Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Alergi merupakan kepekaan tubuh terhadap benda asing (alergen) di dalam
tubuh. Reaksi setiap individu terhadap alergen berbeda-beda, sehingga individu
yang satu bisa lebih peka daripada individu yang lain. Untuk mencegah reaksi
alergi, selain menghindari kontak dengan alergen, masyarakat banyak
menggunakan obat kimiawi karena menganggap obat kimiawi cepat
menyembuhkan serta mudah diperoleh. Seiring dengan timbulnya kesadaran akan
dampak buruk produk-produk kimiawi, timbul pula kesadaran akan pentingnya
kembali ke alam (back to nature).
Alergi obat termasuk dalam penggolongan yang meliputi toksisitas, efek
samping, indiosinkrasi, intoloransi.
Seluruh obat memiliki risiko menimbulkan efek samping, namun hanya
beberapa saja yang menimbulkan reaksi alergi. Alergi obat sendiri dapat dimengerti
sebagai reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Meskipun
demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi simpang obat merupakan
reaksi alergi atau bukan, dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnostik yang sistematis.

B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi alergi obat?
b. Apa etiologi alergi obat?
c. Apa patofiologi alergi obat?
d. Bagaimana mekanisme, faktor resiko dan klasifikasi alergi obat?
e. Apa Manifestasi klinis alergi obat?
f. Apa saja diagnosa alergi obat?
g. Bagaimana Penatalaksanaan obat?
h. Apa saja evaluasi dan pencegahan terhadap alergi obat?

C. Tujuan
Untuk Mengetahui definisi, mekanisme dan faktor faktor terjadi nya alergi obat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah
menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global.
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi.
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang
secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu
stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang normal.
alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat
ataumetabilitinya melalui reaksi imunulogi yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk
kedalam penggolangan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang melalui
toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi oba. Toksisistas obat
adlah efek obat berhubungan dengan kebihan dosis obat. Efeksamping obat adalah
efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau
interaksi dengan obat lain. Indiosinkrasi adalah reaksi obat yang tmbul tidak
berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada
populasi dengan penyebab yang tidak di ketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap
obat bukian karena sifat fermakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan
alergi obat adalah respon apnormal terhadap obat atau metabolitinya melalui reaksi
imunologi.

B. Etiologi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.
Penyebab alergi obat :
1. Antibiotik → reaksi alergi anafilaksis : penisilin dan derivatnya, basitrasin,
neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain.
2. anestesi lokal → prokain atau lidokain serta ekstrak alergen : rumput-rumputan
atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti
bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi.

C. Patofisiologi
Alergi obat merupakan reaksi hipertensi yang dapat digolongkan menjadi 4
tipe menurut Gell dan Coombs.
 Type I ( immediate, Ig E mediated ) :
Ex : reaksi anafilatik
→ terjadi interaksi antara antigen dan antibody. Berupa urtikaria, rhinitis,
asma bronkial, angioedema dan anafilatik syok. Obat penyebab ( penisilin,
streptomisin )
 Type II ( Citotoxic ) :
→ interaksi antara antibody IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat,
membentuk kompleks yang akan menyebabkan sel lisis , misalnya :
- Trombositopenia : karena kinidin, kina, digotoksin dan rifampisin
- Anemia hemolitik : karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin,
kinin dan kinidin.
 Type III ( Immune complex, mediated )
→ interaksi antara antibody IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kompleks
yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotel
kapiler.
Manifestasi berupa : demam, artritis, urtikaria dan ruam
Reaksi ini dikenal dengan serum sickness, karena umumnya muncul setelah
penyuntikan serum asing (ex : ATS )
 Type IV ( delayed cell mediated- Tcell mediated cytolysis )
→ reaksi dengan media sel, yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks
antigen-hapten-protein yang baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan
suatu antigen yang menyebabkan inflamasi. Misal :
Dermatitis kontak yang disebabkan salep anestesi local atau antibiotic.

