Anda di halaman 1dari 23

KEADILAN

KONSEP KEADILAN DALAM AL-QUR’AN


Suhrowardi

I. Pendahuluan

Ungkapan “ Keadilan” dapat kita katakan sebagai sebuah kata yang sudah
memasyarakat. Kata ini begitu begitu melekat dalam kehidupan manusia, sebab hanya dengan
keadilan manusia dapat hidup berdampingan secara damai. Karena itu, ada sementara ahli hukum
berpendapat bahwa manusia itu dilahirkan buat keadilan.
Rasanya, keadilan ini lebih mencuat kepermukaan bila terkait dengan dunia hukum
(peradilan). Bahkan mungkin saja terjadi, begitu terdengar kata keadilan, orang langsung
mengasosiasikan dengan hukum. Dan anggapan seperti ini memang ada benarnya, sebab
memang tujuan akhir dari pada hukum adalah keadilan.
Di samping keadilan menjadi tujuan akhir dari pada hukum, maka ada juga yang
berpendapat bahwa sumber hukum itu sendiri adalah keadlian. hukum hanyalah yang memenuhi
rasa keadilan dari orang yang tunduk kepadanya . Suatu undang-undang yang tidak sesuai
dengan rasa keadilan, tak layak dinamakan hukum.
Demikianlah betapa eratnya kaitan antara hukum dan keadilan. hukum dan peradilan
manapun di dunia ini selalu mengacu pada nilai keadilan sebagai kebenaran yang bersifat
universal. Lalu bagaimana keadilan dalam hukum itu menurut Al-Quran ?
KEADILAN dalam bahasa Arab disebut dengan “ ‫“ العدالة العدالة‬
sedangkan dalam al-Quran, keadilan diungkapkan dengan lafazh : “ ‫عدل‬ “ sebagai bentuk
mashdar , dan sering juga dengan bentuk fi’il.
Tentang arti keadilan itu sendiri , setiap orang dapat saja memberikan pengertian dan
penjelasan yang berbeda satu dengan lainnya. mungkin ada yang berkata, keadilan adalah
membagi sesuatu dengan sama banyaknya. Di samping itu, mungkin juga ada yang berkata,
keadilan itu adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Atau keadilan itu adalah memberikan
hak seseorang menurut semestinya. Dan sudah barang tentu pengertian-pengertian yang berbeda
ini disebabkan oleh sudut tinjauan yang berbeda pula.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengungkapkan apa arti keadilan dalam hukum
(peradilan) menurut konsep Al-Quran. Dan tulisan ini tidak membahas arti keadilan dari sudut
etika, falsafat, atau lainnya yang mungkin juga dapat diperhadapkan dengan Al-Quran untuk
menemukan jawabannya.

II. Pengertian Adil Dalam Hukum Menurut Al-Quran.

Dalam kitab Al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fazh al-Quran kata “‫عدل‬ “


dalam al-Quran tersebut sebanyak dua puluh kali. sebelas kali diulang dalam bentuk mashdar,
dan sembilan kali dalam bentuk fi’il.
Dengan menempuh metode maudhu dalam membahas topik tulisan ini, maka di bawah
ini akan dikemukakan ayat-ayat yang mencantumkan kata “ ‫“ العدل‬menurut persepektif hukum,
khususnya ayat-ayat yang dianggap menggambarkan penyelesaian perselisihan melalui
peradilan. Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 58 :


‫ان تلله يأمركم انتؤد وااألما نات الى أهلها واذا حكمتم بين الناس ان تحكموا بالعدل ان هللا نعما يعظكم به ان هللا كان سميعا‬
.‫بصيرا‬
Terjemahnya :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,
dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi maha melihat.

2. Firman Allah dalam Surat Al-maidah ayat 8 :


‫يا ايهاالذين امنوا كونوا قوامين هلل شهداء بالقسط وآل يجرمنكم شنان قوم على أن ال تعدلوا اعدلوا هو اكرب للتقوى واتقوهللا ان‬
.‫هللا خبير بما تعملون‬
Terjemahnya :

Hai, orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adilah, karena adil itu
lebih dekat kepada takkwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.

3. Firman Allah dalam Surat Al-An’am ayat 152 :


‫واذا قلتم فاعدلوا ولو كان ذاقربى‬
Terajemahnya :
Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah
kerabatmu……………..

