Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Alergi merupakan kepekaan tubuh terhadap benda asing (alergen) di dalam
tubuh. Reaksi setiap individu terhadap alergen berbeda-beda, sehingga individu
yang satu bisa lebih peka daripada individu yang lain. Untuk mencegah reaksi
alergi, selain menghindari kontak dengan alergen, masyarakat banyak
menggunakan obat kimiawi karena menganggap obat kimiawi cepat
menyembuhkan serta mudah diperoleh. Seiring dengan timbulnya kesadaran akan
dampak buruk produk-produk kimiawi, timbul pula kesadaran akan pentingnya
kembali ke alam (back to nature).
Alergi obat termasuk dalam penggolongan yang meliputi toksisitas, efek
samping, indiosinkrasi, intoloransi.
Seluruh obat memiliki risiko menimbulkan efek samping, namun hanya
beberapa saja yang menimbulkan reaksi alergi. Alergi obat sendiri dapat dimengerti
sebagai reaksi simpang obat yang melibatkan mekanisme imunologis. Meskipun
demikian, tidak mudah menentukan apakah suatu reaksi simpang obat merupakan
reaksi alergi atau bukan, dan dibutuhkan suatu pendekatan diagnostik yang sistematis.
B. Rumusan Masalah
a. Apa definisi alergi obat?
b. Apa etiologi alergi obat?
c. Apa patofiologi alergi obat?
d. Bagaimana mekanisme, faktor resiko dan klasifikasi alergi obat?
e. Apa Manifestasi klinis alergi obat?
f. Apa saja diagnosa alergi obat?
g. Bagaimana Penatalaksanaan obat?
h. Apa saja evaluasi dan pencegahan terhadap alergi obat?
C. Tujuan
Untuk Mengetahui definisi, mekanisme dan faktor faktor terjadi nya alergi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah
menyampaikan revisi nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global.
Alergi adalah reaksi hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi.
Pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme ini akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang
disebut reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang
secara objektif dapat ditimbulkan kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu
stimulus tertentu pada dosis yang ditoleransi oleh individu yang normal.
alergi obat adalah respon abnormal seseorang terhadap bahan obat
ataumetabilitinya melalui reaksi imunulogi yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk
kedalam penggolangan reaksi simpang obat (adverse drug reaction), yang melalui
toksisitas, efek samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi oba. Toksisistas obat
adlah efek obat berhubungan dengan kebihan dosis obat. Efeksamping obat adalah
efek obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau
interaksi dengan obat lain. Indiosinkrasi adalah reaksi obat yang tmbul tidak
berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi pada
populasi dengan penyebab yang tidak di ketahui. Intoleransi adalah reaksi terhadap
obat bukian karena sifat fermakologi, timbul karena proses non imunologi. Sedangkan
alergi obat adalah respon apnormal terhadap obat atau metabolitinya melalui reaksi
imunologi.
B. Etiologi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak
berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.
Penyebab alergi obat :
1. Antibiotik → reaksi alergi anafilaksis : penisilin dan derivatnya, basitrasin,
neomisin, tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain.
2. anestesi lokal → prokain atau lidokain serta ekstrak alergen : rumput-rumputan
atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria Serum (ADS), dan anti
bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi.
C. Patofisiologi
Alergi obat merupakan reaksi hipertensi yang dapat digolongkan menjadi 4
tipe menurut Gell dan Coombs.
Type I ( immediate, Ig E mediated ) :
Ex : reaksi anafilatik
→ terjadi interaksi antara antigen dan antibody. Berupa urtikaria, rhinitis,
asma bronkial, angioedema dan anafilatik syok. Obat penyebab ( penisilin,
streptomisin )
Type II ( Citotoxic ) :
→ interaksi antara antibody IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat,
membentuk kompleks yang akan menyebabkan sel lisis , misalnya :
- Trombositopenia : karena kinidin, kina, digotoksin dan rifampisin
- Anemia hemolitik : karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin,
kinin dan kinidin.
Type III ( Immune complex, mediated )
→ interaksi antara antibody IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kompleks
yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotel
kapiler.
Manifestasi berupa : demam, artritis, urtikaria dan ruam
Reaksi ini dikenal dengan serum sickness, karena umumnya muncul setelah
penyuntikan serum asing (ex : ATS )
Type IV ( delayed cell mediated- Tcell mediated cytolysis )
→ reaksi dengan media sel, yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks
antigen-hapten-protein yang baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan
suatu antigen yang menyebabkan inflamasi. Misal :
Dermatitis kontak yang disebabkan salep anestesi local atau antibiotic.