D. Mekanisme, Faktor Resiko dan Klasifikasi Alergi Obat

Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia dengan berat molekul yang
rendah.Oleh karena itu,obat harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen dengan
makromolekul seperti protein, membentuk konjugat multivalen yang akan diproses
dan dipresentasikan terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun, sebagian kecil
obat dengan berat molekul yang besar seperti antibodi monoklonal memiliki banyak
epitop sehingga dapat bersifat multivalen.
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep hapten,
konsep pro-hapten dan konsep p-i. Obat dengan molekul yang tidak cukup besar
seperti penisilin, sulfonamide,sefalosporin pelemas otot, tiopental,antituberkolosis,
sisplatin dan kuinidin perlu terlebih dahulu berikatan dengan protein pembawa agar
dapat menginduksi respon imun spesifik yang disebut konsep hapten. Sementara
konsep pro hapten sendiri menggambarkan bahwa ada sebagian obat yang bersifat
tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui proses metabolik, baik
dengan enzim ataupun non-enzim untuk menjadi bentuk yang reaktif. Contoh konsep
pro hapten yaitupada alergi obat sulfametoksazole. Sedangkan, berdasarkan konsep p-
i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat memiliki interaksi direksi
farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major Histocompatibility Complex
(MHC) dalam bentuk ikatan reversibel selain ikatan kovalen, yang dapat
mengaktifkan sel T.2,13,14
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko
terebut antara lain :
 jenis obat
 berat molekul obat
 kimiawi obat
 regimen pengobatan
 faktor pejamu
 atopi
 penyakit tertentu
 gangguan metabolisme
 lingkungan
Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid, trimetoprim dan
sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan berat molekul tinggi
lebih sering menimbulkan reaksi imun, Regimen pemberian oral, intravena,
intramuskular, subkutan dan topikal secara berurutan menyebabkan induksi alergi
meningkat. Usia muda dan jenis kelamin wanita meningkatkan kecenderungan
terjadinya alergi obat. Klasifikasi reaksi obat pembagiannya mekanisme Infeksi virus,
gangguan metabolisme seperti defisiensi G6PD meningkatkan risiko alergi obat.
Sedangkan cahaya UV dapat mengubah imunoenitas obat tertentu.
E. Manifestasi Kinis Alergi Obat
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu
macam obat dapat menimbulkan berbqagai gajala, dan pada seseorang dapat berbeda
dengan orang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai alergi obat bila terdapat
antibody atau sel limfosit T tersentisitasi yang spesifik terhadapat obat atau
metabolitinya, serta konsisten dengan gambaran reaksi Inflamasi imunologika yang
sudah dikenal.
Gejala klinis yang paling sering, dapat dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura,
dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi
fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis eksfoliatif, dan erupsi
vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom Lyell.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera reaksi anafilaksi karene
dapat terjadi renjatan. Gejala kilinis dapat berupa hipotensi spasme bronkus, edema
laring, angioedema, atau urtikaria generalisata

F. Contoh kasus :
1. Syndrome Stevens- Johnson :
Suatu bentuk reaksi yang terjadi disebabkan obat-obatan selain ini syndrome ini
dapat juga terjadi karena jamu dan zat-zat yang berbahaya.
Contoh : Obat-obatan anti asam urat, ex: allopurinol
Obat antibiotic khususnya penicilin
Penyebab : obat-obatan atau jamu
Cara penanggulangan :
1. Berhenti mengkonsumsi obat-obatan pemicu alergi.
2. Melakukan terapi dirumah sakit, terapi yang dirujuk biasanya adalah rehidrasi
atau penggantian cairan tubuh yang hilang dengan menggunakan infus.
3. Perlu dilakukan penanganan intensif pada saat syndrome hadir jika tidak
sejumlah komplikasi bisa muncul. Ex : kerusakan dalam, kerusakan kulit
permanen, infeksi darah, hingga gangguan mata.