Ketiga ayat tersebut di atas, semuanya turun pada periode Madinah (ayat Madaniyah).
Ayat 58 An-Nisa’ menekankan agar para penegak hukum berbuat adil. Ayat 8 Al-Maidah ,
menerangkan posisi pencari keadilan di depan hukum, dan ayat 152 Al-An’am agar para saksi
berkata secara jujur. Inilah gambaran singkat proses pengadilan yang berdasarkan keadilan
menurut rangkaian ayat-ayat Al-Quran.
Kata “ ‫ “ عدل‬ada yang mengartikan ‫ “ العدالة والمعادلة‬yang artinya ‫ المساوة‬1 ada juga
yang mengatakan, adil itu adalah hkwt ‫ انصف واستقام‬2.
Kalau diperhatikan arti adil seperti yang baru saja disebutkan, tampaknya sesuai dengan
persepektif hukum sebagai yang tersebut dalam ayat terdahulu. Sikap netral sangat diperlukan
dalam menyelesaikan maslah para pihak yang berselisih. Mungkin pengertian ini tidak tepat
mencerminkan peradilan. Misalkan, firman Allah dalam surat Al-Nahl ayat 9 :
.‫ان هللا يأمر با لعدل واألحسان وايتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي‬
Kata “ “ pada ayat di atas terlepas dari konteks peradilan sehingga
ada yang mengartikan kata adil disini sebagai ‫[ المساوة فى المكافأة‬2]. Ayat ini belum
memperlihatkan arti adil menurut hukum spesifik, melainkan masih bersifat umum. Ini
dimungkinkan karena menurut penelitian ulama, ayat tersebut di atas turun pada periode
Mekah.[3]
Untuk melacak apa arti keadilan dalam hukum menurut konsep Al-Quran, maka
mungkin adanya dapat diketahui melalui indikator pada ayat-ayat yang telah disebutkan
terdahulu.
Ayat‫وال يجرمنكم شنأن قوم على ان ال تعدلوا‬ mengandung pengertian bahwa sikap tidak
memihak (netral) harus ditegakkan dalam peradilan meskipun kepada orang yang tidak
disenangi. Dan terlebih lagi jika ada faktor yang memungkinkan hakim memihak.
Ayat ‫ واذا قلتم فادلوا ولو كان ذا قربى‬adalah memperjelas lagi arti keadilan dalam persepektif
hukum tersebut. Sikap tidak memihak yang tercermin dari kata” ‫ “ قل الحق ولو كان مر‬senantiasa
harus ditegakkan meskipun menyakitkan keluarga demi keadilan yang dikehendaki oleh Allah.
Ayat 8 surat Al-Maidah, ayat 152 surat Al-An’am dapat mengantarkan kita untuk
memahami apa yang dimaksud dengan adil pada firman Allah :
.‫واذا حكمتم بين الناس ان تحكموا بالعدل‬
Sampai di sisni mungkin kita memerlukan penjelasan dari nash selain Al-Quran. Imam
al-Bukhori.[4]Dalam kitab shahihnya mencantumkan riwayat dari Aisyah.:
.‫ م‬.‫ ومن يحترى سامة حب رسو ل هللا ص‬. ‫ م‬. ‫ان قريشا همتهم المرأة المحومية التى سرقت فقا لوا من يكلم رسو ل هللا ص‬
‫ يا ايها الناس انما ضل من قبلكم انهم كانوا اذا سرق‬: ‫ أتشفع في حد من حدودهللا ثم قام فخطب قال‬: ‫ فقا ل‬.‫م‬.‫فكلم رسول هللا ص‬
.‫ وأيم هللا لوان فاطمة بنت محمد سرقت لقطع محمد يدها‬, ‫الشريق تركوه واذا سرق الضعيف فيهم اقاموا عليه الحد‬
Hadits Rasulullah SAW. tersebut di atas memberi petunjuk bahwa sejak dahulu ada
kecenderungan manusia untuk memilah pencari keadilan, meskipun konon mereka
menyelesaikan atas nama hukum juga. Sikap seperti ini tidak dapat disebut dengan adil menurut
Islam. Karena itu nabi memberi peringatan agar kecondongan memilah penerapan hukum tidak
dilakukan karena tidak sesuai dengan kehendak Allah, dan juga bertentangan dengan rasa
kemanusiaan (pemerkosaan hak asasi manusia). Manurut Al-Quran, semua orang bersamaan
kedudukannya di depan hukum, apakah ia aparatur negara, bangsawan, atau masyarakat biasa.
Dari segi kesejahtraan, arti keadilan menurut Al-Quran seperti yang telah dikemukakan
di atas ( sikap tidak memihak) boleh jadi dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat terpilah
kepada kabilah dan suku yang tidak jarang menimbulkan conflict desintegratif. Oleh karena itu
ketika Nabi menghadapi kasusu masyarakatnya, Allah memberinya petunjuk untuk bersikap
netral dan tidak memihak yang dipahami dari kata “‫العدل‬.”. Sekiranya arti adil menurut Al-Quran
ini tidak tegas, maka mungkin saja terjadi pengontrakkan hukum yang menyulitkan. Akibatnya
sangat boleh jadi pencari keadilan tidak merasa puas karena merasa hak mereka dipreteli
subyektifitas hakim yang dominan ketimbang obyektifitasnya.
Akan halnya Al-Quran menekankan keadilan dalam hukum, maka hukum buatan
manusiapun sangat mendambakan terciptanya keadilan ini. Sungguhpun demikian, keadilan pada
sistem hukum yang disebutkan oleh pikiran dan pendapat manusia. Karenanya, meskipun demi
keadilan. di sana masih kita lihat hak kekebalan hukum yang diperlukan bagi kalangan tertentu.
Selanjutnya di bidang hukum pidana misalnya, kita kenal asas oportunis yang biasanya diberikan
kepada orang-orang penting negara. hak-hak seperti ini diciptakan oleh manusia dengan tetap
mengacu pada keadilan. inilah sekelumit tentang versi arti keadilan dalam hukum yang dibuat
oleh manusia, yang sudah barang tentu berbeda dengan konsep keadilan dalam Al-Quran.
Pada jaman pemerintahan Islam pada masa silam, penjabaran keadilan menurut konsep
Al-quran benar-benar ditegakkan secara murni dan konsekuen. Sebagi khalifah membentuk
lembaga peradilan yang disebut dengan Wilayat al-Mazhalim untuk para penguasa yang zhalim.
tak ada perbedaan antara pejabat dengan rakyat biasa.
Syekh Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya berkata, keadilan itu diperlukan dlam tiap
perbuatan hamba agar ia hidup sesuai dengan kehendak Allah. Umat manusia tak akan langgeng
dan bertahan tanpa keadilan dan keteraturan.[5] Karena itulah Allah memerintahkan untuk
berlaku adil dengan firmannya : ‫اعلو اهواقرب للتقوى‬
Di dalam Al-Quran, Allah juga memakai kata “‫القسط‬.” yang sama artinya dengan kata
“‫العدل‬.”. kata “‫ ”القسط‬terkadang Tuhan mengungkapkan berbarengan dengan kata “‫العدل‬.”.
Menurut penelitian Ulama, kata “‫القسط‬.” cukup banyak juga disebut dalam Al-Quran.[6]
Tampaknya kata “‫القسط‬.” bila dikaitkan dengan hukum tidak setegas dengan arti adil. Ini
disebabkan karena tidak ada ayat yang berbunyi :‫ان تحكموا باالقسط‬.sebagai halnya‫تحكموا بالعدل أن‬
Kata “‫ ”اقسط‬pada ayat di atas berarti adil.[7] Syekh Ahmad Musthafa Al-Maraghi ketika
menerangkan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah “‫واقسطوا أن هللا يحب المقسطين‬.”[8]
Syekh Ahmad Mustafa Al-Maraghi ketika menerangkan arti kosa kata ayat ‘‫شهداء با لقسط‬
“ ia menerangkan bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah “‫“ لنشهداء با لثسط بال اياه‬
III. Kesimpulan
Deangan kajian tafsir maudhu’i , arti keadilan dalam hukum dapat difahami setelah
melihat beberapa ayat yang memuat kata : “‫العدل‬.”. Ternyata pengertian adil dalam hukum
menurut Al-Quran memuat prinsip pokok berupa sikap netral ketika menjalankan hukum.
Demikian pentingnya prinsip yang terkandung dalam kata : “‫ ”العدل‬, Allah
menyampaikannya dalam bentuk Khabariyah, namun sesungguhnya difahami sebagai sebuah
perintah. Di samping itu, engan tegas Allah pun memerintahkannya untuk berlaku adil dalam
hukum. Itulah sebabnya sehingga Rasul pun mengajarkan untuk menegakkan prinsip pokok dari
arti “‫ ’العدل‬menurut Al-Quran itu.
Apa yang diajarkan dan ditunjukkan oleh Allah kepada manusia seyogyanya difahami
bahwa itulah pengertian adil dalam hukum yang hakiki dan ideal.