Sebagian besar obat merupakan senyawa kimia dengan berat molekul yang
rendah.Oleh karena itu,obat harus terlebih dahulu berikatan secara kovalen dengan
makromolekul seperti protein, membentuk konjugat multivalen yang akan diproses
dan dipresentasikan terhadap sel limfosit T oleh sistem imun. Namun, sebagian kecil
obat dengan berat molekul yang besar seperti antibodi monoklonal memiliki banyak
epitop sehingga dapat bersifat multivalen.
Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep hapten,
konsep pro-hapten dan konsep p-i. Obat dengan molekul yang tidak cukup besar
seperti penisilin, sulfonamide,sefalosporin pelemas otot, tiopental,antituberkolosis,
sisplatin dan kuinidin perlu terlebih dahulu berikatan dengan protein pembawa agar
dapat menginduksi respon imun spesifik yang disebut konsep hapten. Sementara
konsep pro hapten sendiri menggambarkan bahwa ada sebagian obat yang bersifat
tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu melalui proses metabolik, baik
dengan enzim ataupun non-enzim untuk menjadi bentuk yang reaktif. Contoh konsep
pro hapten yaitupada alergi obat sulfametoksazole. Sedangkan, berdasarkan konsep p-
i sendiri, ditemukan bahwa sebagian obat dapat memiliki interaksi direksi
farmakologik dengan reseptor sel T atau molekul Major Histocompatibility Complex
(MHC) dalam bentuk ikatan reversibel selain ikatan kovalen, yang dapat
mengaktifkan sel T.2,13,14
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko
terebut antara lain :
jenis obat
berat molekul obat
kimiawi obat
regimen pengobatan
faktor pejamu
atopi
penyakit tertentu
gangguan metabolisme
lingkungan
Obat seperti β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid, trimetoprim dan
sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan berat molekul tinggi
lebih sering menimbulkan reaksi imun, Regimen pemberian oral, intravena,
intramuskular, subkutan dan topikal secara berurutan menyebabkan induksi alergi
meningkat. Usia muda dan jenis kelamin wanita meningkatkan kecenderungan
terjadinya alergi obat. Klasifikasi reaksi obat pembagiannya mekanisme Infeksi virus,
gangguan metabolisme seperti defisiensi G6PD meningkatkan risiko alergi obat.
Sedangkan cahaya UV dapat mengubah imunoenitas obat tertentu.
E. Manifestasi Kinis Alergi Obat
Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu
macam obat dapat menimbulkan berbqagai gajala, dan pada seseorang dapat berbeda
dengan orang lain. Gejala klinis tersebut kita sebut sebagai alergi obat bila terdapat
antibody atau sel limfosit T tersentisitasi yang spesifik terhadapat obat atau
metabolitinya, serta konsisten dengan gambaran reaksi Inflamasi imunologika yang
sudah dikenal.
Gejala klinis yang paling sering, dapat dapat berupa pruritus, urtikaria, purpura,
dermatitis kontak, eritema multiform, eritema nodosum, erupsi obat fikstum, reaksi
fotosensitivitas, atau reaksi yang lebih berat dermatitis eksfoliatif, dan erupsi
vesikobulosa seperti pada sindrom Stevens-Johnson dan sindrom Lyell.
Gejala klinis yang memerlukan pertolongan adekuat segera reaksi anafilaksi karene
dapat terjadi renjatan. Gejala kilinis dapat berupa hipotensi spasme bronkus, edema
laring, angioedema, atau urtikaria generalisata
F. Contoh kasus :
1. Syndrome Stevens- Johnson :
Suatu bentuk reaksi yang terjadi disebabkan obat-obatan selain ini syndrome ini
dapat juga terjadi karena jamu dan zat-zat yang berbahaya.
Contoh : Obat-obatan anti asam urat, ex: allopurinol
Obat antibiotic khususnya penicilin
Penyebab : obat-obatan atau jamu
Cara penanggulangan :
1. Berhenti mengkonsumsi obat-obatan pemicu alergi.
2. Melakukan terapi dirumah sakit, terapi yang dirujuk biasanya adalah rehidrasi
atau penggantian cairan tubuh yang hilang dengan menggunakan infus.
3. Perlu dilakukan penanganan intensif pada saat syndrome hadir jika tidak
sejumlah komplikasi bisa muncul. Ex : kerusakan dalam, kerusakan kulit
permanen, infeksi darah, hingga gangguan mata.
Contoh kasus :
Al Ghazali diketahui pingsan saat mengendarai mobil di kawasan Condet, Jakarta
Selatan. Dari keterangan sang ayah al ghozali diduga menderita syndrome stevens
Johnson.
2. Pruritus :
Rasa gatal yang bisa meliputi seluruh atau sebagian tubuh seseorang.
Contoh : gatal pada kaki atau tangan .
Penyebab : terbagi menjadi :
1. Kondisi kulit, gangguan kulit yang dapat berdampak pada kondisi
kulit yang dapat berdampak pada gatal. Ex : urtikaria atau biduran.