Contoh kasus :
Al Ghazali diketahui pingsan saat mengendarai mobil di kawasan Condet, Jakarta
Selatan. Dari keterangan sang ayah al ghozali diduga menderita syndrome stevens
Johnson.
2. Pruritus :
Rasa gatal yang bisa meliputi seluruh atau sebagian tubuh seseorang.
Contoh : gatal pada kaki atau tangan .
Penyebab : terbagi menjadi :
1. Kondisi kulit, gangguan kulit yang dapat berdampak pada kondisi
kulit yang dapat berdampak pada gatal. Ex : urtikaria atau biduran.
2. Reaksi alergi pada kulit, reaksi ini dapat dipicu oleh benda-benda
yang mengandung nikel atau kobalt.
3. Sengatan atau gigitan serangga dan parasite, parasit seperti kutu
rambut, cacing kremi, ngengat .
4. Infeksi , ada beberapa penyakit , pruritus adalah salah satu gejala
yang mengindikasikan infeksi pada bagian tubuh yang
terjangkit.penyakit ini di sebabkan oleh infeksi jamur, kurap.
5. Kehamilan / menopause, ketidak seimbangan hormon yang di
alami oleh perempuan yang sedang hamil atau memasuki masa
menopause.
Cara penanggulangan :
1. Pengobatan menggunakan krim kortikosteroid anti histamin, obat penghambat
calcineurin.
2. Foto terapi dapat di lakukan untuk mengurangi kegatalan yang mengganggu
dengan menggunakan paparan sinar UV dan gelombang tertentu.

Urtikaria
Lebih dikenal dengan kaligata atau biduran, adalah kondisi dimana kulit memiliki
ruam yang menonjol dan gatal, muncul di salah satu bagian tubuh atau mnyebar
ke area yang lebih besar.
Contoh : penyakit biduran
Penyebab :
1. adanya reaksi alergi terhadap beberapa pemicu, seperti hewan peliharaan,
serbuk sari atau lateks,.
2. Alergi makanan.
3. Udara luar, dll.

Cara penanggulangan :
Umum nya tidak perlu di obati untuk beberapa hari , namun terdapat beberapa
obat biduran yang biasa di resepkan dokter : antihistamin, losion calamine , obat
anti radang , anti depresan, dll.

3. Dermatitis
Peradangan pada kulit yang menyebabkan kulit memerah dan gatal.
Contoh : kulit memerah, bercak dan ketombe yang membandel .
Penyebab : Alergi, factor genetik dan iritasi
Cara penanggulangan : menjaga kebersihan tubuh sehingga tidak menimbulkan
gatal pada tubuh .

G. Diagnosa
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.
Dasar diagnosis obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal
penting. Gejala klinis umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi kulit
seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi anafilaksis
yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat
atau metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro
terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur rutin.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui
apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan
apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya
sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis dan uji
laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci tentang berbagai hal
penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan efek farmakologi obat,
biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat (kecuali jika telah terpapar
sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu setelah penggantian
obat dan gejala yang sama akan timbul dengan pemberian ulang obat yang sama atau
dengan struktur obat yang sama

Uji Laboratorium :

