapradja, S., & JJ. Afriastini. 1985.
Juni 2008. Kerabat Paku. Lembaga Biologi
Poole, R. W. 1974. An Introduction to Nasional-LIPI. Bogor.
Quantitative Ecology. Mc Graw- Simbolon, H. 2007. Epifit dan Liana Pada
Hill, Kogakushe Ltd. Tokyo. Pohon di Hutan Pamah Primer dan
Sastrapradja, S., Johar, JA., Darnadey D., Bekas Terbakar Kalimantan Timur,
& EA. Widjaja. 1979. Jenis Paku Indonesia. Pusat Penelitian
Indonesia. Lembaga Biologi Biologi-LIPI, Bogor. Berita Biologi
Nasional-LIPI, Balai Pustaka. 8 (4), 249-257.
Bogor. Steenis, Van CGGJ. 1981. Flora Untuk
Sekolah di Indonesia. PT Pradnya
Paramita. Jakarta

78
Diversitas Tumbuhan Paku Epifit di Kebun Raya Baturaden

A. heraclea (Kze). Copel Belvisia revoluta (Bl.) Copel Asplenium nidus L

Nephrolepis falcata (Cap.) Goniophlebium percussum (Cav.) Nephrolepis falcata (Cap.)


C. Chr. W & G. C. Chr.

Davallia triphylla Hk Lycopodium phlegmaria L. Lycopodium squarrosum L.

Nephrolepis acuminata (Houtt.) . Lindsaea macraeana (Hk. & Dryoteris sparsa (Don.) O.K
Walk. Arn.) Copel

Gambar1. Epifit asal kawasan Kebun Raya G. Slamet

79
Budiana & Sukarsa

80
Ekologi Gunung Slamet

Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae di Hutan Gunung


Slamet Jalur Pendakian Baturraden

Joko Sungkono, Yayu Widiawati &Titi Chasanah


Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

ABSTRACT
Study on The distribution of Dennstaedtiaceae Fern in Slamet Mountain Forest at Baturraden
Hiking Track. There are 22 species of Dennstaedtiaceae fern consisting of 13 species
terrestrial and 9 epiphytic ferns, belonging to 10 sub Families. Distribution of Dennstaedtiaceae
in the study area varied with the frequency of 10 – 50% The least distribute species are
Hypolepis brooksiae, Egenolfia appendiculata and Woodwardia areolata.

Key word: Fern distribution, Dennstaedtiaceae, Slamet Mountain Forest.

PENDAHULUAN serta epifit seperti lumut, anggrek dan


tumbuhan paku berkembang dengan baik.
Gunung Slamet merupakan gunung Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih
berapi yang masih aktif, dengan puncak kurang 1.300 spesies tumbuhan paku,
mencapai ketinggian 3.428 m dpl., yang menempati berbagai habitat, baik
terletak di Jawa Tengah. Secara terestrial, epifit maupun lingkungan air
geografis gunung ini terbentang pada (LBN 1979). Tumbuhan paku memiliki
109012’30" BT dan 7014’30"LS. Untuk persebaran yang luas, mulai dari
menuju puncak G. Slamet dapat dicapai ketinggian 0–3.200 m dpl (Holttum 1968).
melalui lima jalur pendakian, yaitu Selain pengaruh ketinggian, persebaran
Bambangan di Kabupaten Purbalingga, tumbuhan paku juga sangat dipengaruhi
Guci di Kabupaten Pemalang, oleh tipe vegetasi lingkungan. Ada
Kaliwadas di Kabupaten Brebes, Dukuh hubungan timbal balik antara tegakan
Liwung di Kabupaen Tegal dan tumbuhan lain di dalamnya yang
Baturraden di Kabupaten Banyumas. dipengaruhi oleh faktor fisik seperti iklim
Curah Hujan G.Slamet diketahui tertinggi mikro, jenis tanah dan kekuatan cahaya
di Jawa Tengah, sehingga merupakan (Sudiana dkk. 1991).
daerah tangkapan air yang penting untuk Berdasarkan habitat dan kondisi
daerah sekitarnya (Anonim 1998). lingkungan tumbuh, Holttum (1968)
Hutan G. Slamet memiliki tipe yang mengklasifikasikan tumbuhan paku
sama seperti hutan di kawasan pulau menjadi tujuh kelompok, yaitu :
Jawa bagian barat, mencerminkan tipe 1. Terrestrial sun-ferns,
hutan pegunungan. Kondisi curah hujan merupakan paku yang sering dijumpai
dan kelembaban yang tinggi pada daerah yang terbuka dengan
menyebabkan banyak tumbuhan bawah intensitas cahaya matahari tinggi.

81
Sungkono dkk.

2.Terrestrial shade ferns, 36 spesies tumbuhan paku. Di


merupakan tumbuhan paku yang sering Wanawisata Baturraden tercatat 15
dijumpai di bawah naungan tegakan spesies tumbuhan paku dari suku
dengan intensitas cahaya matahari Dennstaedtiaceae (Mulyani dkk, 1995).
rendah. Menurut Holttum (1968), Dennstaed-
3.climbing ferns merupakan tiaceae tersebar lebih luas dibandingkan
tumbuhan paku yang memiliki rhizome familia yang lain. Berkaitan dengan hal
menjalar sangat panjang. Kelompok jenis tersebut di atas, penelitian ini bertujuan
ini tumbuh memanjat menempel pada untuk mengetahui keanekaragaman dan
pohon terdekat dari perakarannya. persebaran jenis-jenis tumbuhan paku
4. Epiphytes merupakan kelompok anggota Dennstaedtiaceae pada
tumbuhan paku yang hidup menempel beberapa ketinggian di hutan G. Slamet
pada pohon. Ada 2 macam epifit : pada jalur pendakian Baturraden.
a) Epiphytes of shaltered-placed
ferns” adalah tumbuhan paku yang BAHAN DAN CARA KERJA
menempel pada bagian terendah dari
pohon, terutama di daerah yang dekat Penelitian dilakukan di jalur
dengan aliran air. pendakian Baturraden dengan metode
b) Epiphytes of exposed-placed eksploratif. Jalur pendakian digunakan
ferns adalah tumbuhan paku yang sebagai transek utama. Pengamatan dan
menempel pada bagian pohon yang kering pencatatan data pertama dimulai pada
dengan intensitas cahaya matahari ketinggian 800 m dpl yakni pada hutan
cukup. Kelompok ini mempunyai tanaman pohon damar (Agathis damara
kemampuan untuk menyerap air dan hara Warb). Lokasi pengamatan kedua pada
dalam jumlah yang besar. ketinggian 1.100 m dpl., yang berupa
5. Rock ferns dan river-banks hutan tanaman dari berbagai jenis pohon,
ferns adalah kelompok tumbuhan paku terletak pada daerah igir dengan
yang hanya ditemui di daerah berbatu di kemiringan 10 – 200.. Lokasi pengamatan
tebing-tebing atau di pinggiran sungai. ke tiga pada ketinggian 1.600 m dpl
6. Aquatic ferns adalah tumbuhan merupakan wilayah yang datar dari hutan
paku yang hidup di perairan. tanaman dengan jenis pohon yang
7. mountain ferns merupakan heterogen. Lokasi pengamatan ke empat
kelompok tumbuhan paku gunung yang pada ketinggian 2000 m dpl, merupakan
dibedakan dengan paku epifit, terestrial hutan tanaman campuran. Pada
dan pemanjat, dengan keadaan ketinggian 2.400 m dpl jarak tanam
lingkungan yang lebih baik karena jarang, banyak ruang terbuka bekas
pengaruh faktor geografis (sinar penebangan pohon. Pada masing-masing
matahari, kelembaban udara dan hara ketinggian, dibuat dua petak cuplikan ke
tanah). arah kanan dan kiri transek utama dengan
Wahyudi (2004) melaporkan bahwa ukuran 20 x 10 m2. Tumbuhan paku
di wilayah G. Slamet terdapat sedikitnya Dennstaedtiaceae yang terdapat pada

82
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae

petak cuplikan dicatat, baik yang tumbuh spesies tumbuhan paku dari Familia
di tanah (terestrial) maupun epifit, diamati Dennstaedtiaceae meliputi 13 spesies
sifat morfologinya, diidentifikasi dangan paku terestrial dan 9 spesies paku epifit.
pustaka yaitu Holttum (1968), dan Chen Spesies tersebut dapat dikelompokkan
(2000) serta membandingkan dengan dalam 10 subfamili yaitu Asplenioideae
spesimen herbarium yang ada. Data jenis terdiri atas 4 spesies; Lindsayoideae dan
tumbuhan paku Dennstaedtiaceae yang Oleandroideae masing-masing 3 spesies;
terdapat pada petak cuplikan dicatat untuk Athyrioideae, Blechnoideae, Dryopteri-
mengetahui frekuensi dan persebarannya doideae, Pteridioideae dan Lomariopsi-
pada berbagai ketinggian. doideae masing-masing 2 spesies;
sedangkan Dennstaedtioideae dan
HASIL Tectarioideae masing-masing hanya
ditemukan satu spesies (Tabel 1).
Keanekaragaman Jenis Perbandingan jumlah jenis tumbuhan
Hasil eksplorasi di hutan G. Slamet paku Dennstaedtiaceae di hutan G.
jalur pendakian Baturraden diperoleh 22 Slamet jalur pendakian Baturraden

Tabel 1. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae Dikelompokkan Berdasarkan


Anak Suku.
Anak Suku Jenis Habitat
Asplenioideae Asplenium belangeri (Bory)Kze Epifit
Asplenium nidus L. Epifit
Asplenium pellucidum Lam. Epifit
Asplenium perakense Matt. & Chr. Epifit
Athyrioideae Athyrium bantamense (Bl.) Milde Terestrial
Athyrium subserratum (Bl.) Milde Terestrial
Blechnoideae Woodwardia areolata (L.) Moore Terestrial
Blechnum orientale L. Terestrial
Dryopteridoideae Dryopteris sparsa (Don) O. Ktze Terestrial
Polystichopsis hasseltii (Bl.) Holtt. Terestrial
Dennstaedtioideae Hypolepis brooksiae v.A.v.R Terestrial
Lindsayoideae Lindsaya macraeana (Hk. & Walk.Am.) Epifit
Copel.
Lindsaya napaea v.A.v.R. Terestrial
Lindsaya rigida J.Sm. Epifit
Nephrolepis acuminata (Houtt.) Kuhn Terestrial
Oleandroideae Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. Terestrial
Oleandra pistillaris (Sw.) C. Chr. Terestrial
Histiopteris incisa (Thbg.) J. Sm. Terestrial
Pteridioideae
Pteris vittata L. Epifit
Tectarioideae Tectaria maingayi (Bak.) C. Chr. Terestrial
Egenolfia appendiculata (Willd.) J.Sm. Terestrial
Lomariopsidoideae
Elaphoglossum callifolium (Bl.)Moore Epifit

83
Sungkono dkk.

bervariasi untuk berbagai ketinggian. dan Woodwardia areolata pada


Pada ketinggian 800 m dpl diperoleh 6 ketinggian 1.100 m dpl (Tabel 2).
spesies; pada ketinggian 1.100 m dpl
diperoleh 12 spesies; pada ketinggian PEMBAHASAN
1.600 m dpl diperoleh 11 spesies; pada
ketinggian 2000 m dpl diperoleh 8 spesies Keanekaragaman spesies tumbuhan
dan pada ketinggian 2.400 m dpl hanya paku Dennstaedtiaceae yang diperoleh
ditemukan 2 spesies (Gambar 1). di hutan G. Slamet jalur pendakian
Persebaran spesies tumbuhan paku Baturraden sebanyak 22 spesies terdiri
Dennstaedtiaceae pada berbagai atas 13 spesies paku terestrial dan 9
ketinggian bervariasi dengan frekuensi spesies paku epifit adalah relatif tinggi.
kemunculan berkisar dari 10 – 50 %. Penelitian yang dilakukan Mulyani dkk.
Frekuensi tertinggi (50%) adalah Asple- (1995) di Wanawisata Baturraden hanya
nium nidus yang terdapat pada mendapatkan 15 spesies paku
ketinggian 1.100, 1.600, dan 2.000 m dpl; Dennstaedtiaeae. Menurut Holttum
diikuti Dryopteris sparsa terdapat pada (1968) di kawasan Malaya terdapat 11
ketinggian 1.600, 2.000, dan 2.400 m dpl. anak suku dari Dennstaedtiaceae. Hasil
Adapun frekuensi terendah (10%) adalah penelitian menunjukkan 10 anak suku dari
Egenolfia appendiculata terdapat pada Dennstaedtiaceae terdapat di hutan jalur
ketinggian 1.100 m dpl., Hypolepis pendakian Baturraden, dan hanya 1 anak
brooksiae pada ketinggian 800 m dpl., suku yang tidak diperoleh yaitu

Keterangan:
I= ketinggian 800 m dpl, II= ketinggian 1100 m dpl III= ketinggian 1600 m dpl. IV= ketinggian
2000 m dpl, V= ketinggian 2400 m dpl

Gambar 1. Jumlah jenis tumbuhan paku Dennstaedtiaceae pada berbagai ketinggian

84
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae

Tabel 2. Persebaran Jenis dan Frekuensi Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae yang Terdapat
pada 5 Lokasi Ketinggian ( m dpl) Jalur Pendakian Baturraden.
800 1.100 1.600 2.000 2.400 Frek
Jenis
kr kn kr kn kr kn kr kn kr kn (% )
Asplenium belangeri (Bory) Kze √ √ 20
Asplenium nidus L. √ √ √ √ √ 50
Asplenium pellucidum Lam. √ √ 20
Asplenium perakense Matt. & Chr. √ √ √ √ 40
Athyrium bantamense (Bl.) Milde √ √ √ 30
Athyrium subserratum (Bl.) Milde √ √ √ 30
Blechnum orientale L. √ √ 20
Dryopteris sparsa (Don) O. Ktze √ √ √ √ √ 50
Elaphoglossum callifolium (Bl.) Moore √ √ 20
Egenolfia appendiculata (Wild.) J. Sm. √ 10
Histiopteris incisa (Thbg) J.Sm. √ √ √ 30
Hypolepis brooksiae v.A.v.R. √ 10
Lindsaya macraeana (Hk. & Walk. Am.) Copel √ √ √ 30
Lindsaya napaea v.A.v.R. √ √ 20
Lindsaya rigida J. Sm. √ √ √ √ 40
Nephrolepis acuminata (Houtt.) Kuhn √ √ √ √ 40
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr. √ √ √ 30
Oleandra pistillaris (Sw.) C. Chr. √ √ √ 30
Polystichopsis hasseltii (Bl.) Holtt. √ √ 20
Pteris vittata L. √ √ 20
Tectaria meingayi (Bak.) C. Chr. √ √ 20
Woodwardia areolata (L.) Moore √ 10
Keterangan: kr= petak contoh sebelah kiri, kn= petak contoh sebelah kanan

Davallioideae. Hal ini karena spesies dari hayati dan banyak wilayah merupakan
anak suku Davallioideae umumnya epifit pusat asal usul atau pusat endemisme.
dan banyak tumbuh pada batuan, cadas Beberapa spesies paku seperti
atau karang di tepi sungai (LBN 1979). Nephrolepis falcata, Blechnum
Suryana dkk. (2009) melaporkan bahwa orientale, dan Asplenium sp. dll.,
di sekitar kawah Gunung Tangkuban berpotensi sebagai tanaman hias
Perahu, Jawa Barat ditemukan 26 (Sukarsa dkk. 2008). Oleh karena itu,
spesies paku dari 12 suku yang terdiri spesies tersebut banyak diburu untuk
atas 24 spesies paku terestrial dan 2 diperdagangkan sebagai tanaman hias
spesies paku epifit. Salah satu spesies atau pelengkap karangan bunga.
paku epifit terdapat juga di jalur pendakian Kemerosotan dan punahnya keaneka-
Baturraden pada ketinggian 1.600 dan ragaman hayati adalah suatu peristiwa
2.000 m dpl yaitu Elaphoglossum alami, namun proses ini seringkali
callifolium. Keanekaragaman ini perlu dipercepat oleh adanya pemanfaatan
dilestarikan, karena menurut berlebih yang dilakukan oleh manusia.
BAPPENAS (2003) kawasan tropis Ancaman utama adalah kerusakan dan
penting bagi konservasi keanekaragaman fragmentasi habitat, pemanfaatan

85
Sungkono dkk.

berlebih dan introduksi spesies asing yang ketinggian 2.000 m dpl menurun hingga
invasif (Sutamihardja & Mulyani 2010). mencapai 8 spesies. Di lokasi ini berupa
Pada lokasi dengan ketinggian 800 hutan heterogen berumur tua dengan
m dpl. hanya diperoleh 6 spesies paku pohon berdiameter lebih dari 50 cm dan
terestrial dari Dennstaedtiaceae dan berlumut, jarak antar pohon agak jarang.
tidak diperoleh paku epifit. Hal ini karena Pada siang hari, rata-rata intensitas
lokasi tersebut memiliki topografi datar cahaya 15.400 lux meter, temperatur
berupa hutan homogen pohon Agathis 160C, dan kelembaban 99%. Tumbuhan
dammara atau damar dengan jarak paku epifit lebih banyak yaitu 6 spesies
tanam teratur (± 5 m). Pada batang dan paku terestrial hanya 2 spesies.
pohon damar tidak terdapat tumbuhan Sebaran spesies tumbuhan paku makin
paku, karena permukaan batang licin. berkurang pada ketinggian 2.400 m dpl,
Dari 6 spesies paku tersebut, 3 di hanya terdapat 2 spesies yaitu Asplenium
antaranya hanya terdapat pada lokasi perakense (epifit) dan Dryopteris
kajian dengan frekuensi kemunculan 10 sparsa (terestrial). Lokasi ini berupa
– 20% yaitu Hypolepis brooksiae, hutan heterogen, pepohonan tua dengan
Lindsaya napaea dan Polystichopsis diameter lebih dari 50 cm, jarak tanam
hasseltii. Spesies tersebut hanya dijumpai jarang, serta banyak ditemukan tempat
beberapa rumpun saja di tempat yang terbuka bekas penebangan pohon. Pada
terbuka dengan sedikit naungan pohon siang hari rata-rata intensitas cahaya
(pada siang hari, rata-rata intensitas 18.100 lux meter, temperatur 160C dan
cahaya 27.900 lux meter, kelembaban kelembaban 95%.
72% dan temperatur 260C). Hal ini sesuai
dengan pendapat Holttum (1968) bahwa KESIMPULAN
spesies tersebut menyukai daerah
terbuka, dibanding dengan daerah Keanekaragaman spesies tumbuhan
naungan. paku Dennstaedtiaceae di hutan Gunung
Pada ketinggian 1.100 dan 1.600 m Slamet jalur pendakian Baturraden cukup
dpl. terdapat keanekaragaman spesies tinggi. Sedikitnya terdapat 22 spesies
paku terbanyak, yaitu 12 dan 11 spesies. yang dapat dikelompokkan dalam 10 anak
Hal ini karena lokasi tersebut merupakan suku dari 11 anak suku yang terdapat di
hutan heterogen dengan pohon kawasan Malaya, Persebaran tumbuhan
berdiameter kurang dari 50 cm. Pada paku Dennstaedtiaceae di hutan Gunung
siang hari intensitas cahaya berkisar Slamet jalur pendakian Baturraden
13.300 – 16.500 lux meter, temperatur bervariasi dengan frekuensi kemunculan
20 -210C dengan kelembaban 85-90%, berkisar 10 – 50% . Spesies yang
oleh karena itu sangat sesuai bagi memiliki sebaran sempit (10%) adalah
pertumbuhan paku epifit maupun Hypolepis brooksiae, Egenolfia
terestrial. Beberapa spesies paku hanya appendiculata dan Woodwardia
terdapat pada satu lokasi kajian (Tabel areolata.
2.). Keanekaragaman spesies paku pada

86
Persebaran Jenis Tumbuhan Paku Dennstaedtiaceae

DAFTAR PUSTAKA Sukarsa, AH. Hexa & T. Chasanah.


2008. Diversitas Spesies Tumbuhan
Anonim 1998. Kappala Indonesia- Paku Hias Dalam Upaya
Kutilang IBC-Fordik-Birdlife. Melestarikan Sumber Daya Hayati
Keanekaragaman Hayati dan Kebun Raya Baturraden.
Interaksi Masyarakat Hutan Makalah Seminar PTTI ke VIII.
gunung Slamet. Laporan Herbarium Bogoriense. Bidang
kegiatan tentang biotis Gunung Botani. Puslit Biologi CSC. LIPI.
Slamet. Tidak dipublikasikan. 21 – 23 Oktober 2008.
BAPPENAS, 2003. Strategi dan Suryana, T. Setiawati & B. Mayawati.
Rencana Aksi Keanekaragaman 2009. Keanekaragaman Tumbuhan
Hayati Indonesia 2003-2020. Paku Terestrial dan Epifit Di
BAPPENAS. Sekitar Kawah Gunung Tangkuban
Chen, WY. 2000. Ferns of the Tropics. Perahu, Kabupaten Bandung
Singapore Science. Singapore. Barat, Jawa Barat. Makalah
Holttum. RE. 1968. Flora Of Malaya Seminar Nasional Biologi. Fakultas
vol II Fern Of Malaya Cetakan Biologi Unsoed. Purwokerto. 12
Ke-2. Government Printing Office, Desember 2009.
Singapore. Sutamihardja, RTM & Mulyani. 2010.
Lembaga Biologi Nasional. 1979. Jenis Keanekaragaman Hayati dan
Paku Indonesia, PN Balai Ancaman Perubahan Iklim.
pustaka. Jakarta. Makalah Utama Seminar Nasional
Mulyani,K. W. Yayu, PH. Edy, I. Biologi. Fakultas Biologi Unsoed.
Ilalqisny & C. Titi. 1995. Analisis Purwokerto. 26 Juni 2010.
Kekerabatan Anggota Suku Wahyudi, HA. 2004. Studi Struktur dan
Dennstaedtiaceae yang Tumbuh di Komposisi Tumbuhan Paku di
Wanawisata Baturraden. Laporan beberapa Tipe Vegetasi Hutan
Hasil Penelitian. Fakultas Biologi Lereng Selatan Gunung Slamet.
Universitas Jenderal Soedirman. Skripsi (tidak dipublikasikan).
Sudiana, E., T. Hardijati, Haryono, & C. Fakultas Biologi Universitas
Titi. 1991. Pengaruh Umur Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Tegakan Pinus Terhadap Struktur
Vegetasi Tumbuhan Bawah di RPH
Baturraden KPH Banyumas Timur.
Laporan Hasil Penelitian Fakultas
Biologi UNSOED. Purwokerto.

87
Sungkono dkk.

88
Ekologi Gunung Slamet

Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet

Pudji Widodo & Dwi Nugroho Wibowo

Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Jl Dr Soeparno 63 Purwokerto 53122


.Email: pwidodo@unsoed.ac.id

ABSTRACT

Araceae at south slope of Slamet Mountain. Mount Slamet is the largest mount in Central Java
with a relatively diverse Araceae (Arum family). A survey has been conducted on the south
slope of Mt. Slamet to know the diversity of the Araceae. This study recorded at least 12
species of Araceae included in nine genera and five subfamilies from this area. Some of the
species are potentially important for carbohydrate source such as Colocasia esculenta and
Xanthosoma spp., the others are for fish food Alocasia, and for ornamental plants such as
Alocasia alba, Amorphophallus variabilis, Apoballis rupestris.

Key words: Araceae, diversity, Slamet Mountain, south slope.

PENDAHULUAN tanaman hias, obat, dan rempah-rempah


dari kawasan hutan terus berlangsung.
Gunung Slamet merupakan gunung Konversi lahan berupa perubahan
tertinggi kedua di Jawa setelah G. kawasan hutan menjadi lahan pertanian
Semeru. Gunung ini merupakan gunung juga masih berlangsung.
terbesar di Jawa yang memiliki Salah satu kelompok tumbuhan yang
keanekaragaman tumbuhan cukup tinggi masih banyak terdapat di lereng G.
dengan luas hutan terluas di Jawa Slamet tetapi relatif belum banyak
Tengah. Di area ini meskipun di diungkap adalah suku Araceae. Suku ini
beberapa wilayah hutan lereng G. Slamet kebanyakan berupa terna berdaun
telah dikonversi menjadi perkebunan, menjantung dengan pertulangan
namun keanekaragaman spesies menyirip. Spesies-spesies anggota suku
tumbuhannya masih tinggi (Sujatnika ini dicirikan oleh perbungaan yang
dkk. 1995). berbentuk tongkol tebal mendaging,
Akhir-akhir ini keanekaragaman dikelilingi oleh bunga-bunga kecil yang
hayati khususnya flora, di hutan G. Slamet duduk tanpa daun pelindung. Kuncup
terancam punah karena kerusakan hutan perbungaannya ditutupi oleh organ khusus
akibat maraknya penebangan liar, yang disebut seludang.
konversi lahan, dan perburuan satwa liar. Oleh masyarakat beberapa spesies
Penebangan liar meliputi pengambilan Araceae seperti Xanthosoma spp., di
kayu untuk bahan bangunan dan kayu sekitar lokasi G. Slamet banyak ditanam
bakar. Sementara itu, pengambilan untuk kepentingan pakan ikan. Walaupun

89
Widodo & Wibowo

demikian spesies anggota Araceae masih deae, Lasioideae, Monsteroideae,


tetap banyak dieksploitasi dari alam untuk Orontioideae, Pothoideae, Lemnaoideae
tanaman hias oleh penduduk setempat. (Bogner & Nicolson 1991).
Suku talas-talasan (Araceae) Backer & van den Brink (1963)
meliputi sekitar 110 genus dengan 2500 telah mencatat Araceae di Jawa meliputi
spesies (Croat 1979), tersebar terutama 27 genus dan 61 spesies. Widyartini
di daerah tropis dan subtropis pada kedua (1995) mencatat adanya 4 spesies
belahan bumi. Suku Araceae mencakup Anadendrum. Sementara itu Hay &
berbagai bentuk perawakan dengan ciri Yuzammi (2000) mencatat ada tiga
khas, yakni bunga majemuk berbentuk Schismatoglottis di Jawa dan Nusa
tongkol yang diliputi seludang (spatha). Tenggara yang umum tumbuh di daerah
Spesies-spesiesnya banyak dikenal pegunungan. Selama dua kali survai di
karena ada yang dapat dimakan umbinya lereng selatan tidak ditemukan
sebagai sumber karbohidrat terutama Anadendrum, tetapi ditemukan satu
dari genus Alocasia, Colocasia (talas), spesies Schismatoglottis calyptrata
serta Amorphophallus (iles-iles). yang tersebar luas di daerah survei.
Sebagian lainnya dikenal karena
keindahannya sebagai tanaman hias, BAHAN DAN CARA KERJA
seperti Dieffenbachia, Aglaonema, dan
Anthurium. Salah satu anggota Araceae Survei terhadap Araceae dilakukan
memiliki bunga majemuk tunggal yang di lereng selatan G. Slamet pada tanggal
sangat besar disebut bunga bangkai 11 Agustus 2010 dengan melakukan
raksasa (Amorphophallus titanum penyisiran pada berbagai ketinggian dan
Becc.). lokasi. Pada setiap lokasi yang dipilih
Ciri utama anggota Araceae adalah dilakukan pengamatan dan pencatatan
berbentuk herba (terna), dengan spesies Araceae. Tumbuhan Araceae
perbungaan hampir selalu terdiri atas yang belum diketahui namanya, dikoleksi
bunga jantan di bagian atas dan bunga dan dibuat herbarium untuk kepentingan
betina di bagian bawah dan semua duduk identifikasi dan penelitian lebih lanjut.
tersusun rapat membentuk tongkol/ Identifikasi spesies dilakukan
spadix yang diselimuti oleh seludang berdasarkan Backer & Bakhuizen
(spatha). Perbungaan tanpa daun (1963), Widyartini (1995), Hay &
gagang (bractea), bertangkai, dan muncul Yuzammi (2000), dan Boyce et al.,
pada ujung titik tumbuh atau pada ketiak (2010), untuk spesimen yang tidak bisa
daun. Masing-masing bunga jantan dan diidentifikasi dengan pustaka yang ada.
betina tersusun dalam spiral membentuk
bangunan tongkol. Anggota Araceae HASIL DAN PEMBAHSAN
sering memiliki akar napas dan
Dari hasil penjelajahan di lereng
menghasilkan buah buni. Araceae dibagi
selatan G. Slamet ditemukan 12 spesies
menjadi delapan sub famili yaitu:
anggota Araceae liar yang meliputi 9
Aroideae, Calloideae, Gymnostachydoi-
genus, 6 tribus dan 5 subfamili (Tabel 1).

90
Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet

Kesembilan genus tersebut meliputi: tumbuh liar di dekat perumahan


Alocasia, Amorphophallus, Apoballis, penduduk. Keberadaan spesies ini di
Arisaema, Colocasia, Pothos, kawasan hutan, selain secara tidak
Rhaphidophora, Schismatoglottis, dan sengaja dibawa oleh manusia,
Xanthosoma. Kebanyakan genus kemungkinan juga terbawa aliran air
tersebut merupakan tumbuhan terna untuk mencapai tempat yang lebih jauh.
terrestrial yang tumbuh di bawah kanopi Colocasia esculenta atau talas
hutan. Dua di antaranya yaitu Pothos merupakan tanaman yang cukup banyak
dan Rhaphidophora merupakan ditemukan terutama di hutan dekat pinggir
tumbuhan pemanjat pada berbagai jalan dari Baturraden menuju ke Gua
spesies pepohonan. Lawa. Kemungkinan spesies ini
Berdasarkan klasifikasi Bogner & merupakan tanaman yang meliar atau
Nicolson (1991), keladi-keladian di lereng dipencarkan oleh manusia. Spesies talas
selatan G. Slamet dapat digolongkan ini ada yang bertangkai hijau muda dan
menjadi lima subfamili yaitu Aroideae, ungu tua. Semua variasi tangkai spesies
Pohoideae, Philodendroideae, Monsteroi- ini berpotensi sebagai bahan makanan
deae, dan Colocasioideae. Beberapa yang berasal dari umbinya.
spesies di antaranya menghasilkan umbi Xanthosoma sp. atau kimpul banyak
yang dapat dimakan seperti Colocasia ditemukan di beberapa lokasi terutama
esculenta dan Xanthosoma spp. di pinggir jalan. Umbi dari jenis ini
kelompok lainnya berpotensi sebagai bermanfaat sebagai bahan makanan
tanaman hias seperti Apoballis yang mengandung karbohidrat tinggi.
rupestris, Rhaphidophora, Photos, Kimpul hampir sama dengan talas tetapi
Schismatoglottis, dan Arisaema. Ada umbi yang dapat dimakan adalah bagian
juga spesies yang bermanfaat sebagai tunas akarnya, sementara pada talas,
pakan ikan seperti Alocasia induk umbinya. Umbi kimpul tidak
macrorrhiza. seenak talas bila direbus lebih berlendir
Alocasia alba atau sente merupa- dan lebih lengket. Di lereng selatan G.
kan tumbuhan yang frekuensi Slamet sekurangnya ditemukan dua
keberadaannya relatif jarang. Di lereng macam warna tangkai daun yaitu ungu
selatan G. Slamet hanya ditemukan satu tua dan hijau yang diduga merupakan
individu yang tumbuh di antara pohon varietas berbeda. Oleh karena itu masih
Pinus. Tumbuhan ini tampak indah, memerlukan penelitian lebih lanjut untuk
sehingga berpotensi sebagai tanaman menentukan status taksonominya.
hias. Spesies yang pemencarannya Amorphophallus variabilis
diduga melalui air ini memiliki sistem merupakan tumbuhan agak jarang
reproduski yang relatif sulit tercermin dari ditemukan di G. Slamet. Tumbuhan yang
ketidak hadiran tingkat anakan di daerah disebut sebagai iles-iles ini belum banyak
kajian. A. macrorhiza merupakan dimanfaatkan. Akan tetapi pada jaman
spesies yang biasa ditanam sebagai penjajahan Jepang di Jawa tumbuhan ini
pakan ikan. Tanaman ini ditemukan banyak dicari kemudian dikirim ke Jepang

91
Widodo & Wibowo

untuk disarikan umbinya sebagai pembuat Araceae merambat yang berdaun indah.
bahan bakar (Sastrapradja 1977). Di Pothos roxburghii merupakan tumbuhan
beberapa tempat, varitas unggul dari memanjat dengan batang yang relatif
spesies ini juga banyak dibudidayakan kuat sehingga sulit dipatahkan. Salah satu
untuk diambil umbinya sebagai bahan spesies Pothos telah dilaporkan dari
makanan yang dieksport ke Jepang. sekitar Purwokerto, yaitu di G. Binangun,
Beberapa spesies Araceae berikut, Joss 101 (BO) (Boyce & Hay 2001).
berpotensi sebagai tanaman hias yaitu Berdasarkan perjumpaannya, secara
Arisaema dracontium yang merupakan umum spesies Araceae di daerah kajian
tumbuhan liar dengan satu tangkai daun dapat dikatakan reltif jarang. Hanya
yang muncul dari dalam tanah, memiliki beberpa spesies yang memiliki tingkat
daun majemuk bangun kaki. Apoballis regenerasi cukup tinggi dan cepat
rupestris cukup banyak ditemukan di tumbuh, seperti A. macrorhiza dan
lereng selatan G. Slamet terutama di tepi- Colocasia esculenta kedapatan cukup
tepi jalan. Tumbuhan ini sangat sering dijumpai di beberapa tempat.
berpotensi sebagai tanaman hias karena Namun berdasarkan kriteria kelangkaan
bentuknya yang indah. Schismatoglottis IUCN (2007) seluruh spesies Araceae
calyptrata sangat banyak, tumbuh di yang dijumpai di kaerah kajian
berbagai lokasi baik di sekitar Kebun dikelompokan dalam kategori jarang
Raya Baturraden maupun di tempat lain. (LC).
Tumbuhan ini juga berpotensi sebagai
tanaman hias. Rhaphidophora
korthalsii merupakan spesies anggota
Tabel 1. Potensi, agen pemencar, dan status kelangkaan Araceae di lereng selatan G. Slamet

Nama ilmiah Potensi Agen Status


Penyebaran Kelangkaan
(IUCN ver
2001)

Alocasia alba Schott Tanaman hias Air LC


Alocasia macrorrhiza (L.) G.Don. Pakan ikan Manusia LC
Colocasia esculenta (L.) Schott Sumber karbohidrat Manusia LC
Xanthosoma spp. Sumber karbohidrat Manusia LC
Amorphophallus variabilis Bl. Sumber karbohidrat Manusia LC
Arisaema dracontium (L.) Schott Tanaman hias Air LC
Arisaema sp. Tanaman hias Air LC
Apoballis rupestris (Zoll. & Moritzi ex Zoll.) Tanaman hias Manusia LC
S.Y.Wong & P.C.Boyce
Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Tanaman hias Air LC
Morizi
Rhaphidophora korthalsii Schott. Tanaman hias Burung LC
Rhaphidophora sp. Tanaman hias Burung LC
Pothos roxburghii de Vries Tanaman hias Burung LC

92
Araceae di Lereng Selatan Gunung Slamet

KESIMPULAN Bogner, J. & DH. Nicolson. 1991. A


revised classification of Araceae
Kawasan lereng selatan G. Slamet with dichotomous key s.
masih memiliki keanekaragaman Wildenowia 2l: 35 -50.
Araceae yang relatif tinggi. Berdasarkan Boyce PC. & A. Hay 2001. A taxonomic
hasil penjelajahan lapangan, di kawasan revision of Araceae tribe Potheae
tersebut masih dijumpai spesies-spesies (Pothos, Pothoidium and
lokal yang perlu diletarikan mengingat Pedicellarum) for Malesia,
potensinya yang cukup tinggi. Namun, Australia and the tropical Western
akibat kerusakan lingkungan dan Pacific Telopea 9(3)
eksploatasi atau pengambilan yang Boyce P, IB. Ipor, & WLA. Hetterscheid.
berlebihan telah mengancam keberadaan 2010. A Review of the white-
spesies-spesies tersebut. Guna flowered Amorphophallus
mempertahankan keberadaan spesies- (Araceae: Thompsonieae) species
spesies tersebut, perlu dilakukan berbagai in Sarawak. Garden’s Bulletin
upaya penyelamatan baik konservasi in- Singapore 61(2): 249-268.
situ maupun ex-situ terutama terhadap Croat, TB. 1979. The distribution of
spesies-spesies langka Araceae Araceae. In: K. Larsen & L. B.
Baturraden. Penelitian lanjutan masih Holm-Nielsen (eds.), Tropical
diperlukan guna mengungkap potensi dan botany. Academic Press, London.
status populasi Araceae secara tepat di Pp. 291-308.
kawasan tersebut sebagai dasar Hay, A, & Yuzammi. 2000.
pengembangan selanjutnya. Schismatoglottideae (Araceae) in
Malesia I – Schismatoglottis.
UCAPAN TERIMAKASIH Telopea 9(1): 1–177.
Sastrapradja S, NW. Soetjipto, S.
Penulis menyampaikan terima Danimihardja, & R. Soejono.
kasih kepada Prof Peter Boyce 1977. Ubi-Ubian. Lembaga
Universiti Sains Malaysia, yang telah Biologi Nasional – LIPI. Bogor.
membantu dalam identifikasi. Kepada Sujatnika, Jepson, P., Soehartono, T.R.,
rekan-rekan yang telah membantu Crosby, M.J. & Mardiastuti, A.
penelitian ini, penulis juga menyampaikan
1995. Conserving Indonesian
terima kasih yang sebesar-besarnya.
biodiversity: the Endemic Bird
DAFTAR PUSTAKA Area approach. Bogor: BirdLife
International Indonesia Pro-
Backer CA. & Bakhuizen van den Brink gramme.
Jr. 1963. Flora of Java I. Widyartini DS. 1995. Revisi Genus
Noordhoff Groningen. The Anadendrum Scott (Araceae) di
Netherlands. Malesia. Unpublished Thesis.

93
Widodo & Wibowo

94
Ekologi Gunung Slamet

Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung


Fungsi Lindung Gunung Slamet

Maharadatunkamsi
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 46
Cibinong, Bogor 16911. Email: datun_mzb@yahoo.com

ABSTRACT

Small Mammals for Supporting Function Slamet Mountain Protection. The study of small
mammal communities in the region Mount Slamet is conducted in order to complete biodiversity
data base of Mount Slamet. This survey had documented 31 species of small mammals, some
of them are protected, due to endemic and / or have international conservation status. Some of
them can be used as an indicator species of ecosystem quality since the group functions and
occupy a certain position in the ecosystem, seed spreader, pollinator, predator and prey. The
biological information is an essential factor in the consideration of Mount Slamet management
to implement a good natural resource conservation system.

Keywords: Small mammals, Slamet Mountain, Protection

PENDAHULUAN Slamet. Di antara berbagai spesies


mamalia kecil G. Slamet kemungkinan ada
Wilayah Gunung Slamet berada di yang bersifat langka, berstatus lindungan,
lima wilayah kabupaten, yaitu Brebes, mempunyai status konservasi interna-
Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan sional, dan/atau mempunyai Peran di
Banyumas. Dengan ketinggian 3.432 m alam penting lainnya (Setiawan dkk. 2007
dpl. menjadikannya sebagai gunung dan Maharadatunkamsi 2011). Oleh
berapi tertinggi di Jawa Tengah. Adanya karena itu, keberadaannya menunjukkan
satwa yang khas (Corbet & Hill 1992) suatu nilai penting bagi sebuah kawasan
didukung oleh keindahan alamnya untuk mempertahankan keseimbangan
menjadikan G. Slamet sebagai aset yang ekosistemnya. Mamalia kecil merupakan
sangat berharga bagi ilmu pengetahuan, salah satu komponen penyusun ekosistem
pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. yang memiliki peranan penting, baik
Di samping itu kawasan G. Slamet secara Ekologi maupun ekonomi
merupakan daerah resapan air dan (Noerdjito et al. 2005). Secara ekologi,
kawasan lindung yang berperan sebagai mamalia kecil antara lain berperan
penyedia air bersih bagi daerah di sebagai pemencar biji, penyerbuk bunga,
bawahnya dan mengatur iklim pemangsa, dan mangsa, serta dapat
sekitarnya. digunakan sebagai bio-indikator kondisi
Kekayaan spesies mamalia kecil di lingkungan (Fujita &Tuttle 1991, Vaughan
G. Slamet merupakan bagian dari et al. 2011 dan Hodgkison et al. 2003).
keseluruhan kekayaan ekosistem G.

95
Maharadatunkamsi

Untuk keberhasilan upaya Slamet dilakukan di tiga lokasi yaitu di


konservasi kawasan G. Slamet dibutuhkan Kalipagu, Kaliwadas dan Bambangan.
informasi yang komprehensif mengenai Pengamatan dilakukan di tempat-tempat
data dasar keanekaragaman hayatinya. yang diperkirakan merupakan daerah
Namun, data mengenai keanekaragaman jelajah mamalia kecil di habitat hutan
hayati G. Slamet masih kurang sehingga primer, hutan sekunder, dan lahan
menjadi salah satu kendala. Sehubungan pertanian.
dengan hal tersebut, maka dalam rangka Untuk menangkap mamalia kecil
mengoptimalkan fungsi lindung G. Slamet yang melakukan aktivitas hidupnya di
telah dilakukan kegiatan penelitian untuk darat ataupun di pohon (arboreal)
inventarisasi dan ekologi mamalia kecil digunakan perangkap kawat berukuran
di Kalipagu, Kaliwadas dan Bambangan. panjang 30 cm, lebar 25 dan tinggi 15 cm.
Berdasarkan data-data yang terkumpul, Perangkap ini dipasang di tempat-tempat
diharapkan dapat diungkap informasi yang diperkirakan merupakan sarang
keanekaragaman mamalia kecil serta atau jalur jalannya, seperti di rongga-
potensinya yang akan menjadi dasar rongga pohon dan dekat lubang di tanah.
untuk pengembangan selanjutnya. Untuk menangkap bajing dan tupai,
Tulisan ini merupakan laporan hasil sebagian perangkap kawat juga dipasang
inventarisasi dan studi ekologi di kawasan di batang pohon.
G. Slamet yang dilakukan mulai tahun Jaring kabut berukuran panjang 12m
2009 sampai dengan 2010. Berdasarkan lebar 3 m digunakan untuk menangkap
data yang dikumpulkan diharapkan dapat kelelawar. Jaring tersebut dipasang
diungkap keanekaragaman mamalia kecil dengan ketinggian sekitar 1-3 meter di
di kawasan G. Slamet. Data rinci spesies atas permukaan tanah pada tempat-
dan sebaran mamalia kecil G. Slamet tempat yang diperkirakan merupakan
disajikan dalam tulisan ini. tempat kelelawar mencari pakan atau
merupakan jalur terbangnya menuju
BAHAN DAN CARA KERJA tempat mencari pakan. Tempat-tempat
tersebut antara lain lokasi yang agak
Berbagai spesies mamalia kecil terbuka, di lorong hutan, jalan masuk ke
melakukan kegiatannya pada siang hari hutan atau melintang sungai.
sehingga relatif lebih mudah untuk dilihat, Jebakan berupa sumuran (pit fall
sedangkan spesies yang lain pada malam trap) yang terbuat dari ember digunakan
hari sehingga relatif sulit untuk dilihat. untuk menangkap satwa yang melakukan
Selain itu, mamalia kecil mempunyai sifat kegiatannya di permukaan tanah. Ember
menghindar dari manusia. Oleh karena yang dipergunakan berdiameter 30 cm,
itu, untuk mengamati mamalia kecil berjumlah 10 buah. Ember ditanam
dilakukan dengan kombinasi pengamatan sedemikian rupa sehingga mulut ember
(Suyanto 1999; Maharadatunkamsi rata dengan permukaan tanah. Untuk
2006) dan penangkapan (Jones et al. mengarahkan satwa target masuk ke
1996). Pengamatan mamalia kecil di G. dalam ember, dipasang lembaran plastik

96
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

tegak setinggi 40-50 cm dengan panjang (Ratufa bicolor), dan bajing hitam
20 m melewati tengah-tengah ember. (Callosciurus nigrovittatus).
Selain menggunakan perangkap, Konvensi Perdagangan Internasional
informasi keberadaan mamalia kecil Tumbuhan dan Satwa Liar untuk spesies
dilakukan dengan penjelajahan lapangan. terancam (CITES) mengklasifikasikan
spesies masuk dalam Appendix 2 apabila
HASIL DAN PEMBAHASAN spesies pada saat ini tidak termasuk ke
dalam kategori terancam punah namun
Biodiversitas Mamalia Kecil memiliki kemungkinan untuk terancam
Sebanyak 31 spesies mamalia kecil punah jika perdagangannya tidak diatur.
berhasil dicatat dalam penelitian yang IUCN memasukkan spesies dalam
dilakukan mulai tahun 2009 sampai kategori rawan (vulnerable) apabila
dengan 2010. Jumlah spesies yang paling menghadapi risiko tinggi kepunahan di
banyak adalah kelompok Chiroptera/ habitat alamnya di masa depan.
kelelawar yang terdiri atas 12 spesies, Sedangkan nyaris terancam (near
kemudian diikuti oleh Rodensia/ pengerat threatened) adalah spesies yang populasi
dengan 10 spesies, Insektivora/ pemakan di habitat alamnya mendekati kategori
serangga tiga spesies, serta Scandentia/ vulnerable. Kategori resiko rendah
tupai satu spesies. Dari jumlah tersebut (least concern) diberikan untuk spesies
terdapat tiga spesies yang masuk dalam yang tidak menghadapi ancaman
daftar yang dilindungi, yaitu teledu sigung langsung bagi kelestarian jenisnya namun
(Mydaus javanensis), kucing kuwuk populasi spesies tersebut telah dievaluasi.
(Prionailurus bengalensis), jelarang ( Data informasi kurang (deficient)
Ratufa bicolor); empat spesies endemik dikategorikan untuk spesies yang aspek
Jawa yaitu biul (Melogale orientalis), biologinya telah diketahui namun data
lesoq lati jawa (Maxomys bartelsii), persebaran dan populasinya belum
cucurut ekor gundul (Crocidura lengkap.
orientalis), timpaus jawa (Niviventer Secara rinci, berbagai keterangan
lepturus); tiga spesies masuk ke dalam tentang spesies mamalia kecil yang
CITES Appendix 2, yaitu kucing kuwuk terdokumentasi dalam penelitian ini
(Prionailurus bengalensis), jelarang disajikan dalam uraian di bawah ini.
(Ratufa bicolor), dan tupai kekes Uraian meliputi diskripsi, ekologi, habitat,
(Tupaia javanica); dua spesies masuk reproduksi dan peran di alam dari masing-
dalam kategori vulnerable/rawan IUCN, masing spesies serta status
yaitu timpaus gayat (Niventer konservasinya.
cremoriventer) dan cucurut ekor gundul
(Crocidura orientalis); dan tiga spesies KARNIVORA
termasuk near threatened/nyaris 1. Herpestes javanicus (Geoffroy
terancam IUCN, yaitu tomosu biasa Saint-Hilaire, 1818)
(Miniopterus schreibersi), jelarang

97
Maharadatunkamsi

Nama Indonesia: Status konservasi:


Garangan jawa. RI: tidak dilindungi
Sebaran di Indonesia: IUCN: least concern/resiko rendah.
Sumatera, Jawa.
Lokasi ditemukan di G. Slamet: 2. Melogale orientalis (Horsfield, 1821)
Kaliwadas. Nama Indonesia:
Ciri pengenal: Biul.
Seluruh tubuh berwarna coklat Sebaran di Indonesia:
jingga. Tubuh dan ekornya dipenuhi Endemik Jawa.
rambut dengan pola bercak-bercak Lokasi ditemukan di G. Slamet:
berwarna perak. Pada umumnya warna Kalipagu.
rambut di bagian leher lebih terang. Ciri pengenal:
Bentuk badan langsing dan memanjang, Biul mempunyai warna rambut
ekor runcing di bagian ujungnya. punggung abu-abu. Terdapat rambut
Kepalanya panjang dengan daun telinga putih yang membujur dari kepala sampai
pendek. Panjang kepala dan badan 25- punggung. Rambut di pipi, tepi daun
35 cm, ekor 15-20 cm. Berat badan 250- telinga dan leher bagian bawah berwarna
400 gr. putih; kaki dan ekor berwarna abu-abu,
Ekologi: dan rambut di bagian ekor mengembang.
Spesies ini hidup di berbagai habitat Hidung berwarna merah jambu. Panjang
mulai dari dataran rendah, perbukitan dan kepala dan badan 30-40 cm, ekor 12-15
hutan pegunungan. Lebih menyukai cm (sekitar 40% dari panjang kepala dan
hidup dekat dengan tempat yang berair. badan). Berat badan 0,6-1 kg.
Garangan jawa dijumpai di hutan Ekologi:
sekunder, padang rumput, hutan belukar Perikehidupan biul belum banyak
dan daerah pertanian, namun tidak diketahui. Spesies ini diduga juga hidup
banyak dijumpai di hutan primer. Spesies di pulau-pulau sekitar Jawa, termasuk
ini lebih menyukai habitat dengan tutupan Bali; namun hal ini masih menunggu
vegetasi yang tidak lebat; dan pembuktian para ahli. Hidup di
diperkirakan toleran terhadap gangguan perkebunan, hutan sekunder dan ada
lingkungan. Hidup terrestrial, hanya beberapa catatan tentang keberadaanya
sekali-sekali memanjat. Aktif siang dan di hutan primer, makanannya berupa
malam hari. Makanannya terdiri atas cacing tanah, kadal, burung dan tikus.
tikus, burung, katak, berbagai serangga, Diduga biul mampu beradaptasi untuk
kepiting bahkan kala jengking. Setiap hidup di berbagai tipe habitat.
beranak, induk garangan dapat Lokalitas persebarannya di Jawa
melahirkan 2-4 ekor anak dengan masa lebih banyak didasarkan pada spesimen
bunting sekitar tujuh minggu. ilmiah museum. Contoh spesies yang
Peran di alam: disimpan di Bidang Zoologi, Pusat
pemangsa tikus, cecurut. Penelitian Biologi-LIPI berasal dari G.
Halimun dan G. Gede; sisanya

98
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

diperkirakan berasal dari Pegunungan Ekologi:


Dieng. Temuan terbaru adalah dari Teledu sigung merupakan binatang
Kalipagu, G. Slamet yang dikoleksi dari malam, namun kadang-kadang dijumpai
kawasan kebun, berjarak sekitar 2 km melakukan kegiatannya pada siang hari.
dari pemukiman. Tidur di dalam lubang tanah. Teledu
Peran di alam: menggunakan cakarnya yang panjang
Pemangsa tikus. dan runcing untuk menggali lubang
Status konservasi: tidurnya sampai pada kedalaman 60 cm.
RI: tidak dilindungi. Mencari makan dengan menggunakan
IUCN: data deficient/ informasi moncong dan cakarnya untuk mengorek-
kurang. ngorek tanah yang basah atau batang
kayu mati. Makanannya berupa cacing
3. Mydaus javanensis (Desmarest, tanah dan larva tonggeret. Mereka juga
1820) makan telur burung, serangga dan
Nama Indonesia: beberapa bagian tumbuhan. Kebiasaan-
Teledu sigung. nya mengorek-ngorek tanah ikut
Sebaran di Indonesia: menyuburkan tanah. Hidup soliter di
Sumatera, Jawa, Kalimantan, hutan pegunungan sampai pada
Natuna. ketinggian 2.100 m dan perkebunan
Lokasi ditemukan di G. Slamet: pinggir hutan. Jumlah anak setiap
Kalipagu, Bambangan. kelahiran 2 - 3 ekor. Belum banyak yang
Ciri pengenal: diketahui tentang aspek perkembang
Hampir seluruh tubuhnya ditutupi biakannya.
rambut berwarna hitam; terdapat garis Peran di alam:
putih di bagian kepala memanjang sampai Belum diketahui.
punggung. Beberapa ekor sigung Status konservasi:
memiliki bulu perut berwarna coklat. RI: dilindungi.
Moncongnya panjang menyerupai babi, IUCN:least concern/resiko rendah.
panjang ekor antara 10 - 15 cm. Panjang
kepala dan badan 35 - 45 cm dengan 4. Paradoxurus hermaphroditus
berat badan antara 1,4 - 3,6 kg. (Pallas, 1777)
Keberadaannya dapat diketahui dari bau Nama Indonesia:
busuk menyengat yang dikeluarkan dari Musang luwak.
kelenjar di bagian duburnya; bau tersebut Sebaran di Indonesia:
dapat tercium dari jarak jauh. Dalam Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali,
keadaan terdesak, teledu sigung akan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku,
menyemprotkan baunya yang dapat Papua.
memabukkan musuhnya, menyebabkan Lokasi ditemukan di G. Slamet:
musuhnya merasa sangat tidak nyaman. Kalipagu, Pancuran Tujuh,
Bau ini dapat bertahan selama berhari- Bambangan.
hari.