[2] Ibrahim Al-Aibari, Loc.


[3] Ibid
[4] Al-Bukhari, shahih al-Bukhari, Juz VIII, hal. 199
[5] Thantawi Jauhari, Tafsir Al-Jawahir. Juz III, (Cetakan kedua, Mesir : Mustafa al-Babi al-
Halabi, t.t.), h.147.
[6] Ali Imran : 18, An-Nisa’ : 27 dan 135, Al-Maidah : 8 Al-An’Am kedua: 152, Al-A’raf : 29,
Yunus : 17,54, Hud : 85, Al-Anbiya'
Diposkan oleh MA'TURIDI di 09.44
Keadilan dan Kesejahteraan Menurut Al Qur'an
Posted by admin on 01:31 in Al Qur'an | 0 comments
Oleh :Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

Judul bahasan ini mendahulukan kata keadilan daripada kesejahteraan. Memang, terjadi
silang pendapat mengenai apa yang harus didahulukan, apakah kesejahteraan atau keadilan? Dari
sekian ayat ditemukan isyarat perlunya mendahulukan keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-
Ma-idah (5): 8,

Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.

Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya:

Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu,
maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)

Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya
Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat kepadamu,
memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan
mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]: 10-12).

Dari rangkaian ayat di atas terlihat bahwa keadilan akan mengantarkan kepada ketakwaan, dan
ketakwaan menghasilkan kesejahteraan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka pembahasan
pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.

MAKNA KEADILAN

Keadilan adalah kata jadian dari kata "adil" yang terambil dari bahasa Arab " 'adl". Kamus-
kamus bahasa Arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti "sama". Persamaan
tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat imaterial. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata "adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak memihak, (2) berpihak kepada
kebenaran, dan (3) sepatutnya/tidak sewenang-wenang.

"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah yang menjadikan pelakunya "tidak
berpihak", dan pada dasarnya pula seorang yang adil "berpihak kepada yang benar" karena baik
yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia
melakukan sesuatu "yang patut" lagi "tidak sewenang-wenang".

Keadilan diungkapkan oleh Al-Quran antara lain dengan kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan, dan
dengan menafikan kezaliman, walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim
kezaliman. 'Adl, yang berarti "sama", memberi kesan adanya dua pihak atau lebih; karena jika
hanya satu pihak, tidak akan terjadi "persamaan".

Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini tidak harus mengantarkan adanya
"persamaan". Bukankah bagian dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu, kata qisth lebih
umum daripada kata 'adl, dan karena itu pula ketika Al-Quran menuntut seseorang untuk berlaku
adil terhadap dirinya sendiri, kata qisth itulah yang digunakannya. Perhatikan firman Allah
dalam surat Al-Nisa' (4): 135,

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak al-qisth (keadilan), menjadi saksi
karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...

Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh karena itu, mizan, adalah "alat
untuk menimbang". Namun dapat pula berarti "keadilan", karena bahasa seringkali menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".

KEADILAN DALAM AL-QURAN

Keadilan yang dibicarakan dan dituntut oleh Al-Quran amat beragam, tidak hanya pada proses
penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih, melainkan Al-Quran juga menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap, menulis, atau bersikap batin.

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...! (QS
Al-An'am [6]: 152).

Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang menulis dengan adil (QS Al-Baqarah
[2]: 282).
Kehadiran para Rasul ditegaskan Al-Quran bertujuan untuk menegakkan sistem kemanusiaan
yang adil.

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat
melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]: 25).

Al-Quran memandang kepemimpinan sebagai "perjanjian Ilahi" yang melahirkan tanggung


jawab menentang kezaliman dan menegakkan keadilan.

Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu (hai Ibrahim) pemimpin untuk
seluruh manusia." Dia (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga keturunan-
keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang
zalim" (QS Al-Baqarah [2]: 124).

Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan ayat di atas bukan sekadar kontrak
sosial, tetapi juga menjadi kontrak atau perjanjian antara Allah dan sang pemimpin untuk
menegakkan keadilan.

Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas dasar keadilan:

Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan (neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman
[55]: 7)

Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan pembicaraan tentang keadilan, dari tauhid sampai
keyakinan mengenai hari kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari individu hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi terciptanya kesempurnaan pribadi,
standar kesejahteraan masyarakat, dan sekaligus jalan terdekat menuju kebahagiaan ukhrawi.

RAGAM MAKNA KEADILAN


Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada berbagai bentuknya digunakan oleh Al-Quran dalam
konteks perintah kepada manusia untuk berlaku adil.

Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)

Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl
[16]: 90)

Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca (keadilan) agar kamu tidak melampaui
batas tentang neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).

Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki sifat adil, kata yang digunakanNya hanya
Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).

Kata 'adl yang dalam berbagai bentuk terulang dua puluh delapan kali dalam Al-Quran, tidak
satu pun yang dinisbatkan kepada Allah menjadi sifat-Nya. Di sisi lain, seperti dikemukakan di
atas, beragam aspek dan objek keadilan telah dibicarakan oleh Al-Quran; pelakunya pun
demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.

Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama.

Pertama, adil dalam arti "sama"

Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud adalah bahwa dia
memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang lain. Tetapi harus
digarisbawahi bahwa persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam surat Al-
Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,

Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau memutuskannya
dengan adil...
Kata "adil" dalam ayat ini -bila diartikan "sama"- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim
pada saat proses pengambilan keputusan.

Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam
posisi yang sama, misalnya ihwal tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-
embel penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan memikirkan ucapan
mereka, dan sebagainya yang termasuk dalam proses pengambilan keputusan. Apabila
persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika itu persamaan tersebut menjadi wujud nyata kezaliman.

Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang datang kepada Nabi Daud a.s. untuk mencari
keadilan. Orang pertama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan
orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula
yang seekor itu agar genap seratus. Nabi Daud tidak memutuskan perkara ini dengan membagi
kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik
sembilan puluh sembilan kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (QS Shad [38]:
23).

Kedua, adil dalam arti "seimbang"


Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang
menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan
kehadirannya.
Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah? Yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan mengadilkan
kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang) (QS Al-Infithar [82]: 6-7).

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat
yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).
Contoh lain tentang keseimbangan adalah alam raya bersama ekosistemnya. Al-Quran
menyatakan bahwa,
(Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sama sekali tidak melihat pada
ciptaan Yang Maha Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah berulang-ulang! Adakah
kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)

Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan lawan kata "kezaliman".
Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua
bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.

Petunjuk-petunjuk Al-Quran yang membedakan satu dengan yang lain, seperti pembedaan lelaki
dan perempuan pada beberapa hak waris dan persaksian -apabila ditinjau dari sudut pandang
keadilan- harus dipahami dalam arti keseimbangan, bukan persamaan.

Keadilan dalam pengertian ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan
Maha Mengetahui menciptakan dan mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu
tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian
Keadilan Ilahi.

Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).

Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)

Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada
setiap pemiliknya"

Pengertian inilah yang didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau
"memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat". Lawannya adalah "kezaliman", dalam
arti pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah
keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak permainan (catur), jika
menempatkan gajah di tempat raja, demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif.

Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.

Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi

Adil di sini berarti "memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."

Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat
dan kebaikan-Nya. KeadilanNya mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h Swt. tidak
tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.

Sering dinyatakan bahwa ketika A mengambil hak dari B, maka pada saat itu juga B mengambil
hak dari A. Kaidah ini tidak berlaku untuk Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua yang
ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya.

Dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan firman-Nya yang menunjukkan Allah Swt.
sebagai qaiman bilqisth (yang menegakkan keadilan) (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:

Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya (QS Fushshilat [41]: 46).

KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL

Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan dan mengelola alam raya ini dengan keadilan,
dan menuntut agar keadilan mencakup semua aspek kehidupan. Akidah, syariat atau hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.

Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal
cinta), walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain terkatung-katung (QS Al-Nisa'
[4]: 129).

Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar
pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu. Jika ia (yang tergugat atau terdakwa)
kaya atau miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS Al-Nisa' [14]: 135)

Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kelompok menjadikan kamu tidak berlaku
adil (QS Al-Ma-idah [5]: 8)

Kebencian tidak pernah dapat dijadikan alasan untuk mengorbankan keadilan, walaupun
kebencian itu tertuju kepada kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh
ridhaNya. Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,

Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya, walaupun dia kafir, karena tidak ada
pemisah antara doanya dengan Tuhan.

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan "tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-
orang (kafir) yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak mengusirmu dari negerimu atau
membantu orang lain untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
A. Adil

1. Pengertian Adil

Adil menurut bahasa Arab disebut dengan kata ‘adilun, yang berarti samadengan seimbang.Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, adalah diartikan tidak berat sebelah,tidak memihak,berpihak pada yang
benar,berpegang pada kebenaran, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Dan menurut ilmu akhlak
ialah meletakan sesuatu pada tempatnya, memberikan atau menerima sesuatu sesuai haknya, dan
menghukum yang jahat sesuai haknya, dan menghukumyang jahat sesuai dan kesalahan dan
pelanggaranya.

2. Karakteristik Sikap Adil

Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum.
Dalam islam , tidak ada diskriminasi hukum karena perbedaan kulit, status social, ekonomi,atau politik .
Berikut ini beberapa contoh sikap adil dalam Al-Qur’an :
 Adil terhadap diri sendiri.
 Adil terhadap istri dan anak
 Adil dalam mendamaikan perselisihan
 Adil dalam bertuturkata
 Adil terhadap musuh sekalipun

3. Nilai Positif Sikap Adil

Keadilan merupakan sesuatu yang bernilai tinggi, baik, dan mulia. Apabila keadilan diwujudkan dalam
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, serta bangsa dan Negara, sudah tentu ketinggian, kebaikan,
dan kemuliaan akan diraih. Jika seseorang mampu mewujudkn keadilan dalam dirinyasendiri, tentu akan
meraih keberhasilan dalam hidupnya, memperoleh kegembiraan batin, disenangi banyak orang, dapat
meningkatkan kualitas diri, dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi serta ukkhrawi (akhirat).
Jika keadilan dapat diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akan
terwujud masyarakat yang aman,tentra , serta damai sejahtera lahir dan batin. Hal ini disebabkan
masing-masing anggota masyarakat melaksanakan kewajiban terhadap orang lain dan akan memenuhi
hak orang lain dengan seadil-adilnya .

4. Membiasakan Sikap Adil

Seorang hendaknya membiasakan diri berlaku adil, baik terhadap dirinya,kedua orang tua
nya,saudara-saudaranya,anak-anaknya, teman-temannya, tetangganya, masyarakatnya, bangsa dan
Negaranya, maupun terhadap sang Khalik(Alloh swt).
Apabila keadilan itu ditegakan dalam setiap aspek kehidupan, tentu keamanan,
ketentraman,kedamaian, serta kesejahteraan lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi akan dapat diraih.
Alquran merupakan rangkaian petunjuk bagi ummat Islam dalam menuju kehidupan yang
bahagia dan sejahtera di dunia maupun di akhirat. Alquran tidak hanya mengajarkan tentang
ibadah baik hubungan seorang manusia dengan tuhannya dan dengan manusia lainnya, tapi juga
mengajarkan nilai-nilai kebenaran universal.Di sinilah salah satu letak kesempurnaan Alquran.
Ajarannya meliputi semua nilai-nilai kebenaran universal. Petunjuk-petunjuk tersebutlah yang
kemudian dikembangkan dan diikuti oleh ummat muslimin dalam menuju kesempurnaan. Salah
satu nilai universal yang tercakup dalam Alquran adalah nilai-nilai keadilan. Makalah ini akan
menguraikan tentang keadilan dalam Alquran.

B. Defenisi Keadilan Dalam Alquran

Kata ‘adl adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udulan – wa
‘adalatan (‫عدْلا – يَ ْعدِل – َعدَ َل‬َ – - ‫)و َعداَلَةا َوعد ْولا‬
َ .[1] Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf ‘ain
(‫) َعيْن‬, dal (‫ )دَال‬dan lam (‫)لَم‬, yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwa’’ (‫ = ا َ ْ ِل ْستِ َواء‬keadaan lurus)
dan ‘al-i‘wijaj’ (‫ = ا َ ْ ِل ْع ِو َجاج‬keadaan menyimpang).[2] Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut
mengandung makna yang bertolak belakang, yakni lurus atau sama dan bengkok atau berbeda.
Dari makna pertama, kata ‘adl berarti “menetapkan hukum dengan benar”. Jadi, seorang yang
‘adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran
ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya
“tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang
‘adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus
memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-
wenang.[3]

Al-Asfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti memberi pembagian yang sama. Sementara itu,
pakar lain mendefinisikannya dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada
juga yang menyatakan bahwa ‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang
terdekat. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan
menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif.