a.) Uji invivo


Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu
determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas karena
baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia
untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro
molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untukmikromolekul
sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi
merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang
berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan
ditempat yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji
provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat yang berat misalnya
anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematology,
eritema vesiko bulosa. Uji provokasi dilakukan setelah eliminasi yang
lamanya tergantung dari masa paruh setiap obat.
b.) Uji in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam
penelitian. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji
aglutinasi dan lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi
jaringan (basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan
pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coombs, uji komplemen dan
lain-lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.
Reaksi alergi obat bisa menyerupai alergi pada umumnya seperti urtikaria,
anafilaksis, asma dan penyakit serum. Gejala lain yang dapat muncul diantaranya
adalah jenis ruam kulit (terutama eksantema), infiltrasi eosinofil ke paru, panas,
hepatitis, sindrom lupus dan nefritis interstisial akut. Reaksi ini cenderung bersifat
spesifik yang tidak bergantung pada dosis dan efek farmakalogi obat. Alergi obat
jarang terjadi pada pajanan pertama, lebih cenderung terjadi pada pajanan ulang
karena reaksi ini memerlukan memori (sensitasi) dengan gambaran reaksi yang
terjadi pada pajanan berikutnya yangterjadi lebih cepat. Dalam beberapa hari
setelah penghentian obat, reaksi alergi obat biasanya menghilang, kecuali pada
kondisi yang manametabolit obat berperan sebagai hapten atau sudah
terbentuknya kompleks imun. Hal yang perlu diingat adalah alergi obat hanya
terjadi pada sebagian kecil penderita yang mendapat obat.
Berdasarkan pengetahuan akan mekanisme, faktor risiko dan gejala klinis
alergi obat, maka ada beberapa pertanyaan relevan yang perlu ditanyakan secara
umum dalam anamnesis, yaitu deskripsi gejala, penyakit atopi dan penyakit
lainnya, serta pemicu dan faktor lingkungan hidup di sekitar penderita. Ketika ada
kecurigaan mengenai munculnya reaksi alergi obat, maka harus ditanyakan
riwayat pemakaian obat yang baru saja digunakan dan hubungan waktu antara
pemakaian obat dan munculnya gejala. Alergi obat biasanya muncul setelah
pajanan kedua dan telah disingkirkan kemungkinan penyebab lain dari manifestasi
klinis yang muncul. Pengetahuan mengenai farmakologi dan sifat alergen dari
obat yang diberikan penting, terutama dalam keadaan dimana ada beberapa obat
yang diduga menimbulkan reaksi alergi.
Pemeriksaan fisis pada pasien tersangka alergi obat harus dilakukan secara
menyeluruh terhadap semua sistem untuk mencari semua presentasi klinis alergi
obat. Manifestasi klinis tersering adalah pada organ kulit. Karakteristik dari lesi
kulit penting untuk menentukan kemungkinan penyebab, pemeriksaan penunjang
lanjutan dan tatalakasana alergi obat. Sejumlah manifestasi kelainan kulit yang
sering muncul pada reaksi alergi obat adalah pruritus, eksantema, urtikaria,
angioedema, erupsi bula, akne, fixed drug eruptions, eritema multiform,
eritematosus lupus, psoriasis, purpura dan vaskulitis. Selain itu, juga data berupa
reaksi kulit yang mengancam nyawa seperti sindrom Stevens-Johnson erupsi,
toxic epidermal necrolysis(TEN), dermatitis exfoliatif dan drug rash with
eosinophilia and systemic symptoms(DRESS).
Manifestasi kulit reaksi alergi obat yang tersering adalah eksantema (erupsi
makulopapular). Lesi kulit biasanya gatal yang pada awalnya makula dan
kemudian berkembang menjadi papula dan akhirnya muncul sebagai plak. Lesi
kulit biasanya muncul mulai dari bagian tengah badan yang menyebar ke daerah
ekstrimitas secara bilateral. Exantem yang muncul biasanya merupakan
manifestasi hipersensitivitas tipe lambat yang muncul beberapa hari setelah
penggunaan obat. Exantem yang dipicu obat ini tidak berkembang menjadi reaksi
anafilaksis karena biasanya tidak melibatkan IgE. Beberapa obat yang diketahui
menimbulkan eksantem adalah allopurinol, aminopenisilin, sefalosporin, obat
antieplepsi dan antibakteri sulfonamid.
Manifestasi kulit fixed drug eruption muncul pada sisi mukosa atau kulit yang
sama yang terpajan ulang terhadap penyebab alergi obat. Lesi ini berbentuk bulat,
oval, berbatas tegas, kemerahan, plak yang sedikit terangkat, dengan ukuran
diameter beberapa milimeter sampai sentimeter. Lesi ini juga dapat muncul dalam
bentuk vesikel atau bulat. Daerah predileksi pada lesi ini diantaranya adalah pada
daerah bibir, tangan dan genital (terutama pada pria). Lesi fixed drug eruptionsini
sering muncul pada reaksi alergi obat terhadap tetrasiklin, OAINS dan
karbamazepin.
Urtikaria dan angioedema adalah manifestasi yang paling sering muncul pada
alergi obat yang melibatkan IgE. Lesi kulit lupus yang diinduksi obat sering
muncul pada daerah kulit yang terpapar cahaya. Palmar-plantar
erythrodysesthesia (lebih sering dikenal sebagai hand foot syndrome) biasanya
muncul 2 sampai 12 hari setelah kemoterapi dengan ciri khas adanya edema dan
eritema pada telapak tanan dan kaki yang berkembang menjadi lepuh, ulserasi
atau nekrosis. Lesi ini paling sering disebabkan oleh obat kemoterapi doxorubicin.
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan alergi obat juga diperlukan dalam
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang penting diantaranya adalah tes kulit
untuk reaksi hipersensitivitas cepat (lgE), tes tempel, tes provokasi atau tes
dosing, tes RAST, pengukuran lgG atau lgM yang spesifik untuk obat,
pengukuran aktivasi komplemen, pengukuran penglepasan histamin atau mediator
lain dari basophil. Pemeriksaan laiinya yaitupengukuran mediator seperti
histamin, prostaglandin, leukotrin, triptase, transformasi limfosit, esai toksisitas
leukosit dan evaluasi dengan bantuan komputer.
Manifestasi kulit lain yang mungkin muncul adalah pustula. Pemfigus yang
muncul karena reaksi obat sering disebabkan oleh obat-obatan yang mengandung
gugus thiol seperti captopril atau penisilin. Sementara pemfigus-bula yang muncul
di daerah tungkai, badan maupun membran mukosa sering disebabkan oleh obat
seperti penghambat angiotensin converting enzyme (ACE), furosemid, penisilin
dan sulfsalazin. Purpura dan petekia merupakan stigmata vaskulitis yang
disebabkan oleh alergi obat. Sementara itu, eritema multiforma merupakan lesi
makulopapular polimorfik yang menyebar ke arah perifer dan menimbulkan lesi
target yang terdiri dari 3 zona yaitu papul/ lepuh di bagian paling tengah, yang
dikelilingi oleh edema dan daerah eritema di wilayah paling luar. Dalam bentuk
yang paling berat, lesi eritema multiforma ini akan membentuk lepuh dan
melibatkan membran mukosa. Eritema multiforma dapat muncul menyerupai
sindrom Stevens-Johnson (SJS).Namun, pada SJS didapatkan karakteristik khusus
yaitu adanya penyebaran makula-papula dan lepuh di daerah wajah, batang tubuh
dan ekstrimitas proksimal. Pada SJS, didapatkan gejala konsitusional yang
progresif. Gambaran klinis SJS dapat berkembang menjadi toksik epidermal
nekrolisis (TEN), yaitu penyakit kulit yang dipicu reaksi alergi obat yang
menyebabkan apoptosis sel epidermis dan mengakibatkan pemisahan yang luas
pada daerah dermoepidermal junction, sehingga muncul gambaran kulit yang
melepuh. SJS dan TEN dapat merupakan bagian dari spektum suatu penyakit.Pada
SJS didapatkan kurang dari 10% bagian tubuh yang mengalami epidermal
detachment, sementara pada TEN lebih dari 30% dan 10%-30% dipertimbangkan
sebagai sindrom overlap.
Reaksi obat yang mengancam nyawa merupakan reaksi anafilaktik yang
melibatkan organ saluran nafas atas dan bawah serta sistem kardiovaskuler.
Reaksi ini juga dapat muncul sebagai demam yang dapat mencapai 40○C. Reaksi
obat secara umum dapat menimbulkan gejala yang sangat bervariasi seperti lesi
membran mukosa, limfadenopati, hepatosplenomegali, nyeri dan bengkak pada
sendi.
H. Penatalaksana
Dasar utama penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat
yang dicurigai kemudian mengatasi gejala klinis yang timbul.
a.) Penghentian obat
Kalau mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu
dan tidak dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat
lain. Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat
terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.