99
Maharadatunkamsi

Ciri pengenal: 5. Prionailurus bengalensis (Kerr,


Sebagian besar warna rambut 1792)
musang luwak abu-abu sampai coklat Nama Indonesia:
tua. Rambut di wajah, telinga, kaki Kucing kuwuk.
bagian bawah dan ekor berwarna hitam. Sebaran di Indonesia:
Terdapat tiga garis hitam membujur mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali.
dari bahu sampai pangkal ekor; pada Lokasi ditemukan di G. Slamet:
bagian sisi tubuhnya terdapat rambut Kalipagu, Pancuran Tujuh.
berwarna hitam membentuk pola totol- Ciri pengenal:
totol. Panjang kepala dan badan 42 – 58 Bentuk kucing kuwuk mirip kucing
cm, ekor 30 – 49 cm (70 - 90% dari piaraan. Warna rambut pada bagian atas
panjang kepala dan badan). Berat badan tubuh kuning kecoklatan dan bagian
1,5 – 5 kg. bawahnya keputih-putihan. Tubuh dan
Ekologi ekornya dipenuhi dengan rambut
Musang luwak aktif pada malam berwarna hitam membentuk pola bercak.
hari. Membuat sarang di lubang pohon Pada umumnya di bagian belakang
besar, rumpun bambu, lorong jembatan kepala terdapat rambut hitam membentuk
atau atap bangunan. Makanan utamanya empat garis memanjang, berubah menjadi
buah-buahan, adakalanya makan ayam, terputus-putus mulai di bahu, terus sampai
burung, cacing tanah, moluska dan ke bagian punggung dan belakang
artropoda darat. Biji-biji yang keluar tubuhnya. Ujung ekornya bercorak
bersama kotoran musang luwak seperti cincin hitam yang terputus.
umumnya memiliki daya kecambah yang Panjang kepala dan badan 40-45 cm, ekor
lebih tinggi dibandingkan dengan biji yang 17-23 cm. Berat badan 3-5 kg.
diambil langsung dari pohon. Dijumpai Ekologi:
pada berbagai habitat seperti hutan, Kucing kuwuk umumnya melakukan
perkebunan dan pemukiman. Kebera- kegiatannya pada malam hari, namun
daan musang luwak dapat dideteksi dari sering dijumpai aktif pada siang hari.
aroma khas pandan wangi. Berkembang Hidup soliter di berbagai habitat seperti
biak dapat terjadi sepanjang tahun, hutan, lahan pertanian, dan perkebunan.
mampu beranak sampai 2 kali dalam Dijumpai pada ketinggian 0 - 1.500 m dpl.
setahun. Lama bunting sekitar 60 hari Mengejar mangsanya baik di atas tanah
dengan jumlah anak setiap kelahiran 2 – maupun di pohon, juga pandai berenang.
3 ekor; anaknya akan mencapai Mangsanya berupa reptilia, burung, tikus,
kedewasaan pada umur 11 – 12 bulan. cecurut, ikan dan lain-lain. Kelelawar
Peran di alam: yang jatuh di dasar goa juga merupakan
Penyebar biji, dan mempercepat pakannya. Tidur di dalam goa kecil atau
perkecambahan. lubang pohon.
Status konservasi: Perkembang biakannya dapat terjadi
RI: tidak dilindungi. sepanjang tahun dengan lama bunting 65
IUCN:least concern/resiko rendah. - 72 hari. Jumlah anak setiap kelahiran

100
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

berkisar antara 1-4 ekor, namun buahan lunak dari tumbuhan hutan.
kebanyakan 2-3 ekor. Anaknya Tepung sari juga merupakan salah satu
mencapai tingkat dewasa pada umur 8 pakan pentingnya.
bulan. Peran di alam:
Peran di alam: Pemencar biji, penyerbuk bunga.
Pemangsa tikus. Status konservasi:
Status konservasi: RI: tidak dilindungi.
RI: dilindungi. IUCN:least concern/ resiko rendah.
IUCN:least concern/resiko rendah.
CITES: Appendix 2. 2. Chironax melanocephalus
(Temminck, 1825)
CHIROPTERA Nama Indonesia:
1. Aethalops alecto (Thomas, 1923) Codot kepala hitam.
Nama Indonesia: Sebaran di Indonesia:
codot bukit. Kalimantan, Sumatera, Nias, Jawa,
Sebaran di Indonesia: Sulawesi.
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Lombok. Kalipagu, Pancuran Tujuh,
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Kaliwadas.
Kalipagu, Pancuran Tujuh, Ciri pengenal:
Bambangan, Kaliwadas. Codot ini mempunyai bentuk tubuh,
Ciri pengenal: ukuran maupun warna yang menyerupai
Ukuran tubuhnya kecil dan tidak codot bukit (Aethalops alecto). Rambut
mempunyai ekor. Panjang kepala dan punggung berwarna abu-abu gelap atau
badannya berkisar antara 65-80 mm, coklat tua, bagian kepala berwarna lebih
mempunyai berat badan 15-25 gr. gelap sampai hitam. Bagian perut
Moncongnya pendek dan meruncing ditumbuhi rambut berwarna abu-abu
dengan panjang daun telinga 10-15 mm. terang kecoklatan. Codot dewasa
Mempunyai satu pasang gigi seri bawah. umumnya mempunyai rambut berwarna
Panjang lengan bawah 42-53 mm dan kuning pada sisi kiri dan kanan lehernya.
betis 16 - 22 mm. Rambutnya lebat dan Moncongnya pendek, daun telinga 10-13
panjang, sebagian besar berwarna abu- mm. Mempunyai 2 pasang gigi seri
abu gelap, sedangkan bagian perutnya bawah. Panjang kepala dan badannya
abu-abu terang. 55-70 mm, berat badan antara 12-19
Ekologi: gram. Panjang lengan bawah 42-47 mm
Codot bukit merupakan kelelawar dan panjang betis 15-17 mm. Tidak
pemakan buah yang hidup di dataran mempunyai ekor.
berketinggian 900-2.700 m dpl. Dijumpai Ekologi:
di hutan primer dan hutan sekunder. Codot kepala hitam umumnya hidup
Hidup soliter atau membentuk koloni kecil di hutan primer dan hutan sekunder pada
2-3 ekor. Pakan utamanya diduga buah- ketinggian 900-1.800 m dpl, tetapi

101
Maharadatunkamsi

kadang-kadang dijumpai pada ketinggian sekunder, perkebunan, pemukiman dan


300 m dpl. Hidup dalam koloni kecil 2-8 hutan bakau; mulai dari daerah pantai
ekor, bersarang di pohon paku-pakuan sampai pegunungan. Berkembang biak
dan goa yang dangkal. Codot ini terbang sepanjang tahun dengan jumlah anak satu
mencari pakan di lapisan bawah hutan. ekor setiap kali beranak.
Pakan utamanya diduga buah ficus dan Peran di alam:
buah karet. Pemencar biji, penyerbuk bunga.
Peran di alam: Status konservasi:
Pemencar biji, penyerbuk bunga. RI:tidak dilindungi.
Status konservasi: IUCN:least concern/resiko rendah.
RI:tidak dilindungi.
IUCN:least concern/ resiko rendah. 4. Cynopterus horsfieldii Gray, 1843
Nama Indonesia:
3. Cynopterus brachyotis (Miiller, 1838) Codot horsfield.
Nama Indonesia: Sebaran di Indonesia:
Codot krawar. Kalimantan, Sumatera, Jawa, Nusa
Sebaran di Indonesia: Tenggara.
Kalimantan, Sumatera, Jawa, Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Maluku. Kalipagu.
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Ciri pengenal:
Kalipagu. Codot horsfield memilik warna
Ciri pengenal: rambut dan ukuran tubuh mirip dengan
Hampir seluruh tubuh codot krawar codot krawar, namun sedikit lebih besar
ditutupi rambut berwarna coklat sampai dari codot krawar dengan bobot tubuh
coklat gelap dengan leher berwarna dewasa 41-49 gr. Panjang lengan bawah
kuning cerah hingga jingga pada yang 63-69 mm dan betis 23-27 mm. Ekornya
dewasa. Terdapat warna putih pada tepi pendek. Warna rambut punggung coklat
daun telinga dan bagian tulang-tulang keabu-abuan, bagian perutnya berwarna
sayap. Moncongnya pendek dan kokoh. lebih cerah coklat kekuningan. Tepi
Panjang lengan bawah 56-66 mm dan telinga dan tulang-tulang sayap berwarna
panjang betis 19-26 mm. Ekornya putih. Mempunyai gigi geraham yang
pendek 5,5-11,5 mm. Bobot tubuh lebih lebar dibanding anggota marga
dewasa 25-35 gr. Cynopterus lainnya sehingga
Ekologi: gerahamnya tampak lebih persegi dan
Terbang di malam hari, mencari kokoh. Terdapat tonjolan di tengah
makan berupa buah-buahan berdaging, geraham depan bawah terakhir (premolar
nektar dan dedaunan. Hidup berkoloni 3) dan geraham bawah belakang pertama
sampai 30 ekor, bersarang pada (molar 1).
pepohonan, mulut goa atau goa yang Ekologi:
dangkal dan atap bangunan. Hidup di Hidup di berbagai tipe habitat
berbagai tipe habitat seperti hutan terutama pada kawasan terganggu seperti

102
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

hutan sekunder, kebun pinus dan kebun pepaya, pisang, mangga dan lain-lain.
buah-buahan. Kadang-kadang dijumpai Mencari makan sendirian atau
di hutan primer. Bersarang di mulut goa, berkelompok sampai 8 ekor. Pada siang
celah bebatuan, hutan bakau dan hari umumnya beristirahat di ranting atau
berbagai pepohonan termasuk palem. dahan pohon yang rindang pada
Aktif di malam hari. Makanan utamanya ketinggian 5 - 20 meter, atau
berupa buah-buahan, namun juga makan menggantung di bawah atap rumah.
dedaunan dan bunga. Dalam kurun waktu setahun umumnya
Peran di alam: beranak 1 sampai 2 kali dengan lama
pemencar biji, penyerbuk bunga. bunting antara 115 - 125 hari. Jumlah
Status konservasi: anak pada setiap kelahiran 1 ekor.
RI: tidak dilindungi. Jumlah induk yang beranak akan
IUCN:least concern/resiko rendah. meningkat pada musim hujan seiring
dengan meningkatnya ketersediaan
5. Cynopterus sphinx (Vahl, 1797) buah-buahan.
Nama Indonesia: Peran di alam:
Codot barong. Pemencar biji, penyerbuk bunga.
Sebaran di Indonesia: Status konservasi:
Sumatera, Jawa, Sangeang (NTB), RI: tidak dilindungi.
Selayar. IUCN:least concern/resiko rendah.
Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Kalipagu. 6. Cynopterus titthaecheilus
Ciri pengenal: (Temminck, 1825)
Codot barong memiliki ukuran tubuh Nama Indonesia:
sebesar kepalan tangan orang dewasa. Codot besar.
Sebagian besar warna rambutnya coklat Sebaran di Indonesia:
gelap kehitam-hitaman, tubuh bagian Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara.
punggung berwarna lebih gelap dari Lokasi ditemukan di G. Slamet:
bagian perut sedangkan di bawah dan Kalipagu, Bambangan.
belakang telinga kemerah-merahan, tepi Ciri pengenal:
daun telinga berwarna putih seperti Warna rambut codot besar hampir
tulang rawan. Panjang lengan bawah 59 sama dengan codot krawar, coklat
- 75 mm dan panjang betis 20 - 28 mm. sampai coklat gelap. Terdapat warna
Berat badan dewasa antara 50 - 65 gram. putih di tepi daun telinga dan tulang-tulang
Ekologi: sayap. Moncongnya pendek dan kokoh.
Codot barong biasanya hidup di Perbedaan dari codot krawar adalah
berbagai habitat seperti hutan primer, tubuhnya jauh lebih besar. Panjang
hutan sekunder, hutan terganggu dan lengan bawah 78 - 83 mm dan panjang
perkebunan pada ketinggian kurang dari betis 34 - 36 mm. Panjang ekor 20 - 22
1.500 m dpl. Codot ini dikenal sebagai mm. Bobot tubuh dewasa 75 - 100 gr.
pemakan buah-buahan berdaging seperti

103
Maharadatunkamsi

Ekologi: Ekologi:
Mencari makan pada malam hari Codot ini hidup di berbagai habitat
berupa jambu air, pepaya, kenari, ficus, mulai dari dataran rendah sampai
nectar dan sebagainya. Codot besar pegunungan (1.800 m dpl). Hidup dalam
dijumpai di berbagai habitat, antara lain koloni kecil 5 - 10 ekor, kadang soliter.
hutan sekunder, perkebunan, pemukiman, Dijumpai di pemukiman, perkebunan dan
hutan bakau dan goa, mulai dari daerah hutan sekunder, namun jarang tercatat di
pantai sampai pegunungan pada hutan mangrove atau pun goa. Daerah
ketinggian 1.500 m dpl. Berkembang biak sebarannya diketahui berasosiasi dengan
sepanjang tahun dengan jumlah anak satu keberadaan pohon pisang. Bersarang di
ekor setiap beranak. Lama masa bunting bawah atap rumah, cabang pohon dan
diperkirakan sekitar 125 hari. lipatan daun pisang kering. Pakannya
Peran di alam: nektar sehingga mampu membantu
Pemencar biji, penyerbuk bunga. proses penyerbukan berbagai spesies
Status konservasi: tumbuhan baik liar maupun budi-daya.
RI:tidak dilindungi. Masa kebuntingan diperkirakan 5 bulan
IUCN: least concern/resiko dengan jumlah anak per kelahiran satu
rendah. ekor.
Peran di alam:
7. Macroglossus sobrinus K. Penyerbuk bunga.
Andersen, 1911 Status konservasi:
Nama Indonesia: RI: tidak dilindungi.
Codot cecadu pisang besar. IUCN:least concern/resiko rendah.
Sebaran di Indonesia:
Sumatera, Sipora, Siberut, 8. Arielulus circumdatus (Temminck,
Mentawai, Jawa, Bali. 1840)
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Nama Indonesia:
Kalipagu, Pancuran Tujuh, Kelelawar nighi sepuhan.
Bambangan. Sebaran di Indonesia:
Ciri pengenal: Jawa, juga dijumpai di Nepal, Cina,
Rambut di bagian punggungnya Thailand, Kamboja dan Malaysia.
berwarna coklat, sedangkan dada dan Lokasi ditemukan di G. Slamet:
perut lebih terang. Ekornya pendek Kalipagu.
bahkan sering tidak nampak. Ciri pengenal:
Moncongnya panjang dan runcing, gigi Hampir di seluruh tubuhnya tumbuh
kecil dan tajam, lidahnya sangat panjang. rambut berwarna hitam keabu-abuan,
Tubuhnya kecil, mempunyai panjang pada bagian ujung rambutnya kadang
kepala dan badan 53-75 mm, panjang dijumpai warna perak. Rambut di bagian
lengan bawah sayap 41-49 mm dan betis perut berwarna lebih terang. Bentuk
13-20 mm. Bobot badan dewasa antara telinga agak bundar, telinga pendek (11 -
16-25 gr. 12 mm). Daun telinga kanan dan kiri

104
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

terpisah, tidak menyatu di bagian gr. Warna rambutnya bervariasi dari


pangkalnya. Panjang kepala dan badan coklat muda hingga abu-abu coklat.
antara 48-52 mm, panjang lengan bawah Rambut di bagian perutnya berwarna
sayap 42-44 mm, betis 15-17 mm. putih keabu-abuan. Bentuk cuping hidung
Ekornya panjang 41-43 mm, seluruhnya sederhana, berwarna merah jambu pucat.
terbungkus oleh selaput antar paha yang Cuping hidung posterior mempunyai
berkembang dengan baik. empat kantung, sedangkan cuping hidung
Ekologi: anterior kiri dan kanan sederhana, tanpa
Kelimpahan dan populasinya belum lipatan kulit. Sekat rongga hidung sangat
banyak diketahui. Hidup soliter di hutan sempit. Telinganya cukup besar, panjang
pegunungan. Di daratan Asia dilaporkan 16-19 mm, luas dan bulat, tinggi telinga
hidup di hutan pegunungan pada melampaui atas kepala. Matanya sangat
ketinggian antara 1.300 - 1.700 m dpl. kecil. Kelelawar barong malaya
Keberadaannya di G. Slamet tercatat dari mempunyai ukuran panjang kepala dan
wilayah Kalipagu sekitar 750 m dpl, badan 44-48 mm, betis 17-20 mm.
sedangkan di G Halimun tercatat dari Panjang ekor 26 - 31 mm, dibungkus oleh
wilayah G Botol pada ketinggian 1.640 selaput antar paha yang berkembang
m dpl. Spesies ini termasuk yang jarang dengan baik.
ditemukan. Aktif pada malam hari untuk Ekologi:
mencari makan berupa serangga. Hidup di berbagai tipe habitat, antara
Peran di alam: lain hutan, hutan belukar, kebun dan
pemangsa serangga, termasuk pemukiman. Bersarang di dalam goa,
serangga hama. terowongan, celah bebatuan, lubang
Status konservasi: pohon atau di bawah atap rumah. Hidup
RI: tidak dilindungi. soliter atau membentuk koloni yang
IUCN:least concern/resiko rendah. terdiri dari beberapa ekor sampai ratusan
ekor. Kelelawar ini terbang lebih rendah
9. Hipposideros ater Templeton, dari pada kebanyakan kerabatnya. Aktif
1848 pada malam hari untuk menangkap
Nama Indonesia: pakannya yang berupa kumbang kecil,
Kelelawar barong malaya. rayap, ngengat kecil dan nyamuk. Jelajah
Sebaran di Indonesia: terbangnya dekat, kurang dari 5 km.
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Setiap kali beranak seekor induk hanya
Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua. melahirkan satu ekor anak dengan masa
Lokasi ditemukan di G. Slamet: bunting 150 - 160 hari.
Kalipagu, Bambangan. Peran di alam:
Ciri pengenal: Pemangsa serangga, termasuk
Rambutnya panjang, tebal dan halus, serangga hama.
memberikan kesan bahwa kelelawar ini Status konservasi:
jauh lebih besar dari pada massa RI: tidak dilindungi.
tubuhnya. Berat tubuhnya berkisar 5 - 7 IUCN:least concern/resiko rendah.

105
Maharadatunkamsi

10. Miniopterus pusillus Dobson, 1876 Status konservasi:


Nama Indonesia: RI: tidak dilindungi.
Kelelawar tomosu kerdil. IUCN:least concern/resiko rendah.
Sebaran di Indonesia:
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Timor 11. Miniopterus schreibersi (Kuhl,
dan Maluku. 1817)
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Nama Indonesia:
Kaliwadas, Bambangan. Kelelawar tomosu biasa.
Ciri pengenal: Sebaran di Indonesia:
Warna rambut punggung hitam Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa
kecoklatan, warna rambut bagian Tenggara, Sulawesi dan Maluku.
perutnya lebih terang. Pada tulang sayap Lokasi ditemukan di G. Slamet:
ketiganya mempunyai ruas jari ketiga Kaliwadas, Bambangan.
sangat panjang dibanding ruas jari kedua. Ciri pengenal:
Mulutnya lebar dengan telinga pendek Seperti halnya kelelawar tomosu
membulat, panjang daun telinga 7-9 mm. kecil, spesies ini mempunyai ciri yang khas
Kelelawar ini mempunyai ukuran tubuh yaitu mempunyai ruas jari ketiga sangat
kecil dengan panjang kepala dan badan panjang dibanding ruas jari kedua pada
46-49 mm, berat badan sekitar 7 gr. tulang sayap ketiganya. Rambut di
Panjang lengan bawah sayap 40-42 mm tubuhnya berwarna hitam kecoklatan
dan betis 17-19 mm. Panjang ekornya namun di bagian perutnya berwarna lebih
43-48 mm, seluruhnya dibungkus oleh terang. Mempunyai ciri-ciri mirip dengan
selaput antar paha yang berkembang kelelawar tomosu kecil, namun tomosu
dengan baik. biasa mempunyai ukuran tubuh yang lebih
Ekologi: besar, berat badan 7-12 gr. Panjang
Belum banyak informasi yang kepala dan badan 46-52 mm, panjang
terungkap tentang Ekologi kelelawar lengan bawah sayap 42-51 mm dan betis
tomusu kerdil. Spesies ini dijumpai dalam 18-22 mm. Telinganya pendek 8-11 mm
hutan yang terdegradasi dan daerah bentuknya bulat. Panjang ekornya 49-
pertanian. Bersarang di dalam goa pada 55 mm, seluruhnya dibungkus oleh
bagian yang gelap bersama kelelawar selaput antar paha yang berkembang
lain, terowongan, celah bebatuan dan dengan baik.
lubang pohon. Hidup membentuk koloni Ekologi:
yang terdiri dari beberapa ekor sampai Hidup di berbagai tipe habitat seperti
ratusan ekor. Masa bunting diperkirakan hutan, perkebunan dan kawasan
antara 135-150 hari dengan jumlah anak pemukiman. Bersarang dalam goa dan
satu ekor pada setiap beranak. Aktif di terowongan, sering dijumpai bersarang
malam hari, pakannya serangga kecil. bersama dengan jenis kelelawar lainnya.
Peran di alam: Juga bersarang di celah bebatuan, di
Pemangsa serangga, termasuk bawah atap rumah dan lubang pada
serangga hama. pohon. Aktif di malam hari, pakannya

106
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

utamanya terdiri dari ngengat kecil, oleh selaput antar paha yang berkembang
kadang-kadang juga memangsa lalat dengan baik.
kecil. Membentuk koloni di sarangnya, Ekologi:
terdiri dari beberapa ekor sampai ribuan Spesies ini dijumpai di berbagai tipe
ekor. Spesies ini terbang sangat cepat, habitat antara lain hutan primer, hutan
diperkirakan mampu mencapai sekunder, hutan belukar dan perkebunan.
kecepatan 50 km per jam. Masa bunting Hidup mulai dari dataran rendah sampai
sekitar 5 (lima) bulan dengan jumlah anak ketinggian 1.700 m dpl, namun lebih
satu ekor setiap kelahiran. Merupakan banyak dijumpai di dataran tinggi.
spesies migran yang sering berpindah Bersarang pada gulungan daun pisang,
sarang mengikuti ketersediaan celah bebatuan, lubang pohon dan goa.
mangsanya. Bersarang dalam koloni kecil terdiri dari
Peran di alam: beberapa individu. Terbang rendah di
Pemangsa serangga, termasuk atas permukaan tanah dan dekat
serangga hama. permukaan air, lebih menyukai terbang
Status konservasi: di tempat yang terbuka dan bagian hutan
RI: tidak dilindungi. yang tidak rapat vegetasinya. Keluar
IUCN:near threatened/nyaris dari sarangnya lebih awal dibanding
terancam. dengan spesies kelelawar lainnya. Aktif
mencari mangsanya terutama pada dua
12. Myotis muricola (Gray, 1864) jam pertama sesudah senja dan
Nama Indonesia: menjelang matahari terbit. Mampu
Kelelawar lasiwen biasa. terbang dengan cepat, memburu
Sebaran di Indonesia: mangsanya yaitu berbagai serangga kecil.
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Masa buntingnya 50-60 hari, bahkan
Tenggara, Sulawesi dan Maluku. kadang mencapai 70 hari. Jumlah anak
Lokasi ditemukan di G. Slamet: per kelahiran satu ekor.
Kalipagu, Kaliwadas. Peran di alam:
Ciri pengenal: Pemangsa serangga, termasuk
Spesies ini berukuran kecil, berat serangga hama.
badan dewasa 5-8 gr. Rambutnya tebal Status konservasi:
dan halus; rambut di kepala dan RI: tidak dilindungi.
punggung berwarna abu-abu kecoklatan IUCN:least concern/resiko rendah.
gelap, pada bagian perutnya abu-abu
terang. Panjang kepala dan badan 36- RODENSIA
42 mm, panjang lengan bawah sayap 36 1. Leopoldamys sabanus (Thomas,
- 39 mm dan betis 16-19 mm. Telinganya 1887)
agak menghadap ke depan, panjang 9- Nama Indonesia:
12 mm, ujung telinga runcing. Panjang Tikus mondok sabanus.
ekor 39-45 mm, seluruhnya dibungkus Sebaran di Indonesia:
Sumatera, Kalimantan, Jawa.

107
Maharadatunkamsi

Lokasi ditemukan di G. Slamet: Endemik Jawa.


Kalipagu, Pancuran Tujuh. Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Ciri pengenal: Kaliwadas, Bambangan.
Bentuk tubuh tikus ini mudah dikenal Ciri pengenal:
karena ukuran tubuhnya besar. Berat Spesies ini mempunyai rambut halus
badan dewasa 250-420 gr, panjang di seluruh tubuhnya. Rambut di bagian
kepala dan badannya 200-260 mm. kepala dan punggung berwarna coklat
Panjang ekornya 300-330 mm (130- kemerahan, bagian tengah punggungnya
150% dari panjang kepala badan). dari kepala sampai pangkal ekor lebih
Panjang kaki belakang 44-50 mm. gelap. Bagian perut dan dada ditumbuhi
Punggungnya ditumbuhi rambut rambut berwarna abu-abu gelap, diselingi
berwarna coklat tua, diselingi rambut dengan rambut berwarna kuning muda
berwarna kuning. Sisi kiri dan kanan atau putih. Ujung ekor berwarna putih
punggung lebih banyak ditumbuhi rambut dan ditumbuhi rambut tipis. Bagian atas
berwarna kuning. Rambut di perut dan ekor berwarna coklat tua, sedangkan
dada berwarna kuning terang atau krem. bagian bawahnya krem. Betinanya
Betinanya mempunyai puting susu 4 mempunyai puting susu 3 pasang (1
pasang (2 pasang di dada, 2 pasang di pasang di dada, 2 pasang di perut). Berat
perut). badan dewasa 50 - 80 gr. Panjang kepala
Ekologi: dan badan 110 - 130 mm, panjang ekor
Tikus mondok sabanus hidup di 100 - 140 mm (90 - 110% dari panjang
hutan primer dan hutan sekunder mulai kepala dan badan). Panjang kaki
dari dataran rendah sampai ketinggian belakang 27 - 30 mm.
800 m dpl. Aktivitas hidupnya dilakukan Ekologi:
pada malam hari, mencari pakan di atas Tikus ini hidup di hutan primer
permukaan tanah dan pohon, namun lebih pegunungan pada ketinggian 1.300-2.000
menyukai pada bagian bawah pohon. m dpl. Keberadaanya di Jawa hanya
Pakannya terdiri dari serangga, buah- diketahui di Jawa Barat dan Jawa
buahan dan berbagai jenis siput. Rata- Tengah. Aktivitas hidupnya terjadi pada
rata jumlah anak per kelahiran 1 - 7 ekor. malam hari, mencari pakan di atas
Belum diketahui lama masa buntingnya. permukaan tanah. Belum banyak
Peran di alam: diketahui aspek biologinya termasuk
Pemencar biji, perombak pakan dan reproduksinya.
Status konservasi: Peran di alam:
RI:tidak dilindungi. Perombak.
IUCN:least concern/resiko rendah. Status konservasi:
RI:tidak dilindungi.
2. Maxomys bartelsii (Jentink, 1910) IUCN:least concern/resiko rendah.
Nama Indonesia:
Tikus lesoq lati Jawa. 3. Niviventer cremoriventer (Miller,
Sebaran di Indonesia: 1900)

108
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

Nama Indonesia: kanopi. Belum banyak diketahui aspek


Tikus timpaus gayat. biologinya termasuk pakan dan
Sebaran di Indonesia: reproduksinya.
Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Peran di alam:
Bali. Perombak.
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Status konservasi:
Pancuran Tujuh. RI:tidak dilindungi.
Ciri pengenal: IUCN:vulnerable/rawan.
Punggungnya ditumbuhi rambut
berwarna coklat kekuningan yang keras 4. Niviventer fulvescens (Gray, 1847)
dan kaku, mempunyai rambut pengawal Nama Indonesia:
berkonsistensi kaku dan berwarna hitam. Tikus timpaus punggung coklat.
Rambut pengawal pada tikus adalah Sebaran di Indonesia:
rambut yang tumbuh di bagian atas Sumatera, Jawa dan Bali.
tubuhnya, berukuran lebih panjang dari Lokasi ditemukan di G. Slamet:
rambut lainnya. Bagian perut dan dada Kaliwadas, Bambangan.
berwarna kuning terang atau putih. Ciri pengenal:
Kadang ada bercak warna coklat di Tikus ini berukuran tubuh sedang,
dadanya yang nampak seolah-olah berat badan 50-80 gr. Panjang kepala
sebagai kalung. Bagian atas dan bawah dan badan 100-140 mm. Panjang
ekor berwarna coklat, sepanjang 2 cm ekornya 160 - 200 mm atau sekitar 140 -
dibagian ujung ekor ditumbuhi rambut 160% dari panjang kepala dan badan.
pendek. Betinanya mempunyai 4 pasang Punggung ditumbuhi rambut berwarna
puting susu (2 pasang di dada, 2 pasang coklat dan di sela-selanya ditumbuhi
di perut). Berat badan dewasa antara rambut halus berwarna abu-abu gelap.
60-100 gr. Panjang kepala dan badan Perut dan dadanya ditumbuhi rambut
90-120 cm, panjang ekor 100-180 mm berwarna krem atau kuning terang. Ujung
(120 - 140% panjang kepala dan badan). ekor tidak berambut. Mempunyai rambut
Panjang kaki belakang 24-27 mm. pengawal berbentuk seperti duri pipih
Ekologi: berwarna kuning. Panjang kaki belakang
Pada umumnya tikus timpaus gayat sekitar 27-30 mm. Pada yang betina
hidup di dataran rendah, namun mempunyai 4 pasang puting susu (2
keberadaannya diketahui sampai pada pasang di dada, 2 pasang di perut).
ketinggian 1.800 m dpl. Hidup terutama Ekologi:
di hutan primer, namun kadang dijumpai Tikus ini dijumpai di berbagai habitat
di hutan sekunder. Belum dilaporkan antara lain hutan pegunungan, tepian
keberadaannya di luar habitat hutan. hutan, hutan pinus tua, kebun, belukar dan
Aktivitas hidupnya terjadi pada malam pandang rumput. Hidup mulai ketinggian
hari, mencari pakan di atas permukaan 0 sampai 1.800 m dpl. Belum banyak
tanah dan pepohonan. Mampu bergerak diketahui tentang aspek biologinya.
lincah di antara batang pohon sampai

109
Maharadatunkamsi

Peran di alam: IUCN:least concern/resiko rendah.


Perombak.
Status konservasi: 6. Rattus exulans (Peale, 1848)
RI:tidak dilindungi. Nama Indonesia:
IUCN:least concern/resiko rendah. Tikus polynesia.
Sebaran di Indonesia:
5. Niviventer lepturus (Jentink, 1879) Seluruh Indonesia.
Nama Indonesia: Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Tikus timpaus jawa. Kalipagu, Kaliwadas, Bambangan.
Sebaran di Indonesia: Ciri pengenal:
Endemik Jawa. Tikus ini mudah dikenal karena
Lokasi ditemukan di G. Slamet: ukuran tubuhnya kecil, panjang kepala
Kaliwadas, Bambangan. dan badan 90-120 mm, seukuran dengan
Ciri pengenal: besarnya pisang susu. Panjang ekornya
Panjang kepala dan badan pada yang 100-130 mm, melebihi panjang kepala dan
dewasa mencapai 110-150 mm. Panjang badan. Panjang kaki belakang sekitar
ekornya 160-200 mm (130-150% dari 20-27 mm. Berat badan dewasa 40-50
panjang kepala badan). Panjang daun gr. Punggungnya ditumbuhi rambut kasar
telinga 19-23 mm. Panjang kaki belakang dan berduri berwarna coklat keabu-
antara 26-28 mm. Berat badannya dapat abuan. Rambut pengawal berbentuk duri
mencapai 35-51 gram. Punggungnya pipih dan kaku. Bagian perutnya
ditutupi rambut berwarna coklat kelabu ditumbuhi rambut berwarna kelabu.
atau kecoklatan dengan tekstur halus Rambut ekor berwarna hitam. Betinanya
seperti beludru. Perutnya ditumbuhi mempunyai puting susu 4 pasang (2
rambut yang berwarna putih atau krem. pasang di dada, 2 pasang di perut).
Pangkal sampai ujung ekornya berwarna Ekologi:
hitam seragam, bagian bawah ekor R. exulans merupakan tikus khas
berwarna cerah. daerah Polinesia yang hidup di pulau-
Ekologi: pulau sekitar Pasifik dari Hawai sampai
Belum banyak diketahui tentang Selandia Baru dan menyebar sampai di
aspek biologi tikus ini. Spesies ini Asia Tenggara. Daerah penyebarannya
diketahui hidup di hutan primer dari ketinggian 0 sampai 3.300 m dpl,
pegunungan di bagian barat dan tengah namun lebih banyak dijumpai pada
P. Jawa pada ketinggian antara 1.800- ketinggian 400-1.000 m dpl. Tikus
2.200 m dpl. Spesies ini ditemukan di G polynesia yang hidup di dataran rendah
Halimun, G Salak, G Ciremai dan G. rambutnya lebih pendek, keras kadang-
Slamet. kadang seperti duri, sedangkan yang
Peran di alam: hidup di dataran tinggi rambutnya agak
Perombak. panjang dan lebih halus. Hidup di
Status konservasi: berbagai tipe habitat antara lain hutan
RI: tidak dilindungi. sekunder, belukar, ladang, perkebunan

110
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

dan pemukiman. Pandai memanjat lebih sering dijumpai di lingkungan yang


pohon, sering membuat sarang di tajuk dekat dengan aktivitas manusia.
pohon. Aktivitas hidupnya terjadi pada Menyukai daerah pemukiman,
siang dan malam hari. Masa buntingnya perkebunan dan persawahan namun
kurang lebih 21 hari dengan jumlah anak tidak menetap di daerah persawahan.
4-8 ekor setiap kelahiran. Anaknya Tikus ini mempunyai kemampuan
menjadi dewasa setelah berumur 7 merusak yang tinggi. Aktivitas hidupnya
minggu. dilakukan pada malam hari. Pakannya
Peran di alam: berupa tumbuhan dan sisa-sisa makanan.
Pemencar biji. Dalam setahun mampu beranak sampai
Status konservasi: 15 kali dengan lama bunting sekitar 21
RI: tidak dilindungi. hari. Rata-rata jumlah anak pada setiap
IUCN:least concern/resiko rendah kelahiran 6-7 ekor. Pada umur 40-65 hari
tikus rumah telah menjadi dewasa.
7. Rattus tanezumi Temminck, 1844 Peran di alam:
Nama Indonesia: Perombak.
Tikus rumah. Status konservasi:
Sebaran di Indonesia: RI: tidak dilindungi.
Seluruh Indonesia. IUCN:least concern/resiko rendah
Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Kalipagu, Bambangan. 8. Ratufa bicolor (Sparrman, 1778)
Ciri pengenal: Nama Indonesia:
Panjang kepala-badan tikus rumah Jelarang hitam
dewasa mencapai 110-220 mm. Panjang Sebaran di Indonesia:
ekor sama panjang kepala dan badannya. Sumatera, Jawa, Bali
Panjang daun telinga 19-23 mm. Panjang Lokasi ditemukan di G. Slamet:
kaki belakang antara 30-37 mm. Berat Kalipagu, Pancuran Tujuh,
badannya dapat mencapai 200 gram. Bambangan.
Punggungnya ditutupi rambut berwarna Ciri pengenal:
coklat kelabu atau kecoklatan dengan Jelarang hitam merupakan anggota
tekstur rambut halus. Rambut pengawal kelompok bajing yang berukuran paling
panjang dan kasar. Perut ditumbuhi besar dengan berat badan 1-2 kg, panjang
rambut berwarna coklat kelabu. Rambut kepala dan badan 35-45 cm. Panjang
ekor berwarna hitam seragam. Namun ekornya 35-50 cm, ditumbuhi rambut
demikian variasi warna rambut sering berwarna coklat muda sampai coklat tua,
terjadi pada Rattus tanezumi. Satwa rambut ekornya mengembang. Rambut
betina mempunyai 5 pasang puting susu di bagian kepala dan punggung berwarna
(2 pasang di dada, 3 pasang di perut). coklat tua hingga kehitaman. Bagian
Ekologi: bahu dan pinggul ditumbuhi rambut
Spesies ini hidup pada ketinggian 0 berwarna krem atau kuning, kontras
-2.000 m dpl. Sifatnya komensal sehingga dengan kakinya yang berwarna hitam.

111
Maharadatunkamsi

Bagian dada dan perut ditumbuhi rambut Ciri pengenal:


berwarna kuning atau krem. Bajing hitam merupakan spesies
Ekologi: bajing yang berukuran sedang, berat
Jelarang aktif di siang hari, hidup di badan 150-280 gr. Panjang kepala dan
hutan sekunder dan hutan primer mulai badan 17-25 cm. Panjang ekornya 15-
dari pantai sampai ketinggian 1.400 m dpl. 20 cm (80 - 90% dari panjang kepala dan
Hidupnya di pohon, jarang turun ke tanah badan). Kepala dan punggung ditumbuhi
kecuali untuk berpindah ke pohon lain jika rambut berwarna coklat kehijauan gelap,
tidak ada ranting atau cabang pohon yang diselingi dengan warna kuning. Bagian
dapat dipakai sebagai jembatan untuk dada dan perutnya ditumbuhi rambut
berpindah ke pohon lainnya. Kadang juga berwarna abu-abu keputihan. Pada
turun dari pepohonan untuk mencari bagian pinggangnya ada dua pola garis
makanan di tanah. Makanannya terdiri memanjang masing-masing berwarna
atas berbagai biji-bijian, buah, dan coklat muda dan hitam. Warna rambut
dedaunan. Sarangnya dibuat di lubang di bagian ekor selang seling antara warna
pohon atau cabang pohon yang tinggi. hitam dengan kuning; rambut ekor tidak
Spesies ini hidup soliter dan tidak toleran mengembang.
terhadap perubahan habitat alaminya. Ekologi:
Luas hutan yang semakin menyusut, Bajing hitam merupakan spesies
perburuan dan kompetisi dengan satwa bajing yang hidup di pohon, aktif di kanopi
arboreal lainnya menjadi penyebab sampai di pertengahan pohon.
populasinya turun. Belum banyak yang Habitatnya berupa hutan primer dan
diketahui tentang aspek perkembang hutan sekunder, kadang dijumpai di kebun
biakannya. Jumlah anak per kelahiran kelapa atau kebun buah-buahan.
antara 1- 2 ekor. Dijumpai pada berbagai ketinggian tempat
Peran di alam: dari dataran rendah sampai pegunungan.
Pemencar biji. Hidup soliter, aktif pada siang hari
Status konservasi: terutama pada pagi hari dan menjelang
RI:dilindungi. senja. Mencari pakan pada cabang dan
IUCN:near threatened/ nyaris ranting pohon sampai kanopi. Pakannya
terancam. terdiri dari berbagai macam buah,
CITES:Appendix 2 kacang-kacangan, biji-bijian, serangga
dan telur burung. Belum banyak yang
9. Callosciurus nigrovittatus diketahui tentang aspek perkembang
(Horsfield, 1823) biakannya. Jumlah anak setiap beranak
Nama Indonesia: antara 1-4 ekor.
Bajing hitam. Peran di alam:
Sebaran di Indonesia: Pemencar biji dan pemakan
Sumatera, Kalimantan, Jawa. serangga, termasuk serangga hama.
Lokasi ditemukan di G. Slamet: Status konservasi:
Kalipagu, Pancuran Tujuh. RI:tidak dilindungi.

112
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

IUCN: near threatened/nyaris bergerak di atas pohon, jarang turun ke


terancam. tanah. Merupakan spesies bajing yang
mudah beradaptasi dengan lingkungan
10. Callosciurus notatus (Boddaert, yang bukan alami sehingga mudah
1785) dijumpai di hutan sekunder, perkebunan
Nama Indonesia: dan pemukiman pedesaan, namun jarang
Bajing kelapa. ditemukan di hutan primer. Hidup di
Sebaran di Indonesia: berbagai ketinggian mulai dari pantai
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, sampai pegunungan dengan ketinggian
Nusa Tenggara, Selayar. 1.200 m dpl. Sesuai dengan namanya,
Lokasi ditemukan di G. Slamet: bajing ini banyak ditemukan di
Kalipagu. perkebunan kelapa. Merupakan hama
Ciri pengenal: kelapa yang merugikan karena melubangi
Bajing kelapa mempunyai ukuran dan memakan buah kelapa. Pakannya
badan sedang, kurang lebih sama dengan terdiri atas buah-buahan, biji-bijian,
bajing hitam. Berat badan dewasa antara kacang-kacangan dan serangga
150-300 gr. Panjang kepala dan badan termasuk semut, serta sering menjilati
15-20 cm, ekor 16-21 cm. Warna rambut getah karet. Hidup soliter atau
ekornya menyerupai warna ekor bajing membentuk koloni kecil sekeluarga.
hitam, selang seling antara hitam dengan Berkembang biak sepanjang tahun
kuning. Bagian kepala dan punggung dengan jumlah anak 1-4 ekor setiap
mempunyai warna rambut mirip dengan beranak.
bajing hitam yaitu coklat kehijauan Peran di alam:
dengan bintik-bintik rambut berwarna Pemencar biji dan pemakan
kuning. Di bagian pinggangnya terdapat serangga, termasuk serangga hama.
pola dua garis memanjang warna coklat Status konservasi:
muda dan kehitaman. Dada dan perutnya RI: tidak dilindungi.
ditumbuhi rambut berwarna jingga hingga IUCN:least concern/resiko rendah.
kemerahan, bervariasi dari gelap sampai
terang, Warna rambut di dada dan perut INSEKTIVORA
selalu jingga atau kemerahan, yang 1. Crocidura brunnea Jentink, 1888
membedakannya dari bajing hitam di Nama Indonesia:
mana dada dan perutnya berwarna abu- Cucurut ekor tebal.
abu. Namun demikian di alam bebas tidak Sebaran di Indonesia:
mudah untuk membedakan keduanya. Endemik Jawa.
Ekologi: Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Bajing kelapa merupakan satwa Kalipagu, Pancuran Tujuh.
yang aktif di siang hari. Bajing ini Ciri pengenal:
ditemukan berkeliaran di tajuk, cabang Cucurut ini diketahui hanya hidup di
dan ranting pohon. Pandai melompat di Jawa, namun dilaporkan juga terdapat di
antara ranting dan cabang pohon. Lincah Bali. Spesies ini dikenal sebagai cucurut

113
Maharadatunkamsi

berukuran besar, mempunyai ekor lebih terang. Panjang kepala dan badan
gemuk. Warna rambut seluruh tubuh 48,41-55,57 mm dengan kaki belakang
abu-abu gelap. Panjang kepala dan 8,31-10,34 mm. Panjang ekor 40,54-
badan 70-85 mm. Panjang ekor 50-60 57,12, bagian pangkalnya ditumbuhi
mm (80-85% dari panjang kepala dan rambut putih panjang dan jarang,
badan), pada bagian ujungnya ditumbuhi sedangkan ke arah ujung ekor rambutnya
rambut berwarna putih panjang dan semakin jarang.
jarang. Panjang kaki belakang 14-17 Ekologi:
mm. Belum banyak diketahui mengenai
Ekologi: perilaku dan aspek biologinya. Spesies
Belum banyak diketahui mengenai ini tersebar di hutan pegunungan. Belum
perilaku dan aspek biologinya. Informasi diketahui apakah spesies ini dapat hidup
sebarannya lebih banyak didasarkan pada di luar kawasan hutan pegunungan.
informasi spesimen koleksi museum. Populasinya dapat terancam akibat
Catatan lokasi sebaran spesies ini pembukaan hutan untuk perluasan
kebanyakan berasal dari hutan primer dan perkebunan termasuk kelapa sawit.
sekunder pegunungan. Belum diketahui Seperti kerabat cucurut lainnya, diduga
apakah cucurut ekor tebal ini mampu spesies ini juga memakan serangga.
beradaptasi dengan lingkungan tergang- Peran di alam:
gu. Berkurangnya luasan hutan dikhawa- Belum diketahui.
tirkan dapat mengancam populasi spesies Status konservasi:
ini. Pakannya antara lain serangga. RI: tidak dilindungi.
Peran di alam: IUCN:least concern/resiko rendah.
Pemangsa serangga, termasuk
serangga hama. 3. Crocidura orientalis Jentink, 1890
Status konservasi: Nama Indonesia:
RI: tidak dilindungi. Cucurut ekor gundul.
IUCN:least concern/resiko rendah. Sebaran di Indonesia:
Endemik Jawa
2. Crocidura monticola Peters, 1870 Lokasi ditemukan di G. Slamet:
Nama Indonesia: Kaliwadas, Bambangan.
Cucurut kecil. Ciri pengenal:
Sebaran di Indonesia: Cucurut ini mempunyai moncong
Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa panjang. Warna tubuh bagian atas coklat
Tenggara, Maluku. abu-abu, sedangkan bagian perutnya
Lokasi ditemukan di G. Slamet: berambut abu-abu gelap. Ekornya
Kaliwadas. panjang dan tidak berambut. C.
Ciri pengenal: orientalis merupakan satu-satunya
Ukuran tubuhnya kecil, moncongnya cucurut yang ekornya tanpa rambut.
panjang. Rambut tubuhnya berwarna Panjang kepala dan badan 65,12–95,02
coklat keabu-abuan, ekornya berwarna mm, ekor 55,32 - 61,27 mm.

114
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

Ekologi: di sekitar pohon tumbang. Kadang


Belum banyak diketahui tentang mencari serangga di balik kulit kayu yang
aspek biologinya. Hidup di hutan primer mati. Pakannya berupa berbagai spesies
pegunungan di Jawa. Spesies ini diduga serangga dan buah-buahan, mungkin juga
tidak toleran hidup di habitat yang satwa kecil lainnya.
berasosiasi dengan aktivitas manusia. Peran di alam:
Pakannya antara lain serangga tanah. Pemangsa serangga, termasuk
Peran di alam: serangga hama, penyebar biji.
Pemangsa serangga, termasuk Status konservasi:
serangga hama. RI: tidak dilindungi.
Status konservasi: IUCN:least concern/resiko rendah.
RI: tidak dilindungi. CITES: Appendix 2
IUCN: vulnerable/rawan.
PEMBAHASAN
SCANDENTIA
1. Tupaia javanica Horsfield, 1822 Mamalia kecil mempunyai berbagai
Nama Indonesia: peranan penting dalam kehidupan
Tupai kekes. manusia, baik peranan ekologi maupun
Sebaran di Indonesia: ekonomi. Secara ekolog, mamalia kecil
Sumatera, Nias, Jawa, Bali. memiliki peranan penting dalam rantai
Lokasi ditemukan di G. Slamet: makanan sebagai konsumen, pemangsa,
Kalipagu, Bambangan. penyerbuk, pemencar biji, dan mangsa
Ciri pengenal: untuk karnivor kecil. Selain itu, mamalia
Warna rambut di bagian atas kecil juga dapat berfungsi sebagai bio-
tubuhnya coklat abu-abu, dengan pola indikator bagi kondisi lingkungan karena
bintik hitam. Bagian perut berwarna lebih satwa ini memiliki respon terhadap
terang kekuningan. Mempunyai pola perubahan lingkungan (Mickleburgh et
garis kuning pendek di kedua sisi al. 1992, Hewitt & Miyanishi 1997, dan
bahunya. Tupai kekes mempunyai Maharadatunkamsi 2011). Beberapa
moncong panjang dan runcing, kumis mamalia kecil memakan serangga
pendek dan jarang. Ekornya melebar sehingga ikut membantu mengatur
namun tidak berambut tebal. Termasuk keseimbangan ekosistem terutama
tupai berukuran sedang. Tubuhnya dalam pengendalian populasi serangga
ramping dengan panjang badan kepala (Iwamoto 1996). Selain itu mamalia kecil
13-15 cm. Panjang kaki belakang 3-3,5 mempunyai kegunaan yang lain yaitu
cm. Panjang ekornya lebih kurang sama sebagai binatang peliharaan, binatang
dengan panjang badan kepala. percobaan dan bahan obat-obatan
Ekologi: (Noerdjito et al. 2005).
Aktif di siang hari, hidup di hutan dan Kelelawar pemakan buah
perkebunan. Hidup di pohon namun (Megachiroptera) memiliki peran ekologi
sering mencari pakan di lantai hutan atau penting dalam ekosistem G. Slamet, yaitu

115
Maharadatunkamsi

sebagai pemencar biji dan penyerbuk setelah dikeringkan biji aren akan
bunga. Di wilayah G. Slamet tercatat berkecambah setahun kemudian.
enaam spesies kelelawar pemakan buah Satwa pemakan serangga, antara
(Aethalops alecto, Chironax melanoce- lain kelelawar pemakan serangga dari
phalus, Cynopterus brachyotis, C. kelompok Microchiroptera (Arielulus
horsfieldi, C. sphinx dan C. circumdatus, Hipposideros ater,
tittahecheilus) dan satu kelelawar Miniopterus pusillus, M. schreibersi
pemakan nektar (Macroglossus dan Myotis muricola), tupai (Tupaia
sobrinus). Sistem pencernaannya yang javanica) dan cecurut (Crocidura
unik dan berlangsung cepat menyebabkan brunnea, C. monticola dan C.
biji yang keluar bersama kotorannya orientalis) mempunyai fungsi alami
menjadi lebih cepat berkecambah. Di sebagai pengendali populasi serangga di
samping itu kemampuan terbangnya alam, termasuk serangga hama. Mamalia
yang cukup jauh menjadikan kelelawar kecil pemakan serangga ini memiliki
sebagai satwa yang efektif dalam berbagai peranan penting bagi kehidupan
pemencaran biji. manusia yaitu secara ekologi berperan
Tidak berbeda dari kelelawar penting dalam rantai makanan, dengan
pemakan buah, berbagai jenis tikus, bajing memakan serangga, mereka dapat
dan jelarang yang hidup di G. Slamet membantu mengatur keseimbangan
berperan juga sebagai pemencar biji. ekosistem dalam pengendalian populasi
Satwa-satwa ini dapat berperan sebagai serangga termasuk serangga hama yang
kunci utama untuk menjaga dan sangat merugikan (Healy 1994).
memulihkan kondisi vegetasi kawasan G. Berbagai spesies karnivora kecil
Slamet. Dengan demikian, mereka yang hidup di G. Slamet berperan sebagai
mempunyai fungsi penting alami yaitu ikut predator dalam suatu ekosistem untuk
mempertahankan keanekaragaman pengendali mamalia kecil lainnya.
tumbuhan hutan dan sebagai agen dalam Dengan demikian karnivora kecil
regenerasi hutan (Kitchener et al. 1990 memainkan peranan yang penting dalam
dan Utzurrum 1995). menjaga keseimbangan Ekologi hutan.
Musang luwak (Paradoxurus Karnivora yang tercatat keberadaannya
hermaphroditus) mempunyai peran di G. Slamet dan berperan sebagai
sebagai pemencar biji tumbuhan, antara predator yaitu garangan Jawa (Herpestes
lain aren, kopi dan lain-lain. Selain itu, javanicus), biul (Melogale orientalis),
peranan musang luwak dalam teledu sigung (Mydaus javanensis),
perkecambahan biji aren sangat penting. musang luwak (Paradoxurus
Menurut penduduk setempat, biji aren hermaphroditus) dan kucing kuwuk
yang keluar bersama kotoran musang, Prionailurus bengalensis). Kelima
setelah dikeringkan akan berkecambah spesies karnivora ini memiliki peran
dalam waktu sebulan. Sedangkan tanpa sebagai penyeimbang ekosistem
melalui saluran pencernaan musang, terutama sebagai predator satwa yang
berukuran kecil seperti tikus, bajing dan

116
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

cecurut. Karnivora kecil ini dapat di alam menunjukkan bahwa kawasan G.


diandalkan sebagai spesies kunci yang Slamet merupakan habitat penting bagi
mampu mencegah meledaknya populasi mamalia kecil.
tikus dan berbagai satwa vertebrata kecil Sebagaimana telah kita ketahui
lainnya. Selain itu, berbagai spesies tikus, bahwa hutan adalah suatu kesatuan
kelelawar dan cecurut merupakan pakan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
bagi ular dan burung pemangsa. sumber daya alam hayati yang didominasi
Kawasan G. Slamet mempunyai pepohonan dalam keseimbangan alam
daya dukung yang memadai bagi lingkungannya yang satu dengan yang
kehidupan mamalia kecil sebagai tempat lainnya saling berinteraksi. Berkurang-
untuk mencari pakan, beraktivitas, tidur, nya populasi satwa penyebar biji dan
berlindung dari predator dan berkembang penyerbuk bunga menyebabkan
biak. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya berkurangnya peran mereka di alam
keanekaragaman spesies mamalia kecil sehingga regenerasi vegetasi hutan akan
di dalamnya mencapai jumlah 31 spesies. terhambat dan ketersediaan berbagai
Tiga di antaranya (Mydaus javanensis, macam buah dapat berkurang. Demikian
Prionailurus bengalensis dan Ratufa juga berkurangnya populasi kernivora
bicolor) merupakan spesies yang kecil sudah barang tentu mempunyai
dilindungi menurut peraturan di Indonesia. dampak terhadap keseimbangan di alam.
Empat spesies (Melogale orientalis, Akibatnya populasi kelompok satwa
Crocidura orientalis, Maxomys berukuran kecil seperti tikus, bajing,
bartelsii, dan Niviventer lepturus) cecurut akan meledak. Demikian juga
merupakan mamalia endemik Jawa. keberadaan satwa pemakan serangga
Secara internasional beberapa di ikut membantu mengatur keseimbangan
antaranya juga masuk dalam daftar populasi serangga. Walaupun Peran di
CITES dan IUCN. Tiga spesies alam semua satwa belum diketahui
(Prionailurus bengalensis, Ratufa seluruhnya, namun keberadaannya di
bicolor, dan Tupaia javanica) masuk alam sudah pasti mempunyai fungsi
dalam CITES Appendix 2. Sedangkan tersendiri, baik berupa manfaat langsung
menurut IUCN Red Data Book, dua maupun tidak langsung. Oleh karena itu
spesies termasuk dalam kategori keberadaan satwa-satwa tersebut perlu
vulnerable/rawan yaitu Crocidura dipertahankan dan dijaga kelestariannya.
orientalis, dan Niviventer cremoriven- Hasil studi yang telah dikemukakan
ter, tiga spesies termasuk near di atas merupakan langkah untuk
threatened/nyaris terancam yaitu mengungkapkan keanekaragaman hayati
Miniopterus schreibersi, Ratufa mamalia kecil G. Slamet yang belum
bicolor dan Callosciurus nigrovittatus. diketahui sebelumnya. Di satu sisi
Keberadaan mamalia kecil yang kawasan G. Slamet ternyata mempunyai
dilindungi, endemik Jawa dan/atau secara keanekaragaman mamalia kecil yang
international mempunyai status penting tinggi tetapi di sisi lain juga menunjukkan
dalam konservasi dan mempunyai peran adanya isyarat ancaman bagi

117
Maharadatunkamsi

kelestariannya. Hal ini ditunjukkan oleh Oleh karena itu kehadirannya dalam
adanya spesies-spesies mamalia kecil populasi yang cukup sangat diperlukan
komensal yaitu tikus rumah (Rattus bagi keseimbangan dan kelestarian
tanezumi) dan tikus polinesia (Rattus ekosistem.
exulans) yang hidup di dalam hutan Adanya spesies yang endemik Jawa,
primer dan sekunder G. Slamet. Hal ini dilindungi perundang-undangan, khas
dapat terjadi seiring dengan meningkatnya pegunungan dan mempunyai Status
kerusakan hutan dan semakin maraknya konservasi internasional serta
sistem agroforestri dan usaha pertanian mempunyai peran di alam penting,
di sekitar G. Slamet, serta kebakaran mengisyaratkan bahwa berbagai spesies
hutan di kawasan G. Slamet. Mengingat tersebut rawan punah.
pentingnya kawasan hutan di G. Slamet Dinilai perlu dilakukan koordinasi
sebagai penunjang kehidupan manusia antar pemangku kepentingan yang lebih
maka berbagai tipe ekosistem di kawasan baik dalam hal mengelola ekosistem G.
tersebut harus dilestarikan; sedangkan Slamet dan menetapkan luas hutan alam
kelestarian ekosistem yang ada antara sesuai dengan fungsi yang diembannya.
lain sangat tergantung pada keutuhan dan
komposisi spesies mamalia kecil yang UCAPAN TERIMA KASIH
ada sehingga mamalia kecil di kawasan
ini juga harus dilestarikan. Penulis menyampaikan terima kasih
kepada Kepala Puslit Biologi-LIPI dan
KESIMPULAN Kepala Bidang Zoologi yang telah
memberikan dukungan dan kepercayaan
G. Slamet sangat berperan dalam untuk pelaksanaan penelitian ini. Terima
menyimpan air hujan sehingga tidak kasih kami ucapkan kepada Kementerian
menimbulkan banjir, dan Riset dan Teknologi yang telah
mendistribusikan sampai akhir musim menyalurkan Dana Insentif RISTEK
kemarau. Fungsi ini hanya dapat berjalan bagi peneliti dan perekayasa 2010. Kami
dengan baik jika ekosistem hutannya menyampaikan terima kasih kepada
dalam keadaan utuh; disamping luas Kepala Perum Perhutani Banyumas
daerah tangkapan air yang mencukupi Timur yang memberikan ijin untuk
luasnya. melakukan penelitian di kawasan G.
Hasil penelitian khusus tentang Slamet. Terima kasih kami sampaikan
mamalia kecil menunjukkan bahwa di G. kepada Nanang Supriatna, Yuli Sulistia
Slamet terdapat 31 spesies mamalia kecil. Fitriana dan Tatag Bagus atas
Beberapa spesies memiliki fungsi ekologi kerjasamanya dalam persiapan dan
membantu penyerbukan berbagai spesies pelaksanaan tugas di lapangan. Sdr.
tumbuhan, spesies-spesies lainnya Anwar, Agus, Sutar, Timan, Tulus dan
berfungsi sebagai pemencar biji, dan Sariman membantu untuk kelancaran
spesies lainnya lagi berpotensi sebagai pekerjaan di lapangan.
pengendali ledakan populasi serangga.

118
Potensi Mamalia Kecil Dalam Mendukung

DAFTAR PUSTAKA Jones, C., WJ. McShea, MJ. Conroy &


TH. Kunz. 1996. Capturing
CITES Appendix 2011. <http:// mammals. In: Wilson, D.E., F.R.
www.cites.org/eng/resources/ Cole, J.D. Nichols, R. Rudran dan
species.html>. M.S. Foster. (eds). Measuring
Corbet, GB. & JE. Hill 1992. The and Monitoring Biological
Mammals of the Indomalayan Diversity. Standard Methods for
Region: A Systematic Review. Mammals. Smithsonian Institution
Natural History Museum Press, Washington and London.
Publications, Oxford University Hal 115-155.
Press. (viii + 488) hal. Kitchener,D.J., A. Gunnell &
Fujita, MS. & MD. Tuttle. 1991. Flying Maharadatunkamsi. 1990.
foxes (Chiroptera: Pteropodidae): Aspects of the feeding biology of
threatened animals of key fruit bats (Pteropodidae) on
ecological and economical Lombok Island, Nusa Tenggara,
importance. Conservervation Indonesia. Mammalia 54: 561-578.
Biology 5: 455-463. Maharadatunkamsi. 2006. Biodiversity in
Healy, S. 1994. Foraging and storing. In: Sulawesi: Small mammals of
Halliday, T. and A. Pressley. (eds). Toraut, Bogani Nani Wartabone
Animal Behavior. The University National Park. Biota 11: 1-7.
of Oklahama press, Norman. Hal Maharadatunkamsi. 2011. Profil Fauna
43-57. Mamalia Kecil GununG. Slamet.
Hewitt, N. & K. Miyanishi. 1997. The Jurnal Biologi Indonesia 7(1):
role of mammals in maintaining 171-185.
plant species richness in a floating Maryanto, I., A.S. Achmadi dan A.P.
Typha marsh in southern Ontario. Kartono. 2008. Mamalia
Biodiversity Conservation 6(8): Dilindungi Perundang Unda-
1085-1102. ngan Indonesia. LIPI Press,
Hodgkison, R., ST. Balding, A. Zuibad Jakarta. (xvi + 240) hal.
& TH. Kunz. 2003. Fruit Bats Mickleburgh, SP., A.M. Hutson & PA.
(Chiroptera: Pteropodidae) as Seed Racey. (Compilers). 1992. Old
Dispersers and Pollinators in a World Fruit Bats: An action plan
Lowland Malaysian Rain Forest. for their conservation. IUCN,
Biotropica 35(4): 491–502. Gland, Switzerland. (viii + 252) hal.
IUCN. 2011. IUCN Red List of Noerdjito, M., I. Maryanto, SN. Prijono,
Threatened Species. Version EB. Waluyo, R. Ubaidillah,
2011.1. <www.iucnredlist.org>. Mumpuni, AH. Tjakrawidjaja, RM.
Iwamoto, T. 1996. Mammals, reptiles Marwoto, Heryanto, WA. Noerdjito
and crabs on the Krakatau Islands: & H. Wiriadinata. 2005. Kriteria
Their roles in the ecosystem. Jenis Hayati yang Harus
Ecological Research 1(3): 249- Dilindungi oleh dan untuk
258.
119
Maharadatunkamsi

Masyarakat Indonesia. Pusat Utzurrum, RCB. 1995. Feeding ecology


Penelitian Biologi-LIPI dan of Philippine fruit bats:patterns of
ICRAF, Bogor. (xiii + 97) hal. resource use and seed dispersal.
Setiawan, A., AW. Djuwantoko, YWC. Symposia of the Zoological
Bintari, S. Kusuma, Pudyatmoko & Society of London 67: 63–77.
MA. Imron. 2007. Population and Vaughan, TA., JM. Ryan & N.J.
distribution of Rekrekan (Presbytis Capzaplewski. 2011. Mammalogy:
fredericae ) in the Southern Slope Fourth Edition. Saunders College
of Mt.Slamet. Biodiversitas 8(4): Publishing, Philadelphia. (xvii +
305-308. 565) hal.
Suyanto, A. 1999. Pengelolaan koleksi Wilson, DE. & M. Reeder. (Editors).
mamalia. Dalam: Suhardjono, Y.R. 2005. Mammal Species of the
(ed). Buku Pegangan Pengelo- World: A Taxonomic and
laan Koleksi Spesimen Zoologi. Geographic Reference. 3 rd
Pusat Penelitian dan Pengemba- edition. John Hopkins University
ngan Biologi-LIPI, Bogor. Hal 21- Press, Baltimore. (xxxv + 2142)
46. hal

120
Ekologi Gunung Slamet

Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

Eko Sulistyadi

Lab. Ekologi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta
Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: eko_bio33@yahoo.co.id

ABSTRACT

Big Mammals community in Slamet Mountain. Research of mammals community of Slamet


Mountain was performed on May 2008 at south slope forest and on March 2010 at east slope
of Slamet Mountain. The observation was conducted by line transect method’s. Data registry
is done bases on direct observation and indirect observation. At least 15 species are found
with proportion seven spesies include ordo Carnivora, four Primata’s specieses, two
Artiodactyla’s specieses and two Rodentia’s specieses. Largely mammal distributed on primary
forest and secondary forest elevation 700 to 900 asl.

