Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

A. Riba

Riba merupakan salah satu usaha mencari rizki dengan cara yang tidak benar dan dibenci
Allah. Praktik riba mengutamakan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain.

a) Pengertian dan Hukum Riba


Riba dalam arti bahasa berasal dari kata: “raba” yang sinonimnya namawa zada,
yang artinya tumbuh dan bertambah. Seperti dalam Surah Al-Hajj ayat 5:

ْ ‫ت َوا َ ْن َب‬
‫ت‬ ْ ‫ض هَا ِمدَة ً فَإِذَآ ا َ ْنزَ ْلنَا َعلَ ْي َها ْال َمآ َء ا ْهت َ َّز‬
ْ ‫ت َو َر َب‬ َ ‫َوت َ َرى آأل َ ْر‬
) 5( ٍ‫ِم ْن ُك ِل زَ ْوجِ َب ِهيْج‬
Artinya: Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami turunkan air di
atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.1
Sedangkan riba menurut istilah adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan
oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uang) karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjaman dari waktu yang telah ditentukan
(pendapat Syekh Muhammad Abdul).
Hukum Riba
Hukum melakukan riba adalah haram, berdasarkan Al-qur’an, sunnah dan ijma’
para Ulama. Dalam Al-qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya:

1. Surah Al-baqarah ayat 275: ....‫وأ َ َح َّل هللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِربَوا‬......
َ
Artinya: “… Padahal Allah telah menghalalka jual beli dan mengharamkan riba…“
2. Surah Ali- Imran ayat 130:

َ‫ض َع َفةً َوتَّقُ ْوهللاَ لَ َعلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬ َّ ‫يَأَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َ َمنُ ْواالَتَأ ْ ُكلُ ْو‬
ْ َ ‫االربَوآأ‬
َ ‫ض َعفًا ُم‬
)12:‫(العمران‬

1 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet. 1. Hlm. 257.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta " Artinya:
riba secara berlipat ganda dan takutlah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
2"keberuntungan.
Dan dari As-Sunnah terdapat beberapa hadis yang isinya melarang perbuatan
riba, di antaranya: Hadis Abdullah ibnu Mas’ud, sebagai berikut:

ِ ‫سلَّ َم أ َ ِك َل‬
ُ‫الربَا و ُم ْو ِك َلِه‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِِه َو‬ ُ ‫ لَ َعنَ َر‬:‫ع ْن اِب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد قَا َل‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ
.ُ‫َوشَا ِهدَهُ َو َكا ِتبَِه‬
Artinya: Dari Ibnu Mas’ud ia berkata: “Rasulullah mengutuk orang yang memakan
riba, orang yang mewakilinya dan orang yang menulisnya.” (HR. At- Tirmidzi).3
Sudah jelas bahwa riba termasuk dosa besar yang diharamkan semua agama
karena mengandung bahaya besar di dalamnya. Di antaranya, sebagai pemicu
permusuhan di masyarakat, menutup pintu sedekah dan berbuat baik. Riba juga
merupakan sikap memakan harta orang lain dengan kebathilan. Tidak ada seorang pun
yang sering bertransaksi dengan riba kecuali kondisi hartanya, pada hakikatnya akan
merosot menjadi sedikit. Hukuman bagi orang yang sangkut paut dengan riba
hukuman paling ringan adalah seperti orang menikahi ibu kandungnya sendiri.4

b) Macam-Macam Riba
Riba terdiri dari dua macam, di antaranya:
1) Riba Nasi’ah yaitu melebihkan pembayaran yang dipertukarkan, diperjual belikan,
atau diutangkan karena dikhawatirkan waktu membayarnya, baik sama sejenisnya
maupun tidak. Riba nasi’ah ini dilakukan oleh kaum jahiliyah sebelum datangnya
agama Islam. Andaikan peminjaman belum dapat juga dapat mengembalikan pokok
pinjamanya itu dan dia meminta tangguh, pihak pinjaman dapat menerima, tetapi
dengan syarat agar pokok pinjaman itu dikembalikan lebih dari semula. Umpanya,

2 Mas’ud. Fiqih Madzab Syafi’i. (Bandung: CV Pustaka Setia). Hlm. 80

3 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet. 1. Hlm 261.