b.) Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.
Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin
misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas
diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis
maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5
mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3- 4
kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.

Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30


mg/hari, 2 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari,
4kali/hari. Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif,
ekrosis epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru,
kelainan hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif
dengan menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis
dan perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan
dermatitis eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven
Johnson.
Prednison diberikan sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal
pagi hari sampai keadaan stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5
mg/kg/hari, dibagi 3-4 kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang
digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10
mg/kg/dosis tiap 4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan
prednison oral. Cairan dan elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5%
dalam 0,225% NaCl atau Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah
rumatan dan dehidrasi yang ada. Perawatan lokal segera dilakukan untuk
mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi anafilaksis harus
mendapat penatalaksanaan adekwat.
secepatnya. Kortikosteroid topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar
reaksi tipe IV dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan.
Pemilihan sediaan dan macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat.
Prinsip umum adalah : dimulai dengan kortikosteroid potensi rendah.
Krim mempunyai kelebihan lebih mudah dioles, baik untuk lesi basah tetapi
kurang melindungi kehilangan kelembaban kulit. Salep lebih melindungi
kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering menyebabkan gatal dan folikulitis.
Sediaan semprotan digunakan pada daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada
umumnya steroid topikal diberikan setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali
sehari. Tidak boleh memakai potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit
yang tipis misalnya muka, leher, ketiak dan selangkangan.

Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan


immunotherapy. Untuk terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non steroid, anti
histamin, steroid, teofilin atau epinefrin. Sedangkan immunotherapy atau yang juga
dikenal dengan suntikan alergi, pasien diberikan suntikan berulang dari alergen untuk
mengurangi IgE pada sel mast dan menghasilkan IgG.

I. Evaluasi dan pencegahan


Terdapat beberapa cara khusus yang penting dalam tatalaksana alergi obat
diantaranya adalah threating through, test dosing, desensitisasi dan pramedikasi
terhadap obat-obat tertentu. Dalam keadaan ekstrim, yaitu saat obat kausal sangat
diperlukan, maka pilihan yang dapat diambil adalah obat diteruskan bersamaan
pemberian anthistamin dan kortikosteroid untuk menekan alergi. Hal ini disebut
treating through, namun berisiko potensial mengakibatkan reaksi berkembang
menjadi eksfoliatif atau sindrom SJS dan memicu keterlibatan organ internal.
Anamnesis riwayat kemungkinan alergi obat sebelumnya penting untuk selalu
dilakukan walaupun harus dinilai dengan kritis untuk menghindari tindakan
berlebihan. Misalnya ruam kulit setelah pemberian ampisilin pada seorang anak
belum tentu karena alergi obat. Bila dokter telah mengetahui atau sangat curiga bahwa
pasiennya alergi terhadap obat tertentu maka hendaknya ia membuatkan surat
keterangan tentang hal tersebut yang akan sangat berguna untuk upaya pencegahan
pada semua keadaan. Semakin sering seseorang memakai obat maka akan
semakin besar pula kemungkinan untuk timbulnya alergi obat. Jadi pemakaian obat
hendaknya dengan indikasi kuat dan bila mungkin hindari obat yang dikenal
sering memberikan sensitisasi pada kondisi tertentu (misalnya aspirin pada asma
bronkial). Cara pembuatan obat harus diperbaiki dengan mengurangi dan
menghilangkan bahan yang potensial dapat menjadi penyebab alergi, atau bahan yang
dapat menyebabkan reaksi silang imunogenik. Contohnya adalah pembuatan vaksin
bebas protein hewani, atau antibodi dari darah manusia.
Uji kulit dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya alergi obat, tetapi
prosedur ini hanya bermanfaat untuk alergen makromolekul, sedangkan untuk obat
dengan berat molekul rendah sejauh ini hanya terhadap penisilin (dengan uji alergen
benzilpenisiloil polilisin). Bila seseorang telah diketahui atau diduga alergi terhadap
obat tertentu maka harus dipertimbangkan pemberian obat lain. Obat alternatif
tersebut hendaknya bukan obat yang telah dikenal mempunyai reaksi silang dengan
obat yang dicurigai. Misalnya memberikan aminoglikosida sebagai alternative untuk
penisilin. Bila obat tersebut sangat dibutuhkan sedangkan obat alternative tidak ada,
dapat dilakukan desensitisasi secara oral maupun parenteral. Misalnya
desensitisasi penisilin untuk penderita penyakit jantung reumatik atau desensitisasi
serum antidifteri. Desensitisasi merupakan prosedur yang berisiko sehingga harus
dipersiapkan perlengkapan penanganan kedaruratan terutama untuk reaksi anafilaksis.
Hal–hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi alergi
terhadap obat dibagi atas tiga tahap yaitu sebelum pemberian obat, selama pemberian
obat, dan setelah pemeberian obat.