Key words : Mount Slamet, mammals, community

PENDAHULUAN G Slamet. Penyebab utama penyusutan


kawasan hutan di G Slamet adalah alih
G. Slamet merupakan salah satu hulu fungsi hutan alami menjadi lahan
dari DAS Serayu sehingga merupakan pemukiman, lahan pertanian dan hutan
kawasan yang memiliki fungsi hidrologis tanaman.
yang penting bagi daerah di sekitarnya. Kondisi hutan pada setiap lereng G
Selain itu kondisi hutan yang masih tersisa Slamet berbeda-beda. Lereng selatan G
di kawasan itu adalah habitat berlindung Slamet merupakan area hutan dengan
bagi hidupan liar yang ada. Diduga kondisi vegetasi cukup baik sehingga
terdapat berbagai spesies flora dan fauna memiliki sifat lembab dan basah.
langka dan endemik jawa yang hidup di Keadaan lembab dan basah ini
G Slamet. disebabkan oleh posisi lereng selatan
Sebelum masa kemerdekaan, luas yang berhadapan langsung dengan arah
total hutan di P Jawa tercatat mencapai datangnya angin yang membawa hujan;
13 juta hektar (ha). Pada akhir tahun sedangkan tingginya gunung menjadikan-
1980-an, tutupan hutan alam di Jawa nya sebagai daerah tangkapan air. Dengan
seluas 0,97 juta ha atau tinggal 7,5%. ketinggian yang mencapai 3.423 m dpl
Pada tahun 2010, Badan Planologi tangkapan uap air yang dibawa oleh angin
Kementerian Kehutanan menyatakan dari selatan turun pada daerah ini
bahwa tutupan lahan di P Jawa tinggal (Setiawan, A. et al, 2007). Lereng timur
4%, sedangkan lahan kritis telah G Slamet memiliki areal pertanian sampai
mencapai 2,48 juta ha. Salah satu bagian ketinggian 1.600 m dpl. Hutan alami
hutan yang tersisa di P Jawa berada di dijumpai mulai ketinggian ± 1.950 m dpl

121
Eko Sulistyadi

sehingga diduga memiliki keanekaraga- Sebagian besar informasi mamalia


man dan pola distribusi vegetasi maupun besar yang ada di Gunung Slamet adalah
fauna yang berbeda dengan sisi lereng mengenai primata. Dengan demikian
yang lain. Rustami dkk, (2005) masih banyak kekosongan data mengenai
menunjukkan bahwa dari spesies berbagai spesies mamalia besar yang ada
tumbuhan maupun satwa penyusunnya, di G Slamet. Mengingat laju degradasi
hutan G Slamet lebih mirip dengan hutan lahan yang semakin meningkat dan masih
di Jawa bagian barat sehingga gunung banyaknya kekosongan data. Untuk itu
ini dianggap sebagai batas peralihan penelitian ini berusaha untuk mengungkap
antara hutan di kawasan barat dan timur keanekaragaman species mamalia besar
pulau Jawa. Kondisi peralihan tersebut yang ada di G Slamet sebagai data
tentunya akan membawa sifat khas pada pendukung upaya konservasi dan
keanekaragaman hayati yang ada. pengelolaan kawasan hutan G Slamet.
Berbagai kajian menunjukkan
adanya percepatan degradasi hutan di BAHAN DAN CARA KERJA
Jawa. Kondisi ini menuntut langkah yang
cepat dan tepat untuk sesegera mungkin Penelitian mamalia besar telah
menginventarisasi berbagai potensi dilaksanakan di Baturraden, lereng
sumber daya hayati yang ada di G. Slamet selatan G. Slamet, pada bulan Mei 2009
sebelum punah. Salah satu kelompok dan di Bambangan, lereng timur, pada
satwa yang memegang peranan penting bulan Maret 2010. Penelitian di lereng
dalam ekosistem hutan G Slamet adalah selatan dilakukan di tiga tipe habitat yaitu
mamalia besar. Mamalia besar memiliki habitat hutan primer, hutan sekunder, dan
peran ekologis yang penting karena hutan tanaman damar; pada ketinggian
memegang fungsi yang kompleks dalam antara 600 - 1.100 m. Sedangkan di sisi
ekosistem yaitu sebagai pengendali timur di dua tipe habitat yaitu hutan alam
populasi mangsa (top predator), dan tanaman campuran pinus dengan
pengendali populasi tumbuhan bawah damar; pada ketinggian antara 1.600 -
(herbivora) dan sebagai agen dispersal 2.200 m.
bagi tumbuhan. Pengamatan dilakukan dengan
Berdasarkan berat tubuhnya, pendekatan line transect method
International Biological Program (Buckland et. al, 1993 dalam Setiawan,
mengelompokkan mamalia menjadi dua A. dkk., 2007) mengikuti jalur pendakian.
bagian, spesies yang memiliki berat Data diperoleh dari perjumpaan langsung
dewasa di atas 5 kilogram (kg) atau pun tidak langsung; perjumpaan tidak
dikelompokkan sebagai mamalia besar langsung didasarkan pada jejak kaki,
sedangkan yang kurang dikelompokkan kotoran, sarang, suara, bau, jejak sisa
sebagai mamalia kecil (Suyanto, 1999). makan dan tanda-tanda keberadaan
Sebagian besar mamalia kecil adalah mamalia lainnya. Pengambilan data
spesies anggota ordo Rhodentia dan dilakukan di sepanjang jalur pengamatan.
Chiroptera. Data yang dicatat meliputi nama spesies

122
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

yang ditemukan, koordinat tempat ordo dan delapan familia. Mamalia yang
penemuan, jumlah individu dan waktu. tercatat sebagian besar termasuk ordo
Untuk menentukan spesies primata karnivora dan primata, selain itu
kadang-kadang perlu dilakukan dengan ditemukan pula anggota ordo
menggunakan alat bantu binokuler 8 X Artiodactyla dan rodentia. Terdapat
30. Koordinat dan ketinggian tempat sembilan spesies mamalia yang berhasil
temuan diukur dengan GPS. Sedangkan diidentifikasi berdasarkan pertemuan
identifikasi spesies mamalia merujuk langsung yang sebagian besar merupakan
pada Payne dkk. (2000), Maryanto dkk. kelompok primata. Kelompok karnivora
(2008) dan Suyanto (2003). Informasi dan artiodactyla lebih banyak
pelengkap didapatkan dari wawancara diidentifikasi berdasarkan temuan jejak
dengan penduduk yang biasa melakukan kaki, kotoran, jejak bekas makan dan
kegiatan di dalam hutan. suara. Dari seluruhn spesies mamalia
yang tercatat, sebanyak 6 spesies aktif
HASIL DAN PEMBAHASAN di siang hari (diurnal), 4 spesies aktif di
malam hari (nokturnal), dan 3 spesies
Pengamatan di lereng selatan G aktif pada siang dan malam hari (Tabel
Slamet berhasil mengidentifikasi adanya 1).
8 famili mamalia yang terdiri atas 13 Berdasarkan tipe habitat dan
spesies; sedangkan hasil pengamatan di ketinggian tempat ditemukannya, terlihat
lereng timur berhasil mengidentifikasi 5 bahwa mamalia besar di G Slamet
famili yang terdiri atas 7 spesies. Nama cenderung lebih menyukai habitat hutan
pesies dan jumlah individu yang alami (primer dan sekunder) dengan
ditemukan di lereng selatan G Slamet ketinggian yang sangat terkait dengan
(Gambar 1). kondisi vegetasi dan kelerengan.
Pengamatan di jalur Baturraden Distribusi mamalia besar berdasarkan
kawasan lereng selatan G Slamet tipe habitat dapat dilihat pada Tabel 2.
mencatat 13 spesies mamalia dari empat

Perbandingan Jumlah Individu dan Jumlah Jenis


Mamalia

140 130
120
100 87
Jumlah

80 jml indv
60 jml jenis
38
40
11 12
20 4
0
1 2 3
Habitat

Gambar 1. Perbandingan jumlah individu dan jumlah spesies mamalia di lereng selatan G
Slamet; (1) hutan primer, (2) hutan sekunder, (3) HPT

123
Eko Sulistyadi

Tabel 1. Mamalia yang ditemukan di lereng selatan dan timur G Slamet.


Nama lokal Nama Indonesia Nama Ilmiah Aktivitas CITES IU CN Peraturan Perlindungan RI

Felidae
Panthera pardus SK Mentan No 421/Kpts/Um /8
Macan tutul Macan tutul D/ N Apendix I LC
(Linnaeus, 1758) /1970 dan PP No. 7 tahun 1999
Felis bengalensi s   (Kerr,  SK Mentan N0.66/Kpts/Um/2/
Kucing elek Kucing hutan N Apendix II LC
1792) 1973 dan PP No. 7 tahun 1999
Viverridae
Paradoxurus 
Luwak Musang luwak N - - -
hermaphroditus   (Pallas, 
Canidae
SK Mentan No. 247/Kpts/
Ajag Anjing hutan Cuon alpinus (Pallas 1811) D/N EN
Um/4/1979
Herpestidae
Herpestes javanicus (É.
Garangan Musang D/N LC -
Geoffroy, 1818)
Mustelidae
Mydaus javanensis   SK Mentan
Sigung Sigung N - LR
(Desmarest, 1820) N0.247/Kpts/Um/4/1979
Melogale everetti   (Thomas, 
Biyul Biyul N - - -
1895)
Cercophitecidae
Presbytis comata freedricae   SK Mentan No. 247/Kpts/Um/
Rekrekan Rekrekan / Surili D Apendix II EN
(Desmarest, 1822) 4/1979 dan PP No. 2 tahun 1999
Trachypithecus auratu s  É.  SK Menhutbun No. 733/Kpts-
Lutung Lutung budeng D Apendix II EN
Geoffroy, 1812 II/1999
Macaca fascicularis  
Kethek Kera ekor panjang D - - -
(Raffles, 1821)
Hylobatidae
Hylobates moloch   Perlindungan Binatang Liar 1931
Uwa-uwa Owa jawa D Apendix I EN
(Audebert, 1798) dan PP No.7 tahun 1999
Cervidae
Muntiacus muntjak  Perlindungan Binatang Liar 1931
Kidang Kijang muncak D/ N - NT
Zimmermann, 1780 dan PP No.7 tahun 1999
Suidae

Babi alas Babi hutan Sus scrofa Linnaeus, 1758 D/ N - - -

Sciuridae
Callosciurus notatus  
Bajing Bajing kelapa D - - -
(Boddaert, 1785)
Ratufa bicolor   (Sparrman,  SK Mentan N0.66/Kpts/Um/2/
Jelarang Jelarang D Apendix II NT
1778) 1973 dan PP No. 7 tahun 1999
Keterangan: *) D = diurnal; N = nokturnal. Sumber dari buku Mamalia Dilindungi Perundang-
undangan Indonesia (2008, Ibnu Maryanto dkk). Keterangan status IUCN: EN: Endangered, CR:
Critically Endangered, LC: Least Concern, LR: Lower Risk/Near Threatened, VU: Vulnerable,
EX: Extinct, EW: Extinct in the Wild, DD: Data Deficient, NE: Not Evaluated.

Berdasarkan ketinggian tempat, timur G Slamet. Terdapat indikasi bahwa


lebih banyak spesies mamalia ditemukan sebaran vertikal mamalia besar di G
pada 700 - 900 m di lereng selatan dan Slamet mengikuti pola ketinggian habitat
pada ketinggian 1.700 – 2.200 m di lereng hutan primer dan hutan sekunder. Data

124
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

distribusi spesies mamalia berdasarkan dengan nilai indeks Shannon (H: 2,870);
ketinggian tempat di lereng selatan dan hal ini disebabkan karena spesies yang
lereng timur G Slamet dapat dilihat pada ditemukan di habitat ini cukup banyak
Tabel 3. dengan populasi yang merata.
Keanekaragaman spesies mamalia Heterogenitas sumber daya yang tinggi
besar di G Slamet dihitung dengan pada hutan primer memberikan dukungan
menggunakan indeks Shannon, kehidupan yang cukup bagi banyak
sedangkan kemerataan spesies dihitung spesies fauna sehingga keanekaragaman
dengan menggunakan indeks kemerataan spesies faunanya cenderung lebih tinggi.
Shimpson, sedangkan kekayaan spesies Kekayaan jenis mamalia besar di
dihitung dengan menggunakan indeks lereng selatan G Slamet didominasi oleh
kekayaan spesies Margalef. Diketahui kelompok karnivora (7 spesies, 46,7%)
bahwa habitat hutan primer memiliki nilai yaitu Panthera pardus, Felis
indeks keanekaragaman dan kemerataan bengalensis, Mydaus javanensis,
kekayaan spesies yang lebih tinggi Paradoxurus hermaphro-ditus dan
dibandingkan dengan habitat lainnya. Melogale everetti, diikuti oleh kelompok
Nilai indeks tersebut dapat dilihat pada primata (4 spesies, 26,7%) yaitu
Tabel 4. Presbytis fredericae, Trachypithecus
Keanekaragaman spesies mamalia auratus, Macaca fascicularis dan
di hutan primer diketahui paling tinggi Hylobates moloch, kelompok

Tabel 2. Distribusi spesies mamalia berdasarkan tipe habitat.


Lereng Selatan Lereng timur
Spesies Hutan Hutan Pinus/ Hutan
HPT
primer sekunder damar alam
Callosciurus notatus (Boddaert, 1785) ? ? - ?
Cuon alpinus (Pallas, 1811) - - - ? ?
Felis bengalensis (Kerr, 1792) - ? ? ?
Herpestes javanicus (É. Geoffroy, 1818) - - - ? -
Hylobates moloch (Audebert, 1798) ? ? - - -
Macaca fascicularis (Raffles, 1821) ? ? ? - -
Melogale everetti (Thomas, 1895) - ? - ? ?
Muntiacus muntjak Zimmermann, 1780 ? - - - ?
Mydaus javanensis (Desmarest, 1820) ? ? - ? ?
Panthera pardus (Linnaeus, 1758) ? ? - ? ?
Paradoxurus hermaphroditus (Pallas, 1777) ? ? - ? -
Presbytis comata fredericae (Desmarest, 1822) ? ? - - ?
Ratufa bicolor (Sparrman, 1778) ? ? - ? -
Sus scrofa Linnaeus, 1758 ? ? ? ? ?
Trachypithecus auratus É. Geoffroy, 1812 ? ? ? ? ?

125
Table 3. Distribusi spesies mamalia berdasarkan ketinggian tempat di G Slamet.

126
LERENG SELATAN LERENG TIMUR
SPESIES
600-699 700-799 800-899 900-999 1000-1099 1500-1599 1600 - 1699 1700 -1799 1800 - 1899 1900-1999 2000-2099 2100 - 2199 2200 - 2299 >2300
Hylobates m oloch - ? ? ? - - - - - - - - - -
Eko Sulistyadi

Macaca fascicularis ? ? ? ? - - - - - - - - - -
Muntiacus m untjak - - ? - - - - - - - - - - *
Panthera pardus - ? ? - - - - - - * - - - *
Presbytis comata freedricae ? ? ? ? - - - - - - * * - -
Sus scrofa ? ? ? ? ? - - * ? *? *? ? ? -
Trachypithecus auratus - ? ? ? ? - - - - * *? ? * -
Callosciurus notatus - - ? ? - - - - - - - ? - -
Cuon alpinus - - - - - - - - - * - - - *
Felis bengalensis ? ? - - - * - - - * - - - -
Herpestes javanicus - - - - - * - - - - - - - -
Melogale everetti - ? - - - - - * ? * * - -
Mydaus javanensis - ? ? ? ? - - * - - ? *? - -
Paradoxurus herm aphroditus - ? ? ? - - - - - *? - - - -
Ratufa bicolor - ? ? - - - - ? - - - - - -

Keterangan:
√ :petemuan langsung dan tidaklangsung
*: Informasi/wawancara/data sekunder
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

Tabel 4. Indeks Keanakeragaman Shannon, Indeks Kekayaan Margalef dan Indeks


Kemerataan Shimpson
Habitat
Spesies
Hutan primer Hutan sekunder HPT
Callosciurus notatus 1 2 -
Felis bengalensis - 2 1
Hylobates moloch 15 5 -
Macaca irus 9 2 12
Melogale everetti - 1 -
Muntiacus muntjak 8 - -
Mydaus javanensis 3 2 -
Panthera pardus 1 8 -
Paradoxurus hermaphroditus 3 7 -
Presbytis comata fredericae 25 50 -
Ratufa bicolor 1 3 -
Sus scrofa 6 4 13
Thrachypithecus auratus 15 44 12
Jumlah 87 130 38
Indeks keanekaragaman spesies Shanon 2,870 2,419 1,718
Indeks kemerataan spesies Shimpson 0,539 0,305 0,788
Indeks kekayaan spesies Margalef 2,239 2,259 0,825
 
atriodactyla (2 spesies, 13.3%) yaitu landai sehingga sangat memungkinkan
Muntiacus muntjak dan Sus scrofa dan bagi satwa mamalia besar yang hidup di
kelompok rodentia (2 spesies, 13.3%) permukaan tanah bergerak mencari
yaitu Callosciurus notatus dan Ratufa pakan seperti yang nampak di lereng
bicolor. Lereng sebelah timur G Slamet selatan G Slamet. Hutan alam di lereng
sangat berbeda kondisinya dengan lereng timur dengan ketinggian 1.950 m dpl
selatan sehingga hanya dua spesies tentunya memiliki kelerengan yang lebih
mamalia besar saja yang teridentifikasi, curam sehingga sangat menyulitkan
baik sebagai hasil pengamatan langsung satwa mamalia besar yang hidup di
maupun tidak langsung. Spesies tersebut permukaan tanah untuk bergerak
adalah Sus scrofa dan Trachypithecus mencari pakan.
auratus; sedangkan spesies lainnya Lereng selatan yang memiliki
diperoleh dari informasi penduduk. banyak spesies karnivora menunjukkan
Perbedaan keanekaragaman spesies bahwa di kawasan ini masih terdapat
mamalia besar disebabkan oleh faktor jejaring pakan yang cukup baik sehingga
ketinggian tempat. Pada lereng selatan pemangsa puncak yang merupakan
batas hutan mulai pada ketinggian 500 m indikator kondisi jejaring pakan di alam
dpl. sedangkan pada lereng timur hutan masih dapat bertahan hidup. Masih
alam baru mulai ada pada ketinggian kompleksnya piramida pakan
1.950 m dpl. Salah satu faktor yang juga menunjukkan bahwa ekosistem di
paling berpengaruh terhadap keberadaan kawasan ini masih cukup baik.
mamalia besar adalah kelerengan; pada Banyaknya tumbuh-tumbuhan berukuran
ketinggian rendah kelerengan cenderung besar dengan tajuk yang relatif saling

127
Eko Sulistyadi

berhubungan juga sangat mendukung laju deforestrasi dan degradasi hutan di


kehidupan primata. Adanya koridor Jawa semakin meningkat akibat
berupa tajuk yang saling berdekatan akan pengaruh aktivitas manusia (Smiet 1992)
memudahkan primata untuk berpindah akibatnya tekanan terhadap ekosistem
sehingga mereka dapat menghemat hutan alami dan segala kekayaan hayati
energi dalam mencari pakan dan yang terkandung di dalamnya semakin
memungkinkan menghindarkan diri dari tinggi.
pemangsa. Kondisi vegetasi di hutan Dari keseluruhan spesies mamalia
alam lereng timur G Slamet sedikit besar yang berhasil ditemukan, hanya
berbeda karena penutupan tajuk tidak Sus scrofa (= babi hutan) yang tercatat
terlalu rapat sehingga menyulitkan bagi mempunyai distribusi paling luas mulai
spesies primata untuk berpindah tempat dari hutan alami hingga hutan produksi
tanpa turun ke permukaan tanah. Hal dan perkebunan serta dapat ditemukan
diindikasikan dengan sangat sedikitnya hampir di semua ketinggian. Hal ini
perjumpaan dengan spesies primata, menunjukkan bahwa spesies ini
tercatat hanya sekali ditemukan lutung cenderung memiliki jenis pakan yang
budeng di lokasi tersebut. cukup beragam yang dapat dijumpai
Berdasarkan IUCN Red List of hampir di seluruh tipe habitat. Payne
Threatened Species Versi 2010.4 (2000) menjelaskan bahwa babi hutan
Hylobates moloch (= owa jawa) dan termasuk omnivora karena pakannya
Presbytis comate (rekrekan) dimasukan meliputi buah-buahan, biji-bijian, bahan
kedalam kategori Endangered (EN) tumbuhan lain, cacing tanah dan mamalia
C2a(i) yang menunjukkan terjadinya kecil lainnya.
penurunan populasi secara terus menerus Berdasarkan tipe habitat, sebagian
sehingga dalam struktur populasinya tidak besar mamalia besar ditemukan pada
ada sub-populasi yang memiliki lebih dari habitat hutan primer dan hutan sekunder.
250 individu dewasa. Trachypithecus Maharadatunkamsi & Maryati (2008)
auratus (= lutung budeng) juga termasuk menjelaskan bahwa di TN Gunung
kategori Vulnerable (VU) A2cd yakni Ciremai tercatat lebih banyak mamalia
berdasarkan pengamatan, penghitungan, ditemukan pada habitat hutan primer atas
dan pendugaan diperkirakan telah terjadi dan hutan sekunder dengan keragaman
penurunan populasi 30% atau lebih dalam yang lebih tinggi. Mamalia besar selain
kurun waktu 10 tahun terakhir atau membutuhkan pakan dalam jumlah yang
hampir setara dengan tiga generasi. cukup, juga memerlukan tajuk pohon
Salah satu faktor yang cukup sebagai tempat berlindung. Kondisi
berpengaruh terhadap kondisi tersebut vegetasi pada hutan primer dan sekunder
adalah kerusakan habitat akibat konversi menyediakan tempat berlindung yang
lahan yang pada akhirnya akan mengarah baik bagi mamalia besar khususnya
pada fragmentasi habitat yang spesies primata yang sangat bergantung
mengancam kelestarian satwa tersebut. pada keberadaan vegetasi sebagai
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa tempat aktivitas utamanya. Dengan

128
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

demikian tipe habitat yang berbeda bahwa lutung budeng (=


memiliki pengaruh nyata terhadap Thrachypithecus auratus) terdistribusi
keanekaragaman spesies mamalia yang pada ketinggian 700 - 800 m dpl. di lereng
ditemukan (Gunawan dkk. 2008) selatan G. Slamet dan ketinggian 2.200 –
Berdasarkan tempat, lebih banyak 2.800 m dpl di lereng timur. Data ini juga
spesies mamalia ditemukan pada sesuai dengan hasil pengamatan yang
ketinggian 700 – 1.000 m di lereng menunjukkan bahwa lutung budeng
selatan pada ketinggian 1.900-2.200 m ditemukan di lereng selatan pada
di lereng timur G Slamet. Sebenarnya, ketinggian 700-1.100 m dpl. Dapat
faktor ketinggian tempat juga sangat dikatakan bahwa distribusi vertikal
terkait dengan faktor lainnya, seperti spesies primata mengikuti pola sebaran
kondisi vegetasi dan ketersediaan pakan vertikal habitat hutan primer dan hutan
sehingga akan ada lokasi pada ketinggian sekunder. Beberapa spesies diketahui
tertentu yang memberikan kondisi optimal hanya ditemukan pada ketinggian tertentu
baik bagi vegetasi, pakan maupun tajuk dan tipe habitat tertentu.
yang dapat diperoleh dengan baik oleh Owa jawa dan macan tutul memiliki
satwa sehingg akan terjadi kenaikan distribusi yang terbatas pada habitat
jumlah spesies yang menghuni lokasi hutan primer dan sekunder serta
tersebut. Hasil penelitian mamalia besar ketinggian antara 700 – 1.000 m dpl
di TN Gunung Ciremai menunjukkan karena spesies ini sangat tergantung
bahwa pada ketinggian tertentu akan ada kepada daya dukung habitat spesifik yaitu
titik puncak kekayaan spesies mamalia spesies tumbuhan pakan bagi owa jawa
sehingga setelah titik optimal tersebut dan mangsa bagi macan tutul. Mangsa
maka keanekaragaman spesies mamalia bagi macan tutul menjadi melimpah pada
akan menurun kembali sejalan dengan lokasi spesifik tersebut karena
kenaikan ketinggian tempat (Gunawan ketersediaan pakan bagi mangsa (satwa
dkk. 2008). herbivore) juga berlimpah yaitu tumbuhan
Penumpukan spesies mamalia pada bawah.
ketinggian 700-1.000 m di lereng selatan Sensitivitas terhadap gangguan juga
dan pada ketinggian 1.900-2.200 m di mempengaruhi keberadaan satwa
lereng timur menunjukkan adanya potensi mamalia besar. Owa jawa dan macan
sumber daya yang lebih pada lokasi- tutul cenderung lebih sensitif terhadap
lokasi tersebut sehingga berbagai spesies gangguan aktivitas manusia sehingga
mamalia berkumpul untuk memanfaat- hutan primer yang relatif masih sedikit
kan sumberdaya yang ada. Penelitian terjamah manusia menjadi habitat yang
Setiawan (2007) menunjukkan bahwa cocok bagi kedua spesies ini.
rekrekan (= Presbytis fredericae) Maharadatunkamsi (2001) menyebutkan
terdistribusi di lereng selatan G Slamet bahwa tekanan akibat menurunnya
dengan perkiraan jumlah sekitar 219 ekor kualitas lingkungan akan lebih terasa
dengan kepadatan sekitar 5,96 ekor/km2. pada spesies yang mempunyai status
Sedangkan Nijman (2000) menjelaskan konservasi, endemik dan spesies yang

129
Eko Sulistyadi

hanya bisa hidup pada habitat spesifik. komunitas mamalia besar, hanya jejak
Dengan demikian tekanan akibat aktivitas babi hutan yang mendominasi sebagian
manusia seperti pengalihfungsian hutan besar kawasan. Babi hutan bisa
menjadi hutan produksi, perkebunan atau ditemukan mulai dari hutan alami sampai
pun ladang sangat mengancam dengan kawasan pinus dan damar pada
kelestarian spesies mamalia. ketinggian 1.700 – 2.200 m. Menurut
Keanekaragaman spesies mamalia Payne (2000) babi hutan termasuk
di lokasi penelitian termasuk kategori spesies omnivore sehingga memiliki
sedang, hal ini ditunjukkan oleh nilai rentang pakan yang luas akibatnya
indeks Shannon sebesar 2,845. persebarannya cenderung merata dan
Maharadatunkamsi & Maryati (2008) luas. Hanya satu spesies primata yang
menyebutkan bahwa keanekaragaman berhasil diidentifikasi yaitu lutung budeng
spesies disebut tinggi jika mempunyai yang ditemukan di hutan alami pada
indeks Shannon lebih dari 3,5. ketinggian 2.000 – 2.200 m.
Interpretasi terhadap suatu indeks Terdapat dua spesies mamalia yang
keanekaragaman spesies sangat tercatat ditemukan sampai pada area
tergantung pada rentang nilai indeks pemukiman yaitu kucing hutan dan
tersebut. Pada indeks Shannon diketahui garangan. Spesies mamalia lain yang
bahwa nilai maksimal tidak terbatas tercatat antara lain jelarang, biyul, sigung,
sehingga interpretasi sangat tergantung musang luwak dan bajing. Lutung
pada nilai prediksi maksimal jumlah budeng hanya tercatat sekali selama
spesies yang dapat ditemukan. pengamatan. Spesies primata lainnya
Keanekaragaman spesies mamalia di tidak tercatat selama pengamatan.
hutan primer diketahui paling tinggi Macan tutul dan kijang muncak tidak
dengan nilai indeks Shannon (H: 2,870) dapat dijumpai secara langsung dan
disebabkan karena spesies yang hanya diperoleh dari keterangan
ditemukan di habitat ini cukup banyak penduduk yang biasa melewati jalur
dengan populasi yang merata. pendakian tersebut. Di Malang yang
Heterogenitas sumber daya yang tinggi letaknya di sebelah selatan dari
pada hutan primer memberikan suplai Bambangan, observasi menunjukkan
yang cukup bagi berbagai spesies fauna fakta yang tidak jauh berbeda. Kondisi
sehingga keanekaragaman spesies kawasan yang hampir sama menjadikan
faunanya cenderung lebih tinggi. komunitas mamalia besar yang menghuni
Vegetasi hutan primer atas dan hutan Malang hampir sama dengan lokasi awal
sekunder memiliki daya dukung yang di Slamet. Spesies primata tidak berhasil
lebih baik untuk mamalia sebagai tempat tercatat di lokasi ini, hanya spesies babi
mencari makan, tidur, perlindungan dari hutan yang dapat ditemui dari jejak-
pemangsa dan berkembangbiak jejaknya (Tabel 3).
Maharadatunkamsi 2008). Sebagai komponen biotik dalam
Hasil pengamatan menunjukkan ekosistem, mamalia memiliki fungsi yang
bahwa lereng timur G Slamet miskin penting dalam menjaga keseimbangan

130
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

dan kelestarian kawasan. Beberapa sehingga kondisi lantai hutan


spesies, seperti macan tutul dan kucing memungkinkan untuk tumbuhnya semai
hutan memiliki peran sebagai predator/ atau anakan tumbuhan alami hutan.
pemangsa yang berfungsi mengontrol Ekosistem hutan G Slamet memiliki
populasi hewan mangsa agar tetap jejaring makanan yang sangat komplek.
seimbang. Menurut penelitian Kartono, Setiap komponen dalam piramida
A.P., dkk (2009) di TN G Ciremai makanan akan saling berinteraksi dan
distribusi macan tutul berhubungan positif membentuk keseimbangan. Macan tutul
dengan sebaran musang luwak. Hal ini sebagai pemangsa puncak memiliki peran
menunjukkan adanya keterkaitan antara dalam mengontrol populasi satwa yang
distribusi predator dengan mangsa. menjadi mangsanya seperti kijang
Spesies mamalia pemakan biji dan buah muncak, babi hutan, ayam hutan, dan
seperti musang luwak berperan sebagai beberapa spesies mamalia kecil lainnya.
pemencar biji sehingga menjaga Mekanisme kontrol ini akan menjamin
keseimbangan persebaran dan tidak adanya ledakan populasi yang dapat
pertumbuhan vegetasi dalam ekosistem. mengancam kelestarian ekosistem
Penelitian Meiri (2007) menunjukkan secara keseluruhan. Populasi herbivora
bahwa spesies musang gunung yang secara langsung mengontrol
terdistribusi sampai ketinggian 2.000 m populasi vegetasi akan dikontrol oleh
di G. Slamet. Primata seperti lutung, pemangsa di atasnya. Demikian
rekrekan dan owa jawa merupakan seterusnya sehingga akan terbentuk
pemakan daun dan buah sehingga secara suatu relung pakan (niche) yang spesifik
ekologi juga memiliki peran sebagai agen yang membatasi konflik antar komponen
pemencar biji. Distribusi yang semakin tersebut. Proporsi untuk tiap komponen
merata pada spesies-spesies mamalia dalam kaitannya dengan jejaring
pemencar biji memberikan pengaruh makanan akan dapat digunakan sebagai
terhadap persebaran dan regenerasi indikator kerusakan ekosistem hutan.
berbagai spesies tumbuhan hutan. Secara nyata di lapangan akan dijumpai
Spesies mamalia yang mengambil adanya keterkaitan antara populasi
pakan dari dalam tanah dengan cara spesies carnivora (pemangsa) dengan
menggaruk seperti babi hutan memiliki populasi spesies-spesies herbivora yang
fungsi yang penting sebagai penjaga potensial menjadi mangsanya.
kesuburan dan kegemburan tanah Sebagai batas peralihan antara hutan
sehingga berimplikasi langsung terhadap pegunungan Jawa bagian barat dengan
persebaran spesies-spesies vegetasi bagian timur (Rustami dkk 2005), G
hutan. Tanah yang gembur dan subur Slamet menyimpan kekhasan tersendiri.
merupakan media yang baik bagi Salah satu yang menarik adalah
pertumbuhan benih atau biji. Spesies ditemukannya spesies rekrekan
mamalia herbivora seperti kijang muncak (Presbytis fredericae) yang merupakan
secara langsung mengontrol spesies kera pemakan daun yang
pertumbuhan populasi vegetasi bawah persebarannya terbatas mulai dari Jawa

131
Eko Sulistyadi

bagian barat sampai di G Slamet sebagai bentang alam (Smiet, 1992 dan Fischer,
batas paling timur. Hingga saat ini masih 2007) juga menggambarkan adanya
terjadi perdebatan di antara primatolog peningkatan kebutuhan lahan untuk
dan ahli taxonom mengenai perbedaan aktivitas manusia. Kondisi ini memerlu-
species dan subspesies antara rekrekan kan perhatian yang serius dari berbagai
yang ada di Jawa Tengah, surili yang ada pihak yang terkait dalam upaya menjaga
di Jawa Barat. Beberapa pendapat dan keletarian ekosistem G Slamet secara
penilaian sebelumnya menyatakan keseluruhan dengan tetap memperhatikan
bahwa Colobine yang terdapat di Jawa aspek kesejahteraan masyarakat sekitar.
Tengah adalah species tersendiri atau Upaya pemberdayaan masyarakat
dipisahkan dari Presbytis comata secara aktif sebagai salah satu bagian
(Brandon-Jones 1995). Di lain pihak dari upaya konservasi ekosistem hutan
Nijman (1997; 2001) dalam Setiawan dkk G Slamet hendaknya segera disosialisasi-
(2007) mengungkapkan bahwa beberapa kan dan dilaksanakan. Potensi
perbedaan tersebut merupakan variasi keanakaragaman hayati yang tinggi
intraspesifik yang sangat alami. Spesies sedapat mungkin dikembangkan sehingga
yang hidup pada daerah peralihan pada manfaatnya dapat dirasakan oleh
umumnya memiliki karakteristik khas masyarakat.
terkait aspek biologi dan ekologinya Dari hasil pengamatan dan
dengan demikian akan sangat penting wawancara, diperoleh informasi adanya
untuk menjaga kondisi khas hutan G kegiatan pemanfaatan sumber kekayaan
Slamet demi kelestarian spesies-spesies hayati yang bernilai ekonomis oleh
flora dan fauna yang ada. Sebagai salah penduduk baik itu tumbuhan maupun
satu upaya dalam menjaga kelestarian G hewan. Beberapa spesies tumbuhan
Slamet dan ekosistemnya maka ditebang dan dimanfaatkan untuk bahan
penetapan dan pengelolaan G Slamet bangunan dan furniture, beberapa spesies
sebagai sebuah kawasan konservasi hewan juga ditangkap untuk diperdagang-
adalah sebuah pilihan yang tepat dan lebih kan. Di beberapa tempat yang dilalui
berdasar dari aspek hukum. selama observasi ditemukan rumpun
Faktor aktivitas manusia baik dalam bambu, hal ini menunjukkan telah terjadi
bentuk penggunaan lahan untuk gangguan terhadap ekosistem. Untuk itu
pertanian/ perkebunan, perburuan satwa perlu dilakukan upaya perlindungan dan
liar, pencurian kayu dan lain-lain pelestarian sumber daya hayati yang ada
memberikan kontribusi terhadap disertai pengelolaan dan pemanfaatan
terganggunya habitat satwa liar. secara lestari. Penegakan hukum secara
Beberapa kajian sosial ekonomi dan lebih tegas dan juga pengawasan yang
atraksi wisata di G Slamet seperti yang lebih ketat sangat penting untuk dilakukan
dilakukan oleh Leo (2008) menunjukkan demi meminimalisir gangguan ekosistem
adanya keterkaitan yang erat antara akibat aktivitas menusia. Hal ini akan
aktivitas manusia dengan kondisi alam. lebih efektif jika melibatkan peran serta
Kajian tataguna lahan dan konservasi dari masyarakat.

132
Komunitas Mamalia Besar Gunung Slamet

DAFTAR PUSTAKA Indonesian Mountain Weasel


Mustela lutreolina and a newly
Brandon-Jones, D. 1995. Presbytis discovered specimen Small.
fredericae (Sody, 1930), an Carnivore Conservation 37: 1-5.
endangered colobine species Nijman, V. 2000. Geographic distribution
endemic to central Java, Indonesia. of ebony leaf monkey
Primate Conservation 16: 68-70. Trachypithecus auratus (E.
Fischer, J & D.B. Lindenmayer. 2007. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812)
Landscape Modification and (Mammalia: Primates: Cercopithe-
Habitat Fragmentation: a cidae). Contributions to Zoology
Synthesis. Global Ecology and 69 (3): 157-177.
Biogeograph 16: 265-280. Payne, J., C.M. Francise, and K.
Gunawan, A.P. Kartono & I. Maryanto. Phillipps, (diterjemahkan oleh S.N.
2008. Keanekaragaman Mamalia Kartikasari). 2000. Mamalia di
Besar Berdasarkan Ketinggian Kalimantan, Sabah, Serawak
Tempat di Taman Nasional Gunung dan Brunei Darussalam. WCS-
Ciremai. Jurnal Biologi Indonesia program. 386 hal.
Indonesia 4 (5): 321-325. Rustami dkk. 2005. Keanekaragaman
IUCN 2010. IUCN Red List of Suku Palem di Gunung Slamet
Threatened Species. Version Purwokerto, Jawa Tengah.
2010.4. <www.iucnredlist.org>. Laporan Teknik Bidang Botani
Downloaded on 10 March 2011. Pusat Penelitian Biologi LIPI tahun
Kartono, A.P., Gunawan, I. Maryanto & 2005. Hal: 573 – 580.
Suharjono. 2009. Hubungan Setiawan, A., Djuwantoko, A.W. Bintari,
Mamalia dengan Jenis Vegetasi di Y.W.C. Kusuma, S. Pudyatmoko
Taman Nasional Gunung Ciremai. & M. A. Imron. 2007. Populasi dan
Jurnal Biologi Indonesia 5 (3): Distribusi Rekrekan (Presbytis
279-294. fredericae ) di Lereng Selatan
Maharadatunkamsi & Maryati. 2008. Gunung Slamet Jawa Tengah.
Komunitas Mamalia Kecil Di Biodiversitas 8 (4): 305-308.
Berbagai Habitat Pada Jalur Apuy Suyanto, A.(editor D.M. Prawiradilaga).
dan Linggarjati Taman Nasional 2003. Mammals of Gunung
Gunung Ciremai. Jurnal Biologi Halimun National Park, West
Indonesia 4 (5): 309-320. Java. LIPI-JICA-PHKA Join
Maryanto, I., A.S. Achmadi, A.P. Project for Biodiversity
Kartono. 2008. Mamalia Conservation in Indonesia. viii +
Dilindungi Perundang-Unda- 138 p.
ngan Indonesia. Pusat Penelitian Suyanto, A. 1999. Pengelolaan koleksi
Biologi LIPI. (xvi + 240) hal. mamalia. In: Suhardjono, YR. (ed).
Meiri, S., J.W. Duckworth & Meijaard, Buku Pegangan Pengelolaan
E. 2007. Biogeography of Koleksi Spesimen Zoologi. Pusat

133
Eko Sulistyadi

Penelitian dan Pengambangan


Biologi – LIPI. Bogor. Hal 21-46.
Smiet, AC. 1992. Forest Ecology on Java:
Human Impact and Vegetation of
Montane Forest. Journal of
Tropical Ecology 8: 129-152.
www. kemenhut.go.id

134
Ekologi Gunung Slamet

Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet, Jawa Tengah

Wahyu Widodo
Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Jl Raya Jakarta-Bogor KM46 Cibinong16911

ABSTRACT

Bird Diversity at Slamet Mountain Forest, Central Java. The researches were done on May
2009, March 2010 and March 2011. The research used “Point Count” method. The results
showed that of 103 birds species observed in the southern slope of Mt. Slamet, 66 species
were found on nature forest and 48 species were discovrtrd on restricted product forest. From
74 species of birds observed in the eastern slopes of Mt. Slamet: 36 species were found in
nature forest and 14 species of birds were found in the restricted product forest. There is no
2
significant preference habitat of the birds (X =2.4, df =1, p>0.05). However, most of them
prefered to occur on nature forest for foraging and breeding. From vertical distibution point of
view, 105 spesies were significantly distribute on 0.1-5 m high of vegetation in the nature forest
2 2
in southern slope (X = 162.69, df = 6, p<0.01), 45 species were on 30.1-35 m or top canopies (X
= 19.08, df= 6, p<0.05), 49 species were found more frequently on 701-800 m high, and 36
2
species were on 2001-2100 m high significantly (X = 82.03, df=11, p<0.05).The high value of
Shannon and Simpson diversity index, evenness and species richness were found in the
southern slope on the nature forests, while its low value found in the eastern slope on the
restricted product forests. Ninety two species of birds found in this study survey are insect
feeder (insectivore), therefore the extinction of those birds species from Mt. Slamet forests
may inflict explotion of pest insects. There are 26 restricted-range birds’ species which actually
to establish in Mt. Slamet IBA’s, factually only 17 species were heard and seen directly.
However, Mt.Slamet forest is important to be conserved as one of 8’s Important Bird Area in
central Java Province.

Key words: Slamet mountain, species diversity, restricted-range bird, mountain forest,
habitat, important bird area (IBA).

PENDAHULUAN sebaran burung terbatas dan terbanyak


di Propinsi Jawa Tengah, oleh sebab itu
Gunung Slamet banyak terkandung wajar apabila G. Slamet ditetapkan
keragaman hayati dari fauna burung sebagai daerah penting bagi burung
yang spesifik, di lokasi tersebut dijumpai (DPB). Rombang & Rudyanto (1999)
ada 26 jenis burung dengan sebaran menyatakan bahwa suatu kawasan hutan
terbatas dan dapat dikategorikan dinyatakan sebagai DPB bila memenuhi
terancam punah (Stattersfield dkk. 1998). persyaratan, yaitu: 1. di dalam kawasan
Dari jumlah jenis burung yang ada di G. tersebut secara tetap atau berkala,
Slamet mengindikasikan sebagai daerah terdapat jenis burung yang secara global
yang memiliki jumlah jenis burung dengan terancam punah; 2. di dalam kawasan

135
Wahyu Widodo

tersebut secara tetap atau berkala, Slamet lereng selatan (Baturaden,


terdapat jenis burung yang memiliki Banyumas) di PLTA Dam Muntu yang
sebaran terbatas; sedangkan yang secara geografis terletak pada 07o18,745’
dimaksud burung sebaran terbatas adalah LS dan 109 o 12,651’ BT dengan
seluruh jenis burung darat yang dalam ketinggian tempat 714 m. Tipe habitat
sejarahnya memiliki luas penyebaran burung yang disurvei pertama adalah
berbiak kurang dari 50.000 km2 kawasan hutan alam (HA) 700–1200
(Sujatnika dkk. 1995). m.dpl. dengan dominasi tumbuhan adalah
Di Provinsi Jawa Tengah terdapat kayu pasang (Lithocarpus spp.),
delapan DPB dengan luas wilayah klengsar (Pometia pinnata), sumban
129.676,5 ha atau 3,47% dari total luas (Sterculia sp.) dan antap (Sterculia
daratan Jawa Tengah (Gunawan dkk. subpeltata). Di sela-sela tumbuhan
2010). Namun, saat ini kondisi hutan hutan terdapat pula berbagai jenis bambu
alam sebagai habitat satwa liar di Jawa dan pisang-pisangan hutan. Tipe habitat
Tengah telah terfragmentasi untuk burung kedua adalah hutan tanaman
berbagai kepentingan manusia. Secara produksi terbatas (HPT) dengan tanaman
total dari tahun 1990 - 2006 Propinsi Jawa utama berupa pohon damar (Agathis
Tengah telah kehilangan hutan alam lahan damara), yang dikembangkan oleh
kering seluas 446.561,09 ha atau 88% Perhutani KPH Banyumas Timur. Di
dan pada tahun 2006, hutan alam lahan sekitar lokasi HPT damar, tumbuh
kering yang tersisa 60.846,42 ha dalam tanaman sengon dan dadap yang dikelola
39 fragmen hutan atau menurun sebesar warga desa Kalipagu. Ketinggian tempat
46,6% (Gunawan dkk. 2010). tipe habitat kedua adalah antara 700-900
Dalam rangka pengelolaan jenis m.
burung sebaran terbatas dan terancam Penelitian burung pada Maret 2010
punah di G. Slamet, beberapa aspek dilakukan di lereng timur kawasan hutan
penelitian telah dilakukan di tahun 2009, pegunungan Slamet, wilayah Kab.
2010, dan 2011. Tulisan berikut Purbalingga, yaitu di lokasi jalur
membahas secara keseluruhan hasil pendakian lereng timur Gunung Slamet
penelitian dari daerah G. Slamet, terutama melalui Pos Bambangan. Lokasi tersebut
dari lereng selatan, termasuk wilayah secara administratif termasuk di dalam
Baturaden, Kab. Banyumas dan desa Kutabawa, Kec. Karangreja, Kab.
informasi tambahan dari lereng timur Purbalingga, Prop. Jawa Tengah (07o
sekitar jalur pendakian Bambangan dan 13,571’LS dan 109o 15,863’BT) pada
Daerah Aliran Sungai Tuntunggunung- ketinggian 1505 m.dpl. Penelitian di
Klawing (wilayah Kab. Purbalingga). lereng timur G. Slamet juga dilakukan di
hutan produksi Patrawisa, Banjarsari,
BAHAN DAN CARA KERJA Purbalingga (07o 15’ 20,8" - 07o 16’ 41,6"
LS dan 109o 22’ 33,3" - 109o 22’ 40"
Penelitian dilakukan dalam tiga BT) di ketinggian 200-300 m.dpl. pada
periode penelitian, yaitu Mei 2009 di G. Maret 2011.

136
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

Metode penelitian burung dilakukan kemerataan Shannon (J) mengikuti


dengan “Point Count” (Adhikerana formula Begon et al. (1990). Nilai
1997; Sutherland 1997; Bibby et al. kekayaan jenis burung (R) dihitung
2001dan Partasasmita dkk. 2009). mengikuti formula Ludwig & Reynolds
Metode ini dilakukan dengan menghitung (1988).
jumlah individu setiap jenis burung pada Kriteria yang dimaksudkan sebagai
titik-titik penghitungan di dua kawasan habitat burung dibedakan menjadi dua,
hutan, yaitu hutan alam dan hutan yaitu hutan alam (HA) dan hutan
tanaman produksi terbatas. Jumlah titik- produksi terbatas (HPT). Hutan alam
titik penghitungan burung di hutan alam adalah hutan yang tumbuh secara alami
Baturaden 60 titik dan di hutan alam tanpa adanya campur tangan manusia
Bambangan 16 titik. Jumlah titik-titik dan hutan produksi adalah hutan buatan
penghitungan burung di hutan produksi dimana pohon-pohon yang tumbuh
terbatas Baturaden 35 titik, dan di hutan sengaja ditanam oleh manusia dan atau
produksi terbatas Bambangan 20 titik. terdapat campur tangan manusia dan
Jarak/radius antar titik hitung rata-rata dikelola secara intensif (Arief 2001).
ditetapkan 25 m. Jenis burung yang Data hasil perhitungan yang
dijumpai pada setiap titik observasi diperoleh dalam penelitian digunakan
penghitungan dan berjarak 25 m dari untuk analisis statistik menggunakan uji
pengamat dicatat selama lima belas menit. Chi-Kuadrat mengacu Sugiyono (2003),
Pencatatan pada tiap titik penghitungan khususnya untuk mengetahui perbedaan
adalah nama jenis burung, jumlah pemilihan habitat, strata perjumpaan dan
individu, strata perjumpaan atau sebaran ditinjau dari ketinggian tempat
ketinggian tempat hinggap burung-burung di hutan alam dan hutan tanaman produksi
di pepohonan dan altitude/tinggi lokasi terbatas.
penelitian. Strata perjumpaan burung
diklasifikasikan ke dalam tujuh tingkatan, HASIL DAN PEMBAHASAN
yaitu I=0-5 m, II=5,1-10 m, III=10,1-15
m, IV=15,1-20 m, V=20,1-25 m, VI=25,1- Nilai Indeks Keragaman (H),
30 m dan VII=30,1-35 m. Teropong kemerataan (J) dan kekayaan jenis
binokuler 8x30 mm dan GPS Garmin 60i burung (R)
digunakan sebagai alat bantu dalam Hasil perhitungan nilai indeks
penelitian. keragaman, kemerataan dan kekayaan
Penelitian dilakukan selama 21 hari jenis burung di lereng selatan dan timur
(3 minggu), dengan rata-rata tiap pegunungan Slamet dapat dilihat pada
kunjungan efektif 7 hari. Data jumlah Tabel 1.
individu dan jumlah jenis burung pada tiap Secara keseluruhan proporsi jenis
habitat digunakan untuk penghitungan burung yang secara langsung dijumpai,
nilai kuantitatif, yang meliputi indeks baik pada habitat hutan alam maupun
keragaman Shannon (H), indeks hutan produksi di lereng selatan G.
keragaman Simpson (D), dan indeks Slamet, Baturaden, Banyumas adalah

137
Wahyu Widodo

103 jenis. Hasil ini menunjukkan jumlah tertinggi, yaitu 10,4. Sedangkan nilai
lebih banyak dibandingkan dengan di kekayaan jenis tergolong sedang terdapat
wilayah Bambangan, Purbalingga yang di hutan produksi Baturaden dan hutan
tercatat 74 jenis burung. Pada Tabel 1 alam Bambangan, yaitu masing-masing
terlihat secara rinci jumlah jenis burung R=7,76 dan R=6,19. Nilai kekayaan jenis
pada masing-masing habitat di lokasi burung terendah adalah R=2,72 pada
penelitian. Pada habitat hutan alam di habitat hutan produksi terbatas
lereng selatan G.Slamet terdapat 66 jenis Bambangan.
burung dan 48 jenis burung pada habitat Burung-burung di lokasi penelitian
hutan produksi terbatas. Selanjutnya, sebagian besar terlihat menyebar lebih
pada habitat hutan alam di lereng timur merata di habitat hutan alam daripada di
G.. Slamet tercatat 36 jenis burung dan hutan produksi terbatas. Hal ini terlihat
14 jenis burung pada habitat hutan dari nilai indeks kemerataan Shannon (J)
produksi terbatas. Hasil persamaan jenis di dua habitat tersebut. Di hutan alam
burung di dua tempat penelitian, Baturaden dan Bambangan ternyata nilai
menunjukkan bahwa nilai indeks J masing-masing adalah 0,87 dan 0,84,
kesamaan jenis burung (IS) di lereng hasil ini relatif lebih besar dibandingkan
selatan dan timur G. Slamet adalah dengan nilai kemerataan di hutan
55,3%. Selain itu, pada Tabel 1 produksi, yaitu 0,78 dan 0,79.
disampaikan nilai indeks keragaman
Shannon (H) tertinggi adalah 3,65 Pemilihan Tipe Habitat
terdapat pada habitat hutan alam Jumlah kehadiran jenis burung pada
Baturaden. Selanjutnya diikuti 3,09 dan masing-masing tipe habitat di lokasi
3,02, masing-masing di hutan alam penelitian (Tabel 2).
Bambangan dan hutan produksi Uji Chi-kuadrat menunjukkan bahwa
Baturaden. Nilai H terendah, yaitu 2,09 perbedaan jumlah jenis burung di habitat
terdapat pada habitat hutan produksi hutan alam dan di hutan tanaman
terbatas Bambangan. Dengan produksi terbatas tampak tidak signifikan
menggunakan indeks keragaman (X2=2,4, db=1, p>0,05). Walaupun, dari
Simpson (D), keragaman tertinggi juga Tabel 2 mengindikasikan bahwa sebagian
terdapat di hutan alam Baturaden, yaitu besar burung-burung di hutan G. Slamet
D=23,59. Selanjutnya berturut-turut nilai lereng selatan maupun lereng timur
D masing-masing 13,51 dan 12,19 di cenderung lebih banyak yang memilih
habitat hutan produksi Baturaden dan habitat hutan alam.
hutan alam Bambangan, dan nilai D Ditinjau dari pemanfaatan tipe
terendah di hutan produksi terbatas habitat di G. Slamet, 56-62% jenis burung
Bambangan, yaitu 6,52. dapat dijumpai menempati hutan alam,
Selain keragaman jenis burung di baik sebagai tempat untuk mencari pakan
hutan alam Baturaden tinggi, hasil maupun bersarang dan tempat istirahat.
penelitian menunjukkan bahwa nilai Di antara kelompok pemangsa, terlihat
kekayaan jenis burung (R) juga tergolong elang jawa (Spizaetus bartelsi), elang

138
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

brontok (Spizaetus cirrhatus) dan bido mystacalis, Dicaeum trigonostigma,


(Spilornis cheela). Jenis burung Zosterops palpebrosus dan Lonchura
pemangsa lain yang juga memilih hutan leucogastroides. Di antara hutan damar
alam adalah buwek/burung hantu (Otus terdapat sungai-sungai kecil dan burung-
bakkamoena). burung yang dapat dijumpai antara lain
Sementara itu di hutan tanaman jenis dari suku Alcedinidae, yaitu Alcedo
produksi terbatas cenderung dijumpai meninting, Halcyon chloris dan
lebih banyak jenis burung pemakan Halcyon cyanoventris. Di puncak
nektar. Hal ini dikarenakan di sekitar pohon damar juga terdapat jenis burung
hutan tanaman damar dan pinus, pada yang khas yaitu kuniran desa
saat pengamatan burung ditemukan pula (Pericrocotus flammeus). Masyarakat
bunga dadap (Erythrina sp.) dan sengon setempat mengatakan bahwa kepodang
(Albizzia falcataria) yang sedang kuning (Oriolus chinensis) kadang juga
berbunga. Jenis burung yang umum terlihat di hutan damar Baturaden, namun
dijumpai di hutan tanaman produksi pada akhir-akhir ini sudah jarang.
terbatas adalah Pycnonotus aurigaster, Sesungguhnya, kondisi asli G.Slamet
Streptopelia chinensis, Lanius schach, merupakan daerah sebaran kepodang
Aplonis minor, Orthotomus sutorius, ungu (Oriolus cruentus). Diduga
Cuculus (Cacomantis) merulinus, kepodang kuning merupakan jenis
Arachnothera longirostra, Aethopyga lepasan yang menempati habitat di hutan

Tabel 1. Nilai indeks keragaman, kemerataan dan kekayaan jenis burung di lokasi penelitian
LERENG S ELATAN LERENG TIMUR
Parameter yang
(Baturaden) (Bambangan)
dihitung
HA HPT HA HPT
N 505 428 286 118
S 66 48 36 14
D 23,59 13,51 12,19 6,52
H 3,65 3,02 3,09 2,09
J 0,87 0,78 0,84 0,79
R 10,4 7,76 6,19 2,72
Keterangan: N=total individu, S=total jenis, D=indeks keragaman Simpson, H=indeks keragaman
Shannon, J=indeks kemerataan Shannon, R=indeks kekayaan jenis Margalef. HA=hutan alam,
HPT=hutan produksi terbatas.