4 Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-kamil.(Jakarta: Darus
Sunnah) hlm.909-910
pokok yang dikembalikan pada bulan ini Rp. 1.000, 00 kalau dikembalikan pada bulan
yang akan datang, harus dilebihi sampai menjadi Rp. 1.500,00.
2) Riba Fadhal
Hanafiyah memberikan definisi riba fadhal:

ِ َ‫لى ْال ِع ْمي‬


َّ ‫ار ال‬
ِ ‫ش ْر ِعي‬ َ ‫ع‬ َ ‫ض ِل بِأَنَِّهُ ِزيَادَتةُ َعي ِْن َما ٍل فِ ْي‬
َ ٍ‫ع ْق ِد بَيْع‬ ْ َ‫ِربَا ْالف‬
‫(و ُه َو ْال َك ْي ُل ا َ ِو ْال َو ْز ُن) ِع ْندَاتِ َحاد ِْال ِج ْن ِس‬
َ
Artinya: Riba fadhal adalah tambahan benda dalam akad jual beli (tukar-menukar)
yang menggunakan ukuran syara’ ( yaitu literan atau timbangan) yang jenis
barangnya sama.

Dari definisi yang dikemukakan di atas, maka dapat diambil intisari bahwa riba
fadhal adalah tambahan yang disyaratkan dalam tukar-menukar barang yang sejenis
(jual beli barter) tanpa adanya imbalan untuk tambahan tersebut. Misalnya,
menukarkan beras ketan 10 kg dengan beras ketan 12 kg. Tambahan 2 kg ketan tersebut
tidak ada imbalannya, oleh karena itu disebut riba fadhal (riba karena berlebihan).
Dengan demikian, apabila barang yang ditukarkan jenisnya berbeda maka hukumnya
dibolehkan dan tidak termasuk riba.5

c) Hikmah Dilarangnya Riba


Adapun sebab dilarangnya riba adalah dikarenakan riba menimbulkan kemudaratan
yang besar bagi umat islam. Kemudaratan tersebut antara lain:
1. Riba menyebakan menyebabkan permusuhan antara individu yang satu dengan yang
lain, dan menghilangkan jiwa menolong di antara mereka. Padahal semua agama
terutama Islam sangat mendorong sikap tolong menolong.
2. Riba mendorong terbentuknya kelas elite, yang tanpa kerja keras mereka mendapat
harta, seprti benalu yang setiap saat menghisap orang lain. Padahal Islam
mengagungkan dan menghormati orang bekerja.

5 Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah). Cet. 1. Hlm. 264-265.
3. Riba merupakan wasilah atau perantara terjadinya penjajahan di bidang ekonomi, di
mana orang-orang kaya menghisap dan menindas orang-orang miskin.
4. Dalam hal ini, Islam mendorong umatnya agar mau memberikan pinjaman kepada
orang lain yang membutuhkan dengan modal “pinjaman tanpa bunga”

B. Utang Piutang (Qardh)


a. Pengertian
Utang piutang atau qardh dalam arti berasal dari kata: qaradha yang sinonimnya
qatha’a artinya memotong. Diartikan demikian karena orang yang memberikan utang
memotong sebagian hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang
(muqtaridh). Dalam pengertian istilah, qardh didefinisikan oleh sebagai berikut:

‫ص‬ َ ‫ارةٍ أ ُ ْخ َرى ُه َو‬


ُ ‫ع ْقد ٌ َم ْخ‬
ٌ ‫ص ْو‬ َ ‫ ا َ ْو ِب ِع َب‬,ُ‫ضاه‬ ُ ‫ا َ ْلقَ ْر‬
َ ‫ض ُه َو َما ت ُ ْع ِط ْي ِِه ِم ْن َما ٍل ِمثْ ِلي ٍ ِلتَتَقَا‬
ُ‫علَى دَ ْفعِ َما ٍل ِمثْ ِلي ٍ ِِلخ ََر ِليَ ُرد َِّمثْلَِه‬َ ُّ‫يَ ُرد‬
Artinya: Qardh adalah harta yang diberikan orang lain dari mal mistli untuk kemudian
dibayar atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu
perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta benda (mal mistli) kepada orang
lain untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.