Kata ‘adl (‫ ) َعدْل‬dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl
sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada S. al-Baqarah (2): 48, 123, dan 282 (dua kali), S. An-Nisa’
(4): 58, S. Al-Ma’idah (5): 95 (dua kali) dan 106, S. Al-An‘am (6): 70, S. An-Nahl (16): 76 dan
90, S. Al-Hujurat (49): 9, serta S. ath-Thalaq (65): 2.

Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya.
Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M.
Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna keadilan. Pertama, ‘adl dalam arti “sama”.
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam al-Quran, antara lain pada S. an-Nisa’ (4): 3,
58 dan 129, S. asy-Syura (42): 15, S. Al-Ma’idah (5): 8, S. An-Nahl (16): 76, 90, dan S. Al-
Hujurat (49): 9. Kata ‘adl dengan arti sama (persamaan) pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud
adalah persamaan dalam hak.[4] Di dalam S. An-Nisa’ (4): 58, misalnya ditegaskan,

‫اس ا َ ْن تَحْ ُك ُم ْوا ِب ْال َعدْ ِل‬


ِ َّ‫َواِذَا َحك َْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬

Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan
adil).

Kata ‘adl di dalam ayat ini diartikan “sama”, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada
saat proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak
yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebutan nama (dengan
atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriahan wajah, kesungguhan mendengarkan,
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, termasuk di dalamnya proses pengambilan
keputusan.

Menurut al-Baidhawi, kata ‘adl bermakna “berada di pertengahan dan mempersamakan”.


Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di
sini dikenal oleh pakar bahasa Arab dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara)
berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub
menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia.
Ini berimplikasi pada persamaan hak karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu,
keadilan adalah hak setiap manusia dan dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar
keadilan dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

Kedua, ‘adl dalam arti “seimbang”. Pengertian ini ditemukan di dalam S. al-Ma’idah (5): 95 dan
S. al-Infithar (82): 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan,

َ‫س َّواكَ فَ َعدَلَك‬ ْ ‫اَلَّذ‬


َ َ‫ِى َخلَقَكَ ف‬

[Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan
[susunan tubuh]-mu seimbang).
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di
dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar
tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat yang ditetapkan, kelompok
itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Jadi, seandainya ada salah satu
anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka
pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’
ini menimbulkan keyakinan bahwa Allahlah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui
menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna
mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘keadilan Ilahi’.

Ketiga, ‘adl dalam arti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap
pemiliknya”. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada
tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah
kezaliman, yakni pelanggaran terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam S. al-
An‘am (6): 152,

‫َواِذَا قُ ْلت ُ ْم فَا ْع ِدلُ ْوا َولَ ْو َكانَ ذَاقُ ْر َبى‬

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah
kerabat[mu]).

Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial.

Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘Adl di sini berarti memelihara
kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat saat terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya
merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat
Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki
hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di
dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan S. Ali ‘Imran (3): 18, yang menunjukkan
Allah swt. sebagai Qaiman bil-qisthi (‫= قَائِ اما بِ ْال ِقسْط‬Yang menegakkan keadilan).

Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga dalam berbagai arti, yakni (1) kebenaran, seperti di
dalam S. Al-Baqarah (2): 282; (2) menyandarkan perbuatan kepada selain Allah dan atau
menyimpang dari kebenaran, seperti di dalam S. An-Nisa’ (4): 135; (3) membuat sekutu bagi
Allah atau mempersekutukan-Nya (musyrik), seperti di dalam S. al-An‘am (6): 1 dan 150; (4)
menebus, seperti di dalam S. al-Baqarah (2): 48, 123 dan S. al-An‘am (6): 70.

‘Adl/al-‘Adl (‫ )ا َ ْل َعدْل\ َعدْل‬juga merupakan salah satu al-asma’ul husna, yang menunjuk kepada
Allah sebagai pelaku. dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk
menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti “kesempurnaan”. Demikian halnya
jika dinyatakan Allah adalah Al-‘Adl (‫ = ا َ ْلعَدْل‬keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah
pelaku keadilan yang sempurna.

Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat
Allah yang ‘adl (‫ ) َعدْل‬ini -- setelah meyakini keadilan Allah -- dituntut untuk menegakkan
keadilan walau terhadap keluarga, ibu, bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan
jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal
dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika
demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang
wajar.[5]

C. Keadilan Dalam Alquran.

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah [5]: 8)

Keadilan (a’dl) menurut Islam tidak hanya merupakan dasar dari masyarakat Muslim yang sejati,
sebagaimana di masa lampau dan seharusnya di masa mendatang. Dalam Islam, antara keimanan
dan keadilan tidak terpisah. Orang yang imannya benar dan berfungsi dengan baik akan selalu
berlaku adil terhadap sesamanya. Hal ini tergambar dengan sangat jelas dalam surat di atas.
Keadilan adalah perbuatan yang paling takwa atau keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.