Tabel 2. Jumlah kehadiran jenis burung pada masing-masing tipe habitat di dua lokasi
penelitian
Jenis habitat
Lokasi Jumlah
Hutan Hutan
Baturaden 66 48 114
Bambangan 36 14 50
Jumlah 112 62 164

139
Wahyu Widodo

tanaman area Kebun Raya Baturaden. produksi pinus, puspa, kasia dan suren
Jenis lain yang termasuk jarang adalah ternyata tidak menunjukkan perbedaan
gaok (Corvus macrorhynchos). yang nyata (X 2=4,76, db=6, p>0.05),
Berdasarkan jenis burung sebaran Tampaknya, burung-burung di hutan
terbatas di hutan tanaman produksi tanaman produksi terbatas lereng timur
terbatas hanya ditemukan beberapa jenis, G.Slamet menyebar pada beberapa strata
seperti elang jawa dan ayam hutan hijau perjumpaan karena komoditi kayu yang
(Gallus varius). ditanam di lahan hutan produksi terbatas
relatif masih muda.
Stratifikasi Perjumpaan Kondisi di atas berbeda dengan di
Stratifikasi perjumpaan burung pada lereng selatan G. Slamet. Di hutan
tiap tingkatan tempat hinggap di pohon tanaman produksi lereng selatan G.
atau lantai hutan, yaitu dari 0-5 m hingga Slamet lebih dominan ditanami dengan
30,1-35 m atau lebih disajikan pada Tabel tanaman damar yang di tanam sejak
3. tahun 1970-an. Uji Chi-Kuadrat
Berdasarkan uji statistik dengan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
Chi-Kuadrat menunjukkan adanya signifikan pada 7 strata perjumpaan jenis
kecenderungan yang sangat signifikan burung di HPT lereng selatan G. Slamet/
(X2=57,93, db=6, p<0,01) di antara jenis jalur Baturaden (X 2 =19,08, db=6,
burung yang teramati pada tiap strata p<0,05). Perbedaan semakin terlihat di
perjumpaan di habitat hutan alam lereng habitat hutan alam lereng selatan gunung
timur G.Slamet/jalur Bambangan (Tabel yang dihitung dan diuji berdasarkan 7
3). Jumlah jenis burung di hutan alam G. strata perjumpaan mulai dari lantai hutan
Slamet lereng timur tersebut terbanyak hingga puncak kanopi (X2=162,69, db=6,
menempati strata I atau 0-5 m, yaitu 43 p<0,01). Kondisi hutan alam lereng
jenis dan di strata VII 30 jenis, 1-35 m selatan G.Slamet memang relatif masih
sebesar 42 jenis. Namun, frekuensi jenis lebat dibandingkan dengan kondisi hutan
burung yang dijumpai pada tiap strata di alam G. Slamet lereng timur. Frekuensi
lereng timur G. Slamet pada habitat hutan perjumpaan jenis burung di lereng selatan
Tabel 3. Stratifikasi frekuensi perjumpaan burung pada tiap tingkatan tempat hinggap di
pohon atau lantai hutan yang dijumpai di tiap lokasi penelitian

Keterangan: HA=hutan alam, HPT=hutan produksi terbatas

140
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

G. Slamet terbanyak dijumpai pada strata aktif mengikutinya. Selain itu juga aktif
bawah (I) atau 0-5 m, yaitu 105 jenis dan diikuti dengan sriang-sriang (Lophozos-
terbanyak kedua adalah pada strata II terops javanicus). Pada strata VII yaitu
atau 5,1-10 m, yaitu 45 jenis. Hal ini bagian atas atau top kanopi (30,1-35 m
mengindikasikan bahwa burung-burung atau lebih) ditempati oleh burung-burung
di lereng selatan G. Slamet cenderung kelompok Pycnonotidae, Dicaeidae,
memilih lapisan hutan bagian bawah. Cuculidae dan Nectariniidae; di antaranya
Burung-burung yang umum dijumpai adalah Ixos virescens, Dicaeum
di lereng selatan G. Slamet dalam trigonostigma, Dicaeum sanguinolen-
kategori strata bawah (I) adalah tum, Aethopyga mystacalis, Cuculus
kelompok Timaliidae, Turdidae dan saturatus, Cuculus merulinus,
Sylviidae. Di antaranya adalah Pteruthius flaviscapis, dan Aethopyga
Napothera epilepidota, Pnoeypyga singalensis. Burung-burung yang berada
pusila, Stachyris thoraica, Stachyris pada strata top kanopi lainnya, yang
melanothorax, Alcippe pyrrhoptera, hanya terdengar dari suaranya secara
Brachypteryx leucophrys, Cochoa keras dan terus menerus adalah jenis dari
azurea dan Orthotomus cucullatus. kelompok suku Capitonidae, yaitu
Selain itu juga dijumpai Criniger bres Megalaima armillaris dan Megalaima
(suku Pycnonotidae) dan Arachnothera corvina.
longirostra (suku Nectariniidae).
Burung-burung pada strata bawah dikenal Sebaran Berdasarkan Ketinggian
memiliki suara kicauan yang bagus dan Tempat
merupakan habitat utama sebagian besar Hasil pengamatan sebaran jenis
jenis burung-burung sebaran terbatas dan burung ditinjau berdasarkan ketinggian
terancam punah di pegunungan Slamet. tempat di lokasi penelitian secara rinci
Burung pada strata tengah, yaitu dari disajikan pada Tabel 4. Terlihat adanya
5,1 hingga 15 atau 20 meter, terlihat dalam perbedaan sangat nyata perjumpaan jenis
observasi terdiri atas beberapa flok burung ditinjau berdasarkan interval
campuran, yang mencari pakan bersama- ketinggian tempat . Di lereng selatan G.
sama. Di antaranya adalah kelompok Slamet (Baturaden) sebanyak 49 jenis
Siitidae, Muscicapidae dan Zosteropidae. burung cenderung memilih menempati
Dalam kategori ini, jenis burung sebaran ketinggian 701-800 m dan di lereng timur
terbatas di hutan alam teramati lebih G. Slamet (Bambangan) sebanyak 36
sering saling berasosiasi dengan jenis lain. jenis burung cenderung memilih
Kelompok Sittidae (Sitta azurea) menempati ketinggian 2001-2100 m. dpl.
mencari pakan serangga pada sepanjang (X2=82,03, db=11, p<0,01)
permukaan batang pohon, kemudian
serangga-serangga yang lolos dan Jenis Burung Sebaran Terbatas
terbang ditangkap oleh jenis burung Jenis burung sebaran terbatas di
sebaran terbatas dari kelompok burung lereng selatan dan lereng timur hutan
kipas (Rhipidura phoenicura) yang pegunungan Slamet disajikan pada Tabel

141
Wahyu Widodo

5. Hasil pengamatan di lereng selatan G. Slamet relatif lebih lebat dan terdiri atas
Slamet (Baturaden, Banyumas), dijumpai semak-semak dan pepohonan yang
17 jenis burung sebaran terbatas. Di tingginya bervariasi dari 0 hingga 35 m
lereng timur G.Slamet (Bambangan, atau lebih.
Purbalingga) hanya ditemukan 8 jenis Namun, di lereng selatan G. Slamet
burung sebaran terbatas. semakin naik ketinggian tempat
Nilai keragaman jenis burung di cenderung jumlah jenis burung semakin
lokasi penelitian menunjukkan berkurang (Tabel 4). Pada ketinggian
keragaman di hutan alam G.Slamet lereng 701-800 m dpl merupakan tempat
selatan termasuk lebih tinggi terbanyak dijumpai burung, yaitu 49 jenis.
dibandingkan dengan di lereng timur. Sedangkan di lereng timur G.Slamet
Hutan alam G. Slamet lereng selatan terlihat justru burung-burung lebih banyak
memiliki total jenis (S), indeks keragaman menyebar di lokasi hutan alam yang lebih
(H), dan indeks kekayaan jenis burung tinggi (2001-2100 m). Whitten et. al.
(R) relatif lebih tinggi, yaitu S=66, (1999) mengklasifikasikan ekosistem
H=3,65, dan R=10,4. Sementara itu, hutan pegunungan ke dalam empat
hutan alam G. Slamet lereng timur macam, yaitu: hutan dataran rendah (0-
memiliki nilai S=36, H=3,09 dan R=6,19. 1200 m. dpl), hutan pegunungan bawah
Jumlah jenis burung di kawasan lereng (1200-1800 m. dpl), hutan pegunungan
timur peg. Slamet tampak lebih sedikit, atas (1800-3000 m.dpl) dan hutan
ini kemungkinan disebabkan bentuk subalpin (>3000 m. dpl). Tingginya jumlah
stratifikasi tumbuhan yang kurang jenis burung di lereng selatan pada
beragam. Struktur dan stratifikasi ketinggian 701-800 m.dpl. dan di lereng
vegetasi lebih penting bagi burung timur pada ketinggian 2000-2100 m. dpl.
daripada komposisi jenis tumbuhan ada kemungkinan berkaitan dengan
(Krebs 1972). Berdasarkan pengamatan ketersediaan vegetasi/tumbuhan yang
kawasan hutan di lereng selatan G. mendukung sebagai tempat mencari
Tabel 4. Sebaran jenis burung ditinjau berdasarkan ketinggian tempat di lokasi penelitian
Ketinggian tempat Frek. perjumpaan
Lokasi
(m dpl.) jenis burung
Baturaden 601-700 36
701-800 49
801-900 32
901-1000 33
1001-1100 11
1101-1200 20
Bambangan 1501-1600 10
1601-1700 7
1701-1800 14
1801-1900 13
1901-2000 24
2001-2100 36

142
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

Tabel 5. Jenis burung sebaran terbatas yang dijumpai di lokasi penelitian

Baturaden/ Bambangan/
No. Nama Suku Nama Jenis
Lereng selatan Lereng
1 Accipitridae Spizaetus bartelsi + -
2 Capitonidae Megalaima corvina + -
3 Capitonidae Megalaima + -
4 Pycnonotidae Pycnonotus + +
5 Pycnonotidae Ixos virescens + +
6 Turdidae Enicurus velatus + -
7 Turdidae Cochoa azurea + -
8 Timaliidae Stachyris thoracica + -
9 Timaliidae Stachyris + +
10 Timaliidae Alcippe phyrroptera + +
11 Timaliidae Crocia albonotatus + -
12 Sylviidae Tesia superciliaris + +
13 Muscicapidae Rhipidura + +
14 Muscicapidae Rhipidura euryura + -
15 Aegithalidae Psaltria exilis + -
16 Nectariniidae Aethopyga eximia + +
17 Zosteropidae Lophozosterops + +
Keterangan: +=dijumpai; -=tidak dijumpai

pakan atau bersarang. Bagi burung, langka dan hanya pernah diketahui
ketersediaan makanan merupakan faktor beberapa ekor dari pegunungan. tertinggi
pembatas penyebaran yang lebih besar seperti Pangrango, Tengger, dan Yang
pengaruhnya daripada suhu, meskipun (MacKinnon 1990). Jenis burung sebaran
beberapa jenis dapat menempuh terbatas lainnya, seperti poksai kuda
perjalanan melalui habitat yang (Garrulax rufrifrons) juga tidak
tampaknya tidak ramah untuk mencapai terpantau langsung dalam penelitian. G.
tempat yang cocok (Whitten et.al. 1999). rufrifrons merupakan jenis burung
Di antara jenis burung sebaran berkicau yang bagus suaranya. Diduga
terbatas yang ditemukan di G. Slamet, populasinya memang sudah sangat sedikit
hanya 17 dari 26 jenis yang seharusnya atau terbatas karena frekuensi
menyebar di G. Slamet (Tabel 5). Tidak penangkapannya juga tinggi. Selain
dapat terpantaunya jenis burung sebaran endemik, G. rufrifrons hanya terdapat
terbatas yang lain mungkin disebabkan di pegunungan Jawa bagian barat dan G.
daerah jelajahnya amat spesifik yang Slamet merupakan daerah sebaran paling
pada saat penelitian tidak dapat timur (MacKinnon et.al. 1998), sehingga
terjangkau, seperti puyuh gonggong tidak ditemukan sampai ke daerah
(Arborophila javanica) dan kenari pegunungan di Jawa Timur. Sementara
melayu (Serinus estherae). Di Jawa, itu jenis burung sebaran terbatas lain yang
kenari melayu telah dikategorikan sangat juga tidak teramati langsung adalah

143
Wahyu Widodo

burung sepah gunung/kuniran gunung Crocias albonotatus (Rombang &


(Pericrocotus miniatus). Rudyanto 1999). Walaupun, tiga jenis di
P. miniatus masih dapat dijumpai di antaranya, yaitu Ducula lacernulata,
G. Kendeng, TN Gunung Halimun pada Caprimulgus puchellus, dan Garrulax
ketinggian 1000-1200 m (Prawiradilaga rufifrons tidak dijumpai secara langsung
et al. 2003). Akan tetapi, di kawasan G. dalam penelitian. Beberapa jenis burung
Papandayan populasinya terancam sebaran terbatas tersebut merupakan
akibat konversi habitat hutan sebagai jenis burung darat yang dalam sejarahnya
zona penyangga untuk persawahan dan memiliki luas penyebaran berbiak kurang
meningkatnya penggunaan racun hama dari 50.000 km2 (Sujatnika dkk. 1995).
(Sulistyawati dkk. 2006). Di sisi lain, tidak Menurut Sujatnika dkk. (1995), jenis
terpantaunya secara keseluruhan jenis burung dengan penyebaran kurang dari
burung sebaran terbatas karena pada saat luasan tersebut akan mengalami
pengamatan kondisi G. Slamet sedang ancaman yang relatif besar oleh
aktif dan telah dinyatakan dalam status menurunnya kualitas dan kuantitas
waspada. Pada malam hari, puncak G. habitat.
Slamet mengeluarkan asap tebal dan Walaupun secara statistik frekuensi
menyemburkan api dan suara gemuruh. perjumpaan jenis burung di habitat hutan
Sehingga, selama penelitian tidak dapat alam dan hutan produksi tidak
menjangkau seluruh kawasan hutan G. menunjukkan perbedaan yang signifikan,
Slamet. Diduga beberapa lokasi yang namun burung-burung tampak cenderung
tidak terkunjungi kemungkinan memilih habitat hutan alam sebagai
merupakan daerah sebaran lokal jenis tempat mencari pakan dan berkembang
burung sebaran terbatas di G. Slamet. biak di pegunungan Slamet. Pada saat
Walaupun demikian, hasil penelitian telah G. Slamet sedang aktif mengeluarkan
cukup menunjukkan bahwa G. Slamet lahar burung-burung teramati mengum-
merupakan daerah penting sebagai pul (49 jenis) di kawasan hutan alam pada
habitat jenis burung sebaran terbatas di ketinggian 701-800 m.dpl. Sementara itu,
Provinsi Jawa Tengah. berdasarkan penelitian habitat hutan alam
Dibandingkan dengan Pegunungan di lereng timur G. Slamet juga sudah
Dieng ternyata G. Slamet memiliki jumlah bergeser semakin ke atas, ke arah jalur
jenis burung sebaran terbatas lebih pendakian >2000 m. G. Slamet lereng
banyak, yaitu 78% (26 dari 33 jenis), timur, pada ketinggian 1500-2000 m. dpl.
sedangkan Pegunungan Dieng hanya dan di dataran rendahnya (200-300
70% atau 23 dari 33 jenis (Nijman & m.dpl.) sebagian besar hutan alam telah
Balen 1998). Beberapa jenis burung dimanfaatkan untuk berbagai
sebaran terbatas yang tidak terdapat di kepentingan manusia.
Dieng tapi dinyatakan ada di G. Slamet Pemanfaatan insektisida di area
adalah Ducula lacernulata, kebun-kebun sayur milik masyarakat di
Caprimulgus puchellus, Cochoa sekitar lokasi penelitian sudah terlalu
azurea, Garrulax rufifrons, dan intensif, sehingga berdampak terhadap

144
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

semakin sedikitnya kehadiran burung- yang kecil berbentuk runcing bila sudah
burung pemakan serangga. Jenis burung kering sulit dihancurkan oleh perombak,
sebaran terbatas yang datang ke habitat sehingga serangga yang hidup di antara
hutan produksi pun hanya tercatat dua tegakan pinus kurang. Selain itu, tanaman
jenis, yaitu Stachyris melanothorax dan pinus dalam proses menangkap
Stachyris thoracica. Hal ini disebabkan kelembaban memerangi jenis tumbuhan
jenis tumbuhan yang di tanam di HPT didekatnya dengan meluruhkan daun-
bukan sepenuhnya merupakan tanaman daun atau buah yang meracuni tanah bagi
yang menghasilkan bunga, buah, dan biji jenis lain (Mulyanto 2007).
yang dapat dijadikan sebagai sumber Penanaman jenis tanaman di hutan
pakan bagi burung. Jenis tumbuhan pada produksi seharusnya memberikan
hutan produksi terbatas adalah damar, kesempatan lebih besar kepada burung
pinus, puspa, kasia, dan suren relatif untuk datang, mencari pakan, bercumbu,
kurang mendukung untuk kehidupan jenis atau bersarang. Tanaman yang berbunga,
burung. Hal ini disebabkan jenis burung berbuah dan berbiji akan mengundang
sebaran terbatas memerlukan lapisan serangga dan hal itu akan menjadi sumber
bawah hutan yang relatif rapat, pakan bagi berbagai jenis burung.
sedangkan lapisan bawah hutan produksi Pemilihan jenis tanaman seperti sengon
umumnya lebih terbuka, sehingga kurang merupakan tumbuhan berbunga, tetapi hal
mendukung perlindungan, tempat itu kurang medukung keragaman jenis
bersarang maupun sumber pakan. burung lainnya. Bahkan, hasil penelitian
Keragaman jenis burung di hutan menunjukkan bahwa sebagian batang
produksi terbatas dengan tanaman utama pohon sengon di lereng timur G. Slamet
pinus relatif rendah, seperti yang terjadi (sekitar DAS Tungtunggunung-Klawing)
di lereng timur G. Slamet tercatat dihamai oleh serangga (kumbang) yang
sebanyak 14 jenis burung. Keragaman disebut bektor sengon atau Xystrocera
jenis burung yang rendah juga terjadi festiva (Husaeni 2010). Kerugian
pada habitat hutan pinus di luar daerah finansial akibat serangan bektor sengon
G. Slamet, yaitu di Enclave Arban Taman menurut Husaeni mencapai 3,8-10,6%
Nasional Gunung Ciremai, yang pada tanaman sengon yang berumur 4-8
bervariasi antara 14-17 jenis (Noerdjito tahun. Lebih lanjut Husaeni menyatakan
2009). bahwa kurangnya musuh alami pemakan
Noerdjito menegaskan bahwa kebun telur, larva, pupa, dan kumbang bektor
pinus tidak dapat mendukung sengon merupakan faktor penyebab
keanekaragaman jenis satwa sebaik serangan hama bektor sengon pada hutan
hutan alam sehingga kebun pinus di sengon. Menurut Husaeni (2010), salah
kawasan konservasi sebaiknya diubah satu musuh alami bektor sengon adalah
kembali menjadi hutan alam. Rendahnya semut merah. Berdasarkan hasil
jenis burung di hutan pinus mungkin penelitian penulis salah satu jenis burung
berkaitan dengan sifat batang kayu pohon predator telur, larva, dan pupa bektor
pinus yang keras, begitu pula daun pinus sengon yang menggerek batang sengon

145
Wahyu Widodo

adalah Picoides macei, kelompok suku Dicaeidae, dan Zosteropidae. Hilangnya


Picidae. Namun, burung-burung jenis burung pemakan serangga di
pemakan serangga di HPT tidak kawasan hutan G. Slamet dikawatirkan
melimpah seperti di habitat hutan alami. akan menimbulkan ledakan serangga
Hilangnya sebagian besar burung hama, seperti yang telah terjadi di
pemakan serangga di lokasi tersebut pertengahan tahun 2011, yaitu ledakan
terlihat dengan jelas bahwa secara ulat bulu di berbagai wilayah P. Jawa,
ekologi berpengaruh terhadap munculnya khususnya di Jawa Timur yang
hama serangga pada tanaman pohon berdampak merugikan petani mangga di
sengon yang dibudidayakan oleh Probolinggo dan sekitarnya.
masyarakat di Banjarsari (Purbalingga). Sementara itu, struktur tumbuhan
Bila ledakan hama serangga terjadi pada yang berlapis-lapis di hutan alam, terbagi
seluruh tanaman sengon di kawasan kedalam tujuh strata menunjukkan bahwa
HPT G. Slamet, maka pemanenan batang lapisan bawah/dekat lantai hutan dan
sengon untuk berbagai keperluan tidak lapisan paling atas/tajuk pohon dihuni oleh
akan diperoleh secara optimal. sebagian besar jenis burung. Jenis burung
Berdasarkan penelitian penulis di sebaran terbatas yang menghuni lapisan
lereng selatan dan timur G. Slamet bawah adalah Stachyris melanothorax
tercatat 126 jenis burung (termasuk yang dan Tesia superciliaris. S.melano-
ditemukan di kawasan hutan pinus thorax merupakan jenis sebaran terbatas
Banjarsari). Mengacu daftar jenis burung dengan keterwakilan terbesar di Daerah
yang disampaikan oleh Mackinnon Penting bagi Burung (DPB) di Jawa,
(1990), 74% dari 126 jenis atau 92 jenis karena jenis tersebut berada dalam 34
dari total jenis burung yang menghuni DPB. Lophozosterops javanicus dan
kawasan G. Slamet diklasifikasikan Rhipidura phoenicura merupakan jenis
sebagai pemakan serangga. Namun, sebaran terbatas yang berasosiasi dengan
sebagian besar jenis burung pemakan non jenis sebaran terbatas Sitta azurea
serangga tersebut lebih banyak dan menempati strata bawah hingga tajuk
ditemukan di habitat hutan alam. pohon. Hal ini terjadi ketika Sitta azurea
Kehadiran jenis burung pemakan mencari pakan serangga dengan
serangga tersebut sangat penting bagi mengelilingi permukaan batang pohon
pengendali serangga hama tanaman maka Lophozosterops javanicus dan
pertanian/perkebunan masyarakat. Jenis Rhipidura phoenicura akan mengikuti
burung pengendali serangga yang dan menangkap serangga-serangga yang
ditemukan di kawasan G. Slamet adalah terbang di sekitarnya. Beberapa jenis
dari suku Cuculidae, Apodidae, sebaran terbatas yang langka seperti
Trogonidae, Hirundinidae, Campephagi- elang jawa (Spizaetus bartelsi)
dae, Chloropseidae, Pycnonotidae, menyebar terbatas pada beberapa titik
Dicruridae, Aegithalidae, Sittidae, penghitungan di lereng selatan G. Slamet,
Timaliidae, Turdidae, Sylviidae, dan tidak terlihat di lereng timur G. Slamet.
Muscicapidae, Laniidae, Nectariniidae, Tampaknya, elang jawa lebih memilih

146
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

hutan alami dengan strata paling atas pendekatan yang bersifat komprehensif,
terdiri atas pepohonan besar dan tinggi menyeluruh, dan terpadu (Mitchell dkk.
seperti pohon antap (Sterculia 2007).
subpeltata), sumban (Sterculia sp.) dan
klengsar (Pamotia pinnata). Elang jawa KESIMPULAN
juga tercatat mencari mangsa di hutan
damar tua di sekitar Pancuran Tujuh. Secara statistik keragaman jenis
Kehadiran elang jawa di Pancuran Tujuh burung di habitat hutan alam dan hutan
sudah terjadi sejak 1990 hingga 1998. produksi terbatas G. Slamet tidak
Diduga elang jawa berkembang biak menunjukkan perbedaan yang signifikan,
dengan baik karena terlihat adanya namun burung-burung tampak cenderung
pasangan dan juvenil di G. Slamet (van lebih memilih habitat hutan alam sebagai
Balen 1999). tempat mencari pakan dan berkembang
Jumlah jenis burung sebaran biak.
terbatas di kawasan hutan pegunungan Nilai indeks keragaman Shannon
Slamet adalah tertinggi (26 jenis) untuk (H), keragaman Simpson (D) dan
wilayah Provinsi. Jawa Tengah, kekayaan jenis (R) tertinggi terdapat pada
walaupun teramati 17 jenis atau 65,45%. habitat hutan alam Baturaden, yaitu 3,65,
Di antaranya adalah jenis-jenis burung 23,59 dan 10,4. Nilai indeks keragaman
yang hidupnya secara terestrial dan Shannon (H), keragaman Simpson (D)
cenderung menempati strata lantai hutan. dan kekayaan jenis (R) terendah terdapat
Jenis-jenis tersebut adalah Cochoa pada habitat hutan produksi Bambangan,
azurea, Stachyris thoracica, Stachyris yaitu 2,09, 6,52, dan 2,72.
melanothorax, Alcippe pyrrhoptera, Burung-burung sebagian besar
Crocia albonotatus, dan Tesia menyebar pada ketinggian 700-800 m. dpl
superciliaris. Burung-burung sebaran di lereng selatan dan di lereng timur pada
terbatas secara keseluruhan tercatat ketinggian 2000-2100 m. dpl. dengan
sebagai pemakan serangga yang terdapat menempati strata bawah (0-5 m) dan
pada beberapa jenis tumbuhan asli di bagian tajuk pepohonan (30,1-35 m).
habitat hutan alam dan tidak ditemukan Tidak seluruh jenis burung sebaran
di hutan tanaman produksi, seperti damar terbatas ditemukan dalam penelitian, yaitu
dan sengon. Oleh sebab itu, pendekatan hanya 17 dari 26 jenis. Hal ini
ekosistem merupakan upaya terpadu menunjukkan bahwa pentingnya G.
untuk melindungi jenis-jenis burung Slamet untuk dikonservasi secara bijak
sebaran terbatas maupun burung sebagai salah satu daerah penting
pengendali serangga tersebut. Hal ini terbesar bagi burung sebaran terbatas di
perlu mendapat respon positif dari Jawa Tengah.
berbagai pihak, khususnya pemerintah
dan masyarakat setempat. Dalam
pengelolaan lingkungan, kepentingan
pendekatan ekosistem adalah pada

147
Wahyu Widodo

DAFTAR PUSTAKA MacKinnon, J, K. Philipps & van Balen.


B. 1998. Burung-burung di
Adhikerana, AS. 1997. Komunitas Sumatera, Jawa, Bali dan
Burung di delapan tipe habitat di Kalimantan. LIPI/BirdLife-
Pulau Siberut, Indonesia. Berita Indonesia Programme, Bogor.
Biologi. (4): 1-8. Mitchell, B., Setiawan, B. & Rahmi, DH.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. 2007. Pengelolaan Sumberdaya
Kanisius, Yogyakarta. dan Lingkungan. Gadjah Mada
Begon, M., Harper, JL. & CR. Townsend Univ. Press, Yogyakarta.
1990. Ecology (Individuals, Mulyanto, HR. 2007. Ilmu Lingkungan.
Populations and Communities). Graha Ilmu, Yogyakarta. Hal. 31.
2 nd Ed. Blackwell Scientific Nijman, V. & van Balen. B. 1998. A
Publications, Oxford. p. 615-619. Faunal survey of the Dieng
Bibby, CJ., ND. Burgess, DA. Hill & SH. Mountains, Central Java, Indonesia:
Mustoe. 2000. Bird Census distribution and conservation of
Techniques (2 nd Ed). Academic endemic primate taxa. Oryx. 32
Press, Tokyo. p 91-112. (2): 145-156.
Gunawan, H., LB. Prasetyo, A. Noerdjito, M. 2009. Keanekaragaman
Mardiastuti, & AP. Kartono. 2010. Burung di Enclave Arban Taman
Fragmentasi Hutan Alam Lahan Nasional Gunung Ciremai. Jurnal
Kering di Provinsi Jawa Tengah. Biologi Indonesia. 5(3): 269-278.
Penelitian Hutan dan Partasasmita, R., A. Mardiastuti, DD.
Konservasi Alam 7(1): 75-91. Solihin, R.Widjajakusuma, SN.
Husaeni, EA. 2010. Xystrocera festiva Prijono & K.Ueda. 2009.
Thoms. (Cerambycidae, Coleop- Komunitas Burung Pemakan Buah
tera): Biologi dan Pengendaliannya di Habitat Suksesi. Biosfera. 26(2):
pada Hutan Tanaman Sengon. IPB 90-99.
Press, Bogor. 5-40. Prawiradilaga, DM., S. Wijamukti & A.
Krebs, CJ. 1972. Ecology: The Marakarmah. 2003. A Photogra-
experimental analysis of phic Guide to the Birds of Javan
distribution and abundance. Montane Forest: Gunung Halimun
Times Printers Sdn. Bhd., National Park. Biodiversity
Singapura. p518. Conservation Project-LIPI, JICA-
Ludwig, JA. & JF. Reynolds. 1988. PHKA, Bogor.
Statistical Ecology: a primer on Rombang, WM. & Rudyanto. 1999.
methods and computing. John Daerah Penting bagi Burung di
Wiley & Sons, Inc. Canada. Jawa dan Bali. PKA/BirdLife
MacKinnon, J.1980. Panduan lapa- Internationa-Indonesia Program-
ngan pengenalan: Burung- me, Bogor.
burung di Jawa dan Bali.Gadjah Stattersfield, AJ., MJ. Crosby, AJ. Long,
Mada Univ. Press, Yogyakarta. & DC. Wege. 1998. Endemic Bird

148
Keragaman Jenis Burung Di Hutan Gunung Slamet,

Areas of The World: Priorities for Threats. Makalah disampaikan


Biodiversity Conservation. pada International Interdisiplinary
BirdLife International, Cambridge. Conference: Volcano International
Sugiyono. 2003. Statistik Non Gathering 2006, “1000 years
Parametris Untuk Penelitian. CV Merapi Paroxysmal Eruption”.
Alfabeta, Bandung. Volcano: Live, Prospeity and
Sujatnika, P. Jepson, TR. Suhartono, MJ. Harmony”. Yogyakarta Indonesia,
Crosby & A. Mardiastuti. 1995. September 7, 2006. www.sith.
Melestarikan Keanekaragaman itb.ac.id/propile/databuendah/
Hayati Indonesia: Pendekatan 8% 20 Sul i s t yawa ti -VIG. pd f.
Daerah Burung Endemik. Diakses 1-3-2011.
PHPA/BirdLife International- van Balen, B. 1999. Birds on fragmented
Indonesia Programme, Bogor. Hal.: islands persistence in the forests
18-20. of Java and Bali. Tropical
Sutherland, WJ. 1997. Ecological Resource Management Papers No
Census Techniques a handbook. 30. Wageningen University and
Cambridge Univ.Press, UK. p243- Research Centre, The Netherlands.
245. p100-101.
Sulistyawati, E., RM. Sungkar, Whitten, T., RE. Soeriatmadja & SA.
E.Maryani, M. Aribowo & Afiff. 1999. Ekologi Jawa dan
D.Rosleine. 2006. The Biodiversity Bali. Prenhallindo, Jakarta.
of Mount Papandayan and the

149
Wahyu Widodo

150
Ekologi Gunung Slamet

Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet, Jawa Tengah

Awal Riyanto & Wahyu Trilaksono


Lab. Herpetologi, Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya
Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: awal_lizards@yahoo.com

ABSTRACT

Herpetofauna Community at East Slope Slamet Mountain, Central Java. Mount Slamet with
an altitude of 3432 m above sea level is a water catchment area (water catchment area) and one
of the upstream watersheds to Serayu River (DAS). The study on herpetofaunal community in
different habitat types at water catchment area and upstream of DAS Serayu has been
conducted. The study was conducted on 2 until 9 March 2010 in water catchment area and
upstream on Bambangan, and 3 until 10 March 2011 on Tuntung Gunung upstream. As the
result, at least 35 species of herpetofauna have been recorded. The result of similarity
communities based on Sorensen index showed the highest degree of similarity was occurred
between water catchment area and upstream1 (52%). Based on habitat occupancy, two species
was recorded only in natural forest, e.i. Sphenomorphus cf temminckii and unidentified snake.
Based on Jackard index the 35 species of herpetofauna was clustered into 10 groups on point
0.7.

Key words: Serayu upstream watershed, water catchment area, herpetofaunal, community.

PENDAHULUAN menyebutkan bahwa pengetahuan


mengenai biodiversitas dan organisasi
Sebagaimana gunung lainnya, G. komunitasnya merupakan faktor pokok
Slamet (3.432 m dpl.) yang terletak di dalam mengembangkan kebijakan
Jawa Tengah juga mempunyai fungsi konservasi dan pengelolaan lingkungan
ekologi yang sangat penting dalam yang berkelanjutan termasuk di dalamnya
menyangga kehidupan di wilayah kawasan DAS. Khususnya bagi sumber
bawahnya, yaitu menyediakan dan daya yang terbatas, dibutuhkan
mengatur tata air bagi sebagian Daerah pengetahuan yang lengkap, seperti
Aliran Sungai (DAS) Serayu. sistematika, persebaran taksa dan
Pengelolaan managemen suatu DAS asosiasi antara spesies habitat.
dibutuhkan suatu rencana tata ruang Pengetahuan ini sangat diperlukan untuk
kawasan yang matang dan mantap menetapkan daerah yang harus
dengan pendekatan konseptual dikonservasi baik karena kandungan
bioregional. Namun, unsur sumberdaya sumberdaya alamnya, maupun untuk
alam sebagai salah satu bahan keperluan mitigasi bencana. Dari waktu
pertimbangan utama sering kali tidak ke waktu, herpetofauna telah digunakan
disertakan. Gillespie et al. (2005), sebagai indikator perubahan ekosistem

151
Riyanto & Trilaksono

hutan. Hal ini disebabkan karena dalam sehingga kanopi hutan relatif terbuka,
setiap ekosistem herpetofauna sinar matahari dapat langsung menyentuh
menempati posisi penting dalam rantai lantai hutan yang ditumbuhi rerumputan.
makanan, baik sebagai pemangsa Pengumpulan data dimulai dari titik
maupun mangsa (Howell 2002). 109O15’25.4" BT 07O13’36.1" LS pada
Sejalan dengan hal tersebut maka ketinggian 1.636 m dpl sampai titik
dipandang perlu untuk melakukan 109o14’51.0" BT 07o13’36.7" LS pada
penelitian herpetofauna di lereng timur ketinggian 1.962 m dpl, dan (3) lahan
G. Slamet. pertanian sayur, di lahan tidak terdapat
pepohonan sehingga juga tidak terdapat
BAHAN DAN CARA KERJA tajuk yang menghalangi sinar matahari
menggapai permukaan tanah. Sayur
Pengumpulan data dilakukan di tiga utama yang sedang ditanam adalah kol,
lokasi di Kab. Purbalingga, yaitu: (1) wortel, kentang, sawi, cabe dan buncis.
daerah jalur pendakian Bambangan, Penelitian dilakukan dari titik
Dusun Bambangan, Desa Kutabawa, 109o15’52.0" BT 07o13’33.8” LS pada
Kec. Karangreja, dilakukan pada tanggal ketinggian 1.496 m sampai titik
2-5 Maret 2010; (2) daerah hulu S. 109o14’51.0" BT 07o13’36.7” LS pada
Serang, Desa Serang, Kec. Karangreja, ketinggian 1.636 m dpl.
dilakukan pada tanggal 6-9 Maret 2010; Daerah hulu S. Serang berupa
dan (3) daerah S. Tuntunggunung, desa ekosistem sungai permanen, di tempat ini
Linggasari, Kec.Bobotsari, dilakukan air mengalir sepanjang tahun meskipun
pada tanggal 3-10 Maret 2011. saat kemarau debitnya sangat rendah.
Di jalur pendakian Bambangan Dasar sungai berupa batu dan pasir,
terdapat tiga tipe ekosistem, yaitu (1) dengan tepian sungai ditumbuhi semak
hutan alam, berupa hutan primer belukar. Sungai ini diapit oleh hutan
pegunungan. Di daerah ini tajuk pohon produksi terbatas dengan tanaman utama
saling bertaut sampai di batas lahan damar. Penelitian dilakukan di sekitar titik
penghijauan. Di tempat penelitian ini tidak 109o17’17.8 BT 07o14’41.2 LS pada
terdapat sungai permanen (sungai hanya ketinggian sekitar 1.122 m dpl.
berair pada waktu-waktu tertentu). Daerah hulu S. Tuntunggunung
Pengumpulan data di tempat ini dimulai berupa lahan persawahan, tegalan dan
dari titik 109o14’51.0" bujur timur (BT) semak belukar dengan sungai beralaskan
07o13’36.7" lintang selatan (LS) pada bebatuan dan pasir. Penelitian dilakukan
ketinggian 1.962 m dpl. sampai titik di sekitar titik 109 o 22’36.0" BT
109o14’33.9" BT 07o13’45.9"LS pada 07o15’00.3" LS .
ketinggian 2.199 m dpl; (2) hutan Pengumpulan data primer dilakukan
tanaman; lahan ini dipenuhi tanaman dengan teknik pencarian aktif
damar dan pinus yang relatif masih muda (opportunistic search) pada setiap tipe
dengan ketinggian berkisar antara 5 habitat diulang dua kali. Pencarian aktif
sampai 7 m. Tajuk pohon belum bertaut dilakukan siang hari dari pukul 08.00

152
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet

hingga 15.00 WIB, dan malam hari dari Tuntunggunung dan jalur Bambangan
pukul 19.00 hingga 24.00 WIB. karena tipe habitat pada kedua lokasi
Pencarian aktif dilakukan oleh dua orang tersebut lebih bervariasi dari pada tipe
yang menjelajah setiap tipe habitat. habitat di lokasi hulu S. Serang. Hasil ini
Identifikasi dan taksonomi kelompok bertentangan dengan yang ditemukan
amfibia mengikuti Kampen (1923), Riyanto (2010) pada sisi selatan G.
Manthey & Grossmann (1997), Iskandar Slamet, yang menunjukkan penurunan
(1998), dan Frost et al. (2006); kekayaan jenis seiring dengan makin
sedangkan kelompok reptilia mengacu terbukanya kanopi dan homogennya
pada de Rooij (1915, 1917), Muster vegetasi penyusun tipe habitat.
(1983), Iskandar (1994), Manthey & Perbedaan temuan ini mungkin lebih
Grossmann (1997), Iskandar & Kolijn disebabkan kawasan hutan alam dalam
(2001), dan Mausfeld et al. (2002). kajian ini (hutan alam jalur pendakian
Penentuan kekerabatan antar tipe Bambangan) sangat miskin air (mata air
habitat didasarkan pada data kehadiran terletak di wilayah bawah /kaki gunung),
dan data ketidakhadiran di setiap tipe sedangkan air justru melimpah pada
habitat, dan dihitung dengan indeks daerah hulu. Pada lokasi kajian Riyanto
kesamaan Jackard. (2010) yang dilakukan di wilayah
Ketenger-Baturaden kondisi air sangat
HASIL DAN PEMBAHASAN berlimpah baik di kawasan hutan alam
maupun habitat buatan (hutan tanaman
Hasil penelitian ditemukan 10 famili, industri terbatas dan sawah). Faktor
terdiri atas 35 spesies herpetofauna yang abiotik yang berupa air ini menyebabkan
terdiri dari 14 spesies amfibia dan 21 kondisi lingkungan menjadi lembab
spesies reptilia (Tabel 1). Dari 35 sehingga menguntungkan kebanyakan
spesies yang ditemukan terdapat 2 (dua) jenis herpetofauna di samping juga bagi
spesies endemik P. Jawa, yaitu kadal jenis yang berasosiasi langsung dengan
jawa Sphenomorphus puncticentralis air, seperti kelompok katak.
dan katak pohon jawa Rhacophorus Kelompok katak sangat membutuh-
margaritifer. Gambar beberapa spesies kan keberadaan air segar, hal ini
herpetofauna yang ditemukan disajikan disebabkan karena kelompok katak
pada Lampiran 1. mempunyai kulit yang sangat sensitif
Berdasarkan jumlah spesies yang terhadap air sehingga dengan mudah
ditemukan, daerah hulu S. Tuntung kehilangan cairan tubuh (Inger 2005).
gunung mempunyai kekayaan paling Selain itu, umumnya pembuahan
tinggi, sebanyak 20 spesies (57,1 %); dilakukan di luar tubuh dan betina tidak
diikuti oleh daerah jalur Bambangan dapat menyimpan sperma, sehingga
sebanyak 19 spesies (54,3 %), dan keberadaan air sangat dibutuhkan r untuk
terakhir daerah hulu S. Serang sebanyak terjadinya pembuahan. Oleh karena itu,
12 spesies (34,3 %). Tingginya sebagian besar spesies katak
kekayaan spesies di daerah hulu S. membutuhkan air untuk perkembangan

153
Riyanto & Trilaksono

embrio; sedangkan berudu umumnya Berdasarkan penggunaan tipe


bersifat akuatik, keberadaan air habitat, dalam penelitian ini ditemukan 1
diperlukan untuk perkembangan setelah (satu) spesies reptilia yang hanya dijumpai
telur menetas. dalam kawasan hutan alam jalur

Tabel 1. Daftar jenis herpetofauna yang dijumpai di lereng timur G Slamet.


Tipe habitat Lokasi pengamatan

Taksa yang dijumpai Tuntung


Bambangan Serang
HA HP AG HD CAM Gunung
(DTA) (Hulu 1)
(Hulu 2)
Amphibia

1. Bufonidae
1 Phrynoidis aspera (Gravenhorst, 0 0 0 0 √ 0 0 √
1829)
2 Duttaphrynus melanostictus 0 0 √ 0 0 √ 0 0
(Schneider, 1799)
2. Microhylidae
3 Microhyla achatina Tschudi, 1838 0 √ √ √ √ √ √ √
4 Microhyla palmipes Boulenger, 0 0 √ 0 0 √ 0 0
1897
3. Ranidae
5 Hylarana rufipes (Inger, Stuart and 0 0 0 0 √ 0 0 √
Iskandar, 2009)
6 Hylarana chalconota (Schlegel, 0 0 √ 0 √ √ 0 √
1837)
7 Rana hosii Boulenger, 1891 0 0 0 √ √ 0 √ √
4. Dicroglossidae
8 Limnonectes kuhlii (Tschudi, 1838) 0 0 0 √ √ 0 √ √
9 Fejervarya limnocharis 0 0 0 0 √ 0 0 √
(Gravenhorst, 1829)
10 Occidozyga sp. 0 0 0 0 √ 0 0 √
5. Rhacophoridae
11 Philautus aurifasciatus (Schlegel, √ √ √ √ 0 √ √ 0
1837)
12 Polypedates leucomystax 0 0 √ 0 0 √ 0 0
(Gravenhorst, 1829)
13 Rhacophorus margaritifer 0 √ √ √ 0 √ √ 0
(Schlegel, 1837)
14 Rhacophorus reinwardtii (Schlegel, 0 0 √ √ 0 √ √ 0
1840)
Reptilia
6. Agamidae
15 Bronchocela jubata Duméril & 0 0 √ √ √ √ √ √
Bibron, 1837
16 Draco volansLinnaeus, 1758 0 0 0 0 √ 0 0 √
17 Draco fimbriatusKuhl, 1820 0 0 0 0 √ 0 0 √
18 Draco haematopogon Boulenger, 0 0 0 √ 0 0 √ 0
1893
19 Gonocephalus kuhlii (Schlegel, 0 0 0 √ 0 √ √ 0
1848)
20 Pseudocalotes tympanistriga (Gray, 0 0 √ √ 0 √ √ 0
1831
7. Gekkonidae
21 Cyrtodactylus sp. 0 0 √ 0 √ √ 0 √
22 Gekko gecko (Linnaeus, 1758) 0 0 0 0 √ 0 0 √

154
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet

Tabel 1. Lanjutan
Tipe habitat Lokasi pengamatan

Taksa yang dijumpai Tuntung


Bambangan Serang
HA HP AG HD CAM Gunung
(DTA) (Hulu 1)
(Hulu 2)
8. Scincidae 0
23 Eutropis multifasciata (Kuhl, 1820) 0 0 √ √ √ √ √ √
24 Sphenomorphus cf temminckii √ 0 0 0 0 √ 0 0
25 Sphenomorphus puncticentralis 0 0 0 √ 0 0 √ 0
Iskandar, 1996
9. Colubridae
26 Calamaria schlegeli Duméril, 0 0 √ 0 0 √ 0 0
Bibron & Duméril, 1854
27 Calamaria sp. 0 √ 0 0 0 √ 0 0
28 Oligodon purpurascens(Schlegel, 0 0 √ 0 0 √ 0 0
1837)
29 Ular belum teridentifikasi. √ 0 0 0 0 √ 0 0
30 Ahaetulla prasina Boie, 1827 0 0 0 0 √ 0 0 √
31 Boiga drapiezii (Boie, 1827) 0 0 0 0 √ 0 0 √
32 Dendrelaphis pictus (Gmelin, 1879) 0 0 0 0 √ 0 0 √
33 Pareas carinatus (Boie, 1828) 0 0 0 0 √ 0 0 √
34 Rhabdophis sp. 0 0 0 0 √ √ 0 √
10. Elapidae
35 Bungarus candidus (Linnaeus, 0 0 0 0 √ 0 0 √
1758)
Jumlah Jenis 3 4 14 12 20 19 12 20

Keterangan: 0=tidak dijumpai, — dijumpai, HA=hutan alam, HP=hutan pinus muda (penghutanan
kembali), AG=agrikultur (palawija), HD=hutan tanaman damar, CAM=campuran persawahan,
tegalan dan belukar, dan DTA=daerah tangkapan air.
pendakian Bambangan, yaitu dendrogram tersebut, dengan mengacu
Sphenomorphus cf temminckii serta angka 0,70 sebagai patokan, maka jenis
satu spesies ular yang belum amfibia dan reptilia yang terungkap
teridentifikasi; dengan demikian dari 35 dalam penelitian ini terpisah menjadi 10
jenis herpetofauna yang terungkap dalam kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa
kajian ini, 33 jenis bersifat toleran dari 35 jenis herpetofauna yang
terhadap perubahan ekosistem akibat terungkap dari tiga tipe ekosistem
gangguan manusia. Berdasarkan data tersebut terkelompok berdasarkan
tersebut kemungkinan besar 33 jenis kesamaan faktor lingkungan yang ada
herpetofauna tersebut tidak akan baik biotik maupun abiotik.
terganggu kelestariannya apabila Untuk mengetahui tingkat kesamaan
ekosistem alaminya mendapat gangguan, antar dua komunitas dilakukan analisis
asalkan pakan serta tempat berdasarkan indeks Sorensen. Hasilnya
perlindungannya masih ada. menunjukkan bahwa kesamaan
Dendrogram pengelompokan komunitas tertinggi terjadi antara
spesies terhadap tipe ekosistem komunitas di Bambangan hulu S. Serang,
berdasarkan indeks kesamaan Jackard yaitu sebesar 52 %. Sedangkan antara
disajikan pada Gambar 1. Pada Bambangan dengan hulu S.

155
Riyanto & Trilaksono

Tuntunggunung dan antara hulu S. upaya untuk mempertahankan


Serang hulu S. Tuntunggungung keanekaragaman spesies di lereng timur
menunjukkan kesamaan 31%, (Tabel 2). G. Slamet beserta tipe habitatnya perlu
Hal ini menunjukkan bahwa komunitas dijaga kelestariannya.
di ketiga lokasi tidak sama; dan berarti Kelestarian herpetofauna pada
pula bahwa untuk mempertahankan masing-masing lokasi penelitian dapat
keanekaragaman spesies di G.Slamet dipertahankan dengan cara menghindari
ketiga lokasi beserta tipe habitatnya perlu pembalakan hutan, koversi hutan menjadi
dijaga kelestariannya. Oleh sebab itu lahan pertanian, meniadakan penamba-
dalam rangka menjaga kelestarian ngan batu dan pasir dan pengelolaan
herpetofauna di masing-masing lokasi pertanian yang ramah lingkungan.
tersebut perlu dihindari terjadinya
pembalakan di kawasan hutan, tidak UCAPAN TERIMAKASIH
dilakukan pembukaan ladang pertanian
baru, tidak dilakukan penambangan batu Penulis menyampaikan terima
dan pasir kali, dan menerapkan kasih kepada bapak Heryanto selaku
pengolahan pertanian yang ramah KSK “Kajian Ekologi untuk Mendukung
lingkungan (tanpa herbisida dan Program Manajemen Suatu Kawasan
pestisida). Bioregional (DAS) di Jawa” yang telah
memberikan arahan dalam penelitian ini.
KESIMPULAN Penghargaan juga ditujukan kepada
rekan-rekan tim DAS atas kerjasama
Di lereng timur G. Slamet telah selama di lapangan maupun di
ditemukan 35 spesies herpetofauna yang laboratorium. Penelitian ini dibiayai DIPA
terdapat di lima tipe habitat dan tiga lokasi Biologi LIPI tahun 2009 dan 2010.
penelitian. Di kawasan ini terungkap
adanya dua spesies reptilia yang hanya DAFTAR PUSTAKA
dijumpai dalam kawasan hutan alam,
yaitu Sphenomorphus cf temminckii dan Bloomberg, SB. & R. Shine. 1996.
ular yang belum teridentifikasi. Reptile. In: Sutherland, W.J. (Ed).
Kelestarian keduanya sangat tergantung Ecological Census Techniques a
pada keutuhan hutan. Handbook. Cambridge University
Komunitas herpetofauna di ketiga Press. Cambridge. 218-226.
lokasi penelitian tidak sama sehingga
Tabel 2. Nilai indeks kesamaan komunitas Sorensen antar tipe ekosistem yang diteliti

Keterangan: DTA-daerah tangkapan air.

156
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet

157
Riyanto & Trilaksono

Gillespie, G., S. Howard, D. Lockie, M. Archipelagos. E.J. Brill Ltd.


Scroggie & Boeadi. 2005. Leiden. (xii+304) hal.
Herpetofaunal Richness and Manthey, U. & W. Grossmann. 1997.
Community Structure of Offshore Amphibien and Reptilien Sudos-
Islands of Sulawesi, Indonesia. tasiens. Natur & Tier-Verlag,
Biotropica 37(2): 279–290. Berlin. 512 hal.
Frost, DR., T. Grant, JN. Faivovich, RH. Mausfeld, P., A. Schmitz, W. Bohme, B.
Bain, A. Haas, CFB. Haddad, RO. Misof, D. Vricradic & CFD.
De Sa’, A. Channing, M. Wilkinson, Rocha. 2002. Phylogenetic
SC. Donnellan, CJ. Raxworthy, JA. Affinities of Mabuya atlantica
Campbell, BL. Blotto, P. Moler, R. Schmidt, 1945, Endemic to the
Drewes, RA.Nussbaum, JD. Atlantic Ocean Archipelago of
Lynch, DM. Green & WC. Whee- Fernando de Noronha (Brazil):
ler. 2006. The Amphibian Tree of Necessity of Partitioning the Genus
Life. Bulletin of the American Mabuya Fritzinger, 1826
Museum of Natural History. 297: (Scincidae: Lygosoma). Zoologis-
1-371. cher Anzeiger 241: 281-293.
Howell, K. 2002. Amphibians and Musters, CJM. 1983. Taxonomy of the
reptiles: the herptiles. In Davies, genus Draco L. (Agamidae,
G and Hoffmann, M (Eds.). lacertilia, Reptilia). Zoologische
African Forest Biodiversity: a field Verhandelingen 199: 1-121.
survey manual for vertebrates. Riyanto, A. 2010. kekayaan spesies,
Earthwatch Institute. 17-39. struktur komunitas herpetofauna
Iskandar, DT. 1994. New Species Lizard dan Potensi bagi sektor ekowisata
of the Genus Sphenomorphus di Selatan Kaki GununG.Slamet,
(Reptilia, Scincidae), from Java. Jawa Tengah: Kawasan Kete-
Treubia. 31 (1): 25-30. nger-Baturraden. Biosfera 27 (2):
Iskandar, DT. 1998. The Amphibians 60-67.
of Java and Bali. Research and Rooij, N.de. 1915. The Reptiles of The
Development Centre for Biology- Indo Australian Archipelago I
LIPI-GEF-Biodiversity Collection (Lacertilia, Chelonia, Emydo-
Project. Bogor. (xx+117) hal. sauria). E.I. Brill. Ltd. Leiden.
Iskandar, DT. & E. Colijn. 2001. A (xiv+384) hal.
Checklist of Southeast Asian and Rooij, N.de. 1917. The Reptiles of The
New Guinean Reptiles. Part I. Indo Australian Archipelago I
Serpentes. BCP (LIPI, JICA. (Ophidia). E.I. Brill. Ltd. Leiden.
PHPA), The Gibbon Foundation (xiv+334) hal.
and Institute Technology of
Bandung. Bandung. 195 hal.
Kampen, P.N.van. 1923. The Amphi-
bians of the Indo-Australian

158
Komunitas Herpetofauna di Lereng Timur Gunung Slamet

Lampiran 1. Beberapa profil herpetofauna yang dijumpai di daerah tangkapan air hulu S
Serayu yang berasal dari sisi timur G Slamet.

159
Riyanto & Trilaksono

160
Ekologi Gunung Slamet

Sumber Daya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan


Gunung Slamet Serta Pengelolaannya

Haryono
Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi - LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta
Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: ikharyono@yahoo.com

ABSTRACT

The species richness of fish in Indonesia is very high, with a variety of potential spread across
a wide range of habitats; one of them is in the region of Slamet Mountain. This study aims to
determine species diversity, potential, and other aspects related to fish in the region of Slamet
Mountain, especially in the watershed of Serayu, Purbalingga. This study has been found 11
fish families comprising 16 species. Cyprinidae is the most dominant family with four members
of the species. Based on its potentiality it is recorded 9 species (56.25%) as an ornamental fish,
6 species (37.5%) as a food and a species (6.25%) could potentially double. Benter fish
(Puntius binotatus) is the most abundant and widespread. The results of this study can be
utilized as a basis for the development and management.

Keywords: fish, diversity, potential, watershed, Slamet Mountain.

PENDAHULUAN ikan hias, dan ikan berpotensi ganda (baik


sebagai ikan hias maupun ikan
Tingkat keanekaragaman spesies konsumsi). DKP (2009) menyebutkan
ikan di Indonesia dikategorikan sangat bahwa ikan merupakan sumber protein
tinggi di dunia. karena jumlah spesies hewani, lemak, vitamin, dan mineral yang
ikan yang terdapat di perairan Indonesia, sangat baik dan prospektif. Jika
baik laut maupun tawar mencapai 8.500 dibandingkan dengan produk lain, protein
spesies. Kottelat et al. (1993) ikan memiliki komposisi asam amino yang
melaporkan bahwa ikan air tawar di lengkap dan mudah dicerna.
Indonesia bagian barat dan Sulawesi Wirjoatmodjo (1988) menyebutkan
berjumlah sekitar 900 spesies, sedangkan pemanfaatan ikan untuk konsumsi protein
Allen (1991) menambahkan di Papua sudah berlangsung lama tetapi sebagai
tercatat 329 spesies. Nelson (1994) ikan hias di akuarium serta bahan ekspor
menyebutkan ikan yang telah diperkirakan baru berkembang pesat
teridentifikasi secara benar di dunia dalam 50 tahun terakhir. Namun, upaya
sebanyak 24.618 spesies; dan Indonesia pemanfaatan berbagai spesies ikan
diperkirakan memiliki sekitar 35% di secara bijaksana belum banyak dilakukan
antaranya. sehingga banyak spesies ikan
Berdasarkan potensinya, ikan dikhawatirkan terancam punah.
dikelompokkan sebagai ikan konsumsi, Ancaman kepunahan diperkirakan

161
Haryono

bertambah karena kerusakan lingkungan. Purbalingga Jawa Tengah (Gambar 1).


Salah satu kawasan yang dinilai penting Penelitian dilakukan pada musim hujan
bagi kehidupan ikan tetapi memiliki dengan intensitas tinggi pada bulan Maret
ancaman kepunahan yang cukup tinggi 2010.
adalah Sungai Serayu yang beberapa Untuk mempermudah pengumpulan
mata airnya terletak di G. Slamet. data, telah ditetapkan 13 stasiun di 8 anak
Kajian yang disampaikan di bawah sungai. Masing-masing koordinat
ini merupakan hasil penelitian yang stasiun, ketinggian, beserta nama Desa
diharapkan dapat: (1) Mengungkap dan kecamatannya (seluruhnya masuk
keanekaragaman spesies ikan di perairan wilayah Kabupaten Purbalingga)
DAS Serayu kawasan G. Slamet; (2) disajikan dalam Tabel 1 dan Gambar 2.
Mengetahui populasi, sebaran lokal, Data diambil dari hasil penangkapan
status spesies, dan potensi spesies- ikan di setiap stasiun, kemudian
spesies ikan yang ditemukan; (3) dilengkapi dengan wawancara. Teknik
Tersedianya informasi mengenai tipe pencuplikan adalah catch per unit effort
habitat dan fauna ikan yang ditemukan; (satuan tangkap) menggunakan alat
(4) Mengungkap kegiatan sektor tangkap elektrofishing dengan
perikanan dan upaya pengelolaannya di sumberdaya accu 12 volt 10 ampere yang
kawasan G. Slamet. dioperasikan selama 1 jam sepanjang +
100 m. Spesimen ikan yang diperoleh
BAHAN DAN CARA KERJA diawetkan dalam larutan formalin 5-10%
(5% untuk ikan kecil dan 10% untuk ikan
Penelitian dilakukan di perairan besar). Pada spesimen yang memiliki
kawasan G. Slamet khususnya DAS panjang total lebih dari 10 cm proses
Serayu yang secara administratif pengawetan ditambah dengan menyuntik
termasuk ke dalam wilayah Kabupaten formalin 40% di bagian-bagian yang

Tabel 1. Lokasi penelitian ikan di kawasan G Slamet


Stasiun Perairan dan Wilayah Desa & Kecamatan Posisi Lintang dan Ketinggian
St.1 S. Lembarang, Mangunegara - Mrebet. 07o 20.243 S, 109 o21.340 E, 143 m
St.2 S.Serang; Serang - Karangreja 07o 14.580 S, 109 o17.247 E, 1.107 m
St.3 S. Rejasa; Serang - Karangreja 07o 14.958 S, 109 o18.330 E, 1.043 m
St.4 S. Soso; Sangkanayu - Karangreja 07o 15.692 S, 109 o18.887 E, 758 m
St.5 S. Wangi; Bojong – Mrebet 07o 18.437 S, 109 o20.473 E, 255 m
St.6 S. Tingen; Binangun – Mrebet 07o 17.686 S, 109 o18.627 E, 419 m
St.7 S. Lembarang; Bumisari – Bojongsari 07o 18.157 S, 109 o18.465 E, 381 m
St.8 S. Klawing Hulu; Tlahap Kidul – Karangreja 07o 15.970 S, 109 o20.606 S, 379 m
St.9 S. Klawing Tengah; Dagan – Karangreja 07o 16.488 S, 109 o21.209 E, 283 m
St.10 S. Lutung; Bumisari – Bojongsari 07o 17.684 S, 109 o17.663 E, 484 m
St.11 S. Lembarang; Cipaku – Mrebet 07o 18.723 S, 109 o19.056 E, 324 m
St.12 S. Soso Hilir; Karang Duren – Bobotsari 07o 18.179 S, 109 o21.294 E, 178 m
St.13 S. Klawing Hilir; Banjarsari – Bobotsari 07o 18.244 S, 109 o22.946 E, 140 m

162
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

relatif mudah membusuk. Selanjutnya disimpan di dalam larutan alkohol 70%.


spesimen diberi label yang berisi catatan Setelah diidentifikasi dan diberi
mengenai lokasi dan tanggal keterangan lengkap spesimen tersebut
ditangkapnya, nama kolektor, dan menjadi koleksi. Identifikasi dilakukan
keterangan lain yang dianggap perlu. di Laboratorium Ikan, Bidang Zoologi-
Dilakukan juga pengukuran Puslit Biologi-LIPI Cibinong dengan
parameter fisika-kimiawi perairan mengacu pada buku tulisan Axelrods et
meliputi suhu air, keasaman (pH), al (1993), Roberts (1989; 1993), Kottelat
kecepatan arus (kuat: < 5 detik/3 meter; et al (1993), Inger & Chin (1990), Mohsin
sedang: 5-10 dt/3 m; lambat: > 10 dt/3 & Ambak (1983), Weber & Beaufort
m), warna air, dan substrat (lapisan di (1916), Eschmeyer (1998), dan beberapa
dasar perairan), serta keadaan literatur terkait lainnya.
lingkungan di sekitar perairan. Data yang diperoleh kemudian
Di laboratorium, spesimen ikan dianalisis terkait kelimpahan, sebaran/
direndam dan dicuci dengan air mengalir distribusi lokal, dan beberapa indeks
selama 3 - 4 jam; untuk selanjutnya terkait dengan rumus-rumus berikut:

Gambar 1. Sungai Klawing, salah satu lokasi penelitian di kawasan G. Slamet

Gambar 2. Peta dan stasiun penelitian di kawasan G. Slamet

163
Haryono

·Kelimpahan spesies, dengan rumus Kelimpahan dan Sebaran Lokal


K = Ni/N.St, Spesies ikan yang paling melimpah
dimana Ni adalah jumlah individu di lokasi penelitian adalah benter
spesies ke-i, dan N.St adalah jumlah (Puntius binotatus) sebesar 6,75 ind./
stasiun yang dijumpai spesies ke-i. St., diikuti uceng (Nemacheilus
·Distribusi lokal, dengan rumus fasciatus) 5,50 ind./St., sili (Macrogna-
D = n.St/N.St x 100%, thus maculatus) 5,00 ind./St., sisik melik
dimana n.St adalah jumlah stasiun (Aplocheilus panchax) 4,50 ind./St., dan
yang dijumpai spesies ke-i, dan N.St kehkel (Glyptothorax platypogon)
adalah jumlah stasiun keseluruhan. sebesar 4,00 ind./St. Sedangkan spesies
·Indeks keanekaragaman Shannon yang kelimpahannya rendah adalah pelus
indeks kekayaan spesies Margalef dan (Anguilla cf. marmorata.), tawes
indeks kemerataan Pielou (Odum 1971), (Barbonymus gonionotus), lele
digunakan dalam analisis data. (Clarias batrachus), dan nyoho
(Sicyopterus cyanocephalus) yang
HASIL DAN PEMBAHASAN masing-masing sebesar 1 ind./St. (Tabel
1; Gambar 3).
Keanekaragaman Spesies Spesies ikan yang mempunyai
Dari hasil penangkapan diketahui sebaran lokal paling luas adalah benter
bahwa di daerah penelitian terdapat 11 (Puntius binotatus), uceng (Nemachei-
famili ikan yang terdiri atas 16 spesies lus fasciatus), dan gabus (Channa
(Tabel 2, Lampiran 1). Famili yang paling striata), masing-masing sebesar 61,54%;
dominan adalah Cyprinidae dengan diikuti lunjar (Rasbora lateristriata)
anggota 4 spesies, diikuti Poeceillidae dan 53,85% dan melem (Osteochilus
Channidae masing-masing dengan 2 hasseltii) 38,46% (Tabel 1 dan Gambar
spesies; sedangkan famili lainnya terdiri 4); sedangkan yang distribusinya terbatas
atas 1 anggota spesies. adalah pelus, tawes, lele, jolong, nyoho,
Dalam penelitian ini, stasiun (St) dan sili masing-masing sebesar 7,69%.
yang paling beragam spesies ikannya
adalah St. 12, sedangkan di St.2, St.3 dan Status dan Potensi Spesies
St.6 sama sekali tidak diperoleh ikan; Sebagian besar spesies ikan yang
dengan demikian jumlah ikan pada ditemukan berstatus umum (common
masing-masing stasiun berkisar antara 0 species), dan terdapat dua spesies ikan
– 8 spesies. Berdasarkan wawancara introduksi. Melalui hasil wawancara
dengan penduduk setempat diperoleh setidaknya masih ada 12 spesies ikan
keterangan bahwa di lokasi penelitian yang belum berhasil dikoleksi; di
setidaknya masih terdapat 12 spesies ikan antaranya merupakan ikan hasil
yang belum tertangkap (Tabel 2). introduksi, yaitu braskap (Ctenophary-
ngodon idellus), mas (Cyprinus
carpio), lele dumbo (Clarias gariepi-
nus), nila (Oreochromis niloticus),

164
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

165
Haryono

Tabel 2. Spesies-spesies ikan yang tercatat di DAS Serayu kawasan G Slamet

mujair (Oreochromis mossambicus), dan sama sekali. Fauna akuatik yang


bawal air tawar (Collosoma teramati di habitat tersebut hanyalah
macropomum). cacing dan katak dengan populasi yang
Berdasarkan potensinya, spesies- sangat rendah.
spesies ikan yang terdapat di DAS Pada penelitian ini telah dilakukan
Serayu dapat dikelompokkan menjadi pengamatan di delapan badan air, baik
tiga, yaitu sebagai ikan konsumsi sungai maupun anak sungai, dengan
sebanyak 6 spesies (37,5%), ikan hias 9 ketinggian tempat antara 140 - 1.107 m.
spesies (56,25%), dan sisanya berpotensi Tipe habitat di lokasi penelitian
ganda baik sebagai ikan konsumsi merupakan kombinasi antara riam dan
maupun ikan hias, 1 spesies (6,25%). lubuk. Sebagian besar lingkungan di
sekitar sungai adalah areal pertanian
Keadaan Habitat berupa kebun sayur dan persawahan.
Hasil pengamatan menunjukkan Selain itu terdapat perkebunan pinus dan
bahwa beberapa sungai yang diteliti damar yang dikelola oleh PT. Perhutani
termasuk ke dalam sungai mati, yaitu pada ketinggian lebih dari 750 m; di bagian
keberadaan airnya sangat tergantung batang sungai tersebut tidak ditemukan
pada air hujan. Bila tidak ada hujan ikan.
beberapa hari saja sungai tersebut akan Hasil pengukuran kualitas air di
segera surut dan bahkan tidak lokasi penelitian, menunjukkan suhu air
mengalirkan air. Tipe habitat seperti ini 19–29 oC, pH= 5-7, kandungan oksigen
dapat dijumpai pada St.2 (S.Serang), St.3 terlarut > 5 ppm, kejernihan air umumnya
(S. Rejasa), dan St.6 (S Tingen) sehingga tinggi, kecepatan arus air tergolong
dalam kegiatan ini tidak ditemukan ikan lambat sampai sedang, dasar perairan