2. Reaksi alergi pada kulit, reaksi ini dapat dipicu oleh benda-benda
yang mengandung nikel atau kobalt.
3. Sengatan atau gigitan serangga dan parasite, parasit seperti kutu
rambut, cacing kremi, ngengat .
4. Infeksi , ada beberapa penyakit , pruritus adalah salah satu gejala
yang mengindikasikan infeksi pada bagian tubuh yang
terjangkit.penyakit ini di sebabkan oleh infeksi jamur, kurap.
5. Kehamilan / menopause, ketidak seimbangan hormon yang di
alami oleh perempuan yang sedang hamil atau memasuki masa
menopause.
Cara penanggulangan :
1. Pengobatan menggunakan krim kortikosteroid anti histamin, obat penghambat
calcineurin.
2. Foto terapi dapat di lakukan untuk mengurangi kegatalan yang mengganggu
dengan menggunakan paparan sinar UV dan gelombang tertentu.
Urtikaria
Lebih dikenal dengan kaligata atau biduran, adalah kondisi dimana kulit memiliki
ruam yang menonjol dan gatal, muncul di salah satu bagian tubuh atau mnyebar
ke area yang lebih besar.
Contoh : penyakit biduran
Penyebab :
1. adanya reaksi alergi terhadap beberapa pemicu, seperti hewan peliharaan,
serbuk sari atau lateks,.
2. Alergi makanan.
3. Udara luar, dll.
Cara penanggulangan :
Umum nya tidak perlu di obati untuk beberapa hari , namun terdapat beberapa
obat biduran yang biasa di resepkan dokter : antihistamin, losion calamine , obat
anti radang , anti depresan, dll.
3. Dermatitis
Peradangan pada kulit yang menyebabkan kulit memerah dan gatal.
Contoh : kulit memerah, bercak dan ketombe yang membandel .
Penyebab : Alergi, factor genetik dan iritasi
Cara penanggulangan : menjaga kebersihan tubuh sehingga tidak menimbulkan
gatal pada tubuh .
G. Diagnosa
Diagnosis alergi obat sering sulit dibuktikan walaupun dugaan sudah kuat.
Dasar diagnosis obat yang terpenting adalah anamnesis rinci tentang berbagai hal
penting. Gejala klinis umumnya tidak khas, kecuali beberapa bentuk erupsi kulit
seperti pruritus generalisata, urtikaria, erupsi fikstum, atau reaksi anafilaksis
yang memenuhi kriteria anamnesis di atas. Beberapa pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan untuk kelengkapan diagnosis, berupa uji in vivo dan in vitro terdapat obat
atau metabolitnya. Uji in vivo berupa uji kulit dan uji provokasi. Uji in vitro
terbata sebagai sarana penelitian dan bukan merupakan prosedur rutin.
Kesulitan yang terbesar dalam membuat diagnosis adalah untuk mengetahui
apakah benar ada hubungan antara manifestasi klinis dengan pemberian obat dan
apakah gejala klinis tersebut bukan merupakan bagian dari perjalanan penyakitnya
sendiri yang sedang diobati. Diagnosis alergi obat berdasarkan klinis dan uji
laboratoris. Secara klinis yang terpenting adalah anamnesa rinci tentang berbagai hal
penting yaitu bahwa reaksi yang timbul bukan merupakan efek farmakologi obat,
biasanya terjadi beberapa hari setelah pemberian obat (kecuali jika telah terpapar
sebelumnya). Gejala klinis akan menghilang beberapa waktu setelah penggantian
obat dan gejala yang sama akan timbul dengan pemberian ulang obat yang sama atau
dengan struktur obat yang sama
Uji Laboratorium :
b.) Pengobatan
Manifestasi klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus.
Untuk pruritus, urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin
misalnya, diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas
diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis
maksimum 0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5
mg/kg/dosis, 3 kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3- 4
kali/24 jam.
Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1
kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Reaksi alergi tidak akan terjadi pada saat pertama kali menelan obat tapi harus
didahului oleh adanya sensitasi. Frekuensi reaksi alergi tergantung dari sifat kimia
obat, jumlah obat, lama pemakaian, cara pemberian, predeisposisi genetik penderita
dan pernah tidaknya seseorang menelan obat tersebutatau sejenisnya. Tidak semua
orang alergi terhadap obat. Faktor genetik dan lingkungan dapat berperan untuk
terjadinya reaksi alergi pada seseorang.
B. SARAN
Penulis menyadari makalah ini masih ada kesalahan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
dengan banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan masalah dari kesimpulan
diatas.
DAFTAR PUSTAKA
http://repository.maranatha.edu/1505/3/0210135_Chapter1.pdf
Biomedik,B.,Kedokteran,F. and Universitas, G. (ni date) ‘Seputar rekasi hipersensitivitas
(alergi)’,pp.5-9