Dari definisi di atas, dapat diambil intisari bahwa qardh adalah suatu akad antara
dua belah pihak, di mana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada pihak kedua
untuk dimanfaatkan dengan ketentuan uang atau barang, uang tersebut harus dikembalikan
persis seperti yang ia terima dari pihak pertama.
b. Rukun dan syarat qardh
Seperti jual beli, rukun qardh juga diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut
Hanafiah, rukun qard adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur fuqaha, rukun
qardh adalah:
1. Aqid, yaitu muqridh dan muqtaridh
Untuk aqid, baik muqtaridh maupun muqridh disyaratkan harus orang yang
dibolehkan melakukan tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’. Oleh karena itu, qardh
tidak sah apabila dilakukan oleh anak di bawah umur atau orang gila. Syafi’iyah
memberikan persyaratan untuk muqridh, antara lain: kecakapan untuk melakukan
tabarru’ dan memiliki pilihan.
Sedangkan untuk muqtaridh disyaratkan harus memiliki kecakapan untuk
melakukan muamalat, seperti baligh, berakal dan tidak mahjur ‘alaih.

2. Ma’qud ‘alaih, yaitu uang atau barang


Menurut jumhur ulama yang terdiri atas Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanafiyah yang menjadi objek akad dalam qardh berupa barang-barang yang
ditakar dan ditimbang, maupun barang-barang yang tidak ada persamaannya di
pasaran, seperti hewan, barang dagangan dan barang yang dihitung. Dengan kata
lain, setiap barang yang boleh dijadikan objek jual beli, boleh pula dijadikan akad
qardh.

3. Shighat, yaitu ijab dan qabul


Qardh adalah suatu akad kepemilikan atas harta. Oleh karena itu akad tidah
sah kecuali dengan adanya ijab dan qobul, sama seperti akad jual beli dan hibah.
Shighat ijab bisa dengan menggunakn lafal qardh (utang atau pinjam) dan salaf
(utang), atau dengan lafal yang mengandung arti kepemilikan. Contohnya: “Saya
milikkan kepadamu barng ini, dengan ketentuan anda harus mengembalikan kepada
saya panggantinya”. Penggunaan kata milik di sini bukan berarti diberikan cuma-
cuma, melainkan pemberian utang yang harus dibayar. Penggunan lafal salaf untuk
qardh didasarkan kepada hadis Abu Rafi’ yang artinya: “Dari Abu Rafi’ ia berkata:
“Nabi beruntung seekor unta perawan, kemudian datanglah unta hasil zakat. Lalu
Nabi memerintahkan kedapa saya untuk membayar kepadan laki-laki pemberi
utang dengan unta yang sama (perawan). Saya berkata: ‘Saya tidak menemukan
ubta-unta hasil zakat iyu kecuali unta pilihan yang berumur enam masuk tujuh
tahun.” Nabi kemudian bersabda: ‘Berikan saja kepadanya unta tersebut, karena
sesungguh nya sebaik-baik manusia iti adalah orang yang paling dalam membayar
utang.” (HR. Jama’ah kecuali Al-Bukhori)”
c. Dasar Hukum Disyaratkan Qardh dan Hikmahnya
Qardh merupakan perbuatan baik yang diperintah Allah SWT dan Rasul. Dalam
al-Qur’an, qardh disebutkan dalam beberapa ayat, antara lain:
1. Surah Al-Baqarah ayat 245:
ُ ‫ص‬
‫ط َواِلَ ْي ِِه‬ ُ ‫ضعَافًا َكثِي َْرة ً َوهللاِ يَ ْق ِب‬
ُ ‫ض َو َي ْب‬ ْ َ ‫ض ِعفَِهُ لَِهُ ا‬
َ ُ‫سنًا فَي‬ ً ‫ض هللاَ قَ ْر‬
َ ‫ضا َح‬ ْ ‫َم ْن ذَالَّذ‬
ُ ‫ِي يُ ْق ِر‬
َ‫ت ُ ْر َجعُ ْون‬
Artinya: Siapakah yang memberi pinjaman kepada Allah SWT, pinjaman yang baik
(menafkahkan di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melampangkan (rezeki) dan kepada-Nya_lah kamu
dikembalikan.
Ayat-ayat tersebut pada dasarnya berisi anjuran untuk melakukan perbuatan qardh
(memberikan utang) kepada orang lain dan imbalannya adalah akan dilipat gandakan oleh
Allah SWT. Dari sisi muqaridh (orang yan memberi utang), Islam menganjurkan kepada
umatnya untuk memberikan bantuan untuk orang lain yang membutuhkan dengan cara
memberi utang. Dari sisi muqtaridh, utang bukan perbuatan yang dilarang, melainkan
dibolehkan karena orang berutang dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang
yang diutangnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan ia akan mengembalikan
persi seperti yang diterimanya. Dalam kaitan hal ini ada beberapa hadits yang memberi
anjuran untuk membantu orang lain, antara lain: Hadis Ibnu Mas’ud yang artinya:
“Dari Abdullah ibnu mas’ud bahwa sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: Barang siapa
yang memeberikan utang atau pinjaman kepada Allah dua kali, maka ia akan memeperoleh
pahala seperti pahala salah satunya andaikata ia menyedekahkanya.” (HR. Ibnu Hibban).