166
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

8
7
6
5
4
3
2
1
0

Jenis Ikan Predominan

Gambar 3. Kelimpahan spesies-spesies ikan predominan

Gambar 4. Spesies ikan dengan sebaran lokal yang luas

bebatuan dengan substrat kombinasi masing-masing sebesar 71%, dan kisaran


antara pasir dan kerikil (Tabel 4). kesamaan spesies antara 0-86% (Tabel
6).
Perbandingan Antar Stasiun G. Slamet merupakan kawasan yang
Hasil analisis terhadap indeks terkait penting dalam menunjang keberadaan
antar stasiun mencakup indeks sumber daya ikan karena di kawasan ini
keanekaragaman spesies berkisar antara banyak terdapat anak sungai yang
0,000–1,888, indeks kekayaan spesies menjadi bagian dari DAS Serayu, salah
antara 0,000–2,175; dan indeks satunya adalah Sungai Klawing yang
kemerataan antara 0,000 – 0,932 (Tabel memanjang di wilayah Kabupaten
5). Purbalingga. Keanekaragaman ikan yang
Hasil analisis terhadap tingkat ditemukan pada penelitian ini hanya 16
kesamaan antar dua stasiun (indeks spesies. Hal ini disebabkan lokasi yang
Sorensen) menunjukkan bahwa dua diteliti adalah bagian hulu sungai dengan
stasiun yang paling tinggi kesamaan kondisi habitat yang ekstrim sehingga
spesiesnya adalah St.10 dengan St.11 hanya jenis ikan tertentu yang bisa hidup.
sebesar 86%, diikuti St.8 dengan St, 12 Menurut Kottelat et al. (1993) secara
sebesar 77%; St.1 dengan St.5, St.1 umum, pada ekosistem sungai akan
dengan St.13, St.5 dengan St.13 yang terbentuk pola distribusi meningkat, pada

167
Haryono

bagian hulu tingkat keanekaragaman mas, braskap, lele dumbo, bawal, nila dan
spesiesnya rendah dan semakin ke hilir mujair. Keenamnya merupakan ikan
akan semakin meningkat karena tipe introduksi yang didatangkan dari luar
habitat dan substratnya semakin negeri yang dapat bersifat invasif
bervariasi. Selanjutnya, Rachmatika terhadap spesies asli (native species).
(2003) melaporkan keanekaragaman Padahal tiga spesies ikan asli (tambra,
ikan pada beberapa hulu sungai di baceman dan brek) sangat prospektif
kawasan Taman Nasional Gunung dikembangkan sebagai ikan budidaya
Halimun berkisar antara 2-18 spesies, karena ukuran tubuhnya bisa besar dan
dengan demikian dapat dikatakan bahwa dagingnya tebal. Oleh karena itu perlu
komunitas ikan di lokasi penelitian masih dilakukan kajian lebih lanjut terutama yang
dalam kondisi yang normal. mengarah pada upaya domestikasi
Hasil wawancara dengan penduduk sehingga ketiga spesies tersebut dapat
menunjukkan bahwa masih terdapat dibudidayakan oleh masyarakat luas
sekitar 12 spesies ikan yang belum Di daerah ini diinformasikan terdapat
berhasil ditangkap (Tabel 2). Jika spesies 3 spesies tambra. Di duga spesies-
yang belum tertangkap juga ditambahkan spesies tersebut adalah Tor tambroides,
ke dalam daftar maka jumlah spesies T. soro, dan T. douronensis yang
yang terdapat di wilayah tersebut didasarkan pada ada tidaknya cuping pada
sebanyak 28 spesies. Enam spesies di bibir bawah, bentuk, dan warna tubuh.
antaranya merupakan ikan yang sudah Dilaporkan bahwa ketiganya dapat
umum dibudidayakan oleh penduduk, yaitu mencapai berat 8 kg, dan masih sering

Tabel 4. Kisaran beberapa parameter fisik-kimia pada perairan di kawasan Gunung Slamet

Parameter Kisaran
Suhu(oC) 19-29
pH 5-7
Oksigen terlarut (ppm) 5,2 -7,8
Kecepatan arus (detik/3 m) 5 - 10
Dasar perairan batuan
Substrat Kerikil dan pasir
Warna air jernih
Tabel 5. Hasil analisa indeks keanekaragaman spesies (H), indeks kekayaan spesies (d) dan
indeks kemerataan (E)
STASIUN
Indeks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jumlah 7 0 0 3 7 0 5 6 3 3 4 8 7
spesies
H 1.484 0 0 0.908 1.689 0 1.353 1.669 0.943 0.892 1.029 1.888 1.813

d 1.842 0 0 0.834 2.038 0 1.214 1.406 0.869 0.758 1.137 2.175 1.914

E 0.763 0 0 0.826 0.868 0 0.841 0.932 0.859 0.812 0.742 0.908 0.932

168
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

Tabel 6. Kesamaan spesies antar dua stasiun (dalam %) di kawasan G Slamet


Stasiun
Stasiun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2 0
3 0 0
4 40 0 0
5 71 0 0 40
6 0 0 0 0 0
7 50 0 0 50 50 0
8 62 0 0 44 62 0 55
9 60 0 0 33 60 0 25 44
10 60 0 0 33 60 0 50 67 67
11 55 0 0 57 55 0 67 60 57 86
12 53 0 0 18 40 0 46 29 18 16 17
13 71 0 0 40 71 0 50 77 60 60 55 53

tertangkap di lubuk S. Klawing. Ikan tercatat maka di kawasan G. Slamet lebih


tambra dan brek tidak dapat hidup di air tinggi daripada Wonosobo.
yang tercemar. Oleh karena itu, Di antara famili ikan yang
keduanya dapat dijadikan petunjuk ditemukan, famili Cyprinidae memiliki
keadaan suatu perairan; jika suatu anggota spesies yang paling banyak. Hal
perairan masih dihuni oleh kedua spesies ini sejalan dengan pendapat Kottelat et
tersebut menunjukkan bahwa perairan al. (1993) yang menyatakan bahwa
tersebut masih baik. Sebagian penduduk Cyprinidae merupakan famili yang
di sekitar S.Klawing juga telah sangat besar dan tersebar hampir di
memelihara kedua spesies ikan ini di seluruh dunia, kecuali Australia dan
kolam (Gambar 5). Madagaskar. Kecenderungan seperti ini
Berdasarkan jumlah spesies ikan terjadi pula di sejumlah lokasi lainnya.
yang tertangkap dapat dikatakan bahwa Haryono (2002) melaporkan bahwa di
keragaman spesies ikan di DAS Serayu perairan TN Kayan Mentarang -
kawasan G. Slamet hampir sama dengan Kalimantan Timur ditemukan 23 spesies
bagian hulu utamanya, yaitu kawasan ikan Cyprinidae dari 45 spesies ikan di
Peg Dieng. Hadisusanto dkk. (2000) kawasan tersebut. Begitu pula dengan
melaporkan hasil penelitian tentang laporan Haryono & Tjakrawidjaja
jumlah spesies ikan di hulu S. Serayu di (2010), bahwa komunitas ikan di
Wonosobo sebanyak 15 spesies. Namun beberapa perairan di Jawa Timur juga
jumlah spesies ikan yang berhasil tercatat didominasi oleh Cyprinidae dengan 13
secara keseluruhan di perairan kawasan spesies dari 51 spesies ikan keseluruhan.
G. Slamet mencapai 28 spesies (Tabel 2 Pembandingan hasil antar stasiun,
dan Tabel 3); berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa di tiga stasiun sama
keanekaragaman ikan di kedua kawasan sekali tidak ditemukan ikan, yaitu pada
tersebut adalah hampir sama, namun bila stasiun St.2 (S.Serang), St.3 (S. Rejasa),
ditambahkan spesies introduksi yang dan St.6 (S. Tingen). Sementara itu yang

169
Haryono

paling tinggi jumlah spesiesnya adalah beradaptasi dan berkembang biak dengan
St.12 dengan delapan spesies. Tingginya baik pada habitat sungai di lokasi
jumlah spesies ikan pada St.12 (S. Soso) penelitian. Hal ini sejalan dengan
diduga karena stasiun tersebut letaknya Hadisusanto dkk. (2000) yang
sudah termasuk bagian hilir pada melaporkan bahwa terdapat dua spesies
ketinggian 178 m dan tipe habitatnya lebih ikan yang predominan di hulu sungai
bervariasi. Dengan demikian mempunyai Serayu, satu di antaranya adalah benter.
daya dukung yang lebih tinggi bagi Berdasarkan statusnya, spesies-
kehidupan ikan (Gambar 6). spesies ikan yang ada di perairan
Sebaliknya, tidak adanya fauna ikan kawasan G. Slamet adalah spesies umum
di ketiga stasiun tersebut diduga karena (common species) karena mempunyai
kondisi habitatnya yang sangat ekstrim, sebaran geografi yang cukup luas. Di
di antaranya ketinggian tempat dari antara spesies-spesies ikan yang berhasil
permukaan laut masing-masing 1.107 m, ditangkap terdapat dua spesies introduksi
1.043 m, dan 419 m. Selain itu, suhu air dari luar perairan Indonesia, yaitu
di ketiga stasiun tersebut berkisar antara Poecillia reticulata dan Xiphophorus
19-22oC. Padahal, suhu yang optimal helleri (Gambar 7). Kottelat et al.
untuk mendukung kehidupan ikan (1993) menyebutkan bahwa kedua
umumnya antara 25–30 o C (KPPL spesies tersebut berasal dari Amerika
1992). Namun, faktor yang diduga paling Selatan dan terintroduksi sebagai ikan
berpengaruh terhadap ketidakberadaan hias.
ikan di ketiga stasiun tersebut adalah Dua spesies ikan yang terdapat di
ketersediaan air yang hanya ada ketika kawasan tersebut dan merupakan ikan
hujan dengan tingkat siltasi/endapan budi daya, yaitu braskap dan mas
yang tinggi. memiliki sebaran asli geografi dari Cina
Hasil analisis tentang kelimpahan dan telah lama didatangkan untuk
dan sebaran lokal spesies-spesies ikan kepentingan budidaya. Tiga spesies
yang terdapat di DAS Serayu kawasan lainnya juga merupakan ikan budi daya
G. Slamet sangat bervariasi. Kelimpahan yang berasal dari perairan Afrika (lele
ikan berkisar antara 1 – 6,75 ind/St. dan dumbo, nila, dan mujair). Sedangkan
sebaran lokal antara 7,69 – 61,54% bawal air tawar yang berasal dari
(Tabel 1). Benter dan uceng merupakan perairan Amerika Selatan saat ini sudah
spesies predominan dengan kelimpahan banyak dibudidayakan oleh masyarakat.
yang tinggi dan sekaligus memiliki Spesies bawal ini sebenarnya cukup
sebaran lokal yang luas karena dijumpai berbahaya karena masih satu famili
pada setiap stasiun yang ada ikannya. dengan ikan piranha (Serrasalmidae)
Sebaliknya, ikan gabus memiliki sebaran yang telah dikenal sebagai ikan pemangsa
yang luas (61,54%) namun tingkat yang ganas.
kelimpahannya relatif rendah, yaitu hanya Berdasarkan potensinya, sebagian
3,88 ind./St. Melimpahnya ikan benter besar spesies yang tertangkap sangat
diduga karena spesies ini dapat potensial untuk dikembangkan menjadi

170
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

Gambar 5. Kolam dan ikan brek yang dipelihara oleh penduduk setempat

Gambar 6. Sungai Soso di bagian hilir (St. 12)

Gambar 7. Dua spesies ikan introduksi (Poecillia reticulata dan Xiphophorus helleri)

ikan hias. Sebaliknya dari 12 spesies dibudidayakan antara lain: melem


yang tercatat melalui wawancara dan (Osteochilus hasseltii) dan tawes
pengamatan langsung di lapangan lebih (Barbonymus gonionotus). Mengingat
banyak berpotensi menjadi ikan konsumsi sebagian besar spesies ikan yang
untuk memenuhi kebutuhan protein terdapat di lokasi penelitian cenderung
hewani yaitu sebanyak 9 spesies (90%), berpotensi sebagai ikan hias maka perlu
7 spesies di antaranya sudah umum dilakukan kajian lebih lanjut agar dapat
dibudidayakan. Spesies ikan asli dari dimanfaatkan secara optimal.
perairan Indonesia yang terdapat di Untuk perbandingan antar stasiun
kawasan G. Slamet dan sudah berhasil dapat dibedakan berdasarkan kebera-

171
Haryono

daan airnya. Secara umum sungai dapat ketinggian tempat dengan tingkat
dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) sungai keanekaragaman spesies ikan yang ada
permanen merupakan sungai yang selalu di dalamnya. Berdasarkan indeks
berair sepanjang tahun; (2) sungai keanekaragaman spesies, St.12 juga
intermiten (intermittent) merupakan paling tinggi sebesar 1,888; diikuti St.13
sungai yang berair di musim hujan dan sebesar 1,813; sedangkan yang paling
mengering di musim kemarau; (3) rendah adalah St. 2, St. 3, dan St.6
sungai episodik (episodic) merupakan sebesar 0,000 karena memang sama
sungai yang hanya berair sewaktu hujan sekali tidak ditemukan spesies ikan
saja. Dengan demikian ketiga sungai yang (Tabel 5).
tidak ada ikannya karena hanya ada air Dari hasil analisis indeks kesamaan
ketika hujan, yaitu S. Serang (St. 2), S. dapat diketahui bahwa pada St.10 dan
Rejasa (St. 3), dan S. Tingen (St. 6) St.11 mempunyai jumlah spesies yang
termasuk ke dalam kelompok sungai relatif sedikit (empat spesies) namun tiga
episodik. spesies di antaranya terdapat di kedua
Pada Tabel 1 tampak bahwa stasiun stasiun sehingga mempunyai indeks
yang paling tinggi jumlah spesiesnya kesamaan yang lebih tinggi dibandingkan
adalah St. 12 (S. Soso hilir) sebanyak 8 stasiun lainnya. Sebaliknya terdapat tiga
spesies, diikuti St.1 (S. Lembarang hilir), stasiun yang sama sekali tidak dihuni
St. 5 (S. Wangi), dan St.13 (S. Klawing oleh ikan sehinggga indeks kesamaan
hilir) masing-masing 7 spesies. Hal ini spesiesnya adalah 0 (St.2, St.3 dan St.6)
disebabkan karena St. 12 merupakan (Tabel 5). Kondisi habitat ikan di perairan
bagian hilir dari S. Soso yang letaknya DAS Serayu kawasan G Slamet dapat
pada ketinggian 140 m dengan tipe habitat dikategorikan sebagai sungai pegunungan
yang lebih beragam. Begitu pula dengan yang ditandai oleh arus yang deras, dasar
tiga stasiun berikutnya letaknya juga perairan batuan berdiameter besar, suhu
pada kisaran 140-255 m. Dengan rendah, substrat kerikil dan pasir,
demikian tampak adanya korelasi antara kandungan oksigen terlarut yang tinggi,

Gambar 8. Papan larangan menangkap ikan dengan alat tangkap merusak

172
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

serta umumnya memiliki warna air yang sumberdaya ikan di perairan umum dan
jernih. Kisaran kualitas air di lokasi menunjang kegiatan perikanan tangkap
penelitian secara umum masih layak bagi oleh masyarakat, Dinas Perikanan
kehidupan ikan baik untuk pertumbuhan setempat telah melakukan penebaran
maupun perkembangbiakan. bibit ke sungai-sungai tertentu. Salah satu
Kegiatan perikanan yang telah sungai yang telah dilakukan penebaran
dilakukan oleh masyarakat di DAS adalah S. Klawing bagian hulu. Spesies
Serayu kawasan G. Slamet mencakup ikan yang ditebar adalah melem
perikanan budi daya dan tangkap. Untuk (Osteochilus hasselti) yang jumlahnya
perikanan budi daya umumnya dilakukan sekitar 40 ribu ekor. Untuk menjaga agar
pada kolam-kolam di pekarangan. benih yang ditebar dapat tumbuh dan
Spesies ikan yang dibudidayakan pada berkembang biak dengan baik telah
kolam di atas antara lain ikan gurami dibentuk Kelompok Masyarakat
(Osphronemus gouramy), mas Pengawas (= Pokmaswas). Hasil
(Cyprinus carpio), nila (Oreochromis pengamatan secara visual tampak bahwa
niloticus), bawal air tawar (Collosoma ikan melem banyak terdapat di S.
macropomum), dan lele dumbo (Clarias Klawing yang mengindikasikan
gariepinus). Kegiatan budi daya keberhasilan dari program tersebut. Oleh
tersebut umumnya dilakukan secara semi karena itu, keberadaan Pokmaswas ini
intensif karena masih menggantungkan perlu terus dibina dalam rangka
pakan alami. Hasil wawancara dengan pengelolaan dan konservasi sumber daya
masyarakat diinformasikan bahwa Dinas ikan di kawasan tersebut.
Perikanan setempat juga telah Keberadaan ikan di DAS Serayu
memberikan bantuan pengembangan budi khususnya S. Klawing diinformasikan
daya ikan dengan membangun kolam telah mengalami keterancaman
beserta penyediaan benih ikannya. berdasarkan penelitian yang dilakukan
Selain perikanan budi daya, di sekitar sejak tahun 2000. Salah satu spesies ikan
G. Slamet juga banyak dilakukan kegiatan tersebut adalah sili (Mastacembelus sp.)
perikanan tangkap di perairan umum bahwa dalam satu stasiun hanya
khususnya sungai. Alat tangkap yang ditemukan tidak lebih dari 10 ekor
digunakan dan diijinkan hanya yang (http:sain.kompas.com, 2010). Namun,
tradisional, yaitu pancing, jala, dan bubu. dari hasil pengamatan pada bulan Maret
Salah satu lokasi yang menjadi tempat 2011, ikan sili di sungai Klawing relatif
tujuan mencari ikan oleh masyarakat melimpah di St.2 dan St.3 Desa
setempat adalah Sungai Klawing hilir. Banjarsari yang ditandai oleh banyaknya
Spesies-spesies ikan yang sering individu yang tertangkap. Dalam waktu
tertangkap adalah melem (Osteochilus kurang dari 30 menit pada panjang sungai
hasselti), brek (Barbonymus sekitar 100 m diperoleh lebih dari 15 ekor
balleroides), baceman (Hemibagrus menggunakan elektrofishing dengan accu
nemurus), dan gabus (Channa striata). 12 volt 10 amper. Selanjutnya
Untuk meningkatkan ketersediaan Suryaningsih & Hadisusanto (2009)

173
Haryono

mengusulkan bahwa ikan brek (Puntius penggunaan panti benih untuk


orphoides) merupakan salah satu ikan memproduksi ikan asli.
asli dari S. Klawing yang perlu 2. Memelihara dan memperbaiki produksi
didomestikasi. Keberadaan kedua ikan asli secara alami, dan
spesies ikan tersebut dengan kelimpahan memperhatikan kapasitas produksi
yang meningkat menandakan bahwa maksimal di habitat alaminya.
kondisi komunitas ikan di S. Klawing 3. Perlu memperhatikan aspek ekologi,
sudah mulai pulih. Hal ini sangat ekonomi, dan keuntungan masyarakat
dimungkinkan karena pengawasan setempat.
terhadap teknik penangkapan dengan alat Untuk melestarikan sumberdaya ikan
yang merusak (setrum, racun, dan bahan di kawasan Gunung Slamet masih harus
peledak) sangat ketat dan sangsinya berat terus diupayakan oleh semua pihak
berupa penjara 6 tahun dan denda 1,2 terkait dengan mengacu ketiga point di
miliar rupiah (Gambar 8). atas.
Konservasi sumber daya ikan Secara umum, kegiatan konservasi
adalah upaya perlindungan, pelestarian dapat dilakukan di habitat aslinya (in-situ)
dan pemanfaatan sumber daya ikan, dan di luar habitatnya (ex-situ). Dalam
termasuk ekosistem, spesies, dan genetik pelaksanaan pengelolaan sumberdaya
untuk menjamin keberadaan, ikan di habitat aslinya (in-situ) di
ketersediaan, dan kesinambungannya kawasan G Slamet dapat dilakukan
dengan tetap memelihara dan dengan beberapa cara, diantaranya:
meningkatkan kualitas nilai dan 1.Pengaturan ukuran mata jaring baik
keanekaragaman sumber daya ikan (PP pukat maupun jala yang digunakan
No. 60 Tahun 2007). Beberapa pola untuk menangkap ikan;
seperti community based resources 2.Pengaturan batas ukuran ikan yang
management (CBRM) dan co- boleh ditangkap agar dapat
management yang dikembangkan dari memberikan kesempatan untuk
model tradisional (kearifan lokal seperti melakukan reproduksi;
hak ulayat) telah banyak diacu untuk 3.Pembatasan musim akan memberikan
mengembangkan pola pengelolaan peluang pada ikan untuk melakukan
sumber daya yang bersifat partisipatif pemijahan yang umumnya terjadi pada
(Caddy & Cochrane, 2001; Frid 2005). awal musim hujan;
Kebijakan untuk melestarikan sumber 4.Kontrol terhadap daerah penangkapan
daya ikan asli dapat dilakukan melalui tiga karena ikan dalam siklus hidupnya,
hal, yaitu: banyak yang melakukan ruaya
1. Mencegah penurunan spesies ikan asli pemijahan ke daerah hulu sungai
dengan menjaga proses ekologi di (spawning migration) dan anakannya
habitat aslinya, konservasi sumber akan menuju hilir untuk mencari makan
genetik, pengelolaan perikanan ikan (feeding migration);
konsumsi dan non konsumsi dan 5.Pengawasan dan penegakan aturan
terhadap penggunaan alat tangkap

174
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

yang merusak berupa setrum, racun, konsumsi 37.5%, dan 6,25% berpotensi
dan bahan peledak/bom; ganda baik sebagai ikan konsumsi
6. Restoking benih ikan ke habitat aslinya maupun ikan hias. Ikan benter (Puntius
dari hasil pembenihan (panti benih); binotatus) paling melimpah dengan
7.Perbaikan habitat ikan untuk jumlah 6,75 ind./st dan tersebar luas
mendukung berlangsungnya proses sebanyak 61,54%.
pertumbuhan dan perkembangbiakan Sumberdaya ikan pada DAS Serayu
ikan. kawasan G Slamet banyak yang
Satu hal yang tidak kalah pentingnya berpotensi sebagai ikan hias namun masih
agar program pengelolaan/ konservasi diperlukan kajian lebih lanjut sebagai
sumber daya ikan dapat berhasil dengan dasar pengembangannya. Selain itu,
baik adalah kerjasama dan saling keberadaan pokmaswas yang sudah
pengertian di antara para pemangku berperan dalam upaya pelestarian ikan
kepentingan (Dinas Perikanan, di DAS Serayu kawasan G. Slamet
masyarakat, dan LSM). Dalam masih perlu dibekali pengetahuan baik
pelaksanaannya, di DAS Serayu dapat mengenai potensi sumber daya ikan
dimulai dengan pengawasan dan maupun peraturan terkait.
penegakan aturan terhadap penggunaan Dalam merumuskan strategi
alat tangkap yang merusak, pengaturan pengelolaan sumber daya ikan G. Slamet
ukuran mata jaring, dan upaya secara menyeluruh perlu dilengkapi
domestikasi ikan asli untuk penyediaan informasi dari DAS lain yang terdapat di
benih (budi daya dan restoking). kawasan tersebut. Oleh karena itu,
semua stakeholder (Pemda, pemerintah
KESIMPULAN DAN SARAN pusat, LSM) perlu duduk bersama dalam
rangka menghimpun semua informasi dan
Di DAS Serayu kawasan G Slamet menyepakati program yang akan
terdapat 16 spesies ikan dari 11 famili. dikerjakan.
Cyprinidae merupakan famili yang paling
dominan dengan anggota 4 spesies; DAFTAR PUSTAKA
secara keseluruhan di lokasi penelitian
tercatat 28 spesies. Stasiun 12 (S. Soso) Allen, GR. 1991. Field Guide of the
memiliki tingkat keanekaragaman ikan Freshwater Fishes of New
paling tinggi yang diikuti oleh St.13 (S. Guinea. Christensen Research
Klawing). Terdapat dua spesies indikator Institute, Madang, PNG. 268
lingkungan yang positif, yaitu ikan brek Axelrod, HR., Burges, WE. Ammens,
(Barbonymus balleroides) dan tambra C.W. & Hunziker. 1993. 7 th
(Tor spp.); dua spesies ikan introduksi, Edition. Atlas of Freswater
yaitu Poeciliia reticulata dan Aquarium Fishes. Mini edition.
Xiphophorus helleri. Berdasarkan TFH Publications, INC. 1115 hal.
potensinya sebagian besar merupakan ADB. 2002. Policy on fisheries: the issue:
ikan hias sebanyak yaitu 56,25%, ikan challenges and opportunities. http:/

175
Haryono

/www.adb.org. Diakses 6 Juni Inger, RF. & CP. Kong 1962. The fresh
2010 water fishes of North Borneo.
Caddy, JF. & KL.Cochrane. 2001. A Fieldiana Zoology (45). Chicago
review of fisheries management Natural History Museum, Chicago.
past and present and some future 312 hal.
perspectives for the third KPPL. 1992. Booklet masalah
millennium. Ocean & Coastal perkotaan dan lingkungan.
Management 44: 653–682 Kantor Pengkajian Perkotaan dan
DKP [Departemen Kelautan dan Lingkungan (KPPL) DKI Jakarta.
Perikanan]. 2009. Kebijakan dan 62 hal.
strategi konservasi sumberdaya Kottelat, M., AJ. Whitten, SN.
ikan dan lingkungannya di Kartikasari & S. Wirjoatmodjo.
perairan daratan Ditjen 1993. Freshwater Fishes of
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Western Indonesia and
Kecil, DKP. Jakarta. 216 hal. Sulawesi. Periplus Editions
Eschmeyer, WN. 1998. Catalog of Limited. 291 + 84 plates.
Fishes Vol. 1-3. California Kompas.com. 2010. Ikan sili nyaris
Academy of Sciences, San punah. http://sains.kompas.com/.
Fransisco. Hlm. 2905 hal. Diakses tanggal 8 Maret 2011.
Frid, C., O. Paramor & C. Scott. 2005. Mohsin, AKM. & MA. Ambak. 1983.
Ecosystem-based fisheries Freshwater fishes of Peninsular
management:progress in the NE Malaysia. Penerbit Universiti
Atlantic. Marine Policy. 29: 461– Pertanian Malaysia. (xvii + 284)
469. hal.
Hadisusanto, S., I. Tussanti & Trijoko. Nelson, JS. 1994. Fishes of the World.
2000. Komunitas ikan di Sungai 3rd edition. John Wiley & Sons,
Serayu Hulu Wonosobo Jawa Inc., New York. 600 hal.
Tengah. Prosiding Seminar Odum, EP. 1971. Dasar-dasar ekologi.
Nasional Keanekaragaman (Terjemahan). Gajah Mada
Hayati Ikan I, Bogor 6 Juni 2000: University Press, Yogyakarta. 677
35-36. hal.
Haryono 2002. Keanekaragaman jenis Rachmatika , I. 2003. Fish fauna of the
ikan dan aspek terkait di perairan Gunung Halimun National Park,
TN. Kayan Mentarang Kalimantan West Java. BCP-JICA, Bogor. 126
Timur. Seminar Ikan II dan hal.
Kongres MII Pertama, Bogor 22- Roberts, TR.1989. The Freshwater
23 Oktober 2002. Fishes of Western Borneo
Haryono & AH. Tjakrawidjaja 2010. (Kalimantan Barat, Indonesia).
Komunitas ikan di perairan tawar California Academy of Science
Jawa Timur. Laporan perjalanan Memoirs Number 14. 210 hal.
Puslit Biologi-LIPI, Bogor. 22 hal.

176
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

Roberts, TR. 1993. The freshwaters semnaskan/abstrak/prosiding2009.


fishes of Java, as observed by Kuhl Diakses tanggal 3 Maret 2011.
and van Hasselt in 1820-23. Weber, M. & LF. de Beaufort. 1916. The
Zoologische Verhandelingen 285 Fishes of the Indo-Australian
(1993):1-94. Archipelago I-XI. E.J. Brill Ltd.,
Suryaningsih, S & S. Hadisusanto. 2009. Leiden. 455 hal.
Aspek biologi ikan brek (Puntius Wirjoatmodjo, S. 1988. Pemanfaatan dan
orphoides C.V.) di Sungai Klawing pelestarian ikan marga Sclero-
Purbalingga, Jawa-Tengah. http:// pages di Indonesia. Diskusi Panel
w w w. f a p e r t a . u g m . a c . i d / Pelestarian dan Pemanfaatan
Flora-fauna Indonesia, Bogor 24
Maret 1988.

177
Haryono

Lampiran 1. Beberapa spesies ikan di kawasan G. Slamet

178
Sumberdaya Ikan dan Potensinya di Perairan Kawasan

Glyptothorax platypogon Clarias batrachus

Aplocheilus panchax Poecillia reticulata

Xiphophorus helleri
Syciopterus cyanocephalus

Channa gachua Channa striata

179
Haryono

180
Ekologi Gunung Slamet

Budidaya Induk dan Benih Ikan Tangkapan Sungai Serayu Banyumas


Rawan Punah, Brek (Puntius orphoides) dan Lukas (P. bramoides) Produk
Predomestikasi pada Kolam Alami serta Pemetaan Karakter
Reproduksinya1)

Priyo Susatyo & Sugiharto


Fakultas Biologi-UNSOED

ABSTRACT

Aquaculture can be enhanced through diversification by the new domesticated species of


catches fish. This research is conducted to predomesticate two fish species caught from the
River Serayu Banyumas: Lukas fish (Puntius bramoides) and Brek fish (P. orphoides) in
natural ponds. The predomescation has been successfully demonstrated a fish adaptive abil-
ity to the new natural food in new substrat, hormonal profiles known as periodicals, gametoge-
nesis profiles and the spawning ability in the new environment. Brek fish unsuccessful spawning
trough the study. The results of the research on Lukas fish is following: (1) Embryogenesis-
hatching development takes 22-23 hours after egg fertilization; hatching eggs is 56-86%;
larvae survival is 62-86%; larval mortality is 0.14-0.58%, (2) Gonadogenesis recovery of post
spawned went well. Histology of post spawned oogenesis showed of 6 stages of oocytes
development while spermatogenic testicular consisted 5 stages, (3) Lukas fish has a long
spawning period.

Keywords : predomestication, post mijah, Puntius bramoides, P. orphoides, oogenesis, sper-


matogenesis

PENDAHULUAN Mengikuti keberhasilan proses


pembudidayaan seperti ikan-ikan di atas,
Produk perikanan budi daya sangat diperlukan untuk melakukan
sebagian berasal dari budi daya ikan air domestikasi ikan-ikan liar yang belum
tawar. Di daerah Banyumas, beberapa umum dibudidayakan.
jenis ikan air tawar yang telah Di kawasan Banyumas Jawa
dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomi Tengah yang sumber airnya banyak
cukup penting adalah gurami, nilem, lele, disuplai dari kawasan G. Slamet dijumpai
tawes, ikan mas, nila, mujahir (Susatyo beberapa jenis ikan potensial untuk dapat
& Sugiharto, 2001; Susatyo & Soeminto dikembangbiakkan atau ditangkarkan
2002). menjadi salah satu ikan budidaya. Di
Keberhasilan pembudidayaan ikan antara banyak jenis ikan yang ada di
tersebut dapat dipastikan diawali Sungai Serayu yang berpotensi untuk
keberhasilan uji coba diikuti dengan dibudidayakan adalah ikan lukas (Puntius
penyebarluasan informasi cara bramoides) dan ikan brek (P.
pembudidayaan secara meluas. orphoides). Kedua jenis ikan ini

181
Susatyo & Sugiharto

berpotensi untuk dikembangbiakan di pertumbuhan perifton. Induk-induk ikan


kolam ikan dengan kemampuan adaptasi brek dan lukas tersebut diberi pakan
yang cukup tinggi terhadap lingkungan berupa pakan buatan yang ditambah
baru teristimewa pakan alami, profil dengan kecambah kacang hijau dan daun
hormonal periodikal dan gametogenesis sente, dan daun ubi kayu. Pemberian
atau kemampuan memijah (Susatyo dkk. kecambah dan daun-daunan tersebut
2009). dilakukan secara berselang-seling.
Oleh karena ikan brek dan lukas Spawning induction dan
mempunyai potensi untuk dibudidayakan pengelompokan induk pada periode pasca
maka pengetahuan untuk mengetahui mijah dilakukan dengan induksi
proses tahapan reproduksi dari induk ikan pemijahan. Induk jantan dan betina yang
pasca predomestikasi dalam satu siklus telah matang kelamin disuntik atau
reproduksinya sangat diperlukan. Pada diinduksi menggunakan gonadotrophin
kajian yang tertuang dalam hasil (sGnRH analogue) Ovaprim 0.5 cc/
penelitian ini di coba diinformasikan hasil kg BB. Untuk induk Lukas sebanyak 25
penelitian tahapan embriogenesis, ekor betina matang kelamin (± 60 gram)
morfogenesis, proses gonadogenesis : 25 jantan (± 50 gram). Sebanyak 20 ekor
recovery dari testes dan ovarium induk brek jantan (± 250 gram), betina (± 300
ikan brek dan lukas jantan betina setelah gram) disiapkan untuk pemijahan.
pemijahan dari minggu pertama sampai Diharapkan ± 10 jam setelah induksi
dengan periode pre pemijahan berikutnya. ovaprim berhasil memijah. Perlakuan
tersebut dilakukan di bak semen ukuran
BAHAN DAN CARA KERJA 3 x 1 x 0,50 m.
Selanjutnya induk-induk tersebut
Pada penelitian ini digunakan induk segera dipisahkan dari kelomok telur
ikan brek dan lukas jantan dan betina pasca mijah. Telur-telur hasil mijah
matang kelamin 12-15 bulan produk didistribusi dan ditebar di bak penetasan
predomestikasi dari kolam pemeliharaan dan beberapa akuarium untuk
sebelumnya Susatyo dkk. 2009) masing- pengamatan embriogenesis, derajat
masing berjumlah 25 pasang. penetasan, uji mortalitas, dan
Induk brek dan lukas dipelihara kelangsungan hidup larva. Induk-induk
secara monokultur dalam kolam pasca mijah dipisahkan masing-masing 4
pemeliharaan dengan suplai air yang pasang pada 6 kelompok bak terpisah
cukup. Kolam tersebut diupayakan beraerator untuk materi pegujian
mempunyai sumber air yang berasal dari selanjutnya (gametogenesis recovery
sungai terdekat dengan lubang keluar pasca mijah, tinjauan histologi, dan
yang selalu terbuka/mengalir keluar. hormonal). Kelompok DM-0 (dua
Ukuran kolam yang digunakan minggu ke-0 pasca mijah); DM-1(dua
adalah10 m x 10 m, diberi tancapan minggu ke-1 pasca mijah); DM-2; DM-
batang bambu dari dasar kolam sampai 3; DM-4; DM-5 dan DM-6 (12 minggu
permukaan air, untuk memfasilitasi pasca mijah).

182
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu

Sampel darah untuk pengukuran dengan dua minggu ke-6 atau 12 minggu
kadar hormon diambil dari linea lateralis pasca mijah, sepasang induk lukas dan
bagian posterior (dekat pangkal ekor). brek dikorbankan) difiksasi dengan
Sebanyak 500 ml darah diambil larutan 4% paraformaldehida dalam PBS
menggunakan tabung hematokrit yang selama 24 jam pada suhu 4°C.
telah dibasahi dengan EDTA. Ujung Selanjutnya dipreparasi dengan metode
tabung ditutup dengan dental wax, parafin. Guna mengamati tahapan
kemudian sampel disimpan di dalam oogenesis dan spermatogenesis, ovari dan
refrigerator hingga pengukuran kadar testes yang telah diblok dalam paraplast
hormon. diiris secara melintang dan pada interval
Pengukuran kadar hormon dalam tertentu, irisan jaringan ditempelkan pada
darah dilakukan menggunakan metode gelas objek berlapis 1% gelatin dan
EIA/ELISA, dengan kit’s catalog EIA- diwarnai dengan Harris haematoxylin-
estradiol kit (untuk estradiol), EIA-FSH eosin. Oosit dikelompokkan ke dalam
kit untuk progesteron dan EIA- enam tahapan yaitu post ovulatory
testosteron kit untuk testosteron. stage, chromatin nucleolar stage,
Sebelum dilakukan pengukuran kadar perinucleolar stage, cortical alveolar
hormon, dilakukan kalibrasi menurut stage, vitellogenic (yolk) stage dan
prosedur yang telah ditentukan petunjuk mature / ripe stage. Ukuran diameter
kit. Assay dilakukan secara otomatis oosit pada setiap tahapan perkembangan
menggunakan mesin Microplate dalam masing-masing ovarium diamati
Reader-LB-6200 Labotron. untuk mengidentifikasi jenis tahapan
Pembuatan sediaan histologi tersebut. (Çakici & Üçüncü 2007).
ovarium dan testis ikan uji pasca mijah, Jumlah oosit pada setiap tahapan
penghitungan Indeks Kematangan perkembangan dalam masing-masing
Gonad (IKG). Tiga pasang induk brek ovarium dihitung untuk mengetahui
dan lukas pasca mijah dikorbankan tiap proporsinya. Penghitungan jumlah oosit
dua minggu sekali sampai dengan dua pada masing-masing tahapan
minggu ke enam (dua belas minggu pasca perkembangan dilakukan menggunakan
mijah). Ovarium dan testis diangkat dari Cavalieri principle (Gunderson & Jensen
rongga abdomen melalui pembedahan 1987). Tipe sel dari testis dalam urutan
setelah induk dianestesi menggunakan pemasakan sesuai dengan pengesahan
MS 222 (Sigma) dengan konsentrasi dari uji screening untuk substansi aktif
100ml/l air (Moskoni et al. 2001). Ovari endokrin pada ikan, OECD (2004) dalam
dan testes masing-masing ditimbang Brito & Bazzoli (2003) dijadikan sebagai
menggunakan timbangan analitik. acuan deskripsi gonad jantan, yakni: (1)
Morfologi lainnya yang perlu diukur Spermatogonium: tipe sel terbesar dan
adalah bobot ikan sebelum dibedah, terdiri atas nukleus vesikuler dengan
panjang tubuh dan lebar/tinggi tubuh. membran nukleus yang tegas dan
Ovari dan testes dari masing-masing nukleoli; (2) Spermatocyte: spermatosit
induk (setiap 2 minggu sekali sampai primer lebih besar dari spermatosit

183
Susatyo & Sugiharto

sekunder; (3) Spermatid: tipe sel terkecil satu tetes air media akuarium. Diamati
dengan inti padat dan lingkaran sempit stadium embriogenesis (cleavage 2 sel,
pada sitoplasma yang asidofilik; (4) 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, 64 sel,
Spermatozoa: sel matang dengan morulla, blastula, gastrula, blasto-
nucleus bulat beraspek gelap dan porus, neurulasi, pembentukan kepala-
berflagella. ekor, vesicula optica, pembentukan
Telur terbuahi hasil stripping induk somit 10 buah, dicatat waktu yang
dalam masing-masing akuarium diamati dicapai masing-masing.
± 24 jam setelah dibuahi sperma induk Uji kelangsungan benih dilakukan
jantan. Dicatat jumlah telur yang berhasil untuk mengetahui kemampuan
menetas. melangsungkan hidup benih/larva hasil
perkawinan/pemijahan induk brek dan
lukas. Disiapkan 10 akuarium ukuran 60
x 45 x 45 cm3. masing-masing diisi air
Derajat Mortalitas. Pengamatan jumlah setinggi setengah permukaannya, dan
larva akhir, sampai kuning telur larva dilengkapi dengan aerasi. Tiap akuarium
habis (± 2 hari), dengan menggunakan diisi 50 ekor larva hasil penetasan telur
rumus : yang terbuahi dari pemijahan induk. Setiap
hari diamati dan dicatat jumlah larva/
benih yang mati selama 30 hari.
Selanjutnya larva lainnya secara
bersamaan diuji kelangsungan hidup di
bak penampungan. Larva selanjutnya
ditebar dalam kolam pemeliharaan benih
Disiapkan masing-masing 4 ekor ukuran 10 x 10 m yang dipetak menjadi
induk Brek dan Lukas yang matang 4 petak bersekat bambu dan masing-
kelamin. Kedua pasang induk tersebut masing sekat dilengkapi dengan happa.
untuk selanjutnya diinduksi Ovaprim 0.5 Dua petak masing-masing diisi dengan
cc/kg BB. Setelah terlihat tanda-tanda larva lukas usia 30 hari. Dua petak
akan memijah, kedua pasang induk Brek lainnya masing-masing diisi dengan larva
dan Lukas tersebut di ambil dari bak brek usia 30 hari.
pemijahan, dilakukan striping/pengurutan Analisis fisika dan kimia air kolam
pada daerah kloakanya untuk kemudian percobaan (APHA 1985) meliputi
telur yang keluar diletakkan pada temperatur, nilai pH, kandungan O2
mangkuk plastik diameter 10 cm terlarut dan CO2 bebas.
selanjutnya milt berisi spermatozoa Metode Analisis. Gambaran
dicampurkan dengan telur tersebut. histologis perkembangan oogenesis dan
Diaduk dengan hati-hati menggunakan spermatogenesis dilakukan secara
bulu ayam steril. Selanjutnya diambil 1 deskriptif.
butir telur yang sudah terbuahi tersebut IKG dihitung dengan rumus =
dan diletakkan pada cavity slide dengan berat gonad : (berat tubuh utuh) x 100%.

184
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu

Data IKG, serta data lainnya berupa asalnya yakni Sungai Serayu yang
kadar masing-masing hormon steroid, menyebabkan induk brek tidak mampu
jumlah oosit, proporsi oosit, proporsi memijah setelah kondisi predomestikasi
spermatogenesis, derajat penetasan, cukup lama di kolam alami (Susatyo dkk.
derajat kelangsungan hidup larva 2009).
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik Sejak kegiatan predomestikasi, ikan
batang. brek telah berhasil memijah satu kali
yakni pada bulanNovember 2009. atau
HASIL DAN PEMBAHASAN memijahnya induk brek pada bulan ke
sepuluh predomestikasi. Kondisi ini
Deskripsi umum hasil penelitian, diduga disebabkan karena induk-induk
dapat disampaikan bahwa jenis ikan lukas brek pada saat itu berada pada status
(Puntius bramoides) telah berhasil repoduksi yang telah dibawanya dari
diungkap beberapa aspek reproduksi tempat hidup asalnya (Sungai Serayu).
pasca uji budidaya awalnya di kolam Berdasarkan hasil pengamatan
alami. Terbukti, induk-induk ikan lukas (Gambar 1),pada kelompok DM-4 (8
produk predomestikasi (Susatyo et al. minggu pasca mijah), gonad betina/
2009) yang sejak awal upaya ovariumnya sudah mengkerut, diduga
predomestikai sampai dengan akhir induk lukas telah melaksanakan mijah
penelitian Stranas ini yang telah dipelihara dengan hampir seluruh telur di dalam
di kolam alami selama ± 22 bulan telah gonadnya telah dikeluarkan, sehingga
berhasil memijah rata-rata setiap 3 (tiga) data IKG nya adalah 0.
bulan sekali. Gambar 1(A) memperlihatkan
Pada periode penelitian Juli- progress pertumbuhan lukas jantan dan
November 2010, induk-induk lukas telah betina sejak DM0 (dua minggu ke-0)
berhasil memijah sebanyak 2 (dua) sampai dengan DM6 (dua minggu ke
kali;Berbeda dengan induk-induk brek (P. enam), dilihat dari pertambahan panjang
orphoides) yang sejak awal kegiatan dan lebar tubuhnya menunjukkan
predomestikasi di kolam alami (Januari pertumbuhan yang baik. Gambar 1(B)
2009, Susatyo dkk. 2009) hanya berhasil memperlihatkan Indeks Kematangan
memijah satu kali, yakni pada akhir bulan Gonad (IKG) sampai dengan dua minggu
ke sepuluh periode predomestikasi ke enam (DM 6) nilai IKG relative
(November 2009). Setelah periode meningkat, sesuai dengan perubahan
tersebut (3 bulan berikutnya, Februari berat gonad dan berat tubuhnya.
2010) ternyata belum berhasil memijah; Derajat penetasan telur ikan lukas
pada bulan Mei 2010 juga belum berhasil. terbuahi (6,24±3,456) waktu yang
Pada awal bulan Juli hingga dibutuhkan oleh telur fertil lukas
November 2010, indukan ikan brek belum menyelesaikan tahap embryonalnya
berhasil memijah, Terdapat dugaan, telah sampai dengan menetas adalah 21-23 jam
terjadinya kondisi stres reproduktif sejak telur terbuahi (Tabel 1). Menurut
terhadap lingkungan baru dari tempat Susatyo et al. (1997) yang meneliti

185
Susatyo & Sugiharto

waktu yang dibutuhkan untuk diperlukan untuk perkembangan embrio


perkembangan embryonal ikan Mas, ikan Nilem pada media dengan kisaran
melaporkan bahwa 25-26 jam sejak pH yang berbeda. Pada media dengan
terbuahi, telur-telur ikan mas baru pH 5, pH 7 dan pH 9, telur-telur fertil
menetas. Selanjutnya Hartanto (2000), Nilem mampu menyelesaikan
yang meneliti waktu kumulatif yang

A B

Keterangan : DM0,….DM6 = periode dua minggu ke-0 pasca mijah, sampai dengan periode dua
minggu ke-6 pasca mijah, IKG = Indeks Kematangan Gonad (%)

Gambar 1. Data vital rata-rata sampel ikan lukas (Puntius bramoides) betina dan jantan
pasca mijah selama pengujian. (A) data panjang dan lebar tubuh Lukas jantan dan
betina,(B) data bobot gonad vs bobot tubuh dan data indeks kematangan gonad
(IKG)

Tabel 1. Waktu kumulatif yang dicapai masing-masing stadium perkembangan embrio ikan
lukas (Puntius bramoides)
Waktu kumulatif
No. Tahapan perkembangan embrio Keterangan
jam menit
1 2 (dua) sel 0 20
2 4 (empat ) sel 0 36 Keterangan :
3 8 (delapan) sel 0 42 Pemijahan
4 16 (enam belas) sel 0 56 dilaksanakan 19 Juli
5 32 (tiga puluh dua) sel 1 05 2010 pk. 17.00 WIB
6 Morula 1 19 Tanda awal memijah
7 Blastula 1 29 20 Juli 2010 pk. 05.00
8 Gastrula 2 19 WIB.
9 Neurula 5 49 Telur pertama kali
10 Head stage 6 39 menetas 21 Juli 2010
11 Vesicula optica 6 02 pk. 07.00 WIB
12 Somit-10 6 45
13 Menetas 22– 23 jam

186
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu

perkembangan embrional dan berhasil kemungkinan terjadi pada ikan brek


menetas 23-25 jam sejak telur terbuahi. seperti pada penelitian ini. Peningkatan
Dengan demikian, dari informasi kadar hormon estradiol, progesteron,
mengenai waktu yang dibutuhkan oleh FSH dan testosteron pada periode
telur fertil ikan lukas untuk berkembang predomestikasi sebelumnya belum
sampai dengan menetas yang tidak jauh mampu untuk mendukung pencapaian
berbeda dengan ikan-ikan Cyprinid budi pada tahapan kematangan oosit (Susatyo
daya lainnya, maka dua aspek reproduksi et al, 2009).
ikan lukas dinyatakan mampu Kelangsungan hidup larva (3,94 ±
diselesaikan di lingkungan ex situ di luar 0,46) % dan derajat mortalitas larva ikan
habitat aslinya Sungai Serayu. Dua aspek lukas (0,128±0,0432) %. Hasil uji
ini sangat penting yakni kemampuan kelangsungan hidup larva lukas
memijah dan perkembangan embryonal menghasilkan data terendah 62% dan
sampai dengan penetasan bagi tertinggi 86%. Menurut Soeminto dkk.
keberlangsungan adaptif induk-induk ikan (2000), daya kelangsungan hidup larva
yang berada pada periode predomes- ikan nilem seruni 33,53% sedangkan
tikasi, mengingat dari laporan penelitian pada nilem mangut 20,07%. Bila
Susatyo dkk. (2009), induk brek dari dikonfirmasi dengan data Uji
S.Serayu pada program predomestikasi mortalitasnya, larva ikan lukas memiliki
hanya mampu satu kali memijah di kolam derajat mortalitas yang rendah (<1,00 %),
alami, yakni setelah hampir 10 bulan yakni 0,14-0,58%. Dibandingkan dengan
berada di kolam alami. Induk brek hasil penelitian Soeminto dkk. (2000),
predomestikasi pasca mijah pada maka daya kelangsungan hidup larva ikan
penelitian ini ternyata belum mampu lukas lebih tinggi dibandingkan dengan
melakukan pemijahan kembali setelah 3- larva ikan nilem. Pengamatan terhadap
4 bulan berikutnya, bahkan sampai rata-rata bobot larva ikan lukas (data
dengan akhir penelitian ini. penunjang) dari hari ke-5, ke-10, ke-20
Banyak spesies ikan dalam program dan ke-30 meningkat, berturut- turut
konservasi mengalami disfungsi adalah 0,016 g dengan panjang tubuh
reproduktif (Kouril et al. 2008). Kasus awal 4 mm 0,0224 g, 0,0233 g dan
yang terjadi pada kelompok Famili 0,0562g dengan panjang tubuh 15 mm.
Cyprinidae pada program predomestikasi/
konservasi yakni disfungsi reproduksi Aktivitas Gametogenesis (Oogenesis
yang ditandai dengan ketidak mampuan dan Spermatogenesis) induk setelah
untuk mencapai final oocyte maturation memijah
(Yaron1995; Mananos et al. 2009). Berdasarkan pengamatan histologis
Setelah sukses menyelesaikan tahap terhadap gonad/ovarium betina ikan
vitellogenesis, induk ikan ternyata tidak lukas, dapat ditunjukkan gambaran
mampu melanjutkan tahap gametoge- tingkat oosit pasca mijah. Evaluasi
nesis dan ovulasi berikutnya (Mylonas & histologis pada gonad/ovarium betina
Zohar 2007). Hal seperti inilah yang lukas menunjukkan enam tahapan

187
Susatyo & Sugiharto

perkembangan oosit, yakni tahap post telah berhasil memijah sebanyak lima kali
ovulatory, chromatin nucleolar (cns), (29 Nov 2009 mijah pertama kali; 12
perinucleolar (ps), cortical alveolar Februari 2010 mijah kedua; 21 Mei 2010
formation (cas), vitellogenic (vs) dan mijah ketiga; 2 Agustus 2010 mijah
mature / ripe (ms); sedangkan pada induk keempat; 8 November 2010 mijah
jantan terlihat lima stadium spermato- kelima).
genesis yakni: spermatogonium, Bila dikonfirmasi antara data IKG
spermatosit primer; spermatosit induk lukas (Gambar 1) dengan data
sekunder; spermatid dan spermatozoa. proporsi stadium oogenesis (Gambar 2)
Dilihat dari pengamatan histologis dan dengan data profil hormonal sampai
terhadap ovarium/gonad betina dan dengan 12 minggu periode pasca mijah
testisnya, maka ikan lukas sebagaimana (Tabel 2), maka terlihat bahwa pada
kelompok Cyprinidae lainnya yang kelompok DM-6 (minggu ke-12 atau 3
sejenis dapat dikelompokkan ke dalam bulan pasca mijah) induk lukas betina
kelompok multiple spawners (multiple- sudah mencapai IKG 17,6% dengan
batch group- asynchronous spawner) proporsi oosit mencapai tahap dewasa
(Mylonaz & Zohar 2007), dengan (ms) senilai 29,8%. Adapun profil ketiga
karakteristik dijumpainya berbagai atau hormon reproduksi estradiol, progesteron
semua tahapan perkembangan oogenik dan testosteron pada minggu ke-12 (DM-
pada gonad betina dan spermatogenik 6) berturut-turut 745,86 ± 19,45 pg/ml;
pada testis. Melihat karakteristik 0,59 ± 0,05 ng/ml dan 8,98 ± 0,34 ng/ml.
pemijahan ikan lukas, diduga tipe Ketiga data reproduksi tersebut telah
pemijahannya dapat digolongkan sebagai mampu mendukung terjadinya proses
tipe total spawner. pemijahan pada pasangan induk lukas
Induk lukas telah diketahui mampu setelah 3 bulan pasca mijah terhitung dari
melakukan pemijahan yang berulang pemijahan yang sebelumnya.
dengan jarak antara pemijahan pertama Profil estradiol menunjukkan
dan berikutnya dalam waktu yang pendek kecenderungan fluktuatif. Data hormonal
diduga bertipe multi spawner. Selama estradiol relatif tinggi pada minggu saat
periode penelitian predomestikasi, akan terjadi pemijahan yakni sebesar
Susatyo dkk. (2009) sampai dengan 753,28 ± 24,34 pg/ml. Selanjutnya
penelitian sekarang ini induk-induk Lukas cenderung menurun pada dua minggu ke

Tabel 2. Data Rata-rata Hormon Ikan Lukas

188
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu

Gambar 2. Grafik proporsi oosit (masing-masing stadium oogenesis) ikan lukas selama periode
pasca mijah
Keterangan : pos= post ovulatory stage; ps= perinucleolar stage; cns= chromatin nucleolar stage; cas
=cortical alveolar formation stage; vs= vitellogenic stage; ms = mature/ripe stage

Gambar 3. Grafik proporsi spermatogenesis ikan lukas pada periode pasca mijah
Keterangan : spg= spermatogonium, spp= sprematosit primer, sps= spermatosit sekunder, spt=
spermatid, spz= spermatozoa

nol setelah pemijahan, sampai dua minggu selanjutnya cenderung menurun pada
ke-1 setelah pemijahan dan meningkat minggu pertama hingga minggu kedua
kembali pada dua minggu ke-2 dan setelah pemijahan dan meningkat
sampai dengan menjelang periode kembali pada minggu ke-4 yakni
pemijahan berikutnya (DM-5/dua minggu menjelang pemijahan berikutnya.
ke-5 dan DM-6/dua minggu ke-6) Merupakan suatu simpanan
berturut-turut yakni 279,39 ± 9,36; 329,74 pertanyaan yang perlu dijawab pada
± 18,27; 435,35 ± 24,99; 533,14 ± 9,48; penelitian yang akan datang terhadap
657,85 ± 55,55; 698,82 ± 48,30 dan 745,86 profil hormonal dan status gameto-
± 19,45 pg/ml (Tabel 6). Hal ini sesuai genesis/pematangan gonad induk lukas
dengan pola hormonal periode pemijahan tersebut sampai diperoleh data yang stabil
dan pasca mijah dari gurami (Wijayanti dari profil hormonal pada periode
et al. 2007) bahwa kadar estradiol-17 â persiapan pematangan gonadnya dalam
relatif tinggi pada minggu pemijahan, mempersiapkan masa mijah berikutnya.