Dalam Alquran, keadilan dinyatakan dengan istilah “‘adl” dan “qist”. Pengertian adil dalam
Alquran sering terkait dengan sikap seimbang dan menengahi. Dalam semangat moderasi dan
toleransi, juga dinyatakan dengan istilah “wasath” (pertengahan). “Wasath” adalah sikap
berkeseimbangan antara dua ektrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia, baik
dengan menolak kemewahan maupun aksetisme yang berlebihan. Sikap seimbang langsung
memancar dari sikap tauhid atau keinsyafan mendalam akan hadirnya Tuhan Yang Maha Esa
dalam hidup, yang berarti kesadaran akan kesatuan tujuan dan makna hidup seluruh alam
ciptaan-Nya. [6]

Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman bisa dilihat dari kaitannya dengan amanat
(amanah, titipan suci dari tuhan) kepada manusia untuk sesamanya. Khususnya amanat yang
berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sebuah keniscayaan
demi ketertiban tatanan hidup kita. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah sikap patuh dari
banyak orang kepada penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus ditaati hanyalah yang mencerminkan rasa
keadilan karena menjalankan amanat Tuhan.

Ayat di atas juga mencerminkan beberapa prinsip berikut;[7] Pertama, berlaku amanat. Setiap
orang mampu menjaga kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga. Seorang
mukmin tidak diperkenankan untuk berlaku curang, bohong dan khianat. Kedua, berlaku adil
dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia.

Ibnu Taimiyah dalam komentarnya mengenai ayat di atas menyebutkan, “Wahai para pemimpin
Muslim, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku amanat dalam kepemimpinan kalian,
tempatkanlah sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah
mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan
keputusan hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam
Alquran dan Sunnah. Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”

Imam Qurthubi menyampaikan, “Ayat di atas berlaku umum untuk semua manusia yang menjadi
pemimpin kalangan Islam. Keadilan dalam distribusi pendapatan menghancurkan setiap gerakan
kezaliman dalam pemerintahan. Seorang pemimpin Muslim harus bisa berlaku amanah setiap
menerima titipan, menyampaikan kesaksian dan lain sebagainya. Perintah untuk berlaku adil
sama halnya dengan perintah shalat dan ibadah lainnya.”

Rasyid Ridha, seorang ulama besar dan pembaru Islam asal Mesir, sangat menekankan keadilan
dalam pemikirannya. Ridha berkata, “Tak ada kebenaran yang lebih besar daripada keadilan dan
tak ada kesalahan yang lebih buruk daripada tirani.” Berlaku adil adalah perintah Allah. Maka,
pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi oleh Allah sebagaimana sanksi yang diberikan
Allah kepada orang yang melalaikan shalat.[8]

Islam bukan cuma ritual-ritual bagaimana individu berhubungan dengan sang Pencipta. Tapi,
Islam juga menginginkan tegaknya suatu masyarakat yang adil dan makmur di mana setiap orang
diperlakukan dengan layak dan dihargai sebagai manusia. Tanpa itu, ungkapan yang sering kita
dengar dan kalimat bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, akan kehilangan taringnya dan
mengawang-awang di angkasa serta tidak akan pernah menginjakkan kakinya di bumi. Hal ini
tentunya sangat tidak diinginkan oleh Islam.

Kaum Muslim awal (Nabi Muhammad dan para sahabatnya) telah berhasil membumikan pesan
keadilan Alquran dalam suatu tatanan masyarakat yang mereka bentuk di Madinah. Hal ini tidak
hanya diakui oleh umat Islam saja. Robert N. Bellah-pensiunan Guru Besar sosiologi (Elliot
Profesor) pada Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat-dalam bukunya On Religion
Beyond Belief. Essays in a Post-Traditionalist World (Melampaui Kepercayaan: Esei-esei
Agama di Dunia Pos-Tradisionalis), mengakui bahwa masyarakat yang dibangun Nabi di
Madinah adalah masyarakat yang menegakkan keadilan dan menjadi masyarakat yang sangat
demokratis untuk masa dan zamannya.

Mengenai penegakan keadilan, Ibnu Taimiyah memperingatkan bahwa seorang pemimpin yang
adil akan mampu menegakkan negara walaupun ia kafir. Namun, seorang pemimpin yang zalim
malah akan menghancurkan negara walaupun ia Muslim sekalipun. Hal senada disampaikan
penulis buku “Al-Hasabah”, “Negara akan tetap tegak berdiri dengan keadilan dan kekufuran,
namun negara akan segera hancur dengan kezaliman dan Islam.”

Untuk itu, sudah merupakan kepentingan negara Islam berlaku adil untuk warga Muslim ataupun
pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya, tak terkecuali walau bukan dari golongan
Muslim sekalipun. Ketetapan hukum inilah yang kemudian dipakai dalam memperlakukan
kelompok minoritas agama, baik itu warga negara ataupun penduduk asing.

D. Konsep Keadilan dan Redefenisi Keadilan.


Tidak dapat dipungkiri, al-Qur'an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan manusia, baik
secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu dihinggapi semacam rasa
cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan yang mudah diperoleh secara
gamblang itu. Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur'an
sebagai sumber pemikiran paling baik tentang keadilan Kebetulan persepsi semacam itu sejalan
dengan doktrin keimanan Islam sendiri tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah
kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya al-Qur'an yang menjadi
firmanNya (kalamu Allah) juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan?

Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa berpikir sederhana
tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks dan rumit.
Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang
keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup
kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan
kesulitan belaka? "Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan
teologis kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini. Argumentasi
seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan segera melihat hasil
penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi dewasa ini justru
bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan dalam ukuran sangat massif.
Demikian juga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas
dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan paham-paham besar lain di dunia ini, terutama
ideologi-ideologi besar seperti Sosialisme, Komunisme, Nasionalisme dan Liberalisme. Namun,
sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah pelarian yang tidak akan
menyelesaikan masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang disederhanakan,
justru akan menambah parah keadaan.

Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang hakiki dan
berdayaguna penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan "pemecahan" sementara yang
tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang. Ketika Marxisme dihadapkan kepada
masalah penjagaan hak-hak perolehan warga masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya
wewenang masyarakat untuk memiliki alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir
Komunis diabaikan, dengan menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktis
yang menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti
dengan kemauan mendirikan negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam dasawarsa
terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa hasil buruk, terbukti
dengan "di bongkar pasangnya" [9]

Komunisme dewasa ini oleh para pemimpin mereka sendiri di mana-mana. Rendahnya
produktivitas individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga
masyarakat yang sudah berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk
melakukan perombakan total seperti diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet
beberapa waktu lalu. Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga
meninjau masalah keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun
ada persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan
selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan kemasyarakatan
Islam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa
mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang
dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan yang menentang
Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara baik dan tuntas,
bukankah hanya melalui jalan pintas belaka. Pembahasan berikut akan mencoba mengenal
(itemize) beberapa aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana
tertuang dalam al-Qur'an. Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada,
kemudian dicoba pula untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang
sedang dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok
kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam
hati. [10]

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-
paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan
keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata sinonim seperti qisth, hukm dan
sebagainya digunakan oleh al-Qur'an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam
berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi
keadilan itu (ta'dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan). Kalau
dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari
akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak
seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan ("Hendaknya kalian menghukumi
atau mengambil keputusan atas dasar keadilan "). Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di
atas terkait langsung dengan sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan
dalam kehidupan.

Dari terkaitnya beberapa pengertian kata 'adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara langsung
itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan " mendapat tempat dalam al-
Qur'an, sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan Syi'ah untuk menempatkan
keadilan ('adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam
keyakinan atau akidah mereka. Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan
dorongan al-Qur'an agar manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya,
melindungi yang menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan
sesama warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.[11] Hal-hal yang ditentukan
sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar
keadilan dalam al-Qur'an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada
lingkup mikro dari kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup
makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim saja
tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil dalam urusan-
urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan
keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau sisi keadilan
oleh al-Qur'an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup warga
masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat,
seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami
perceraian. Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai
pengejawantahan keadilan. Orientasi sekian banyak "wajah keadilan " dalam wujud konkrit itu
ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan
demikian sedikit banyak berwatak straktural.

Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu adalah sifatnya sebagai
perintah agama, bukan sekedar sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya
merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal
perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan demikian,
wawasan keadilan dalam al-Qur'an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang ideologis,
sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah Khomeini di Iran. Sudah tentu
dengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya, karena ternyata dalam sejarah, keadilan
ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu Sebab kenyataan penting
juga harus dikemukakan dalam hal ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan
al-Qur'an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna"
dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah
legal-formalistik.Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam al-Qur'an
itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi
yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk penuangannya yang terasa "sangat
berbalasan" (talionis, kompensatoris). Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau
suatu bentuk tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil, walaupun
dalam sisi-sisi yang lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai
contoh, umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat adil" dengan menjaga
ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa
mempersoalkan apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan yang adil.
Dengan demikian, pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya berwajah utuh, lalu menjadi
sangat parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya belaka.

Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur'an itu juga terlihat dalam
sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri. Wanita yang diceraikan
dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia melahirkan anak yang
dikandungnya, cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat terasa
watak berbalasan dari "pemenuhan keadilan " yang berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran
jasa" antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri). Dari
pengamatan akan kedua hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan
keadilan dalam pandangan al-Qur'an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, apalagi
jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang dari
sudut wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah kepada kelompok demokrasi
yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki al-Qur'an itu? Dapatkah
kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk
kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu menampung kebutuhan akan persamaan derajat
agama dikesampingkan oleh kebutuhan akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan
persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-usul
agama, etnis, bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik
pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya demokrasi
ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-jawabannya akan menentukan
mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam al-Qur'an memenuhi kebutuhan
sebuah masyarakat modern di masa datang. Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta
permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun jelas sekali bahwa visi keadilan yang ada
dalam al-Qur'an dewasa ini harus direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi
berjangka panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan
memerlukan refleksi filosofis, di samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk
merampungkannya secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran
intelektual seperti itu, atau memang sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan
"kerangka operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian yang manis?

E. Penutup.

Kata ‘adl (‫ ) َعدْل‬dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl
sendiri disebutkan 13 kali, Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam,
begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Kata adil dalam Alquran mempunyai arti yang beragam dan mencakup pengertian dan bidang
yang berbeda. Beberapa makna keadilan dalam Alquran adalah persamaan dalam hak, mencakup
sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan, berada di pertengahan dan
mempersamakan, seimbang, perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada
setiap pemiliknya.

Anda mungkin juga menyukai