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa qardh merupakan perbutan yang
dianjurkan, yang akan diberi imbalan kepada Allah SWT. Adapun hikmah disyariatkan
qardh dilihat dari sisi yang menerima utang adalah membantu mereka yang membutuhkan.
Dilihat dari sisi pemberi utang (muqridh), qardh dapat menumbuhkan jiwa ingin menolong
orang lain, menghaluskan perasaannya, sehingga ia peka terhadap kesulitan yang dihadapi
oleh saudara, teman dan tetangganya.
d. Empat kriteria orang yang berutang
1. Tidak memiliki sama sekali. Dalam hal ini wajib diberi kelonggaran penangguhan
tempo kepadanya dan tidak menagih pembayaran kewajibannya. Memberikan
tangguhan tempo orang yang kesulitan merupakan akhlak mulia dan terlebih lagi
membebaskannya.
2. Mempunyai harta melebihi jumlah utang yang ditanggungnya. Dalam kondisi ini boleh
diminta dan ia wajib membayarnya. Kewajiban bagi orang yang berhutang untuk cepat-
cepat mengembalikan segala sesuatu yang dihutangnya jika ia sudah memiliki apa yang
telah dihutangnya. Dan mempercepat pelunasan hutang sebelum meninggal karena agar
tidak menjaadi beban bagi orang ditinggalkanya dan ia akan disandera oleh utangnya
sampai utang tersebut dilunasi.
3. Mempunyai harta sebesar jumlah utangnya, maka ia wajib mambayar utangnya.
4. Mempunyai harta lebih sedikit dari jumlah utangnya, maka dia termasuk orang yang
pailit yang terlarang menggunakan hartanya berdasarkan atas permintaan pemberi utang
atau sebagainya. Sedangkan harta dibagi-bagikan kepada para pemberi utang.
Peminjaman utang wajib bertekad mengembalikan utangnya, jika tidak niscaya
Allah SWT akan membinasakannya. Berbuat baik saat mengembalikan pinjaman sangat
disunnahkan, selama tidak ada prasyarat sebelumnya. Hal tersebut merupakan sikap
pembayaran yang baik dan sikap mulia. Siapa yang meminjamkan seorang muslim
sebanyak dua kali, seakan-akan sedekah kepadanya satu kali.6
Disunnahkan berbuat baik saat mengembalikan utang, selama tidak ada pra syarat.
Seperti meminjam satu ekor unta muda kemudian kemudian menggantinya yang lebih baik.
Hal ini merupakan hal pembayaran yang baik dan akhlak mulia. Apabila kondisi orang
yang berutang sedang berada dalam kesulitan dan tidak kemampuan, maka kepada kepada
orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan
menunggu sampai dia mampu membayar utangnya. Tetapi apabila ia sudah mampu, tetapi
ia menunda-nunda pembayaran utangnya, maka mereka termasuk orang yang zalim.

6 Sayikh Muhammad bin Ibrahim Bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Al-kamil.(Jakarta: Darus
Sunnah) hlm. 917.
Kesimpulan
1. Riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta
kepada orang yang meminjam hartanya (uang) karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjaman dari waktu yang telah ditentukan (pendapat Syekh Muhammad Abdul).
2. Hukum Riba adalah haram, meskipun itu orang yang menyatat saja. Semua orang yang
bersangkut paut dengan riba, maka orang tersebut termasuk orang yang melakukan riba.
3. Riba ada 2 macam yaitu Riba Nasihah dan Riba fadhal
4. Dilarangnya riba karena demi kemaslahatan masyarakat
5. Qardh adalah suatu akad antara dua belah pihak, di mana pihak pertama memberikan uang
atau barang kepada pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan uang atau barang uang
tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak pertama.
6. Rukun Qardh ada 3 yaitu aqid, ma’qud ‘alaih dan shigat
7. Syarat bagi muqtaridh ada 3 yaitu ahliyah atau kecakapan untuk melakukan tabarru’ dan
memiliki pilihan dan syarat bagi muqtaridh adalah memilki kecakapan dalam muamalat
8. Hukum utang dibolehkan seperti jual beli

Anda mungkin juga menyukai