189
Susatyo & Sugiharto

Benih/anakan dan induk lukas pasca Proses gonadogenesis recovery


mijah pada penelitian ini masih kami dari testes dan ovarium induk Lukas
pelihara, untuk nantinya dapat digunakan jantan betina predomestikasi pasca mijah
sebagai materi penelitian selanjutnya sampai dengan periode mijah berikutnya
pada pengujian aklimatisasi induk pada berjalan dengan baik. Histologi oogenesis
beberapa lokasi budidaya (karamba jaring pasca mijah, ovarium terdiri atas 6
apung, misal) di beberapa lokasi seperti stadium perkembangan oosit : post
di waduk, di sungai dan beberapa kolam ovulatory stage (pos); chromatin
dengan perbedaan ketinggian lokasi di nucleolar stage (cns); perinucleolar
atas permukaan laut di sekitar eks stage (ps); cortical alveolar stage
karesidenan Banyumas untuk lebih (cas); vitellogenic stage (vs) dan
menggali data pendukung kestabilan dewasa / ripe stage (ms), sedangkan
status reproduksi dan parameter histologi spermatogenik testis terdiri dari
pertumbuhan serta kapasitas produksi 5 kelompok tahapan: spermatogonium,
anakan/benih dalam mempersiapkan spermatosit primer; spermatosit
proses domestikasi baru sebelum sekunder; spermatid dan spermatozoa.
dikembangkan di kalangan petani ikan, Lama waktu yang dibutuhkan induk
dan dipasarkan ke para konsumen ikan Lukas jantan dan betina untuk mencapai
di Banyumas. Upaya penelitian lanjutan periode mijah berikutnya adalah ± 3 bulan
sedang dan akan dilanjutkan untuk (29 Nov 2009 mijah pertama kali; 12
menghimpun informasi reproduktif Februari 2010 mijah kedua; 21 Mei 2010
individu lukas F2 sebagai anakan yang mijah ketiga; 2 Agustus 2010 mijah
menjelang periode dewasanya nanti. keempat; 8 November 2010 mijah
Pertanyaannya, apakah calon-calon induk kelima); Kadar 3 jenis hormon induk
F 2 tersebut nantinya akan mampu Lukas dua minggu ke nol (DM-1) sampai
melanjutkan seluruh fungsi reproduk- dengan 12 minggu pasca mijah (DM-6)
tifnya. adalah estradiol (279,39 ± 9,36 pg/ml;
329,74 ± 18,27 pg/ml; 435,35 ± 24,99pg/
KESIMPULAN ml; 533,14 ± 9,48 pg/ml; 657,85 ± 55,55
pg/ml; 698,82 ± 48,30 pg/ml; 745,86 ±
Perkembangan embryogenesis ikan 19,45 pg/ml) meningkat sesaat menjelang
lukas sampai dengan terjadinya pemijahan, menurun sampai dengan
penetasan telur/terbentuk larva minggu kedua dan terus meningkat
membutuhkn waktu 22-23 jam sejak telur sampai dengan menjelang pemijahan
terbuahi; Derajat penetasan telur 56%- berikutnya. Progesteron (0,17 ± 0,03 ng/
86%; derajat kelangsungan hidup benih/ ml; 0,35 ± 0,02 ng/ml; 0,32 ± 0,04 ng/ml;
larva pasca proses pemijahan induk-induk 0,36 ± 0,02 ng/ml; 0,28 ± 0,02 ng/ml; 0,46
predomestikasi tersebut di kolam ± 0,03 ng/ml; 0,59 ± 0,05 ng/ml)
budidaya 62%-86% sedangkan derajat meningkat pada saat pemijahan dan
mortalitas larva 0,14%-0,58%. meningkat terus sampai dengan 12
minggu (3 minggu) pasca mijah

190
Budidaya Awal Induk dan Benih Ikan Tangkapan S. Serayu

Tabel 3. Data Keberhasilan pemijahan induk Ikan Brek dan Lukas yang dicoba dengan
bantuan induksi Ovaprim selama penelitian

menjelang mijah berikutnya. Kadar UCAPAN TERIMA KASIH


testosteron (4,84 ± 0,09 ng/ml; 5,60 ± 0,32
ng/ml; 5,60 ± 0,32 ng/ml; 7,56 ± 0,22 ng/ Terima kasih kepada DIKTI atas
ml; 6,44 ± 0,11 ng/ml; 8,36 ± 0,76 ng/ml; dana penelitian STRANAS 2010 untuk
8,98 ± 0,34 ng/ml), sama seperti kadar terselesaikannya kegiatan penelitian ini.
progesterone, kadar testosterone
cenderung meningkat sejalan dengan DAFTAR PUSTAKA
periode pasca mijah sampai dengan12
minggu pasca mijah. Nilai IKG induk Brito, MFG & N. Bazzoli, 2003.
betina Lukas dari dua minggu nol pasca Reproduction of the surubim
mijah sampai dengan dua minggu ke-12 catfish (Pisces, Pimelodidae) in the
pasca mijah adalah : 1,26%; 1,6%; 3,3%; San Fransisco River, Pirapora
3,46%; 0 ; 8,8%; 17,6% sedangkan IKG Region, Minas Gerais, Brazil. Arq.
induk jantan berturt-turut dari DM-0 Bras. Med. Vet. Zootec. 55(5): 624
sampai dengan DM-6 adalah 2,58%; – 633
2,7%; 2,64%; 2,44%;2,41%; 2,42%; Çakici, Õ & I. Üçüncü, 2007. Oocyte
2,30%. Development in the Zebrafish,

191
Susatyo & Sugiharto

Danio rerio (Teleostei: Aquaculture: J. Mar. Freshwater


Cyprinidae). E.U. J. Fisheries Species. 549 pp.
Sciences. 24 (1-2): 137-141. Mancera JM. & A. Garcý´a-Ayala.
Cek, S., B, Niall., C, Randall., & R, 2007. 17Beta-Estradiol Triggers
Krishen. 2001. Oogenesis, Hepato- Postspawning in Seabream.
somatic and Gonadosomatic Inde- Susatyo, P. & Soeminto. 2002. Viabilitas
xes, and Sex Ratio in Rosy Barb Telur Ikan Nilem (Osteochilus
(Puntius conchonius). Turkish J. hasselti C.V.) yang Ditunda
Fish. Aqua. Sci. 1: 33-41. Oviposisinya Setelah Menunjukkan
Effendi, MI. 1997. Metode Biologi Gejala Mijah. Biosfera J. 12 (2).
Perikanan. Yayasan Dewi Sri, Juni 2010
Bogor Susatyo, P. & Sugiharto. 2001. Aspek
Gunderson, H.J.G. and E.B. Jensen. Perubahan Hormonal dan
1987. The efficiency of systematic Histologis Selama Perkembangan
sampling in the stereology and its Ovarium Belut Sawah (Monopte-
prediction. J. Microsc. 147:229- rus albus Zuiew) yang Diinduksi
267. Secara Artifisial. Biosfera.J. 16
Hartanto, AY. 2000. Perkembangan Mei 2000.
Embrio dan Mortalitas Larva Ikan Susatyo, P., Sugiharto & W. Lestari.
Nilem (Osteochilus hasselti CV. 2009. Penelusuran Aspek
Dalam Media dengn pH Berbeda Bioreproduksi, Ekologis, Filogenetis
Kime, A. 2008. Production of germ-line Beberapa Jenis Ikan Tangkapan
chimera in rainbow trout by dari Sungai Serayu Banyumas
blastomere trasplantation. Mol. Sebagai Dasar Domestikasi dan
Rep. Dev. 59:380-389. Diversifikasi Budidaya. Laporan
Kouril J., J. Mraz, J. Hamackova, T. Penelitian Insentif Dasar RISTEK
Barth. 2008. Hormonal induction tahun 2009. Lembaga Penelitian
of tench (Tinca tinca L.) with the UNSOED, Purwokerto.
same treatments at two sequential Wijayanti, GE., Soeminto, & SBI.
reproductive seasons. J. Cybium, Simanjuntak. 2007. Aktivitas Poros
32: 61-66. Hipotalamus-Hipofisis-Gonad dan
Kroupova H., Machova J., Svobodova Z. Regulasinya Selama Gametoge-
(2005): Nitrite influence on fish: a nesis, Ovulasi dan Pemijahan pada
review. J. Veterinarni Medicina, Ikan Gurami (Orphronemus
50: 461–471. gouramy Lac.). Laporan
Mananos E., N. Duncan, C. Mylonas, Penelitian. Fakultas Biologi
2009. Reproduction and control of Unsoed, Purwokerto.
ovulation, spermiation and Yaron, Z. 1995. Endocrine control of
spawning in cultured fish. 3–80. In: gametogenesis and spawning
Cabrita E., Robles V., Herraez P. induction in the carp.
(eds.): Methods in Reproductive J.Aquaculture, 129: 49–73.

192
Ekologi Gunung Slamet

Keanekaragaman Keong Darat di Dua Macam Habitat Makro


di Gunung Slamet Jawa Tengah

Heryanto
Lab. Moluska, Bidang Zoologi, Puslit Biologi-LIPI. Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya
Jakarta Bogor Km. 46 Cibinong 16911. Email: herlipiyanto@yahoo.com

ABSTRACT

Landsnails diversity at two macro-habitats in Slamet Mountain, Central Java. A survey on


the landsnails of Slamet Mountain in Central Java was done twice, in Kali Pagu and Bambangan
respectively. Sampling was conducted by using purposive technique, means by searching the
snails in their habitats. The habitats was differenciated into forest and non-forest. By applying
a simple analysis it was found that biodiversity of the landsnails in the forest was higher than
the same thing in the non-forest. The landsnails number in the forest was 55 species (88,71%),
whereas in the non-forest habitat, the number was only 34 species (56,45%). A 27 species
(43,55% of the whole snail number) was found in the both habitats.

Keywords: Landsnails, Kali Pagu, Bambangan, Slamet Mountain

PENDAHULUAN Kehidupan sebagian besar penduduk


yang tinggal di bagian bawah G. Slamet
Secara geografis, hutan di G. Slamet sangat bergantung pada air yang berasal
digolongkan ke dalam hutan hujan tropis. dari G. Slamet, melalui berbagai aliran
Kawasan ini sangat berperan dalam sungai yang bersumber di hutannya.
merangsang terbentuknya hujan dan Tanpa hutan yang sehat dan seimbang
menyimpan air sampai musim hujan secara ekologis, volume air yang mengalir
berikutnya. G. Slamet juga mempunyai akan sangat berfluktuasi sehingga pada
fungsi ekologis yang sangat penting musim kemarau air yang tersedia tidak
sebagai penyangga kehidupan. Berbagai mencukupi kebutuhan masyarakat. Oleh
biota yang hidup di dalamnya berfungsi karena itu, amatlah wajar bila masyarakat
menjaga keseimbangan proses sangat memerlukan hutan G. Slamet.
ekosistem hutan. Selain itu, G. Slamet Kondisi hutan G. Slamet dapat ditengarai
juga berkaitan erat dengan kepentingan dari keberadaan keong yang hidup di
ekonomi sebagai penyedia sumber air, dalamnya.
lahan pertanian, lahan perkebunan, lahan Keong darat dapat dimanfaatkan
peternakan, daerah wisata, dll. sebagai indikator untuk mengetahui hutan
Konsekuensinya, beberapa bagian dari yang masih mendekati asli atau sudah
G. Slamet sudah beralih fungsi sesuai mengalami perubahan. Beberapa alasan
dengan kepentingan ekonomi antara lain menjadikan keong darat yang berada di
sebagai kawasan perkebunan teh, hutan sebagai indikator adalah:
sayuran, tempat wisata, dan kebun raya.

193
Heryanto

1. Keong adalah binatang yang amat Untuk Mendukung Program Manajemen


sensitif terhadap perubahan Suatu Kawasan Bioregional (DAS)”.
lingkungan. Hal ini berkaitan erat
dengan struktur tubuh keong yang BAHAN DAN METODA
berkulit tipis dan lembut mebutuhkan
lingkungan yang amat spesifik Penelitian keong terestrial dilakukan
terutama kelembaban yang tinggi dan dengan cara mencari keong di habitatnya.
suhu yang relatif rendah. Tempat Pada kesempatan ini habitat yang dipilih
yang memiliki kelembaban tinggi adalah (1) hutan dan (2) non hutan yang
dengan suhu yang relatif rendah berupa semak-semak di luar lingkungan
adalah hutan yang memiliki vegetasi hutan. Pada masing-masing habitat,
padat bertajuk rapat sehingga mampu keong dicari di (a) lantai hutan dengan
menahan penguapan dan menyimpan luas 1 m2; dan (b) tumbuhan yang masih
air di dalamnya. hidup. Inventarisasi keong yang berada
2. Keong tidak dapat bergerak serta di lantai hutan dilakukan dengan
menghindar dengan cepat bila terjadi mengambil dan meneliti satu demi satu
perubahan sehingga dapat menggam- bahan penyusun serasah, ranting, cabang
barkan keadaan yang sesungguhnya dan batang untuk menemukan keong
dari suatu lingkungan. yang menempel. Pada tumbuhan hidup,
3. Jumlah jenisnya cukup banyak keong yang diamati adalah yang
sehingga mempunyai banyak pilihan menempel pada daun, cabang dan ranting
pemanfaatannya. vegetasi. Semua keong yang ditemukan
4. Keong amat mudah diidentifikasi. diambil dan ditempatkan di dalam wadah
5.Pengamatan keong darat tidak yang telah disiapkan. Keong yang
memerlukan peralatan yang rumit. berukuran mikro (panjang maksimum 2
Penelitian ini bertujuan untuk melihat mm) dimasukkan ke dalam wadah plastik
keanekaragaman keong darat di habitat “nunc tube” agar tidak pecah dalam
hutan dan non hutan alam yang berada transportasi, sedangkan yang berukuran
di G. Slamet. Diharapkan dengan melihat relatif besar dimasukkan ke dalam
keanekaragaman keong darat di G. kantong plastik. Di “base camp”, keong-
Slamet, dapat tergambarkan kondisi keong yang berukuran relatif besar
hutannya. dimasukkan di dalam larutan menthol,
Pengamatan keong darat di G. kemudian ditutup rapat sampai keongnya
Slamet dilakukan dua kali, yaitu pada mati. Menggunakan cara ini keong akan
tanggal 12-28 Mei 2009 di daerah Kali mati dalam keadaan sebagian besar
Pagu-Baturraden (G. Slamet bagian tubuhnya terjulur keluar dari cangkang
selatan) dan tanggal 2-11 Maret 2010 di sehingga seluruh bagian tubuh dapat
daerah Bambangan (G. Slamet bagian menyerap bahan pengawet yang
timur). Penelitian ekologi keong yang merendamkan.
dilaksanakan di G. Slamet ini merupakan Semua keong kemudian diawetkan
satu bagian dari kegiatan “Kajian Ekologi dengan cara memasukkan ke dalam

194
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro

alkohol 70% dan dibawa ke laboratorium bagi keong darat untuk bersembunyi, baik
di Bidang Zoologi, Puslit Biologi LIPI dengan menempel pada batang, ranting,
untuk diamati, diidentifikasi, dianalisis dan maupun di bagian belakang daun.
disimpan di dalam almari khusus untuk Vegetasi juga membuat penyamaran
keong mengikuti Jutting et al. (1948, keong darat menjadi lebih baik karena
1950, dan 1952). warna dan corak tubuh dan cangkang
keong bercampur dan menyatu dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN lingkungan di sekelilingnya. Vegetasi yang
lebat menahan dan menyerap sinar
Dari dua kali pengamatan keong matahari agar tidak langsung masuk ke
darat di G. Slamet ditemukan 12 famili dalam hutan sehingga hutan tetap dingin
keong darat yang terdiri atas 62 spesies dan lembab, suatu persyaratan mutlak
(Tabel 1). Dibandingan dengan jumlah bagi kehidupan keong darat. Keberadaan
keong darat yang ditemukan di G. tumbuhan di hutan juga akan
Ciremai (15 famili yang terdiri atas 48 menghalangi angin kencang yang dapat
spesies) dan di G. Halimun (12 famili meniup keong darat terlepas dari
terdiri atas 42 spesies) maka jumlah tempatnya berlindung. Makanan di hutan
spesies keong darat di G. Slamet jauh juga tersedia melimpah bagi keong darat,
lebih banyak. Kemungkinan besar hal baik berupa jaringan tubuh tumbuhan atau
ini disebabkan oleh ekosistem G. Slamet biota lain yang menempel pada tumbuhan
yang mempunyai sub ekosistem lebih seperti jamur dan bakteri.
lengkap sehingga mampu mengakomo- Vegetasi di hutan akan menghasil-
dasi lebih banyak spesies. kan serasah yang berserak di bagian
Berdasarkan habitat, keong darat di lantai hutan. Serasah tersebut menjadi
G. Slamet dapat dibagi dalam tiga habitat sebagian besar keong yang
kelompok besar. Sejumlah 55 spesies berada di bawahnya. Serasah menjadi
(88,71%) terdapat di dalam hutan (baik pelindung bagi keong yang hidup di
primer maupun sekunder), 34 spesies baliknya karena tersembunyi dari
(56,45%) terdapat di daerah non hutan pemangsa. Serasah juga menjadi
(hutan industri dan semak-semak), penangkap dan penyimpan air hujan yang
sebanyak 27 spesies (43,55%) terdapat menjatuhinya. Pada susunan tertentu
di kedua habitat tersebut. Terlihat bahwa serasah dapat menyimpan kelembaban-
hutan alam menyimpan lebih banyak nya sampai musim penghujan berikutnya
spesies keong darat daripada non hutan. datang. Tempat yang lembab dan basah
Hal ini berkaitan dengan kondisi hutan tersebut sangat sesuai untuk kehidupan
itu sendiri. Pada hutan yang masih keong sehingga tempat tersebut banyak
tertutup rapat dengan pepohonan lebat ditemukan keong. Hal tersebut telah
perlindungan bagi keong darat dari dikemukakan oleh Pielou (1975) bahwa
ancaman pemangsa masih diperoleh distribusi dan kepadatan binatang
secara penuh. Lebatnya pepohonan dan dipengaruhi oleh sumber daya, sebagai
vegetasi hutan lainnya menjadi tempat contoh air. Semakin dekat dari sumber

195
Heryanto

Tabel 1. Daftar keong darat yang ditemukan di G. Slamet


No Spesies Hutan Nonhutan Keduanya
Hydrocenidae
1 Hydrocena javana (Moellendorff) √
Cyclophoridae
2 Cyclophorus perdix perdix (Broderip & Sowerby) √
3 Cyclophorus rafflesi rafflesi (Broderip & Sowerby) √
4 Cyclotus corniculum (Mousson) √
5 Lagochilus ciliocinctum (Martens) √ √ √
6 Lagochilus grandipilum Boettger √ √ √
7 Chamalycaeus fruhstorferi (Moellendorff) √
Pupinidae
8 Pupina compacta (Moellendorff) √
9 Pupina junghuhni Martens √ √ √
10 Pupina treubi Boettger √ √ √
11 Pupina verbeek i Moellendorff √
Diplommatinidae
12 Diplommatina auriculata Moellendorff √ √ √
13 Diplommatina cyclostoma Moellendorff √
14 Diplommatina duplicilabra Benthem Jutting √
15 Diplommatina sp. √
16 Diplommatina sulcicollis Moellendorff √ √ √
Helicarionidae
17 Coneuplecta bandongensis (Boettger 1890) √ √ √
18 Coneuplecta sitaliformis (Moellendorff 1897) √ √ √
19 Liardetia acutiuscula (Moellendorff 1897) √ √ √
20 Liardetia amblia (Moellendorff 1897) √
21 Liardetia angygira angygira (Moellendorff 1897) √ √ √
22 Liardetia convexoconica (Moellendorff 1897) √ √ √
23 Liardetia dendrophila Benthem Jutting √ √ √
24 Liardetia doliolum (Pfeiffer) √
25 Liardetia indifferens (Boettger 1891) √
26 Liardetia javana (Boettger 1890) √
27 Liardetia pisum (Moellendorff 1897) √
28 Liardetia platyconus (Moellendorff 1897) √
29 Liardetia viridula (Moellendorff 1897) √ √ √
30 Helicarion albellus Martens 1867 √ √ √
31 Helicarion perfragilis (Moellendorff 1897) √ √ √
32 Parmarion pupillaris Humbert 1864 √ √
33 Helicarion sp √ √ √
34 Inozonites imitator Moellendorff 1897 √
35 Dyakia clypeus (Moussons 1857) √
36 Elaphroconcha bataviana (Von dem Busch 1842) √
37 Elaphroconcha patens (Martens, 1898) √ √ √
38 Parmarion sp √ √ √
39 Microcyctina exigua (Moellendorff 1897) √ √ √
40 Microcyctina gratilla Benthem Jutting √

196
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro

Tabel 1.Lanjutan

No Spesies Hutan Nonhutan Keduanya


41 Microcyctina subglobosa (Moellendorff 1897) √
42 Microcystina vitreiformis (Moellendorff 1897) √
43 Microparmarion sp, √
44 Hemiplecta humpreysiana (Lea, 1841) √ √ √
45 Coneuplecta sp √
Pleurodontidae
46 Landoria sp. √ √ √
47 Landouria ciliocincta (Moellendorff 1897) √
48 Landouria monticola Benthem Jutting √
49 Landouria rotatoria (Von dem Busch 1842) √
50 Landouria smironensis (Moussons 1849) √ √ √
51 Landouria sp juv. √
52 Chloritis fruhstorferi Moellendorff 1897 √
Zonitidae
53 Geotrochus multicarinatus (boettger 1890) √
54 Trochomorpha bicolor Martens 1864 √
Subulinidae
55 Prosopeas accutissimum (Moussons 1857) √
56 Subulina octona (Bruguiere 1792) √ √ √
57 Opeas gracile (Hutton 1834) √
Succineidae
58 Succinea minuta Martens 1857 √
Vertiginidae
59 Pyramidula javana (Moellendorff 1897) √ √ √
60 Paraboysidia boettgeri (Moellendorff 1897) √ √ √
Endodontidae
61 Philalanka tjibodasensis (Leschke 1914) √ √ √
Camaenidae
62 Camaenidae unident √
Jumlah 55 35 27

daya tersebut, semakin tinggi kehadiran Keanekaragaman keong yang


spesies dan kepadatannya. berada di habitat non-hutan terbukti lebih
Tumpukan daun di atas serasah rendah daripada keanekaragaman keong
dapat membentuk lapisan penahan suhu di dalam hutan dengan perbedaan 32,26%
dingin dari luar sehingga perubahan suhu (perbedaan 88,71% vs. 56,45%). Di
malam dengan siang di luar serasah tidak habitat non-hutan ini keadaan suhu
mempengaruhi suhu di dalam serasah. cenderung lebih tinggi, kelembaban lebih
Hal demikian menjadikan lingkungan rendah dan naungan lebih terbuka
yang baik bagi keong yang berada di sehingga membuat kondisi yang tidak
tempat dingin sekali seperti di tempat yang disukai oleh sebagian besar keong darat.
tinggi. Oleh karena itu di tempat yang Keong adalah binatang yang sangat peka
dingin, keong-keong darat banyak berada terhadap perubahan habitat akibat
di bawah serasah. tubuhnya yang halus dan permeabel.

197
Heryanto

Secara umum dapat dikatakan bahwa hutan alam karena mempunyai ukuran
pembukaan hutan, hilangnya habitat, dan yang lebih besar. Keong yang berukuran
perubahan fungsi hutan menjadi besar biasanya identik dengan cangkang
perkebunan serta hadirnya keong yang tebal sehingga cangkangnya sukar
pendatang (alien) menjadi penyebab untuk dipecahkan oleh pemangsa.
utama kepunahan keong darat secara Cangkang yang tebal juga menjadi
besar-besaran (Mace 1993, Lydeard et pelindung keong dari suhu dingin. Keong-
al. 2004 in Oke et al. 2008, Naggs & keong darat yang berukuran lebih kecil
Raheem 2005). seperti H. perfragilis, M. gratilla,
Sebaran ukuran keong darat di G. Coneuplecta sp, dan L. grandipilum
Slamet sangat bervariasi. Keong-keong mampu bertahan karena mempunyai
yang berukuran mikro (tinggi maksimum kemampuan bergerak lebih cepat untuk
2 mm) seperti dari famili Diplommatinidae menghindari pemangsanya.
(D. auriculata, D. cyclostoma, D. Membandingkan hutan dan non
duplicilabra, dan D. sulcicollis) lebih hutan di kedua tempat penelitian akan
banyak berada di habitat hutan daripada mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil
di non-hutan. Di habitat hutan tersebut, kajian di lokasi penelitian menunjukkan
keong-keong yang berukuran mikro bahwa, jumlah spesies keong yang
banyak terdapat di dalam serasah; ditemukan di kedua habitat (hutan dan
kejadian ini terjadi karena di luar hutan non-hutan) cukup banyak (43,55%). Hal
serasah sangat sedikit. Sementara itu, tersebut dimungkinkan karena kedua
keong darat berukuran sedikit lebih besar habitat saling berdekatan atau
seperti P. tjibodasensis, P. boettgeri, bersambungan sehingga tepi kedua
dan P. javana berada di kedua habitat, habitat tersebut sedikit-banyak
menempel pada daun dan ranting mempunyai kesamaan penghuni. Oleh
tumbuhan perdu. karena itu, banyak spesies keong yang
Keong yang berukuran sedang dan berbagi habitat dengan keong lainnya.
besar berada pula di kedua habitat. Mereka dapat mentolerir hidup di kedua
Keong D. clypeus dan E. bataviana habitat pada suatu waktu atau berpindah
yang berukuran besar hanya ditemukan dari satu habitat ke habitat lainnya.
di habitat non-hutan di G. Slamet, padahal Gambar 1 di bawah ini memperlihat-
di tempat lain keong-keong itu terbiasa kan bahwa di dalam habitat hutan di
juga hidup di dalam hutan. Hal ini Kalipagu dan di Bambangan ditemukan
menunjukkan bahwa hutan adalah habitat 63,6% (35 spesies keong) dan 50,9% (28
yang baik bagi kehidupan semua keong spesies keong) jumlah spesies dari
dari berbagai ukuran. Sebaliknya, habitat seluruh spesies yang ditemukan di G.
non-hutan yang lebih terbuka hanya dapat Slamet. Sementara itu di habitat non-
mengakomodasikan keong-keong jenis hutan di Kalipagu dan di Bambangan
tertentu yang mempunyai kemampuan jumlah spesies keong yang ditemukan
“ekstrim”. Sebagai contoh, E. patens masing-masing 48,5% (16 spesies keong)
mampu bertahan hidup di habitat non- dan 60,6% (29 spesies keong). Dari

198
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro

lokasi tersebut, hasilkajian menunjukkan jumlah spesies yang ditemukan lebih


bahwa vegetasi yang lebih rapat di habitat sedikit. Di pihak lain, di Bambangan tidak
hutan, di daerah Kalipagu dijumpai Sungai terdapat sungai yang besar tetapi jaringan
Banjaran dengan anak-anak sungainya lembah yang hanya dilalui air terutama
yang saling berdekatan. Sepanjang pada waktu hujan. Di dalam habitat
sungai Banjaran dan anak-anak hutan, lembah yang cukup dalam
sungainya terdapat banyak lembah yang didukung oleh pepohonan besar yang
membuat situasi menjadi lebih dingin, mengelilinginya menyebabkan terbentuk-
lembab, dan gelap. Keadaan tersebut nya kondisi habitat yang sesuai bagi
amat sesuai untuk kehidupan keong darat keong. Di bagian luar hutan, lembah
sehingga mereka lebih banyak ditemukan tersebut ditumbuhi oleh semak-semak
di tempat tersebut. Pada saat sungai yang lebat. Keong darat yang ditemui
Banjaran melewati habitat non-hutan, umumnya adalah yang hidup menempel
kondisi yang sesuai untuk kehidupan pada daun dan batang semak-semak
keong hanya tercipta di bawah semak- yang tumbuh di tempat tersebut.
semak di sepanjang sungai itu sehingga

Hutan 63,6%  50,9% 

12,7% 
Bambangan
Kalipagu
9,1% 

Non-hutan 48,5%  60,6% 

 
Gambar 1. Perbandingan jumlah spesies antara Kali Pagu dan Bambangan untuk habitat
hutan dan non-hutan

H. perfragilis
M. gratilla

Coneuplecta sp.
L. grandipilum
H. patens
D. auriculata
Helicarion sp
H. albellus
T. bicolor L. viridula

 
 
Gambar 2. Lima tertinggi dari spesies yang mempunyai individu terbanyak di habitat hutan
dan non-hutan

199
Heryanto

Habitat non-hutan alam di Kalipagu mempunyai kepadatan rata-rata tertinggi


berupa hutan pinus (Pinus mercusii) dan hasilnya disajikan pada Gambar 2.
yang di bawahnya ditumbuhi rumput atau Di habitat hutan, D. auriculata
belukar perdu. Tanaman pinus yang mencapai jumlah rata-rata 24,13/m2,
berstruktur tegak dengan dahan yang disusul oleh Helicarion sp (10,15/m2), H.
pendek dan berdaun jarum membuat albellus (5,94/m2), T. bicolor (4,79/m2)
sinar matahari dengan bebas mencapai dan L. viridula (4,21/m2). Sementara
lantai hutan. Sinar matahari yang masuk itu di habitat non-hutan, lima terbanyak
melalui celah di antara tanaman pinus adalah H. perfragilis (13,5/m2), M.
membuat suhu relatif lebih tinggi daripada gratilla (13,00/m 2), Coneuplecta sp
suhu di dalam hutan alam. Suhu yang (7,00/m2), L. grandipilum (4,00/m2), dan
tinggi bercampur dengan terpaan sinar E. patens (2,50/m2).
matahari membuat tingkat kelembaban Keong-keong yang berukuran mikro
menjadi rendah, suatu keadaan yang tercatat mempunyai kepadatan tinggi, baik
tidak ideal bagi keong darat. Jarangnya di dalam habitat hutan maupun di non
vegetasi membuat serasah yang tercipta hutan. Keong-keong mikro tersebut
juga tipis dan membuat dua hal yang tidak hidup di bawah serasah karena
baik bagi kehidupan keong yaitu mendapatkan pemenuhan kebutuhan
sedikitnya perlindungan dan sedikitnya yang optimum, seperti yang telah
pasokan makanan. didiskusikan sebelumnya. Sementara itu,
Hampir sama terjadi pula di habitat keong darat genus Helicarion dan
non-hutan alam di Bambangan. Habitat Trochomorpha yang berukuran lebih
non hutan alam di tempat tersebut adalah besar dan hidup menempel pada vegetasi
bekas tanaman pinus yang telah dijadikan hanya hidup di habitat hutan.
kebun sayur dan kemudian ditinggalkan. Kekecualian ada E. patens yang hidup
Keadaan menjadi terbuka sama sekali di non-hutan tetapi mempunyai
karena tidak ada tanaman besar. Lantai kepadatan yang cukup tinggi karena
bekas hutan tersebut hanya ditumbuhi mempunyai ukuran yang besar dan
rumput dan perdu. Keadaan yang bercangkang tebal.
terbuka, baik di Kalipagu maupun
Bambangan membuat sedikit sekali KESIMPULAN
keong darat yang ditemukan di kedua
tempat tersebut karena persyaratan Keong-keong yang berukuran mikro
hidupnya yang tidak ada atau hampir tidak lebih banyak berada di dalam serasah.
ada. Oleh karena itu keanekaragaman keong
Bukan hanya jumlah spesies yang berukuran mikro lebih tinggi di hutan
lebih tinggi di dalam habitat hutan daripada di non-hutan.
dibandingkan dengan di habitat non-hutan Jumlah spesies keong darat di G.
tetapi jumlah individu pun menunjukkan Slamet memiliki keragaman jauh lebih
hal yang sama. Sebagai contoh, dari tinggi daripada di G Halimun.
setiap habitat diambil lima spesies yang Kemungkinan besar hal ini disebabkan

200
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro

oleh ekosistem G. Slamet yang mollusca of the Indo-Australian


mempunyai sub ekosistem yang lebih Archipelago III. Critical revision of
lengkap sehingga mampu mengakomo- the Javanese pulmonate lands-snails
dasi lebih banyak spesies. of the families Ellobiidae to
Hutan di Kalipagu memiliki Limacidae, with an appendix on
keanekaragaman keong paling tinggi Heliocarionidae. Treubia 21(2):
karena selain vegetasinya lebih rapat juga 291-435.
karena terdapat sungai Banjaran beserta Mace, GM. 1993. 1994. IUCN red list
beberapa anak-sungai yang saling of threatened animals World
berdekatan yang membuat situasi menjadi Conservation Monitoring Centre,
lebih dingin, lembab, dan gelap sehingga IUCN Species Survival
lebih mendukung kehidupan beragam Commission. Gland, Switzerland
keong darat. and Cambridge, U.K. 289 pp.
Habitat non-hutan yang lebih Naggs, F. & D. Raheem. 2005. Sri
terbuka hanya cocok bagi keong-keong Lankan snail diversity: faunal
jenis tertentu yang mempunyai origins and future prospects.
kemampuan “ekstrim”, contoh, E. patens Records of the Western
yang mempunyai ukuran lebih besar. Australian Museum Supplement
68: 11-29.
DAFTAR PUSTAKA Oke OC., FI. Alohan, MO. Uzibor & J.
U. Choko.r 2008. Land snail
Jutting, W.S.S. van Benthem. 1948. diversity and species richness in an
Sistematic studies on the non-marine oil palm agroforest in Egbeta, Edo
mollusca of the Indo-Australian State, Nigeria. Bioscience
Archipelago I. Critical revision of Research Communications 20 (5).
the Javanese operculate lands-shell Pielou, SC. 1975. Ecological diversity. John
of the families Hydrocenidae, Wiley & Sons, New York-
Helicinidae, Cyclophoridae, Chichester--Brisbane-Toronto. 385
Pupinidae, and Cochlostomatidae. pp.
Treubia 19(3): 539-606. Whitten, T., RE. Soeriaatmadja & SA.
Jutting, WSS. van Benthem. 1950. Afiff. 1996. The Ecology of Java
Sistematic studies on the non-marine and Bali. The ecology of Indonesia
mollusca of the Indo-Australian series Vol. II. Periplus Editions Ltd.
Archipelago II. Critical revision of Singapore. 969 pp.
the Javanese operculate lands-shell
of the families Helicarnidae,
Pleurodontidae, Fruticicolidae, and
Streptaxidae. Treubia 20(3): 381-
505.
Jutting, WSS. van Benthem. 1952.
Sistematic studies on the non-marine

201
Heryanto

202
Keanekaragaman Keong Daarat di Dua Macam Habitat Makro

Lampiran 1. Beberapa contoh keong Gunung Slamet

Coneuplecta bandongensis Cyclophorus rafflesi rafflesi

Dyakia rumphii Pupina junghuhni

203
Heryanto

204
Ekologi Gunung Slamet

Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk di Gunung Slamet

Woro Anggraitoningsih Noerdjito

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta-
Bogor Km. 46, Cibinong 16911, Bogor. Email: woronoerdjito@yahoo.com

ABSTRACT

The Major Group of Bark Beetles in Slamet Mountain. Bark beetles are a group of insects
that part or all of their lives depend on decaying wood. The larvae of this beetle plays an
important role in nutrient recycling process while some of the adult beetles functioning as
pollinators. Among the various species of bark beetles found in the region G. Slamet, long-horn
beetle (Cerambycidae) is the largest (37 species) followed by stag beetles (Lucanidae; 6 species),
scarab (Scarabaeidae: 3 species Dynastinae and 2 species Cetoninae), betsi (Passalidae; 3
species) and tenebrionid (Tenebrionidae, 3 species). Of the 37 species of long-horn beetle
found, some species are known to live in a variety of forest types and height, whereas in the
forest below 1,000 m asl , primary and secondary forest, inhabited only by species not found
in the higher habitats such as Batocera spp. and Acalolepta dispar. The higher habitats are
only found on the South side of the mountain Slamet which serves as the buffer for Ketenger
reservoir and Curug Tujuh. Therefore, these habitats should not be disturbed by various
human activities, including bamboo logging or firewood picking. Changes of habitat or
conversion of forests to plantations, agriculture or settlement (including tourist areas
Baturraden) and the utilization of dead or fallen wood resulted the disappearance of species
stag beetles (Lucanidae) which had been collected in the mountain region Slamet. Currently,
only five species were collected of 23 species of stag beetle ever found.

Kata Kunci: bark, beetles, Slamet Mountain.

PENDAHULUAN alami. Pada saat terbang, selain untuk


menjaga posisi tubuh agar bisa tegak,
Kumbang adalah serangga bangsa elitra juga berfungsi mengangkat dan
Coleoptera yang mudah dikenali karena membantu mendorong tubuhnya. Bentuk
mempunyai pasangan sayap depan keras dan ukuran elitra cukup bervariasi, ada
yang disebut elitra. Pada kondisi yang bertepi luar sejajar atau permukaan
istirahat, elitra melipat rapi membentuk atasnya bergaris-garis memanjang,
garis lurus di bagian tengah punggung, berdekik, dan halus atau licin mengkilat.
melindungi sayap belakang yang tipis Pada umumnya, elitra tumbuh sempurna
untuk terbang (Gambar 1). Pasangan dan menutupi seluruh bagian tubuh; tetapi
sayap pertama yang mengalami pada beberapa spesies ada yang memiliki
sklerotisasi, atau mengeras, sangat elitra sangat pendek sehingga tidak
berguna untuk melindungi tubuh dari menutupi beberapa ruas abdomen
faktor gangguan luar, termasuk musuh terakhir; sebagai contoh kumbang

205
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

Staphylinidae. Pada kunang-kunang Serangga kayu lapuk merupakan


(Lampyridae) betina, sangat tereduksi kelompok serangga yang menggunakan
sehingga tubuh bagian belakangnya kayu lapuk dalam sebagian atau seluruh
tampak karena tidak tertutup elitra; kegiatan hidupnya, misal untuk bersarang,
sehingga mirip sekali dengan bentuk bertelur, dan sumber pakan (Boror 1989).
pradewasa atau larvanyanya. Kegiatan serangga di dalam kayu lapuk
Spesies-spesies kumbang menyusun tersebut secara tidak langsung mengubah
kelompok terbesar, sekitar 40% dari bongkah-bongkah kayu menjadi partikel-
seluruh spesies serangga, dan sangat sulit partikel yang lebih kecil, sehingga dapat
memperkirakan jumlahnya. Pada saat lebih mudah diuraikan oleh jasad renik
ini sudah lebih dari 350.000 spesies atau organisme lain. Dengan demikian,
kumbang di dunia yang sudah diketahui senyawa kimia sangat kompleks dapat
dan diberi nama ilmiah. Dari jumlah terurai menjadi senyawa yang lebih
tersebut sekitar 30.000 spesies ada di sederhana, menjadi hara tanah yang
Amerika Serikat dan Canada (Borror segera dapat dimanfaatkan lagi oleh
dkk. 1989), 28.211 spesies terdapat di tumbuh-tumbuhan. Serangga kayu lapuk
Australia (Lawrence & Britton, 1994), berperan penting dalam proses
dan diperkirakan sekitar 10% dari jumlah perputaran hara dari vegetasi ke dalam
spesies kumbang dunia terdapat di tanah dalam waktu yang relatif lebih
Indonesia. Di dalam hutan, dengan singkat. Namun demikian, pengetahuan
ukuran yang beragam, serangga mengenai kelompok serangga kayu lapuk
perombak kayu-lapuk menyusun biomasa beserta perannya dalam perputaran hara
serangga yang paling besar. Sebagian masih sedikit sekali.
besar waktunya digunakan untuk Pelapukan dan perombakan kayu
merayap dipermukaan tanah, atau di merupakan bagian dari siklus hara dalam
antara bagian tumbuhan. Walaupun ekosistem hutan, namun pengetahuan
hampir semua kumbang dapat terbang yang terkait dengan perombakan kayu
namun kemampuan terbangnya sangat masih sangat terbatas sehingga perlu
terbatas; kelompok serangga terbang ini dilakukan berbagai macam penelitian;
hanya untuk mengefektifkan perpinda- terutama mengenai kelangsungan hidup
hannya dari satu pohon ke pohon lain. spesies-spesies yang sangat berperan

Gambar 1. Bentuk tubuh kumbang (Prosopocoilus Zebra); sayap depan keras dan melipat rapi
membentuk garis lurus di punggung saat istirahat.

206
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

dalam proses siklus unsur hara, termasuk perkebunan, tempat peristirahatan serta
serangga. Untuk dapat melestarikan pemukiman. Pada tahun 1949 di
serangga perombak perlu mengetahui berbagai tempat yang lebih tinggi dari
spesies-spesiesnya, termasuk hubungan 1.000 m dpl, juga dilakukan alih-fungsi
antara perilaku dan keadaan kayu serta hutan alam menjadi hutan tanaman damar
variasi iklim dan faktor-faktor lain yang serta pinus. Dengan pengalih fungsian
berpengaruh. Pengetahuan mengenai tersebut dapat dipastikan telah terjadi
segi-segi ini akan banyak digunakan perubahan daya dukung kawasan bagi
dalam mempelajari efisiensi perombakan kehidupan berbagai ragam fauna
kayu dan pemanfaatannya. kumbang terutama spesies-spesies yang
Mengingat tingkat pengetahuan kehidupan larvanya sangat tergantung
terutama keragaman spesies-spesies pada adanya kayu lapuk, misalnya
kumbang penghuni kayu lapuk masih Scarabaeidae, Lucanidae dan
terbatas serta belum dilakukan Cerambycidae. Sampai saat ini, setelah
inventarisasi yang memadai maka dinilai lebih dari 60 tahun, belum pernah
perlu dilakukan penelitian terkait dengan dilakukan penelitian terkait dengan
spesies kumbang yang tingkat larvanya perubahan termasuk dampak positif
di temukan dalam kayu lapuk. Kumbang maupun negatif yang timbul. Oleh karena
dewasa yang larvanya hidup pada kayu itu sangat diperlukan. pengungkapan
lapuk umumnya hidup sebagai pemakan kembali keberadaan spesies kumbang
kulit kayu, daun, pucuk, dan bunga. perombak kayu lapuk terutama famili
Kumbang dewasa yang hidup dari bunga Lucanidae dan Cerambycidae yang
tersebut secara tidak langsung dapat pernah terkoleksi sekitar tahun 1925-
berperan sebagai penyerbuk bunga. 1940-an . Selain dimanfaatkan untuk
Larva dari berbagai spesies mengetahui dampak alih fungsi lahan
kumbang kayu lapuk tubuhnya terhadap kelestarian kumbang Lucanidae
mengandung protein yang tinggi. Salah dan Cerambycidae, hasil penelitian ini
satu spesies kumbang kayu lapuk yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para
saat ini dikembang biakan adalah ulat peneliti muda yang berminat untuk
hongkong (Tenebrio molitor) sebagai melakukan penelitian lebih mendalam
pakan satwa piaraan, seperti burung, tentang fungsi dan manfaat kelompok ini
amphibi, reptil dan ikan (www.eol.org/ di masa mendatang.
pages/1041700). Selain sebagai pakan
satwa piaraan, larva kumbang kayu yang BAHAN DAN CARA KERJA
dikenal dengan nama uter (larva
Xystrocera festiva (Cerambycidae) juga Penelitian kumbang Scarabaeidae,
sering dipakai sebagai umpan Lucanidae dan Cerambycidae dilakukan
memancing. di lereng utara, selatan dan timur G.
Sejak sebelum Indonesia merdeka, Slamet.
hampir seluruh lereng G. Slamet dialih- Penelitian di lereng utara dilakukan
fungsikan menjadi berbagai lahan di 3 (tiga) jalur pendakian. Jalur (1),

207
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

merupakan jalur pendakian ke puncak G. Penelitian di lereng timur dilakukan


Slamet, diawali dari desa Guci pada di jalur pendakian Bambanganl 2–11
ketinggian 1.200 m dpl sampai pada Maret 2010. Pengumpulan data dimulai
ketinggian sekitar 2.500 m.dpl. Pada dari pos pendakian pada ketinggian 1.540
ketinggian 1.400–1.600 m dpl. jalur m. dpl. dengan lingkungan berupa kebun
berada di hutan pinus, dengan tanaman sayur-sayuran (sawi, caisim, kol, kentang
sela berupa sayuran (kol, wortel dsb.) dan dll.). Pada ketinggian 1.600 m.dpl.
pisang. Mulai ketinggian 1.700 m dpl. lingkungan berupa hutan tanaman pinus
jalur ini berada di hutan alami. Jalur (2) dan damar tahun 2002. Pada ketinggian
terletak di jalur pendakian menuju puncak sekitar 1.700 m. memasuki hutan pinus
G. Penjara, pada ketinggian 1.500– ditanaman tahun 2005. Mulai pada
1.600m.dpl; sedangkan jalur (3) terletak ketinggian sekitar 1.970 lingkungan
pada jalur pendakian menuju puncak G. berupa alam; mulai ketinggian 2.500 m
Semar, 1.500–1.600 m.dpl., G.. Penjara berubah menjadi “hutan” edelweis.
dan G. Semar, memiliki puncak-puncak Mengingat sangat terjalnya semua
yang lebih rendah dari pada puncak lereng G. Slamet, maka pengumpulan
utamadari G. Slamet. Pada tanggal 29 contoh kumbang dilakukan dengan
Januari sampai 7 Februari 2009, koleksi “mengundang” kumbang ke tempat yang
dilakukan di puncak utama Slamet, ditentukan.
sedang koleksi di puncak Penjara dan Pengumpulan data dilakukan dengan
Semar dilakukan pada, tanggal 7-17 April bantuan perangkap lampu. Mengguna-
2009. kan cara ini berbagai spesies kumbang
Penelitian di lereng selatan dilakukan kayu lapuk yang larvanya hidup di kayu
pada tanggal 13–24 Mei 2009 di jalur yang sedang melapuk, dewasanya aktif
pendakian Kalipagu–Baturraden. di malam hari dan tertarik dengan cahaya
Namun karena sejak 19 April 2009 G. lampu. Oleh karena itu, pada saat tidak
Slamet meletus maka kegiatan hanya ada cahaya bulan, di setiap tempat
dapat dilakukan pada ketinggian antara penangkapan, perangkap lampu di
700-1.000 m. Pengumpulan data pasang dari pukul 18.00 sampai 24.00
dilakukan di 3 tempat: (1) di hutan selama dua malam berturut-turut
sekunder di atas waduk Ketenger, pada (Gambar 2).
ketinggian 700-850 m. merupakan jalur Khusus untuk kumbang Ceramby-
pendakian ke arah puncak; tempat (2) di cidae “diundang” dengan ranting nangka
sepanjang saluran PLTA dari waduk Artocarpus sebagai pemikatnya. Untuk
Ketenger menuju ke pancuran Tujuh, itu di setiap tempat koleksi, pada batang
dengan ketinggian sekitar 700 m. dpl., di kayu yang dipilih, dipasang 10 ikat
sebelah kiri berupa hutan primer dan Artocarpus yang masing-masing terdiri
sebelah kanan hutan damar; dan tempat atas 5 ranting. Pada saat mulai layu,
(3) di hutan primer di atas pancuran ranting nangka tersebut menarik
Tujuh, pada ketinggian 750-860 m.dpl. kehadiran kumbang Cerambycidae
(Gambar 3). Setiap dua hari sekali atau

208
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

dua kali seminggu, kumbang yang berada metode “beating” (Noerdjito et.al. 2003,
di perangkap tersebut dikumpulkan 2005, 2008) (Gambar 4).
dengan cara memukul-pukul lemah ikatan Koleksi larva kumbang kayu lapuk
ranting nangka, kumbang yang jatuh dilakukan dengan membelah kayu lapuk
ditampung dengan kain putih yang yang ditemukan.
dibentangkan di bawahnya. Cara
penangkapan ini dikenal dengan sebutan

Gambar 2. Perangkap lampu, menggunakan bola lampu mercuri 80 watt dan 2 buah neon
mercuri 20 watt yang dipasang berdampingan, mulai pk. 18.00-24.00

Gambar 3. Perangkap cabang nangka yang mulai layu, Insert: kumbang yang
hadir

Gambar 4. Perangkap “cabang nangka”, setelah perangkap layu, mengundang kumbang


untuk berkerumun dan dikoleksi dengan memukul/menggoyang, kumbang yang jatuh
ditampung dengan net serangga atau kain putih yang dibentangkan

209
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

HASIL DAN PEMBAHASAN atau sungut yang merupakan sepasang


embelan beruas pada kepala di atas
Kumbang yang ditemukan di bagian mulut dan umumnya berfungsi
kawasan G. Slamet selama survei 2009- sebagai indra adalah yang ke 8-11. Pada
2010 dapat dilihat pada Tabel 1. tiga ruas terakhir berbentuk lempeng yang
Selanjutnya kumbang yang larvanya dapat dibentangkan melebar atau
hidup di kayu yang sedang melapuk dan dikuncupkan membentuk gada dengan
kumbang dewasanya dapat dengan ujung yang padat. Tibia (tuas ke empat
mudah dikoleksi dengan perangkap tungkai antara femur dan tarsus) tungkai
lampu adalah famili Scarabaeidae, depan membesar dengan pinggir luar
Lucanidae,Cerambycidae, Tenebrionidae bergigi atau berlekuk. Pada beberapa
dan Passalidae. spesies kumbang scarab pemakan
kotoran bentuk kaki nya spesifik karena
Kumbang Scarab (Scarabaeidae) sebagai kaki penggali. Berdasarkan
Anggota kumbang scarab bentuk dan perilakunya kumbang scarab
(Scarabaeidae) di Indonesia diperkirakan dikelompok-kan menjadi lebih dari 10
lebih dari 1.000 spesies. Scarabaeidae subfamili, namun yang larvanya
sangat bervariasi dalam ukuran, bentuk, ditemukan hidup pada kayu lapuk di
warna, dan perilakunya. Ciri umum yang kawasan G. Slamet hanya Dynastinae
memudahkan untuk membedakan dan Cetonininae.
Scarabaeidae dengan famili lain adalah
bentuk tubuhnya yang cembung, ½ bulat Subfamili Dynastinae
telur, dengan morfologi tungkai (kaki) Pada umumnya kumbang jantan
yang khas, di antaranya mempunyai yang termasuk subfamili Dynastinae (=
jumlah ruas tarsus (yang merupakan kumbang tanduk) mempunyai bentuk
bagian tungkai setelah tibia) depan 5, yang berbeda dengan betinanya.
tengah 5, dan belakang 5. Ruas antena Kumbang jantan bertubuh besar dengan
Tabel 1. Jumlah spesimen dan spesies kumbang stag yang terkoleksi di G. Slamet sisi utara &
Selatan (2009) dan sisi timur (2010).

210
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

kepala yang dilengkapi tanduk yang sebaran yang khas dan sangat erat
indah, masing-masing spesies memiliki hubungannya dengan keadaan habitat,
variasi jumlah dan bentuk yang berbeda. susunan vegetasi dan ketinggiannya.
Ada kumbang yang memiliki tanduk
tunggal dengan ranting di ujungnya, dan a.Chalcosoma caucasus (Fabricius,
ada pula yang bertanduk tiga. Kumbang 1801). Kumbang ini besarnya dapat
tanduk betina bertubuh lebih kecil dan mencapai 15 cm, sehingga dikenal
selalu tidak bertanduk. Baik jantan sebagai kumbang badak. Kumbang
maupun betina memiliki antena dengan jantan mempunyai “tanduk” tiga,
ruas ketiga sampai ketujuh yang sedangkan kumbang betina tidak
berbentuk lamela, dan merupakan cuatan bertanduk dengan elitra yang agak kasar
tipis berbentuk lempeng seperti piring atau (Gambar 5). Selama penelitian di G.
daun (Soemartono dkk. 2010). Telur Slamet, kumbang dewasa, baik jantan
menetas menjadi larva berwarna putih maupun betina, dapat terkoleksi di hutan
yang disebut uret; tubuh uret sering primer antara Pancuran Tujuh dengan
tampak melengkung, berbentuk huruf C. Kalipagu, pada ketinggian sekitar 750 m.
Makanan utama larva kumbang tanduk dpl. Larva ditemukan pada kayu yang
adalah bahan-bahan organik yang sangat lapuk dengan kondisi telah
membusuk, termasuk kayu yang sedang menyerupai tanah di kawasan hutan di
melapuk. Tubuh larva dilengkapi dengan dekat puncak G. Penjara. Kumbang ini
tiga pasang kaki, dilengkapi dengan diketahui mampu hidup sampai ketinggian
spirakel atau lubang pernapasan 1.500 m. dpl. (Tabel 1)
berwarna hitam dengan rambut-rambut
di sekitarnya. Larva kemudian berubah b.Oryctes rhinoceros (Linnaeus, 1758).
menjadi kepompong (pupa). Proses Kumbang ini memiliki panjang 35-50 mm.
terbentuknya kepompong (pupasi) terjadi Spesies ini tersebar luas di Asia Tenggara
di dalam tanah atau di dalam bahan- dan kepulauan Pasifik bagian barat daya.
bahan yang sedang melapuk. Kumbang Kumbang ini ditemukan di dua tempat,
dewasa umumnya hidup pada tumbuhan (1) di pinggir hutan di Kalipagu, pada
hidup, beberapa spesies dapat ditemukan ketinggian sekitar 700 m. dpl. dan (2) di
pada pohon palem, aren atau kelapa. pinggir sungai dekat perkampungan di
Selama penelitian di G. Slamet Bambangan, pada ketinggian sekitar
ditemukan tiga spesies kumbang 1.500 m. Kumbang dewanya aktif di
Dynastinae yang dewasanya, tertangkap malam hari dan tertarik dengan cahaya
dengan perangkap lampu. Spesies- lampu. Oleh karena itu di kawasan G.
spesies tersebut adalah Chalcosoma Slamet, kumbang ini sering ditemukan
caucasus, Oryctes rhinoceros, dan di perkampungan pinggir hutan. Larva
Xylotrupes gideon. Ketiganya kumbang ini diketahui tidak hanya hidup
umumnya terdapat di hutan-hutan di pada kayu yang sedang melapuk namun
seluruh P. Jawa. Di G. Slamet, setiap juga dapat hidup pada bahan organik atau
spesies yang ditemukan menunjukkan sisa-sisa tumbuhan yang sedang

211
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

membusuk. Oleh karena itu, larva ditemukan pada Acacia decurrens,


kumbang Oryctes rhynoceros dapat Citrus, dan pohon kapur di Sulawesi
hidup di sekitar tempat sisa-sisa makanan (Kalshoven 1981). Tubuh larva ditutupi
kambing. Kumbang dewasa sering di oleh rambut kemerahan. Larva hidup di
temukan sebagai pemakan pucuk daun tanah yang berhumus, pupuk kandang
kelapa. dan kompos, batang nanas mati, kayu
lapuk, dll. Kumbang dewasa aktif di
c.Xylotrupes gideon (Linnaeus, 1767. malam hari dan tertarik pada cahaya
Kumbang jantan dicirikan dari bentuk lampu. Di G. Slamet kumbang
kepala dan toraks yang memanjang mirip Xylotrupes gideon ditemukan di
pinset. Spesies ini tersebar luas di Asia Kalipagu pada ketinggian sekitar 750 m.
Tenggara. Kumbang ini sering ditemukan dpl dan Guci pada ketinggian sekitar
di mahkota daun kelapa karena kumbang 1.100 m. dpl., di dekat perumahan
betinanya mengebor pusat daun; mirip penduduk.
dengan kumbang Oryctes. Spesies ini
sering merusak tulang daun sehingga Subfamili Cetoninae, Kumbang
mengakibatkan patahnya daun yang Bunga.
masih menggulung. Kumbang jantan Kelompok ini dikenal sebagai
sering ditemukan pada bunga. Kumbang kumbang bunga karena sebagian besar
dewasa tidak hanya tertarik pada pohon kumbang Cetoninae merupakan
indigo (Indigofera sp) dan flamboyan pemakan tepung sari sehingga sering
(Poinciana sp) tetapi juga dapat dijumpai di bunga. Beberapa spesies

Gambar 5. Chalcosoma caucasus; larva , jantan dan betina

Gambar 6. Oryctes rhynoceros jantan (kiri) dan betina (kanan)

212
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

tertarik untuk mengisap cairan hasil buah-buah yang sedang mengalami


fermentasi buah-buahan yang mulai pembusukan.
membusuk, misalnya buah pisang. Larva Selama penelitian di G. Slamet dapat
Cetoninae hidup sebagai pemakan bahan di tangkap 5 (lima) spesies kumbang
organik yang membusuk termasuk kayu Cetoninae yaitu: 1. Coelodera
lapuk dan liter di alam, namun beberapa trisulcata, bersama pupa dan larvanya
spesies ada yang dilaporkan sebagai terkoleksi pada kayu yang sedang
pemakan akar di dalam tanah. Serangga melapuk di hutan yang menuju puncak
dewasa mempunyai warna yang G. Penjara (G. Slamet sisi Utara); 2.
menarik, dengan warna dasar hijau Chalcothea resplendens (Gambar 9),
mengkilat dan sering dengan pola warna yang sedang mengunjungi bunga, di
yang indah (Gambar 7 & 8). Spesies- kawasan hutan primer di atas Pancuran
spesies yang tertarik bunga umumnya Tujuh; 3. Merolaba antigua (Gambar
berwarna mengkilat, misalnya anggota 10) yang sedang mengunjungi bunga
spesies Agestrata. Sebagai pemakan jambu air yang tumbuh di sisi waduk
tepung sari, sedangkan kumbang yang Ketenger, Kalipagu. Merolaba antigua,
menyukai cairan hasil fermentasi ini juga terkoleksi dengan perangkap buah
(material organik dan buah-buahan) pisang (Gambar 10). Menggunakan
berwarna kecoklatan adalah spesies- perangkap lampu di atas Pancuran Tujuh
spesies Protaetia. Pada umumnya di hutan primer, terkoleksi dua spesies
kumbang Cetoninae dewasa tidak aktif kumbang Cetoninae yaitu Glyphana
di malam hari, namun dapat ditemukan swainson, dan Taeniodera scenica
pada bebungaan yang sedang mekar atau

Gambar 7. Xylotrupes gideon jantan dan betina (Foto: Giyanto)

Gambar 8. Larva, pupa dan dewasa kumbang Cetoninae, Coelodera trisulcata

213
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

(Gambar 10), kedua spesies tersebut berukuran 30-0 mm, lunak, dan berkaki
mempunyai panjang tubuh sekitar 15 mm. tiga pasang namun tubuhnya tidak terlalu
melengkung (Gambar 12).
Kumbang Stag (Lucanidae) Di Indonesia, diketahui sekitar 120
Kumbang Lucanidae jantan, spesies kumbang stag. Kumbang
mempunyai rahang (mandibula) yang dewasa hidup sebagai pengisap cairan
besar (Gambar 11), beberapa spesies, embun madu kutu daun dan cairan
panjang rahang lebih panjang dari panjang tumbuhan, baik batang atau daun. Oleh
badannya, misalnya pada spesies-spesies karena itu beberapa spesies dapat
Cyclommatus spp. Pada spesies ini, ditemukan sedang memakan cairan yang
rahang berukuran panjang dan beranting meleleh dari bekas luka pada suatu
mirip tanduk rusa. Rahang kumbang batang pohon. Larvanya hidup pada
Lucanidae jantan yang sangat panjang kayu-kayu lapuk, tunggul kayu untuk
sangat kuat sehingga sanggup memegang makan cairan yang keluar dari kayu
pasangannya pada saat perkawinan. lapuk. Di Museum Zoologi Bogor
Rahang kumbang betina berukuran (MZB)tersimpan 22 spesies Lucanidae
seimbang dengan ukuran tubuhnya, hasil tangkapan antara tahun 1925 sampai
namun terlihat sangat pendek jika dengan tahun 1939 dari kawasan
dibandingkan kumbang jantan. Baturaden dan sekitarnya (termasuk
Kumbang jantan dan betina, Nusa Kambangan dan Banyumas)
mempunyai torak, bagian tubuh di dengan jumlah paling banyak ditemukan
belakang kepala yang mendukung adalah Prosopocoelus passaloides (32
tungkai-tungkai dan sayap, biasanya spesimen) (Tabel 2). Selama penelitian
permukaan licin mengkilap, berbentuk di tahun 2009 & 2010 di tiga sisi G. Slamet
segi empat, berwarna coklat atau kuning; keseluruhan terkoleksi 45 spesimen
atau dengan noktah hitam. Beberapa teridentifikasi delapan spesies. Pada
spesies kumbang stag dewasa aktif pada tanggal 29 Januari sampai 7 Februari
siang hari dan tampak mengunjungi bunga 2009, koleksi dilakukan di puncak utama
dan pucuk daun muda seperti kumbang Slamet; sedang koleksi di puncak G.
Cyclommatus sp dan Prosopocoilus sp Penjara dan G. Semar dilakukan pada,
Beberapa spesies aktif terbang di malam tanggal 7-17 April 2009. Penelitian di
hari dan tertarik pada sinar lampu, lereng selatan dilakukan pada tanggal
misalnya spesies Dorsus sp. Larva 13–24 Mei 2009 di jalur pendakian
kumbang stag hidup di dalam kayu lapuk, Kalipagu,Baturraden. Sejak meletusnya
makan cairan-cairan kayu yang sedang G. Slamet 19 April 2009 nampaknya
melapuk. Kepala larva dilengkapi dengan menyebabkan kumbang stag yang
mandibula kuat, hitam, dan sangat dikoleksi di sisi Selatan sangat sedikit (5
berguna dalam mengebor atau spesimen, 2 spesies). Kedua spesies
merombak kayu. Torak coklat dengan 3 kumbang tersebut diketahui tersebar luas
pasang kaki yang kuat. Tubuh larva di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan
umumnya berwarna putih kekuningan Sulawesi.

214
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

Gambar 9. Chalcothea resplendens

Gambar 10. Perangkap buah 2. Merolaba antigua, 3. Glyphana swainson dan 4. Taeniodera
scenica

Gambar 11. Larva, pupa dan kumbang stag dewasa, Lucanidae

Gambar 12. Neolucanus laticollis ; 2. Prosopocoilus astacoides; 3. Cyclommatus canaliculatus

215
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

Tabel 2. Kumbang stag (Lucanidae) yang terkoleksi di kawasan G Slamet dan sekitarnya s/d
tahun 1939 dan koleksi di gunung Slamet sisi utara & Selatan (2009) dan sisi timur
(2010).