a. Sebelum pemberian obat


a) Nilai kembali apakah obata tersebut memang dibutuhkan, semua obata
yang akan diberikan harus dipertimbangkan secara biajaksana. Jangan
berikan obat yang memiliki resiko berbahaya jika tidak dibutuhkan.
b) Tanyakan riwayat alergi oabat padaa pasien terutama terhadap obat
yang akan diberikan.; riwayat alergi terhadap obat harus selalu
diketahui pada setiap pasien. Jika apsien menyatakan riwayat alaergi
terhadap obat maka hindari penggunaan obat tersebut dan obat jenis
yang bersifat reaksi alergi harus dihindari. Bila membutuhkan
penggunaan obat tersebut, maka obat sejenis dari turunan kimia yang
berbeda atau oabat pengganti yang tidak beriaksi silang secara
imunologi dan biokimia dann diberikan.
c) Tentukan apakah pasien termasuk kelompok resiko tinggi alergi obat.
Hindari boabat–obat kepada pasien dengan riwayat alergi lain (asam,
hay fever, rinhitis, dermatitis) jika tidak diberikan.
d) Pertimbangkan tes diagnostic yang tersida untuk mendeteksi atau
memperkirakan kemungkinan alergi obat. Tes kulit dapat digunakan
untuk membantu meneggakan diagnose. Rujuk pasien kepada ahli
alergi bila ingin melakukan tes.
e) Berikan obat pencegah untuk mengurangi kemungkinan reaksi
pemberian antihistamin untuk pasien tertentu apat mengurangi
frekuensi dan keparahan raksi anafilaktik.
b. Selama pemberian obat
a) Metode pemberian obat
i. Bila mungkin berikan secara oral.
ii. Berikan obat penekan alergi secara stimulant
iii. Hindari pemberian obat secara intermiten
iv. Observasi pasien setelah pemberian obat (sampai 30 menit)
v. Beri label pada semua obat yang akan diberikan
vi. Informasikan kemungkinan terjadi reaksi alergi pada pasien
beresiko tinggi atau keluarga terdekatnya.
b) Peralatan emergensi dan obat yang diperlukan untuk mengatasi alergi
obat harus tersedia dan siap pakai.
c) Lakukan tes dosis provokatif atau desensitisasi jika tersedia.
c. Setalah pemberian obat
a) Kenali tanda-tanda alwal reaksi alergi
b) Atasi segera sympotom yang timbul akibat alergi obat
c) Penderita alergi obat harus diberi surat keterangan agar tak terulang
lagi pemberian obat yang sama. Ketika pasien menunjukkan reaksi
alergi terhadap obat yang sepsifik, penting memberitahukan pasien apa
nama obatnya. Informasi ini menjadi bantuan yang tidak ternilai bagi
praktikan yang harus menerima tanggung jawab atas perawatan pasien
pada masa yang akan dating.
d) Catat alergi obat dalam rekam medic penderita. Reaksi alergi ini harus
dicatat dengan jelas pada rekam medis pendrita (lebih baik dengan
tanda bintang atau garis berwarna untuk menarik perhatian) dan tentu
saja obat yang menyebabkan hal ini harus dihindari sama sekali.
e) Pemrtimbangkan menggunakan sebentuk gelang atau kalungan
(Amedic alert bracelet or necklace). Sehingga siapa saja yang
menemukan paseien ada tidak sadar atau tidak sanggup berbicara dapat
dengan cepat merawat pasien anda.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Reaksi alergi tidak akan terjadi pada saat pertama kali menelan obat tapi harus
didahului oleh adanya sensitasi. Frekuensi reaksi alergi tergantung dari sifat kimia
obat, jumlah obat, lama pemakaian, cara pemberian, predeisposisi genetik penderita
dan pernah tidaknya seseorang menelan obat tersebutatau sejenisnya. Tidak semua
orang alergi terhadap obat. Faktor genetik dan lingkungan dapat berperan untuk
terjadinya reaksi alergi pada seseorang.

B. SARAN
Penulis menyadari makalah ini masih ada kesalahan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
dengan banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan masalah dari kesimpulan
diatas.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.maranatha.edu/1505/3/0210135_Chapter1.pdf
Biomedik,B.,Kedokteran,F. and Universitas, G. (ni date) ‘Seputar rekasi hipersensitivitas
(alergi)’,pp.5-9

Anda mungkin juga menyukai