Spesiesw S/d 1939 2009 2010 Total


Aegus acuminatus 18 18
Aegus preangerensis 1 1
Allotopus rosenbergi 1 1
Cyclommatus canaliculatus 3 1 4
Dorcus parryi ritsemae 6 6
Dorcus bucephalus 8 8
Dorcus eurycephalus 8 2 10
Dorcus hausteini 4 4
Dorcus taurus 12 5 11 28
Figulus punctata-striatus 1 1
Figulus subcastaneus 1 1
Gnaphaloryx squalidus 5 5
Hexarthrius buqueti 3 3 2 8
Neolucanus laticollis 6 10 16
Odontolabis belicosus 7 7
Prosopocoelus a. cinnamomeus 12 3 3 18
Prosopocoelus aterrinus 9 9
Prosopocoelus occipitalis 6 6
Prosopocoelus giraffa 8 8
Prosopocoelus laterinus? 0 7 7
Prosopocoelus passaloides 32 32
Prosopocoelus zebra 6 6
Jumlah specimen 157 22 25 204
Jumlah individu 23 5 5 24

Neolucanus laticollis diketahui kan koleksi lama (Tabel 2), kumbang ini
merupakan kumbang stag endemik Jawa pernah terkoleksi di Baturraden.
(Gambar 11). Selama penelitian ini Selain perubahan habitat selama 70
Neolucanus laticollis hanya terkoleksi tahun ini, hujan terjadi hampir setiap hari
di G. Slamet, lereng utara (Tabel 1), selama penelitian, baik selama penelitian
dengan jumlah spesimen yang tinggi (10 di sisi utara jalur menuju puncak utama
spesimen dari 15 spesimen kumbang stag Slamet (29 Januari–7 Februari 2009) , di
yang terkoleksi). Namun, spesies ini tidak puncak Penjara dan puncak G. Semar (7-
terkoleksi pada saat penelitian di sisi 17 April 2009) serta di kawasan
Selkatan (Baturaden) padahal berdasar- Kalipagu-Baturraden (13 – 24 Mei 2009),

216
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

menyebabkan perangkap lampu tidak Larva kumbang sungut panjang


dapat dioperasikan secara optimum, dan menghabiskan sebagian besar waktu
akibatnya, koleksi kumbang stag yang hidupnya sebagai pengebor batang kayu.
mempunyai perilaku tertarik dengan Beberapa spesies diketahui sebagai
cahaya lampu kurang optimal. perusak kayu hutan, pohon buah-buahan,
Propopocoelus passaloides kayu tebangan baru, batang pohon yang
diketahui kurang aktif di malam hari, dan tidak sehat serta ranting yang mati.
biasanya kumbang dewasa menempel Hanya beberapa spesies kumbang
pada pohon yang mengeluarkan cairan sungut panjang yang mampu mengebor
semacam lendir bila terluka. Kumbang kayu hidup atau tumbuhan herba.
ini dapat terkoleksi dengan perangkap Kumbang dewasa merupakan pemakan
Malaise (perangkap seperti tenda yang nektar, pepagan muda, pucuk daun dan
ujungnya dilengkapi dengan botol koleksi kulit kayu. Kumbang dewasa
yang sepertiga bagiannya diisi dengan meletakkan telur di celah kulit kayu di
alkohol 70%), di kawasan G. Halimun pangkal ranting atau tepat di bawah
(Koleksi MZB). ranting, setelah menetas, larva langsung
Kumbang sungut panjang (Coleop- mengebor dan masuk ke dalam kayu,
tera, Cerambycidae) merupakan membuat saluran melingkar melintangi
kelompok kumbang yang mudah dikenal batang. Larva cerambycid mudah
karena mempunyai antena sangat dibedakan dari spesies lainnya karena
panjang; kumbang jantan dapat mencapai tubuhnya yang panjang, silindris,
1½ sampai lebih dari dua kali panjang berwarna putih dan tidak berkaki
tubuhnya (Gambar 11). Ujung antena (Gambar 12). Pupa tidak membentuk
berbentuk filiform (membenang). Tubuh kepompong atau selongsong khusus,
biasanya memanjang dan silindris dengan hanya menempati suatu rungan yang
panjang tubuh bervariasi 2-60 mm. Mata biasanya diujung liang gerek. Bentuk
bertakik, dan pangkal antena muncul pupa sangat mirip dengan kumbang
dalam takik tersebut. Tarsal tampak dewasanya hanya sayap belum tumbuh
seolah-olah dengan formula 4-4-4, tetapi sempurna (Gambar 12).
sebenarnya 5-5-5 karena segmen ke-4 Biasanya spesies kumbang ceram-
sangat kecil (inconspicuous). Formula bycid yang berbeda akan memilih spesies
tarsal kumbang cerambicidae pohon atau semak yang berbeda.
menyerupai kumbang chrysomelid; Beberapa spesies dapat dikatakan
namun keduanya dapat dibedakan karena mempunyai tumbuhan inang tertentu
antena chrysomelid yang lebih pendek karena kehidupan cerambycid sangat
dari panjang tubuhnya, tubuh lebih oval tergantung pada pepohonan; oleh karena
dan mata tidak bertakik. Beberapa itu kehadiran kumbang ini dapat dipakai
spesies kumbang sungut panjang sebagai salah satu indikator adanya
mempunyai pola warna yang indah dan kerusakan dari suatu kawasan hutan.
menyolok sehingga sangat menarik bagi Selama penelitian dari berbagai tipe
kolektor. ekosistem di lereng utara, selatan, dan

217
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

timur G. Slamet telah dapat dikumpulkan keragaman terendah berada di lereng


277 spesimen yang terdiri atas 37 spesies utara, di hutan tanaman industri dengan
kumbang sungut panjang. Hasil tanaman sela sayuran, pada ketinggian
tangkapan di lereng selatan adalah yang 1.400–1.600 m. dpl (Tabel 1).
paling rendah (36 spesimen) namun Kehidupan kumbang sungut panjang,
dengan keanekaragaman tertinggi (21 terutama larvanya, sangat tergantung
spesies). Sebaliknya di lereng timur pada keberadaan pohon berkayu. Oleh
memberikan hasil tangkapan yang tinggi karena itu keragaman spesies yang
tetapi dengan keanekaragaman terendah ditemukan dibahas berdasarkan tiga tipe
(13 spesies). Sedang di lereng utara habitat utama yaitu hutan primer,
terkumpul 87 spesimen yang terdiri atas sekunder dan hutan tanaman industri. Di
19 spesies (Tabel. 3). Dari spesies- samping itu dibahas juga keragaman
spesies yang ditemukan selama spesies di habitat yang sama pada
penelitian di ketiga lereng tercatat enam ketinggian yang berbeda, atau sebaliknya
spesies yang mempunyai sebaran pada ketinggian yang hampir sama pada
terbatas di Jawa (= endemik) Jawa yaitu habitat yang berbeda.
Batocera thomsoni, Cleptometopus
javanicus, Cleptometopus montanus, Hutan Primer
Egesina javana, Ropica transver- Dari berbagai ketinggian di hutan
semaculata dan Sybra fuscotriangu- primer terkoleksi 124 spesimen (24
laris. Berdasarkan tipe habitat dan spesies) kumbang sungut panjang (Tabel
ketinggian ditemukannya, keragaman 2). Dari 24 spesies yang ditemukan di
tertinggi (14 spesies) berada di lereng hutan primer di berbagai ketinggian, 9
selatan, hutan sekunder Kalipagu, pada spesies terdapat di atas Pancuran Tujuh,
ketinggian 700–1.000 m. dpl. Sedangkan pada ketinggian 750–860 m dpl.; 3 spesies

Gambar 13. Anhamus daleni (kiri). Rhaphipodus suturalis (tengah) Batocera tigris (kanan)

Gambar 14. Pupa dan larva kumbang sungut panjang, Cerambycidae

218
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

219
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

220
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

221
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

di G. Semar pada ketinggian 1.400–1.500 diakibatkan oleh aktifitas manusia


m.dpl; 13 spesies terdapat di G. Penjara terutama dalam pengambilan kayu mati,
pada ketinggian 1.500–1.600 m. dpl., 7 ranting atau ranting yang jatuh serta sisa-
spesies di jalur Guci menuju G. Slamet, sisa tebangan yang berupa tonggak-
pada ketinggian 1.900–2.500 m dpl. dan tonggak kayu untuk kayu bakar.
8 spesies di jalur Bambangan pada Sebagian besar spesies kumbang
ketinggian 2.000–2.400 m.dpl.(Gambar sungut panjang yang ditemukan di hutan
15). Berdasarkan keragaman spesies primer (15 spesies) tidak ditemukan di
yang ditemukan di habitat hutan primer kawasan lain (Tabel 1) dan ada yang
di berbagai ketinggian yang ada di hanya ditemukan pada ketinggian tertentu
kawasan G. Slamet ini dapat dikatahan (Tabel 2). Di hutan primer di atas
bahwa hutan primer G. Penjara adalah Pancuran Tujuh, pada ketinggian 750–
yang terbaik bagi kehidupan kumbang 860 m, ditemukan tiga spesies kumbang
sungut panjang. Kawasan yang sangat sungut panjang, yaitu Acalolepta dispar,
terjal di G. Penjara merupakan salah satu Egesina javana dan Gnoma thomsoni
sebab sedikitnya gangguan yang yang tidak ditemukan di hutan primer lain.
Tabel 5. Jumlah spesimen dan spesies kumbang sungut panjang yang ditemukan di kawasan
hutan sekunder di G. Slamet

222
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

Dua spesies terakhir yaitu Egesina spesies ini juga merupakan spesies baru,
javana dan Gnoma thomsoni diketahui karena juga belum ditemukan di kawasan
hanya tersebar di Jawa (endemik Jawa). lain di Jawa, antara lain di G. Halimun
Di jalur pendakian menuju G. Penjara, (Makihara dkk. 2002) dan G. Ciremai
pada ketinggian 1.500–1.600 m, juga (Noerdjito 2008). Di hutan primer di jalur
ditemukan dua spesies yang tidak Bambangan, pada ketinggian 2.000–
ditemukan di hutan primer lainnya di G. 2.400 m ditemukan 1 spesies kumbang
Slamet, yaitu Sybra sp. dan Trachystola sungut panjang, yaitu Macrotoma
scabripennis. Sybra sp. mungkin sericollis, yang tidak ditemukan di lokasi
merupakan spesies baru atau catatan hutan primer lain.
baru untuk Jawa yang belum pernah
ditemukan di kawasan lain seperti Hutan sekunder
Halimun (Makihara dkk. 2002) dan Inventarisasi kumbang sungut
gunun G. Ciremai (Noerdjito 2008, 2009, panjang di kawasan hutan sekunder yang
2010). Di hutan primer G. Slamet lereng dilakukan di lereng selatan, di atas waduk
utara, pada ketinggian 1.900–2.500 m, Ketenger, pada ketinggian 750–1.000
hanya ditemukan satu spesies yang tidak m.dpl. diperoleh 15 spesies sedangkan di
ditemukan di hutan primer lokasi lain, hutan sekunder yang terletak di lereng
yaitu Glenea sp. Kemungkinan besar, utara pada jalur menuju puncak utama

Gambar 15. Jumlah spesimen dan spesies kumbang sungut panjang di lokasi hutan primer
pada berbagai ketinggian di kawasan G. Slamet

Gambar 16. Jumlah spesimen dan spesies kumbang sungut panjang yang ditemukan di lokasi
hutan tanaman industri di kawasan G. Slamet.

223
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

Slamet pada ketinggian 1.600-1.800 Sebaliknya dari sembilan spesies, yang


m.dpl diperoleh sembilan spesies. ditemukan di lereng urtara, pada
Keseluruhan-nya terkoleksi 56 spesimen ketinggian 1600-1800 m.dpl. hanya tujuh
(22 spesies) (Tabel 3). Berdasarkan data spesies yang ditemukan di hutan
tersebut dapat dikatakan bahwa pada sekunder di lereng selatan, pada
ketinggian 750–1.000 m.dpl., lebih banyak ketinggian 700-1.000 m.dpl., dengan
ditempati oleh kumbang sungut panjang demikian dapat dikatakan bahwa di
dari pada di ketinggian 1.600-1.800 m. kawasan hutan sekunder pada ketinggian
dpl. Di kawasan hutan sekunder tertentu di huni oleh spesies tertentu pula
sebagian spesies yang ditemukan hanya dan pada kawasan dengan ketinggian
terdapat pada ketinggian tertentu (Tabel yang lebih rendah mempunyai
3); hanya 2 (dua) spesies, yaitu keragaman spesies yang berbeda.
Nyctimenius varicornis dan Xystrocera Berdasarkan data tersebut maka dapat
festiva yang dapat ditemukan baik di dikatakan bahwa keragaman serangga
hutan sekunder pada ketinggian 700- kumbang sungut sangat dipengaruhi oleh
1.000 m.dpl. maupun 1.600–1.800 m. dpl. tipe habitat, vegetasi dan ketinggian
Sebaran vertikal Nyctimenius tempat.
varicornis mungkin sangat erat
kaitannya dengan sebaran tumbuhan Hutan Tanaman Industri
inangnya; namun spesies tumbuhan Di lereng utara, pada ketinggian
inangnya sampai saat ini belum diketahui. 1.200–1.600 m.dpl., terdapat hutan
Nyctimenius varicornis diketahui tanaman industri, terutama pinus yang
tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan berumur lebih dari 20 tahun dan berumur
dan Semenanjung Malaya (Makihara 7 tahun. Di sela-sela tanaman pinus, oleh
dkk. 2002). Xystrocera festiva dikenal penduduk ditanami sayuran, yang secara
sebagai hama sengon karena larvanya intensif disemprot dengan pestisida. Di
hidup pada berbagai spesies Acacia, lereng ini ditemukan tiga individu (dua
Albizia, dan anggota Leguminosae lain spesies) kumbang sungut panjang.
sepeti parkia dan kaliandra. Tumbuhan Sedang di lereng timur, hutan tanaman
tersebut dapat di temukan di hutan industri juga ditanami pinus berumur 4 dan
sekunder pada berbagai ketinggian di G. 7 tahun. Kebun sayur penduduk berada
Slamet. Di hutan tanaman Albizia, di luar hutan pinus, sehingga pengaruh
populasi spesies ini sering meningkat pestisida sangat sedikit terhadap fauna
tinggi sehingga dipandang sebagai hama di dalamnya. Di lereng timur ini
yang sangat merugikan (Matsumoto ditemukan 90 individu (9 spesies).
1994). Penggunaan pestisida secara intensif
Dari 15 spesies yang terdapat di diduga menjadi penyebab rendahnya
hutan sekunder di atas waduk Ketenger, populasi maupun spesies kumbang sungut
pada ketinggian 700-1.000 m.dpl., 13 panjang di lereng utara.
spesies tidak ditemukan di lereng utara, Di lereng timur (Bambangan) Sybra
pada ketinggian 1.600 – 1.800 m. dpl. fuscotriangularis menunjukkan populasi

224
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

yang tinggi baik di hutan primer maupun kedua atau tungkai tengah (Schuster
tanaman industri (Tabel 1). Sybra 2002).
fuscotriangularis diketahui hanya di P Kumbang betsi, Passalidae,
Jawa (endemik Jawa). Ukurannya yang (Gambar 17) biasanya mempunyai tubuh
kecil, sekitar 4 mm, memungkinkan berwarna hitam, dengan sisi elitra sejajar
spesies ini hidup dan berlindung di ranting yang permukaannya beralur tebal
atau ranting-ranting mati yang kecil dari memanjang. Spesies yang berukuran
tumbuhan semak yang ada di antara besar dapat mencapai 3–4 cm. Antena
tanaman pinus sehingga tekanan dengan ujung tidak menyatu (Gambar
terhadap keselamatannya menjadi kecil. 13). Kepala pendek, dibandingkan
Walaupun hanya ditemukan dua dengan pronotumnya (bagian atas toraks
spesies kumbang sungut panjang tetapi depan) yang berbentuk hampir persegi
di hutan tanaman industri pada ketinggian empat, dan beralur median yang
1.200–1.600 m.dpl., ditemukan Rucentra memanjang. Antara pronotum dan elitra
sp. yang diduga merupakan spesies baru terdapat gap (celah). Tarsal formula 5-
yang belum pernah ditemukan di G. 5-5.
Slamet maupun kawasan lain. Selama penelitian di G. Slamet,
Kumbang passalid, sering dikenal keseluruhan terkoleksi tiga spesies
sebagai kumbang betsi (Gambar 17). kumbang betsi (Passalidae) yang
Kumbang ini diketahui bersifat semuanya hanya ditemukan di hutan
“eusosial” atau subsosial, hidup primer yang berada di kayu lapuk di
bergerombol, dalam suatu gelondongan hutan primer, dua spesies kumbang betsi
kayu yang sedang melapuk, dihuni oleh yaitu Leptaulax humerosus dan
larva, pupa dan dewasa. Kumbang Acerarius grandis (Gambar18) pada
dewasa merawat larva dengan kayu lapuk yang ditemukan di hutan
menyiapkan makanan dan membantu primer menuju G. Penjara pada ketinggian
larva membangun kokon untuk berpupa. sekitar 1.500 m. dpl. dan hutan primer di
Baik kumbang dewasa maupun larva puncak Slamet dari arah Bambangan pada
biasanya mengkonsumsi kotoran ketinggian sekitar 1.970 m. dpl.
kumbang dewasa yang telah dicerna oleh Pelopides tridens terkoleksi dengan
mikroflora. Kumbang ini mampu perangkap lampu di kawasan hutan
menghasilkan empat belas sinyal akustik, primer di atas Pancuran Tujuh, Kalipagu,
lebih banyak dari yang dihasilkan oleh Baturraden. Secara sepintas memang
vertebrata. Kumbang dewasa mengha- ketiga spesies kumbang betsi ini sangat
silkan suara dengan menggosok mirip. Kumbang Leptaulax sp, pada
permukaan atas perut dengan sayap umumnya berukuran kecil sekitar, 15-20
belakang. Larva menghasilkan suara mm, Acerarius grandis sekitar 40-45
dengan menggosokan kaki belakang mm dan Pelopides tridens merupakan
terhadap area bergerigi (striated ) pada spesies kumbang passalid yang terbesar
koksa, ruas pangkal tungkai, dari tungai yang ditemukan yaitu berukuran sekitar
60 mm. Di G. Slamet sisi selatan tidak

225
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

terkoleksi kumbang Passalidae dari kayu benang), moniliform (dengan ruas-ruas


lapuk yang dibongkar, namun terkoleksi bundar seperti untaian manik), atau
kumbang Pelopides tridens dari sedikit menggada. Tarsal formula 5-5-4;
perangkap lampu yang di operasikan di yang berarti jumlah ruas tarsus tungkai
hutan primer pada ketinggian sekitar 800 (kaki) depan 5, tengah 5 dan belakakng
m. dpl. yang terlertak di atas Pancuran 4 ruas, yang dilengkapi dengan kuku yang
Tujuh, Kalipagu, Baturraden. sederhana. Bentuk tubuh bervariasi
memanjang atau oval, dengan
KumbangTenebrionid(Tenebrionidae) permukaan licin sampai sangat kasar.
Kumbang tenebrionid, sering juga Larva kumbang Tenebrionid juga sering
disebut kumbang hitam dan cacing kawat dikenal sebagai cacing kawat atau ulat
untuk larvanya. Kumbang ini dicirikan kawat karena kulit tubuhnya sangat keras
dengan sternit abdominal, merupakan dan kaku. Kumbang dewasa dan
pelat ventral dari ruas abdomennya larvanya bersifat scavengers, yang
(Sosromarsono 2010), mata di dalam memakan binatang atau tumbuhan mati
takik. Antena biasanya terdiri atas 11 atau membusuk. Beberapa spesies
segmen, berbentuk filiform (seperti kumbang tenebrionid hidup di dalam

Gambar 17. Larva dan dewasa kumbang betsi (Passalidae) yang bersifat “eusosial”

Gambar 18. Leptaulax humerosus (kiri), Acerarius grandis (tengah) dan Pelopides tridens
(kanan)

226
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

Gambar 19. Kumbang tenebrionid dewasa dan larva, sering disebut sebagai ulat kawat

Gambar 20. 1. Amerygenus sp dan Gonocephalum sp.

gudang gabah dan jagung (Kalshoven Kumbang tenebrionid yang dikoleksi


1981). Oleh karena itu, kumbang dari kayu yang sedang melapuk di G.
tenebrionid dikenal sebagai Slamet ada 2 spesies Tenebrionid yaitu
“Mealworm”, cacing tepung. Larva .Amerygenus berukuran sekitar 1.25 dan
kumbang tenebrionid diketahui 1.8 cm panjang, dan Gonocephalum sp.
mengandung protein tinggi, sehingga yang berwarna gelap lebih kasar dan
salah satu spesiesnya yaitu Tenebrio berukuran lebih kecil sekitar 10 mm.
molitor, dikembangkan sebagai pakan Kumbang Tenebrionid tersebut dapat
burung, ikan, reptil yang dipelihara dan terkoleksi dengan perangkap lampu.
juga sering digunakan untuk umpan Di dalam perkembangan hidupnya
memancing. Selain itu “Mealworm”, kumbang tenebrionid melalui stadia,telur
Tenebrio molitor, digunakan untuk larva, pupa dan dewasa. Kumbang
penelitian biologi, biokimia, evolusi, tenebrionid kayu lapuk diketahui
immunologi dan fisologi. Para peneliti di menjalani seluruh stadium hidupnya di
seluruh dunia, khususnya di Sheffield dalam kayu lapuk yang membusuk. Oleh
(Inggris) dan Pusan (Korea), karena itu di G. Slamet sisi Utara, baik di
menggunakan kumbang ini sebagai sistem jalur menuju puncak utama maupun
model untuk studi dalam biologi, biokimia, puncak G.Penjara dan G. Semar dapat
imunologi evolusi, dan fisiologi ditemukan kumbang tenebrionid pada
(www.eol.org/pages/1041700), karena beberapa kayu yang sedang melapuk.
kumbang Tenebrio molitor ini relatif Kedua spesies tenebrionid yang
berukuran besar sekitar 2 cm. berukuran besar, Amerygenus sp., dapat

227
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

ditemukan di kawasan hutan primer di pemanfaatan kayu mati atau tumbang


sisi utara ini. Sedang Gonocephalum untuk kayu bakar yang dilakukan oleh
ditemukan di perangkap Artocarpus penduduk setempat mengakibatkan
yang di pasang di pinggir saluran irigasi belum atau mungkin tidak ditemukannya
dari Waduk Ketenger, Baturraden. spesies kumbang yang dulu pernah
Kumbang tenebrionid yang hidup pada terkoleksi di kawasan G. Slamet, misalnya
gabah dan jagung (Tribolium) juga ada kumbang stag. Sehingga sampai saat ini
yang terkoleksi dengan perangkap lampu hanya terkoleksi 6 spesies dari 23 spesies
terutama yang di operasikan di dekat kumbang stag yang pernah ditemukan.
perkampungan di Bambangan.
UCAPAN TERIMA KASIH
KESIMPULAN
Penulis mengucapkan terima kasih
Keseluruhan hasil koleksi kumbang kepada Perum. Perhutani wilayah
sungut panjang (Cerambycidae) Banyumas Barat dan Timur atas ijin yang
merupakan kelompok terbanyak (37 diberikan sehingga penelitian ini dapat
spesies) yang dapat dikoleksi di kawasan dilakukan dengan baik. Kepada seluruh
G. Slamet dibandingkan dengan famili tim KSK G. Slamet (tahun 2009-2010),
Scarabaeidae (3 spesies Dynastinae dan diucapkan terimakasih atas kerjasama-
2 spesies Cetoninae), Lucanidae (6 nya selama melakukan penelitian di
spesies), Passalidae (3 spesies), dan lapang. Selain itu ucapan terimakasih
Tenebrionidae (3 spesies). Berdasarkan penulis tujukan kepada sdr. Sarino dan
keragaman spesies kumbang sungut Endang Cholik yang membantu penulis
panjang yang ditemukan, 37 spesies yang dalam koleksi di lapang dan prosesing
teridentifikasi terdapat spesies yang spesimen. Kepada sdr. Eko Sulistyadi
mampu beradaptasi hidup di berbagai tipe yang telah membantu menerapkan
hutan dan ketinggian. Hutan yang program NTSYS, sehingga naskah ini
terdapat di lokasi pada ketinggian di menjadi lebih sempurna. Kegiatan
bawah 1000 m.dpl. baik di hutan primer penelitian ini didanai oleh DIPA Puslit
maupun sekunder dihuni oleh spesies- Biologi LIPI tahun 2009-2010 dan NEF
spesies yang tidak ditemukan di habitat Nagao 2009-2010.
yang lebih tinggi misalnya Batocera spp.
dan Acalolepta dispar. Oleh karena itu DAFTAR PUSTAKA
kawasan tersebut sebaiknya tidak
terganggu oleh berbagai macam aktifitas Borror, DJ., CA. Triplehorn, & NF.
manusia termasuk penebangan bambu Johnson. 1989. An Introduction to
atau pengambilan kayu bakar terutama the Study of Insects, 6th ed.
di jalur menuju puncak utama Slamet. Philadelphia: Saunders College
Perubahan habitat atau alih fungsi Publishing. 875 p.
lahan yang terjadi dari hutan menjadi Kalshoven, LG E. 1981. Pests of crops
perkebunan, pertanian, pemukiman serta in indonesia .Revised and

228
Kelompok Utama Fauna Kumbang Kayu Lapuk

translated by P. A.VAN DER LAAN beetles fauna (Coleoptera,


with the coopération of G. H. Cerambycidae) collected from
L.ROTHSCHILD . Ichtiar Baru - Van Frienship Forest at Sekaroh,
Hoeve, Jakarta, Indonesia. 1981. Lombok. Proc. Int, Workshop on
720 pp. the Lanscape Level Rehabilitation
Lawrence, JF. & EB. Britton. 1994. of degraded Tropical Forests, 22-
Australian Beetles. Melbourne 23 February, 2005. FFPRI,
University Press, Melbourne, Tsukuba, Japan. 55-64.
Victoria. 192 pp. Noerdjito, WA. 2008. Struktur komunitas
Makihara, H., WA. Noerdjito & kumbang sungut panjang (Coleop-
Sugiharto. 2002. Longicorn Beetles tera: Cerambycidae) di kawasan
from GununG. Halimun National Gunung Ceremai. J.Biologi
Park, West Java, Indonesia. Bull. Indonesia 4(5): 371-384.
FFPRI, Japan, I (3) No.(384): 189- Noerdjito, WA. 2009. Pengaruh
223. ketinggian dan habitat terhadap
Makihara H. & W A. Noerdjito, 2004. keragaman kumbang koprofagus
Longicorn beetles of Museum (Coleoptera: Scarabaeidae) di jalur
Zoologicum Bogoriense, identified pendakian Apuy dan Linggarjati,
by Dr.E.F. Gilmour, 1963 Taman Nasional G. Ciremai. J.
(Coleoptera: Disteniidae and Biologi Indonesia 5(3): 295-304.
Cerambycidae). Bull. the Forestry Noerdjito, WA. 2010. Arti Kebun Raya
and Forest Products Research Bogor bagi kehidupan kumbang
Inst. 3(1): No.390: 49-98. sungut panjang (Coleoptera:
Matsumoto, K. 1994. Studies on the Cerambycidae). J.Biologi
ecological characteristic and Indonesia. 6(2): 289-291
methods of control of insect pests Noerdjito, W.A., YR. Suhardjono & H.
of trees in reforested areas in Sutrisno, 2010. Evaluation of
Indonesia. Rep.JIRCAS, 63pp+5. various forest conditions based on
Noerdjito, WA., Makihara Hiroshi & longhorn beetles (Coleoptera:
Sugiharto, 2003. How to find out Cerambycidae) as bio-indicators in
indicated cerambycid species for Mt. Salak, West Java, Indonesia.
forest condition status in case of Poster persentage on ATBC 19-23
GununG. Halimun National Park, July 2010, Bali.
West Java and Bukit Bangkirai Schuster, JC. 2002. “Passalidae”, in Ross
Forest, East Kalimantan. Proc. Int, H. Arnett, Jr. and Michael C.
Workshop on the Lanscape Level Thomas, American Beetles (CRC
Rehabilitation of degraded Tropical Press, 2002), vol. 2.
Forests, 18-19 Feb.2003, FFPRI, www.eol.org/pages/1041700: Tenebrio
Tsukuba, Japan. 57-60. molitor Linnaeus, 1758 (Yellow
Noerdjito, WA., H. Makihara & K. mealworm) in Encyclopedia of
Matsumoto, 2005. Longicorn Life.

229
Woro Anggraitoningsih Noerdjito

230
Ekologi Gunung Slamet

Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili Epilachninae


(Coleoptera: Coccinellidae) Dengan Tumbuhan Inangnya di Gunung
Slamet, Provinsi Jawa Tengah

Sih Kahono

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI, Gedung Widyasatwaloka, Jl. Raya Jakarta-
Bogor Km. 46, Cibinong 16911.E-mail: gegremetan@gmail.com

ABSTRACT

Association between herbivorous ladybird beetles subfamily Epilachninae (Coleoptera:


Coccinellidae) and its host plants in a Mount Slamet, the Province of Central Java. Ladybird
beetles subfamily Epilachninae is a phytophagous beetles feeding on both wild and agriculture
plants. The beetles are distributed from lowland to highland followed the distribution of the
host plants. Species diversity of the beetles and its association to the host plants surveyed
mostly at a lowland environment of Java. The direct observation was applied on the beetles as
well as the host plants around the tracking trails from the elevation of 900 - 3.000 m to the
direction of the mountain. Eight species of herbivory ladybird beetles recorded were belong to
two genera: Henosepilachna (H. dieke, H. vigintioctopunctata, H. enneasticta) and Epilachna
(E. orthofasciata, E. decipien, Epilachna sp. F., E. alternans, and E. gedeensis). The beetles
were recorded feed on fifteen host plants of six families and nine genera. H. dieke was recorded
on an invasive weed Mikania micrantha, there were H. vigintioctopunctata on solanaceous
plants (Brugmansia suaveolens, Solanum pseudocapsicum, S. torvum, S. melongena, S.
erianthum, and S. americanum); H. enneasticta on B. suaveolens, S. pseudocapsicum, S.
torvum, and S. americanum; Epilachna orthofasciata on a vitaceous wild plan Tetrastigma
sp.; E. decipien on three species of wild ranunculaceous plants Clematis lechenaultiana, C.
smailacifolia, and C. dioica; Epilachna sp. F. on a cucurbitaceous plant Gymnostema
pentaphyllum; E. alternans on Melothria mucronata; and E. gedeensis on two species of
urticaceous plants Urtica sp. and Elatostema acuminatum. Two sympatric species of H.
vigintioctopunctata and H. enneasticta have never been recorded from the same individual of
the host plants, and tend to have overlapping at 900 – 1.220 m dpl. The beetles are usually
specialist feed on close related host plants (oligophagous) or on one host plants species
(monophagous). The beetles belong to Epilachna was specialized to the high land host plant
species, in contras the beetles belong to Henosepilachna was collected from lower part of the
mountain and its potencial to become pest of agriculture. Three species of Henosepilachna
were recorded from managed forest and human environment, and five species of Epilachna
were recorded from hight land natural good forest. The beetles were collected more frequently
on the rare host plants. The population of host plants and the beetles were relatively low but
important to the balance of the nature, as a host of the parasitoid insects and pray of some
predators.

Keywords: herbivory ladybird beetles, host plants association, Henosepilachna, Epilachna,


Mounth Slamet, Central Java

231
Sih Kahono

PENDAHULUAN 2009; Ohta et al. 2010; Fujiyama et al.


2010; Matsubayashi et al. 2010).
Kumbang lembing subfamili Kumbang lembing herbivora dapat
Epilachninae merupakan salah satu dari ditemukan di berbagai tipe lingkungan,
lima subfamili lainnya dari famili misalnya hutan alam, hutan sekunder,
Coccinellidae yang sudah diketahui, yaitu lingkungan semi rural, rural dan
Sticholotidinae, Achilocorinae, Cocci- sebagainya, dan ditemukan di berbagai
dulinae, Scymninae, dan Coccinellinae daerah ketinggian, misalnya pantai,
(Sasaji 1971; Kovář 1996; Jadwiszczak dataran rendah, dataran tinggi,
& Wegrzynowicz 2003; Giorgi et al. pegunungan dan sebagainya. Kumbang
2009; Shunxiang et al. 2009). Di dalam lembing herbivora yang paling terkenal
subfamili Epilachninae terdapat 22 genus, di Indonesia adalah jenis-jenis yang
yaitu: Adira, Afidenta, Afidentula, termasuk dalam genus Afidenta,
Afissula, Chnootriba, Epilachna, Epilachna, dan Henosepilachna
Henosepilachna, Macrolasia, Suba- (Kahono 1999; Katakura 2001).
fissa, Subcoccinella, Toxotoma, Beberapa jenis diantaranya berpotensi
Bambusicola, Cynegetis, Damatula, sebagai hama tanaman pertanian,
Lorma, Mada, Malata, Megaleta, misalnya Henosepilachna vigintioc-
Merma, Pseudodira, Tropha, Epiverta, topunctata (Fabricius) pada tanaman
dan Eremochilus (Jadwiszczak & terung (Solanum melongena), H.
Wegrzynowicz 2003; Shunxiang et al. pusillanima (Mulsant) pada tanaman
2009). labu-labuan, H. septima (Dieke) pada
Jenis-jenis dari subfamili Epilachni- tanaman paria (Momordica charantia),
nae terutama berperan sebagai pemakan dan Afidenta misera (Weise) pada
daun pada tumbuhan liar dan tanaman tanaman kacang panjang (Vigna
pertanian, sehingga subfamili ini dikenal unguiculata) (Iskandar 1978;
sebagai kumbang lembing herbivora Kalshoven 1981; Kahono 1999, 2006).
(herbivorous ladybird beetles). Beberapa jenis kumbang lembing
Kumbang lembing herbivora mempunyai herbivora memiliki potensi yang dapat
sebaran geografi yang luas dari daerah dikembangkan menjadi agen pengontrol
temperate sampai tropis (Katakura et al. biologi dari tumbuhan gulma penting di
2001), dari dataran rendah-dataran tinggi Indonesia (Kahono 2012).
pegunungan. Keanekaragaman kumbang Asosiasi antara kumbang herbivora
lembing herbivora di dunia berjumlah dengan tumbuhan inangnya pada suatu
kurang lebih 90 jenis (Dieke 1947; Gunst lingkungan merupakan bentuk interaksi
1956; Gordon 1987). Di Indonesia, antara kumbang dengan tumbuhan inang
kumbang lembing herbivora yang sudah dan lingkungannya. Keterbatasan salah
diketahui sebanyak kurang lebih 25 jenis, satu komponen akan menyebabkan
beberapa jenis diantaranya masih dalam terbatasnya komponen lain yang
status kompleks jenis (species complex) berasosiasi (Back & Schoonhoven
(Katakura et al. 2001; Kobayashi et al. 1980). Pada umumnya jenis-jenis

232
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

kumbang lembing herbivora memiliki 2009, dan Maret 2012, masing-masing


jenis tumbuhan inang yang spesifik paling selama 8 - 12 hari.
tidak pada tingkatan taksa tertentu Kumbang lembing herbivora
(Kalshoven 1981; Fujiyama et al. 2010; berukuran kecil dan tidak aktif terbang,
Kahono 1999, 2010; Matsubayashi et al. sehingga kumbang ini memiliki
2010; Katakura et al. 2001; Kahono kecenderungan tinggal menetap pada
2012). tumbuhan inangnya. Oleh karena ukuran
Hingga saat ini, walaupun sudah ada dan aktifitas kumbang tersebut, maka
penelitian asosiasi antara jenis-jenis untuk memperolehnya harus menemukan
kumbang lembing herbivora subfamili tumbuhan inangnya. Mencari daun-daun
Epilachninae dengan tumbuhan inangnya tumbuhan inang yang rusak karena bekas
di daerah dataran rendah (Kahono 1999, gigitan kumbang lembing sangat efektif
2010), namun asosiasinya di daerah untuk mengetahui keberadaan kumbang
dataran tinggi pegunungan di Indonesia lembing herbivora (Kahono 2010).
belum ada yang mempelajarinya (Backer Pengumpulan data kumbang lembing
& Brink 1963a, 1963b, 1965; Steenis herbivora dan tumbuhan inangnya
1972). dilakukan dengan cara menyusuri jalur-
Penelitian ini bertujuan untuk jalur pendakian, terutama jalur pendakian
mengetahui keanekaragaman jenis dari PLTA Baturaden (Kabupaten
kumbang lembing herbivora dan Banyumas) dan jalur pendakian Air Panas
asosiasinya dengan tumbuhan inang yang Guci (Kabupaten Tegal) ke arah puncak
hidup pada ekosistem dataran tinggi Gunung Slamet. Pengamatan juga
pegunungan Gunung Slamet, Provinsi dilakukan di luar jalur pendakian, tempat
Jawa Tengah. ditemukannya tumbuhan inang dari
kumbang lembing tersebut. Pada setiap
BAHAN DAN CARA KERJA perjumpaan dengan kumbang lembing
dan tumbuhan inangnya, dilakukan
Kawasan Gunung Slamet masuk pencatatan ketinggian dari atas
dalam lima wilayah kabupaten yaitu permukaan air laut, diberi kode atau nama
Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas, jenisnya, dihitung jumlah individunya, dan
dan Probalingga, Provinsi Jawa Tengah. difoto tumbuhan inangnya. Koleksi
Penelitian keanekaragaman kumbang herbarium dilakukan pada jenis tumbuhan
lembing herbivora subfamili Epilachninae inang yang belum diketahui nama
dan asosiasinya dengan tumbuhan jenisnya sebagai material yang akan
inangnya dilakukan di kawasan Gunung diidentifikasi. Beberapa catatan penting
Slamet pada ketinggian 900-3.000 m di dibuat antara lain: pemberian kode
atas permukaan air laut (dpl.). specimen atau nama jenis inangnya (bila
Pengumpulan data dilakukan dalam sudah diketahui), tipe lingkungan, fungsi
beberapa kali kunjungan ke Gunung tumbuhan inang (tanaman pertanian atau
Slamet pada bulan Mei 2008, Agustus tumbuhan liar), dan kerusakan daun yang
ditimbulkannya. Pada penelitian ini

233
Sih Kahono

dibedakan tiga tipe lingkungan yang HASIL


diamati yaitu hutan alami, semi rural, dan
rural. Tipe habitat hutan alam berupa Pada penelitian ini ditemukan
hutan pegunungan yang masih asli, mulai sebanyak 8 jenis kumbang lembing
dari ketinggian sekitar 1.700 m dpl. herbivore, terdiri dari dua genus
Lingkungan semi rural berupa hutan Henosepilachna terdiri dari 3 jenis:
bukan asli yang telah terdampak oleh Henosepilachna dieke, H. vigintiocto-
kegiatan manusia. Lingkungan rural punctata (Fabricius), dan H.
berada di luar kawasan hutan, berupa enneasticta; dan genus Epilachna
lingkungan pedesaan seperti perumahan, terdiri dari 5 jenis: Epilachna
lingkungan liar, sawah, jalan, dan kebun. orthofasciata, E. decipiens, Epilachna
Status atau fungsi kumbang lembing sp. F., E. alternans, dan E. gedeensis.
di alam dianalisis berdasarkan kajian Kumbang lembing yang ditemukan
referensi yang telah ada dan pengamatan umumnya dalam stadium dewasa dan/
langsung di alam, misalnya sebagai pakan atau larva yang sedang makan daun
dari serangga atau binatang insektivora, tumbuhan inangnya. Delapan jenis
sebagai inang (host) dari tawon kumbang lembing tersebut ditemukan
parasitoid, dan sebagainya. Kumbang pada 15 jenis tumbuhan inang, yang
lembing pemakan daun atau herbivora dikelompokkan dalam 9 genus (Mikania,
dapat berubah fungsinya menjadi perusak Brugmansia, Solanum, Tetrastigma,
daun tumbuhan liar dan tanaman Clematis, Gymnostemma, Melothria,
budidaya. Kerusakan tersebut dapat Elatostema, dan Urtica sp.) atau terbagi
mencapai tingkat kerusakan berat pada dalam 6 famili (Asteraceae, Solanaceae,
tumbuhan liar dan sebagai hama pada Vitaceae, Ranunculaceae, Cucurbita-
tanaman budidaya. ceae, dan Urticaceae) (Tabel 1).
Identifikasi kumbang lembing Tiga jenis atau 37,5% dari seluruh
herbivore menggunakan referensi Dieke jenis kumbang lembing yang ditemukan
(1947), Gunst (1956), Li & Cook (1961), termasuk dalam genus Henosepilachna,
Richard (1983), Katakura et al. (2001), dan ditemukan pada ketinggian 900 -
Jadwiszczak & Wegrzynowicz (2003), 1.500 m dpl., pada lingkungan hutan yang
Shunxiang et al. (2009), dan ditanyakan telah berubah oleh aktivitas manusia
atau diklarifikasi kepada ahlinya yaitu menjadi hutan pinus, kebun atau ladang,
Professor Emeritus Dr. Haruo Katakura dan daerah hunian. Lima jenis atau 62,5%
(Graduate School of Sciences, Hokkaido kumbang lembing herbivora (E.
University, Japan). Identifikasi tumbuhan orthofasciata, E. decipiens, E.
inang dilakukan dengan bantuan Sdr. alternans, Epilachna sp. F., dan E.
Afriastini (Bidang Botani/Herbarium gedeensis) dikoleksi dari tumbuhan inang
Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi – yang hidup di hutan alam (N) biasanya
LIPI), menggunakan referensi Backer & pada ketinggian 1.700 – 3.000 m dpl.
Brink (1963a, 1963b, 1965), Steenis (Tabel 1). Seluruh jenis tumbuhan inang
(1972). di hutan alam tersebut adalah tumbuhan

234
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

Tabel 1. Daftar jenis kumbang lembing herbivora yang ditemukan dan tumbuhan inangnya
pada setiap daerah sebaran vertikalnya, status kumbang, dan tipe lingkungannya di
kawasan Gunung Slamet.
Jenis Alt. (m) S tatus Inang Fam. Alt. (m) Tipe
Henosepilachna dieke 900 Hb, Ho Mikania micranta Ast. 900-1.157 R
Brugmansia suaveolens
900-1.220 Hb, Ho Sol. 900-1.500 SR, R
(Humb. & Bonpl. Ex Willd)

910 Hb, Ho Solanum pseudocapsicum Sol. 900-1.000 R


H. vigintioctopunctata
(Fabricius) 900 Hm, Ho S. torvum Swartz Sol. 900-1.300 R
900 Hm, Ho S. melongena L Sol. 900-1.000 R
900 Hb, Ho S. erianthum Sol. 900-1.000 R
1.200 Hb, Ho S. americanum Sol. 1.000-1.800 SR, R
B. suaveolens (Humb. &
1.100-1.500 Hb, Ho Sol. 900-1.700 SR, R
Bonpl. Ex Willd)
H. enneasticta 900 Hb, Ho S. pseudocapsicum Sol. 900-1.000 R
900 Hb, Ho S. torvum Swartz Sol. 900-1.300 R
1.200-1.400 Hb, Ho S. americanum Sol. 1.000-1.800 SR, R
Epilacha orthofasciata 1.700-2.200 Hb, Ho Tetrastigma sp. Vit. 1.550-2.600 N
1.850-2.300 Hb, Ho Clematis lechenaultiana DC. Ran. 1.700-2.500 N
E. decipiens 1.750 Hb, Ho C. smailacifolia Wall. Ran. 1.750-2.000 N
1.950 Hb, Ho C. dioica L. Ran. 1.500-2.250 N
Gymnostemma pentaphyllum
Epilachna sp. F. 1.700-1.950 Hb, Ho Cuc. 1.600-2.100 N
(Thunb.) M akino
E. alternans 2.200-2.500 Hb, Ho Melothria mucronata (Bl.) Cuc. 1.800-2.600 N
2.550 Hb, Ho Urtica sp. Urt. 2.500-2.600 N
E. gedeensis Elatostema acuminatum
2.450 Hb, Ho Urt. 1.550-2.550 N
(Poir.) Brongn.

Keterangan: Ast. = Asteraceae; Sol. = Solanaceae; Cuc. = Cucurbitaceae; Vit. = Vitaceae; Urt. = Urticaceae;
Hb = herbivora; Ho = pakan dari insektivora dan inang dari parasitoid; Hm = hama; N = hutan
alam; SR = semi rural; dan R = rural.

asli dataran tinggi pegunungan Pulau tumbuhan suku Solanaceae yaitu


Jawa (Steenis 1972), yang berupa Brugmansia suaveolens pada
tumbuhan semak, perdu atau tumbuhan ketinggian 900 – 1.200 m dpl., S.
merambat. pseudocapsicum pada ketinggian 910 m
Kumbang Henosepilachna dieke dpl., S. torvum pada ketinggian 900 m
ditemukan pada sejenis gulma Mikania dpl., S. melongena pada ketinggian 900
micrantha (Asteraceae) pada ketinggian m dpl., S. erianthum pada ketinggian 900
900 m dpl. Kumbang H. vigintiocto- m dpl., dan Solanum americanum pada
punctata ditemukan pada 6 jenis ketinggian 1.200 m dpl. Kumbang H.

235
Sih Kahono

enneasticta ditemukan pada 4 jenis kumbang lembing herbivora. Walaupun


tumbuhan inang yang sama dengan inang dijumpai satu jenis tumbuhan inang yang
dari kumbang H. vigintioctopunctata menjadi inang lebih dari dua jenis
yaitu B. suaveolens pada ketinggian kumbang lembing herbivora, tetapi tidak
1.100 - 1.500 m dpl., S. pseudocapsicum pernah ditemukan dua jenis kumbang
pada ketinggian 900 m dpl., S. torvum lembing herbivora hidup pada satu
pada ketinggian 900 m dpl., dan S. individu tumbuhan inang yang sama. Jenis
americanum pada ketinggian 1.200 - tumbuhan inang yang memiliki frekuensi
1.400 m dpl. Kumbang E. orthofasciata keterdapatan kumbang lembing yang
ditemukan pada satu jenis tumbuhan tinggi antara 20 – 25% adalah S. torvum,
merambat yaitu Tetrastigma sp. B. suaveolens, dan S. pseudocapsicum
(Vitaceae) pada ketinggian 1.686 - 2.200 inang dari H. vigintioctopunctata; C.
m dpl. Kumbang E. decipiens ditemukan lechenaultiana, C. dioica, dan C.
pada tiga jenis tumbuhan inang dari genus smailacifolia inang dari E. decipiens;
yang sama yaitu Clematis lechenaul- Tetrastigma sp. inang dari E.
tiana DC. pada ketinggian 1.850 - 2.300 orthofasciata; dan G. pentaphyllum
m dpl., C. smailacifolia Wall. pada inang dari Epilachna sp. F. (Tabel 2).
ketinggian 1.750 m dpl., dan C. dioica Sedangkan jenis tumbuhan inang yang
L. pada ketinggian 1.950 m dpl. lainnya frekuensi keterdapatan kumbang
Kumbang Epilachna sp. F. ditemukan relatif rendah, lebih rendah dari 15%.
pada satu jenis tumbuhan merambat yaitu Sebanyak 15 jenis (266 individu)
Gymnostemma pentaphyllum (Thunb.) tumbuhan inang dari kumbang lembing
Makino (Cucurbitaceae) pada ketinggian yang dijumpai di Gunung Slamet, semakin
1.686 - 1.950 m dpl. Kumbang Epilachna banyak individu tumbuhan inang
alternans ditemukan hanya pada satu ditemukan menunjukkan semakin
jenis tumbuhan inang yang merambat tingginya populasi tumbuhan inang
yaitu Melothria mucronata (Bl.) tersebut di Gunung Slamet, namun
(Cucurbitaceae) pada ketinggian 2.200 - banyaknya individu tumbuhan inang yang
2.500 m dpl. Kumbang Epilachna dijumpai bukan menjadi ukuran tingginya
gedeensis ditemukan pada dua jenis frekuensi ditemukan kumbang lembing
tumbuhan inang dari suku Urticaceae herbivora. Frekuensi keterdapatan
yaitu Urtica sp. pada ketinggian 2.550 kumbang lembing yang tinggi biasanya
m dpl. dan Elatostema acuminatum terjadi pada tumbuhan inang yang
(Poir.) Brongn. pada ketinggian 2.450 m frekuensi perjumpaannya rendah atau
dpl. (Tabel 1). jenis tumbuhan inang yang jarang
Seluruh jumlah individu tumbuhan ditemukan di Gunung Slamet.
inang yang dijumpai dan diamati sebanyak Kelimpahan makanan sebagai faktor
266 individu, sebanyak 39 individu penting yang mendukung perkembangan
(14,66%) ditemukan kumbang lembing populasi (Kahono 1996; 1999) tidak
herbivora, dan sebanyak 227 individu terjadi pada kumbang lembing herbivora
tumbuhan inang (85,34%) tidak dijumpai di dataran tinggi pegunungan Gunung

236
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

Slamet. Faktor lingkungan abiotik (suhu inang yang ditemukan merupakan tipe asli
dingin dan rentang pendek pencahayaan dataran tinggi atau pegunungan di Jawa
matahari) dan faktor biotik (natalitas, (Steenis 1972). Empat jenis inang lainnya
survival, dan mortalitas) perlu dipelajari yang memiliki daerah sebaran lebih
secara lebih lanjut pengeruhnya terhadap dominan di dataran rendah adalah B.
rendahnya populasi kumbang lembing suaveolens, S. pseudocapsicum, S.
herbivora di dataran tinggi pegunungan torvum, dan S. americanum (Backer &
ini. Brink 1963a, 1963b, 1965).
Kawasan Gunung Slamet yang Walaupun dua jenis kumbang
diteliti dari ketinggian 900 - 3.000 m dpl., lembing H. vigintioctopunctata dan H.
enam jenis kumbang lembing (75%) jenis enneasticta tidak pernah dijumpai hidup
kumbang lembing herbivora dan 11 jenis pada satu individu inang yang sama,
(73,3%) dari total 15 jenis tumbuhan namun dapat dikatakan bahwa ada

Tabel 2 Frekuensi ditemukannya kumbang lembing herbivora pada setiap individu jenis
tumbuhan inangnya di Gunung Slamet

Jenis kumbang dan inangnya Jml. Positif % Positif Jml. Negatif % Negatif Total
1 pada M. micranta 6 15,8 32 84,2 38
2 pada B. suaveolens 5 23,8 16 76,2 21
2 pada S. pseudocapsicum 2 22,2 7 77,8 9
2 pada S. torvum 2 25 6 75 8
2 pada S. melongena 1 9,1 10 90,9 11
2 pada S. erianthum 1 11,1 8 88,9 9
2 pada S. americanum 2 15,4 11 84,6 13
3 pada B. suaveolens 2 10 18 90 20
3 pada S. pseudocapsicum 1 7,7 12 92,3 13
3 pada S. torvum 1 5,3 18 94,7 19
3 pada S. americanum 2 9,5 19 90,5 21
4 pada Tetrastigma sp. 3 20 12 80 15
5 pada C. lechenaultiana 2 25 6 75 8
5 pada C. smailacifolia 1 25 3 75 4
5 pada C. dioica 1 20 4 80 5
6 pada G. pentaphyllum 3 20 12 80 15
7 pada M. mucronata 2 14,3 12 85,7 14
8 pada Urtica sp. 1 7,7 12 92,3 13
8 pada E. acuminatum 1 10 9 90 10
TOTAL 39 14,66 227 85,34 266
Keterangan: angka 1 = H. dieke, 2 = H. vigintioctopunctata, 3 = H. enneasticta, 4 = E. orthofasciata,
5 = E. decipiens, 6 = Epilachna sp. F., 7 = E. alternans, 8 = E. gedeensis

237
Sih Kahono

overlapping sebaran vertikalnya di (Acanthaceae) tumbuhan inang dari


Gunung Slamet yaitu antara ketinggian Epilachna sp. 5 di TNGP; Vernonia
900 – 1.220 m dpl. arborea (Asteraceae) tumbuhan inang
Dalam kondisi penurunan kualitas dari E. alternans di Taman Nasional
lingkungan, kumbang lembing herbivora Gunung Ciremai (TNGC); Leucosyke
yang mempunyai lebih banyak jenis candidissima, Debregeasia longifolia
tumbuhan inang (polyphagous) memiliki (Burm.f) Wedd., Boehmeria nivea (L.)
kemampuan survival yang lebih tinggi Gaud., Leucosyke sp., dan Boehmeria
daripada kumbang yang bersifat macrophylla (Urticaceae) tumbuhan
monophagous (Hodek & Honek 1996; inang dari E. incauta di TNGP, TNGHS,
Kahono 1996). Kumbang H. vigintiocto- Taman Nasional Merapi Merbabu, dan
punctata dan H. enneasticta memiliki di hutan pegunungan lainnya di Provinsi
jumlah jenis tumbuhan inang yang lebih Jawa Barat dan Banten; Strobilanthes
banyak daripada jenis kumbang lainnya, sp. (Acanthaceae) tumbuhan inang dari
sehingga dua jenis kumbang tersebut Epilachna sp. 5 di TNGP (Katakura et
diduga memiliki kemampuan survival al. 2001). Tidak diketahui alasannya
yang tinggi terhadap penurunan kualitas dengan pasti tentang tidak dijumpai jenis-
lingkungan. Sebagian besar jenis jenis kumbang lembing tersebut di Gunung
kumbang lembing di Gunung Slamet Slamet. Bisa dimungkinkan bahwa
bersifat monophagous atau sebaran kumbang lembing tersebut tidak
oligophagous dengan populasi sampai di Gunung Slamet, atau telah
tumbuhan inang yang rendah sehingga terjadi perubahan lingkungan Gunung
sangat rentan terhadap perubahan Slamet sehingga jenis-jenis kumbang
lingkungan, kecuali kumbang lembing H. lembing tersebut tidak ditemukan.
dieke walaupun hidup pada satu jenis Dua jenis kumbang lembing H.
tumbuhan M. micrantha tetapi populasi dieke dan H. vigintioctopunctata
inang cukup tinggi dengan kemampuan walaupun ditemukan pada daerah dataran
perkembangbiakan yang cepat sehingga tinggi tersebut, tetapi keduanya lebih
populasinya akan tetap terjaga di daerah banyak ditemukan dengan populasi yang
kaki Gunung Slamet. tinggi di daerah dataran rendah (Kahono
Beberapa jenis tumbuhan inang 2010). Dijumpainya dua jenis kumbang
kumbang lembing herbivora yang kumbang lembing tersebut di Gunung
ditemukan di pegunungan lainnya di Slamet menarik untuk bahan penelitian
Jawa, tetapi tidak ditemukan kumbang terhadap proses adaptasi kumbang
lembing di Gunung Slamet adalah lembing pada lingkungan bersuhu dingin,
Lycianthes sp. (Solanaceae) tumbuhan yang dapat digunakan untuk penelitian
inang dari E. bifaciata di Taman adaptasi terhadap perubahan iklim di
Nasional Gede Pangrango (TNGP) dan waktu yang akan datang (Kahono 2011).
Taman Nasional Halimun-Salak Walaupun ditemukan tiga jenis
(TNGHS) (Kahono 1999; Katakura et kumbang lembing herbivora yang hidup
al. 2001); Strobilanthes sp. pada lingkungan perkebunan,

238
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

perladangan, atau daerah hunian lainnya, frekuensi perjumpaan tumbuhan inang


Henosepilachna vigintioctopunctata dan kumbang lembing, serta sifat asosiasi
dan Epilachna dieke yang merupakan yang spesifik menjadi dasar
tipe jenis kumbang lembing dataran pertimbangan bahwa kumbang lembing
rendah sampai ketinggian 1.200 m dpl. dan tumbuhan inangnya di Gunung
dan satu jenis H. enneasticta tipe Slamet rentan terhadap perubahan
kumbang lembing dataran tinggi. lingkungan yang akan terjadi pada waktu
Kumbang lembing herbivora H. yang akan datang.
vigintioctopunctata telah diketahui Berdasarkan efek kerusakan yang
hidup pada tidak kurang dari 19 jenis ditimbulkan oleh kumbang lembing pada
tumbuhan di Jawa (Kahono 1999), tetapi daun tumbuhan inangnya, pada umumnya
di daerah Gunung Slamet ini kumbang ini kumbang lembing herbivora di Gunung
hanya ditemukan pada tujuh jenis Slamet tidak menimbulkan efek
tumbuhan inang yaitu S. torvum kerusakan yang berarti. Hal ini
(takokak), Brugmansia suaveolens disebabkan karena populasi kumbang
(bunga terompet), S. pseudocapsicum, biasanya rendah, biasanya populasinya
S. erianthum, S. americanum, S. hanya satu-satu kumbang dewasa atau
nigrum (leuncak), dan S. melongena beberapa ekor larva pada setiap populasi
(terung). tumbuhan inangnya. Jenis kumbang
Dari kemampuan penghamaannya, lembing dari genus Epilachna biasanya
hanya satu jenis kumbang lembing (H. tidak menimbulkan dampak kerusakan
vigintioctopunctata) yang memikili daun yang berarti pada tumbuhan
potensi sebagai hama tanaman pertanian inangnya, kecuali pada tumbuhan inang
dan tumbuhan bermanfaat lainnya di yang muda dapat menimbulkan efek
daerah dataran tinggi yaitu S. torvum kerusakan yang berarti yang
(takokak atau pokak) dan S. melongena menimbulkan gangguan pertumbuhan
(terung). Kumbang lembing lainnya yang inangnya, misalnya E. decipiens dapat
berpotensi sebagai hama tetapi tidak menimbulkan kerusakan berat pada daun
ditemukan yaitu H. pusillanima hama tumbuhan muda C. smailacifolia. Jenis-
tanaman Luffa aegyptiaca (labu) dan jenis kumbang lembing dari genus
Cucumis sativus (ketimun), dan H. Epilachna di Gunung Slamet tidak
septima hama pada Momordica pernah diketahui sebagai perusak daun/
charantia (paria) (Kalshoven 1981; hama dari tanaman pertanian. Belum
Kahono 2010). diketahui kemampuan reproduksi dan
Dari jumlah individu (populasi) dari mortalitas dari jenis-jenis Epilachna di
setiap jenis tumbuhan inang dan Gunung Slamet, mungkin salah satu
frekuensi dijumpainya kumbang lembing faktor pembatasnya adalah lingkungan
pada setiap jenis inang, bahwa frekuensi suhu dingin yang diduga membatasi
perjumpaannya relatif rendah dengan pertumbuhan populasi kumbang lembing
persentase perjumpaan yang jarang genus Epilachna di Gunung Slamet.
(<30%) (Gambar 1). Rendahnya Suhu dapat menjadi faktor penting yang

239
Sih Kahono

Gambar 1. Jumlah (atas) dan persentase (bawah) setiap jenis tumbuhan inang yang dijumpai
(positip) dan tidak dijumpai (negatip) jenis-jenis kumbang lembing hebivora subfamily
Epilachninae di Gunung Slamet, Jawa Tengah.
Keterangan: angka 1 = H. dieke, 2 = H. vigintioctopunctata, 3 = H. enneasticta, 4 = E. orthofasciata,
5 = E. decipiens, 6 = E. sp. F., 7 = E. alternans, 8 = E. gedeensis

240
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

mempengaruhi reproduksi dan perilaku pertumbuhan dan kemampuan menyebar


(Cammell & Knight 1992; Kahono 2006). cepat sebagai gulma invasif (Parker
Sebaliknya, jenis-jenis kumbang lembing 1972; Hamzah 1976; Wirjahardja 1976).
dari genus Henosepilachna dikenal Melihat kemampuan invasi H. dieke
sebagai hama tanaman pertanian yang sangat cepat mengikuti kecepatan
pada saat tertentu pertumbuhan sebaran inangnya (Kahono 2012) dan
populasinya sangat merugikan (Iskandar kemampuan adaptasinya yang tinggi
1978; Kalshoven 1981; Kahono 1999, (Matsubayashi et al. 2011), maka diduga
2006, 2010). H. dieke akan mampu mengikuti
Keseluruhan jenis kumbang lembing meluasnya tumbuhan inang M.
herbivora yang ditemukan memberi micrantha pada waktu yang akan
manfaat pada lingkungan hidup sebagai datang. Di beberapa tipe habitat dataran
pakan dari serangga atau vertebrata rendah, populasi kumbang H. dieke tinggi
insektivora (misalnya burung, reptilia, dan dan menimbulkan kerusakan daun lebih
laba-laba) dan stadia mudanya menjadi dari 75%, sehingga kumbang ini memiliki
inang (host) dari berbagai jenis tawon prospek sebagai pengendali gulma M.
parasitoid (Kahono 1999). micrantha (Kahono 2012). H. dieke
Kumbang lembing H. dieke di sebarannya semakin meluas di Indonesia
dataran rendah Pulau Jawa memakan mengikuti sebaran dari tumbuhan
daun tumbuhan liar Leucas inangnya M. micrantha antara lain:
lavandulifolia dan gulma M. micrantha Padang, Lampung, Bengkulu (Sumate-
(Katakura et al. 2001; Kahono 1999, ra), Pontianak, Banjarmasin, Balikpapan
2010). Saat ini M. micrantha memiliki (Kalimantan), Kolaka (Sulawesi), Jawa
wilayah sebaran horizontal dan vertikal Barat sampai Jawa Timur, dan Bali. H.
yang semakin luas. Walaupun M. dieke juga telah tercatat sebagai
micranta ditemukan pada ketinggian pemakan daun tumbuhan liar Leucas
1.200 m dpl., namun kumbang lembing lavandulifolia (Labiateae) di Bogor,
H. dieke ditemukan pada inang tersebut Jakarta, Bantul, Jogjakarta, dan Klaten
di ketinggian 900 m dpl. (Tabel 1). (Kahono 1999; Kahono et al. 2002).
Walaupun H. dieke ditemukan pada Tumbuhan Coleus sp. (Acanthaceae)
ketinggian 900 m dpl., namun kumbang tercatat sebagai inangnya di daerah
ini lebih banyak ditemukan di daerah Rantepao (Sulawesi Selatan) dan
dataran rendah. Populasi H. dieke di Tomohon (Sulawesi Utara). Satu jenis
dataran tinggi Gunung Slamet sangat mirip H. dieke ditemukan pada satu jenis
rendah, dengan populasi rata-rata hanya tumbuhan inang Acanthaceae di Kebun
seekor kumbang dewasa atau beberapa Raya Purwodadi (Pasuruan) dan
larva dan frekuensi perjumpaan kurang Kintamani (Bali), pada satu jenis inang
dari 10%. Populasi H. dieke relatif Acanthaceae di Soreang (Bandung), dan
rendah sehingga tidak menimbulkan pada satu jenis Acanthaceae yang lain di
dampak yang berbahaya terhadap Palopo dan Rantepao (Sulawesi Selatan)
inangnya. Tumbuhan ini mempunyai dan di Tomohon (Sulawesi Utara)

241
Sih Kahono

(Katakura et al. 2001; Kahono et al. kumbang H. enneasticta sampai


2002; Matshubayashi et al. 2010). ketinggian 1.500 m dpl.
Jenis-jenis Epilachna yang
ditemukan di Gunung Slamet sebagian KESIMPULAN
besar memiliki inang yang spesifik pada
jenis tumbuhan tertentu atau paling tidak Di dataran tinggi Gunung Slamet
spesifik pada genus tanaman tertentu. ditemukan sebanyak 8 jenis kumbang
Epilacha orthofasciata memakan lembing herbivora (Henosepilachna
tumbuhan Tetrastigma sp., Epilachna dieke, H. vigintioctopunctata, H.
decipiens memakan tumbuhan Clematis enneasticta, Epilachna orthofasciata,
lechenaultiana DC., C. smailacifolia E. decipiens, Epilachna sp. F., E.
Wall., dan C. dioica L.. E. alternans alternans, dan E. gedeensis), yang
memakan tumbuhan Melothria hidup pada 15 jenis tumbuhan inang.
mucronata (Bl.), dan E. gedeensis Frekuensi keterdapatan kumbang
memakan tumbuhan Urtica sp. dan lembing lebih sering pada jenis tumbuhan
Elatostema acuminatum (Poir.) Brongn. inang yang frekuensi perjumpaannya
(Tabel 1). jarang di Gunung Slamet.
Beberapa jenis dari genus Kumbang lembing genus Epilachna
Henosepilachna memakan beberapa di Gunung Slamet memiliki spesialisasi
jenis dari jenis tumbuhan yang memiliki terdistribusi dan memakan daun inang
hubungan kekerabatan yang dekat. tumbuhan liar khas dataran tinggi
Kumbang H. vigintioctopunctata pegunungan, sebaliknya kumbang genus
dijumpai memakan jenis-jenis tumbuhan Henosepilachna berpotensi menjadi
yang sama Brugmansia suaveolens hama tanaman pertanian.
(bunga terompet), S. pseudocapsicum, Populasi dari kumbang lembing
S. torvum (takokak), S. melongena herbivora relatif rendah, namun memiliki
(terung), S. erianthum, S. americanum, peran penting dalam menjaga
dan S. nigrum (leuncak). Walaupun keseimbangan alam sebagai inang
kumbang lembing H. enneasticta serangga parasitoid dan pakan dari
dijumpai memakan jenis-jenis tumbuhan satwaliar predator.
yang relatif sama dengan yang dimakan Kumbang lembing simpatrik H.
H. vigintioctopunctata, tetapi dua jenis vigintioctopunctata dan H. enneasticta
kumbang tersebut merupakan jenis yang tidak pernah dijumpai hidup pada satu
tipe sebarannya berbeda. Kumbang H. individu inang yang sama, keduanya
vigintioctopunctata sebarannya dari memiliki sebaran vertical yang
dataran rendah (Katakura et al. 2001; overlapping pada ketinggian 900 –
Kahono 2010) sampai ketinggian yang 1.220 m dpl.
sama dengan sebaran H. enneasticta.
Mereka overlapping pada ketinggian
900 - 1.220 m dpl. dan seterusnya sebaran

242
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

UCAPAN TERIMA KASIH Dieke, GH. 1947. Lady Beetles of


Genus Epilachna (Senslat) in
Ucapan terima kasih disampaikan Asia Europe and Australia. The
kepada Professor Emeritus Dr. Haruo Smithsonian Institution.
Katakura (Faculty of Graduate School Fujiyama, N., H. Ueno, S. Kahono, S.
of Sciences, Hokkaido University, Hartini, KW. Matsubayashi, N.
Sapporo, Japan) yang telah Kobayashi & H. Katakura. 2010.
mengidentifikasi specimen kumbang Distribution and differentiation of
lembing herbivore. Sdr. Sarino, teknisi a phytophagous ladybird beetle
Laboratorium Entomologi, Bidang Henosepilachna diekei on two
Zoologi, Puslit Biologi – LIPI yang telah host plants across Java Island,
memberikan informasi awal tentang Indonesia. Journal of Evol-
sebaran kumbang lembing herbivora di utionary Biology (submitted).
Gunung Slamet. Giorgi, JA., NJ. Vandenberg, JV.
McHugh, J. Forrester, A. Ślipiński,
DAFTAR PUSTAKA KB. Miller, LR. Shapiro & MF.
Whiting. 2009: The evolution of
Back, SD. & LM. Schoonhoven. 1980. food preferences in Coccinellidae.
Insect behavior and plant Biological control. 51: 215-231.
resistance. Dalam: Maxwell FG. & Gordon, RD. 1987. A Catalogue of The
PR. Jenningsw (eds.) Breeding Crotch Collection of Coccinel-
plants resistant to insects. John lidae (Coleoptera). Biological
Wiley & Sons, New York. 115-135. Laboratory, Fukui University.
Backer, A. & RCBVD. Brink. 1963a. Academic Press of Japan. Japan.
Flora of Java (Spermatophyta Gunst, JH. 1956. Indonesian Lady-birds.
Only). Vol. I. Wolters Noordhoff Penggemar Alam. Majalah
NV. Groningen The Netherlands. Perkumpulan Penggemar di
Backer, A. & RCBVD. Brink. 1963b. Indonesia. 36 (1): 2-21.
Flora of Java (Spermatophyta Hamzah, Z. 1976. Mikania ancaman
Only). Vol. II. Wolters Noordhoff baru bagi tanaman kehutanan.
NV. Groningen The Netherlands. Laporan No. 223. Lembaga
Backer, A. & RCBVD. Brink. 1965. Penelitian Hutan, Badan Penelitian
Flora of Java (Spermatophyta dan Pengembangan Pertanian,
Only). Vol. III. Wolters Noordhoff Departemen Pertanian. 12 hal.
NV. Groningen The Netherlands. Hodek I. & A. Honek. 1996. Ecology
Cammell, ME. & JD. Knight. 1992. of Coccinellidae. Kluwer
Effect of climate change on the Academic Publishers.
population dynamic of crop pests. Iskandar, S. 1978. Penelitian Biologi
Advance in Ecological Research Epilachna sp. (Famili Cocci-
22: 117-162 nellidae, Ordo Coleoptera).
[Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu

243
Sih Kahono

Hama dan Penyakit Tumbuhan, inang di dataran tinggi Taman


Fakultas Pertanian IPB. Nasional Gunung Gede Pangrango:
Jadwiszczak, A. & P. Wegrzynowicz. Adakah kaitannya dengan
2003. World Catalogue of perubahan iklim? Laporan Teknik
Coccinellidae. Part I – Puslit Biologi 2011.
Epilachninae. Mantis Olsztyn. Kahono, S. 2012. Kajian potensi
Kahono, S. 1996. Population dynamics kumbang subfamily Epilachninae
of a ladybeetle Epilachna untuk kontrol biologi gulma
vigintioctopunctata (Coleoptera: potensial di Indonesia (dalam
Epilachninae) at strong dry climate persiapan).
of Pasuruan, East Java, Indonesia. Kahono, S., LE Pujiastuti, N. Fujiyama,
[Master Thesis]. Kanazawa S. Nakano & H. Katakura. 2002.
University, Japan. Uji preferensi tumbuhan inang
Kahono, S. 1999. Ecological study of beberapa populasi kumbang
phytophagous Ladybeetle (Cocci- lembing Epilachna sp. aff.
nellidae: Epilachninae) in Java, emarginata (Coleoptera: Cocci-
Indonesia, with special reference nelklidae: Epilachninae). Berita
to population dynamics. [Disser- Biologi 6, no. 3. Hal. 481-485.
tation]. Kanazawa University, Kalshoven, LGE. 1981. Pest of Crops
Japan. in Indonesia. Revised and
Kahono, S. 2006. Respon adaptif translated by PA. Van der Laan.
kumbang lembing pemakan daun PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Henosepilachna vigintictopuch- Jakarta.
tata (Fabricius) (Coleoptera: Katakura, H., S. Nakano, S. Kahono, I.
Coccinellidae: Epilachninae) dan Abbas, & K. Nakamura. 2001.
tumbuhan inangnya terhadap Epilachnine ladybird beetles
musim kemarau di daerah beriklim (Coleoptera, Coccinellidae) of
tropis kering Pasuruan dan Malang Sumatra and Java. Tropics. 10:
– Jawa Timur. Berita Biologi. 8 325–352.
(3): 193-200. Kobayashi, N., Y. Ohta, T. Katoh, S.
Kahono, S. 2010. Keanekaragaman Kahono, S. Hartini, & H.
kumbang lembing herbivora Katakura. 2009. Molecular
(Coleoptera: Coccinellidae: phylogenitic analysis of three
Epilachninae) dan tumbuhan groups of Asian eplachnine ladybird
inangnya di Taman Nasional Ujung beetles recognized by the female
Kulon dan sekitarnya, Pandege- internal reproductive organs and
lang, Banten. Zoo Indonesia. 19 modes of sperm transfer. Journal
(2):71-82. of Natural History. Vol. 43, Nos.
Kahono, S. 2011. Dinamika pola sebaran 27-28, July 2009, 1637-1649.
jenis kumbang lembing herbivora Kovár, I. 1996. Phylogeny. Dalam:
dan asosiasinya dengan tumbuhan Hodek, I. & A. Honek. (eds.)

244
Asosiasi Kumbang Lembing Pemakan Daun Subfamili

Ecology of Coccinellidae. change. Dalam: Hecht, MK., RJ.


Kluwer Academic Publishers, Macintyre, & MT. Clegg (eds.).
Dordrecht, pp. 19-31. Evolutionary Biology 29: 39-72.
Li, CS. & EF. Cook. 1961. The Richard, AM. 1983. The Epilachna
Epilachninae of Taiwan (Col.: vigintioctopunctata complex
Coccinellidae). Pasific Insect 3 (Coleoptera: Coccinellidae).
(1): 31-91. International Journal Entomol.
Matsubayashi, K., S. Kahono & H. 25(1): 11-41.
Katakura. . 2010. Sympatrically Sasaji, H. 1971. Fauna Japonica,
divergent host-plant adaptation in Coccinellidae (Insecta: Coleop-
a phytophagous ladybird beetle, tera). Biological Laboratory, Fukui
Henosepilachna diekei (in University. Academic Press of
preparation). Japan, Japan.
Ohta, Y. 2010. Adaptive radiation in the Shunxiang, R., W. Xingmin, P. Hong, P.
Epilachna alternans species Zhengqiang & Z. Tao. 2009.
complex: Taxonomic review and Colored pictorial handbook of
phylogenetic analysis. Presented ladybird beetles in China (dalam
at Seminar of Speciation of bahasa China).
phytophagous insects: Multi-side Steenis, CGGJ. van. 1972. The mountain
effects of host shift on flora of Java. Brill EJ., Leiden,
reproductive isolation. Sapporo 3- Netherlands.
8 March 2010. Wirjahardja, S. 1976. Autecological study
Parker, C. 1972. The Mikania problem. of Mikania spp. Regional Center
PANS 18(3): 312-315. for Tropical Biology (BIOTROP)
Parson, PA. 1996. Stress, resources, – SEAMEO. PO. Box 17, Bogor,
energy balances, and evolutionary Indonesia. A Technical Report.

245
Sih Kahono

246
Ekologi Gunung Slamet

Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan Kawasan


Agrowisata Melalui Diversifikasi Mata Pencaharian Berbasis
Sumberdaya Lokal

Imam Santosa

ABSTRACT

Livehood Poor Community Model at Rural Agrotourism Area by Diversification of Local


Resources. This research is aimed to search for an empowering model that enables poor
community to keeps up welfare through livelihood diversification which is accurate and suitable
with local resources. The research is located in rural agro tourism area, namely: Baturaden and
Cilongok (Banyumas Regency) and Pangadegan, Karangreja (Purbalingga Regency)
respectively. This research can be classified in Research and Development (R&D). This
research showed that the model has to be people-centred and holistic in agro tourism areas,
and provide an integrated view of how people make a living within assets, institutional,
environmental and policy contexts. It has to have, qualitatively, considerable strengths,
especially in discovering capacity and mental attitude of poor community (human capital). In
addition, this model also considers the supporting factors, such as physical, financial, natural,
and social capital

Key Words: Empowering model, poor community, agro tourism, livelihood diversification and
local resources.

PENDAHULUAN potensi sumberdaya alam yang terdapat


di sekitar lingkungan desa berlimpah.
Berbagai persoalan dihadapi dalam Rendahnya daya kreativitas
peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat miskin di pedesaan dalam
manusia di pedesaan. Salah satu berbagai jenis pekerjaan produktif, baik
persoalan pokok yang belum di sektor pertanian maupun non pertanian
terselesaikan berkaitan dengan patut dimaklumi karena tingkat
ketertinggalan masyarakat miskin di penerimaan informasi tentang ragam
pedesaan adalah dalam pemilikan inovasi baru yang dapat meningkatkan
kreativitas kerja. Kemampuan melakukan produktivitas kerja relatif kurang. Hasil
diversifikasi mata pencaharian mereka penelitian Santoso,dkk., (2006)
masih lemah sehingga mengakibatkan menunjukkan bahwa kondisi masyarakat
produktivitas kerja dan pendapatan yang tergolong kategori miskin seperti
rendah (Santoso 2006). Realitas ini buruh tani di pedesaan, jarang ikut
berdampak langsung terhadap berpartisipasi aktif sebagai peserta dalam
kerawanan masyarakat desa terkena sederetan kegiatan pendidikan nonformal
ancaman kemiskinan struktural dan seperti penyuluhan pertanian dan
kemiskinan absolut. Sementara itu, pelatihan kewirausahaan. Meskipun

247
Imam Santosa

diantara mereka ada yang hadir namun 2.Bagaimana potret ragam bentuk
perannya pasif dan berjumlah sedikit. mekanisme diversifikasi mata
Permasalahan kemiskinan yang pencaharian berbasis sumberdaya
menimpa masyarakat desa semakin lokal yang strategis untuk
kompleks ketika terjadi kecenderungan memberdayakan masyarakat miskin
lahan-lahan pertanian garapan yang di pedesaan kawasan agrowisata?
subur mengalami alih fungsi ke 3.Bagaimana rumusan model
penggunaan non pertanian misal pemberdayaan masyarakat miskin di
dikembangkan menjadi kawasan industri, pedesaan kawasan agrowisata
pemukiman baru dan kawasan wisata. melalui diversifikasi mata pencaharian
Berdasarkan hasil penelitian berbasis sumberdaya lokal?
Santoso,dkk., (2008) terungkap bahwa Tujuan pokok penelitian ialah
di salah satu desa yang menjadi kawasan mengkaji, merumuskan dan memperoleh:
agrowisata, masyarakat miskin kian 1.Potret karakteristik sosial ekonomi
mengalami tekanan ekonomi yang makin masyarakat miskin di pedesaan
berat karena alih fungsi lahan dari kawasan agrowisata.
pertanian ke agrowisata menyebabkan 2.Potret ragam bentuk mekanisme
mereka kehilangan pola nafkah utama. diversifikasi mata pencaharian
Sementara, pola nafkah pengganti yang berbasis sumberdaya lokal yang
bersifat produktif sulit didapatkan. strategis dilakukan untuk
Dengan kemampuan diversifikasi mata memberdayakan masyarakat miskin
pencaharian yang lemah masyarakat di pedesaan kawasan agrowisata.
miskin mudah terjebak dalam belenggu 3.Model pemberdayaan masyarakat
ketunakaryaan. Realitas inijelas miskin di pedesaan kawasan
kontradiktif dengan tujuan pengemba- agrowisata melalui diversifikasi mata
ngan potensi pedesaan sebagai kawasan pencaharian berbasis sumberdaya
agrowisata, yang ingin mendukung upaya lokal.
peningkatan kesejahteraan masyarakat Hasil penelitian diharapkan dapat
sekitar. Permasalahan di atas memberikan manfaat baik secara teoritis
memotivasi penentuan tema penelitian maupun praktis seperti yang dijelaskan
ini,. yakni mengkaji dan memperoleh dalam uraian berikut:
model pemberdayaan masyarakat miskin 1.Model pemberdayaan yang
di pedesaan kawasan agrowisata melalui dirumuskan dalam penelitian ini
diversifikasi mata pencahrian berbasis memusatkan perhatian pada
sumberdaya lokal. pemanfaatan praktis yakni untuk
Adapun cakupan masalah yang perubahan berencana melalui
dipersoalkan dalam pelaksanaan diversifikasi mata pencaharian sebagai
penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: bentuk optimalisasi pengembangan
1.Bagaimana potret karakteristik sosial perilaku survival anggota masyarakat
ekonomi masyarakat miskin di miskin di pedesaan kawasan
pedesaan kawasan agrowisata? agrowisata, yang berbasis

248
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

sumberdaya lokal agar lebih mampu Penelitian merupakan riset terapan


meningkatkan kreativitas, produk- yang menggunakan pendekatan
tivitas kerja dan pendapatan. kualitatif. Meskipun demikian, data
2.Dari rangkaian kegiatan penelitian ini kuantitatif yang relevan tetap diperlukan
juga diharapkan dapat memberi guna memberikan penjelasan lebih
kontribusi terhadap penyusunan buku lengkap terhadap lingkup bahasan
referensi berjudul ‘Diversifikasi mata permasalahan yang dikaji. Mengingat
pencaharian Berbasis Sumberdaya macam kegiatan penelitian adalah
Lokal untuk Pemberdayaan terapan maka digunakan metode PRA
Masyarakat Miskin di Pedesaan (Participatory Rural Appraisal) yang
Kawasan Agrowisata’ dalam upaya ditekankan pada kajian lapang (Chamber,
memperkaya materi ajar pada mata 1996)
kuliah Sosiologi Pedesaan. Data primer dikumpulkan melalui
wawancara mendalam bersifat terbuka
BAHAN CARA KERJA semi terstruktur, focus group
discussion (FGD), diskusi informal,
Mengingat rumusan tujuan yang kajian bersama dan observasi
dicapai berorientasi pada perumusan berpartisipasi. Beberapa teknik
model pemberdayaan berdasarkan pengumpulan data tersebut dilakukan
tuntutan hasil penelitian sebelumnya secara persuasif dan kekeluargaan
menyebabkan rentang waktu pelaksa- dengan masyarakat miskin dan para
naan berlangsung selama sepuluh bulan, informan kunci, yaitu orang-orang yang
mulai Maret sampai Desember 2009. dianggap banyak mengetahui informasi
Namun kegiatan pengumpulan data permasalahan kemiskinan di pedesaan
dilaksanakan selama enam bulan. kawasan agrowisata.
Penentuan lokasi penelitian Untuk melengkapi data primer
dilakukan secara purposif di Kabupaten dikumpulkan juga data sekunder yang
Banyumas dan Kabupaten Purbalingga. relevan dengan permasalahan penelitian.
Kedua daerah ini termasuk wilayah yang Data sekunder mencakup berkas,
menjadi sentra pengembangan dokumen atau laporan-laporan pada balai
agrowisata di Provinsi Jawa Tengah. pemerintahan desa, /kecamatan, /
Dari Kabupaten Banyumas diwakili kabupaten, lembaga-lembaga penggerak
pedesaan dari Kawasan Agrowisata swadaya masyarakat dan hasil-hasil
Wilayah Kecamatan Baturaden dan penelitian yang pernah dilakukan dan
Kawasan Agrowisata Wilayah relevan dengan masalah yang dikaji.
Kecamatan Cilongok. Sementara, dari Penetapan informan secara purposif
Kabupaten Purbalingga diwakili dan informan kunci dipilih dengan
pedesaan dari Kawasan Agrowisata teknikbola salju. Para informan kunci
Wilayah Kecamatan Pangadegan dan tersebut terdiri atas tokoh-tokoh
Kawasan Agrowisata Wilayah masyarakat, aparat pemerintahan desa,
Kecamatan Karangreja. aktivis LSM (yang memperhatikan

249
Imam Santosa

pemberdayaan masyarakat miskin), Posisi warga miskin di pedesaan


tokoh pemuda, petugas/kader kawasan agrowisata umumnya baru
pembangunan dan pihak-pihak yang sebatas sebagai penonton yang hanya
pernah melakukan penelitian di lokasi bersikap pasif setiap saat menyaksikan
terpilih. hiruk-pikuk aktivitas produktif mengiringi
Data hasil penelitian tahun pertama perkembangan gerak sosial agrowisata
dan kedua dianalisis dengan Interactive yang berlangsung dihadapannya. Di balik
Model Of Analysis (Miles dan keramaian kunjungan wisatawan yang
Huberman, 1991). Dalam analisis ini berdatangan menikmati keindahan alam
kajian lebih mendalam untuk menjawab desanya, anggota masyarakat yang
pertanyaan-pertanyaan sesuai tahapan kurang beruntung dari segi ekonomi ini
analisis yangmeliputi: pengumpulan data, justru mengalami berbagai tekanan
reduksi data, sajian data dan penarikan psikososial, yang membuatnya makin
simpulan. Keempat tahapan dilakukan terpuruk hingga kesulitan dalam
secara interaktif dalam satu siklus. menghasilkan produktivitas. Realitas
Mengingat luaran yang dihasilkan adalah sosial yang mencemaskan ini ternyata
model maka untuk memperolehnya ditemukan di keempat kawasan
digunakan perspektif ZOPP.(perlu agrowisata.
penjelasam singkat tentang ZOPP) Potret karakteristik sosial ekonomi
dari sisi kelompok umur menunjukkan
HASIL DAN PEMBAHASAN bahwa mayoritas warga miskin di
pedesaan kawasan agrowisata tergolong
Potret Karakteristik Sosial Ekonomi penduduk berusia produktif. Umur
Masyarakat Miskin di Pedesaan mereka berkisar antara 25-55 tahun.
Kawasan Agrowisata Hanya sedikit yang berusia tidak
Masyarakat miskin di pedesaan produktif atau termasuk kaum lanjut usia
kawasan agrowisata memiliki potret dengan kisaran umur diatas 55 tahun.
karakteristik sosial ekonomi tertentu yang Dengan kelompok umur yang demikian
mengungkapkan kondisi ketertinggalan sebenarnya warga dari kalangan kurang
dan keterbelakangan dalam berbagai beruntung ini punya potensi besar dalam
sendi kehidupan. Akses yang dimiliki mengembangkan produktivitas kerja.
masyarakat miskin terhadap berbagai Hanya saja karena banyak rintangan
kegiatan produktif yang terus bergerak yang harus dihadapi untuk dapat
dinamis mengiringi perkembangan bidang memanfaatkan kesempatan kerja yang
agrowisata di lingkungan mukimnya ada, menyebabkan hasil kerja yang
cenderung lemah. Kesempatan dilakukan kurang berarti.
memanfaatkan ragam peluang usaha Dengan keadaan batasan usia yang
yang terdapat di lingkungannya kurang, tergolong produktif, kalangan warga yang
seolah tak tersentuh oleh kemampuan seimbang dalam rasio gender tampak
diri yang serba terbatas dalam berbagai baru bisa menikmati jenjang pendidikan
potensi dasar. formal sampai tingkat sekolah dasar.

250
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

Alasan yang mengakibatkan rendahnya sebagaimana diilustrasikan dalam kutipan


pendidikan formal bersumber dari rekaman wawancara sebagai berikut:
kekurangan biaya sekolah. Orangtua
mereka bukan hanya merasa enggan “——Kula kendel sekolah kelas 4
mengeluarkan biaya untuk pendidikan SD. Tiyang sepah kula pun prentah
formal anak, namun yang lebih berat lagi supados langsung ngode dating
adalah alokasi pendapatan keluarga yang Purwokerto. Mulanipun kula dados
pelayan toko salah setunggalipun
memang tidak mencukupi lagi untuk
took won ten Pasar Wage. Namung
membeli buku, baju seragam, uang jajan, kalih tahun salajengipun kula
alat tulis, sepatu sekolah dan keperluan sampun kendel. Sebab wonten
lain. Lebih memprihatinkan lagi, rencang ingkang ngajak ngode
beberapa warga miskin menyatakan pedamelan sanes inggih punika
alasan tidak bersekolah sampai ke jenjang dados buruh bangunan. Antawis
lebih tinggi dari sekolah dasar karena dangu kula jalanaken kodean niki
terpaksa diwajibkan ikut membantu ngantos kula nikah. Kanca batir
orangtua bekerja mencari nafkah. inggih isteri kula ingkang
Berbagai jenis pekerjaan dilakukan nyaranaken supados ngode ingkang
perek-perek kemawon. Setunggaling
terkadang sampai seharian hingga tak
wekdal kula sampun nate dados
sempat mengikuti pelajaran di bangku buruh tani. Namung kendel maning
sekolah. Tidak jarang ada yang mengaku sebab sabin sampun dipun sade
bahwa sewaktu masih berusia anak-anak dating tiyang kota. Ing wekdal sanes
mereka sudah bekerja sampai ke luar kula ugi pernah nglamar dados
desa menjadi pembantu rumahtangga, pegawai setunggaling hotel X eh
pelayan warung//toko, buruh peternakan kula pun tolak sebab ingkang pun
ayam, buruh di penggergajian kayu, buruh betahaken SMA. Mboten punapa
bangunan, buruh industri rumah tangga sakmenika kula ngode dodolan es
pembuatan tempe/tahu/kerupuk, buruh kaliyan soto. Namung nggih ngaten
kurang pajeng, pembelinipun
pabrik soun, penjaja tas kresek di pasar,
sakedik. Amargi lokasi ragi
pengemis jalanan dan pengamen keliling katebihan saking keramaian
dari satu desa ke desa lain. Masih pengunjung Baturaden. Kalau
banyak jenis pekerjaan lain yang niatipun sih pingin banget ngrika
dilakukan saat bekerja di luar desa namung kedah wonten ijin saking
semasa usia anak-anak. Terlena dalam petugas wisata…”.
suasana kesibukan kerja yang monoton
menjadikan mereka lupa dan tak ingin Artinya:
melanjutkan pendidikan formal ke jenjang
lebih tinggi. Penuturan seorang informan “… Saya berhenti sekolah sampai
kelas IV SD. Orangtua yang
berinisial We (laki-laki) berusia 32 tahun
menyuruh untuk langsung kerja di
dari kawasan agrowisata Baturaden Kota Purwokerto. Awalnya saya
menyatakan putus sekolah menjadi pelayan toko besi di Pasar
dilatarbelakangi serangkaian sebab Wage. Tapi dua tahun kemudian

251
Imam Santosa

pindah kerja menjadi buruh bangunan kegiatan pendidikan nonformal yang


karena diajak teman. Lama pekerjaan diselenggarakan berbagai pihak di
itu saya lakukan hingga menikah. Istri desanya. Ada perasaan diacuhkan dalam
yang menyarankan agar saya bekerja kegiatan itu. Situasi ini menyebabkan
di sekitar sini saja. Pernah jadi buruh
terjadi kesenjangan tingkatan sosial
tani, lha itu lahan garapannya terjual
ke orang kota. Pernah saya melamar
dalam jalinan interaksi sosial antar
kerja jadi karyawan Hotel X eh… peserta.
ditolak sebab yang dibutuhkan Mayoritas para informan yang
lulusan SMA sederajat. Tidak apa- menjadi sumber data primer dari keempat
apa… sekarang saya kerja jadi kawasan agrowisata menyatakan telah
pedagang es dan soto. Kurang laku, berstatus menikah. Hanya sedikit yang
pembelinya sedikit. Lokasi tempat mengaku masih lajang. Oleh karenanya,
berjualan kurang strategis agak jauh beban tanggungan ekonomi yang dipikul
dari keramaian pengunjung cukup besar karena rata-rata mereka
Baturaden. Kalau niatnya sih pingin
bertanggungjawab terhadap pemenuhan
di sana tapi susah harus ada izin dari
kebutuhan 5-8 orang anggota keluarga.
petugas...”.
Menurut informan, anggota keluarga
yang turut menjadi beban tanggungan
Tidak hanya pendidikan formal
ekonomi tidak hanya keluarga inti yakni
mereka yang rendah, pendidikan
istri/suami dan anak-anak, melainkan juga
nonformal juga demikian halnya. Jarang
termasuk kerabat baik dari pihak istri
sekali kelompok masyarakat ini ikut aktif
maupun pihak suami yakni ayah, ibu, ibu
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
mertua, bapak mertua, adik ipar, kakak
pendidikan nonformal Biasanya peserta
ipar. Rumah tinggal mereka biasanya
pendidikan nonformal adalah warga yang
saling berdekataan, sehingga ikatan
memiliki pekerjaan tetap yang produktif
ketergantungan ekonomi antar anggota
seperti: petani, pengrajin souvenir,
keluarga inti dan keluarga luas cukup
pedagang, pengusaha industri rumah
tinggi. Selain berkewajiban harus
tangga makanan/minuman/obat-obatan
memikul beban ekonomi pemenuhan
herbal. Peserta yang aktif diundang
kebutuhan hidup anggota keluarga, bagi
karena dipandang sudah memiliki
seorang kepala rumahtangga miskin
kemampuan untuk menjalankan usaha
keterikatan dengan keluarga luas juga
produktif namun masih perlu
mempunyai keuntungan yakni terbentuk
dikembangkan. Berbeda dengan warga
ikatan yang kuat untuk menjaga
miskin, walau mendapat undangan
kebersamaan dalam menyelesaikan
mengikuti suatu kegiatan pendidikan
beragam persoalan hidup terutama
nonformal, perannya pasif cenderung
menyangkut ekonomi dan sosial. Tak
sebagai pendengar yang meramaikan
jarang, sewaktu keluarga inti mengalami
acara (ada yang menyebutnya dengan
kehabisan bahan pangan dan sedang
istilah penggembira). Keadaan yang
tidak punya uang untuk membelinya,
demikian menyebabkan mereka kurang
dengan tanpa kesulitan dapat langsung
berminat mengikuti berbagai bentuk

252
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

meminta atau meminjam ke keluarga luas semusim. Upah yang diterima setiap
yang berdekatan rumah. Pada posisi minggu dari pola nafkah buruh tani
seperti ini, rumah tangga informan bervariasi antara Rp 15.000-Rp 20.000
menemukan katup pengaman yang setiap hari. Besarnya upah bergantung
terbentuk dengan sendirinya dalam pada jenis kerja yang dilakukan. Misal,
lingkaran ikatan kekeluargaan. untuk kegiatan pengolahan lahan,
Akibat dari beban ekonomi yang memupuk dan memanen tanaman cabai
berat dan harus ditanggung, mendorong dari pukul 07.00 sampai 16.00, buruh tani
sebagian besar dari warga miskin siap di Baturaden menerima upah sejumlah
bekerja keras untuk menghasilkanuang. Rp 20.000 per hari. Hal ini disebabkan
Sebelum terjadi pengembangan pekerjaan memupuk membutuhkan
agrowisata di desanya, para informan keseriusan dan ketelatenan. Namun,
mengungkapkan bahwa pola nafkah untuk kegiatan penyiangan dengan
utama yang ditekuni adalah sebagai jangka waktusama, diberi upah Rp
petani baik sebagai buruh tani maupun 15.000. Di kawasan agrowisata
petani penggarap. Akan tetapi setelah Karangreja, upah yang diterima buruh
pengembangan agrowisata, banyak tani yang bekerja di kebun stroberi
diantaramereka mengalihkan pola nafkah bergantung juga dari jenis kegiatan, tapi
utama ke non pertanian. Kalangan upah berkisar antara Rp 10.000-Rp
masyarakat miskin di pedesaan kawasan 15.000 untuk per hari kerja. Tidak
agrowisata ternyata mengalami kesulitan berbeda dengan yang ditemukan di
mencari jenis pekerjaan utama yang Baturaden, upah tertinggi diperoleh saat
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki mengerjakan pengolahan lahan,
dan sekaligus memberikan pendapatan pemupukan dan pemanenan. Untuk
layak. Jarang diantara mereka mampu kegiatan penyiangan dan pengemasan,
melakukan pengembangan pola nafkah upah yang diterima biasanya sebesar Rp
dengan memanfaatkan mekanisme 10.000 per hari. Hanya saja, pekerjaan
diversifikasi mata pencaharian. Padahal sebagai buruh tani tidak setiap hari
disadari bahwa diversifikasi mata dilakukan sebab pada masa paceklik atau
pencaharian atau penganekaragaman antara masa penyiangan sampai panen
pola nafkah produktif potensial yang tiba cenderung tidak ada kegiatan yang
mereka lakukan diharapkan mampu dikerjakan. Pada saat ini buruh tani
meningkatkan kinerja, produksi dan mengalami keterdesakan ekonomi
produktivitas masyarakat miskin di terutama bagi mereka yang tidak memiliki
pedesaan kawasan agrowisata. kemampuan pengembangan bentuk
Beberapa informan dari kawasan mekanismediversifikasi mata
agrowisata Baturaden, Cilongok, pencaharian.
Pangadegan dan Karangreja memilih Tidak hanya bekerja sebagai buruh
untuk tetap konsisten bekerja di desa tani, sebagian dari warga miskin di
mereka. Sebagian setia menjadi buruh pedesaan kawasan agrowisata menekuni
tani untuk mengurusi budidaya tanaman pola nafkah utama sebagai pedagang,

253
Imam Santosa

buruh bangunan/usaha ternak ayam/ baku seirit mungkin dan biasanya berasal
penggergajian kayu, pelayan warung dari lingkungan sekitar misal, sayuran
makan, petugas kebersihan di lokawisata/ untuk pecal dipetik dari kebun sendiri.
, karyawan rendahan pada losmen/hotel/ Dalam menyiasati keterdesakan
penginapan dan pengrajinindustri rumah ekonomi yang dialami, beberapa warga
tangga. Dengan pola nafkah tunggal, miskin terutama yang tinggal di pedesaan
pendapatan yang diperoleh setiap bulan kawasan agrowisata Baturaden,
berkisar antara Rp 500.000-Rp 800.000. Pangadegan dan Karangreja telah
Bagi informan yang berpola nafkah mempunyai pola nafkah sampingan.
sebagai pedagang, modal yang diputar Mereka mulai mengembangkan bentuk
setiap hari relatif kecil yakni sekitar Rp mekanisme diversifikasi mata
50.000-Rp 150.000. Barang dagangan pencaharian sesuai kemampuan dan
biasanya hanya sejenis dan merupakan kesempatan kerja yang tersedia.
produk yang diolah sendiri misal: makanan Umumnya pola nafkah sampingan yang
siap saji antara lain soto, bakso, batagor, dilakukan termasuk jenis pekerjaan yang
somay, sate, pecel, pecak lele, mie bersifat serabutan atau jenis pekerjaan
goreng/rebus, jagung bakar, nasi uduk/ tidak menentu sesuai permintaan pihak
rames/kuning. Untuk minuman yang menawarkan pekerjaan.
mencakup: es aneka rasa, skoteng, jahe Pekerjaan serabutan yang sering
susu, kopi susu, teh manis, cendol, dawet jalani antara lain: buruh angkut barang
ayu, aneka juice dan ragam minuman hasil pertanian seperti sayuran yang
botol. Pedagang minuman juga hanya hendak diangkut ke pasar, tukang pijat,
mampu menjual satu sampai tiga jenis loper koran/majalah, makelar tenaga
minuman. Beberapa diantaramereka kerja, tukang kebun tanaman hias dan
memilih berdagang sayuran dan buah- tukang cuci di hotel/losmen. Jenis
buahan seperti ditemukan di kawasan pekerjaan sampingan berikutnya meliputi:
agrowisata Karangreja. Sayuran dan petugas penjaga keamanan losmen /
buah-buahan yang dijajakan antara lain: penginapan penjaga malam, pemandu
wortel, cabai, seledri, muncang, wisata, tukang ojek, petugas kebersihan
mentimun, stroberi, bengkuang, tomat, di kawasan agrowisata, penyabit rumput,
melon, semangka dan lainnya. Sebagian tukang parkir, penjaja tanaman hias
dari mereka menawarkan barang keliling kawasan agrowisata, penjaja
dagangan dengan cara berkeliling desa, makanan kecil dan sebagainya. Bagi
ada juga yang mangkal di sekitar tempat warga miskin yang sudah mulai
parkir kendaraan pengunjung. Harga melaksanakan diversifikasi mata
dari barang yang dijajakan diatur pencaharian, memiliki penghasilan
sedemikian rupa dan terkesan murah tambahan sehingga lebih mampu
dibanding yang ditawarkan di warung/ menyiasati masa paceklik dalam
rumah makan yang menetap. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
menyesuaikan harga dengan biaya rumahtangga. Meskipun demikian,
produksi, pedagang menghemat bahan pendapatan yang diterima itu belum juga

254
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar 875.000-Rp 1.400.000. Penghitungan ini


keluarga. Besar pendapatan yang tercermin dari potret karakteristik sosial
diterima dengan pola nafkah ganda setiap ekonomi para informan terutama dari sisi
bulan antara Rp 700.000-Rp 1.000.000. pendapatan dan pengeluaran.
Dengan total pendapatan yang Pengalaman kerja informan pada
demikian, menunjukkan kondisi ekonomi pola nafkah utama cenderung lama.
rumahtangga warga yang berpola nafkah Sebagian besar informan yang berusia 40-
tunggal dan berpola nafkah ganda tetap 62 tahun dan berpola nafkah utama buruh
masih kesulitan dalam memenuhi tani atau petani penggarap mempunyai
berbagai kebutuhan dasar keluarga. Hal pengalaman kerja cukup lama yakni 15-
ini dikarenakan pengeluaran yang harus 35 tahun. Bagi informan yang lebih
terpenuhi untuk kebutuhan 5-8 orang muda, masa kerja sebagai buruh tani dan
anggota keluarga yang menjadi petani penggarap lebih sebentar atau
tanggungan setiap bulan berada dalam hanya 5-14 tahun. Mereka sering
rentangan Rp 600.000-Rp. 1.000.000. berpindah pekerjaan baik di dalam desa
Dalam kondisi pendapatan yang seperti maupun di luar desa. Informan dengan
ini, mengindikasikan bahwa warga benar- jenis pola nafkah lain juga mempunyai
benar terhimpit kemiskinan karena sesuai pengalaman kerja < 5 tahun. Untuk pola
konsep pemikiran Sajogyo (1989) tentang nafkah sampingan, pengalaman kerja
batasan orang miskin sekali di daerah yang dipunyai para informan tidak pernah
pedesaan adalah yang berkemampuan berlangsung lama pada setiap jenis
mengkonsumsi makanan hanya pekerjaan. Hal ini dikarenakan jenis
mencapai antara 1.900-2.100 kalori per pekerjaan sampingan sering
orang per hari plus kebutuhan non bersifatmendadak. Oleh karenanya,
makanan atau setara dengan Rp 150.000 informan berprinsip setiap ada
per individu per bulan. Kondisi yang penawaran kerja sampingan apapun
mendekati miskin ialah ketika bentuknya asal tidak mengancam
kemampuan untuk mengkonsumsi keselamatan diri akan siap dilakukan
makanan hanya mencapai antara 2.100- kapanpun jua tanpa sempat berpikir
2.300 kalori per orang per hari plus berapa jumlah upah yang nanti diterima.
kebutuhan non makanan atau setara Di samping lemah dalam soal
dengan Rp 175.000 per individu per ekonomi (pendapatan), berdasarkan
bulan. Jika dalam rumah tangga miskin gambaran potret karakteristik sosial
sekali terdapat lima sampai delapan ekonomi dari sisi pendidikan formal,
orang anggota keluarga, maka batasan pendidikan nonformal dan pemilikan pola
pendapatan yang diperoleh setiap bulan nafkah para informan disadari masih
Rp. 750.000-Rp 1.200.000. Begitu juga kurang memadai. Menurut Wrihatnolo
bagi kelompok rumah tangga yang dan Dwidjowijoto (2007) keadaan /
mendekati miskin dengan lima sampai rumahtangga yang demikian termasuk
delapan orang anggota keluarga kategori miskin dan mendekati miskin
memperoleh pendapatan setiap bulan Rp

255
Imam Santosa

karena dipandang dari sisi produktif bahwa dengan pesatnya pengembangan


memiliki ciri-ciri berikut: agrowisata suatu daerah telah
(1)Miskin, apabila seorang anggota memberikan motivasi tinggi terhadap
rumahtangga dari sebuah keluarga masyarakat desa untuk berwirausaha
mempunyai usaha atau memiliki mulai dari penyediaan penginapan
pekerjaan tertentu dengan penghasilan bernuansa tradisional, fasilitas camping
kurang dari standar minimal konsumsinya dan caravan sampai menyiapkan
(termasuk konsumsi untuk seluruh berbagai jenis cendera mata untuk
anggota keluarganya). kenang-kenangan wisatawan.
(2)Mendekati miskin, apabila seorang Agar memiliki nilai strategis, ragam
anggota rumahtangga dari sebuah bentuk mekanisme diversifikasi mata
keluarga mempunyai usaha atau memiliki pencaharian pada masyarakat miskin di
pekerjaan tertentu dengan penghasilan pedesaan sekitar kawasan agrowisata
setara dengan standar minimal ternyata perlu dikembangkan secara
konsumsinya (termasuk konsumsi untuk spesifik lokasi sesuai potensi dan
seluruh anggota keluarganya). kapabilitas sumberdaya lokal yang
Meskipun demikian, melalui potret berbeda antar satu wilayah dengan
karakteristik sosial ekonomi masyarakat wilayah lain. Pada Lampiran 1 tercantum
miskin yang berada di pedesaan informasi mengenai ragam bentuk
agrowisata Baturaden, Cilongok, mekanisme diversifikasi mata
Pangadegan dan Karangreja dapat pencaharian yang strategis dan berbasis
dikemukakan keadaan potensi diri dari sumberdaya lokal.
sisi umur, jenis kelamin, status pernikahan
dan lama pengalaman bekerja. Hal ini
Model Pemberdayaan
merupakan bentuk kekuatan dan modal
yang perlu dikembangkan untuk Rumusan model pemberdayan
mendukung upaya pemberdayaan masyarakat miskin di pedesaan
mereka. kawasan agrowisata mempunyai sasaran
pokok berikut: peningkatan pendapatan,
Ragam Bentuk Mekanisme diversi- peningkatan aksesibilitas warga miskin
fikasi mata pencaharian Strategis dan terhadap kesempatan kerja produktif dan
Berbasis Sumberdaya Lokal peningkatan produktivitas serta
kreativitas kerja produktif. Model
Diversifikasi mate pencaharian pemberdayaan yang menjadi luaran
merupakan salah satu pilihan yang penelitian disajikan pada Gambar 1.
strategis untuk ditempuh dalam upaya
memberdayakan masyarakat miskin KESIMPULAN DAN SARAN
khususnya yang mukim di pedesaan
kawasan agrowisata. Pernyataan ini Dinamika pengembangan wilayah
tidaklah berlebihan mengingat hasil pedesaan sebagai kawasan agrowisata
penelitian Clarke (1996) menyebutkan perlu diselaraskan dengan laju

256
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

Gambar 1. Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan Kawasan Agrowisata melalui


Livelihood Diversification Berbasis Sumberdaya Lokal

pemberdayaan masyarakat miskin di antar berbagai pihak dengan tetap


sekitarnya. Karakteristik sosial ekonomi memberi prioritas pada pemanfaatan
yang cenderung tidak jauh berbeda himpunan modal yang dimiliki warga
menunjukkan bahwa masyarakat miskin secara bersamaan.
di kawasan agrowisata memiliki potensi, Pemberdayaan masyarakat miskin di
kapabilitas dan sikap mental yang mampu kawasan agrowisata melalui diversifikasi
berintegrasi dalam berbagai bentuk mata pencaharian tidak dapat dilakukan
kegiatan produktif untuk mendukung secara parsial, melainkan membutuhkan
gerakan agrowisata . Ragam bentuk kerjasama dan dukungan yang integratif
mekanisme diversifikasi mata dari berbagai pihak. Pengembangan
pencaharian penting dikembangkan untuk kawasan agrowisata sudah selayaknya
mendukung upaya pemberdayaan diorientasikan untuk kepentingan
masyarakat miskin di pedesaan kawasan pemberdayaan masyarakat miskin.
agrowisata. Mekanisme diversifikasi Akses mereka terhadap peluang kerja di
mata pencaharian yang paling dibutuhkan sektor agrowisata seyogyanya dapat
ialah yang berbasis sumberdaya lokal. diperluas sesuai sumberdaya lokal yang
Dalam rumusan model pemberdayaan dimiliki. Mengingat model ini dibangun
masyarakat miskin melalui diversifikasi dengan pola dari bawah ke atas, maka
mata pencaharian berbasis sumberdaya masih perlu dilakukan validasi model dari
lokal dibutuhkan kerjasama yang terpadu

257
Imam Santosa

aspek kuantitatif untuk mengetahui Formal. Jurnal Tropika. Fakultas


keunggulan dan kelemahan model. Pertanian UMM Malang. 14 (2) :
__________. R Rostikawati dan J
DAFTAR PUSTAKA Santoso. 2007. Model Transmisi
Modal Sosial Untuk Pemberdayaan
Chamber, R. 1996. PRA (Participatory Petani di Pedesaan Tepian Hutan
Rural Appraisal); Memahami dalam Pengembangan Diversifikasi
Desa Secara Partisipatif. Penerbit Usaha Sulaman Bordir Unique
Kanisius Oxfam. Yogyakarta. Motive Design. Jurnal Siasat-
Clarke, J.,1996. Farm Accomodation and Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial. 16
the Communication Mix. Tourism _________. 2008. Farmer Group
Management. Empowering Through Increasing
Miles, M. B., and A. M., Huberman, Market Accessibility and Local
1991. Designing Qualitative Wisdom Utility. Collaborative
Research. Mac Graw Hill Research Between Tokyo
Company. New York. University–Japan and General
Sajogyo. 1989. Permasalahan Soedirman University-Indonesia.
Kemiskinan di Pedesaan. Institut (Progress report )
Pertanian Bogor. Bogor. Wrihatnolo, Randy R.(?), dan R. N.
Santoso, I. 2006. Strategi Daya Tahan Dwidjowijoto. 2007. Manajemen
Petani melalui Pendidikan Tak Pemberdayaan. Elex Media
Komputindo. Jakarta.

258
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

Lampiran 1. IDENTIFIKASI SUMBERDAYA LOKAL DAN RAGAM BENTUK MEKANISME


DIVERSIFIKASI MATA PENCAHARIAN

KAWASAN AGROWISATA BATURADEN


Hasil identifikasi sumberdaya lokal
1. Modal diri: sumberdaya manusia dominan berusia produktif, rasio kelamin seimbang, tingkat
pendidikan formal dan nonformal perlu dikembangkan, mempunyai sejumlah tanggungan ekonomi
yang sekaligus berfungsi sebagai aset tenaga kerja, berpola nafkah ganda baik di bidang pertanian
maupun luar pertanian, pendapatan rendah namun sudah mempunyai pengalaman kerja yang
tergolong lama.
2. Modam fisik: hasil produksi relatif rendah baik dalam kuantitas maupun kualitas, kurang
memiliki sarana dan prasarana untuk asset investasi kerja produktif.
3. Modal financial: modal produksi dalam bentuk uang kontan sangat terbatas bahkan kurang
dan sering tidak punya sama sekali, tabungan baru dalam bentuk arisan simpan pinjam tingkat
ketetanggaan terdekat, akses terhadap pelayanan sumber dana bantuan lemah.
4. Modal sumberdaya alam: hak terhadap penguasaan lahan pertanian semakin sempit, hak
kebolehan pemanfaatan air baik dan potensi alam di kawasan ini cocok untuk usaha pertanian:
tanaman hias, tambak ikan air tawar dan usaha ternak besar dan kecil. Selain itu, bidang agroindustri
dan perdagangan serta pelayanan jasa juga sesuai untuk dikembangkankan meski dalam bentuk
usaha mikro.
5. Modal sosial: paguyupan masyarakat desa tinggi, modal sosial mengalami erosi terutama
dalam hal saling percaya, jaringan kerja yang bersifat produktif lemah.

Mekanisme diversifikasi mata pencaharian berbasis sumberdaya lokal yang strategis


Masyarakat miskin di kawasan ini diberi semangat dan motivasi untuk bersedia mengembangkan berbagai
pola nafkah yang produktif. Pola nafkah yang ditawarkan berbasis sumberdaya lokal dan perlu disesuaikan
dengan kemampuan, kapabilitas dan minat kemauan sendiri para warga. Pemerintah daerah bersama
pengelola agrowisata perlu menetapkan sentra kawasan wisata kuliner dan wisata cendera mata serta
wisata seni yang boleh dimanfaatkan warga lokal.
Pendampingan dari fasilitator dibutuhkan sampai muncul kemandirian dalam melakukan penganekaragaman
kerja tersebut. Peran fasilitator lebih condong pada mitra yang membantu membuatpenyelesaian masalah.
Fasilitator juga berfungsi untuk menjadi jembatan penghubung dengan sumber penyedia dana tambahan
modal, jaringan pemasaran, pihak pengelola agrowisata dan pihak yang menjadi sumber informasi
teknologi. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan perlu diperkenalkan.
Beberapa jenis pekerjaan yang strategis dilakukan dalam memenuhi diversifikasi mata pencaharian
antara lain: petani organik dan hidroponik (untuk tanaman pangan dan sayuran), petani/pedagang
tanaman hias, petambak ikan hias dan beberapa jenis ikan air tawar yang tidak membutuhkan lahan luas
misalnya lele, peternak ayam, itik dan burung puyuh. Selain itu, sebagai pengrajincendera mata,
jasapemandu,, pemeran seni Banyumasan, pengusaha sekaligus pedagang makanan dan minuman khas
Banyumas

KAWASAN AGROWISATA CILONGOK


Hasil identifikasi sumberdaya lokal
1. Modal diri: sumberdaya manusia dominan berusia produktif, rasio kelamin seimbang, tingkat
pendidikan formal dan nonformal perlu dikembangkan, mempunyai sejumlah tanggungan ekonomi
yang sekaligus berfungsi sebagai aset tenaga kerja, berpola nafkah tunggal di bidang pertanian dan
di luar pertanian, pendapatan rendah namun sudah mempunyai pengalaman kerja yang tergolong
lama.
2. Modal fisik: hasil produksi relatif rendah baik dalam kuantitas maupun kualitas, kurang sekali
memiliki sarana dan prasarana untuk asset investasi kerja produktif.

259
Imam Santosa

3. Modal finansial: modal produksi dalam bentuk uang kontan sangat terbatas bahkan tidak
punya sama sekali, tabungan tidak ada, akses terhadap pelayanan sumber dana bantuan sangat
lemah.
4. Modal sumber daya alam: hak terhadap penguasaan lahan pertanian tinggi, hak kebolehan
pemanfaatan air kurang baik dan potensi alam di kawasan ini cocok untuk usaha pertanian: tanaman
pangan dan perkebunan, usaha ternak besar dan kecil.
5. Modal Sosial: paguyupan masyarakat desa tinggi, modal sosial relatif terjaga baik, jaringan
kerja yang bersifat produktif lemah, akses kerja pada kawasan agrowisata lemah karena jaraknya
jauh dari pemukiman dan belum pernah mengadakan interaksi sosial dengan pengelola agrowisata.
Mekanisme diversifikasi mata pencaharian berbasis sumberdaya lokal yang strategis
Masyarakat miskin di kawasan ini diberi kesadaran, dorongan semangat dan motivasi untuk bersedia
mengembangkan berbagai pola nafkah yang produktif. Pola nafkah yang ditawarkan berbasis sumberdaya
lokal dan perlu disesuaikan dengan kemampuan, kapabilitas dan minat sendiri para warga. Pemerintah
daerah bersama pengelola agrowisata perlu menetapkan sentra kawasan wana wisata dan desa wisata
yang melibatkan partisipasi warga lokal. Pendampingan dari fasilitator dibutuhkan sampai muncul
kemandirian dalam melakukan penganekaragaman kerja tersebut. Peran fasilitator lebih condong pada
mitra yang membantumengatasi masalah. Fasilitator juga berfungsi untuk menjadi jembatan dengan
sumber penyedia dana tambahan modal, jaringan pemasaran, pihak pengelola agrowisata dan pihak
yang menjadi sumber informasi teknologi pertanian. Beberapa kebijakan pemerintah yang berkenaan
dengan pembangunan perlu diperkenalkan. Beberapa jenis pekerjaan yang strategis dilakukan dalam
memenuhi diversifikasi mata pencaharian antara lai : petani pangan dan perkebunan serta peternak
ayam, itik, kambing dan burung puyuh. Selain itu, sebagai pengrajin scendera mata, jasapemandu.
Usaha perdagangan dan pelayanan jasa belum sesuai untuk dikembangkan karena jumlah wisatawan
yang berkunjung setiap hari masih relatifsedikit

KAWASAN AGROWISATA PANGADEGAN


Hasil identifikasi sumberdaya lokal
1. modal diri: sumberdaya manusia dominan berusia produktif, rasio gender seimbang, tingkat
pendidikan formal dan nonformal perlu dikembangkan, mempunyai sejumlah tanggungan ekonomi
yang sekaligus berfungsi sebagai aset tenaga kerja, berpola nafkah ganda baik di bidang pertanian
maupun luar pertanian, pendapatan rendah namun sudah mempunyai pengalaman kerja yang
tergolong lama.
2. Modal fisik: hasil produksi relatif rendah baik dalam kuantitas maupun kualitas, kurang
memiliki sarana dan prasarana untuk asset investasi kerja produktif.
3. Modal finansial: modal produksi dalam bentuk uang kontan sangat terbatas bahkan tidak
punya sama sekali, akses terhadap pelayanan sumber dana bantuan lemah.
4. Modal Sumberdaya alam: hak terhadap penguasaan lahan pertanian sedang, hak kebolehan
pemanfaatan air sangat baik dan potensi alam di kawasan ini cocok untuk usaha pertanian: tanaman
pangan dan sayuran, tambak ikan air tawar dan usaha ternak kecil. Selain itu, bidang agroindustri
dan perdagangan juga sesuai untuk dikembangkankan meski dalam bentuk usaha mikro.
5. Modal sosial: paguyupan masyarakat desa tinggi, modal sosial terjaga dengan baik, jaringan
kerja yang bersifat produktif menguat.
Mekanisme diversifikasi mata pencaharian berbasis sumberdaya lokal yang strategis
Masyarakat miskin di kawasan ini perlu diberi semangat dan motivasi untuk bersedia mengembangkan
berbagai pola nafkah produktif. Pola nafkah yang ditawarkan berbasis sumberdaya lokal dan perlu
disesuaikan dengan kemampuan, kapabilitas dan minat sendiri para warga. Pemerintah daerah bersama
pengelola agrowisata perlu menetapkan sentra kawasan wisata kuliner dan wisatacendera mata yang
boleh dimanfaatkan warga lokal.
Pendampingan dari fasilitator dibutuhkan sampai muncul kemandirian dalam melakukan penganekaragaman
kerja tersebut. Peran fasilitator lebih condong pada mitra yang membantumengatasi masalah. Fasilitator

260
Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin di Pedesaan

juga berfungsi untuk menjadi jembatan dengan sumber penyedia dana tambahan modal, jaringan pemasaran,
pihak pengelola agrowisata dan pihak yang menjadi sumber informasi teknologi. Beberapa kebijakan
pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan perlu diperkenalkan. Beberapa jenis pekerjaan yang
strategis dilakukan dalam memenuhi diversifikasi mata pencaharian antara lain: petani pangan dan
sayuran organik, petani/pedagang sayuran, petambak ikan air tawar, peternak ayam, itik, kambing dan
burung puyuh. Selain itu, bisa sebagai pengrajincendera mata, pengusaha aneka makanan dan minuman
herbal untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan atau dikirim ke daerah lain.

261
.

Anda mungkin juga menyukai